BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Baby Blues Syndrome 1. Pengertian - Puspa Tri Rahayu BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Baby Blues Syndrome 1. Pengertian Syndrome baby blues adalah perasaan sedih yang dibawa ibu sejak hamil

  yang berhubungan dengan kesulitan ibu menerima kehadiran bayinya. Perubahan ini sebenarnya merupakan respon alami dari kelelahan pasca persalinan (Pieter dan Lubis, 2010). Mansyur (2009) juga mnyebutkan bahwa Syndrome baby blues merupakan perasaan sedih yang dialami oleh ibu setelah melahirkan, hal ini berkaitan dengan bayinya. Postpartum baby blues adalah gangguan suasana hati yang berlangsung selama 3-6 hari pasca melahirkan. Syndrome baby blues ini sering terjadi dalam 14 hari pertama setelah melahirkan, dan cenderung lebih buruk pada hari ke tiga dan ke empat.

  Baby blues syndrome atau postpartum blues menurut Saleha (2009),

  merupakan suatu gangguan psikologis sementara yang ditandai dengan memuncaknya emosi pada minggu pertama setelah melahirkan. Suasana hati yang paling utama adalah kebahagiaan, namun emosi penderita menjadi stabil. Baby

  blues syndrome atau stress pasca melahirkan merupakan suatu kondisi umum

  yang sering di alami oleh seorang wanita yang baru melahirkan dan biasanya terjadi pada 50% ibu baru. Baby blues sendiri merupakan suatu perasaan gembira oleh kehadiran sang buah hati, namun disertai oleh perasaan cemas, kaget dan sedih sehingga dapat menimbulkan kelelahan secara psikis pada sang ibu tersebut (Melinda, 2010).

  Muhammad (2011), menjelaskan bahwa Baby blues syndrome atau stress pasca persalinan, merupakan salah satu bentuk depresi yang sangat ringan yang biasanya terjadi dalam 14 hari pertama setelah melahirkan dan cenderung lebih buruk sekitar hari ketiga atau keempat pasca persalinan. Postpartum Distress

  Syndrome atau yang juga sering disebut dengan Baby Blues Syndrome merupakan reaksi psikologis yang berupa gejala depresi postpartum dengan tingkat ringan.

  Syndrome ini muncul pasca melahirkan dan seringkali terjadi pada hari ketiga atau keempat pasca partum dan memuncak pada hari kelima dan keempat belas pasca melahirkan (Medicastore, 2012).

  Hampir sebagian besar ibu yang baru melahirkan mengalami baby blues. Sebuah kondisi depresi pasca persalinan, yang jika tidak ditangani, akan berdampak pada perkembangan anak. Baby blues syndrome atau postpartum adalah kondisi yang dialami oleh hampir 50% perempuan yang baru

  syndrome

  melahirkan. Kondisi ini dapat terjadi sejak hari pertama setelah persalinan dan cenderung akan memburuk pada hari ketiga sampai kelima setelah persalinan.

  Baby blues cenderung menyerap dalam rentang waktu 14 hari terhitung setelah persalinan (Conectique, 2011).

2. Waktu dan Durasi Baby Blues Syndrome

  Baby blues syndrome dapat terjadi segera setelah kelahiran, tapi akan segera

  menghilang dalam beberapa hari sampai satu minggu. Apabila gejala tersebut berlangsung lebih dari satu minggu itu sudah termasuk dalam depresi postpartum (Aprilia, 2010). Kondisi ini merupakan periode emosional stres yang terjadi antara hari ke 3 dan ke-l0 setelah persalinan yang terjadi sekitar 80% pada ibu postpartum (Bahiyatun, 2009).

3. Gejala-Gejala Baby Blues Syndrome

  Ibu yang baru melahirkan dapat merasakan perubahan mood yang cepat dan berganti-ganti (mood swing) seperti kesedihan, suka menangis, hilang nafsu makan, gangguan tidur, mudah tersinggung, cepat lelah, cemas, dan merasa kesepian. (Aprilia, 2010).

  Beberapa gejala yang dapat mengindikasikan seorang ibu mengalami baby

  blues syndrome Menurut Puspawardani (2011), adalah sebagai berikut :

  a. Dipenuhi oleh perasaan kesedihan dan depresi disertai dengan menangis tanpa sebab.

  b. Mudah kesal, gampang tersinggung dan tidak sabaran.

  c. Tidak memiliki atau sedikit tenaga.

  d. Cemas, merasa bersalah dan tidak berharga.

  e. Menjadi tidak tertarik dengan bayi anda atau menjadi terlalu memperhatikan dan khawatir terhadap bayinya.

  f. Tidak percaya diri.

  g. Sulit beristirahat dengan tenang. h. Peningkatan berat badan yang disertai dengan makan berlebihan. i. Penurunan berat badan yang disertai tidak mau makan. j. Perasaan takut untuk menyakiti diri sendiri atau bayinya.

