Vista Khanafiyah Bab II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Keagenan (Agency Theory) Konsep Teori Keagenan (agency theory) menurut Anthony dan Govindarajan (2005) yaitu hubungan antara principal dan agen. Principal

  mempekerjakan agen untuk melakukan tugas untuk kepentingan principal, termasuk pendelegasian otorisasi pengambilan keputusan dari principal kepada agen. Pada perusahaan yang modalnya terdiri atas saham, pemegang saham bertindak sebagai principal, dan CEO (Chief Executive Officer) sebagai agen mereka. Pemegang saham mempekerjakan CEO untuk bertindak sesuai dengan kepentingan principal.

  Menurut Eisenhardt (1989) dalam Ujiyanto dan Bambang (2007) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk

  

averse ). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai

  manusia akan bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya.

  8

B. Good Corporate Governance

  Menurut Nindyo Pramono 2006, secara teoritis konsep GCG bukan sesuatu yang baru bagi manajemen korporasi, tetapi di Indonesia konsep ini menjadi fenomena baru dalam tata kelola korporasi semenjak pasca krisis tahun 1997. Istilah Corporate Governance pertama kali digunakan pada 1970- an ketika terdapat beberapa skandal korporasi yang terjadi di Amerika Serikat dan beberapa tindakan perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat yang terlibat dalam kegiatan berpolitik yang tidak sehat dan budaya korupsi. Terjadinya kegagalan perusahaan berskala besar,skandal-skandal keuangan dan krisis-krisis ekonomi diberbagai Negara, telah membuat banyak perusahaan memusatkan perhatiaanya pada pentingnya penerapan corporate governance (Jeswald W.Salacuse 2004).

  Corporate Governance juga dapat di artikan sebagai suatu hal yang

  berkaitan dengan pengambilan keputusan yang efektif yang bersumber dari budaya perusahaan, etika, sistem nilai, proses bisnis, kebijakan, dan struktur organisasi yang bertujuan untuk mendorong (Alijoyo dan Zaini 2004) : 1) Pertumbuhan kinerja perusahaan 2) Pengelolaan sumber daya dan resiko secara lebih efesien dan efektif 3) Pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang saham dan stakeholder lainnya.

  Berkaitan dengan masalah keagenan, corporate governance yang merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan. Dengan kata lain corporate governance diarahkan untuk mengurangi informasi asimetri antara principal dan agent yang pada akhirnya dapat menurunkan tindakan manajemen laba (Ujiyanto dan Bambang, 2007).

  Hingga saat ini masih ditemui definisi yang bermacam-macam tentang Good

  

Corporate Governance atau GCG. Namun umumnya mempunyai maksud dan

pengertian yang sama.

C. Mekanisme Good Corporate Governance

  Mekanisme pengendalian internal yang efektif dapat mengarahkan kegiatan operasional perusahaan serta mampu mengidentifikasi pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda, meliputi kepemilikan institusional, dewan direksi, komisaris independen, dewan komisari, dan ukuran perusahaan.

  3.1 Kepemilikan Institusional Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi manajemen laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Boediono, 2005). Kepemilikan institusional dapat mengurangi tingkat insentif manajemen untuk meningkatkan kesejahteraannya sendiri melalui pengawasan yang intens sehingga dapat menekan perilaku manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen. Investor institusional dianggap

  sophisticated investors

  yang tidak mudah “dibodohi” oleh tindakan manajemen (Midiastuty dan Mas`ud, 2003).

  3.2 Komisaris Independen Komisaris Independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan Direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan. Jumlah komisaris independen dalam satu perusahaan ditetapkan paling sedikit 30% dari jumlah seluruh komisaris.

  Menurut Komite Nasional Kebijakan Good Corporate

  Governance (2004), komisaris independen adalah anggota komisaris

  yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis dan hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata- mata demi kepentingan perusahaan.

  3.3 Dewan Komisaris Dewan Komisaris dalam KNKG (2006) diartikan sebagai organ perusahaan yang bertugas dan bertanggung jawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan good corporate governance. Namun demikian, dewan komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan operasional. Kedudukan masing-masing anggota dewan komisaris termasuk komisaris utama adalah setara.

  Tugas komisaris utama adalah mengkoordinasikan kegiatan dewan komisaris. Agar pelaksanaan tugas dewan komisaris dapat berjalan secara efektif, perlu dipenuhi prinsip-prinsip berikut:

  a) Komposisi dewan komisaris harus memungkinkan pengambilan keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak independen.

  b) Anggota dewan komisaris harus profesional, yaitu berintegritas dan memiliki kemampuan sehingga dapat menjalankan fungsinya dengan baik termasuk memastikan bahwa direksi telah memperhatikan kepentingan semua pemangku kepentingan.

  c) Fungsi pengawasan dan pemberian nasihat dewan komisaris mencakup tindakan pencegahan, perbaikan, sampai kepada pemberhentian sementara.

