6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Mas (Cyprinus carpio)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ikan Mas (Cyprinus carpio)

  Ikan mas termasuk golongan ikan yang aktif bila dilihat dari sifat makan ikan tersebut, karena ikan mas akan bergerak cepat ke arah pakan dan dengan cepat pula menangkap pakan. Ikan mas lebih agresif lagi bila dalam kepadatan tinggi. Meski agresif, tetapi bila sudah kenyang ikan mas akan masuk ke dalam air (Khairuman, 2008).

2.1.1 Morfologi Ikan Mas (Cyprinus carpio)

  Ikan mas memiliki ciri morfologi dengan bentuk badan memanjang dan memipih tegak (compressed). Mulut terletak di ujung tengah (terminal) dan dapat disembulkan (protaktil), serta memiliki dua pasang sungut di bagian anterior mulut tetapi kadang-kadang satu pasang sungut tidak berfungsi. Selain itu di dalam mulut terdapat gigi kerongkongan (pharyngeal teeth) yang terdiri dari tiga baris gigi geraham. Ikan mas memiliki sirip punggung (dorsal), sirip perut (ventral), sirip dubur (anal), dan sirip ekor. Sirip punggung berbentuk memanjang terletak di bagian atas permukaan tubuh dan berseberangan dengan permukaan sirip perut bagian belakang sirip punggung. Pada bagian belakang sirip punggung memiliki jari-jari keras, sedangkan pada bagian akhir berbentuk gerigi. Sirip dubur ikan mas pada bagian belakang juga memiliki jari-jari keras, sedangkan pada bagian akhir berbentuk gerigi seperti sirip punggung. Sirip ekor berbentuk cagak dan berukuran cukup besar dengan tipe sisik berbentuk lingkaran yang terletak beraturan. Hampir seluruh bagian tubuh ikan mas ditutupi oleh sisik,

  6 kecuali beberapa varietas yang memiliki sedikit sisik. Sisik ikan mas berukuran relative besar dan digolongkan ke dalam sisik tipe lingkaran (sikloid). Gurat sisi atau garis rusuk (linea lateralis) ikan mas berada di pertengahan tubuh dengan posisi melintang dari tutup insang sampai keujung belakang pangkal ekor (Khairuman, 2008).

2.1.2 Klasifikasi Ikan Mas (Cyprinus carpio)

  Menurut Khairuman (2008) klasifikasi ikan mas air tawar sebagai berikut: Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Super Kelas : Pisces Kelas : Osteichthyes Sub Kelas : Actinopterygii Ordo : Cypriniformes Sub Ordo : Cyprinoidea Famili : Cyprinidae Sub Famili : Cyprininae Genus : Cyprinus Spesies : Cyprinus carpio L.

2.1.3 Habitat Ikan Mas (Cyprinus carpio)

  Ikan mas merupakan ikan yang berasal dari daratan Asia dan telah lama dibudidayakan sebagai ikan konsumsi oleh bangsa Cina sejak 400 tahun sebelum masehi. Penyebarannya merata di daratan Asia juga Eropa dan sebagian Amerika utara, serta Australia. Ikan mas dapat hidup baik di daerah dengan ketinggian 150- 600 meter di atas pemukaan air laut (dpl) dan pada suhu 25-30

  C. Habitat ikan mas meliputi sungai berarus tenang sampai berarus sedang dan di area danau dangkal. Terkadang ikan mas dapat ditemukan pada perairan payau atau muara sungai yang bersalinitas (kadar garam) 25-30 / . Perairan yang terdapat banyak di

  00

  tempati ikan mas yaitu bagian-bagian sungai yang terlindungi pepohonan rindang dan pada tepi sungai dengan reruntuhan pohon yang tumbang (Khairuman, 2008).