  Sedangkan menurut Novak dan Broom (2009) gejala Baby Blues Syndrome merupakan suatu keadaan yang tidak dapat dijelaskan, merasa sedih, mudah tersinggung, gangguan pada nafsu makan dan tidur. Selanjutnya menurut Young dan Ehrhardt (2009) gejala Baby Blues Syndrome antara lain :

  1) Perubahan keadaan dan suasana hati ibu yang bergantian dan sulit diprediksi seperti menangis, kelelahan, mudah tersinggung, kadang- kadang mengalami kebingungan ringan atau mudah lupa. 2) Pola tidur yang tidak teratur karena kebutuhan bayi yang baru dilahirkannya, ketidaknyamanan karena kelahiran anak, dan perasaan asing terhadap lingkungan tempat bersalin. 3) Merasa kesepian, jauh dari keluarga, menyalahkan diri sendiri karena suasana hati yang terus berubah-ubah.

  4) Kehilangan kontrol terhadap kehidupannya karena ketergantungan bayi yang baru dilahirkannya.

4. Penyebab Terjadinya Baby Blues Syndrome

  Beberapa hal yang disebutkan sebagai penyebab terjadinya Baby Blues

  Syndrome menurut Ummu (2012), di antaranya: a. Perubahan hormonal.

  Pasca melahirkan terjadi penurunan kadar estrogen dan progesterone yang drastis, dan juga disertai penurunan kadar hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang menyebabkan inudah lelah, penurunan mood, dan perasaan tertekan.

  b. Fisik Kehadiran bayi dalam keluarga menyebabkan perubahan ritme kehidupan sosial dalam keluarga, terutama ibu. Mengasuh si kecil sepanjang siang dan malam sangat menguras energi ibu, menyebabkan berkurangnya waktu istirahat, sehingga terjadi penurunan ketahanan dalam menghadapi masalah.

c. Psikis

  Kecemasan terhadap berbagai hal, seperti ketidakmampuan dalam mengurus si kecil, ketidakmampuan mengatasi dalam berbagai permasalahan, rasa tidak percaya diri karena perubahan bentuk tubuh dan sebelum hamil serta kurangnya perhatian keluarga terutama suami ikut mempengaruhi terjadinya depresi. d. Sosial Perubahan gaya hidup dengan peran sebagai ibu baru butuh adaptasi.

  Rasa keterikatan yang sangat pada si kecil dan rasa dijauhi oleh lingkungan juga berperan dalam depresi.

  Penyebab baby blues syndrome diduga karena perubahan hormonal di dalam tubuh wanita setelah melalul persalinan. Selama menjalani kehamilan, berbagai hormon dalam tubuh ibu meningkat seinng pertumbuhan janin. Setelah melalu tahap persalinan, jumlah produksi berbagai hormon seperti estrogen, progesteron, dan endorphin mengalami perubahan yang dapat mempengaruhi kondisi emosional ibu. Kelelahan flsik dan rasa sakit setelah persalinan, air susu yang belum keluar sehingga bayi rewel dan payudara membengkak, serta dukungan moril yang kurang dapat menjadi alasan lain timbulnya baby blues syndrome (Suwignyo, 2010).

  Sedangkan munculnya baby blues syndrome menurut Atus (2008), juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: a. Dukungan sosial

  Perhatian dari lingkungan terdekat seperti suami dan kelurga dapat berpengaruh. Dukungan berupa perhatian, komunikasi dan hubungan emosional yang hangat sangat penting. Dorongan moral dari teman-teman yang sudah pernah bersalin juga dapat membantu. Dukungan sosial adalah derajat dukungan yang diberikan kepada individu khususnya sewaktu dibutuhkan oleh orang-orang yang memiliki hubungan emosional yang dekat dengan orang tersebut (As’ari, 2005).

  Dukungan sosial adalah kenyamanan, bantuan, atau informasi yang diterima oleh seseorang melalui kontak formal dengan individu atau kelompok (Landy dan Conte, 2007).

  b. Keadaan dan kualitas bayi Kondisi bayi dapat menyebabkan munculnya baby blues syndrome misalnya jenis kelamin bayi yang tidak sesuai harapan, bayi dengan cacat bawaan ataupun kesehatan bayi yang kurang baik.

  c. Komplikasi kelahiran Proses persalinan juga dapat mempengaruhi munculnya baby blues misalnya proses persalinan yang sulit, pendarahan, pecah ketuban

  syndrome dan bayi dengan posisi tidak normal.

