BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Depresi 1. Pengertian - Terapi Murattal Untuk Menurunkan Depresi - UMBY repository

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Depresi 1. Pengertian Depresi adalah sebuah gangguan kejiwaan yang mempengaruhi fungsi

  fisik, psikologis dan sosial seseorang. Depresi dapat dilihat dengan beberapa kondisi yang ditunjukkan oleh orang tersebut sebagai sebuah kemerosotan perasaan, aktifitas dan sebagainya. Depresi didefenisikan sebagai gangguan mood atau keadaan melankolia (kesedihan) yang berkepanjangan. Keadaan tersebut timbul tanpa alasan yang jelas baik pada tubuh maupun pada pikiran seseorang. Keadaan melankolia (kesedihan) tersebut dimungkinkan sebagai reaksi terhadap suatu kejadian yang menjadi penyebabnya. Rasa sedih tersebut dapat menimbulkan gangguan fungsi fisik dan mental, seperti: kemampuan kerja, nafsu makan dan kemampuan berfikir meskipun sederhana (Shreeve, 1992).

  Harrington (2003) membedakan antara kesedihan dan depresi. Perasaan sedih adalah bagian pengalaman yang normal, sedangkan konsep depresi berbeda dengan kesedihan atau ketidakgembiraan. Ketidakgembiraan adalah komponen yang umum pada suasana perasaan depresif yang berkaitan dengan depresi.

  Suasana depresi pada depresi lebih dipresentasikan oleh gambaran seperti kekosongan emosi atau suatu perasaan datar atau tumpul. Perasaan ini bervarasi dalam tingkat keparahan dan menunjukkan variasi harian misalnya: memburuk pada suatu waktu pada hari itu atau pada waktu yang lain. Gejala lain yang berkaitan dengan suasana perasaan depresi adalah gejala anhedonia yaitu suatu telah disenangi. Hal senada disampaikan oleh Burns (1998) bahwa kesedihan adalah suatu emosi normal yang diciptakan oleh persepsi realistik yang menggambarkan suatu peristiwa negatif yang berhubungan dengan kehilangan atau kekecewaan dan tidak terdistorsi, sedangkan depresi adalah suatu penyakit yang merupakan akibat dari pikiran yang terdistorsi. Kesedihan berhubungan dengan menurunnya harga diri, sedangkan depresi cenderung bertahan atau terjadi berulang kali, dan melibatkan kehilangan harga diri.

  Beberapa ahli memberikan pengertian tentang depresi. Menurut Beck (1985), depresi adalah gangguan perasaan yang mengarah pada kondisi perasaan yang merasa begitu tertekan, hidup tak berarti dan tak mempunyai harapan Supratiknya (1995) menyebutkan bahwa depresi merupakan reaksi individu terhadap situasi yang menekan dengan kesedihan dan kepatahan hati yang luar biasa. Orang-orang yang terkena gangguan ini akan mengalami perubahan mood yang amat drastis dari hari kehari, minggu ke minggu. Sedangkan Hadi (2004) menjelaskan bahwa depresi adalah suatu pengalaman yang menyakitkan atau suatu perasaan tidak ada harapan lagi dan keputusasaan. Staab & Fieldman (1999) menyatakan bahwa depresi adalah suatu gangguan yang menyebabkan terjadinya perubahan perasaan dan emosi yang dimiliki oleh penderita. Penderita mengalami suasana perasaan yang “jatuh” dari waktu ke waktu dalam kehidupan mereka.

  Maramis (2005) mengatakan, depresi adalah suatu perasaan sedih yang sangat mendalam yang terjadi setelah mengalami suatu peristiwa dramatis atau menyedihkan, misalnya kehilangan seseorang yang disayangi, pekerjaan, harta dan sebagainya.

  Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa depresi adalah gangguan psikologis yang dapat dilihat dengan kondisi yang ditunjukkan oleh orang tersebut sebagai sebuah kemerosotan perasaan atau perubahan mood yang amat drastis dan mendalam yang dialami oleh individu dari reaksi situasi yang dirasa menekan dan menyakitkan, sehingga individu mengalami perubahan berupa kesedihan, kepatahan hati yang luar biasa serta merasa hidup tak berarti dan tak mempunyai harapan dari hari kehari hingga minggu ke minggu.

  Acuan definisi depresi dalam penelitian menggunakan acuan menurut Beck yaitu, depresi adalah gangguan perasaan yang mengarah pada kondisi perasaan yang merasa begitu tertekan, hidup tak berarti dan tak mempunyai harapan.

2. Simtom-simtom Depresi

  Menurut Beck (1985), gangguan depresi tidak hanya meliputi gangguan afektif (emosional) saja, tetapi juga meliputi aspek kognitif, motivasional, perilaku dan vegetatif dan juga fisik. Beck mengklasifikasikan simtom-simtom depresi dalam beberapa kelompok yaitu: a.

  Simtom emosional.

  Pada simtom emosional perubahan pada perasaan, manifestasinya berupa kesedihan, berkurang bahkan hilangnya kesenangan dan respon terhadap kegembiraan, apatis, berkurang bahkan hilangnya perasaan cinta terhadap orang lain dan kecemasan.

  b.

  Simtom Kognitif.

  Simtom kognitif mengandung tiga bagian yang berbeda. Bagian pertama sikap penderita yang menyimpang terhadap diri sendiri, pengalaman atau lingkungan dan masa depannya. Simtom ini termasuk menilai jelek diri sendiri, distorsi citra tubuh dan harapan negatif. Bagian kedua adalah penimpaan kesalahan kepada diri sendiri. Penderita meyakini bahwa dirinya adalah sumber berbagai permasalahan. Bagian ketiga ditandai dengan ketidakmampuan seorang individu dalam mengambil sebuah keputusan.

  c.