2.2 Penyakit pada Ikan

  Penyakit ikan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat menyebabkan gangguan struktur dan fungsi fisiologi ikan baik secara langsung maupun bertahap (Handjani dan Samsundari, 2005). Penyakit ikan merupakan hasil interaksi antara faktor dalam ekosistem pada suatu perairan yaitu inang (ikan mas) yang lemah, agen patogen yang virulen dan kualitas lingkungan yang memburuk (Susanto dan Taukhid, 2002). Penyebab penyakit pada ikan ada dua yaitu organisme biotik dan abiotik. Salah satu organisme hidup penyebab penyakit pada ikan adalah parasit. Golongan parasit pada ikan meliputi protozoa, metazoa, crustacea, jamur, bakteri, cacing, maupun virus (Mulia, 2012), sedangkan penyebab penyakit yang bukan organisme hidup yaitu sifat fisika air, sifat kimia air, dan pakan yang kurang cocok untuk kehidupan ikan mas.

  Menurut Bachtiar (2002) penyakit adalah suatu gangguan pada organisme disebabkan oleh parasit, kekurangan gizi atau faktor fisika dan kimia lingkungan, serta menyebabkan daya tahan tubuh ikan melemah. Tanda-tanda ikan yang terserang penyakit antara lain selalu berenang kearah sumber air masuk (inlet), tidak mau makan, hilang keseimbangan, gerakan lamban, mudah terkejut, dan selalu bergerak menghindar. Serangan penyakit yang terjadi pada ikan disebabkan terganggunya interaksi antara tiga komponen utama yaitu, ikan, kondisi lingkungan dan organisme penyakit. Interaksi yang tidak terkontrol antara tiga komponen tersebut sering menyebabkan gejala-gejala yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan ikan (Bachtiar, 2002).

  Penyakit pada ikan didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat mengganggu proses kehidupan ikan, sehingga pertumbuhan ikan menjadi tidak normal. Secara umum penyakit dibedakan menjadi dua kelompok yaitu penyakit infeksi dan non infeksi. Penyakit infeksi disebabkan oleh organisme hidup seperti parasit, jamur, bakteri, cacing, virus sedangkan penyakit non infeksi disebabkan oleh faktor non hidup seperti pakan, lingkungan, keturunan dan penanganan (Afrianto dan Liviawaty, 2003).

2.3 Parasit yang Menyerang Ikan

  Parasit adalah organisme yang hidup pada tubuh, insang, maupun lendir inangnya dan mengambil manfaat dari inang tersebut (Supian, 2013). Parasit dapat didefinisikan sebagai organisme yang hidup di dalam organisme lain, yang disebut inang, dan mendapatkan keuntungan dari inang yang ditempatinya (Yuliartati, 2011). Parasit dapat berupa udang renik, protozoa, cacing, bakteri, virus, dan jamur. Manfaat yang diambil parasit terutama adalah zat makanan dari inangnya. Daelami (2001) mengatakan bahwa parasit ikan terdapat pada lingkungan perairan yang ada ikannya, tetapi belum tentu menyebabkan ikan menderita sakit. Ikan sebenarnya mempunyai daya tahan terhadap penyakit selama berada dalam kondisi lingkungan yang baik dan tubuhnya tidak diperlemah oleh berbagai sebab.

  Parasit digolongkan menjadi dua macam yaitu endoparasit dan ektoparasit (Supian, 2013). Endoparasit merupakan golongan penyakit parasit yang berada dalam tubuh ikan. Sedangkan ektoparasit merupakan golongan dari parasit yang hidup menempel pada permukaan tubuh ikan (Anshary, 2008 dalam Yuliartati, 2011).

  Menurut Widyastuti (2002), parasit dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidup menumpang di bagian luar tubuh inang, atau di bagian dalam organ kulit yang mempunyai hubungan dengan lingkungannya. Sedangkan endoparasit yaitu parasit yang hidup pada organ dalam dari tubuh seperti: hati, limpa, paru-paru, otak, dan dalam sistem pencernaan, sirkulasi, pernafasan, dalam rongga perut, otot daging dan gangguan tubuh lain.

  Menurut Supriyadi (2004), berdasarkan sifat dari ektoparasit dikenal adanya ektoparasit obligat dan fakultatif. Ektoparasit bersifat obligat artinya ektoparasit yang seluruh stadium hidup mulai dari pradewasa sampai dewasa bergantung pada inangnya. Ektoparasit bersifat fakultatif artinya ektoparasit yang menghabiskan waktu hidup sebagian besar di luar inangnya. Menurut sistematika penyebabnya, penyakit ikan golongan parasit dibagi menjadi penyakit yang disebabkan oleh Helminthes (cacing), Protozoa dan Crustacea (udang) (Sugianti, 2005).