  d. Persiapan untuk persalinan dan menjadi ibu Kehamilan yang tidak diharapkan seperti hamil di luar nikah, kehamilan akibat perkosaan, kehamilan yang tidak terencana sehingga wanita tersebut belum siap untuk menjadi ibu. Kesiapan menyambut kehamilan dicerminkan dalam kesiapan dan respon emosionalnya dalam menerima kehamilan. Seorang wanita memandang kehamilan sebagai suatu hasil alami hubungan perkawinan, baik yang diinginkan maupun tidak diinginkan, tergantung dengan keadaan. Sebagian wanita lain menerima kehamilan sebagai kehendak alam dan bahkan pada beberapa wanita termasuk banyak remaja, kehamilan merupakan akibat percobaan seksual tanpa menggunakan kontrasepsi. Awalnya mereka terkejut ketika tahu bahwa dirinya hamil, namun seiring waktu mereka akan menerima kehadiran seorang anak (Bobak, 2004).

  e. Stresor psikososial Faktor psikososial seperti umur, latar belakang sosial, ekonomi, tingkat pendidikan dan respon ketahanan terhadap stresor juga dapat mempengaruhi baby blues syndrome.

  f. Riwayat depresi Riwayat depresi atau problem emosional lain sebelum persalinan

  Seorang dengan riwayat problem emosional sangat rentan untuk mengalami baby blues syndrome .

  g. Hormonal Perubahan kadar hormon progresteron yang menurun disertai peningkatan hormon estrogen, prolaktin dan kortisol yang drastis dapat mempengaruhi kondisi psikologis ibu.

  h. Budaya Pengaruh budaya sangat kuat menentukan muncul atau tidaknya

  baby blues syndrome . Di Eropa kecenderungan baby blues syndrome lebih

  tinggi bila dibandingkan di Asia, karena budaya timur yang lebih dapat menerima atau berkompromi dengan situasi yang sulit daripada budaya barat.

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Baby Blues Syndrome

  faktor-faktor yang menyebabkan baby blues syndrome menurut Sujiyatini dkk (2010), yaitu:

  a. Faktor hormonal berupa perubahan kadar estrogen, progeteron, prolaktin dan estriol yang terlalu rendah. Kadar estrogen turun secara bermakna setelah melahirkan ternyata estrogen memiliki efek serupsi aktifitas enzim non adrenalin maupun serotin yang berperan dalam suasana hati dan kejadian depresi.

  b. Ketidaknyamanan fisik yang dialami wanita menimbulkan gangguan pada emosional seperti payudara bengkak, nyeri jahitan dan rasa mules.

  c. Ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan fisik dan emosional yang kompleks.

  d. Faktor postpartum syndrome baby blues umum dan paritas (jumlah anak).

  e. Pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan.

  f. Latar belakang psikososial wanita yang bersangkutan seperti tingkat pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat gangguan kejiwaan gangguan kejiwaan sebelumnya, social ekonomi. g. Stres yang dialami ibu dalam keluarga karena banyak kebutuhan ditambah ekonomi keluarga semakin memburuk.

  h. Kelelahan pasca persalinan juga dapat mempengaruhi psikologis ibu. i. Rasa memiliki bayi yang terlalu dalam sehingga timbul rasa takut yang berlebihan akan kehilangan bayinya.

6. Dampak Baby Blues Syndrome

  Jika kondisi baby blues syndrome tidak disikapi dengan benar, bisa berdampak pada hubungan ibu dengan bayinya, bahkan anggota keluarga yang lain juga bisa merasakan dampak dari baby blues syndrome tersebut. Jika baby blues syndrome dibiarkan, dapat berlanjut menjadi depresi pasca melahirkan, yaitu berlangsung lebih dan hari ke-7 pascapersalinan. Depresi setelah melahirkan rata-rata berlangsung tiga sampai enam bulan. bahkan terkadang sampai delapan bulan. Pada keadaan lanjut dapat mengancam keselamatan diri dan anaknya (Kasdu, 2007).

  a. Pada ibu 1) Menyalahkan kehamilannya 2) Sering menangis 3) Mudah tersinggung 4) Sering terganggu dalam waktu istirahat atau insomnia berat

  5) Hilang percaya diri mengurus bayi, merasa takut dirinya tidak bisa memberikan asi bahkan takut apabila bayinya meninggal.

  6) Muncul kecemasan terus menerus ketika bayi menangis 7) Muncul perasaan malas untuk mengurus bayi 8) Mengisolasi diri dari lingkungan masyarakat 9) Frustasi hingga berupaya untuk bunuh diri

  b. Pada anak 1) Masalah perilaku

  Anak-anak dari ibu yang mengalami baby blues syndrome lebih memungkinkan memiliki masalah perilaku, termasuk masalah tidur, tantrum, agresi, dan hiperaktif . 2) Perkembangan kognitif terganggu

  Anak nantinya mengalami keterlambatan dalam bicara dan berjalan jika dibandingkan dengan anak-anak dari ibu yang tidak depresi.

  Mereka akan mengalami kesulitan dalam belajar di sekolah. 3) Sulit bersosialisasi

  Anak-anak dari ibu yang mengalami baby blues syndrome biasanya mengalami kesulitan membangun hubungan dengan orang lain.