  Simtom Motivasional Simtom motivasional diartikan dengan tidak adanya keinginan untuk melakukan berbagai aktivitas seperti makan dan minum obat, timbulnya hasrat untuk mati dan meningkatnya ketergantungan pada orang lain. Pada orang depresi terlihat adanya penurunan atau hilangnya motivasi untuk melakukan berbagai aktivitas dari biasanya.

  d.

  Simtom Perilaku.

  Simtom perilaku menunjukkan pengunduran diri dari hubungan sosial dan keinginan untuk lari, bersembunyi atau mati. Pada simtom perilaku, aktifitas individu tidak seperti biasanya dalam bentuk retardasi atau agitasi.

  e.

  Simtom Vegetatif Simtom vegetatif menunjukkan perubahan vegetatif seperti gangguan makan, tidur dan dorongan libido. Pada simtom vegetatif, biasanya individu menunjukkan simtom seperti kehilangan nafsu makan dan insomnia.

  Menurut Departemen Kesehatan RI . (dalam PPDGJ III, 1993) membagi depresi dalam dua bentuk gejala utama dan gejala lainnya dengan ciri-ciri sebagai berikut: a.

  Gejala utama meliputi: 1) Perasaan depresif atau perasaan tertekan. 2) Kehilangan minat dan semangat. 3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah.

  b.

  Gejala lain meliputi: 1) Konsentrasi dan perhatian berkurang. 2) Perasaan bersalah dan tidak berguna. 3) Tidur terganggu. 4) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang. 5) Perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri. 6) Pesimistik. 7) Nafsu makan berkurang. 8)

  Untuk episode depresif dari ketiga tingkatan keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala berat dan berlangsung cepat. Menurut American Psychiatric Association dalam DSM-IV (2000), gangguan depresi ditandai dengan adanya empat atau lebih simtom berikut yang berlangsung dalam jangka waktu paling sedikit 2 minggu yaitu: a.

  Kesedihan, suasana hati depresi yang terjadi hari atau hampir tiap hari. c.

  Hilangnya nafsu makan dan berat badan menurun secara signifikan atau meningkatnya nafsu makan dan bertambahnya berat badan secara signifikan.

  d.

  Sulit tidur, tidak dapat tidur setelah bangun atau bahkan ada kecenderungan ingin tidur terus sepanjang waktu.

  e.

  Perubahan tingkat aktivitas, cenderung menjadi lethargic, hambatan psikomotor atau adanya agitasi.

  f.

  Hilangnya energi dan sering merasa lelah.

  g.

  Konsep terhadap dirinya negatif, ada kecenderungan untuk menyalahkan dirinya sendiri (self blame), merasa tidak berharga.

  h.

  Tidak mampu berkonsentrasi, berfikir dan membuat keputusan. i.

  Sering muncul pikiran untuk mati atau muncul ide bunuh diri atau mencoba melakukan bunuh diri.

  Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang mengalami depresi mengalami perubahan pada simtom emosional, kognitif, motivasional, simtom perilaku dan simtom vegetatif yang ditandai dengan kesedihan yang mendalam, hilangnya respon terhadap kegembiraan, munculnya pemikiran tentang perasaan bersalah dan tidak berguna, tidak adanya keinginan untuk melakukan berbagai aktivitas dan timbulnya keinginan mati atau ide bunuh diri serta meningkatnya ketergantungan pada orang lain.

  Pada penelitian ini, mengacu pada simtom depresi menurut Beck yaitu, (1) simtom emosional, seperti perubahan suasana hati yang spesifik berupa seperti pandangan negatif terhadap diri sendiri, pengalaman dan masa depannya (3) simtom motivasional, seperti tidak adanya keinginan untuk melakukan berbagai aktivitas, (4) simtom perilaku, seperti penurunan aktivitas dan minat, (5) simtom vegetatif, seperti kehilangan nafsu makan dan insomnia.

3. Jenis Depresi.

  Menurut Departemen Kesehatan RI . (dalam PPDGJ III, 1993), depresi digolongkan ke dalam tiga tingkatan depresi, yaitu depresi berat, sedang dan ringan sesuai dengan banyak dan beratnya gejala serta dampaknya terhadap fungsi kehidupan seseorang. Gejala tersebut terdiri atas gejala utama dan gejala lainnya, yaitu: a.

  Gejala utama. 1) Suasana perasaan yang tertekan sepanjang hari. 2)

  Kehilangan minat dan gairah pada hampir segala aktifitas, yang dirasakan sepanjang hari.

  3) Mudah lelah dan menurunkan aktifitas.

  b.

  Gejala tambahan. 1) Konsentrasi dan perhatian berkurang. 2) Harga diri dan rasa percaya diri berkurang. 3) Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak bergung. 4) Pandangan masa depan suram yang suram dan pesimistik. 5) Insomnia dan hipersomnia. 6) Nafsu makan berkurang.

  Adapun tingkatan depresi yang digolongkan menurut PPDGJ-III ( World

  Health Organization dan Departemen Kesehatan RI

  , 1993) tersebut yaitu: a. Depresi ringan. 1)

  Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi ditambah 2 dari gejala lainnya.

  2) Tidak boleh ada gejala berat diantaranya. 3) Lama periode depresi sekurang-kurangnya selama dua minggu. 4)

  Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang umum dilakukan.

  b.

  Depresi sedang. 1)

  Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada episode depresi ringan ditambah 3 atau 4 dari gejala lainnya.

  2) Lama episode depresi minimum 2 minggu serta menghadaapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga.

  c.