2.4 Jenis-jenis Ektoparasit

  Ektoparasit berdasarkan sifatnya ada dua yaitu ektoparasit bersifat obligat dan ektoparasit fakultatif (Supriyadi, 2004).

  a. Ektoparasit bersifat obligat adalah ektoparasit yang seluruh stadium hidup mulai dari pradewasa sampai dewasa bergantung pada inangnya. Inang ektoparasit tersebut adalah manusia, hewan, mamalia, dan unggas. Sebagai contoh: kutu penghisap darah (Anaplura) yang menghabiskan seluruh waktunya di antara permukaan tubuh inang, yaitu pada bulu dan rambut mamalia. Kutu penghisap darah hidup bersama inang, dan makan darah atau jaringan inangnya.

  b. Ektoparasit bersifat fakultatif adalah ektoparasit yang menghabiskan waktunya sebagian besar di luar inangnya. Ektoparasit fakultatif mengganggu inang hanya pada saat makan atau menghisap darah ketika diperlukan. Sebagai contoh: kutu busuk (Hemiptera: Cimicidae) yang membutuhkan darah, setelah itu bersembunyi ditempat-tempat gelap atau celah-celah terlindung yang jauh dari inang.

  Ektoparasit golongan protozoa umumnya menyerang organ tubuh luar ikan seperti insang, sirip dan bagian permukaan tubuh ikan. Hal serupa juga diungkapkan oleh Purbomartono (2003). bahwa tingkat infeksi ektoparasit tertinggi dari golongan protozoa yang menyerang insang dan bagian permukaan tubuh ikan. Protozoa dapat menyebabkan penyakit dengan mortalitas (jumlah kematian) yang tinggi dan berdampak pada kerugian ekonomi baik dalam budidaya air tawar maupun laut (Gusrina, 2008). Banyak jenis protozoa belum teridentifikasi yang memilki bentuk menyerupai bulan sabit, berinti satu, dan flagel yang tidak terlihat jelas (Anggie, 2008). Berdasarkan taksonomi, ada beberapa filum dari spesies protozoa yang menyerang ikan yaitu filum amoebozoa, filum dinoflagellata, filum parabasalia, filum euglenozoa, filum cilliopora, filum apichomplexa, filum mikrospora, dan filum myxozoa (Gusrina, 2008). Hasil penelitian Purbomartono (2003), ditemukan penyakit dari spesies ektoparasit jenis protozoa pada tubuh ikan Gurami (Osphronemus gouramy Lac) yaitu Trichodina sp., Ichthyophthirius multifiliis, Chilodonella sp., Ephisthylis sp.,

  

Vorticella sp. Parasit tersebut dapat berkembang biak pada atau dalam tubuh

inang (Gusrina, 2008).

  Adapun Jenis ektoparasit protozoa yang menyerang ikan mas antara lain sebagai berikut:

  1. Trichodina sp.

  Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992), protozoa yang menyerang ikan Mas yaitu Trichodina sp., penyakitnya disebut dengan Trichodiniasis.

  

Trichodiniasis merupakan penyakit parasit pada larva dan ikan kecil yang

disebabkan oleh ektoparasit Trichodina.

  Trichodina sp. merupakan spesies ektoparasit dari jenis protozoa. Jenis

  parasit ini memilki bentuk menyerupai setengah bola dengan diameter 5 μm, bagian tengah (dorsal) cembung, mulut terletak di bagian iventral.

  Mulut Trichodina sp. dilengkapi dengan alat penghisap dari chitin yang menyerupai jangkar melingkar di sekeliling mulut (Gusrina, 2008). Trichodina sp. berbentuk seperti lonceng yang terbalik, sisi dorsalnya cembung, dan dapat berkontraksi serta memiliki dua makhkota bersilia yang berfungsi sebagai alat penghisap (Kabata, 1985).

