EKSISTENSI DESA PAKRAMAN DALAM PELESTARIAN ADAT DAN BUDAYA BALI - ISI Denpasar

  JURNAL SENI BUDAYA JURNAL SENI BUDAYA JURNAL SENI BUDAYA JURNAL SENI BUDAYA JURNAL SENI BUDAYA

  VOLUME 25 NO. 2 SEPTEMBER 2010

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

  INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2010 2010 2010 2010 2010

  i

  DEWAN PENYUNTING Jurnal Seni Budaya MUDRA Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departeman Pendidikan Nasional Nomor: 108/DIKTI/Kep/2007. tentang Hasil Akreditasi Jurnal Ilmiah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tahun 2007 Jurnal Seni Budaya MUDRA diakui sebagai jurnal terakriditasi, dengan peringkat B.

  Ketua Penyunting I Wayan Rai S. Wakil Ketua Penyunting Rinto Widyarto Penyunting Pelaksana

  I Ketut Murdana

  I Wayan Setem

  I Gusti Ngurah Seramasara Diah Kustiyanti Ni Made Ruastiti Ni Luh Sustiawati Penyunting Ahli

  I Wayan Rai S. (ISI Denpasar) Ethnomusicologist Margaret J. Kartomi. (Monash University) Ethnomusicologist Jean Couteau. (Sarbone Francis) Sociologist of Art Ron Jenkins. (Wesleyan University) Theatre Michael Tenzer. (UMBC) Ethnomusicologist

ISSN 0854-3461

  Alamat Penyunting dan Tata Usaha: UPT. Penerbitan ISI Denpasar Jalan Nusa Indah Denpasar 80235 Telepon (0361) 227316, Fax. (0361) 236100 E-Mail: isidenpasar®yahoo.ac.id.

  MUDRA diterbitkan oleh UPT. Penerbitan Institut Seni Indonesia Denpasar. Terbit pertama kali pada tahun 1990.

  

Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Persyaratan seperti yang tercantum

pada halaman belakang (Petunjuk Untuk Penulis). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format,

istilah dan tata cara lainnya Dicetak di Percetakan PT. Percetakan Bali

Mengutip ringkasan dan pernyataan atau mencetak ulang gambar atau label dari jurnal ini harus mendapat izin langsung dari penulis.

  

Produksi ulang dalam bentuk kumpulan cetakan ulang atau untuk kepentingan periklanan atau promosi atau publikasi ulang dalam

bentuk apa pun harus seizin salah satu penulis dan mendapat lisensi dari penerbit. Jurnal ini diedarkan sebagai tukaran untuk perguruan

tinggi, lembaga penelitian dan perpustakaan di dalam dan luar negeri. Hanya iklan menyangkut sains dan produk yang berhubungan

dengannya yang dapat dimuat pada jumal ini.

  

Permission to quote excerpts and statements or reprint any figures or tables in this journal should be obtained directly from the

authors. Reproduction in a reprint collection or for advertising or promotional purposes or republication in any form requires

permission of one of the authors and a licence from the publisher. This journal is distributed for national and regional higher institution,

institutional research and libraries. Only advertisements of scientific or related products will be allowed space in this journal.

  iii

  ISSN 0854-3461

JURNAL SENI BUDAYA JURNAL SENI BUDAYA

JURNAL SENI BUDAYA JURNAL SENI BUDAYA JURNAL SENI BUDAYA

  

VOLUME 25 SEPTEMBER 2010 Nomor 2

  1. Multikulturalisme dalam Diskursus Memperkuat Kebinekaan dan Kemejemukan di Indonesia

  Anak Agung Gede Rai ........................................................................................................ 101

  2. Multikulturalisme dan Pariwisata Bali

  Ni Made Ruastiti ................................................................................................................ 108

  3. Eksistensi Desa Pakraman dalam Pelestarian Adat dan Budaya Bali

  I Wayan Suarjaya ................................................................................................................. 120

  4. Kebudayaan dan Kebijakan Keruangan : Esensi Budaya dalam Pengaturan Batas Ketinggian Bangunan Bali

  Gusti Ayu Made Suartika .................................................................................................... 131

  5. Reklamasi Pantai Sanur dalam Perspektif Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat Bali

  I Made Darma Oka ............................................................................................................ 150

  6. Estetika Hindu : Rasa sebagai Taksu Seni Sastra

  I Wayan Suka Yasa .............................................................................................................. 159

  7. Penerapan Konsep Joged Mataram dakam Tari

  Supriyanto ........................................................................................................................... 172

  8. Pragmatik Imperatif dalam Dialog Lakon ”Semar Mbangun Gedhong Kencana” Sajian Ki Mujaka Jaka Raharja

  S. Hesti Heriwati................................................................................................................. 185

  v

MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 120-130

  

EKSISTENSI DESA PAKRAMAN

DALAM PELESTARIAN ADAT DAN BUDAYA BALI

  

I Wayan Suarjaya

  Program Pasca Sarjana, Universitas Ngurah Rai Denpasar, Indonesia

  

Abstrak

Desa pekraman adalah organisasi tradisional masyarakat Bali, dan organisasi ini, pada saat yang sama, merujuk kepada

adanya masyarakat. Bentuk struktur organisasinya beragam dan pengalaman pasang surut berawal dari zaman Bali kuna,

zaman kerajaan di Bali, zaman kolonial, hingga zaman reformasi. Penggunaan istilah ini sebagai identitas organisasi tradisional

pertama kali disebut sebagai wanua pada zaman Bali kuna, kraman pada masa kerajaan, desa adat pada zaman penjajahan

Belanda. Istilah desa adat masih digunakan pada masa kemerdekaan; dan, setelah zaman reformasi desa pakraman desa,

sesuai dengan Perda (Peraturan Pemerintah) No.3 Tahun 2003, digunakan. istilah desa pakraman yang menjadi tulang

punggung bagi kelangsungan kehidupan adat, budaya dan agama Hindu di Bali. Tugas pokoknya adalah melaksanakan

upacara panca yadnya yang dilaksanakan oleh desa/kelurahan berdasarkan awig-awig (aturan masyarakat), permasalahn

politik yang mempengaruhi kehidupan orang Bali, maupun susunan desa pakraman. Juga, pengaruh yang bersifat positif

atau negatif; khusus yang negatif dipandang bisa merangsang sumber konflik antar anggota desa pakraman desa.

