Pemimpin Redaksi Astrid Debora S.M., S.H., M.H Redaktur Pelaksana Marsya Mutmainah Handayani, S.H., LL.M Yanuar Filayudha, S.Hum Dewan Redaksi

JURNAL HUKUM
LINGKUNGAN INDONESIA
Volume 5 Nomor 1, Oktober 2018
ISSN: 2655-514X

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) terbit dengan nomor ISSN baru mulai
volume 5 nomor 1. Sebelumnya, “JHLI” terdaftar dengan nomor ISSN: 2355-1350 dengan
nama Jurnal Hukum Lingkungan (JHL). JHLI adalah sebuah inisiatif dari Indonesian
Center for Environmental Law (ICEL) yang digunakan sebagai wadah akademik
perdebatan hukum dan kebijakan lingkungan hidup. Redaksi menerima 3 (tiga) jenis
tulisan: (1) hukum lingkungan murni (aspek pidana/perdata/administrasi/ hukum
internasional terkait lingkungan) dan kebijakan publik yang terkait dengan lingkungan;
(2) tinjauan hukum dari ilmu lingkungan yang bersifat teknis terhadap kebijakan dan arah
hukum yang ada; atau (3) politik hukum lingkungan. Tulisan dapat dikirimkan melalui
surat elektronik sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan (hal. x).

Indonesian Center for Environmental Law
Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA
Vol. 5 Issue 1 / Oktober / 2018

ISSN: 2655-514X
Website: www.icel.or.id/jurnal
E-mail: jurnal@icel.or.id

Diterbitkan oleh:

INDONESIAN CENTER FOR ENVIRONMENTAL LAW (ICEL)
Jl. Dempo II No. 21, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12120
Telp. (62-21) 7262740, 7233390
Fax. (62-21) 7269331

Desain Sampul : Suparlan, S.Sos.
Tata Letak : Tim JHLI

Redaksi mengundang para akademisi, pengamat, praktisi, mahasiswa dan mereka
yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan
pengelolaan sumber daya alam. Tulisan dapat dikirimkan melalui pos atau e-mail
sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan (hal. x)


DISCLAIMER
Opini yang dimuat dalam Jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi ICEL,
melainkan merupakan pendapat pribadi masing-masing Penulis.
ii

REDAKSI

DAN

MITRA BE

STARI

Dewan Penasehat
Dr. Mas Achmad Santosa, SH. LL.M.
Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH. M.Si.
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH., M.H.
Indro Sugianto, SH. M.H.
Sandra Moniaga, SH., LL.M.
Ir. Yuyun Ismawati, M.Sc.

Dadang Trisasongko, S.H.
Penanggung Jawab
Henri Subagiyo, S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi
Astrid Debora S.M., S.H., M.H
Redaktur Pelaksana
Marsya Mutmainah Handayani, S.H., LL.M
Yanuar Filayudha, S.Hum
Dewan Redaksi
Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D. Rika Fajrini, S.H., M. GES
Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum. Ohiongyi Marino, S.H.
Josi Khatarina, S.H., LL.M. Isna Fatimah, S.H.
Rino Subagyo, S.H. Wenni Adzkia, S.H.
Dyah Paramita, S.H., LL.M. Fajri Fadhillah, S.H.
Raynaldo G. Sembiring, S.H. Angela Vania, S.H
Margaretha Quina, S.H., LL.M Adrianus Eryan, S.H
Mitra Bestari
Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D.
Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M


Redaksi dan segenap Penulis Artikel mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada
Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan saran yang diberikan dalam
penyempurnaan Artikel Ilmiah yang diterima.

iii

PENGANTAR REDAKSI
“Perumusan Kebijakan Berbasis Kajian Bukti yang Tepat (Evidence-Based Policy
Making) dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”

