BAB II KEADAAN UMUM DESA PEKUNCEN A. Terbentuknya Desa Pekuncen - DEKA LISTYANTI, BAB II

BAB II KEADAAN UMUM DESA PEKUNCEN A. Terbentuknya Desa Pekuncen Keadaan umum disuatu wilayah yang satu dengan yang lainnya berbeda-

  beda. Ada beberapa faktor untuk mengetahui keadaan umum suatu wilayah, diataranya dilihat dari monografi desa. Monografi desa ini mencangkup beberapa data umum di suatu wilayah.

  Desa Pekuncen terletak di Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap. Desa Pekuncen terbagi atas 6 grumbul atau dusun, yaitu Gandaria, Kepungla, Putan, Medang, Kemuning, dan Kubangwungu. Desa Pekuncen mempunyai arti yaitu

  pepeg kunci (kunci yang lengkap) atau disebut juga desa kunci atau desa yang

  mengunci Raden Adipati Mangkupraja. Tadinya disebut dengan Pekunci, namun lama kelamaan disebut dengan desa Pekuncen. Tokoh yang sangat berperan dalam desa Pekuncen adalah Raden Adipati Mangkupraja(Wawancara dengan Sandhi/Karyapadha, 04 Mei 2015).

  Raden Adipati Mangkupraja berasal dari Keraton Surakarta. Setelah sepeninggal kakaknya sebagai raja di Keraton Surakarta, Raden Adipati Mangkupraja berniat ingin menggantikan posisi kakaknya yang sudah meninggal di Keraton Solo, tetapi karena anak laki-laki dari kakaknya sudah besarsehingga anak laki-lakinya yang menggantikan posisi di Keraton Surakarta sehingga Raden Adipati Mangkupraja kecewa dan marah. Sejak kejadian itu Raden Adipati Mangkupraja jadi sering ikut menggembala (angon)wedus gembel dengan teman- temannya, tetapi Raden Adipati Mangkupraja bermain-main dengan pusaka kerajaan yang dibawanya, dan menaruh pusakanya di leher seseoranghingga meninggal karena begitu saktinya pusaka itu sehingga orang tua korban itu tidak terima dan melapor padaRatu Keraton Surakarta, tetapi raja bingung karena Raden Adipati Mangkupraja merupakan pamannya. Sang raja berbicara Kalau dihukum

  gantung, Raden Adipati adalah pamannya, tetapi kalau tidak dihukum gantung Raden Adipati sudah bersalah . Kemudian raja mendengar tentang alas Gandaria

  paling berbahaya dan berniat ingin membuang Raden Adipati Mangkupraja kesana(Wawancara dengan Sandhi/Karyapadha, 04 Mei 2015).

  Pada akhirnya Raden Adipati Mangkupraja dibuang dan diasingkan ke alas Gandaria dengan dibawakan sebuah bedug, sebagai penanda kalau bedug itu tidak berbunyi berarti Raden Adipati Mangkupraja sudah meninggal, tetapi bedug itu selalu berbunyi kencang.Setiap hari Jumat yang menandakan Raden Adipati Mangkupraja masih hidup. Sampai beberapa tahun lamanya, bedug itu masih tetap berbunyi terus. Sebenarnya, Raden Adipati Mangkupraja mau dibunuh, tetapitidak dibunuh melalui manusia, melainkan dibunuh melalui makhluk halus (Jin dan Dedemit) (Wawancara dengan Sandhi/Karyapadha, 04 Mei 2015).

  Semua makhluk halus yang mau membunuh Raden Adipati Mangkupraja, tunduk kepada Raden Adipati Mangkupraja. Karena semua makhluk halus itu tahu kalau Raden Adipati Mangkupraja itu adalah seorang putraning ratu, sebab sudah tertulis Nang Senjabaning Daging Nang Sajroning Kulit. Hingga seekor ular yang sebesar pohon kelapapun tunduk ke Raden Adipati Mangkupraja, sehingga tempat itu dinamakan dusun Kepungla karena pada waktu itu Raden Adipati Mangkupraja dikepung oleh ular besar.

  Di semua makhluk halus itu tunduk dan tidak ada yang berani kepada Raden Adipati Mangkupraja sehingga Gandaria disertakan dan Raden Adipati Mangkupraja dipindah ke Pesetran untuk menyetrakan Raden Adipati. Namun, di Pesetranpun tidak ada yang berani mengganggu Raden Adipati Mangkupraja, karena beliau adalah putraning ratu atau titeling ratu.

