Studi Perilaku Menyimpang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Betina Dewasa Semi Liar di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser
Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang membentang di wilayah 10
Kabupaten dan 2 Provinsi tentu memiliki potensi wisata alam yang sangat luar
biasa dan beragam, bahkan juga didukung dengan potensi budayanya yang sangat
khas, perpaduan antara beberapa budaya seperti Karo, Gayo dan Aceh. Beberapa
lokasi yang sudah sangat terkenal di masa lalu hingga saat ini adalah wisata arung
jeram di Sungai Alas dan Gurah (Kabupaten Aceh Tenggara); pendakian puncak
Leuser melalui Kedah di kabupaten Gayo.
Bukit Lawang dengan icon orangutan sudah sangat terkenal sejak 30 tahun
yang lalu.Kawasan ini sempat menjadi kawasan yang tidak terkontrol serta
berubah sebagai pariwisata masal (Mass Tourism) yang dikunjungi lebih dari
21.000 wisatawan setiap tahunnya dan akhirnya hancur akibat banjir bandang
tahun 2003 (Saraan, 2014). Saat ini kondisi Bukit Lawang sudah membaik dan
sebagai kawasan ekowisata, salah satu daya tarik wisatawan untuk datang ke
Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser adalah orangutan Sumatera.

2.2. Orangutan Sumatera (Pongo abelii)
Orangutan merupakan salah satu hewan herbivora karena sebagian besar

makanannya berupa tumbuhan terutama buah-buahan, walau kadang dijumpai
makan rayap, telur atau burung sebagai makanan tambahannya. Orangutan
merupakan satwa diurnal dan arboreal serta merupakan hewan yang termasuk
semi soliter, berbeda dengan grup kera besar lainnya di Afrika yang membentuk
koloni atau grup. Jantan menempati teritori tertentu dan betina dapat menempati
teritori tersebut. Pada saat musim kawin jantan dan betina akan tinggal bersama
selama beberapa hari, setelah itu pejantan akan meninggalkan betina (Prayogo,
2014).
Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di pohon dan
Orangutan dewasa punya ciri-ciri sebagai berikut: tubuh besar dan berat berkisar

Universitas Sumatera Utara

6

antara 50-90 kg, tubuh ditutupi oleh rambut berwarna cokelat kemerahan, tidak
berekor, Orangutan jantan pada pipinya lebih lebar seperti kantung dan ukuran
yang jantan dua kali lebih besar daripada yang betina (dapat dilihat perbedaan
orangutan sumatera jantan dan betina pada Gambar 2.1) (Yuliarta, 2009).
Galdikas (1986), menjelaskan bahwa Orangutan Sumatera (Pongo abelii)

biasanya berwarna lebih pucat dan rambutnya lebih lembut dan lemas.Kadang kadang mempunyai bulu putih pada mukanya.

(a)
(b)
Gambar 2.1 (a) Orangutan Sumatera Jantan, (b) Orangutan Sumatera Betina
2.3. Tingkatan Umur Orangutan
Pertumbuhan orangutan di alam dapat dibedakan dalam beberapa kategori.
Berdasarkan Rodman (1988), perbedaan morfologi dan perilaku orangutan
sumatera (Pongo abelii) berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin adalah sebagai
berikut:
1) Bayi (infant)

Umur antara 0-2,5 tahun dengan berat tubuh berkisar antara 2-6 kg memiliki
warna rambut jauh lebih terang, putih pada sekeliling mata dan bagian mulutnya
terdapat bercak-bercak di seluruh tubuhnya. Bayi orangutan sangat tergantung
pada induknya baik untuk mendapatkan makanan (menyusu) dan pergerakannya
(bayi akan selalu berpegang pada induknya pada saat berpindah dari pohon ke
pohon).

2) Anakan (juvenil)


Umur antara 2,5-5 tahun, memiliki berat tubuh berkisar antara 6-15 kg. Kulit

Universitas Sumatera Utara

7

Wajah lebih gelap dari yang bayi dan bercak-bercak putih semakin kabur.
Biasanya anakan masih berpindah bersama dengan induknya, tetapi tidak
berpegangan lagi dengan induknya. Anakan orangutan masih menggunakan
sarang yang sama dan masih menyusu.

