makalah hukum waris anak zina dan lian

Muqaddimah
‫ن ِالرر م‬
‫م ِالل ر م‬
‫ه ِالرر ح‬
‫بم ح‬
‫ح م‬
‫حيِم م‬
‫م م‬
‫س م‬
‫أشهد أن ل اله ال الله و أشهد أن محمد رسول الله‬
Segala puji bagi Allah SWT tuhan semesta alam yang senantiasa memberikan
kenikmatan dan kemudahan bagi kita dalam menjalankan kehidupan di dunia selaku
hamba-Nya.
Sholawat serta salam kita haturkan keharibaan junjungan kita Nabi Besar
Muhammad Rasulullah SAW.
‫ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم‬: ‫ عن ابى هريرة رضي الله عنه قال‬:
‫تعلموا الفرائض وعلموها فإنها نصف العلم وهو ينسى وهو اول شيء ينزع من أمتى‬
(‫)رواه إبن ماجه والدار قطني‬
Paper dengan judul “Warisan Anak Kandung dan Anak Zina” ini diharapkan
dapat berguna untuk menambah wawasan dan pengetahuan dibidang ilmu Fiqh
Mawarits bagi pembaca dan terlebih bagi kami selaku penulis.

Dalam penulisan ini kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan yang
perlu disempurnakan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif penulis
harapkan.

Penulis

I. Pembahasan
1.1 Warisan Anak Kandung
Anak kandung adalah anak dari pasangan suami istri yang sah baik laki-laki maupun
perempuan. Dasar ditetapkannya anak kandung memperoleh warisan adalah firman
Alloh swt dalam surat An-Nisa’ ayat 11 :
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka
ia memperoleh separo harta…. (Q.S. An-Nisa’ : 11)
Hikmah dari bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah Karena kewajiban
laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan
memberi nafkah. (lihat surat An Nisaa ayat 34).
Sedangkan kewajiban seorang laki-laki (ayah) untuk memberikan nafkah berupa

makanan dan pakaian ditegaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 233.
Anak laki-laki merupakan kelompok yang tidak ditetapkan bagian pastinya
didalam Al-Qur’an atau bukan termasuk ashhabul furudl namun dia termasuk
Ashhabul Ashobah. Sedangkan yang dimaksud dengan Ashobah itu sendiri menurut
Prof. Muhammad Ali shabuni ialah setiap ahli waris yang tidak mempunyai bagian
tertentu yang secara tegas disebutkan dalam Al-Qur’an atau Hadits. Sedangkan
definisi yang masyhur dikalangan ahli ilmu Faraidh yaitu setiap orang yang berhak
mendapatkan seluruh harta jika ia menjadi ahli waris tunggal, dan mendapatkan sisa
harta jika ia bersama-sama ashabul furudh sesudah mereka memperoleh bagiannya.
Sedangkan anak perempuan termasuk ashhabul furudlh, sebagaimana yang
terkandung dalam surat an-nisa ayat 11 diatas. Dimana anak perempuan akan
mendapatkan ½ jika sendiri (tidak bersama anak perempuan lainnya), 2/3 jika
bersama anak perempuan lainnya, kedua bagian itu didapatkan oleh anak
perempuan dengan syarat tidak adanya anak laki-laki. Adapun jika ada anak lakilaki maka anak perempuan mendapatkan ashobah.

1.2 Pengertian Anak Zina

Dalam kitab Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islami disebutkan :
‫أو ثمرة العل قة الثمة بين الرجل والمرأة‬, ‫ولد الزنا هو المولود من غير نكاح شرعى‬
“Anak yang lahir karena perbuatan zina adalah anak yang dilahirkan bukan dari

hubungan nikah yang sah secara syar'i atau dengan kata lain, buah dari hubungan
haram antara laki-laki dan wanita.“
Senada dengan pengertian diatas, dalam tulisannya yang berjudul Aneka
Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Abdul Manan menjelaskan bahwa :

“anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan
perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang
menyetubuhinya. Sedangkan pengertian diluar kawin adalah hubungan seorang pria
dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan
mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama
yang dipeluknya.“1
1.3 Nasab Anak Zina
Jika wanita yang melakukan perbuatan zina tersebut tidak memiliki suami atau
tidak sedang dalam masa ‘iddah, ada beberapa pendapat mengenai nasab dari anak
yang dikandung oleh wanita tersebut. Pendapat pertama mengatakan bahwa anak
tersebut dapat dinasabkan kepada laki-laki yang datang dan mengakuinya sebagai
anak dan bukan hasil dari perbuatan zina dengan ibu si anak. Sebalikya, jika laki-laki
itu berkata dan mengakui bahwa anak itu adalah anaknya dari perbuatan zina dengan
ibu si anak, jumhur ulama berpendapat, anak itu tidak bisa dinasabkan kepadanya.
Sebab, nasab atau keturunan adalah sebuah karunia, dan itu tidak bisa diperoleh dari

perbuatan tercela. Akan tetapi, balasan yang sesuai untuk perbuatan zina adalah azab.
Sedangkan Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim
berpendapat bahwa anak yang lahir karena perbuatan zina adalah keturunan orang
yang mengaku, sebab pada kenyataannya ia memang berbuat zina dengan ibu si anak,
sebagaimana penetapan nasab anak itu kepada ibunya. Penetapan itu dimaksudkan
agar si anak tidak terlantar, tidak mendapat mudharat, dan tidak terkena aib karena
perbuatan yang tidak ia lakukan. Sebab, orang yang tidak berdosa tidak akan memikul
dosa orang lain.2
Jika wanita yang melakukan perbuatan zina tersebut adalah seseorang yang
memiliki suami atau dalam masa ‘iddah maka ulama sepakat bahwa nasab dari anak
yang dikandung oleh wanita tersebut adalah anak dari suaminya, dan pengakuan
seseorang atas anak tersebut tidak dapat diterima. Dalil yang dijadikan pegangan oleh
jumhur ulama, yaitu sabda Nabi SAW yang artinya : "Anak milik orang yang memiliki
ranjang (suami) dan wanita pezina mendapatkan sanksi."
1.4 Pengertian Anak Li'an
Dalam kitab Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islami disebutkan :
‫وولد اللعان هو الذى يولد على فراش زوجية صحيحة ونفي الزوج نسبه منه وحكم القاضى بنفى نسبة من‬
‫الزوج بعد وقع اللعان بين الزوجين‬
“Anak Li’an adalah anak yang dilahirkan dari hubungan suami-isteri yang sah,
namun sang suami tidak mengakui anak itu sebagai keturunannya, dan qadhi (hakim

1Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Penerbit Kencana,
Jakarta, 2008, hlm. 80
2 Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al Azhar, Hukum Waris, Penerbit Senayan Abadi Publishing,
Jakarta Cet. III 2011, hlm. 402

syar’i) memutuskan bahwa anak itu bukanlah dari nasab sang suami, setelah suamiisteri itu diambil sumpahnya (li’an).”
Prof. Dr. Ahmad Syarifuddin menyebutkan bahwa Li’an adalah sumpah yang
diucapkan seorang suami yang menuduh isterinya melakukan zina dan tidak
mendatangkan empat orang saksi selain dirinya sendiri, sumpah tersebut dilakukan
sebanyak empat kali dan di kali ke-5 diiringi dengan ucapan “laknat Allah atasku jika
sumpah yang aku lakukan adalah dusta“ dan sang isteri juga diberi kesempatan
menolak li’an suaminya dengan bersumpah sebanyak empat kali dan di kali ke-5
diiringi dengan ucapan “laknat Allah atasku jika kesaksian dan sumpah yang
dilakukan suamiku adalah benar.“ Apabila kesaksian itu telah dilaksanakan, maka
hakim akan menceraikan mereka, menafikan ikatan nasab anak itu dari suaminya, dan
menjadikan anak itu bernasab pada ibunya.3
Dalam Al Qur’an Al Kariem dijelaskan bahwa :
‫شهاَد ة ح‬
‫ح‬
‫م ُ ح‬

‫ء ُهإلِ ُأ حن م ة‬
‫م ُ ة‬
‫م‬
‫داَ ة‬
‫د ه‬
‫ح ه‬
‫واَل ل ه‬
‫موُ ح‬
‫ة ُأ ح‬
‫ف ح ح ح‬
‫ه ح‬
‫واَ ح‬
‫س ة‬
‫ف ة‬
‫ش ح‬
‫ن ُل ح ة‬
‫ج ة‬
‫م ُي حك ة م‬
‫ذي ح‬
‫ه م‬