  Trichodina sp. tumbuh dengan baik pada kolam yang tergenang dan

  dangkal seperti dalam kolam pemijahan dan pembibitan ikan (Rokhmani, 2002

  

dalam Purbomartono, 2003). Trichodina sp. yang ditemukan diperairan tawar

  atau payau merupakan spesies yang memilki toleransi yang cukup tinggi terhadap kisaran salinitas (Rahayu, 2009). Trichodina sp. banyak ditemukan pada bagian permukaan dengan prosentase 96%, sementara pada bagian insang hanya mencapai 12% (Purbomartono, 2003). Trichodina sp. memanfaatkan inang sebagai substrat dan mengambil partikel organik dari bakteri, akan tetapi pelekatan Trichodina sp. sering menimbulkan luka (Rahayu, 2009).

  Menurut Irawan (2004) pada dasarnya parasit ini bukan sebagai penyerang utama, tetapi ia menyerang pada ikan yang telah lebih dulu terkena parasit, atau karena luka, sakit, stress dan sebagainya, sehingga boleh dikatakan bahwa parasit ini sebagai infeksi sekunder. Ikan yang terserang biasa dilihat dengan tanda-tanda antara lain terdapat bintik putih keabuan pada bagian tubuh yang terserang terutama kepala dan punggung, nafsu makan hilang hingga ikan menjadi kurus dan lemah, produksi lendir bertambah banyak sehingga ikan nampak mengkilat.

  Gejala yang ditimbulkan karena adanya infeksi Trichodina sp. pada umumnya ditandai dengan penampilan pucat, dan terjadi pendarahan pada tubuh ikan, serta mengeluarkan lendir terlalu banyak (Gusrina, 2008). Tingkat infeksi yang rendah tidak mengakibatkan kerugian yang berarti, namun jika ikan mengalami stres atau kualitas air menurun pertumbuhan Trichodina sp. berlangsung mengakibatkan nafsu makan ikan menurun serta sensitif terhadap infeksi bakteri, sehingga menyebabkan kerugian yang besar (Pramono dan Syakuri, 2008). Sedangkan tingkat infeksi tinggi dapat menyebabkan kematian akut pada ikan tanpa diawali dengan gejala terlebih dahulu (Sommerville, 1998 dalam Bhakti, 2011).

  Menurut Sugianti (2005), beberapa penelitian yang membuktikan bahwa ektoparasit Trichodina sp. mempunyai peranan sangat penting terhadap penurunan daya kebal tubuh ikan dan terjadinya infeksi sekunder. Kematian umumnya terjadi karena ikan memproduksi lendir secara berlebihan dan akhirnya kelelahan atau bisa juga terjadi akibat terganggunya sistem pertukaran oksigen, karena dinding lamela insang dipenuhi oleh lendir (Moller, 2010).

  Adapun klasifikasi dari parasit Trichodinasp. menurut Kabata (1985) adalah sebagai berikut: Filum : Protozoa Sub filum : Ciliophora Kelas : Ciliata Ordo : Petrichida Sub ordo : Mobilina Famili : Trichodinidae Sub famili : Trichodininae Genus : Trichodina Spesies : Trichodina sp.

  2. Ichtyopthirius multifiliis

  Diantara golongan parasit pada ikan air tawar, Ichthyophthirius multifiliis termasuk salah satu anggota protozoa yang sering menimbulkan penyakit pada ikan, baik itu ikan hias maupun ikan konsumsi (Afrianto dan Liviawaty, 1992). Protozoa ini berukuran kecil. Parasit ini berkembangbiak dengan cara membelah biner. Ichtyopthirius multifiliis dapat menginfeksi kulit, insang danmata pada berbagai jenis ikan baik ikan air tawar, payau dan laut yang dapat menyebabkan kerusakan kulit dan kematian. Tubuh ikan yang terserang protozoa ini akan terbentuk bintik-bintik putih, sering disebut white spot. Ikan yang sudah terserang penyakit ini biasanya malas berenang dan cenderung mengapung di permukaan air. Ikan juga akan sering terlihat menggosok-gosokan tubuh kedasar kolam atau benda keras yang ada dikolam. Ciri-ciri Ichtyopthirius multifiliis menurut Kabata (1985) yaitu berbentuk oval, memanjang (34-45 mikrometer) danseluruh tubuhnya ditutupi silia. Ichtyopthirius multifiliis merupakan parasit obligat, berenang aktif mencari inang. Ichtyopthirius multifiliis dewasa berbentuk oval (0,5-1 mikrometer) membenamkan diri dibawah lendir kulit, sirip, dan insang.