3) Remaja (adolescent)

Umur antara 5-8 tahun dan memiliki berat tubuh antara 15-30 kg. Wajah
orangutan remaja masih lebih terang dari yang benar-benar dewasa dan masih
memiliki rambut yang panjang di sekitar mukanya. Pergerakannya sudah lepas
dari induknya atau dengan individu lain. Orangutan remaja memiliki tingkat sosial
yang tinggi. Betina remaja akan mencari jantan sebagai pasangan selama masa
birahi seksual, jantan remaja sudah mulai berusaha melakukan kopulasi dengan

betina remaja dan akan berpasangan dengan betina yang sangat sosial.
4) Jantan Pra Dewasa (sub adult male)
Umur antara 8-13 tahun atau 15 tahun dan memiliki berat tubuh berkisar antara
30-50 kg. Ukuran tubuh lebih besar dari yang betina tetapi lebih kecil dari jantan
dewasa. Wajah sudah gelap dan terlihat bantalan pipi serta kantong suara mulai
berkembang. Orangutan pra dewasa sudah mulai bersuara mirip dengan “long
call” dan berpasangan dengan betina yang sangat sosial. Pada tahapan ini
orangutan sudah dewasa secara seksual dan akan menghindari perjumpaan
langsung dengan orangutan jantan dewasa.

5) Betina Dewasa (adult female)
Orangutan betina dapat dikatakan dewasa pada umur 8 tahun keatas dan memiliki
berat tubuh berkisar antara 30-50 kg. Wajah sangat gelap dan kadang memiliki
janggut. Pada masa estrus akan selalu berpasangan dengan jantan. Orangutan
betina dewasa kadang bergerak bersama betina lain. Biasanya telah beranak dan
selalu diikuti anaknya. Wich et al. (2004) menambahkan setiap induk orangutan
paling banyak biasanya melahirkan semasa hidupnya sebanyak 4 anak.

6) Jantan Dewasa (adult male)
Orangutan jantan dikatakan dewasa pada umur 13 atau 15 tahun keatas dan


Universitas Sumatera Utara

8

memiliki berat tubuh antara 50-90 kg. Ukuran tubuhnya sangat besar, memiliki
bantalan pipi, kantung suara, berjanggut, dan memiliki rambut yang panjang serta
lebat.

2.4. Habitat Orangutan
Habitat merupakan keseluruhan resources (sumber daya), baik biotik maupun
fisik pada suatu area yang digunakan/dimanfaatkan oleh suatu spesies
satwa liar untuk melakukan survival dan melakukan reproduksi. Habitat dapat
menghubungkan kehadiran spesies, populasi atau individu (satwa atau tumbuhan)
dengan sebuah kawasan fisik dan karakteristik biologi. Kerusakan hutan yang
mencapai 56,6 juta hektar dengan laju 1,8-2,8 juta hektar per tahun, baik yang
diakibatkan oleh faktor manusia maupun alam yang telah mengakibatkan
habitat berbagai jenis satwa terutama satwa liar berkurang dan terfragmentasi,
seperti habitat orangutan sumatera (Pongo abelii) (Kuswanda, 2012).
Menurut Rijksen (1978), Orangutan hidup dan tersebar pada hutan-hutan

primer dataran rendah sampai hutan dataran tinggi atau pegunungan yang banyak
ditumbuhi tanaman dari famili Dipterocarpaceae. MacKinnon (1974) menyatakan
bahwa, orangutan merupakan satwa yang arboreal, yakni hewan yang segala
aktivitasnya dilakukan di atas pohon.

2.5. Populasi Orangutan
Populasi Orangutan di habitatnya saat ini mengalami penurunan drastis,
diperkirakan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir populasi tersebut telah
menyusut 30- 50%. Penurunan populasi itu karena habitatnya telah rusak oleh
penebangan liar, kebakaran hutan dan tingginya perburuan liar. Untuk menjaga
kelestariannya tetap berjalan secara berkesinambungan, maka diperlukan upaya
konservasi satwa dengan langkah-langkah yang benar. Upaya pelaksanaan
konservasi satwa meliputi juga unsur lingkungan atau ekosistem satwanya.
Ekosistem ini memiliki fungsi yang sangat penting sebagai unsur pembentuk
lingkungan satwa yang kehadirannya tidak dapat diganti, harus disesuaikan
dengan batas-batas daya dukung alam untuk terjaminnya keserasian, keselarasan
dan keseimbangan ekosistem satwa sendiri (Mawarda, 2010).