  3.6 Dewan Direksi Dewan Direksi adalah sistem manajemen yang memungkinkan optimalisasi peran anggota direksi dalam penyelenggaraan corporate

  governance . Peranan direksi adalah organ yang menjalankan fungsi

  pengelolaan perusahaan dengan tujuan menciptakan nilai tambah bagi

  stakeholders . Tugas dewan direksi adalah menelaah kinerja

  manajemen untuk meyakinkan bahwa perusahaan dijalankan secara baik dan kepentingan pemegang saham dilindungi (Tunggal dan Amin, 2002).

  3.7 Ukuran Perusahaan Perusahaan besar dapat memiliki masalah keagenan yang lebih besar (karena lebih sulit untuk dimonitor) sehingga membutuhkan

  corporate governance yang lebih baik. Di sisi lain, perusahaan kecil

  bisa memiliki kesempatan tumbuh yang tinggi, sehingga membutuhkan dana eksternal, dan seperti argumen diatas, membutuhkan mekanisme

  corporate governance yang baik (Diah Kusuma Wardani 2008). Sesuai

  teori agensi, dimana perusahaan besar yang memiliki biaya keagenan yang lebih besar akan mengungkapkan informasi yang lebih luas untuk mengurangi biaya keagenan tersebut.

D. Leverage Keuangan

  Leverage keuangan bisa diartikan sebagai besarnya beban tetap

  keuangan yang digunakan oleh perusahaan (Hanafi,2004). Leverage keuangan juga diartikan sebagai tingkat sampai sejauh mana sekuritas dengan laba tetap (utang dan saham preferen) digunakan dalam struktur modal sebuah perusahaan. Leverage ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban jangka penjangnya.

  Leverage merupakan rasio antara total kewajiban dengan total modal

  perusahaan Semakin besar rasio leverage, berarti semakin tinggi nilai utang perusahaan. Ukuran ini berhubungan dengan keberadaan dan ketat tidaknya suatu persetujuan utang. Perusahaan yang mempunyai rasio leverage tinggi diduga melakukan manajemen laba karena perusahaan akan mengalami kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditor bahkan perusahaan terancam tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran utang pada waktunya, manajemen akan melakukan peningkatan laba (income

  

increasing accruals ) untuk menghindari pelanggaran batasan hutang (Defond

dan Jiambalvo 1994 dan Sweeney 1994).

E. Manajemen Laba (Earnings Management)

  Menurut Healy dan Wahlen (1998) dalam Yulainto (2008) manajemen laba di definisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi ketika manajer menggunakan kebijakan dalam pelaporan keuangan dan dalam menyusun transaksi untuk mengubah laporan keuangan dan menyesatkan stakeholders mengenai kinerja ekonomi perusahaan, atau untuk mempengaruhi contractual

  

outcomes yang tergantung pada angka akuntansi yang dilaporkan. Maka dari

  itu, istilah manajemen laba (earning management) beberapa tahun terakhir mulai menarik perhatian para peneliti karena sering dihubungkan dengan perilaku manajer atau para pembuat laporan keuangan. Manajemen laba dilakukan oleh pihak manajer karena motivasi antara lain sebagai berikut: a) Bonus scheme, asimetri manajer dengan investor terkait laba yang akan dilaporkan, manajemen laba dilakukan untuk memaksimalkan bonus yang akan diperoleh.

  b) Political motivation, perusahaan cenderung menurunkan laba pada waktu tertentu dalam konteks periode kemakmuran tinggi, agar memperoleh kemudahan mendapatkan vasilitas dari pemerintah misalnya subsidi.

  c) Taxation motivation, perpajakan salah satu alasan pihak manajer malakukan manajemen laba dengan tujuan memperkecil nilai pajak.

  d) Pergantian CEO, seorang CEO yang mendekati akhir jabatan biasanya berusaha memaksimalkan laba yang dilaporkan agar tingkat bonus yang diperoleh lebih tinggi.

  e) Initial Public Offering (IPO) (penawaran pasar perdana), pada saat iniperusahaan biasa meningkatkan laba bersih untuk memperoleh harga pasar yang lebih tinggi, karena perusahaan dihadapkan pada masalah harga saham yang ditawarkan.

F. Kerangka Pemikiran

  Kepemilikan institusional merupakan salah satu cara untuk memonitor kinerja manajer dalam mengelola perusahaan sehingga, dengan adanya kepemilikan oleh institusi lain diharapkan bisa mengurangi perilaku manajemen laba yang dilakukan manajer. Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif. Cornet et al,(2006) menemukan adanya bukti yang menyatakan bahwa tindakan pengawasan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dan pihak investor insitusional dapat membatasi perilaku para manajer. Moh‟d et al. (1998) dalam Midiastuty dan Mahfoedz (2003) menyatakan bahwa investor institusional merupakan pihak yang dapat memonitor agen dengan kepemilikannya yang besar, sehingga motivasi manajer untuk mengatur laba menjadi berkurang. Midiastuty dan Mahfoedz (2003) menemukan hubungan negatif antara Kepemilikan Institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.