  Ektoparasit ini terlihat seperti bintik putih bila dilihat dengan mata telanjang.

  Ichtyopthyrius multifiliis merupakan salah satu protozoa yang dapat

  mematikan benih ikan air tawar hingga 90%, dengan tanda klinis berupa bintikputih pada bagian tubuh, sirip, dan insang. Infeksi yang berat dapat menyebabkanpendarahan pada sirip, dan tubuhnya akan tertutup lendir. Protozoa ini juga akanmeninggalkan inang yang sudah mati dan berkembangbiak dengan membentukkista pada substrat, sehingga berpotensi menginfeksi inang lainnya (Purbomartono, 2010).

  Irianto (2005) memaparkan bahwa gejala klinis ikan yang terinfeksi menjadi hiperaktif dan berenang sambil menggesekan tubuhnya pada bebatuan atau dinding akuarium. Sedangkan Kordi (2004) menjelaskan bahwa ikan yangterinfeksi Ichthyophthirius multifiliis menyebabkan ikan menjadi malas berenang, terlihat bintik-bintik putih pada permukaan kulit, insang, dan sirip. Apabila Ichthyophthirius multifiliis menyerang insang maka protozoa ini akan merusak insang sehingga prosespertukaran gas (oksigen, karbondioksida, dan ammonia) menjadi terhambat.Daelami (2001) menjelaskan bahwa bagian tubuh ikan yang menjadi sasaranadalah sel pigmen, sel-sel darah, dan sel-sel lendir.

  Adapun klasifikasi dari parasit Ichthyophthirius multifiliis menurut Hoffman (1967), sebagai berikut: Filum : Protozoa Sub filum : Ciliophora Kelas : Ciliata Sub kelas : Holotrichia Ordo : Hymenostomatida Sub ordo : Ophryoglenina Famili : Ichthyophthidae Genus : Ichthyophthirius Spesies : Ichtyopthirius multifilis 3. Chilodonella sp.

  Chilodonella sp. adalah patogen yang mengambil keuntungan dari inang

  yang ditempelinya (oportunistik). Pemicu dari penularan protozoa ini adalah tingkat kepadatan yang tinggi dan kualitas lingkungan buruk. Lamolo (2001) menyatakan bahwa Chilodonella sp. yang menyerang ikan akanhidup pada mukosa dan sistem sekresi pada ikan. Parasit ini lebih banyak menginfeksi bagian permukaan tubuh ikan dibandingkan pada insang dan infeksi pada tubuh ikan banyak didukung oleh suhu yang rendah. Pada tingkat serangan yang parah, protozoa ini dapat menyebabkan luka pada kulit yang terkena infeksi dan lapisan mukosa menjadi kusam (Alifuddin, 1993). Chilodonella sp. berkembangbiak pada suhu 0,5-20°C. Dalam kondisi yangtidak baik, akan membentuk kista.

  

Chilodonella sp. tidak dapat hidup tanpa adanya inang dalam jangka waktu lebih

dari 12-24 jam (Purbomartono, 2010).

  Menurut Kabata (1985), pengobatan jenis parasit ini dilakukan melalui perendaman dalam larutan garam dapur dengan dosis 100 gr/m² selama 15-30 menit, atau perendaman dalam larutan formalin pada dosis 10-15 ppm selama 24 jam.

  Adapun klasifikasi dari parasit Chilodonella sp. menurut Kabata (1985) adalah sebagai berikut: Filum : Protozoa Kelas : Ciliata Ordo : Cryophorida Famili : Chilododontidae Genus : Chilodonella Spesies : Chilodonella sp.