  Mereka sulit berteman atau cenderung bertindak kasar.

  4) Masalah emosional Anak-anak dari ibu yang mengalami baby blues syndrome cenderung merasa rendah diri, lebih sering merasa cemas dan takut, lebih pasif, dan kurang independen.

  c. Pada suami Keharmonisan pada ibu yang mengalami baby blues syndrome biasanya akan terganggu ketika suami belum mengetahui apa yang sedang di alami oleh istrinya yaitu baby blues syndrome, suami cenderung akan menganggap si ibu tidak becus mengurus anaknya bahkan dalam melakukan hubungan suami istri biasanya mereka merasa takut seperti takut mengganggu bayinya.

1. Pencegahan Baby Blues Syndrome

  Tindakan atau meminimalisasikan baby blues syndrome menurut Pandji (2010), adalah sebagai berikut :

  a. Mempersiapkan jauh-jauh hari kelahiran yang sehat, ibu yang hamil dan suaminya harus benar-benar di persiapkan dari segi kesehatan janin pada saat kehamilan, mental, finansial dan social.

  b. Adanya pembagian tugas antara suami dan istri pada saat proses kehamilan berlangsung. c. Tanamkan pada benak ibu hamil bahwa anak adalah anugrah ilahi yang akan membawa berkah dan menambah jalinan cinta kasih di tengah-tengah keluarga.

  d. Bersama-sama istri merajut suatu kepercayaan dan keyakinan dengan adanya anak karier kita akan terus berjalan.

  e. Merencanakan mempekerjakan pembantu untuk membantu mengurus dan merawat bayi dan pekerjaan rumah tangga pasca ibu melahirkan.

  Pencegahan baby blues syndrome menurut Conectique (2011), juga dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : a. Mintalah bantuan orang lain, misalnya kerabat atau teman untuk membantu anda mengurus si kecil.

  b. Ibu yang baru saja melahirkan sangat butuh istirahat dan tidur yang cukup. Lebih banyak istirahat di minggu-minggu dan bulan-bulan pertama setelah melahirkan, bias mencegah depresi dan memulihkan tenaga yang seolah terkuras habis.

  c. Konsumsilah makanan yang bernutrisi agar kondisi tubuh cepat pulih, sehat dan segar.

  d. Cobalah berbagi rasa dengan suami atau orang terdekat lainnya.

  Dukungan dari mereka bias membantu anda mengurangi depresi.

B. Postpartum (Pasca Salin) 1. Definisi

  Postpartum menurut Marni (2012), merupakan masa beberapa jam sesudah lahirnya plasenta sampai minggu ke enam setelah melahirkan. Masa postpartum dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir setelah alat-alat kandungan kembali pada masa sebelum hamil yang berlangsung kira-kira enam minggu.

  Sedangkan Postpartum menurut Sujiyatini (2010), merupakan masa pulih kembali, mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti pra hamil. Lama pada masa ini berkisar 6-8 minggu. Masa nifas dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika organ-organ reproduksi kembali seperti keadaan sebelum hamil. Jadi masa nifas adalah masa kembalinya organ reproduksi sperti keadaan sebelum hamil dalam waktu 6 minggu setelah melahirkan (Mansur, 2009).

  Menurut Sujiyanti (2010), masa nifas terdiri dari 3 tahapan yaitu:

  a. Puerperim dini, yaitu masa kepulihan dimana ibu diperbolehkan mobilisasi jalan.

  b. Pueperium intermedial, yaitu masa kepulihan alat-alat genetalia yang lamanya sekitar 6-8 minggu.

  c. Remote puerperium yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna yang berlangsung sekitar 3 bulan. Tapi bila selama hamil maupun bersalin ibu mempunyai komplikasi masa ini bisa berlangsung lebih lama sampai tahunan.

2. Tujuan Asuhan Masa Nifas (Postpartum)

  Tujuan dari pemberian asuhan pada masa nifas menurut Mansur (2010), adalah : a. Memulihkan dan mempertahankan kesehatan fisik ibu dengan mobilisasi bertahap, menjaga kebersihan, mencegah terjadinya anemi.

  b. Memulihkan dan mempertahankan kesehatan psikologis ibu dengan memberi dukungan dan memperkuat keyakinan ibu dalam menjalankan peran ibu.

  c. Mencegah terjadinya komplikasi selama masa nifas dan bila perlu melakukan pengobatan ataupun rujukan 27.

  d. Memperlancar dalam pembentukan ASI.

  e. Memberikan konseling informasi dan edukasi/KIE pada ibu dan keluarganya tentang perubahan fisik dan tanda-tanda infeksi, pemberian, ASI, asuhan pada diri sendiri, gizi seimbang, kehidupan seksual dan kontrasepsi sehingga ibu mampu merawat dirinya dan bayinya secara mandiri selama masa nifas.