  Dewan komisaris independen dapat memberikan kontribusi yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas atau kemungkinan terhindar dari kecurangan laporan keuangan (Boediono, 2005). Adanya dewan komisaris menjamin transparansi dan keinformatifan laporan keuangan sehingga memfasilitasi hak pemegang saham untuk mendapatkan informasi yang berkualitas. Hasil penelitian Nasution dan Setyawan (2007) menyatakan bahwa komposisi dewan komisaris independen berpengaruh negative signifikan terhadap manajemen laba. Penelitian Klein (2000), menyatakan bahwa komposisi dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Dari hasi penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa komposisi dewan komisaris independen efektif dalam mengurangi manajemen laba perusahaan.

  Ukuran dewan komisaris mempengaruhi praktik manajemen laba pada perusahaan. Nasution dan Setyawan (2007) menemukan pengaruh positif signifikan terhadap praktik manajemen laba pada perusahaan. Semakin besar ukuran dewan komisaris, maka semakin besar pula manajemen laba yang dilakukan perusahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa Ukuran dewan komisaris yang besar tidak efektif dalam mengurangi praktik manajemen laba.

  Dewan Direksi adalah sistem manajemen yang memungkinkan optimalisasi peran anggota direksi dalam penyelenggaraan tata kelola perusahaan yang baik. Peranan direksi dalam tata kelola perusahaan yang baik adalah sebagai organ yang menjalankan fungsi pengendalian internal perusahaan dengan tujuan menciptakan value added bagi pemegang saham dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya (Tunggal dan Amin, 2002).

  Menurut Faisal (2005) ukuran dan komposisi dewan direksi dapat mempengaruhi efektif tidaknya monitoring yang dilakukan terhadap manajer.

  Sementara itu, Wikipedia bahasa Indonesia direktur atau dewan direksi berkaitan dengan jumlah direktur dalam suatu perusahaan (minimal satu), yang dapat dicalonkan sebagai direktur, dan cara pemilihan direktur ditetapkan dalam anggaran dasar perusahaan.

  Ukuran perusahaan dapat menentukan banyak sedikitnya praktik manajemen laba perusahaan. Perusahaan dengan ukuran yang relatif besar akan dilihat kinerjanya oleh publik sehingga perusahaan tersebut akan melaporkan kondisi keuangannya dengan lebih berhati

  • –hati, lebih menunjukkan keinformatifan informasi yang terkandung di dalamnya, dan lebih transparan. Oleh karena itu, perusahaan lebih sedikit dalam melakukan praktik manajemen laba. Sedangkan perusahaan yang mempunyai ukuran yang lebih kecil mempunyai kecenderungan untuk melakukan manajemen
laba dengan melaporkan laba yang lebih besar untuk menunjukkan kinerja perusahaan yang memuaskan. Chtourou (2001) menemukan bukti bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba pada perusahaan di Amerika. Ini berarti, perusahaan yang besar mempunyai peluang yang lebih sedikit dalam melakukan praktik manajemen laba dan sebaliknya, perusahaan yang lebih kecil mempunyai peluang yang lebih besar dalam melakukan praktik manajemen laba. Hasil penelitian Veronica dan Utama (2005) menunjukkan adanya pengaruh negatif signifikan antara ukuran perusahaan dengan manajemen laba perusahaan. Nuryaman (2008) menemukan bukti bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.

  Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widyaningdyah (2001), menunjukkan bahwa leverage berpengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba. Semakin besar leverage yang akan dimiliki perusahaan, maka semakin besar pula motivasi manajer untuk melakukan manajemen laba.

  Sehingga dapat disimpulkan bahwa leverage berpengaruh positif terhadap manajemen laba.

  Berdasarkan dari landasan teori dan penelitian yang telah diungkapkan diatas, maka kerangka pemikiran dapat digambarkan seperti dibawah ini :

  (-) (-) (+) (-) (-)

  (+)

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran G. Hipotesis

  H1 : Kepemilikan Institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.

  H2 : Komisaris Independen berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.

  H3 : Dewan Komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen laba. H4 : Dewan Direksi berpengaruh negative terhadap manajemen laba. H5 : Ukuran Perusahaan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. H6 : Leverage berpengaruh positif terhadap manajemen laba.

  Kepemilikan Institusional Komisaris Independen

  Dewan Komisaris Dewan Direksi

  Ukuran Perusahaan Leverage

  Manajemen Laba