BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan - Bagus Parmanto BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pendidikan Pendidikan menurut Notoatmodjo (2003) secara umum adalah

  segala upaya yang direncanakan unutk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Dari batasan di atas tersirat unsur- unsur pendidikan yakni input (sasaran pendidikan individu, kelompok, masyarakat dan pendidik pelaku pendidikan), proses adalah upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain dan output adalah melakukan apa yang diharapkan (Corwin, 2000).

  Pendidikan menurut Langevelt (2001, dalam Maulana, 2009) adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang dilakukan pada anak untuk menuju dewasa. Ciri orang dewasa ditunjukkan oleh kemampuan secara fisik, mental, moral, sosial dan emosional. Sedangkan menurut Wood (2003, dalam Lina Marliana, 2008). Sedangkan dalam Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 menyebutkan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mampu mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Undang-Undang 20/2003:1).

  Filsafat pendidikan mengkaji tentang pendidikan dengan Paedagogie dan Paedagogiek. Paedagogie berarti “pendidikan”dan Paedagogiek artinya “ilmu pendidikan”. Perkataan Paedagogos yang pada mulanya berarti pelayan kemudian berubah menjadi pekerjaan mulia. Karena pengertian paedagoog dari paedagogos) berarti seorang yang tugasnya, membimbing anak di dalam pertumbuhannya ke arah berdiri sendiri dan bertanggung jawab (Poerbakawatja, 2004). Teori- teori pendidikan Nurani Soyomukti (2010), mengatakan bahwa aspek- aspek yang biasanya paling dipertimbangkan dalam pendidikan antara lain: penyadaran, pencerahan, pemberdayaan, perubahan perilaku.

  Pendidikan dalam arti yang luas meliputi semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamnnya, kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah (Poerbakawatja, 2004).

B. Peran Perawat Terhadap Bencana

  Pelayanan keperawatan tidak hanya terbatas diberikan pada instansi pelayanan kesehatan seperti rumah sakit saja. Tetapi, pelayanan keperawatan tersebut juga sangat dibutuhkan dalam situasi bencana. Perawat tidak hanya dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan dasar praktek keperawatan saja, Lebih dari itu, kemampuan tanggap bencana juga sangat di butuhkan saaat keadaan darurat. Hal ini diharapkan menjadi bekal bagi perawat untuk bisa terjun memberikan pertolongan dalam dibandingkan pertolongan medis dalam keadaan normal lainnya. Menurut Mursalin (2011), ada beberapa tindakan penting yang bisa dilakukan oleh perawat dalam situasi tanggap bencana:

  1) Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik

  Bencana alam yang menimpa suatu daerah, selalu akan memakan korban dan kerusakan, baik itu korban meninggal, korban luka luka, kerusakan fasilitas pribadi dan umum, yang mungkin akan menyebabkan isolasi tempat, sehingga sulit dijangkau oleh para relawan. Hal yang paling urgen dibutuhkan oleh korban saat itu adalah pengobatan dari tenaga kesehatan. Perawat bisa turut andil dalam aksi ini, baik berkolaborasi dengan tenaga perawat atau pun tenaga kesehatan profesional, ataupun juga melakukan pengobatan bersama perawat lainnya secara cepat, menyeluruh dan merata di tempat bencana. Pengobatan yang dilakukan pun bisa beragam, mulai dari pemeriksaan fisik, pengobatan luka, dan lainnya sesuai dengan profesi keperawatan.

  2) Pemberian bantuan

  Perawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban bencana, dengan menghimpun dana dari berbagai kalangan dalam berbagai bentuk, seperti makanan, obat obatan, keperluan sandang dan lain sebagainya. Pemberian bantuan tersebut bisa dilakukan langsung oleh perawat secara langsung di lokasi bencana dengan memdirikan posko adalah pemerataan bantuan di tempat bencana sesuai kebutuhan yang di butuhkan oleh para korban saat itu, sehinnga tidak akan ada lagi para korban yang tidak mendapatkan bantuan tersebut dikarenakan bantuan yang menumpuk ataupun tidak tepat sasaran. 3)