K

ebijakan Berbasis Kajian Bukti yang Tepat (Evidence-Based Policy Making)
adalah kebijakan yang dibuat berlandaskan bukti-bukti yang mendukung
lahirnya kebijakan tersebut. Kebijakan yang berlandaskan bukti yang tepat
tentunya akan menghasilkan kebijakan yang tepat guna dan tepat sasaran. Namun
demikian, masih sering ditemui kebijakan yang tidak disertai dengan landasan bukti
yang tepat.
Payung hukum formal untuk perumusan kebijakan berbasis kajian bukti yang
tepat memang secara eksplisit belum ada. Namun demikian, Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebetulnya
telah mengatur mengenai kebutuhan penelitian baik hukum maupun penelitian
lainnya yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah sebelum menerbitkan
sebuah regulasi. Hasil penelitian ini secara formal dituangkan dalam Naskah
Akademik.
Namun demikian, Naskah Akademik hanya diwajibkan ada pada suatu
Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan
kebutuhan hukum masyarakat. Mengingat tidak semua regulasi dikenai kewajiban
didahului dengan Naskah Akademik, tidak heran kemudian banyak regulasi yang
tidak disertai dengan landasan yuridis, filosofis, dan historis termasuk landasan
ilmiah. Banyak regulasi muncul dengan tujuan menyelesaikan persoalan suatu hal,
namun kemudian menimbulkan persoalan lainnya. Ditambah lagi, ada regulasiregulasi yang didahului dengan perumusan Naskah Akademik, namun Naskah
Akademik yang ada hanya memenuhi standar formal UU 12 Tahun 2011, bukan
substansi yang menjadi kewajibannya.
Selain mengatur kewajiban pembuatan Naskah Akademik untuk regulasi
tertentu, Bab XI UU 12 Tahun 2011, telah mengatur pula mengenai Partisipasi
Masyarakat dalam perumusan regulasi. Disebutkan bahwa masyarakat berhak
memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Masukan tersebut dapat disampaikan melalui: (a) rapat

dengar pendapat umum (b) kunjungan kerja; (c) sosialisasi; dan/atau (d) seminar,
lokakarya, dan/atau diskusi. Untuk memudahkan keterlibatan tersebut, setiap
rancangan Peraturan Perundang-undangan diatur harus dapat diakses dengan
mudah oleh masyarakat.
Faktanya, tidak jarang masyarakat hanya dilibatkan di akhir proses dan sebagai
formalitas saja. Selain itu, akses tersebut seringkali sulit diperoleh. Biasanya informasi
iv

mengenai rancangan regulasi hanya ada di situs resmi pembuat regulasi. Tidak semua
kelompok masyarakat terbiasa mengakses situs resmi pembuat regulasi. Ditambah
lagi, tidak semua rancangan regulasi tersedia di situs resmi pembuat regulasi.
Bagaimana mungkin suatu kebijakan dikatakan dapat berdampak baik apabila
kebijakan tersebut tidak didasarkan pada analisis data akurat, baik dari informasi
yang disampaikan oleh masyarakat itu sendiri, pendapat ahli, hasil penelitian, dan
informasi dari para pemangku kepentingan ataupun fakta di lapangan? Catatan
tersebut menjadi dasar Redaksi mengambil tema “Perumusan Kebijakan Berbasis
Kajian Bukti yang Tepat (Evidence-Based Policy Making) dalam Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.”
Berbagai catatan kritis dan analisis yang terdapat di dalam tulisan-tulisan yang
dimuat di dalam jurnal ini diharapkan mampu memantik diskusi yang lebih dalam

mengenai: (1) Bagaimana permasalahan hukum/kebijakan dari topik yang
bersangkutan dalam tataran norma? (2) Bagaimana persoalan-persoalan yang
dihadapi dalam mengimplementasikan norma hukum/kebijakan dari topik yang
bersangkutan? (3) Bagaimana gagasan-gagasan dalam memperbaiki dan
mengembangkan hukum dan kebijakan terkait topik yang bersangkutan?
Dalam jurnal kali ini, Penulis pertama, Agus Efendi dkk mengulas tentang tidak
konsistennya kebijakan energi di Indonesia, kaitannya terhadap pemberlakuan
standar emisi gas buang Euro 4. Penulis kedua, Windu Kisworo membahas tentang
aplikasi prinsip-prinsip terkait bukti ilmiah di Amerika Serikat dalam pembuktian
perkara perdata lingkungan di Indonesia. Penulis ketiga, Perdinan dkk menjelaskan
tentang telaah inisiatif dan kebijakan Indonesia dalam proses adaptasi perubahan
iklim dan ketahanan pangan. Penulis keempat, Shafira Anindia Alif Hexagraha
menulis tentang trajektori ko-produksi di Indonesia dari telaah geografi kritis.
Melengkapi tulisan tersebut, Penulis kelima, Grita Anindarini Widyaningsih mencoba
membedah kebijakan perencanaan ketenagalistrikan di Indonesia. Penulis ke-enam,
Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M mengulas Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun
2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta
Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit yang dikenal dengan istilah Inpres
Moratorium Sawit.
Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para Penulis yang telah

mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya dalam menyelesaikan artikel ini dan
melakukan revisi berdasarkan masukan substantif dari penelaahan sejawat dan
Sidang Redaksi. Terima kasih juga kami ucapkan kepada segenap anggota Sidang
Redaksi yang telah menelaah dengan cermat dan memberikan masukan substantif
bagi tiap artikel. Tidak lupa kepada Mitra Bebestari edisi ini, Andri G. Wibisana, S.H.,
LL.M., Ph.D dan Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., LL.M. yang telah melakukan blind
peer review terhadap artikel dalam jurnal edisi ini.
v

Akhir kata, JHLI Vol. 5 Issue 1 (Oktober 2018) ini tidak lepas dari kekurangan.
Redaksi mempersilakan semua pihak memberikan kritik dan masukan untuk
memperbaiki proses maupun substansi, maupun hasil akhir artikel yang dimuat
dalam jurnal ini.
Jakarta, Oktober 2018
Redaksi

vi

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA
ISSN: 2655-514X

VOLUME 05, NOMOR 1, OKTOBER 2018
HALAMAN 1-159

DAFTAR ISI

Redaksi & Mitra Bestari………………………………………………………….
Pengantar Redaksi………………………………………………………………..
Daftar Isi…………………………………………………………………………...
Daftar Gambar ……………………………………………………………………
Daftar Tabel……………………………………………………………………….
Artikel Ilmiah
1. Inkonsistensi Kebijakan Energi di Indonesia: Kaitannya terhadap
Pemberlakuan Standar Emisi Gas Buang Euro 4
Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, dan Ni Luh Putu Chintya
Arsani………………………………………………………………………….
2. Aplikasi Prinsip-Prinsip terkait Bukti Ilmiah (Scientific Evidence) di
Amerika Serikat dalam Pembuktian Perkara Perdata Lingkungan di
Indonesia
Windu Kisworo………………………………………………………………
3. Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan: Telaah Inisiatif dan

Kebijakan
Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi, dan Woro Estiningtyas …………...
4. Trajektori Ko-Produksi Kota di Indonesia: Telaah Geografi Kritis
Shafira Anindia Alif Hexagraha…………………………………………...
Membedah Kebijakan Perencanaan Ketenagalistrikan di Indonesia
Grita Anindarini Widyaningsih…………………………………………...
Ulasan Peraturan: Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan
Kelapa Sawit serta Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit
Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M…………………………………
Daftar Indeks……………………………………………………………………...
Pedoman Penulisan Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia……………........

iii
iv
vii
viii
ix

1-23


24-59

60-87
88-116
117-136

137-153
154-159
x

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.
Gambar 2.

Gambar 3.

Gambar 4.
Gambar 5.

Gambar 6.
Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.

viii

Luas panen (kiri) dan distribusi spasial produktivitas
(kanan)……………………………………………………………..
Jaringan suplai beras di Indonesia. Sumber: dimodifikasi dari
kompilasi rantai pasok beras di Indonesia yang
dijelaskan………………………………………………………….
Produksi beras nasional. Tahun El-Nino, Tahun La-Nina.
Selisih produksi beras adalah perbedaan produksi tahun
berjalan dengan tahun sebelumnya…………………………….
Produksi, Konsumsi, dan Surplus Beras Indonesia tahun
1990 – 2013…………………………………………………………
Identifikasi dampak perubahan iklim global terhadap iklim
wilayah di Indonesia. Sumber: dikompilasi dari berbagai
laporan penelitian………………………………………………...
Identifikasi dampak perubahan iklim terhadap produksi
padi in Indonesia………………………………………………….
Hasil kompilasi bentuk adaptasi perubahan iklim………….
Program Peningkatan Produksi Padi Nasional dan Paket
Teknologi Anjuran. Sumber: dimodifikasi dari Pratiwi………
Identifikasi kebijakan sektor pertanian terkait adaptasi
perubahan iklim…………………………………………………..