  

The Existence of Desa Pakraman in Preserving Bali’s Tradition and Culture

Abstract

  

Desa Pekraman is the traditional organization of Bali’s society, its attendance at the same time with existence of the

society. The structure form of organization varies and experience of ebb started from the ancient Bali epoch, monarchic

epoch in Bali, colonial epoch, until the reform epoch. The use of the term as a traditional organization identity was first

referred to as Wanua in the ancient Bali epoch, kraman in the empire period, desa adat (custom village) in the epoch the

Dutch colonization. The term desa adat (custom village) still used in the independence period; and after the reform epoch

the term desa pakraman, as according to Perda (Government Rule) No.3 Year 2003, has been used. Desa pakraman has

become the backbone of continuity for the customary life, cultural and Hinduism in Bali. Its fundamental duty is to execute

the panca yadnya ritual which is carried out by the desa/village based on the awig-awig (society’s rule). Political issues

influence the life of the Balinese as well the arrangement of the desa pakraman. The influence an be either positive or

negative; the negative one stimulates the source of conflicts within members of the desa pakraman.

  Keywords : Desa pakraman and culture of Bali

  untuk Jawa Bali dan Temukung di NTT. Semua Satuan masyarakat hukum adat di Indonesia yang daerah di Indonesia mempunyai ciri khas yang unik menyelenggarakan pemerintahan desa, telah ada sesuai dengan daerahnya masing-masing. Sedangkan sejak zaman sebelum masuknya pemerintah Belanda di Bali ciri khasnya disebut dengan Desa Pakraman. di Indonesia dengan berbagai nama. Satuan

  Satuan-satuan masyarakat hukum dengan berbagai masyarkat hukum tersebut dengan berbagai bentuk nama tersebut disebut oleh Pemerintah Hindia organisasi, maupun struktur pemerintahannya, Belanda dengan istilah Inlandsche Gemeenten. misalnya Marga di Sumatera Selatan, Nagari di

  Satuan masyarakat hukum Adat tersebut terdapat Sumatera Barat, Hutta di Tapanuli, Gampong di baik dalam swapraja maupun di Wilayah yang Aceh, Hureiya di Batak, Dasan di Lombok, Desa

  Eksistensi Desa Pakraman Dalam...

  HISTORIS DESA PAKRAMAN

  sekeha-sekeha yang tumbuh dimasyarakat.

  c. Ketiga berdasarkan pada asas kepentingan yang sama, seperti; organisasi: subak, juru boros,

  b. Berdasarkan, kesamaan wilayah tempat tinggal, seperti wilayah Banjar, Wilayah Desa dan seterusnya. Organisasi ini anggotanya dari berbagai unsur keturunan menjadi satu kesatuan wilayah yang saling ketergantungan, serta mempunyai tujuan yang sama. Dasar pengaturannya berdasarkan hukum tertulis (Awig- Awig), sedangkan hukum tak tertulis dalam bentuk sime, dresta dan perarem.

  besar adalah organisasi Soroh (Pasek, Arya, Brahmana ).

  Paibon, Kawitan serta organisasi yang paling

  a. Terbentuknya organisasi berdasarkan darah keturunan, yang menjadi ikatan kekeluargaan, kelompok dalam ikatan kekeluargaan sangat kuat kedudukannya. Organisasi terkecil nampak seperti ikatan dalam satu Merajan, Organisasi yang lebih besar dalam ikatan satu Dadia,

  Sumber sejarah dan bukti autentik tentang kapan pertama kali terbentuknya Desa Pakraman di Bali, belum banyak diketahui dengan pasti. Berdasarkan teori organisasi, terbentuknya sebuah organisasi berdasarkan tiga jenis;

  Peranan Desa Pakraman, dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami pasang surut, sesuai dengan priode yang berlangsung dari masa ke masa. Perkembangan Desa Pakraman dapat dipilah berdasarkan sistem pemerintahan dan perkembangan zaman yang berlaku. Priodisasi Desa Pakraman dapat dipilah menjadi; 1) Zaman Bali Kuno; 2) Zaman Kerajaan Hindu di Bali sampai dengan masuknya pengaruh Kerajaan Majapahit di Bali; 3) Zaman Kolonial Belanda; dan 4) Zaman Kemerdekaan sampai sekarang.

  memberikan pelayanan kepada masyarakat di lingkungannya masing-masing di bidang agama, adat, budaya dan gotong royong yang dilandasi semboyan hidup sagilik saguluk salunglung sabayan taka maksudnya suka dan duka dipikul bersama-sama. (Surpha, 2004: 18). Tugas pokok dan fungsi Desa Pakraman, dari semula sampai saat ini, berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat setempat, perkembangan dan kemajuan teknologi. Dalam tulisan ini akan disajikan Eksistensi Desa Pakraman dari Zaman Bali Kuno Sampai dengan Zaman Reformasi.

  (I Wayan Suarjaya)

  Pakraman tugas pokok dan fungsinya adalah

  desa). Pada saat pertama kali terbentuknya Desa

  Pawongan (anggota masyarakat yng disebut dengan kerama desa ); dan 3) Palemahan (unsur wilayah

  Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2003, memberikan batasan pengertian Desa Pakraman merupakan kesatuan masyarakat hukum adat, yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat bagi umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga, mempunyai wilayah tertentu dan penduduk sebagai Krama Desa yang beragama Hindu, mempunyai sumber dana sendiri dan berhak mengatur rumah tangganya sendiri (Perda No 3 Th 2003 Pasal 1 (4) ). Konsep dasar terbentuknya Desa Pakraman, berlandasakan pada Konsep Tri Hita Karana, yaitu 1) Parhyangan (tempat suci dalam bentuk Kahyangan Tiga); 2)

  berlaku untuk luar Jawa dan Madura (Supomo, 1980: 77). Bentuk-bentuk Desa Adat yang beragam ini memberikan pelayanan kepada masyarakat, sesuai dengan arah dan tujuan dibentuknya Desa Adat tersebut. Sehingga satupun tidak ada yang sama persis dalam bentuk, susunan kepengurusannya, tugas pokok dan fungsinya.