  Pemulihan kesehatan mental Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma psikologis akibat kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa kesedihan yang mendalam, ketakutan dan kehilangan berat. Tidak sedikit trauma ini menimpa wanita, ibu ibu, dan anak anak yang sedang dalam massa pertumbuhan. Sehingga apabila hal ini terus berkelanjutan maka akan mengakibatkan stress berat dan gangguan mental bagi para korban bencana. Hal yang dibutukan dalam penanganan situasi seperti ini adalah pemulihan kesehatan mental yang dapat dilakukan oleh perawat. Pada orang dewasa, pemulihannya bisa dilakukan dengan sharing dan mendengarkan segala keluhan keluhan yang dihadapinya, selanjutnya diberikan sebuah solusi dan diberi penyemangat untuk tetap bangkit. Sedangkan pada anak anak, cara yang efektif adalah dengan mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal ini mengingat sifat lahiriah anak anak yang berada pada masa bermain. Perawat dapat mendirikan sebuah taman bermain, dimana anak anak tersebut akan mendapatkan permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya. Sehinnga kepercayaan

  4) Pemberdayaan masyarakat

  Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca bencana biasanya akan menjadi terkatung katung tidak jelas akibat memburuknya keaadaan pasca bencana., akibat kehilangan harta benda yang mereka miliki. sehinnga banyak diantara mereka yang patah arah dalam menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa menolong membangkitkan keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan masyarakat. Masyarakat perlu mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat menjadi bekal bagi mereka kelak. Perawat dapat melakukan pelatihan pelatihan keterampilan yang difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi ataupun LSM yang bergerak dalam bidang itu. Sehingga diharapkan masyarakat di sekitar daerah bencana akan mampu membangun kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang ia miliki.

  Untuk mewujudkan tindakan di atas, menurut Mepsa (2012) perlu adanya beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang perawat, diantaranya; Perawatan harus memilki skill keperawatan yang baik, Perawat harus memiliki jiwa dan sikap kepedulian, Perawatan harus memahami managemen siaga bencana. Adapun peran perawat dalam managemen siaga bencana adalah sebagai berikut: 1). Peran perawat dalam fase pre-impect

  Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam penanggulangan ancaman bencana.

  b.

  Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan, palang merah nasional, maupun lembaga- lembaga pemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman bencana.

  c.

  Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk meningkatkan kesiapan masyarakat dalam mengahdapi bencana.

  2). Peran perawat dalam fase impact a.

  Bertindak cepat b. Don’t promise. Perawat seharusnya tidak menjanjikan apapun dengan pasti dengan maksud memberikan harapan yang besar pada korban yang selamat.

  c.

  Berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukan d. Kordinasi dan menciptakan kepemimpinan e. Untuk jangka panjang, bersama-sama pihak yang tarkait dapat mendiskusikan dan merancang master plan of revitalizing, biasanya untuk jangka waktu 30 bulan pertama. 3). Peran perawat dalam fase post impact a.

  Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, fisikologi korban b.

  Stress fisikologi yang terjadi dapat terus berkembang hingga sindrom dengan 3 kriteria utama. Pertama, gejala trauma pasti dapat dikenali. Kedua, individu tersebut mengalami gejala ulang traumanya melalui flashback, mimpi, ataupun peristiwa-peristiwa yang memacuhnya. Ketiga, individu akan menunjukan gangguan fisik. Selain itu, individu dengan PTSD dapat mengalami penurunan konsentrasi, perasaan bersalah dan gangguan memori.

  c.

  Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait bekerja sama dengan unsure lintas sektor menangani maslah keehatan masyarakat paska gawat darurat serta mempercepat fase pemulihan (recovery) menuju keadaan sehat dan aman.

C. Mitigasi Bencana

  Menurut Soemantri (2010), tanah longsor disebabkan oleh tiga faktor yaitu: 1). Faktor Dakhil, penyebab tanah longsor lahan meliputi kedalaman pelapukan batuan, struktur geologi, tekstur tanah dan permeabilitas tanah. 2). Faktor dari suatu medan penyebab tanah longsor adalah kemiringan lereng, banyaknya dinding terjal, dan penggunaan lahan.

  3). Factor pemicu terjadinya tanah longsor antara laian tebal curah hujan dan gempa bumi.