  Depresi berat, dibagi menjadi 2 jenis, yaitu: 1)

  Depresi berat tanpa gejala psikotik, ciri-cirinya: (a) Semua 3 gejala utama harus ada; (b) ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya harus berintensitas berat; (c) bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau mampu untuk melaporkan banyak gejala secara rinci; (d) lama episode sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi apabila gejala sangat berat dan onset sangat cepat maka dibenarkan untuk menegakkan diagnosa dalam meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

  2) Depresi berat dengan gejala psikotik, ciri-cirinya: (a) episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut depresi berat tanpa gejala psikotik; (b) disertai waham, halusinasi atau stupor depresif, waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotorik yang berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan efek (mood congruent)

  Beck (1985) mengklasifikasikan depresi berdasarkan skala depresi yang dibuat oleh Beck pada tahun 1960-an yang didasarkan pada teori depresi dari Beck. Skala BDI (The Beck Depression Inventory), terdiri dari 21 kelompok aitem yang menggambarkan 21 kategori sikap dan gejala depresi, yaitu : sedih, pesimis, merasa gagal, merasa tidak puas, merasa bersalah, merasa dihukum, perasaan benci pada diri sendiri, menyalahkan diri sendiri, kecenderungan bunuh diri, menangis, mudah tersinggung, manarik diri dari hubungan social, tidak mampu mengambil keputusan, merasa dirinya tidak menarik secara fisik, tidak mampu melaksanakan aktivitas, gangguan tidur, merasa lelah, kehilangan selera makan, penurunan berat badan, preokupasi somatic dan kehilangan libido sex (dalam Lestari, 2003). Tingkat depresi berdasarkan skala BDI yang dibuat oleh Beck

  Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jenis depresi dibagi dalam tiga tingkatan yaitu depresi ringan, depresi sedang dan depresi berat dan lama episode sekurang-kurangnya dua minggu. Tingkatan tersebut memiliki gejala-gejala tertentu yang harus dipenuhi oleh setiap tingkatan. Pada depresi ringan gejalanya tidak terlalu banyak, dimana seseorang masih mampu menghadapi kesulitan dan melakukan berbagai aktivitas. Pada depresi sedang, seseorang terlihat menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga. Pada depresi berat dapat diikuti oleh adanya waham dan halusinasi yang dimunculkan oleh individu itu sendiri.

  Pada penelitian ini, penulis memilih subjek penelitian yang mengalami gangguan depresi tingkat sedang berdasarkan teori dan skala depresi yang dibuat oleh Beck dan mengacu pada kriteria depresi sedang berdasarkan ketentuan depresi sedang menurut PPDGJ III.

4. Faktor Penyebab Depresi.

  Menurut pendapat beberapa ahli dan kelimuan, mereka memiliki pandangan tersendiri tentang penyebab gangguan depresi yaitu sebagai berikut: a.

  Pandangan Biologis Berdasarkan teori biologi ada dua penyebab yang mempengaruhi terjadinya gangguan depresi, yaitu perubahan pada faktor neurokimia dan faktor genetik (Davison, 2000).

1) Faktor neurokimia pada otak akibat stressor.

  Menurut Taylor (dalam Anggraieni, 2014), secara klinis stres Sistem saraf simpatis menstimulasi kelenjer adrenalin untuk mengeluarkan hormon stres yaitu epinephrine, norepinefrin dan kortisol. Menurut pandangan neurofisiologi dalam (Davison, 2000) orang yang mengalami depresi berawal dari ketidakseimbangan zat kimia pada otak. Depresi terjadi akibat stres yang dapat memicu peningkatan produksi hormon stress yaitu kortisol. Hormon stres kortisol ini dapat merusak dan membuat

  hippocampus menjadi lebih kecil dengan cara menghambat pembentukan

  sel saraf dan jaringan saraf baru. Hippocampus yang lebih kecil memiliki reseptor serotonin lebih sedikit. Serotonin adalah zat kimia otak yang menenangkan atau dopamin. Dopamin adalah sebuah neurotransmiter yang membantu mengontrol pusat kepuasan dan kesenangan di otak. Dopamin juga membantu mengatur tindakan dan komunikasi antara saraf di otak dengan tubuh yang mendorong untuk beraktivitas.

  Silverthorne (2001) mengatakan bahwa hormon stres kortisol diproduksi secara berlebihan pada orang depresi. Peneliti tersebut percaya bahwa kortisol memiliki efek toksik atau beracun bagi hippocampus. Apabila hippocampus ini mengecil dan rusak maka otak memiliki reseptor serotonin atau dopamin lebih sedikit. Namun ada juga beberapa ahli berteori bahwa penderita depresi terlahir dengan hippocampus yang lebih kecil dan karena itu cenderung untuk menderita depresi.

2) Faktor Genetik.

  Data genetik yang menyatakan bahwa faktor yang signifikan dalam perkembangan gangguan mood adalah genetik. Pada penelitian anak kembar terhadap gangguan depresi berat, pada anak kembar monozigot adalah 50 %, sedangkan dizigot 10-25 persen.

  b.

  Pandangan Kognitif.

  Salah satu teori psikologi yang menganggap proses-proses berpikir sebagai faktor penyebab depresi adalah Aaron T Beck. Dasar teori ini adalah adanya ide bahwa pengalaman yang sama dapat mempengaruhi dua orang dengan cara yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh cara pandang seseorang terhadap suatu peristiwa (Beck, 1985). Beck mengatakan bahwa depresi dapat digambarkan sebagai cognitive triad tentang pikiran negatif terhadap diri sendiri, terhadap lingkungan dan terhadap masa depan. Seorang yang mengalami depresi akan membuat interpretasi yang salah terhadap kenyataan yang ada dengan cara yang negatif, yaitu memfokuskan pada aspek negatif terhadap setiap situasi, harapan yang pesimistis dan putus asa tentang masa depan. Seseorang yang mengalami depresi akan mengkaitkan kemalangannya dengan kekurangan diri dan rasa rendah diri, hal ini yang menyebabkan konsep diri yang positif tertutupi (Beck, 1985).

  Kecenderungan untuk memperbesar-besarkan pentingnya kegagalan kecil adalah suatu contoh dari suatu kesalahan dalam berpikir yang disebut Beck sebagai distorsi kognitif (Beck, 1985). Beck percaya bahwa distorsi kognitif membentuk tahapan-tahapan untuk depresi disaat mengahadapi kehilangan personal atau peristiwa hidup yang negatif. Adapun segitiga kognitif depresi menurut Beck adalah sebagai berikut:

  1) Pandangan negatif tentang diri sendiri, yaitu memandang diri sendiri sebagai individu yang tidak berharga, penuh kekurangan, tidak dapat dicintai dan kurang memiliki keterampilan untuk mencapai kebahagiaan.