  Buitengeweten ), stb1938 No. 490 jo stb 681 yang

  3 yang berlaku untuk Jawa dan Madura dan IGOB (Inladsche Gemeente Ordennantie

  dikuasai langsung oleh Belanda (direct gebied) (Walhof, 1960: 284). Masing-masing Desa Adat yang telah disebutkan tadi pada mulanya tidak seragam seperti yang diatur berdasarkan ketentuan IGO (Inlandsche Gemeente Ordonnantie), stb 1906 No.

  Susunan organisasi tradisional ini sangat terbatas, baik ditinjau dari segi tugas pokok dan fungsi dalam kelompok tersebut. Ahli antropologi Koentjaraningrat menyatakan ada empat klasifikasi terbentuknya organisasi tradisional sebagai berikut; 1) terbentuknya organisasi berdasarkan hubungan kekerabatan atau genealogis; 2) berdasarkan prinsip hubungan teritorial tempat tinggal; 3) berdasarkan prinsip kesamaan tujuan; dan

MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 120-130

  4) prinsip hubungan yang datang dari raja atau pemerintah atasannya (Koentjaraningrat, tt: 348). Pendapat Koentjaraningrat tersebut, berlaku apabila organisasi tradisional itu berdiri setelah adanya kerajaan. Data tentang berdirinya organisasi desa pada masa Bali Kuno, dapat juga diketahui dari peninggalan-peninggalan Purbakala, seperti alat-alat pertanian dari batu, peninggalan sarkopagus, dan tata kehidupan dari jaman batu sampai jaman perunggu, masih banyak di jumpai peninggalannya di Bali, seperti penemuan purbakala di Gilimanuk, Pejeng Gianyar, Goa Slonding, Tegalalang di daerah pegunungan Buleleng, Bangli, Gianyar dan lain- lainnya. Peninggalan purba kala ini menunjukkan telah ada bukti-bukti kehidupan dari masyarakat. Keyakinan masyarakat zaman Bali Kuno, sangat percaya dengan kekuatan alam seperti Dewa Gunung, Laut, Danau, Sungai, Matahari, Bulan dan Bintang. Keyakinan kepada Roh Leluhur yang dapat numitis kembali, Ajaran tentang Kanda Empat. Keyakinan ini berlanjut, yang telah mewariskan Adat dan budaya Bali, yang diwarisi sampai sekarang.

  Berdasarkan teori organisasi yang di kemukakan oleh Mary Jo Hatch, dalam bukunya Organization

  Theory , menyatakan bahwa tumbuhnya sebuah

  organisasi apabila ada sejumlah orang yang mempunyai kebutuhan yang sama dan saling ketergantungan satu sama lain, akan tumbuh sebuah organisasi. Pendapat ini senada dengan pendapatnya Henry Mintzberg dalam bukunya The Strukturing

  of Oerganization , yang menyatakan bahwa dalam

  organisasi harus ada pembagian tugas dalam memenuhi kebutuhan mereka dalam mencapai tujuan (Mary, 1997: 45) Berdasarkan teori organisasi tersebut, maka organisasi tradisional di Bali yang saat ini disebut dengan Desa Pakraman, berdirinya bersamaan dengan adanya masyarkat Bali. Kehidupan organisasi yang tumbuh pada saat itu tugas pokoknya adalah memberikan perlindungan terhadap anggota kelompok dari gangguan dan serangan kelompok lain, serta perlindungan dari ganasnya kondisi alam. Melaksanakan gotong- royong mengumpulkan makanan untuk kepentingan kelompok. Kehidupan berkelompok tersebut lama- kelamaan menjadi organisasi tradisional, yang berkembang menjadi sistem Banjar dan Desa seperti sekarang yang meninggalkan adat dan budaya Bali.

  Keberadaan Desa Pakraman pada jaman kerajaan di Bali, dapat diketahui dari abad IX, mulai diketemukan prasasti yang menjelaskan tentang adanya masyarakat, dan adanya Raja yang memerintah. Keterangan yang menunjuk tentang adanya kelompok masyarakat yang kemudian di sebut dengan desa dapat diketahui dari prasasti di Desa Sukawana yang berangka tahun 804 Saka atau tahun 882 Masehi, prasasti ini disebut dengan Prasasti Sukawana A. I yang menyebutkan “ Bhiksu

  Siwakangsi makmit drbya haji... singamandawa ... krama i thani Prasasti lain yang menyebutkan

  tentang desa dengan istilah wanua dijumpai dalam prasasti Trunyan A I yang berangka tahun 813 Saka atau 819 Masehi... muncul istilah Banwa dan menyebut juga drbya haji dan nama tempat

  Singamandawa . Berdasarkan peninggalan-

  peninggalan tertulis dalam prasasi tersebut telah banyak muncul istilah Desa Pakraman, serta Raja yang memerintahnya seperti Raja Sri Kesari Warmadewa, Sri Ugrasena, Sri Dharmodayana Warmadewa dan yang lain-lannya. Eksistensi Desa

  Pakraman dalam zaman kerajaan telah nampak, hal

  ini terbukti bahwa Desa Pakraman sangat diperhatikan oleh raja-raja di Bali dengan memberikan, tanah bukti untuk pelaba pura, tanah untuk karang desa. Peranan Desa Pakraman mulai berkembang dan nampak dengan nyata bahwa kehidupan agama adat dan budaya menjadi tanggung jawab Desa Pakraman. Pergeseran tugas pokok dan fungsi Desa Pakraman, yang pada mulanya Zaman Bali Kuno hanya mengurus kepentingan kelompok, melindungi anggota dari gangguan kelompok lain, maupun untuk kepentingan hidupnya, kemudian berkembang dalam membina dan menuntun masyarakat untuk dapat melaksanakan tugas semula, kemudian dikembangkan dengan memberikan pelayanan dibidang keagamaan. Tugas pokok dan fungsi Desa Pakraman, juga melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan oleh raja, untuk memungut utpeti/pajak, serta membela raja dalam hal ekspansi ke kerajaan lain atau menahan serangan dari fihak luar. Tata pemerintahan kerajaan didukung sepenuhnya oleh masyarakakat,. Keyakinan maasyarakat saat itu Raja adalah titisan Dewa, yang memberikan perlindungan dan kesejahtraan kepada rakyat. Pengaruh kerajaan Majapahit ke Bali dapat diketahui melalui Markandya Purana.