  Kemudian ada kabar bahwa Keraton Surakarta akan melurug, dan Ratu menyuruh kepada seorang patih untuk datang ke desa Gandaria, untuk membawa pulang Paman Raden Adipati Mangkupraja. tetapi karena patih seorang yang tuli, sehingga patih salah menangkap tugas yang diberikan oleh Sang Ratu. Sesampai di Gandaria, patih berencana akan membunuh Raden Adipati Mangkupraja. tetapi Raden Adipati Mangkupraja sudah di Pesetranatautempatpeletakanmayat yang tidakdikuburkan, sehingga patih menyusul ke Pesetran. Setelah bertemu dengan Raden Adipati Mangkupraja, patih mengatakan kalau diutus oleh Kanjeng Ratu untuk membawa pulang Raden Adipati Mangkupraja. Pada akhirnya mereka pun bergegas untuk pulang ke Keraton Surakarta, namun ditengah perjalanan pulang, patih langsung memukuli dan membacok dengan gaman, sabit, dan benda tajam.

  Selama satu minggu Raden Adipati Mangkupraja dipukuli dan dibacok dengan gaman, namun Raden Adipati Mangkupraja tidak mempan dipukuli dengan gaman. Tetapi Raden Adipati Mangkupraja tahu kalau dia pantas mati karena dia telah berbuat salah,seehingga Raden Adipati Mangkupraja memberitahu kepada patih tentang kelemahannya. Raden Adipati Mangkupraja mengatakan kepada patih, “jika dibunuh dengan gaman dan benda tajam lainnya,

  tidak akan mempan”. Kemudian patih disuruh mencari lawewenang atau seutas

  benang untuk mengikat Raden Adipati Mangkupraja. Setelah diikat dengan benang, Raden Adipati Mangkupraja akhirnya meninggal, tetapi sayangnya tidak hanya Raden Adipati Mangkupraja saja yang dibunuh, tetapi seluruh keluarganya dibunuh oleh patih. Sehingga terjadi banjir darah pembantaian Raden Adipati Mangkupraja dan keluarganya di petilasan. Raden Adipati Mangkupraja dibunuh pada hari Selasa Kliwon dan dikubur dihari Senin Manis (Wawancara dengan Sandhi/Karyapadha, 04 Mei 2015).

  Setelah kematian Raden Adipati Mangkupraja, selama beberapa hari sebelum dikubur jasad dari Raden Adipati Mangkupraja dirawat rutin oleh penduduk desa Pekuncen, sambil menunggu ada utusan yang datang dari Kasunanan Surakarta untuk melihat keadaan jasad Raden Adipati Mangkupraja.

  Selang beberapa hari, Kanjeng Kasunanan Surakarta akhirnya datang ke desa Pekuncen untuk melihat keadaan Raden Adipati Mangkupraja. Setelah beliau melihat keadaan Raden Adipati Mangkupraja, Raja sangat berterima kasih kepada seluruh penduduk desa Pekuncen karena sudah merawat dengan baik jasad Raden Adipati Mangkupraja. Kemudian Raja meminta kepada salah satu kasepuhan atau perwakilan dari penduduk Gandaria agar ikut ke Keraton Surakarta (Wawancara dengan Sandhi/Karyapadha, 04 Mei 2015).

  Akhirnya salah seorang perwakilan dari penduduk Gandaria ikut ke Keraton Surakarta, yaitu Malangwitana. Disana dia diberi kekancingan dan sebuah surat oleh Kanjeng Raja untuk menjadi seorang kunci di desa Pekuncen yang bertugas mengunci Raden Adipati Mangkupraja, yang akan menguasai desa Pekuncen dan diberi wewenang sebagai Raja Sakyubing Banyu. Ditengah perjalanan pulang, dia bertemu dengan seorang yang sakti, yang berasal dari Yogyakarta. Karena Malangwitana tidak bisa membaca isi surat yang diberi oleh Kanjeng Raja, maka surat itu dibacakan oleh orang sakti dan pintar itu, dan surat ituberbunyi,

  “Sing sinten mawon mbekto surat niki, niku kanggo liru Raden

  Adipati kenang pidono sekang Solo (Wawancara dengan Sadhi/ Karyapadha, 04

  Mei 2015).