  2) Pandangan negatif tentang lingkungan, yaitu memandang lingkungan sebagai memaksakan tuntutan yang berlebihan atau memberikan hambatan yang tidak mungkin diatasi, yang terus menerus menyebabkan kegagalan dan kehilangan.

  3) Pandangan negatif tentang masa depan, yaitu memandang masa depan sebagai tidak ada harapan dan meyakini bahwa dirinya tidak punya kekuatan untuk mengubah hal-hal menjadi lebih baik. Harapan orang ini terhadap masadepan hanyalah kegagalan dan kesedihan yang berlanjut serta kesulitan yang tidak pernah usai.

  Menurut Beck (1985), individu yang mempunyai kecenderungan depresi menunjukkan depressogenic schemata, depessogenic schemata ini bersifat laten, dan bila diaktifkan dengan adanya kejadian yang menekankan akan mengarah pada penyimpangan pola pikir, yang gilirannya akan menimbulkan simtom depresi. Pada penderita depresi informasi atau stimulus yang masuk diproses dengan cara yang menyimpang, mereka cenderung menyesuaikan dengan negative self schematanya Beberapa kejadian yang menekan atau stres dapat menghidupkan kembali keyakinan akan kehilangan yang pernah dialaminya dimasa lampau.

  Kesimpulan dari pandangan Beck adalah bahwa depresi merupakan rangkaian stimulus-kognisi-respon yang saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan stimulus-kognitif-respon dalam otak manusia. Proses kognitif akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berfikir, merasa, dan bertindak. Manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan irasional. Pemikiran yang irasional inilah yang dapat menimbulkan gangguan psikologis. Pada gangguan depresi, faktor kognitif memegang peranan yang menentukan, kognitif berperan sebagai perantara kejadian yang dialami dengan simtom-simtom depresi. Pada kognitif penderita depresi terdapat pikiran negatif terhadap dirinya sendiri, lingkungan dan masa depan sehingga hal ini dapat mempengaruhi faktor afeksi, behavior dan fisik.

  c.

  Pandangan Spiritual.

  Terdapat berbagai macam perspektif agama dalam memandang depresi dan gangguan mental pada umumnya. Menurut Larson (dalam, Hawari 2002), dalam menganalisa seorang pasien juga harus dilihat dari sisi agamanya, sebab agama dapat berperan sebagai pelindung dari pada penyebab masalah yang dihadapi manusia. Faktor penyebab depresi adalah karena krisis spritual yang dialami oleh individu. Larson berkesimpulan bahwa komitmen agama bermanfaat bagi uapaya pencegahan depresi dan dapat bertindak sebagai kekuatan pelindung dan penyangga seseorang dari resiko menderita depresi.

  Semakin tinggi motivasi spiritual seseorang maka semakin baik jiwanya, namun semakin rendah motivasi spiritual seseorang maka akan semakin rentan pula seseorang untuk mengalami depresi.

  Najati (2005) menyatakan depresi disebabkan karena proses belajar yang keliru, yakni individu mempersepsikan diri dan lingkungannya secara negatif, serta mengkondisikan kenyataan (situasi yang menekan) yang dihadapinya dengan persepsi negatif tersebut. Sementara Propst (dalam Zulkarnain, 2006) menyatakan bahwa depresi biasanya terjadi pada orang- orang yang tidak memiliki keyakinan yang kuat terhadap Tuhannya.

  Ketidaksesuaian antara yang diucapkan dan yang dilakukan dalam agama juga dapat menyebabkan kegelisahan dan bentuk depresi yang samar (Clark, 1967).

  Fenomena kegelisahan atau depresi yang samar ini dikatakan Clark sebagai tahap awal dan prasyarat menuju perkembangan spiritual yang mencakup perubahan dalam ide dan perilaku keberagamaan. Hal ini memunculkan asumsi bahwa penderitaan yang dialami seseorang dapat digunakan sebagai sumber daya untuk meningkatkan keyakinan pada Tuhan. Pada akhirnya, keyakinan tersebut akan membantu individu itu sendiri dalam mengatasi situasi yang menekan. Individu dengan keyakinan agama yang kuat lebih memiliki kepuasan hidup, kebahagiaan personal yang lebih besar dan terkena dampak yang lebih kecil dari kejadian traumatik dibandingkan dengan orang-orang yang tidak mau terlibat dengan agama (Taylor, 1995).

  d.

  Pandangan Psikoanalisa.

  Menurut Freud (dalam Davison, 2000), bahwa potensi depresi ditumbuhkan sejak masa anak-anak. Proses pembentukan depresi berawal setelah anak mengalami kehilangan seseorang yang sangat dicintainya karena meninggal, perpisahan, atau penarikan afeksi. Kemudian anak tersebut menggabungkan orang yang hilang, dan mengidentifikasi diri dengannya. Periode ini diikuti periode berduka, dimana ia akan mengingat kenangan dari orang yang hilang dan memisahkan diri darinya dengan orang lain tersebut, yang dianggap meninggalkannya dan melepaskan pula ikatan yang tadinya digabungkan. Periode berduka akan menjadi periode berkelanjutan untuk menyiksa diri, menyalahkan diri, dan berakhir pada kondisi depresi.

  e.

  Pandangan Behavioristik.

  Teori ini berpandangan bahwa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam lingkungannya. Perubahan perilaku sangat dipengaruhi oleh paradigma stimulus respons (S-R). Lingkungan yang dimaksud di sini adalah lingkungan objektif dan afektif manusia (Razak, 2013).