  Eksistensi Desa Pakraman Dalam...

  kolonial Belanda, telah mengalami perkembangan tugas pokok dan fungsinya dalam masyarakat, seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam masa Zaman Bali Kuno, hanya menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai pembina dan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat di bidang Sosial kemasyarakatan, budaya dan adat. Sedangkan pada masa kerajaan Bali dan masuknya Pengaruh kerajaan Majapahit, Desa Pakraman telah menjalankan tugas ganda; pertama tugas adat dan budaya sebagai wadah komunitas asli tradisional sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat, Kedua Desa Pakraman menjalankan tugas – tugas yang diberikan oleh Raja, termasuk memungut Utpeti (pajak) sekaligus menjadi pembela kerajaan dari serangan pihak lain.

  ordonantie yang berbeda-beda. Bagi satuan

  Berdasarkan ketentuan tersebut, keberadaan organisasi tradisional yang telah berakar di Bali, masih tetap diakui keberadaannya, dengan diberikan otonomi penuh untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Pengaturan lebih lanjut bagi satuan – satuan masyarakat hukum adat tersebut dilakukan dengan

  Bestuur dan c) Peraturan Daerah Otonom yang terbentuk dengan ordonnantie (Wolhof, 1960: 248).

  b) Hoofd Van Gewestelijke

  Gouverneur Generaal

  Pasal tersebut mengakui otonomi satuan masyarakat hukum adat, untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dengan memperhatikan: a) peraturan

  Regeringsreglement 1854, yang kemudian diubah menjadi pasal 128 Indische ataatsregeling 1924.

  Belanda, dimanfaatkan untuk menguatkan kedudukan pemerintahannya di masyarakat, dengan memanfaatkan petugas-petugas kerajaan sebelumnya sebagai bagian dari pemerintahan Belanda. Pemerintahan Desa Pakraman digolongkan dalam Inladsche Gemeenten. Pengakuan Belanda terhadap satuan masyarakat hukum (Desa Adat) di wilayah yang dikuasai Belanda tertuang dalam pasal 71

  Desa Pakraman pada pemerintahan kolonial

  Desa Pakraman , sebelum masuknya pemerintahan

  (I Wayan Suarjaya) Desa Pakraman seperti sekarang, bentuk organisasi,

  mendapat pengaruh dari sistem pemerintahan setelah masuknya pengaruh Kerajaan Majapahit, hal ini dapat dibuktikan bahwa pada abad XIV-XVII pengaruh raja semakin kuat. Desa-desa mulai mendapat pengawasan yang lebih nyata dari raja. Pada bagian awal kekuasaan kerajaan Gelgel, para Pasek dan Bendesa ditugaskan untuk menggerakkan desa, serta untuk mengatur pemerintahan desa. Jika terjadi konflik di desa Raja ikut campur tangan untuk menyelesaikannya, atau menugaskan kepada Perbekel atau Kepala Adat untuk menyelesaikannya sejenis dengan pengadilan Desa.. Tugas pokok dan Fungsi Desa Pakraman yang pada mulanya hanya melayani bidang adat, budaya dan Agama saja, kemudian dalam penyelesaian konplik pemerintahan raja ikut mencampuri wewenang Desa Pakraman, dengan demikian otonomi Desa mulai mendapat pengawasan dan pengaturan oleh Raja.

  pengempon Kayangan Tiga disebut dengan Desa Pakraman. Eksistensi Desa Pakraman mulai

  disebut dengan Kahyangan Tiga, sedangkan

  Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Siwa) yang

  Mulai saat masuknya pengaruh Majapahit di Bali dirintis pendirian Kayangan Tiga di seluruh Bali. Kehadiran Empu Kuturan ke Bali sangat berjasa dalam mempersatukan aliran-aliran dalam Agama Hindu menjadi satu dalam wadah pemujaan terhadap

  Pawongan, Palemahan ).

  tentang local Govermment menyatakan bahwa syarat berdirinya pemerintahan Desa adalah: memiliki wilayah, ada penduduk tertentu, mempunyai struktur organisasi, ada sumber dana untuk pembiayaan, serta mempunyai hukum sebagai dasar mengatur masyarakat (Mewhood, 1983: 234). Teori ini diperkuat oleh SS Meenakshisundaram, yang menyatakan bahwa syarat pokok berdirinya pemerintahan Desa, disamping syarat yang telah ditentukan tersebut, harus mendapatkan persetujuan/ pengakuan dari pemerintah atasannya (Meenakchisundaram, 1999: 45). Desa Pakraman terbentuk disamping harus memiliki wilayah dan pensyaratan lainnya seperti dalam teori modern tentang pembentukan pemerintahan desa, konsep Desa Pakraman pembentukannya dilandasi dengan falsapah Tri Hita Karana, (Parhyangan,

  Pakraman. Berdasarkan Teori Philip Mawhood

  maupun tugas pokok dan fungsinya, lahir setelah masuknya pengaruh Majapahit ke Bali. Kedatangan Empu Kuturan, dianggap sebagai cikal bakalnya pembentukan Desa Pakraman, yang bercirikan, adanya Kayangan Tiga dalam suatu Desa, merupakan salah satu Syarat berdirinya Desa

  masyarakat hukum adat di Jawa dan Madura diatur berdasarkan Inlansche Gemeente Ordonantie Java

  

MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 120-130

en Madura Sesuai dengan stb.1906 No. 83 jo stb.