  4. Ephistylis sp.

  Epistylis sp. merupakan protozoa yang hidup berkelompok dan biasanya

  ditemukan di kulit atau insang. Epistylis sp. adalah protozoa yang bertangkai dan bercabang (Kabata 1985). Menurut Hadiroseyani (1990), Ephistylis sp. bersifat sesil (menempel) pada substrat seperti insang dan kulit ikan. Parasit ini hidup berkoloni dan masing-masing individu dihubungkan dengan stalk yang dapat berkontraksi. Menurut Alifuddin (1993), parasit ini mempunyai ukuran 50-250 mikrometer yang membentuk koloni dan tersusun pada tangkai yang bercabang- cabang namun bersifat non-kontraktil. Sedangkan menurut Yuasa (2003), Epistylis sp. merupakan protozoa bersiliata, koloni berbentuk silinder tipis atau lonceng dengan tangkai yang panjang dan non-kontraktil dengan panjang kira-kira 0,4-0,5 mikrometer. Ephistylis sp. adalah parasit yang umum ditemukan pada perairan baik air tawar maupun air laut. Parasit ini biasanya menempel pada objek yang terendam dalam air, seperti tumbuhan atau hewan air (Hadiroseyani, 1990). Pada kondisi kualitas air yang terdapat banyak bahan organik, maka

  

Epistylis sp. dapat berubah menjadi agen penyakit (Irianto, 2005). Gejala serangan

  parasit ini biasanya mengakibatkan ikan susah bernafas karena insang ikan banyak tertutupi oleh parasit Epistylis sp. dan pertumbuhan ikan lambat, serta dapat merusak jaringan yang di serang atau ditempeli (Yuasa, 2003).

  Adapun klasifikasi dari parasit Epistylis sp. menurut Kabata (1985) adalah sebagai berikut: Filum : Protozoa Kelas : Ciliata Ordo : Peritricha Famili : Epistylidae Genus : Epistylis Spesies : Epistylissp.

  5. Vorticella sp.

  Vorticella sp.merupakan protozoa dari filum Ciliophora. Vorticella sp.

  memiliki bentuk lonceng terbaiik dengan tangkai bersilia yang mengandung fibril yang disebut myoneme (Kabata 1985). Vorticella sp. semuanya bersifat soliter dan menempel pada substrat dengan tangkai yang kontraktil. Sel-selnya mempunyai bentuk seperti lonceng terbalik, disekeliling peristoma terdapat cilia (organel sel seperti rambut yang berfungsi sebagai alat bantu pergerakan). Sel

  

Vorticella mengandung makronukleus dan mikronukleus, sel berwarna

kekuningan atau kehijauan. Cara reproduksinya dengan cara pembelahan.

  

Vorticella sp. tidak hanya hidup di perairan air tawar saja, tetapi juga di perairan

  laut dan dapat menempel pada tumbuhan dan hewan dapat hidup di perairan tawar atau laut. Pada stadium dewasa menempel pada obyek-obyek yang terendam air, baik berupa tumbuhan maupun hewan air (Alifuddin, 1993). Menurut Kabata (1985), pengobatan dapat dilakukan dengan merendam ikan pada laruran bronek 0,12-0,15 ppm.

  Adapun klasifikasi dari parasit Vorticellasp.menurut Kabata (1985) adalah sebagai berikut: Filum : Protozoa Sub filum : Ciliophora Kelas : Ciliata Ordo : Periticha Famili : Vorticellidae Genus : Vorticella Spesies : Vorticella sp.

  6. Myxobolus sp.

  Myxobolus sp. menyebabkan penyakit yang disebut Myxoboliasis pada ikan

  (Kabata, 1985). Spesies ini menghasilkan semacam kista yang kemudian akan pecah. Bentuk membulat dan melebar pada bagian anterior. Parasit ini tidak hanya tinggal di insang ikan, namun juga merupakan parasit obligat pada jaringan- jaringan ikat, hati, dan ginjal. Siklus hidupnya belum semua diketahui, tetapi jenis parasit ini membentuk spora pada insang atau di bawah kulit ikan (Daelami, 2001). Akibat infeksi Myxobolus sp. tergantung dari penyerangan parasit dan letak kista yang menyebabkan penurunan berat badan terutama pada benih. Ikan menjadi lemah, cenderung berenang dekat pada pinggir kolam, dan warna ikan menjadi suram.

  Adapun klasifikasi dari parasit Myxobolus sp. menurut Hoffman (1967), sebagai berikut: Filum : Protozoa Kelas : Sporozoa Sub kelas : Myxosporea Ordo : Cnidosporodia Sub ordo : Myxospororidia Famili : Myxobolidae Genus : Myxobolus Spesies : Myxobolus sp.