  Teori ini beranggapan bahwa depresi disebabkan oleh keadaan lingkungan sosialnya. Lingkungan sosialnya seakan-akan memaksa individu untuk berbuat diluar batas kemampuannya demi memperoleh tuntutan lingkungannya. Jika tidak berhasil maka akan memperoleh pencitraan negative dan terisolasi dari komunitasnya dan pada akhirnya jiwa menjadi terganggu (Slamet & Markam, 2003).

  Berdasarkan berbagai pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa penyebab depresi dapat dijelaskan melalui berbagai macam pandangan. Secara keseluruhan, depresi dijelaskan karena adanya perubahan pada neurokimia pada otak dan faktor genetik, pengalaman masa lalu, tekanan yang berasal dari lingkungan, kehilangan harga diri, proses berfikir yang melakukan interpretasi yang salah dan menyimpang dari realita dan krisis spiriritual. Jadi dapat disimpulkan bahwa penyebab depresi adalah karena berbagai faktor seperti biologi, kognitif, spiritual, psikososial dan behavior.

  Pada penelitian ini, pandangan depresi yang digunakan sebagai acuan yaitu pandangan Biologi, Kognitif dan Spiritual. Pandangan biologi mengatakan bahwa depresi disebabkan oleh ketidakseimbangan zat kimia pada otak dan genetik. Pandangan kognitif mengatakan depresi terjadi karena distorsi kognitif atau kesalahan berfikir seperti pandangan negatif pada diri sendiri, lingkungan dan masa depan. Pandangan spiritual mengatakan depresi terjadi karena krisis spiritual (tidak memiliki keyakinan yang kuat terhadap Tuhannya).

5. Penanganan Depresi

   Banyak alternatif penanganan depresi yang digunakan untuk menurunkan

  depresi, diantaranya adalah sebagai berikut: a.

  Terapi Psikoreligius.

  Penanganan masalah depresi saat ini telah banyak dikembangkan melalui berbagai penelitian salah satunya berupa pendekatan aspek keagamaan atau yang sering disebut dengan psikoreligius. Terapi ini mulai dikembangkan di negara-negara muslim seperti Indonesia dan Malaysia (Razak, 2013). Menurut Fanada (2012), terapi psikoreligius adalah terapi yang biasanya melalui pendekatan keagamaan yang dianut oleh seseorang dan cenderung untuk menyentuh sisi spiritual manusia. Pendekatan psikoreligius dilakukan untuk membangkitkan kekuatan spiritual yang merupakan faktor psikologis positif dalam psikoterapi. Psikoreligius merupakan psikoterapi yang lebih tinggi dari terkandung unsur religi yang dapat membangkitkan harapan, percaya diri, serta keimanan yang pada gilirannya akan meningkatkan sistem kekebalan tubuh pada orang sakit sehingga mempercepat terjadinya proses penyembuhan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh George, dkk (dalam Smith dkk., 2005) yang menyatakan bahwa aspek keagamaan mengandung elemen harapan dan

  

support sosial yang berkontribusi secara adaptif dalam melewati setiap stressor

dalam kehidupan sehingga permasalahan jarang terjadi dan dapat diatasi.

  Menurut Hawari (2002), pelaksanaan terapi psikoreligius berbentuk berbagai ritual keagamaan yang dalam agama islam seperti melaksanakan shalat, puasa, berdo’a berzikir, membaca shalawat, mengaji (membaca dan mendengar isi kandungan Al Qur’an), siraman rohani dan membaca buku-buku keagamaan yang berkaitan dengan agama. Dari berbagai ritual keagamaan di atas, yang ingin diuraikan oleh penulis adalah terapi sholat, terapi zikir dan t erapi mendengarkan suara Al Qur’an). Adapun jenis terapi psikoreligius tersebut adalah sebagai berikut:

1) Terapi Mendengarkan Al Qur’an.

  Menurut Asman (2008), kesembuhan dengan menggunakan Al Qur’an dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti membaca, berdekatan dan mendengarkannya. Menurut Salim (2012), mendengar lantunan ayat- ayat Al-

  Qur’an dapat menimbulkan efek positif pada tingkat kecemasan, stress ataupun depresi. Mueller (2001) mengatakan Ayat- ayat Al Qur’an yang diperdengarkan kepada seseorang akan membawa efek ketenangan medan gelombang yang akan memengaruhi gelombang otak manusia. Dengan menggunakan alat Electroencephalograph (EEG), terlihat reaksi otak berupa perubahan gelombang otak dari frekuensi beta menjadi frekuensi alfa yang membuat kondisi tubuh dalam keadaan relaks dan peningkatan frekuensi gelombang delta yang akan membuat tingkat relaksasi lebih dalam dan penurunan depresi yang lebih signifikan.

  Selain memiliki keindahan suara dari lantunan pembacaan Al Qur’an, juga terdapat kandungan makna dari setiap ayat yang ada di dalamnya. Menurut Su’dan (1997) banyak sekali ayat-ayat dalam Al Qur’an yang bisa digunakan untuk pengobatan maupun pencegahan terhadap gangguan rohani atau psikologis yang mengandung makna sebagai motivasi, edukasi, melatih kesabaran serta sebagai petunjuk dan merubah kesalahan dalam berfikir. Menurut Pasiak (2012), penggunaan terapi suara Al Qur’an dapat dipakai sekaligus sebagai terapi spiritual, karena suara Al Qur’an dapat meningkatkan kesadaran spiritual seseorang. Dorongan-dorongan kebaikan dan kebenaran dan kesucian yang diterima seseorang saat mendengarkan suara Al Qur’an menyebabkan seseorang sehat secara spiritual kemudian juga secara sosial karena kesehatan spiritual berhubungan dengan keseimbangan jiwa atau kesehatan jiwa, sehingga seseorang dapat terhindar dari gangguan jiwa.

  Adapun bentuk terapi mendengarkan Al Qur’an yang banyak digunakan untuk penangan gangguan stres, kecemasan dan depresi adalah terapi murattal dan terapi mujawwad (tartil). Murattal dan mujawwad merupakan teknik pembacaan Al Qur’an yang menghasilkan irama dan suara tersendiri yang diperdengarkan pada orang yang mengalami gangguan jiwa seperti depresi dan sebagainya.