‫ه م‬
‫ه م‬
‫ول ح م‬
‫ه م‬
‫ن ُي حمر ة‬
‫م ُ ح‬
‫ن ُأمز ح‬
‫ح‬
‫ح‬
‫ع ُ ح‬
6 ‫قيِن‬
‫صاَهد ه‬
‫ه ُل ح ه‬
‫ت ُهباَلل ل ه‬
‫داَ ت‬
‫هاَ ح‬
‫ ُأمرب ح ة‬
‫ش ح‬
‫م ح‬
‫ه ُإ هن ل ة‬

‫ن ُاَل ل‬
‫خاَمس ة ح‬
‫ن ُاَل م ح‬
‫ن ُ ح‬
7ُ ‫ن‬
‫ه ُ ح‬
‫عن ح ح‬
‫ن ُ ه‬
‫عل حيِ م ه‬
‫ة ُاَلل ل ه‬
‫كاَ ح‬
‫ه ُإ ه م‬
‫ة ُأ ل‬
‫ن ُل ح م‬
‫واَل م ح ه ح‬
‫كاَهذهبيِ ح‬
‫م ح‬
‫ح‬
‫ح‬
‫ح‬

‫ن ُاَل م ح‬
‫ع ُ ح‬
‫ن ُت ح م‬
‫ع ح‬
8ُ ‫كاَهذهبيِن‬
‫وي حدمحرةأ ُ ح‬
‫ه ُل ح ه‬
‫ت ُهباَلل ل ه‬
‫داَ ت‬
‫ب ُأ م‬
‫هاَ ح‬
‫د ُأمرب ح ح‬
‫ه ح‬
‫ذاَ ح‬
‫هاَ ُاَل م ح‬
‫ش ح‬
‫ش ح‬
‫عن م ح‬
‫م ح‬
‫ه ُإ هن ل ة‬

‫ح‬
‫خاَمس ح ح‬
‫ن ُ ح‬
‫ن ُ ح‬
9ُ ‫قيِن‬
‫ه ُ ح‬
‫صاَهد ه‬
‫غ ح‬
‫ن ُ ه‬
‫ب ُاَلل ل ه‬
‫كاَ ح‬
‫هاَ ُإ ه م‬
‫ة ُأ ل‬
‫ض ح‬
‫عل حيِ م ح‬
‫واَل م ح ه ح‬
‫م ح‬
‫ن ُاَل ل‬
‫ح‬
"Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai

saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang
yang benar. (Sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk
orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya
empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk
orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika
suaminya itu termasuk orang-orang yang benar." (an-Nuur [24]: 6-9)4
Sebab turunnya ayat ini dan kekhususan hukum li'an kepada dua suami istri
adalah firman Allah yang menyebutkan tentang sanksi orang yang menuduh wanita
mukminah, yaitu firman Allah SWT :
‫ح‬
‫م‬
‫ء ُ ح‬
‫ة ُ ة‬
‫ن‬
‫دو ة‬
‫داَ ح‬
‫ع ه‬
‫صحناَ ه‬
‫واَل ل ه‬
‫موُ ح‬
‫جل ه ة‬
‫فاَ م‬
‫ه ح‬
‫م ُي حأةتوُاَ ُب هأمرب ح ح‬
‫م م‬
‫ش ح‬
‫ماَهنيِ ح‬
‫ذي ح‬
‫م ُث ح ح‬
‫ه م‬
‫م ُل ح م‬
‫ت ُث ة ل‬
‫ن ُاَل م ة‬
‫ن ُي حمر ة‬
‫ح ح‬
‫ح‬
‫ة‬
‫ح‬
‫ح‬
‫ح‬
‫ة‬
‫م‬
‫ح‬
‫س ة‬
‫م ُاَل م ح‬
‫م‬
‫ح‬
4ُ ‫قوُن‬
‫ه‬
ُ ‫ك‬
‫ئ‬
‫ل‬
‫أو‬
‫و‬
ُ َ‫دا‬
‫ب‬
‫أ‬
ُ ‫ة‬
‫د‬
َ‫ها‬
‫ش‬
ُ ‫م‬
‫ه‬
‫ل‬
ُ َ‫لوُا‬
‫ب‬
‫ق‬
‫ت‬
ُ ِ‫ول‬
ُ ‫ة‬
‫د‬
‫ل‬
‫ج‬
‫د‬
‫د‬
‫ة‬
‫ه‬
‫ح‬
‫فاَ ه‬
‫د‬
‫ح‬
‫ح‬
‫ح‬
‫ح‬
‫ح‬
‫ح‬
‫ة‬
‫ة م‬
‫ح‬
‫ح‬
"Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik." (an-Nuur [24]: 4)5
Sehubungan dengan permasalahan di atas, dalam sebuah riwayat diceritakan
bahwa Sa'ad bin Ubadah selaku sesepuh orang Anshar berkata, "Apakah hanya seperti
ini, wahai Rasulullah? (maksudnya adalah apakah solusinya hanya seperti yang