  Setelah tahu isi surat itu yang sebenarnya, Malangwitana langsung melempar surat itu dan lari pulang karena ketakutan. Namun surat itu kemudian diambil oleh orang yang sakti dan pintar, kemudian ia mendatangi desa Pekuncen dan memberitahukan kalau dia adalah utusan dari Kanjeng Raja Surakarta yang akan menguasai desa Pekuncen sebagai kuncen yang mengunci Raden Adipati Mangkupraja sehingga semua penduduk desa Pekuncen percaya dan langsung tunduk kepadanya.

  Setelah empatbulan, kemudian Kanjeng Raja datang ke desa Pekuncen untuk melihat apakah amanatnya telah dijalankan dengan baik. Namun, setelah tiba di desa Pekuncen, Kanjeng Raja kaget dan heran, mengapa bukan orang yang dia suruh dahulu yang menjadi kuncen di desa Pekuncen, melainkan orang lain yang menjadi kuncen di desa ini. Kanjeng Raja tetap kukuh pada pendiriannya, bahwa yang menjadi kuncen tersebut adalah bukan orang yang ia suruh dahulu, namun Kanjeng Raja kalah bukti dari orang tersebut. Sehingga semua penduduk tidak percaya pada Kanjeng Raja (Wawancara dengan Sadhi/Karyapadha, 04 Mei 2015).

  Kemudian Kanjeng Raja memberikan suatu pitutur kepada penduduk desa Pekuncen, bahwa di masa yang akan datang, yang kelak akan memimpin desa Pekuncen itu bukan orang asli dari desa Pekuncen itu sendiri, melainkan orang dari daerah lain. dan hal itu akhirnya terbukti dengan yang memimpin desa Pekuncen adalah bukan orang asli dari desa Pekuncen. Terbukti dari beberapa Demang dan yang kemudian diganti dengan Lurah, yang memimpin desa Pekuncen yaitu : 1. Demang Ardjoseputro (1900-1906) memimpin selama 6 tahun.

  2. Demang Kartawangsa (1906-1929) memimipin selama 23 tahun.

  3. Demang Sumadijaya (1929-1933) memimpin selama 4 tahun.

  4. Demang Joesoep (1933-1942) memimpin selama 11 tahun.

  5. Demang Ishak Puspohudojo (1944-1945) memimpin selama 1 tahun.

  6. Lurah Sandiarja (1947-1982) memimpin selama 34 tahun.

  7. Lurah Radun (1986-1994) memimpin selama 7 tahun.

  8. Lurah Salam (1994-1999) memimpin selama 5 tahun.

  9. Lurah Yudo (2002-2007) memimpin selama 5 tahun.

  10. Lurah Dwi Ani (2008-2014) memimpin selama 6 tahun.

  Sampai sekarang penduduk desa Pekuncen masih mempercayai hal tersebut. Selain itu penduduk desa Pekuncen juga masih merawat dengan baik petilasan atau makam Raden Adipati Mangkupraja. Di desa Pekuncen mayoritas penduduknya masih menganut himpunan penghayat kepercayaan (HPK), mereka juga masih menjalankan suatu tradisi rutin tiap tahun atau juga yang disebut dengan Sadranan atau Perlon, yang dilaksanakan di Petilasan Raden Adipati Mangkupraja atau sering disebut juga Petilasan Jero Tengah (Wawancara dengan Sandhi/ Karyapadha, 04 Mei 2015).

B. Keadaan Geografis

  Desa Pekuncen mempunyai keadaan geografis yang cukup luas, dengan luas wilayah 376 ha, batas wilayah sebelah utara yaitu desa Bajing Kulon, sebelah selatan desa Karang Turi, sebelah barat desa Sikampuh dan yang terakhir sebelah timur yaitu desa Pesanggrahan. Jumlah penduduk desa Pekuncen laki-laki 4173 jiwa, perempuan 4077 jiwa, usia 0-15 1655 jiwa, usia 15-65 5371 jiwa, dan usia 65 ke-atas 1224 jiwa, sedangkan tipologi desa Pekuncen meliputi persawahan, perladangan, perkebunan, peternakan, nelayan, pertambangan/galian, kerajinan dan industri kecil, industri sedang dan besar, jasa dan perdagangan (Wawancara dengan Irfan Sidqon, 09 Mei 2015).