  Penelitian yang dilakukan oleh Ihsan (2013) tentang efektivitas terapi tambahan suara bacaan Al Qur’an terhadap pasien depresi di RSUP. Sardjito Yogyakarta menyimpulkan bahwa terapi murattal dapat menurunkan depresi, namun penelitian yang dilakukan Ihsan hanya memperdengarkan suara Al Qur’an tanpa pembacaan maknanya. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Priyatni (2017) tentang Perbedaan tingkat depresi sebelum dan setelah diberi terapi murattal (Surat Al Fajar) menyimpulkan bahwa terapi murattal dapat menurunkan tingkat depresi. Kekurangan penelitian yang dilakukan Priyatni adalah hanya menggunakan satu surat saja (Surat Al Fajar) sebagai ayat dalam penggunaan terapi murattal.

  Adapun ayat Al Qur’an yang banyak digunakan dalam terapi murattal adalah surat Ali Imran ayat 139, surat Al Baqarah ayat155, surat Al Ankabut ayat 2, surat Al Baqarah ayat 286, surat Al Baqarah ayat 45, surat Al Insyirah ayat 5 dan surat Ar- ra’d ayat 11.

2) Terapi Sholat.

  Menurut Yosep (2009), terapi sholat adalah terapi psikoreligius dengan pendekatan keagamaan islam berupa do’a dan gerakan yang bertujuan untuk mendekatkan diri pada Allah. Dalam terapi sholat terdapat unsur olah raga, relaksasi, latihan konsentrasi, reduksi stres, dan segala bentuk pencegahan gangguan jiwa dan depresi. Terapi sholat digunakan sebagai pendekatan dan penyerahan diri manusia dengan pencipta, sehingga manusia mendapatkan ketenangan jiwa dari masalah-masalah dunia yang menjadi penyebab terjadinya depresi. Menurut Haryanto (2007), ada beberapa aspek psikologis yang terdapat dalam sholat antara lain, aspek relaksasi, aspek meditasi, aspek auto-sugesti/self-hipnosis dan aspek pengakuan dan penyaluran (katarsis), dimana aspek tersebut sangat berguna sebagai terapi untuk mencegah dan mengobati berbagai gangguan psikologis.

  Menurut Najati (1985), pada saat seseorang sedang shalat (

  khusu’),

  maka seluruh fikirannya terlepas dari segala urusan dunia yang membuat jiwanya gelisah. Setelah menjalankan shalat, ia senantiasa dalam keadaan tenang, sehingga secara bertahap kegelisahan itu akan mereda. Keadaan yang tentram dan jiwa yang tenang yang dihasilkan oleh shalat, mempunyai dampak terapi yang penting dalam meredakan ketegangan syaraf yang timbul akibat berbagai tekanan kehidupan sehari-hari, dan menurunkan kegelisahan yang diderita oleh sebagian orang yang mengalami depresi.

3) Terapi Dzikir.

  Menurut Fanada (2012), terapi zikir adalah terapi yang menggunakan media zikir yang bertujuan untuk mengingat Allah yang bertujuan untuk menenangkan hati dan pikiran manusia. Dengan bacaan do’a dan dzikir orang akan menyerahkan segala permasalahannya kepada Allah, sehingga beban stress dan gangguan psikologis yang dialaminya mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan dalam dzikir mengandung unsur spiritual kerohanian yang dapat membangkitkan harapan (hope), rasa percaya diri (self confidence) pada diri seseorang yang sedang sakit, sehingga mempercepat proses penyembuhan gangguan jiwa yang dialami seseorang.

  b.

  Terapi Relaksasi Musik Terapi musik merupakan salah satu solusi yang digunakan untuk penanganan depresi. Seiring perkembangan zaman, musik dikembangkan bukan lagi untuk sekedar sebagai hiburan atau representasi dari penciptanya. Melainkan digunakan untuk hal yang lebih berguna bagi kehidupan manusia terutama untuk penyembuhan gangguan psikologis seperti depresi. Sebuah studi, yang hasilnya diterbitkan The British Journal of Psychiatry, menerapkan terapi selama tiga bulan terhadap 79 orang. Sebanyak 30 orang dari kelompok diberi terapi musik selama 20 sesi dengan memberikan suara musik. Hasilnya, kesembuhan lebih tinggi pada pasien yang menerima terapi musik ketimbang pasien yang menerima terapi standar. Pada terapi musik, teknik yang digunakan adalah mendengarkan alunan musik pada pasien depresi. Terkadang depresi disebabkan oleh kurangnya hormon serotonin (hormon merasa baik), yang dihasilkan dari asam amino yang disebut tryptophan. Stimulasi daerah tertentu dari otak dengan frekuensi tertentu, dapat kembali mengaktifkan pelepasan serotonin. Dalam waktu singkat, otak akan meniru stimulus suara terapi tersebut dan mengubah kondisi pikiran. Brainwave entrainment pada terapi musik dapat memperkuat jaringan saraf pada otak, melepaskan serotonin dan mengurangi gejala depresi. Dengan sesi berulang, maka jalur syaraf yang c.

  Terapi Keluarga.

  Keluarga sebagai sebuah sistem membutuhkan fokus yang stimulan pada struktur keluarga dan proses interaksi antara komponen-komponen sistem itu dan bagaimana masing-masing bagian dapat mempengaruhi interaksi orang- orang lain dalam sistem tersebut. Nilai penting homeostatis atau keseimbangan juga berlaku dalam sistem keluarga. Bila salah satu komponen sistem keluarga berubah dengan cara tertentu, perubahan itu dapat berdampak pada sub- komponen (orang-orang) yang terdapat dalam sistem itu. Terapi keluarga digunakan untuk membangun keseimbangan dalam sistem keluarga. Proses dalam terapi keluarga yang paling penting dalam penurunan depresi adalah dalam bentuk dukungan dari setiap anggota keluarga sebagai komponen terpenting sehingga nilai homeostatis dalam keluarga tercapai. Dalam hal ini keluarga berperan memberikan dukungan dan support kepada individu untuk membantu memberikan penguatan atas masalah dan tekanan yang dialaminya Titelman (2008).

  d.