Universitas Sumatera Utara


9

Menurut Wich dkk (2008), populasi orangutan padasaat ini mengalami
penurunan yang signifikan. Perkiraan jumlah individu orangutan Sumatera sekitar
12.770 individu pada tahun 1997 dan pada tahun 2004 jumlah ini menurun
menjadi sekitar 7.500 individu. Perkiraan terakhir pada tahun 2008 jumlah
populasi sekitar 6.600 individu.
Penurunan jumlah populasi orangutan yang secara terus-menerus dan sangat
besar ini menyebabkan orangutan dimasukkan kedalam satwa yang dilindungi,
bahkan sejak tahun 2000 IUCN Red List of Threatened Species telah memasukkan
orangutan Kalimantan ke dalam kelompok satwa Endangered dan orangutan
Sumatera ke dalam kategori Criticaly Endangered (Prayogo, 2014).
Estimasi populasi orangutan yang dilakukan menemukan bahwa populasi
orangutan di Pulau Sumatera hanya terdapat sekitar 9.200 ekor sedangkan di
Pulau Kalimantan hanya terdapat sekitar 10.000-15.000 ekor. Penurunan populasi
orangutan tersebut terjadi karena hutan yang menjadi habitatnya telah rusak dan
hilang oleh penebangan liar, konversi lahan dan kebakaran.Selain itu penurunan
populasi tersebut juga disebabkan oleh tingginya perburuan orangutan serta
maraknya perdagangan orangutan sebagai satwa peliharaan (Kuncoro, 2004).
Pengurangan jumlah populasi ini disebabkan banyaknya konversi habitat

dalam skala besar dari hutan menjadi perkebunan monokultur, illegal logging,
pemukiman, pembukaan lahan untuk ladang, perburuan untuk dikonsumsi ataupun
untuk diperjual belikan sebagai hewan peliharaan. Faktor-faktor tersebutlah yang
menjadi faktor eksternal dan berpengaruh langsung terhadap keberlangsungan
hidup orangutan. Selain faktor eksternal diketahui juga adanya faktor internal
yang berpengaruh yaitu ukuran tubuhnya yang relatif besar dan geraknya yang
cukup lambat dibandingkan dengan kera lainnya sehingga mudah untuk diburu,
panjangnya interval kelahiran antara satu anak dengan anak yang lain sekitar 6-8
tahun (Prayogo, 2014).

2.6 Penyebaran Orangutan
Orangutan merupakan satu-satunya primata kera besar (great apes) yang hidup di
benua Asia, sedangkan tiga kerabat lainnya gorila, simpanse, dan bonobo hidup di
benua Afrika. Sampai akhir masa Pleistocen, orangutan masih menyebar pada

Universitas Sumatera Utara

10

kawasan yang meliputi China bagian selatan hingga Pulau Jawa, namun saat ini

hanya ditemukan di Pulau Sumatera dan Borneo. Hasil lokakarya IUCN-Primate
Spesialist Group membagi orangutan menjadi dua spesies, yaitu orangutan
Sumatera (Pongo abelii) yang menempati daerah sebarang yang sempit di sebelah
utara bagian utara dan selatan Danau Toba di Pulau Sumatera dan orangutan
Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang terdapat di pulau Kalimantan dan di
beberapa tempat yang merupakan kantong-kantong habitat hutan Sabah dan
Serawak. Sekarang orangutan Sumatera di dunia hanya ditemukan di Pulau
Sumatera, khususnya di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Onrizal, 2011).
Penyebab utama mengapa terjadi penyempitan daerah sebaran adalah
karena manusia dan orangutan menyukai tempat hidup yang sama, terutama
dataran alluvial yang ada di sekitar daerah aliran sungai dan hutan rawa gambut.
Pemanfaatan lahan tersebut untuk aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya manusia
dan umumnya berakibat fatal bagi orangutan (Departemen Kehutanan, 2007).
Pada saat terjadi peningkatan permukaan air laut, daratan yang tadinya
menyatu menjadi terpisah-pisah menjadi pulau. Pemisahan ini menjadi barrier
yang membatasi pergerakan orangutan. Saat ini sebarannya terbatas hanya di
Kalimantan dan Sumatera. Secara morphology terjadi perbedaan yang cukup
signifikan

antara


orangutan

Kalimantan

dan

Sumatera,

selain

itu

pemanfaatan teknologi biologi molekuler juga telah dapat mengungkapkan adanya
perbedaan yang nyata antara kedua jenis ini, sehingga kedua orangutan kemudian
dijadikan sebagai jenis yang berbeda yaitu Pongo pygmaeus untuk orangutan
Kalimantan dan P. abelii untuk orangutan Sumatera (Prayogo, 2014).