2.5 Pengendalian Ektoparasit Protozoa

  Pada pengendalian ektoparasit protozoa ini yaitu salah satunya melakukan pencegahan, pencegahan tersebut dikenal dengan biosecurity. Biosecurity adalah serangakaian usaha mencegah atau mengurangi peluang masuknya penyakit ke dalam suatu sistem budidaya. Biosecurity terdiri dua aspek, yaitu isolasi dan desinfeksi (Prayitno dan Sunarto, 2004). Pada pencegahan serangan ektoparasit yaitu pencegahan ikan yang terinfeksi ektoparasit, kemudian melakukan dekontaminasi berkesinambungan terhadap kolam pemeliharaan, maupun pada alat yang digunakan pada kegiatan ini (Afrianto dan Liviawaty, 1992).

  Infeksi ektoparasit meliputi tiga faktor, yaitu lingkungan, ikan, organisme parasit itu sendiri, sehingga pengendalian ektoparasit dapat dilakukan berdasarkan analisis ke tiga faktor tersebut. Pengendalian ektoparasit dapat digunakan dengan bahan kimia. Namun terlebih dahulu diketahui jenis ektoparasit yang menginfeksi pada ikan tersebut (Plumb, 1992 dalam Rahayu, 2009).Infeksi ektoparasit yang tinggi dapat menyebabkan kematian secara masal. Menurut Sommerville (1998) dalam Pramono dan Syakuri (2008), kematian akut yang diakibatkan tingginya tingkat infeksi ektoparasit menjadi masalah yang serius, yaitu mortalitas tanpa menunjukan gejala terlebih dahulu. Mortalitas tinggi dapat terjadi akibat terinfeksi ektoparasit, sehingga mendorong usaha untuk melakukan pengendalian infeksi ektoparasit pada ikan (Pramono dan Syakuri, 2008).

2.6 Kualitas Air

  Kualitas air adalah sifat air dan kandungan mahluk hidup, zat, energi, atau komponen lain dalam air. Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi ikan mas sebagai media tempat hidup. Namun demikian, tidak semua air dapat digunakan untuk pemeliharaan ikan air tawar. Agar pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan mas tetap terjaga, maka diperlukan suatu kondisi lingkungan yang optimal untuk kepentingan proses fisiologis pertumbuhan ikan mas . Untuk dapat hidup layak, maka diperlukan kualitas air yang baik. Sumber air yang digunakan untuk pemeliharaan ikan air tawar harus memenuhi persyaratan parameter fisika, kimia dan biologi (Handajani dan Hastuti, 2002).

  Sifat fisika air merupakan tempat hidup dan menyediakan ruang gerak. Sifat kimia air merupakan penyedia unsur hara, vitamin, mineral, gas-gas terlarut dan sebagainya. Sifat biologi air merupakan suatu media untuk kegiatan biologis dalam pembentukan dan penguraian bahan-bahan organik. Sehingga kondisi ketiga tersebut harus sesuai dengan persyaratan untuk hidup dan berkembangnya ikan mas yang dipelihara. Kualitas air perlu diperiksa, karena tidak semua cocok untuk ikan mas. Air yang tidak cocok dapat menyebabkan kematian dan menimbulkan kerugian besar. Pemeriksaan kualias air bertujuan untuk mengetahui berbagai sifat fisika, kimia dan biologi air.

  1. Suhu Air Parameter fisika air banyak berperan dalam pertumbuhan ikan mas yaitu suhu, warna, kecerahan dan kekeruhan air (turbidity). Suhu adalah variabel lingkungan penting untuk organisme akuatik karena suhu dapat mempengaruhi aktivitas makan ikan, metabolisme, gas (oksigen) terlarut dan proses reproduksi ikan (Susanto, 2009). Suhu air merupakan salah satu dari parameter fisika yang perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi nafsu makan dan pertumbuhan pada ikan. Secara garis besar, suhu air sangat mempengaruhi suatu metabolisme, perkembangbiakkan, pernapasan, denyut jantung dan sirkulasi darah, kegiatan enzim dan proses fisiologi lainnyan pada ikan dan organisme perairan lainnya. Selain mempengaruhi pertukaran zat seperti yang telah disinggung di atas, suhu juga akan mempengaruhi kadar oksigen yang terlarut dalam air dan daya racun suatu bahan pencemar.