  1910 No. 591. Aturan-aturan ini kemudian diganti dengan stb. 1941 No 256 yang disebut dengan Desa

  Ordonnantie. Ordonnantie tersebut tidk diberlakukan pada saat penjajahan Jepang.

  Masyarakat hukum Adat di Bali, diatur berdasarkan stb. 1938 No. 490 istilah masyarakat hukum Adat di Bali kemudian disebut dengan Desa Adat. Istilah

  Desa adat dan pengaturan kedalam (anggota/ kerama ) diatur berdasarkan hukum Adat yang telah

  tumbuh dan berakar di masyarakat. Satuan Masyarakat Hukum Adat di Bali menjadi Desa Adat dapat diterima oleh masyarakat ada dua alasan; pertama alasan politis, karerna bangsa Indonesia dalam kondisi terjajah, ada unsur politik yang masuk kedalam pembentukan Desa tersebut. Alasan yang kedua adalah; Organisasi tradisional sebagai desa Asli diselenggarakan berdasarkan tradisi yang berakar dimasyarakat, yang dikenal dengan hukum Adat atau hukum-hukum tradisi yang menjadi pedoman bermasyarakat (Parimartha, 2003: 16). Desa Adat mulai diperkenalkan oleh pemerintah Balanda. Liefrinck dalam bukunya Bali en Lombok menyatakan bahwa Desa Adat sesungguhnya adalah “ republik kecil” yang memiliki, hukum, aturan adat atau tradisi sendiri, susunan pemerintahan lebih bersifat demokratis, mempunyai wilayah tersendiri dan dana untuk mengatur rumah tangganya sendiri (Liefrinck, 1927: 36). Pada zaman kolonial Belanda tugas pokok dan fungsi Desa Adat dikembalikan pada tugas – tugas semula, sebagai organisasi yang membina, mengembangkan dan melestarikan, adat, budaya dan Agama, serta melayani masyarakat sesuai dengan ketentuan desanya masing-masing.

  Tugas sebagai pelayan raja di bidang pemerintahan diberikan tugas kepada Dienst (berdinas/ bertugas) yaitu seorang pejabat di desa yang mempunyai tugas untuk memberikan pelayanan pemerintah kolonial dan pelayanan publik. Dienst mempunyai tugas mewakili pemerintahan Hindia Belanda dalam melaksanakan pemerintahan kedinasan di desa. Pada masa kemerdekaan lembaga kedinasan (diens) tersebut tetap dipergunakan dalam pemerintahan desa menjadi Desa Dinas. Pada saat penjajahan Belanda, muncul istilah Desa Adat sebagai organisasi tradisional yang landasan oprasionalnya diatur berdasarkan hukum adat, sedangkan Desa Dinas landasan oprasionalnya diatur berdasarkan peraturan pemerintah (hukum tertulis).

  Eksistensi Desa Adat setelah zaman kemerdekaan, masih tetap diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia. Upaya penyeragaman dan penggabungan antara Desa Adat dengan Desa Dinas tidak membuahkan hasil yang kongkrit. Karena dua jenis desa tersebut, memang berbeda dari tugas pokok dan fungsinya di masyarakat. Berbeda dari segi wilayah, penduduk/anggota masyarakatnya, dan berbeda dari segi sistem pemerintahannya. Pemerintah menjamin keberadaan Desa Adat dan Desa Dinas, hal ini dapat dilihat dari dasar hukum yang mengaturnya, terutama dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dalam pasal 18 dinyatakan bahwa; Pasal 18 B (1) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang- Undang. Pasal 18 B ( 2 ) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang. Pengakuan keberadaan terhadap Desa adat diatur dalam UUD 1945 pasal 18, kemudian diatur kembali berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa; Daerah Negara Republik Indonsia tersusun dalam tiga tingkatan, Propinsi, Kabupaten (kota besar), dan Desa (Kota kecil) yang disebut Nagari, Marga dan sejenisnya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang telah berdiri menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 di antaranya Desa, Marga, Nagari dan sebagainya, berjalan terus sampai adanya pembentukan pemerintahan untuk menggabungkan Desa yang satu dengan Desa yang lainnya. Tetapi ide penggabungan desa-desa tersebut sampai sekarang belum bisa dilaksanakan. Penyeragaman tentang desa semakin meluas bergulir, dengan diundangkannya UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Upaya penyeragaman ini belum dapat dilaksanakan. Terutama penyeragaman Desa Adat. Keberadaan Desa Adat pada masa setelah kemerdekaan, ditinjau dari segi bentuk dan fungsi organisasi tradisional yang disebut dengan Desa Adat, sangat berpariasi dan perbedaannya sangat nampak. Oleh karena demikian keberadaan Desa Adat di Bali dapat diklasifikasikan menjadi; 1) Desa Tua (Desa Bali Age) yang di pegunungan, ciri-cirinya ádalah susunan pengurus lingkungan masyarakat setempat. Hukum Adat yang tumbuh dari masyarakat dikenal dengan Awig-Awig,

  Pakraman/Desa Adat , diikat oleh Adat istiadat atau hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam

  Pakraman di Negara Kesatuan Republik Indonesia

  masyarakat Hukum Adat di Provinsi Bali. 2) Mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun. 3) Mempunyai ikatan Kahyangan Tiga (Pura Puseh, Dalem, Desa). 4) Mempunyai wilayah tertentu. 5) Mempunyai harta kekayaan sendiri. 6) Berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Sebagai kesatuan masyarakat Hukum Adat, berarti Desa

  Pakraman ádalah sebagai berikut; 1) Kesatuan

  dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut jelas nampak bahwa unsur-unsur yang menjadi syarat pokok berdirinya sebuah Desa

  Kahyangan Desa , yang mempunyai wilayah tertentu

  Berdasarkan rumusan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2003 yang dimaksud dengan Desa Pakraman adalah; kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau

  Daerah Bali. Pertama dalam Peraturan Daerah Bali No. 6 Tahun 1986 tentang kedudukan, fungsi dan peranan Desa Adat . Kedua dalam Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2003 tentang perubahan atas Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman. Perubahan Peraturan Daerah No. 6 Tahun 1986 yang disempurnakan dalam Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2003. Perlu dimaklumi bahwa Pengertian Desa Adat menurut Peraturan Daerah tersebut tidaklah berarti mengubah kedudukan, fungsi dan peranan Desa Adat sebagaimana yang telah berjalan sebelumnya. Perubahan yang nampak ádalah perubahan istilah dari Desa Adat menjadi Desa Pakraman, serta penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi saat ini dalam rangka menyikapi arus reformasi dan globalisasi yang terjadi secara dinamis di masyarakat.