  Masyarakat desa Pekuncen pada umumnya bekerja sebagai petani. Pertanian merupakan mata pencaharian sehari-hari bagi masyarakat desa Pekuncen, karena area persawahan yang luas, dan tanah yang subur sehingga masyarakat desa Pekuncen lebih memilih mata pencaharian sebagai petani. Hasil pertanian yang diperoleh oleh petani desa Pekuncen mayoritas padi. Masyarakat desa Pekuncen dilihat dari tingkat pendidikan masih banyak yang lulusan SMP dan agama yang dianut mayoritas agama Islam (Wawancara dengan Irfan Sidqon, 09 Mei 2015).

C. Keadaan Sosial dan Budaya Masyarakat Desa Pekuncen

  Masyarakat desa Pekuncen sejak dahulu sudah mengenal sistem bercocok tanam yang baik dan benar sehingga mayoritas mata pencahariaanya masyarakat desa Pekuncen adalah sebagai petani. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor karena adanya sistem turun-temurun dari nenek moyang yang mengajarkan pertanian dan berkebun. Masyarakat desa Pekuncen tidak memperhatikan pendidikan, tetapi lebih mementingkan hasil dari pertanian tersebut. Mereka menganggap bahwa pendidikan tidak penting karena adanya pengaruh sosial di dalam masyarakat desa Pekuncen. Selain menjadi petani masyarakat desa Pekuncen tidak memiliki keterampilan lain. Oleh karena itu, mayoritas masyarakat Pekuncen memilih bertani atau memilih berternak kambing atau sapi. Selain masyarakatnya memiliki lahan pertanian sendiri, ada juga yang menjadi buruh tani di tempat orang lain dengan menggarapkan lahan sawah karena pemiliknya kurang mahir dalam menggarap sawah (Wawancara dengan Irfan Sidqon, 09 Mei 2015).

  Petani di desa Pekuncen sangat mengandalkan hujan untuk menggarap lahan pertaniannya. Pada musim penghujan sawah mereka ditanami padi, sedangkan pada musim kemarau mereka biasa menanam jagung. Dalam menggarap sawah petani masih menggunakan alat tradisional, yaitu cangkul atau menggunakan jasa kerbau. Untuk pemupukan petani memanfaatkan kotoran hewan ternak mereka, seperti pupuk kandang yang digunakan untuk menyuburkan tanah dan tanaman pertanian mereka. Namun, pupuk kandang tidak mempercepat pertumbuhan tanaman padi, pertumbuhan terbilang cukup lambat sehingga sangat mempengaruhi pada penghasilan para petani, sedangkan pada musim kemarau sebagian besar lahan sawah mereka tidak digarap karena kurangnya sumber air untuk pertanian (Wawancara dengan Irfan Sidqon, 09 Mei 2015).

  Banyak faktor yang mempengaruhi dalam sektor pertanian di desa Pekuncen. Dari hasil pertanian yang mereka dapatkan hanya cukup untuk menggarap sawah mereka. Untuk kebutuhan sehari-hari mereka juga harus mengeluarkan biaya untuk menggarap sawah mereka selanjutnya. Untuk memenuhi kebutuhan mereka, sebagian masyarakat desa Pekuncen bekerja menjadi buruh di kota-kota besar dan di Jakarta sebagai buruh bangunan.

  Masuk pada sekitar tahun 1990-an desa Pekuncen mulai tersentuh dengan adanya era modern dan teknologi, terutama teknologi dalam bidang pertanian.

  Saat ini para petani di desa Pekuncen, telah banyak yang menggunakan alat-alat pertanian yang modern dan mulai meninggalkan alat-alat pertanian tradisional.

  Dalam membajak sawah dulu hanya menggunakan jasa hewan seperti kerbau dan sapi, tetapi sekarang sudah menggunakan traktor utuk membajak sawah dan diesel sebagai alat penyedot air (Wawancara dengan Irfan Sidqon, 09 Mei 2015).