3. Adaptasi Psikologi ibu postpartum

  Menurut Jhaquin (2010), menjalani adaptasi psikologis setelah melahirkan ibu akan mengalami fase-fase berikut ini: 1) Fase taking in yaitu periode ketergantungan yang berlangsung pada hari pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada saat itu fokus perhatian ibu terutama pada diri sendiri. Pengalaman sering berulang diceritakannnya hal ini membuat ibu cenderung menjadi pasif terhadap lingkungan. 2) fase taking hold yaitu periode yang berlangsung antara 3 -10 hari setelah melahirkan. Pada fase ini ibu merasa khawatir akan ketidakmampuannya dan rasa tanggung jawabnya dalam merawat bayi. Pada fase ini ibu memerlukan dukungan dan meruapakan kesempatan yang baik menerima berbagai penyuluhan dalam merawat diri dan bayinya sehingga timbul percaya diri.

  3) fase letting go merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran barunya yang berlangsung sepuluh hari setelah melahirkan. Ibu sudah dapat menyesuaikan diri, merawat diri dan bayinya sudah meningkat. Ada kalanya ibu mengalami perasaan sedih yang berkaitan dengan bayinya keadaan ini disebut baby blues.

  Perubahan emosi ibu postpartum menurut Whibley (2006) dalam Yusdiana (2009) secara umum antara lain adalah :

  1) Thrilled dan excaited, ibu merasakan bahwa persalinan merupakan peristiwa besar dalam hidup. Ibu heran dengan keberhasilan melahirkan seorang bayi dan selalu bercerita seputar peristiwa persalinan dan bayinya. 2) Overwhelmed, merupakan masa kritis bagi ibu dalam 24 jam pertama untuk merawat bayinya. Ibu mulai melakukan tugas-tugas baru.

  3) Let down, status emosi ibu berubah-ubah, merasa sedikit kecewa khususnya dengan perubahan fisik dan perubahan peran.

  4) Weepy, ibu mengalami baby blues postpartum karena perubahan yang tiba- tiba dalam kehidupannya, merasa cemas dan takut dengan ketidakmampuan merawat bayinya dan merasa bersalah. Perubahan emosi ini dapat membaik dalam beberapa hari setelah ibu dapat merawat diri dan bayinya serta mendapat dukungan keluarga. 5) Feeling beat up, merupakan masa kerja keras fisik dalam hidup dan akhirnya merasa kelelahan.

4. Jenis Gangguan Psikologis Ibu Postpartum

  Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental disorder

  

(American Psychiatric Association, 2000) tentang petunjuk resmi untuk

  pengkajian dan diagnosis penyakit psikiater, bahwa gangguan yang dikenali selama postpartum adalah :

  a.

   Postpartum Blues

  Fenomena pasca postpartum awal atau baby blues merupakan sekuel umum kelahiran bayi, terjadi hingga 70% wanita. Postpartum

  

blues , maternity blues atau baby blues merupakan gangguan mood/efek

  ringan sementara yang terjadi pada hari pertama sampai hari ke 10 setelah persalinan ditandai dengan tangisan singkat, perasaan kesepian atau ditolak, cemas, bingung, gelisah, letih, pelupa dan tidak dapat tidur (Pillitteri, 2003). Bobak (2005) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan

  

postpartum blues adalah perubahan mood pada ibu postpartum yang

  terjadi setiap waktu setelah ibu melahirkan tetapi seringkali terjadi pada hari ketiga atau keempat postpartum dan memuncak antara hari kelima dan ke-14 postpartum yang ditandai dengan tangisan singkat, perasaan kesepian atau ditolak, cemas, bingung, gelisah, letih, pelupa dan tidak dapat tidur.

  Ibu postpartum yang mengalami postpartum blues mempunyai gejala antara lain rasa marah, murung, cemas, kurang konsentrasi, mudah menangis (tearfulness), sedih (sadness), nafsu makan menurun (appetite), sulit tidur (Pillitari, 2003; Lyn dan Pierre, 2007 dalam Macmudah, 2010).

  Keadaan ini akan terjadi beberapa hari saja setelah melahirkan dan biasanya akan berangsur-angsur menghilang dalam beberapa hari dan masih dianggap sebagai suatu kondisi yang normal terkait dengan adaptasi psikologis postpartum. Apabila memiliki faktor predisposisi dan pemicu lainnya maka dapat berlanjut menjadi depresi postpartum. b. Depresi Postpartum Depresi adalah gangguan perasaan (afek) yang ditandai dengan afek disforik (kehilangan kegembiraan/gairah) disertai dengan gejala- gejala lain, seperti gangguan Universita Sumatera Utara tidur dan menurunnya selera makan (Wahyuni, 2010). Depresi postpartum adalah perasaan sedih akibat berkurangnya kebebasan bagi ibu, penurunan estetika dan perubahan tubuh, berkurangnya interaksi sosial dan kemandirian yang disertai dengan gejala sulit tidur, kurang nafsu makan, cemas, tidak berdaya, kehilangan kontrol, pikiran yang menakutkan mengenai kondisi bayi, kurang memerhatikan bentuk tubuhnya, tidak menyukai bayi dan takut menyentuh bayinya dimana hal ini terjadi selama 2 minggu berturut-turut dan menunjukkan perubahan dari keadaan sebelumnya (Lubis, 2010).