  Pakraman , telah diakomodir dalam dua Peraturan

  masih tetap eksís. Kedudukan dan peranan Desa

  Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pemerintahan desa, dari 1945 sampai 2005 memberikan posisi eksistensi Desa Pakraman, mengalami pasang surut, hal ini terbukti mulai dari Indonesia merdeka sampai saat ini, kedudukan Desa

  Eksistensi Desa Pakraman Dalam...

  32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah.

  22 Tahun 1999 disempurnakan lagi dalam UU No.

  ádalah Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai satu kesatuan masyarakat hukum, yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran mengenai desa ádalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Kebijakan yang tertuang dalam UU No.

  Marga. Pengertian desa dalam Undang-Undang ini

  Publik, sedangkan Desa Dinas mempunyai peranan yang lebih besar dalam pengaturan rumah tangga di desa. Reformasi yang melanda Indonesia Sejak 1998 mengakibatkan pergeseran paradigma dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Paradigma penyeragaman otonomi daerah, berubah menjadi paradigma kemajemukan penyelenggaraan otonomi daerah melalui perubahan UU No. 5 Tahun 1979 menjadi UU No 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah. Istilah Desa dalam UU No. 22 Tahun 1999, disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat seperti Nagari, Kamping, Huta, Bari dan

  Adat kurang mendapatkan forsi dalam pelayanan

  masih murni menggunakan istilah-istilah dalam trdiri Bali Kuno, sistem keagamaannya masih kuat pengaruh kepercayaan Bali Kuno, Sangat yakin terhadap Roh Leluhur, Dewa-Dewa kekuatan alam, (Gunung, Danau, Laut, Bumi, Matahari, Bulan, Bintang, Hutan dll). 2) Desa Apanaga, (Bali madya), ciri - cirinya, tugas pokok dan susunan pengurusnya diwarnai oleh sistem kerajaan daerahnya masing- masing. Tata keagamaannya telah dipengaruhi dengan sistem Hindu Jawa, munculnya strata masyarakat dalam bentuk soroh-soroh. 3) Desa Anyar (Bali modern) ciri-cirinya desa yang telah dilengkapi dengan dasar hukum tertulis dalam bentuk Awig-Awig, hukum tak tertulis dalam bentuk perarem, tata organisasi dan tata kerjanya telah dipengaruhi oleh sistem Organisasi modern. Masing

  (I Wayan Suarjaya)

  • masing jenis desa tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda yang dilandasi dengan prinsip (Desa , Kala, Patra ). Masa Orde Baru, kebijakan penyeragaman desa makin ditingkatkan, melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, tentang pemerintahan desa, dibangun hubungan yang jelas antara Pemerintah Desa dengan Pemerintah Pusat. Pada masa pengaturan desa secara sentralistik melalui penyeragaman desa, Desa

MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 120-130

  yang dijadikan landasan tertulis dalam pengaturan rumah tangga sendiri.

PELESTARIAN ADAT DAN BUDAYA

  Para pakar telah memberikan difinisi yang berbeda- beda, sesuai dengan sudut pandang dan kepakarannya masing-masing. Yan Breman meyatakan bahwa adat berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Adat adalah kebiasaan sikap dan prilaku pribadi seseorang, yang dianggap sebagai status kepatutan, diwarisi secara turun temurun, diyakini sebagai norma hukum, sehingga wajib dipatuhi oleh masyarakat. Pakar hukum Adat menyatakan bahwa Adat adalah tradisi yang diwarisi secara turun temurun yang dijadikan hukum tidak tertulis, yang Sangat dipatuhi oleh masyarakatnya, pelanggaran dari Adat ini, sangsinya dalam bentuk sangsi sosial.

  Pengertian adat, diperkenalkan oleh Belanda di Bali, sebagai tradisi yang kuat dan melekat dalam kehidupan bermasyarakat, berkembang sesuai dengan tuntutan masyarakatnya. Kemudian muncullah istilah hukum Adat. Desa Pakraman yang pada mulanya sebagai organisasi tradisional, yang mempunyai tugas pokok dan fungís melayani dan melaksanakan Upacara Keagamaan, sering disebut dengan Upacara Adat. Organisasi tradisional yang melaksanakan Upacara keagamaan, kemudian disebut dengan Desa Adat. Penggunaan istilah Desa Adat sangat berakar di masyarakat, sehingga sebutan untuk upacara Agama disebut juga dengan Upacara Adat. Sejak zaman Reformasi penggunaan istilah Adat, diluruskan kembali, istilah Desa Adat di kembalikan menjadi Desa Pakraman, dan upacara adat diganti menjadi Upacara Agama. Kehidupan Adat Budaya dan Agama Hindu di Bali, merupakan satu kesatuan yang utuh, tidak bisa dipisahkan. Adat dan Budaya dijiwai oleh filsafat Agama, sedangkan pelaksanaan Upacara keagamaan dikemas melalui Adat dan Budaya, tak ubahnya bagaikan sebutir telor, ada kulit, putih dan kuning telur, Kelihatannya bisa dibedakan, tetapi ketiganya saling melengkapi dan ketergantungan, salah satunya rusak maka telur tersebut tidak bisa menetas. Pada mulanya nilai-nilai luhur adat dan budaya tersebut adalah dipersembahkan untuk Agama. Contoh riil, seni ukir, tari, tabuh, tata kemasyarakatan dipersembahkan untuk kepentingan Agama di Pura, sehingga muncul seni Sakral. Seni yang khusus untuk kepentingan tata keagamaan, kemudian berkembang sesuai dengan perkembangan dan kemampuan manusia, beralih dari sakral menjadi propan, seperti bangunan rumah menyerupai bentuk pura, tarian sakral dipentaskan sebagai pertunjukan hiburan, Pelestarian Adat dan Budaya di Bali sangat besar peranannya Desa Pakraman, dengan melibatkan dari berbagai pihak yang terkait. Adat dan Budaya pada awalnya tumbuh dilingkungan Desa Pakraman, terutama di Banjar – Banjar tumbuh dan berkembang berbagai jenis Budaya, kini bukan tumbuh dan berkembang di Desa Pakraman saja, melainkan disemua lini, termasuk di lembaga Pendidikan, Instansi Pemerintah maupun Swasta.