  Adapun gejala-gejala tanah longsor yang disebabkan oleh faktor-faktor 1)

  Curah hujan tinggi 2) Hujan berlangsung lama. 3)

  Munculnya retakan-retakan pada tanah di lereng atas sepertipada tiang listrik, pohon menjadi miring.

  4) Lereng-lereng pegunungan yang telah lapuk. 5) Bahan lapuk tersebut termasuk tanah berwarna merah. 6)

  Ada perubahan bobot massa baik karena pergantian musim atau karena lahan miring tersebut dijadikan persawahan.

  7) Adanya perbedaan kelunakan permukaan lahan dan dasar lahan. 8)

  Adanya gravitasi bumi yang tergantung pada besarnya lereng adalah kritis jika lereng lebih dari 100%.

  9) Perubahan hambat geser, misalnya tanah kering hambat gesernya lebih besar dibandingkan tanag basah.

  Sedangkan tindakan-tindakan manusia yang menyebabkan tanah longsor adalah sebagai berikut: 1) Menebang pohon dilereng pegunungan. 2)

  Membuat sawah dan kolam pada lereng bagian atas di dekat pemukiman.

  3) Mendirikan pemukiman di daerah terbing terjal.

4) Melakukan penggalian dibawah tebing terjal.

  Soemantri (2010) juga menjelaskan bahwa mitigasi bencana meliputi sebelum, saat terjadi, dan sesudah terjadi tanah longsor, yaitu melalui 1)

  Sebelum bencana antara lain peringatan dini (early warning system) secara optimal dan terus menerus pada masyarakat, dengan; a.

  Mendatangi daerah rawan longsor berdasarkan peta kerentanannya b.

  Memberikan tanda khusus pada daerah rawan longsor.

  c.

  Memanfaatkan peta-peta kajian tanah longsor secepatnya.

  d.

  Pemukiman sebaiknya menjauhi tebing.

  e.

  Tidak melakukan pemotongan lereng f. Melakukan reboisasi pada hutan yang pada saat ini dalam keadaan gundul, menanam pohon penyangga, melakukan penghijauan pada lahan-lahan terbuka.

  g.

  Membuat terasering atau sengkedan pada lahan yang memiliki kemiringan yang relatif curam.

  h.

  Membatasi lahan pertanian. i.

  Membuat saluran pembuangan air menurut kontur tanah. j.

  Menggunakan teknik penanaman dengan system kontur tanah. k.

  Waspada gejala tanah longsor (retakan, penurunan tanah), terutama musim hujan

  2) Saat bencana antara lain bagaimana masyarakat menyelamatkan diri dan ke arah mana, ini harus diketahui masyarakat.

  Sesudah bencana antara lain pemulihan (recovery) dengan melibatkan masyarakat sebagai berikut: a.

  Penyelamatan korban secepatnya ke daerah yang lebih aman.

  b.

  Menyelamatkan harta benda yang mungkin masih bisa diselamatkan.

  c.

  Menyiapkan tempat-tempat penampungan sementara bagi pengungsi dengan tenda-tenda darurat.

  d.

  Menyediakan dapur-dapur umum, air bersih, dan sarana kesehatan.

  e.

  Mengkoordinasikan dengan aparat setempat. Pendapat Lili Soemantri (2010) di atas memberikan gambaran betapa pentingnya mitigasi bencana dalam penanggulangan bencana. Hal senada juga tercantum dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana Nomor

  24 Tahun 2007 yang memuat komponen-komponen sebagai berikut: 1)

  Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana. 2)

  Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.

  3) Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.

  Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. 5)

  Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, pelindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.

  6) Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.

  7) Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.

  Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006, mistigasi bencana didefinisikan sebagai : “Upaya yang ditujukan untuk mengurangi dampak dari bencana baik bencana alam, bencana ulah manusia maupun bencana yang merupakan bagian dari manajemen penanganan bencana, menjadi salah satu tugas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian rasa aman dan perlindungan dari ancaman bencana yang mungkin dapat terjadi. Ada empat hal penting dalam mitigasi bencana, yaitu : 1) tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana; 2) sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana, karena bermukim di daerah rawan bencana; 3) mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana timbul, dan 4) pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana.