  Gejala yang ditimbulkan antara lain kehilangan harapan kesedihan, mudah menangis, tersinggung, mudah marah,

  (hopelessness),

  menyalahkan diri sendiri, kehilangan energi, nafsu makan menurun

  

(appetite), berat badan menurun, insomnia, selalu dalam keadaan cemas,

  sulit berkonsentrasi, sakit kepala yang hebat, kehilangan minat untuk melakukan hubungan seksual dan ada ide untuk bunuh diri (Beck, 2001; Lynn dan Pierre, 2007 dalam Macmudah, 2010). c. Postpartum Psikosis Mengalami depresi berat seperti gangguan yang dialami penderita depresi postpartum ditambah adanya gejala proses pikir (delusion,

  hallucinations and incoherence of association) yang dapat mengancam

  dan membahayakan keselamatan jiwa ibu dan bayinya sehingga sangat memerlukan pertolongan dari tenaga professional yaitu psikiater dan pemberian obat (Olds, 2000, Pilliteri, 2003, Lynn dan Pierre, 2007).

5. Kebutuhan dasar ibu nifas

  Kebutuhan dasar masa nifas antara lain sebagai berikut:

  a. Gizi

  Ibu nifas dianjurkan untuk : 1) Makan dengan diit berimbang, cukup karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. 2) Mengkomsumsi makanan tambahan, nutrisi 800 kalori/hari pada 6 bulan pertama, 6 bulan selanjutnya 500kalori/hari dan tahun kedua 400 kalori. Jadi jumlah kalori tersebut adalah tambahan dari kalori per harinya. 3) Mengkomsumsi vitamin A 200.000 iu. Pemberian vitamin A dalam bentuk suplementasi dapat meningkatkan kualitas ASI, meningkatkan daya tahan tubuh dan meningkatkan kelangsungan hidup anak. (Suherni, Hesty Widyasih, Anita Rahmawati, 2009) b. Ambulasi Ambulasi sedini mungkin sangat dianjurkan, kecuali ada kontraindikasi. Ambulasi ini akan meningkatkan sirkulasi dan mencegah risiko tromboflebitis, meningkatkan fungsi kerja peristaltik dan kandung kemih, sehingga mencegah distensi abdominal dan konstipasi. Bidan harus menjelaskan kepada ibu tentang tujuan dan manfaat ambulasi dini. Ambulasi ini dilakukan secara bertahap sesuai kekuatan ibu. Terkadang ibu nifas enggan untuk banyak bergerak karena merasa letih dan sakit. Jika keadaan tersebut tidak segera diatasi, ibu akan terancam mengalami trombosis vena. Untuk mencegah terjadinya trombosis vena, perlu dilakukan ambulasi dini oleh ibu nifas.

  Pada persalinan normal dan keadaan ibu normal, biasanya ibu diperbolehkan untuk mandi dan ke WC dengan bantuan orang lain, yaitu pada 1 atau 2 jam setelah persalinan. Sebelum waktu ini, ibu harus diminta untuk melakukan latihan menarik napas dalam serta latihan tungkai yang sederhana Dan harus duduk serta mengayunkan tungkainya di tepi tempat tidur. Sebaiknya, ibu nifas turun dan tempat tidur sediri mungkin setelah persalinan. Ambulasi dini dapat mengurangi kejadian komplikasi kandung kemih, konstipasi, trombosis vena puerperalis, dan emboli perinorthi. Di samping itu, ibu merasa lebih sehat dan kuat serta dapat segera merawat bayinya. Ibu harus didorong untuk berjalan dan tidak hanya duduk di tempat tidur. Pada ambulasi pertama, sebaiknya ibu dibantu karena pada saat ini biasanya ibu merasa pusing ketika pertama kali bangun setelah melahirkan. (Bahiyatun, 2009).

  c. Higiene Personal Ibu Sering membersihkan area perineum akan meningkatkan kenyamanan dan mencegah infeksi. Tindakan ini paling sering menggunakan air hangat yang dialirkan (dapat ditambah larutan antiseptik) ke atas vulva perineum setelah berkemih atau defekasi, hindari penyemprotan langsung. Ajarkan ibu untuk membersihkan sendiri.

  Pasien yang harus istirahat di tempat tidur (mis, hipertensi, post- seksio sesaria) harus dibantu mandi setiap hari dan mencuci daerah perineum dua kali sehari dan setiap selesai eliminasi. Setelah ibu mampu mandi sendiri (dua kali sehari), biasanya daerah perineum dicuci sendiri.