  Konflik dan Pengaruh Partai Politik

  Perkembangan Desa Pakraman dari masa-kemasa, telah menunjukkan peranannya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam bidang Upacara keagamaan, serta pelayanan dalam bidang sosial kemasyarakatan, yang diwujudkan melalui konsep

  menyama braya, segilik – seguluk, selunglung sayantaka . Perkembangan lebih lanjut kebersamaan

  dan keharmonisan hidup dalam konteks Desa Pakraman , dilandasi oleh falsapah Tri Hita Karana.. Peranan Desa Pakraman dianggap sebagai benteng menjaga tetap tegak dan kokoh berdirinya Agama Hindu di Bali. Konsep menyama braya, tercermin sikap kekeluargaaan, yang merasakan sesama umat manusia ádalah bersaudara, semua umat manusia ádalah sama-sama ciptaan Tuhan, sesuai dengan konsep Tattwam Asi, yang memberikan inspirasi bahwa kodrat manusia ádalah sama. Manusia menjadi berbeda, karena kelahiran, pendidikan, sifat dan prilakunya yang berbeda. Perbedaan tersebut mengkristal menjadi kelompok-kelompok dalam masyarakat sesuai dengan jati dirinya masing-masing.

  Gilik Saguluk memberikan pedoman kepada

  masyarakat agar bersatu, saling bantu-membatu menumbuhkan rasa gotong-royong yang kuat, sesuai dengan profesinya masing-masing. Sedangkan

  Selulunglung sabayantaka menumbuhkan rasa

  kebersamaan dalam tanggung jawab bersama dalam menghadapi suka maupun duka dalam kehidupan masyarakat. Peranan Desa Pakraman adalah mengemban wacana kebersamaan dari segi

  Eksistensi Desa Pakraman Dalam...

  (I Wayan Suarjaya)

  pelaksanaan ajaran agama, serta dalam kehidupan berbudaya sebagai potensi menguatkan peranan agama, adat dan budaya menjadi satu kesatuan yang utuh. Desa Pakraman juga berfungsi sebagai benteng pelestarian budaya dan adat Bali. Arus globalisasi yang terjadi saat ini membawa dampak yang signifikan terhadap perkembangan Adat di Bali. Ditengah kemajuan intlektual masyarakat Bali disertai dengan perkembangan modernisasi, justru banyak kasus adat yang mencuat. Konflik perbatasan, kasus perebutan kuburan, pemekaran Desa Pakraman dan kasus kesepekang. Permasalah yang muncul ini memperlihatkan rasa

  Sagilik – saguluk paras paros sarpanaya , hidup

  berdampingan kian makin rapuh. Ketahanan masyarakat tradisional yang memperkuat ajeg Bali, makin rapuh. Perkembangan peranan Desa

  Pakraman , lambat laun tentu ada suka dan duka

  yang dihadapi, sesuai dengan konsep rwa bhineda dua unsur yang selalu berdampingan. Peranan Desa

  Pakraman dalam membina dan memberikan

  pelayanan kepada masyarakat, sering muncul bibit konflik di masyarakat, baik konflik individu dengan individu, maupun individu dengan masyarakat. Konflik diartikan sebagai perbedaan, pertentangan dan perselisihan. Berdasarkan hasil pemantauan menunjukkan bahwa sumber konflik di Bali sangat banyak baik ditinjau dari segi idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya, Suku, Agama dan Ras (Sara) karena terjadi perbedaan pandangan, pemahaman, serta persaingan yang sangat ketat. Konflik yang terjadi dalam lingkungan

  Desa Pakraman , teori konflik yang dinyatakan oleh

  Daniel Webster, ada unsur positipnya karena konflik di Desa Pakraman lebih dominan konflik individu, konplik politik, dibawa ke masyarakat, kedalam kancah Desa Pakraman, Pengaruh Politik praktis pada saat kampanye, berdampak terjadinya konplik di masyarakat, yang berpengaruh juga dalam tata kehidupan Desa Pakraman. Perbedaan aspirasi politik oleh anggota masyarakat, pada saat mencari pengikut dan dukungan suara pada saat pemilihan umum, Pilkada, Pilkades, mengakibatkan dendam politik. Ini menunjukkan kesadaran masyarakat berdemokrasi belum matang. Tidak disadari perbedaan itu indah. Konflik yang muncul di Desa Pakraman dapat digolongkan menjadi tiga jenis konplik yaitu 1) konflik dari unsur Parhyangan, Konflik ini muncul akibat adanya pandangan yang berbeda dari sekelompok masyarakat yang membawa nama atau mengatas- namakan Desa Pakraman; 2) konflik dari unsur

  Pawongan. Salah satu sumber konflik dibidang pawongan adalah pengaruh partai politik.