  Adapun kebijakan dan strategi mitigasi bencana menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006, adalah sebagai berikut:

  • Kebijakan Berbagai kebijakan yang perlu ditempuh dalam mitigasi bencana antara lain : a.

  Dalam setiap upaya mitigasi bencana perlu membangun persepsi yang sama bagi semua pihak baik jajaran aparat pemerintah maupun segenap unsur masyarakat yang ketentuan langkahnya diatur dalam pedoman umum, petunjuk pelaksanaan dan prosedur tetap yang dikeluarkan oleh instansi yang bersangkutan sesuai dengan bidang tugas unit masing-masing. Pelaksanaan mitigasi bencana dilaksanakan secaraterpadu terkoordinir yang melibatkan seluruh potensi pemerintah dan masyarakat.

  c.

  Upaya preventif harus diutamakan agar kerusakan dan korban jiwa dapat diminimalkan.

  d.

  Penggalangan kekuatan melalui kerjasama dengan semua pihak, melalui pemberdayaan masyarakat serta kampanye.

  • Strategi Untuk melaksanakan kebijakan dikembangkan beberapa strategi sebagai berikut: a.

  Pemetaan Langkah pertama dalam strategi mitigasi ialah melakukan pemetaan daerah rawan bencana. Pada saat ini berbagai sektor telah mengembangkan peta rawan bencana. Peta rawan bencana tersebut sangat berguna bagi pengambil keputusan terutama dalam antisipasi kejadian bencana alam. Meskipun demikian sampai saat ini penggunaan peta ini belum dioptimalkan. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, diantaranya adalah : (1)

  Belum seluruh wilayah di Indonesia telah dipetakan (2)

  Peta yang dihasilkan belum tersosialisasi dengan baik

  (3) Peta bencana belum terintegrasi

  (4) Peta bencana yang dibuat memakai peta dasar yang berbeda beda sehingga menyulitkan dalam proses integrasinya.

  Pemantauan Dengan mengetahui tingkat kerawanan secara dini, maka dapat dilakukan antisipasi jika sewaktu-waktu terjadi bencana, sehingga akan dengan mudah melakukan penyelamatan. Pemantauan di daerah vital dan strategis secara jasa dan ekonomi dilakukan di beberapa kawasan rawan bencana.

  c.

  Penyebaran informasi Penyebaran informasi dilakukan antara lain dengan cara: memberikan poster dan leaflet kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan Propinsi seluruh Indonesia yang rawan bencana, tentang tata cara mengenali, mencegah dan penanganan bencana. Memberikan informasi ke media cetak dan etektronik tentang kebencanaan adalah salah satu cara penyebaran informasi dengan tujuan meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana geologi di suatu kawasan tertentu. Koordinasi pemerintah daerah dalam hal penyebaran informasi diperlukan mengingat Indonesia sangat luas.

  d.

  Sosialisasi dan Penyuluhan Sosialisasi dan penyuluhan tentang segala aspek kebencanaan kepada SatKor-Lak PB, SatLak PB, dan masyarakat bertujuan meningkatkan kewaspadaan dan kesiapan menghadapi bencana jika sewaktu-waktu terjadi. Hal penting yang perlu diketahui masyarakat dan Pemerintah Daerah ialah mengenai hidup harmonis dengan alam di daerah bencana, apa yang perlu ditakukan dan menyelamatkan diri jika terjadi bencana e.

  Pelatihan/Pendidikan Pelatihan difokuskan kepada tata cara pengungsian dan penyelamatan jika terjadi bencana. Tujuan latihan lebih ditekankan pada alur informasi dari petugas lapangan, pejabat teknis, Satkorlak PB, Satlak PB dan masyarakat sampai ke tingkat pengungsian dan penyelamatan korban bencana. Dengan pelatihan ini terbentuk kesiagaan tinggi menghadapi bencana akan terbentuk.

  f.