  Penggantian pembalut hendaknya sering dilakukan, setidaknya setelah membersihkan perineum atau setelah berkemih atau defekasi. Luka pada perineum akibat episiotomi, ruptura, atau laserasi merupakan daerah yang tidak mudah untuk dijaga agar tetap bersih dan kering. Tindakan membersihkan vulva dapat memberi kesempatan untuk melakukan inspeksi secara seksama daerah perineum.

  Payudara juga harus diperhatikan kebersihannya. Jika puting terbenam, lakukan masase payudara secara perlahan dan tarik keluar secara hati - hati. Pada masa postpartum, seorang ibu akan rentan terhadap infeksi. Untuk itu, menjaga kebersihan sangat penting untuk mencegah infeksi. Anjurkan ibu untuk menjaga kebersihan tubuh, pakaian, tempat tidur, dan lingkungannya. Ajari ibu cara membersibkan daerah genitalnya dengan sabun dan air bersih setiap kali setelah berkemih dan defekasi. Sebelum dan sesudah membersihkan genitalia, ia harus mencuci tangan sampai bersih. Pada waktu mencuci luka (epistotomi), ia harus mencucinya dan arah depan ke belakang dan mencuci daerah anusnya yang terakhir. Ibu harus mengganti pembalut sedikitnya dua kali sehari.

  Jika ia menyusui bayinya, anjurkan untuk menjaga kebersihan payudaranya.

  Alat kelamin wanita ada dua, yaitu alat kelamin luar dan dalam. Vulva adalah alat kelamin luar wanita yang terdiri dan berbagai bagian, yaitu kommissura anterior, komrnissura interior, labia mayora, labia rninora, klitoris, prepusium klitonis, orifisium uretra, orifisium vagina, perineum anterior, dan perineum posterior. Robekan perineum terjadi pada semua persalinan, dan biasanya robekan tenjadi di garis tengah dan dapat meluas apabila kepala janin lahir terlalu cepat. Perineum yang dilalui bayi biasanya mengalami peregangan, lebam, dan trauma. Rasa sakit pada perineum semakin parah jika perineum robek atau disayat pisau bedah. Seperti semua luka baru, area episiotomi atau luka sayatan membutuhkan waktu untuk sembuh, yaitu 7 hingga 10 hari.

  Infeksi dapat terjadi, tetapi sangat kecil kemungkinanya jika luka perineum dirawat dengan baik. Selama di rumah sakit, dokter akan memeriksa perineum setidaknya sekali sehari untuk memastikan tidak terjadi peradangan atau tanda infeksi lainnya. Dokter juga akan memberi instruksi cara menjaga kebersihan perineum pascapersalinan untuk mencegah infeksi.

  d. Istirahat dan tidur Anjurkan ibu untuk istirahat yang cukup untuk mengurangi kelelahan, tidur siang atau istirahat selagi bayi tidur dan kembali ke kegiatan rumah tangga secara perlahan-lahan. Mengatur kegiatan rumahnya sehingga dapat menyediakan waktu untuk istirahat pada siang kira-kira 2 jam dan malam 7-8 jam.

  Kurangnya istirahat pada ibu nifas menurut Suherni, Hesty Widyasih, Anita Rahmawati, (2009) dapat berakibat mengurangi jumlah ASI, memperlambat involusi, yang akhirnya bisa menyebabkan perdarahan dan juga dapat mengakibatkan ibu menjadi depresi.

  e. Senam Nifas Selama kehamilan dan persalinan ibu banyak mengalami perubahan fisik seperti dinding perut menjadi kendor, longgarnya liang senggama, dan otot dasar panggul. Untuk mengembalikan kepada keadaan normal dan menjaga kesehatan agar tetap prima, senam nifas sangat baik dilakukan pada ibu setelah melahirkan. Ibu tidak perlu takut untuk banyak bergerak, karena dengan ambulasi secara dini dapat membantu rahim untuk kembali kebentuk semula.

  Senam nifas adalah senam yang dilakukan sejak hari pertama melahirkan setiap hari sampai hari yang kesepuluh, terdiri dari sederetan gerakan tubuh yang dilakukan untuk mempercepat pemulihan ibu. (Suherni, Hesty Widyasih, Anita Rahmawati, 2009)

  f. Seksualitas masa nifas Kebutuhan seksual sering menjadi perhatian ibu dan keluarga. Diskusikan hal ini sejak mulai hamil dan diulang pada postpartum berdasarkan budaya dan kepercayaan ibu dan keluarga. Seksualitas ibu dipengaruhi oleh derajat ruptur perineum dan penurunan hormon steroid setelah persalinan. Keinginan seksual ibu menurun karena kadar hormon rendah, adaptasi peran baru, keletihan (kurang istirahat dan tidur). Penggunaan kontrasepsi (ovulasi terjadi pada kurang lebih 6 minggu) diperlukan karena kembalinya masa subur yang tidak dapat diprediksi. Menstruasi ibu terjadi pada kurang lebih 9 minggu pada ibu tidak menyusui dan kurang Iebih 30 - 36 minggu atau 4 - 18 bulan pada ibu yang menyusui.