  Tatanan kehidupan Politik, melekat pada masyarakat. Partai Politik dalam mencari anggota, terutama dukungan dalam Pemilihan Umum, selalu melibatkan masyarakat. Para elit politik, mencari dukungan melalui tokoh-tokoh masyarakat, tokoh Agama, tokoh adat, untuk menyampaikan visi dan missinya, selanjutnya melibatkan anggota masyarakat termasuk Kerama Desa Pakraman. Kegiatan Partai Politik banyak yang mempengaruhi pengurus Desa Pakraman, serta melibatkan anggota (Kerama). Berdasarkan hasil penelitian diketemukan bahwa mulai zaman kerajaan Bali Kuno, pengaruh politik telah masuk ke Desa Pakraman. Perintah raja dijadikan dasar dalam mengatur tata kehidupan bermasyarakat, beragama dan berbudaya. Munculnya pengelompokan masyarakat berdasarkan atas wangsa/kasta di Bali, sangat dipengaruhi oleh Politik Pemerintahan pada saat itu. Pada zaman sebelum masuknya pengaruh kerajaan terutama pengaruh raja-raja Jawa, di Bali belum dikenal Catur Wangsa/

  Kasta , Hal ini dapat dibuktikan desa-desa tua di Bali tidak dikenal istilah catur wangsa/Kasta.

  Belanda memanfaatkan kondisi masyarakat untuk memecah belah persatuan dan kesatuan masyarakat di Bali untuk menanamkan kekuasaannya menjajah Bali. Raja-raja dukuasai satu persatu, dengan demikian sistem pemerintahannya berpengaruh pula terhadap tatanan Desa Pakraman. Pengaruh Politik terhadap Desa Pakraman berkelanjutan sampai zaman kemerdekaan hingga sekarang. Hal ini terbukti, bahwa setiap terjadi perubahan kondisi politik, berpengaruh juga terhadap tatanan dalam Desa Pakraman. Bukti menunjukkan bahwa pada masa Kampanye menjelang Pemilihan Umum, Pemilihan Kepala Daerah, maupun pemilihan Kepala desa, suhu politik semakin memanas. Untuk mendapatkan pendukung yang kuat, ada usaha-usaha untuk melaksanakan persembahyangan bersama, memanfaatkan Kerama Desa, untuk menyatakan ketetapan hati aspirasi politiknya, dengan melaksanakan sumpah bersama untuk memilih partai politik tertentu. Model partai politik semacam ini, berkelanjutan sampai sekarang. Para elit politik

MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 120-130

  melaksanakan dharma Suaka, Sima Krama ke desa Pakraman, dengan berbagai jenis janji yang akan diberikan jika memilih Partai Politiknya dalam kegiatan Pemilu/Pilkada/Pilperes. Kasus banyak muncul, elit politik yang telah memberikan sesuatu kepala desa Pakraman, jika tidak mendapatkan suara yang dikehendaki dalam Pemilihan, maka bantuan yang dulu telah diberikan ditarik kembali, sehingga sering berdampak konflik di masyarakat.

  Konflik akibat ketidak harmonisan diantara kerama, akibat dari melanggar ketentuan awig-awig, dengan sangsi paling berat yaitu kesepekang. Sangsi kesepekang sudah diupayakan oleh Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali agar tidak diberlakukan lagi. Konflik dari unsur Palemahan, seperti masalah kuburan, pelaba pura, tanah ayahan desa, tapal batas desa dan yang sejenisnya Tidak dapat dipungkiri bahwa didalam kehidupan manusia. konflok selalu muncul baik dalam kehidupan berumah tangga, pribadi, kelompok, bermasyarakat, bahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik yang lebih luas lagi antar negara di dunia, sebagai bagian dari peradaban umat manusia. Konflik muncul sebagai konsekwensi dari interaksi sosial. Kenyataan di lapangan kita jumpai berbagai konflik dikalangan Desa

  Pakraman yang telah disebutkan tadi.

  Jika direnungkan secara hati nurani, semestinya masalah kuburan tidak semestinya dijadikan konflik, kuburan di Bali sistemnya tidak sama dengan di Jawa, sebab dengan sitem Setra, dipergunakan untuk Ngaben. Kuburan/setra sepanjang masa tidak akan habis-habisnya. Tapal batas desa, dijadikan konflik, jika dikaji lebih mendalam, yang menjadikan konflik tersebut salah satu unsurnya adalah masalah penghasilan atau keuntungan dari wilayah tersebut. Konflik tentang pemekaran Kahyangan Tiga, semestinya tidak perlu dipermasalahkan, karena pemekaran tersebut tidak mengambil hak-haknya dalam Desa Pakraman asalnya, sedangkan mereka rela membangun sendiri sesuai dengan persyaratan berdirinya sebuah Desa Pakraman. Pengembangan

  Desa Pakraman , dianggap wajar-wajar saja,

  mengingat perkembangan wilayah dan jumlah

  kerama desa yang semakin meningkat, agar dapat

  memberikan kesempatan dan berbuat yang lebih baik dalam melaksanakan Swadharmanya dalam melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.

  Perkembangan Desa Pakraman di Bali berdasar data dari tahun 2000 jumlah Desa Pakraman 1376, sedangkan pada tahun 2008 tercatat 1.453 berarti telah berkembang 123 desa Pakraman yang baru,berarti ada kenaikan pemekaran desa menjadi 5,3%. Pemekaran Kahyangan Tiga yang berdampak pemekaran Desa Pakraman, suatu hal yang positif, yang perlu disikapi dengan langkah yang arif dan bijaksana, hendaknya dilakukan dengan keterbukaan dengan musyawarah untuk mupakat. Konplik diantara anggota banjar atau kerama desa, kebanyakan sumbernya adalah dendam pribadi, selisih pendapat atau sikap dalam kehidupan sehari-hari di bawa ketingkat Desa. Secara esensial konflik antar warga ini diakibatkan oleh sikap seseorang yang melanggar awig-awig, yang diakibatkan oleh berbagai faktor, ekonomi, politik, lapangan kerja. Salah satu contoh anggota masyarakat yang mencari pekerjaan dirantauan, sehingga tidak mungkin bisa

  ngaturang ayah di Desa, disisi lain mereka

  diwajibkan turun ke desa ngaturang ayah-ayahan desa.

  Teknik Penyelesaian Konflik