  Peringatan Dini Peringatan dini dimaksudkan untuk memberitahukan tingkat kegiatan hasil pengamatan secara kontinyu di suatu daerah rawan dengan tujuan agar persiapan secara dini dapat dilakukan guna mengantisipasi jika sewaktu-waktu terjadi bencana. Peringatan dini tersebut disosialisasikan kepada masyarakat melalui pemerintah daerah dengan tujuan memberikan kesadaran masyarakat dalam menghindarkan diri dari bencana. Peringatan dini dan hasil pemantauan daerah rawan bencana berupa saran teknis dapat berupa antara lain pengalihan jalur jalan (sementara atau seterusnya), pengungsian dan atau relokasi, dan saran penanganan lainnya.

  Menurut Sutikno (2003), Mitigasi bencana adalah suatu tindakan

  

harta benda atau korban jiwa, sehingga dapat diupayakan agar efek fisik,

sosial, dan ekonomi dari bencana alam dapat terkelola dengan baik,

sehingga masih memberikan kontribusi terhadap pembangunan jangka

panjang. Sedangkan menurut Mustow (1996, dalam Sutikno, 2003)

menyatakan bahwa mitigasi merupakan bagian dalam siklus penanganan

bencana. Aktifitas dalam penanganan bencana meliputi: mitigasi,

persiapan, pertolongan/ bantuan dan respon, rehabilitasi, dan rekontruksi.

Walaupun dalam kenyataannya pemberian bantuan pasca bencana selama

ini merupakan kegiatan yang lebih penting, namun sudah saatnya untuk

disosialisasikan kepada publik bahwa mitigasi lebih baik daripada

pengobatan. Pengalokasikan waktu dan sumberdaya untuk meminimalkan

efek bencana alam akan lebih baik daripada menghadapi kenyataan akibat

bencana.

  Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Mitigasi Bencana adalah upaya untuk mengurangi dampak dari bencana melalui langkah-

langkah pencegahan yang dilakukan dengan menganalisa lingkungan

sekitar masyarakat maupun pola prilaku masyarakat.

D. Pengetahuan Masyarakat

  Pengetahuan menurut Moersintowarti (2002) adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan dengan kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Pendapat lain diungkapkan Notoadmodjo (2007), bahwa pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu melalui panca indera, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba yang merupakan domain/ unsur utama yang membentuk 6 tingkatan dalam pengetahuan, yaitu: tahu (diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya), memahami (diartikan diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar), aplikasi (diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real/sebenarnya), analisis (diartikan suatu komponen untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen- komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain), sintesis (suatu kemampuan untuk menciptakan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru), evaluasi (kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Djanah (2009), bahwa semakin tinggi pengetahuan terhadap suatu objek maka akan semakin baik pula sikap seseorang terhadap objek tersebut.

  Menurut Budiman (2013), faktor- faktor yang mempengaruhi a.

  Sosial ekonomi, lingkungan sosial akan mendukung tingginya pengetahuan karena social ekonomi berhungan dengan pencapaian tingkat pendidikan.

  b.

  Kultur (budaya, agama), karena informasi yang baru akan disaring kira-kira sesuai tidak dengan budaya yang ada dan agama yang dianut.

  c.

  Pendidikan, pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang semakin baik pula pengetahuannya.

  d.

  Pengalaman, pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan.

  Oleh sebab itu, pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan.

  Dari pendapat diatas bahwa pengetahuan merupakan hasil dari indera seorang baik itu melalui penglihatan, pendengaran, raba,rasa yang dipengaruhi pendidikan, usia, pengalaman, informasi, dan penghasilan yang menghasilkan seseorang utk melakukan tindakan atau sikap.

E. Kerangka Teori

Gambar 2.1. Kerangka Teori Berdasarkan Managemen Bencana Berdasarkan Peraturan Menteri

  Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 F.

   Kerangka Konsep

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

  Pemulihan (recovery) Manajemen Penangan Bencana

  Mitigasi Bencana Kewaspadaan (alertness)

  Pengetahuan Masyarakat Tanggapan (respons)

  Pendidikan Mitig asi Bencana

  Pre test Pengetahuan Masyarakat

  Intervensi Pendidikan

Mitigasi Bencana

  Post Test Pengetahuan Masyarakat

G. Hipotesis Penelitian

  Hipotesis dalam penelitian adalah terdapat pengaruh pendidikan mitigasi bencana tanah longsor terhadap pengetahuan