3

Amir Syarifuddin. Hukum Kewarisan Islam. Penerbit Kencana Prenada Media Group. Jakarta 2008

4ِ HaditsWebِ Kumpulanِ danِ Refrensiِ belajarِ Haditsِ (Alِ Qur'anِ danِ Terjemahannya)
5ِ HaditsWebِ Kumpulanِ danِ Refrensiِ belajarِ Haditsِ (Alِ Qur'anِ danِ Terjemahannya)

tertera pada surat An-Nuur ayat 4 diatas). Rasulullah SAW bersabda, "Apakah kalian
mendengar apa yang diucapkan oleh sesepuh kalian, wahai kaum Anshar?" Mereka
menjawab, "Dia adalah manusia paling besar cemburunya. Demi Allah, dia hanya
menikah satu kali dengan perempuan perawan dan dia tidak pernah mencerai
istrinya. Dia lelaki paling berani menikahi perempuan perawan, karena cemburunya
yang demikian besar itu."6
Kemudian Sa'ad berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, aku yakin firman
Allah itu benar, dan aku juga yakin ayat itu dari Allah. Namun, aku hanya merasa
heran, seandainya aku menemukan pergelangan tangan (istri) diperkosa, aku tidak
boleh berbuat apa-apa, tidak boleh membentak, dan tidak boleh mengusirnya sampai
aku dapat menghadirkan empat orang saksi. Demi Allah, jika aku menghadirkan
mereka, pastilah pemerkosa itu telah memuaskan nafsunya."
Tidak berselang lama setelah kejadian itu, pada suatu sore, ketika Hilal bin
Umayyah kembali dari kampung halamannya, dia mendapati istrinya bersama seorang
laki-laki. Dia melihat dan mendengarnya sendiri, namun dia tidak membentak atau
mengusirnya sampai waktu pagi tiba. Pagi itu juga, Hilal menemui Rasulullah SAW
dan berkata, "Wahai Rasulullah, kemarin, ketika aku pulang di sore hari, aku
mendapati istriku bersama seorang laki-laki. Aku melihat dan mendengarnya
sendiri." Mendengar cerita itu, Rasulullah tidak senang dan marah.7 Sa'ad bin Ubadah
berkata, "Sekarang, Rasulullah mendapat contoh langsung dari peristiwa Hilal bin
Umayyah. Kesaksian Hilal pun tidak dapat diterima oleh kaum muslimin."
Hilal berkata, "Aku berharap, Allah akan memberikan jalan keluar untukku."
Kemudian Hilal berkata kembali, "Ya Rasulullah, aku mengerti engkau marah karena
cerita yang aku sampaikan. Allah mengetahui bahwa aku berkata jujur."
Demi Allah, sesungguhnya, Rasulullah SAW ingin memberikan perintah agar
Hilal didera, namun saat itu wahyu turun, yakni Surah An Nuur ayat : 6 – 9 tersebut.
Setelah itu, Rasulullah SAW bersabda, "Bergembiralah, hai Hilal, Allah telah
memberikan jalan keluar dan kelapangan." Hilal menyahut, "Sungguh, itulah yang
aku harapkan dari Tuhanku."
Demikianlah asbabun nuzul turunnya ayat 6 – 9 dari surat An Nuur di atas.
1.5 Hak Waris Anak Zina dan Anak Li'an

Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang warisan untuk anak yang lahir
karena perbuatan zina dan anak li'an. Secara umum, pendapat para ulama fiqih dapat
dikelompokkan menjadi tiga pendapat sebagai berikut :
Pendapat Pertama

Pendapat Kedua

Pendapat Ketiga

6 Dapat dibaca di Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al Azhar, Op Cit. hlm. 404 - 405
7ِ Rasul mengira Hilal menuduh isterinya, dapat dibaca di Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al
Azhar, Op Cit. hlm. 404 - 405

Abu Hanifah, Malik, dan
Syafi'i berpendapat bahwa
anak
tersebut
dapat
mewarisi dari ibu dan
kerabat ibunya, dan ibu
serta kerabat ibunya pun
dapat mewarisi darinya,
sesuai dengan kaidah
waris-mewarisi
yang
sudah
diketahui.
Ini
adalah pendapat Zaid bin
Tsabit dalam satu riwayat
dari Ali R.A

Ahmad
bin
Hambal
berpendapat bahwa anak
yang
lahir
karena
perbuatan zina dan li'an
dapat diwarisi dengan
cara ashabah. Ashabahnya adalah mereka yang
menjadi ashabah ibunya
atau
mereka
yang
mewarisi dari ibunya.
Sebagian orang berkata,
"Jika
Anda
ingin
mengetahui ashabah anak
li'an, lihatlah ashabah
ibunya kalau ibunya wafat.
Itulah
yang
menjadi
ashabah anak li'an."

Ahmad
bin
Hambal
berpendapat
bahwa
ashabah anak li'an dan
anak yang lahir karena
perbuatan zina adalah
ibunya karena ibu bagi
mereka sama seperti
kedua orang tua, yakni
ayah dan ibu. Jika tidak
ada ibu, ashabah-nya
adalah mereka yang
menjadi ashabah ibu.
Pendapat
ini
juga
disampaikan oleh beberapa
tabi'in, di antaranya Hasan
dan Ibnu Sirin.

Sumber : Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Mesir. 2011 (cetakan
ketiga). Hukum Waris. H. Addys Aldizar, Lc. dan H. Fathurrahman, Lc.,
penerjemah. Jakarta : Senayan Abadi Publishing. Terjemahan dari : AhkamulMawarits fil-Fiqhil-Islami
a. Pendapat Pertama

Ibu dapat mewarisi bagian tetap, saudara ibu juga mewarisi bagian tetap, dan
sisanya dikembalikan kepada mereka, menurut mereka yang berpendapat adanya
pengembalian (ar-radd). Berdasarkan pendapat ini, anak itu tidak bisa mewarisi dari
orang lain dan orang lain tidak bisa mewarisi darinya dengan cara ashabah senasab
berdasarkan al-ukhuwwah atau al-umumah.
Ulama fiqih yang termasuk dalam kelompok pertama ini menjadikan hadits
yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa'du sebagai dalil. "...Sunnah menetapkan bahwa
anak li'an dapat mewarisi dari ibunya dan ibunya pun dapat mewarisi darinya, dengan
bagian yang telah ditetapkan Allah." (Nail al-Authar, juz VI, hlm.184)
Jumhur ulama juga mempunyai dalil yang menguatkan pendapat mereka
bahwa waris-mewarisi harus sesuai dengan ketetapan nash, dan tidak ada nash yang
menyatakan bahwa ibu boleh mewarisi lebih dari 1/3, demikian juga dengan saudara
seibu, tidak bisa mewarisi lebih dari 1/6.
Contohnya, seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat,
meninggalkan warisan berupa tanah seluas 90 hektare dan meninggalkan ahli waris :
ibu, ayah, paman dari pihak ibu, dan ayahnya ibu. Dalam kasus ini, seluruh warisan
hanya diberikan kepada ibu, karena ia mendapat bagian tetap dan pengembalian (arradd). Hal ini disebabkan paman dari pihak ibu dan ayahnya ibu termasuk dalam