  Keadaan sosial masyarakat desa Pekuncen dilihat dari perekonomian mayoritas pertanian sekitar 70%, tetapi lahan pertanian menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat desa Pekuncen. Hasil pertanian pada setiap tahunnya terus meningkat pesat, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat Pekuncen tergantung pada hasil pertanian. Hasil pertanian padi merupakan sumber pokok penghasilan sehari-hari. Kini hasil dari mereka bercocok tanam cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seiring berjalannya waktu dan pemikiran masyarakatnya yang cukup maju. Penghasilan buruh tani cukup rendah, karena itu pemuda-pemudi memilih untuk bekerja atau merantau ke kota- kota besar untuk mencari penghasilan yang lebih baik. Mereka telah mengenyam pendidikan meski, baik hanya sampai jenjang SMP maupun SMA (Wawancara dengan Irfan Sidqon, 09 Mei 2015).

  Keadaan sosial masyarakat desa Pekuncen dari tingkat pendidikannya masih kurang, masih banyak yang lulusan SMP, bahkan mayoritas lulusan SMPsehingga untuk tingkat pendidikan masih kurang yang lulusan SMA atau sarjana, bahkan ada juga yang tidak lulus sekolah atau tidak sekolah. Kurangnya kesadaran masyarakat desa Pekuncen tentang pendidikan, sangat berpengaruh terhadap kemajuan zaman karena masyarakat desa Pekuncen belum banyak yang mengenal teknologi modern. Oleh karena itu, masyarakat desa Pekuncen hanya mengenal sistem pertanian saja. Kurangnya keterampilan (skill) atau kemampuan dalam bidang bekerja, yang dimiliki oleh masyrakat Pekuncen.

  Keadaan sosial masyarakata desa Pekuncen, dalam bidang agama khususnya, mayoritas menganut beragama Islam. Adapun masyarakat desa Pekuncen yang beragama Islam, tetapi menganut kepercayaan dari nenek moyang berdasarkan turun-temurun (trah) masih banyak dijumpai di desa Pekuncen. Pada tahun 2003 banyak masyarakat yang dari non-muslim menjadi muslim. Karena adanya pengaruh agama Islam di lingkungan masyarakat sehingga masyarakat non-muslim tertarik, untuk pindah keyakinan agama Islam. Penganut komunitas penghayat kepercayaan di desa Pekuncen sekitar 30%, dari tahun ke tahun terus meningkat (Wawancara dengan Irfan Sidqon, 09 Mei 2015).

  Masyarakat desa Pekuncen, terutama yang beragama Islam. tetapi menganut komunitas penghayat kepercayaan, masih kental sekali dengan nilai- nilai budaya yang ada di Jawa. Agama kejawen bagi masyarakat desa Pekuncen masih dijunjung tinggi. Setiap masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda.

  Salah satu budaya yang menonjol adalah adat istiadat atau tradisi kejawen. Dalam setiap bentuk masyarakat di dalamnya terdapat sebuah sistem nilai-nilai budaya, yang mempunyai pengaruh terhadap adat istiadat masyarakat dan kehidupan sehari-hari. Salah satu kebudayaan yang masih melekat di Jawa yaitu tradisi

  Sadranan .

  Masyarakat di desa Pekuncen masih kental sekali dengan tradisi

  Sadranan . Yang dilaksanakan setiap tahun dan menjadi upacara khusus bagi

  komunitas penghayat kepercayaan yang ada di desa Pekuncen. Tradisi Sadranan sangat berpengaruh dan disakralkan oleh masyarakat desa Pekuncen. Salah satunya yaitu tradisi resik kubur yang dilaksanakan setiap Jumat Kliwon dikuburan para leluhur (Wawancara dengan Irfan Sidqon, 09 Mei 2015) .

  Nilai-nilai budaya merupakan konsep yang terbangun di masyarakat yang tumbuh dalam pikiran manusia, tentang hal-hal yang bernilai, yang dianggap penting bagi kehidupannya, dan menjadi pedoman hidup yang memberikan arah dan tujuan bagi masyarakat desa Pekuncen. Adapun nilai-nilai yang masih dijunjung tinggi masyarakat desa Pekuncen,yaitu nilai kepercayaan terhadap nenek moyang. Sering suatu kepercayaan dikaitkan, baik dengan cara hidup maupun adat istiadat yang melekat pada diri manusia sehingga menjadi pendukung kebudayaan di kehidupan masyarakat itu sendiri, misalnya, adanya upacara adat yang selalu dikaitkan dengan religi. Ritual-ritual yang berkaitan dengan tradisi bagi masyarakat desa Pekuncen masih dianggap sakral karena adanya kepercayaan animisme yang masih melekat di jiwa masyarakat desa Pekuncen (Wawancara dengan Irfan Sidqon, 09 Mei 2015).