  Farmakoterapi.

  Salah satu bentuk penanganan depresi yang banyak digunakan adalah dengan obat-obatan, terutama untuk kasus depresi yang lebih parah. Menurut Davison (2000), obat-obatan merupakan penanganan yang paling umum digunakan untuk gangguan depresi. Obat-obatan digunakan untuk mengatasi gejala-gejala depresi, atau yang dikenal dengan istilah antidepresan. Antidepresan yang paling banyak dipakai di dalam klinis kebanyakan dari golongan Serotonin dan Serotonin-Norepinephrine. Kandungan obat seperti

  Sertraline , Fluoxetine, Escitalopram, Duloxetine dan Venlafaxine adalah

  beberapa yang sering dipakai dan obat ini diberikan sesuai resep dokter serta memerlukan pemantauan dokter secara teratur terutama pada awal pemakaian.

  e.

  Cognitive Therapy.

  Intervensi Cognitive Therapy menggunakan strategi kognitif dalam setiap sesinya. Komponen kognitif berfokus pada mempelajari pada pola pikir negatif, identifikasi pikiran otomatis dan keyakinan yang salah dan merestrukturisasikannya ke pola yang lebih tepat, serta menemukan pikiran alternatif yang dapat mengurangi tingkat depresi (Beck, 1985). Terapis merestrukturisasikan kembali pikiran-pikiran irasional, memberikan pemaparan kepada subjek untuk diterima dan mengedukasikan dengan pemikiran- pemikiran rasional.

  Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa penanganan depresi dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu terapi psikoreligius, terapi

  

relaksasi musik, terapi keluarga, farmakoterapi dan cognitive behavior therapy.

  Terapi psikoreligius adalah penanganan depresi dengan pendekatan keagamaan, diantaranya adalah terapi mendengarkan suara Al Qur’an, terapi sholat dan terapi dzikir. Terapi relaksasi musik digunakan dengan cara mendengarkan alunan musik pada pasien depresi. Terapi keluarga adalah terapi yang menggunakan teknik dukungan dari setiap anggota keluarga terhadap masalah dan gangguan yang dialami pasien depresi. Cognitive behavior therapy adalah penanganan dengan merubah pikiran dan keyakinan yang salah dan merestrukturisasikannya ke pola yang lebih tepat serta menemukan pikiran alternatif yang dapat mengurangi tingkat depresi.

  Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan psikoreligius

untuk penanganan pasien dengan gangguan depresi. Terapi psikoreligius yang

dig unakan adalah terapi mendengarkan suara Al Qur’an. Teknik terapi

mendengarkan suara Al Qur’an yang digunakan adalah dengan memperdengarkan

MP3 murattal d an membacakan Al Qur’an dan terjemahannya secara langsung

pada subjek yang mengalami depresi. Alasan pemilihan penggunaan psikoreligius

dengan metode terapi mendengarkan Al Qur’an dalam penelitian ini diantaranya:

1)

  Banyak ayat di dalam Al Qur’an yang mengatakan Al Qur’an merupakan sebagai obat penyakit yang ada di dalam dada (jiwa), salah satunya dijelaskan oleh Allah S.W.T. dalam surat Yunus ayat 57 yaitu sebagai berikut:

  ِم ْؤُمْلِل ٌةَمْحَرَو ىًدُهَو ِروُدُّصلا يِف اَمِل ٌءاَفِشَو ْمُكِ بَر ْنِم ٌةَظِع ْوَم ْمُكْتَءاَج ْدَق ُساَّنلا اَهُّيَأ اَي َنيِن Artinya: “

  Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang ada di dalam dada (jiwa) dan petunjuk serta rahmat bagi orang- orang yang beriman”.

  2)

Penulis ingin mencoba menggunakan terapi psikoreligius sebagai terapi baru

dalam penangan depresi, dimana Razak (2013) mengatakan bahwa terapi psikoreligius saat ini mulai dikembangkan sebagai terapi alternatif baru untuk

menangani depresi di negara-negara yang mayoritas penduduk beragama islam.

3)

Penulis melihat bahwa dalam terapi psikoreligius (mendengarkan suara Al

  Qur’an) terdapat berbagai keistimewaan jika dibandingkan dengan terapi lainnya, seperti terkandung unsur relaksasi dari lantunan suara Al Quran seperti yang dikatakan oleh Anwar (2010) bahwa mendengarkan Al Qur’an akan memberikan efek ketenangan dalam tubuh dan pikiran manusia.

  4)

Makna ayat Al Qur’an sebagai terapi kognitif dan petunjuk bagi kehidupan

manusia, seperti penelitian yang dilakukan oleh Abdurrochman (2008) menemukan banyak ayat Al Qur’an yang bermakna positif yang berfungsi sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia. 5)

Terapi psikoreligius dapat meningkatkan nilai kegamaan seseorang dan

memperkuat mental seseorang dalam menghadapi masalah-masalah dan tekanan kehidupan, seperti yang dikatakan oleh Hawari (2002).

  6)

Pemilihan terapi dalam penelitian ini juga menyesuaikan dengan keyakinan

subjek penelitian dan kultur masyarakat setempat. Menurut pandangan Indigenous Psychology dalam Kim (2000), pentingnya mempertimbangkan

  pengaruh konteks budaya di dalam proses memahami dan memasuki suatu kehidupan manusia agar bisa diterima dengan baik. Pada budaya masyarakat

  Minangkabau, Al Qur’an merupakan suatu pegangan bagi kehidupan manusia, dimana dikenal dengan falsafah Adat basandi syarak, syarak basandi

  Kitabullah ”.