kelompok dzawil arham, dan ayah si mayit pun tidak mendapatkan apa-apa karena
nasabnya terputus.
Namun, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat
meninggalkan istri, anak perempuan, dan saudara seibu, maka istri mendapatkan 1/8,
anak perempuan 1/2, dan sisanya untuk anak perempuan tersebut. Sedangkan saudara
seibu tidak mendapatkan apa-apa, karena ia tidak dapat mewarisi ketika ada bersama
pokok atau cabang yang mewarisi.
b. Pendapat Kedua
Dalam satu riwayat dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar pun berpendapat serupa
dengan pendapat kedua ini. Pendapat ini juga dipegang oleh ulama-ulama besar dari
kalangan tabi'in, seperti 'Atha, Mujahid, an-Nakha'i, dan asy-Sya'bi. Hadits yang
dijadikan dalil oleh para ulama yang berpendapat demikian adalah sabda Rasulullah
SAW ketika menjawab pertanyaan mengenai hal ini, "Ashabah-nya adalah ashabah
ibunya."
Asy-Syaukani berkata ketika menjelaskan pendapat ini, "Ibu mendapatkan
bagiannya, kemudian untuk ashabah ibu secara berurutan. Pembagian tersebut
dilakukan, jika tidak ada orang lain selain ibu dan kerabatnya, misalnya anak lakilaki atau istri si mayit. Jika si mayit mempunyai anak laki-laki atau istri, mereka
berhak mendapatkan warisan sesuai bagiannya dalam masalah waris-mewarisi."
Hadits lain yang dijadikan sandaran oleh mereka adalah sabda Rasulullah
SAW, "Berikanlah bagian-bagian itu kepada yang berhak. Jika ada sisa, pertamatama untuk ahli waris laki-laki yang terdekat."
Hadits di atas mengharuskan warisan dibagikan kepada laki-laki yang paling
dekat dengan anak li'an dari kerabat ibunya, yang dinasabkan kepada ibunya, setelah
bagian ashhabul furudh diberikan. Jikalau nasab anak li'an berpindah dari ayahnya
kepada ibunya, maka berpindah juga ashabahnya dari kerabat ayah kepada kerabat
ibu.
Berdasarkan pendapat mazhab ini, jika seorang anak yang lahir karena
perbuatan zina atau li'an wafat meninggalkan istri, anak perempuan dan saudara
seibu, maka istri mendapatkan 1/8 yang menjadi bagian tetapnya (fardh), anak
perempuan mendapatkan 1/2 sebagai bagian tetap, dan saudara seibu mendapatkan
sisa sebagai ashabah.
Jika seorang anak li’an wafat, meninggalkan ibu dan paman dari pihak ibu,
maka ibu mendapatkan bagian 1/3 dan paman dari pihak ibu mendapatkan 2/3 sebagai
ashabah.
c. Pendapat Ketiga
Terdapat perbedaan pendapat antara mazhab ini dengan mazhab sebelumnya.
Pada pendapat kedua, diterangkan bahwa ashabah anak li'an dan anak yang lahir
karena perbuatan zina adalah mereka yang menjadi ashabah ibunya. Kalau sang ibu
hidup, dia dapat mengambil bagian tetapnya (fardh) dan sisanya diambil oleh ashabah
ibunya.
Sedangkan pendapat yang ketiga ini, menerima mereka yang menjadi ashabah
ibunya sebagai ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina, dengan
syarat ibunya tidak ada atau meninggal. Jika ibu ada, ibulah yang menjadi ashabah-