  Pada ritual tradisi sadranan mengalami perkembangan, dilihat dari banyaknya penganut komunitas himpunan penghayat kepercayaan (HPK) setiap tahunnya.Adanya turun-temurun (trah) dari setiap keluarga, menambah banyaknya jumlah komunitas tradisi sadranan di desa Pekuncen. Masyarakat desa Pekuncen masih menjunjung tinggi nilai-nilai sosial di dalam masyarakat, yang masih sangat melekat di dalam jiwa mereka. Contohnya dalam mempersiapkan ritual tradisi sadranan, perlu adanya gotong-royong untuk mencapai sebuah tujuan bersama. Salah satunya melakukan bersih kubur di setiap makam yang dianggap keramat atau disakralkan oleh komunitas himpunan penghayat

  

kepercayaan (HPK), membersihkan Balai Ageng secara bersama-sama, sedangkan

  para ibu-ibu komunitas penghayat kepercayaan saling gotong-royong memasak atau menyiapkan sesaji yang akan disajikan, menjadi ritual khusus tradisi sadranan. Biasanya para ibu-ibu komunitas himpunan penghayat

  

kepercayaan (HPK) berkumpul di rumah Juru Kunci untuk memasak sesaji yang

akan dipakai upacara ritual (Wawancara Dengan Irfan Sidqon, 09 Mei 2015).

  Tradisi sadranan ini sudah mendarah daging secara turun-temurun. Komunitas penghayat kepercayaan jarang melaksanakan kewajibannya terhadap Tuhan. Mereka beranggapan bahwa selain Tuhan, nenek moyanglah yang memberi segala-galanya seperti kesehatan dan keselamatan di dunia. Mereka menganggap bahwa di dunia hanya nunut ngumbe (sementara) tidak abadi. Adanya pemujaan terhadap nenek moyang atau roh-roh para leluhur, bagi mereka sudah menjadi bukti ketaatan mereka menjalani hidup di dunia.

  Biasanya di desa Pekuncen dilaksanakan ritual puncak tradisi sadranan yang dilaksnakan setiap hari Jumat pada minggu ketiga di bulan sadranan. Ritual ini disebut dengan unggah-unggahan atau perlu gede. Ritual terakhir pada awal pekan di bulan Syawal dengan menggelar upacara turunan. Perwujudan doa dari keluarga kepada leluhur atau nenek moyang. Dengan cara membakar kemenyan di makam leluhur atau nenek moyang dan mengadakan upacara kendurian, baik secara kelompok maupun dilaksanakan secara lingkup keluarga. Bagian dari tradisi sadranan yaitu bersih kubur setiap tahunnya. Masyarakat desa Pekuncen masih sangat melekat pada pengaruh sosial maupun budaya tentang tradisi sadranan (Wawancara dengan Irfan Sidqon, 09 Mei 2015).

  Masyarakat desa Pekuncen menyadari bahwa masyarakat dan kebudayaan itu selalu berubah karena faktor perkembangan zaman. Generasi mudanya sebagian tidak bisa melestarikan budaya peninggalan nenek moyang mereka meskipun ada juga masyarakat yang masih melestarikannya dan sudah mendarah daging di dalam diri mereka sehingga susah untuk dihilangkan. Contohnya dalam hal yang rasional, misalnya, dalam kegiatan penanaman padi serta panen harus didahulukan dengan ritual menaruh sesaji di sawah tujuannya agar memperoleh keselamatan dan berkah agar hasil panen selanjutnya lebih melimpah.

  Seiring dengan perkembangan zaman yang modern hal-hal yang tersebut sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan oleh masyarakat desa Pekuncen. Sarana informasi yang sedemikian ini tidak mengherankan kalau perubahan budaya dapat berlangsung. Perkembangan zaman dan perubahan kebudayaan juga berimbas pada minat yang besar dari masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi masyarakat desa Pekuncen masih tetap melestarikan tradisi yang sudah menjadi turun temurun dari nenek moyang mereka sampai sekarang (Wawancara dengan Irfan Sidqon, 09 Mei 2015).