B. Terapi Murattal 1. Latar Belakang dan Sejarah Terapi Murattal.

  Dalam peradaban Islam, terapi dengan menggunakan suara telah digunakan di zaman Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad menggunakan terapi suara yaitu dengan membacakan Ayat Al Qur’an untuk penyembuhan yang dikenal dengan sebutan Ruqyah. Menurut Munawir (1997), ruqyah adalah metode penyembuhan dengan cara membacakan Ayat Al Qur’an dan do’a pada orang yang sakit akibat dari sengatan hewan, sihir, rasa sakit, gila, kerasukan, gangguan jin dan gangguan kejiwaan. Pengertian ruqyah secara terminologi adalah sebuah perlindungan yang digunakan untuk melindungi orang yang terkena penyakit, seperti panas karena disengat binatang, kesurupan, dan gangguan rohani. Menurut Ghazali (2006), ruqyah adalah doa dan bacaan-bacaan yang mengandung permintaan tolong dan perlindungan kepada Allah S.W.T. untuk mencegah atau mengobati dari bala dan penyakit. Doa dan bacaan yang terdapat dalam ruqyah bersumber dari Pengobatan dan penyembuhan dengan ruqyah kemudian dikembangkan oleh para ilmuan islam sesuai dengan tujuan dan kegunaannya, seperti untuk penyembuhan penyakit fisik, psikologis dan sebagainya.

  Penyembuhan gangguan jiwa telah dikenal dalam dunia Islam, mulai dari zaman Nabi Muhammad, Al Kindi, Al Farabi dan Ibnu Sina dimasa kejayaan peradaban Islam. Terapi dengan suara telah dikembangkan oleh ilmuan Islam, baik itu terapi dengan suara Al Qur’an maupun terapi dengan menggunakan Musik Islami. Namun saat ini peradaban barat kerap mengklaim bahwa Philipe Pinel merupakan orang pertama yang memperkenalkan metode penyembuhan penyakit jiwa dengan menggunakan Sound Therapy pada tahun 1793. Klaim yang dilakukan oleh ilmuan barat sangat tak berdasar, sebab sebelum barat mengenal metode penyembuhan gangguan jiwa, para ilmuan Islam telah menggunakannya pada abad 8 Masehi. Pada abad ke 19 Masehi, para pskiatri dan psikolog muslim mulai meneliti secara ilmiah tentang terapi suara Al-

  Qur’an, sehingga saat ini pengobatan dengan suara Al Qur’an terus dikembangkan oleh ilmuan Islam diseluruh dunia, baik sebagai pengobatan penyakit fisik maupun sebagai terapi psikologis (Terapi Musik, 2009).

  Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan, bahwa terapi suara merupakan salah satu terapi yang berasal dari peradaban Islam dan telah digunakan sejak tahun 500-an Masehi. Terapi dengan menggunakan suara telah digunakan sejak zaman Nabi Muhammad yang dikenal dengan sebutan ruqyah, kemudian dikembangkan pada abad ke 8 Masehi oleh ilmuan islam seperti Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina dan Ilmuan lainnya. Terapi suara lebih dulu dikembangkan dan digunakan di dunia kedokteran Islam pada abad ke 8 Masehi, sedangkan peradaban barat baru menggunakannya pada abad 18 Masehi. Penyembuhan dan pengobatan pasien gangguan jiwa kemudian dikembangkan dalam kedokteran dan ilmuan Islam dimasa Ibnu Sina, Al Farabi, Al Kindi dan ilmuan Islam lainnya dengan menggunakan musik terapi dan terapi suara Al Quran. Hingga saat ini pengobatan dengan suara Al Qur’an terus dikembangkan oleh ilmuan Islam di seluruh dunia.

2. Pengertian Terapi Murattal.

  Terapi murattal merupakan terapi yang menggunakan lantunan suara Al Qur’an dalam penyembuhannya. Terapi yang menggunakan lantunan suara Al Qur’an memiliki sebutan tersendiri bagi para ilmuan dan peneliti muslim.

  Beberapa peneliti menggunakan istilah terapi suara Al Qur’an dengan sebutan terapi murattal pada jurnal penelitiannya, seperti Handayani dkk (2014) dan Eldesa (2014). Akhmad (2013) menyebut terapi dengan menggunakan suara Al Qur’an dengan sebutan Sound Healing, sebutan ini ditulis dalam buku yang berjudul Maryani dan Hartati (2013), menyebut terapi lantunan suara Al Qur’an dengan sebutan Therapy Audio Murattal. Normadina (2015) menyebut terapi yang menggunakan suara Al Qur’an dengan sebutan Sound Therapy

  Qur’anic.Walaupun memiliki sebutan yang berbeda, pada

  esensinya terapi yang digunakan sama-sama menggunakan lantunan suara Al Qur’an. Pada penelitian ini, penulis menggunakan istilah terapi murattal sebagai sebutan untuk terapi yang menggunakan lantunan suara Al Qur’an.

  Menurut Purna (dalam Handayani, 2014), murattal juga dapat diartikan sebagai rekaman suara Al- Qur’an yang dilagukan oleh seorang qori’ (pembaca

  Al- Qur’an). Jenis terapi suara Al Qur’an dibedakan berdasarkan teknik pembacaan Al Qur’an itu sendiri, sebab teknik pembacaan Al Qur’an akan menghasilkan irama dan nada yang berbeda. Menurut Purna (2006), cara membaca Al Qur’an ada dua teknik, yakni dibawakan dengan cara dan mujawwad dan murottal. Mujawwad atau tartil adalah teknik membaca Al Quran yang dilantunkan dengan ritme yang lebih lambat dan suara yang lebih tinggi. Irama yang digunakan dalam mujawwad disempurnakan sehingga pendengar dapat menikmati bacaan qari dengan khidmat. Murattal adalah metode membaca Al- Qur’an secara benar, sesuai dengan kaidah-kaidah tajwid disertai dengan irama dan suara yang baik.