65

67

68
70

71
71
73
78
79

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbandingan Arah Kebijakan Energi dengan
Energi Trilemma Indeks……………………………………………. 123
Tabel 2. Perbandingan Potensi dan Perencanaan Pembangkit…………… 129
Tabel 3. Perbandingan Rencana Pembangunan Pembangkit Berbasis
Energi Terbarukan dalam RUEN dan RUPTL………………….... 132
Tabel 4. Perkembangan Penambahan Kapasitas per Tahun untuk
PLTA, PLTP, dan PLTS………………….………………….………... 133

ix

INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA:
KAITANNYA TERHADAP PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI
GAS BUANG EURO 4
Agus Efendi1, Alia Yofira Karunian2, Ni Luh Putu Chintya Arsani3

Abstrak
Disahkannya Perpres No. 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan
Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak pada 31 Desember 2014 lalu menandakan
komitmen Indonesia dalam mengurangi penggunaan energi tak ramah lingkungan.
Perpres No. 191 Tahun 2014 ini membatasi pendistribusian Premium untuk wilayah
yang menghasilkan gas buang kendaraan bermotor dengan jumlah besar seperti Jawa
dan Bali. Namun, pada 24 Mei 2018 lalu, Presiden Jokowi mengesahkan Perpres No.
43 Tahun 2018 yang kembali mewajibkan pendistribusian Premium di wilayah Jawa
dan Bali. Rencana ini bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam
mengimplementasikan baku mutu emisi gas buang Euro 4 yang diadopsi melalui
Permen LH No. 20 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan
Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O. Artikel ini mengaplikasikan metode
penelitian audit kebijakan. Simpulan dari artikel ini adalah evidence-based policy making
tidak diimplementasikan dalam perumusan Perpres No. 43 Tahun 2018. Meskipun
bukti ilmiah menunjukkan bahwa Premium tidak memenuhi standar Euro 4,
Pemerintah tetap bersikeras mewajibkan kembali pendistribusian Premium di
wilayah Jawa dan Bali.
Kata kunci: Evidence-based policy making, Premium, Euro 4
Abstract
The enactment of Presidential Regulation No. 191 Year 2014 concerning Provision,
Distribution and Retail Price of Fuel Oil on December 31st 2014 signified Indonesia's
commitment in reducing the use of not environmentally friendly energy. This regulation limits
Premium distribution to areas that produce large amounts of motor vehicle exhaust e.g. Java
and Bali. However, on 24th May 2018, President Jokowi promulgated Presidential Regulation
No. 43 Year 2018 which will again require Premium distribution in Java and Bali. This plan
is contrary to Indonesia's commitment to implement the Euro 4 emission quality standard
adopted through Ministerial Regulation No. 20 of 2017 concerning the Exhaust Emission
Standards of New Type Motor Vehicle with M, N, O Category. This article applies policy-audit
research methodology. This article’s conclusion is, the evidence-based policy making is not
Penulis adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Udayana dengan program kekhususan
Hukum Internasional.
2 Penulis adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan saat ini bekerja sebagai Peneliti
Muda di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
3 Penulis adalah Mahasiswa Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana.
1

1

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23

implemented in the promulgation of Presidential Regulation No. 43 Year 2018. Although the
scientific evidence shows that Premium does not meet Euro 4 standards, the Government still
insists to again require the Premium distribution in Java and Bali.
Keywords: Evidence-based policy making, Premium, Euro 4

I.