  Semakin tinggi suhu pada suatu perairan, maka semakin sedikit oksigen terlarut di dalamnya sedangkan kebutuhan oksigen setiap 10ºC oleh organisme perairan naik hampir dua kali lipat. Contoh lain yakni daya racun potasium sianida terhadap ikan akan naik dua kali lipat setiap kenaikkan suhu 10ºC. Sesuai hukum Van Hoff bahwa untuk setiap perubahan kimia, kecepatan reaksinya naik dua sampai tiga kali lipat setiap kenaikkan suhu sebesar 10ºC. Suhu yang baik untuk pembenihan ikan Mas berkisar antara 25-33ºC (Kordi, 2007).

  2. Oksigen Terlarut (DO/Dissolved Oxygen) Parameter kimia air yang banyak berperan adalah oksigen terlarut, kandungan karbondioksida bebas (CO ), pH air (derajat keasaman), alkalinitas,

  2

  ammonia (NH

  3 dan NH 4 ), asam sulfida (H

  2 S) dan salinitas. Oksigen terlarut

  dalam air sangat menentukan kehidupan organisme perairan, karena kandungan oksigen terlarut dalam air merupakan komponen utama bagi metabolisme ikan dan organisme perairan lainnya (Kordi, 2004). Apabila kadar oksigen rendah dapat berpengaruh terhadap fungsi biologis dan lambatnya pertumbuhan, bahkan dapat mengakibatkan kematian organisme. Oksigen juga tidak hanya berfungsi untuk pernapasan (respirasi) ikan, tetapi juga untuk penguraian atau perombakan bahan organik yang ada di dasar kolam.

  Setiap hari konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan mengalami fluktuasi. Konsentrasi terendah terjadi pada waktu subuh (dini hari) kemudian meningkat pada saat matahari terbit dan menurun kembali pada malam hari. Perbedaan konsentrasi oksigen terlarut tertinggi terdapat pada perairan yang mempunyai kepadatan planktonnya tinggi dan sebaliknya. Kandungan oksigen 2

  (O ) digunakan oleh ikan mas untuk pernapasan. Oksigen yang diserap akan digunakan untuk aktivitas tubuh seperti bergerak, bertumbuh dan berkembang biak sehingga tidak boleh kekurangan agar aktivitas terus berlangsung. 2 Kandungan oksigen (O ) yang optimum 5-6 ppm (Susanto, 2009).

  Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suhu, kadar garam (salinitas) perairan, pergerakan arus air, luas daerah permukaan perairan yang terbuka, tekanan atmosfer dan persentase oksigen sekelilingnya. Bila pada suhu yang sama konsentrasi oksigen terlarut sama dengan jumlah kelarutan oksigen yang ada di dalam air, maka air tersebut dapat dikatakan sudah jenuh dengan oksigen terlarut. Bila air mengandung lebih banyak oksigen terlarut daripada yang seharusnya pada suhu tertentu, berarti oksigen dalam air tersebut sudah lewat jenuh (super saturasi). Apabila dikaitkan dengan tekanan udara dan suhu, maka kelarutan oksigen dalam air akan menurun dengan menurunnya tekanan udara dan suhu. Pada usaha pembenihan ikan air tawar di kolam kadar oksigen terlarut dapat dioptimalkan dengan bantuan aerator seperti kincir atau turbo. 3. pH Air (Derajat Keasaman) pH adalah indikasi air bersifat asam, basa (alkali), atau netral. Air sumur atau air tanah umumnya agak asam karena mengandung banyak karbonat (CO). Besarnya pH suatu perairan adalah besarnya konsentrasi ion hidrogen yang terdapat didalam perairan tersebut, dengan kata lain nilai pH suatu perairan akan menunjukan air tersebut bereaksi asam atau bereaksi basa. Nilai kisaran pH optimal atau ideal untuk mendukung kehidupan ikan mas berkisar antara 6,5-8,5 (Susanto, 2009). Derajat keasaman air yang sangat rendah atau sangat asam dapat menyebabkan kematian ikan. Keadaan air yang sangat basa juga dapat menyebabkan pertumbuhan ikan terhambat (Kordi, 2007).