nya, atau dengan kata lain, sang ibu akan mengambil seluruh harta warisan anak li'an
dan anak yang lahir karena perbuatan zina. Dalil yang dipergunakan oleh para ulama
yang pendapat seperti ini adalah sabda Rasulullah SAW, "Perempuan menguasai tiga
warisan, warisan budak yang dimerdekakannya, barang yang ditemukannya, dan
warisan anak li'an-nya." (HR Abu Daud, Turmudzi, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah)
Kalau ibu mewarisi dari budak yang dimerdekakannya dengan cara ashabah,
ibu pun mewarisi dari anak li'an-nya dengan cara ashabah juga, karena ibu sama
derajatnya dengan ayah dan ibu si anak li'an. Sebagai bukti, Ibnu Abbas pernah
berkata, "Ibu anak li'an adalah ayah dan ibunya."
Dengan demikian, jika seorang anak li'an wafat meninggalkan istri, ibu, dan
saudara perempuan seibu, maka istri mendapatkan 1/4 sebagai bagian tetap, dan ibu
mendapatkan seluruh sisanya, sebagai bagian tetap dan sekaligus sebagai ashabah.
Apabila ibu tidak ada, istri mendapatkan 1/4 sebagai bagian tetap dan saudara
perempuan mendapatkan sisa sebagai ashabah dan bagian tetap.
Jika ia wafat, meninggalkan saudara perempuan seibu dan anak laki-laki dari
saudara perempuan seibu, maka saudara perempuan seibu mendapatkan 1/6 dan anak
laki-laki dari saudara perempuan seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah. Cara
pembagian yang demikian sesuai dengan dua pendapat tersebut.
Setelah kita memaparkan beberapa pendapat ulama fiqih di atas, tampaklah
bagi kita bahwa pendapat ketiga lebih kuat dan dapat diterima, karena memang asal
nasab itu dari ayah. Apabila nasab dari pihak ayah terputus, maka secara otomatis
seluruh nasabnya berpindah ke ibu, sebagaimana asal ketaatan itu untuk orang yang
memerdekakan ayah, kalau ayah budak. Ketaatan dapat kembali berpindah ke ayah
sebagai asal, jika ayah dimerdekakan setelah ketaatan pindah ke ibu.
Mazhab ini merupakan mazhab Abdullah ibnu Mas'ud, Imam Ahmad bin
Hambal dan Ishaq bin Rahawaih. Ibnul Qayyim berkata, “Berdasarkan pendapat di
atas, Al-Qur'an telah menunjukkan dengan isyarat yang sangat indah dan halus.
Allah menjadikan Isa dari anak-cucu Ibrahim lewat perantara Maryam, ibunya.
Maryam pun berasal dari anak cucu Ibrahim. Jika ada yang bertanya, 'Kemudian,
bagaimana dengan riwayat dari Sahl yang menjelaskan bahwa Sunnah yang berlaku
adalah anak yang lahir karena perbuatan zina dan li'an dapat mewarisi dari ibunya
dan ibunya dapat mewarisi darinya sesuai bagian yang telah ditetapkan Allah?' Kita
jawab, 'Kita terima itu karena ketika ibu menjadi ashabah, tidak menggugurkan
bagian yang telah ditetapkan Allah. Sesungguhnya, ibu anak itu seperti ayah, yang
terkadang dapat mewarisi bagian tetap dan terkadang mewarisi bagian ashabah. Ibu
pasti mengambil bagian tetap-nya, dan jika ada sisa, ia dapat mengambilnya dengan
cara ashabah.'”8
1.6 Status Hak Waris Anak Zina dan Li’an dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI)

Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan :
“Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris
dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.”
Dalam Islam, apabila seseorang telah terang ada hubungan darahnya dengan
ibu bapaknya, maka di mewarisi ibu bapaknya dan ibu bapaknya mewarisinya selama
8 Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al Azhar, Op Cit. hlm. 406 - 410