2.7 Aktivitas Umum Orangutan
Pola perilaku orangutan Kalimantan dan Sumatera hampir seluruhnya identik

walaupun ada perbedaan kemampuan sosialnya. Beberapa peneliti menyebutkan
bahwa orangutan Sumatera lebih arboreal dibandingkan dengan orangutan
Kalimantan. Hal ini terjadi karena di Sumatera ada predator alami orangutan di
daratan yaitu harimau, sedangkan di Kalimantan tidak ada predator seperti
harimau. Predator alami lainnya yang dijumpai di kedua pulau adalah ular phyton
(Prayogo, 2014).

Universitas Sumatera Utara

11

Selain aktivitas membuat sarang dalam Rahman (2008), menyatakan bahwa
aktivitas harian orangutan yang utama dipenuhi oleh kegiatan makan. Selanjutnya
aktivitas istirahat, bermain-main, berjalan-jalan diantara pepohonan dan membuat
sarang merupakan kegiatan yang dilakukan dalam persentase waktu yang relatif
sedikit. Menurut Rijksen (1978), besarnya aktivitas makan dibanding dengan
aktivitas harian lainnya dikarenakan penting dalam menggantikan energi yang
hilang.
Menurut Rangkuti (2012), Pengamatan secara langsung terhadap individu
orangutan dan beragam aktivitasnya menjadi faktor utama dalam berjalannya
penelitian ini. Pengamatan untuk mengetahui pola aktivitas orangutan dilakukan
mulai orangutan mulai bangun tidur/aktif pada pagi hari mulai pengamatan
sampai dengan membuat sarang akhir untuk tidur pada sore/malam hari.
Orangutan umumnya bersifat arboreal, frugivora dan soliter. Hal ini
didukung oleh Kuncoro (2004) yang mengatakan pergerakan dan perilaku istirahat
orangutan biasanya selalu dilakukan diatas pohon (arbioreal) dan konsumsi buah
dari pohon sebagai makanan utamanya, sedangkan sosial orangutan liar biasanya
tidak terjadi selain saat akan melakukan perkawinan (Jantan dan betina) dan saat
memiliki anak sosial akan dilakukan hanya dengan anaknya. Secara hakekatnya,
orangutan takut dengan keberadaan manusia dan akan pergi jika mengetahui
adanya manusia ataupun predator disekitarnya.
Aktivitas orangutan yang dilakukan dalam perilaku harian seharusnya
tidak menyimpang agar tidak membahayakan kelangsungan hidup orangutan
nantinya, karena perilaku yang dilakukan oleh induk orangutan sangat berdampak
besar bagi kebiasaan anaknya. Semakin sering orangutan melakukan perilaku
yang tidak umum maka akan semakin buruk dumpaknya bagi orangutan tersebut.
Dalam perilaku umumnya menurut Yuliarta (2009) terdapat perilaku
menyimpang dari kategori perilaku bergerak, makan, istirahat dan sosial
orangutan Sumatera yang ada di kawasan ekowisata Bukit Lawang, Taman
Nasional Gunung Leuser. Hal inilah yang harus di perbaiki dan di lakukan
antisipasi agar tidak terjadi kepada seluruh orangutan yang ada di kawasan Bukit
Lawang, sebab jika dibiarkan hal ini akan menjadi penyebab semakin agresifnya
orangutan dan dapat membahayakan.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Perilaku Sosial Induk-Anak Orangutan (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser

0 33 87

Perilaku Harian Anak Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Akibat Adanya Aktivitas Manusia Di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser

4 48 80

Pola Makan Induk Orangutan (Pongo abelii) Di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Desa Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara

0 19 60

Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara

0 37 81

Studi Perilaku Menyimpang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Betina Dewasa Semi Liar di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara

2 11 68

Studi Perilaku Menyimpang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Betina Dewasa Semi Liar di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara

0 0 13

Studi Perilaku Menyimpang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Betina Dewasa Semi Liar di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara

0 0 2

Studi Perilaku Menyimpang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Betina Dewasa Semi Liar di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara

0 0 4

Studi Perilaku Menyimpang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Betina Dewasa Semi Liar di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara

0 2 4

Studi Perilaku Menyimpang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Betina Dewasa Semi Liar di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara

0 0 13