6. Gravida a. Definisi Gravida

  Menurut Dorland (2002) gravida adalah wanita hamil Gravida merupakan salah satu komponen dari status paritas yang sering dituliskan dengan notasi G- P-Ab, di mana G menyatakan jumlah kehamilan (gestasi), P menyatakan jumlah paritas, dan Ab menyatakan jumlah abortus.

1) Klasifikasi Gravida

  Berdasarkan jumlahnya, kehamilan seorang wanita dapat dibedakan menjadi :

  a) Primigravida Primigravida atau primipara merupakan seorang wanita yang pernah melahirkan bayi satu kali setelah usia kehamilan lebih dari 20 minggu atau melahirkan bayi aterm (Murray & McKinney, 2007; Ratnawati, Sunarsih, & Dharmaningrum, 2011).

  Ibu primipara yang baru satu kali melahirkan menyebabkan ibu belum memiliki pengalaman sama sekali dalam melakukan perawatan diri paska melahirkan. Hal ini menyebabkan ibu postpartum primipara akan mengalami kecemasan tentang perawatan dirinya (Murray & McKinney, 2007). Ibu postpartum primipara juga beresiko untuk mengalami komplikasi tergantung kesiapan fisik, psikologi dan pengetahuan ibu tentang masa kehamilan sampai masa postpartum (Ratnawati, Sunarsih, & Dharmaningrum, 2011).

  Bobak (Munawaroh, 2008) menerangkan bahwa ibu primipara pasca melahirkan lebih membutuhkan dukungan daripada yang sudah mempunyai pengalaman melahirkan sebelumnya, kurangnya dukungan dari orang-orang terdekat dapat menyebabkan penurunan fungsi psikologis (satu kemunduran dalam kemampuan mental) yang akan menyebabkan ibu menjadi depresi. Gangguan psikologis pasca melahirkan dapat mengganggu proses peran ibu primipara ditambah lagi jika tidak disertai dukungan keluarga khususnya suami ibu kandung maupun diluar keluarganya seperti; bidan, dokter dan bagian medis lainnya. Jika tidak segera diatasi dapat memunculkan stres yang berkepanjangan.

  Strategi coping keluarga menurut Mccubbin, dkk (Judge, 1998) dapat berpotensi memperkuat atau mempertahankan keluarga untuk melindungi keluarga dari tuntutan munculnya stres. Keluarga juga berpotensi dapat memperkuat atau mempertahankan sumber daya keluarga untuk melindungi keluarga dari dampak tekanan. Banyak ibu dapat mengalami distress yang tidak seharusnya dan kecemasan hanya karena tidak dapat mengantisipasi atau tidak mengetahui perubahan psikologis, perubahan emosi, dan adanya penyesuaian yang merupakan bagian integral proses kehamilan, persalinan dan pascanatal. Banyak bukti menunjukkan bahwa periode kehamilan, persalinan dan pasca natal merupakan masa terjadinya stres berat, kecemasan, gangguan emosi dan penyesuaian diri (Marmi, 2011).

  b) Multigravida Multigravida atau Multipara menurut Prawirohardjo (2009), adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak lebih dari satu kali.

  Sedangkan menurut Varney (2006) Multigravida adalah wanita yang sudah hamil, dua kali atau lebih. c) Grandemultipara Grandemultipara menurut Rustam (2005), adalah wanita yang pernah melahirkan bayi 6 kali atau lebih hidup atau mati. Sedangkan menurut Varney (2006) Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih.

7. Kerangka Teori

  Berdasarkan teori diatas, maka penulis dapat menyusun kerangka teori sebagai betikut : Ibu Postpartum

  Fase Adaptasi Psikologis:

  a. Fase talking in Faktor-faktor yang

  b. Fase talking hold mempengaruhi

  c.

   Fase letting go baby blues syndrome :

  Dampak

  Baby Blues

  a. Hormonal

  Syndrome

  b. Ketidaknyamana

  Baby Blues Syndrome

  a. Pada ibu n fisik b. Pada bayi

  c. Ketidaknyamana Gejala- gejala baby blues

  syndrome:

  n beradaptasi c. Pada

  a. Gejala perilaku

  d. Paritas pasangan

  b. Gejala fisik

  e. Pengalaman c.

  Gejala emosional

  f. Latar belakang psikososial

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian

  Sumber : Sujiyatini dkk (2010), Jhaquin (2010), Pieter & Lubis, (2010)

8. Kerangka Konsep

  Faktor-faktor yang mempengaruhi

  Baby Blues Syndrome

  Gejala-gejala Baby

  Blues Syndrome

  (perilaku, fisik dan emosional)