tak ada suatu penghalang pusaka dan selama syarat-syarat pusaka telah cukup
sempurna, dan tak dapat seseorang dipandang mempunyai hubungan darah dengan
ayah saja tanpa dipandang ibu.9
Yang dapat dipandang ada, ialah hubungan darah dengan ibu saja tidak dengan
bapak. Seperti pada anak zina dan anak li’an. Syara’ telah menetapkan bahwa keduadua anak ini dibangsakan kepada ibunya dan tidak diakui hubungan darahnya dengan
si ayah. Oleh karenanya, tidak ada hubungan kekerabatan antara anak itu dengan
ayahnya.
Dalam ‘urf modern dinamakan wa’ad ghairu syar’i (anak yang tidak diakui
agama). Sebagaimana ayahnya dinamakan ayah ghairu syar’i. Oleh karena anak zina,
baik lelaki ataupun perempuan, tidak diakui hubungan darah dengan ayahnya, maka
dia tidak mewarisi ayahnya dan tidak pula seseorang kerabat ayah, sebagaimana
ayahnya tidak mewarisinya. Lantaran tak ada sebab saling mempusakai antara
keduanya, yaitu hubungan darah. Oleh karena anak zina itu diakui hubungan
darahnya dengan ibunya, maka dia mewarisi ibunya, sebagaimana di mewarisi
kerabat-kerabat ibunya, demikian pula sebaliknya. Maka, apabila meninggal seorang
anak yang diakui agama, dengan meninggalkan ayah dan ibunya yang tidak diakui
agama, maka semua harta peninggalannya untuk ibunya dengan jalan fardlu dan
dengan jalan radd.
Dan jikalau dia meninggal dengan meninggalkan seorang ibu, saudara lakilaki seibu dan saudara lelaki dari ayahnya yang tidak diakui agama, maka semua harta
peninggalan adalah untuk ibunya dan saudara seibu dengan jalan fardlu dan radd.
Apabila ibunya meninggal, atau meninggal salah seorang kerabat ibu, maka anak yang
ghairu syar’i itu menerima pusaka dari ibunya dan kerabat-kerabat ibunya. Dalam hal
ini dipegang kaedah-kaedah umum terhadap pusaka. Dan apabila ayah yang bukan
syar’i meninggal atau salah seorang kerabatnya, maka anak yang bukan syar’i tidak
menerima pusaka darinya. Demikian pula terhadap anak li’an, apabila telah sempurna
ucapan berli’an antara suami isteri dihadapan pengadilan, maka hakim pun
menetapkan mereka berpisah dan menghubungkan anak itu kepada ibunya serta
menetapkan, bahwa tidak ada hubungan darah antara anak itu dengan ayahnya.
Hukum anak li’an dalam pusaka sama dengan anak zina, karena itu ia mendapat
pusaka dari ibunya dan dari kerabatkerabat ibunya.

9 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, Penerbit Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997,
hlm. 288 dalam Pasnelyza Karani

II. PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Dari pemaparan singkat di atas, kiranya dapat diambil beberapa kesimpulan,
yakni mengenai anak kandung ketetapan bahwa dia mendapatkan warisan adalah
qath’i baik melalui ayahnya ataupun melalui ibunya. sedangkan anak hasil perbuatan
zina tersebut yang ia dinasabkan langsung kepada ibunya jika si wanita yang
melakukan zina tersebut tidak memiliki suami atau dalam masa ‘iddah, sedangkan
jika wanita tersebut memiliki suami atau dalam masa ‘iddah maka secara otomatis
anak tersebut menjadi nasab dari suami ibunya.
Dapat disimpulkan pula bagaimana hukum pewarisan terhadap anak hasil
perbuatan zina dan li’an.

DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Al Kariem
HaditsWeb Kumpulan dan Refrensi Belajar Hadits (Al Qur'an dan Terjemahannya)
Abdul Majid,Syekh Zainuddin . Thuhfatul Anfananiyah syarah nahdlatu zzainiyah.
Alamsyah, Jabal Mhd. 2011. Sumber Pensyari’atan Al-Mawarits. Brunei Darussalam.
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Mesir. 2011 (cetakan ketiga). Hukum
Waris. H. Addys Aldizar, Lc. dan H. Fathurrahman, Lc., penerjemah. Jakarta :
Senayan Abadi Publishing. Terjemahan dari : Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami
Ali, Zainuddin. 2008. Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Jakarta : Sinar
Grafika.
Ali Al-Shobuni, Muhammad. 2005. Hukum Kewarisan Menurut Al-Qur’an dan
Sunnah. Jakarta : Dar Al-Kutub Al-Islamiyah
Syarifuddin, Amir. 2008. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta : Kencana Prenada Media
Group.
Syarifuddin, Amir. 1999. Permasalahan dalam Pelaksanaan Faraidh. Padang : IAINIB Press.
Manan, Abdul. 2008. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta :
Penerbit Kencana
Ash Shiddieqy, Hasbi Muhammad. 1997. Fiqh Mawarits. Semarang : Pustaka Rizki
Putra.
Karani, Pasnelyza. 2010. Tesis dengan judul “Status Hak Waris Anak Luar Kawin
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)”. Diajukan sebagai syarat untuk

memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Universitas Diponegoro. Semarang :
Undip Press.