Pendahuluan

peraturan menjadi standar Euro 2 (1996),

Secara global, dalam rentang waktu

Euro 3 (2000), Euro 4 (2005), Euro 5 (2009),

1990 hingga 2015, tingkat kematian yang

dan Euro 6 (2014). Indonesia juga mulai

disebabkan oleh polusi udara meningkat

memberlakukan standar emisi gas buang

sejumlah 20% dari 3,5 juta orang menjadi

Euro 4 dengan berbagai pertimbangan.

4,2 juta orang.4 Mengontrol emisi gas

Standar emisi gas buang Euro 4 pada

buang kendaraan bermotor adalah hal

bahan bakar minyak adalah emisi gas

yang sangat penting untuk dilakukan

buang yang memiliki kadar gas CO

demi mengurangi polusi udara.5 Upaya

maksimal 1 gr/km, HC 0,1 gr/km, NOx

untuk mengontrol emisi gas buang

0,08 gr/km dan untuk mesin diesel

kendaraan bermotor dimulai sejak tahun

memiliki kadar gas maksimal CO 0,50

1990 saat Uni Eropa mengeluarkan

gr/km, HC+NOx 0,3 gr/km, pm 0,025

peraturan

gr/km.6

yang

mewajibkan

Untuk

mengetahui

apakah

penggunaan katalis untuk mobil bensin

suatu

yang disebut standar Euro 1. Hal ini

memenuhi standar baku mutu emisi gas

bertujuan untuk memperkecil kadar

buang Euro 4, dapat dilihat dari bilangan

bahan

dihasilkan

oktan bahan bakar tersebut. Bilangan

kendaraan bermotor. Selanjutnya secara

oktan digunakan sebagai istilah untuk

bertahap

menyatakan mutu bensin sebagai bahan

pencemar

Uni

yang

Eropa

memperketat

bahan

bakar

minyak

dapat

4 Cohen AJ, Brauer M, Burnett R, et al., “Estimates and 25-year Trends of the Global Burden of
Disease Attributable to Ambient Air Pollution: An Analysis of Data from the Global Burden of Diseases
Study 2015,” The Lancet, 389 (2017), hlm. 1907.
5 Helotonio Carvalho, “The Global Burden of Air Pollution-Associated Deaths - How Many Are
Needed for Countries to React?”, Elsevier Vol.1, (2017), hlm.179.
6 Anton Suhartono, “Akan Diberlakukan pada 2018, Apa Itu Standar Emisi Euro4?”,
https://news.okezone.com/read/2017/04/03/15/1657747/akan-diberlakukan-pada-2018-apa-itustan dar-emisi-euro4, diakses pada 7 September 2018

2

Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani
INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP
PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4

bakar

Semakin

bilangan oktan 88 dan Pertalite dengan

tinggi bilangan oktan, maka semakin

bilangan oktan 9012 tidak memenuhi

tersebut,7

standar emisi gas buang Euro 4.13

karbon

Premium sendiri sudah tidak beredar di

dioksida yang dihasilkan,8 dan semakin

pasar dunia karena tidak memenuhi

lambat bahan bakar tersebut terbakar.

standar emisi gas buang internasional,

Hal ini membuat residu yang tertinggal

selain karena bilangan oktan yang terlalu

pada mesin sangat sedikit atau bahkan

rendah yaitu 88, kini standar emisi gas

tidak ada sehingga tidak ada gangguan

buang internasional sudah meningkat

pada kinerja mesin.9

menjadi Euro 6.14

baik

berkompresi

mutu

semakin

bahan

sedikit

Kategori

tinggi.

bakar

emisi

bahan

gas

bakar

yang

Pemberlakuan standar emisi gas

memenuhi standar emisi gas buang Euro

buang

ini

bukan

tanpa

iklim

global

alasan.

4 adalah bahan bakar bernilai oktan

Perubahan

minimal 9210 e.g., Pertamax dengan

diakibatkan oleh peningkatan aktivitas

bilangan oktan 92, Pertamax Plus dengan

manusia (antropogenik) yang berimbas

bilangan oktan 95 dan Pertamax Turbo

pada peningkatan gas rumah kaca,

dengan bilangan oktan 98.11 Karenanya,

menjadi alasan utama diberlakukannya

yang

bahan bakar seperti Premium dengan

Romany M. Webb, Increasing Gasoline Octane Levels to Reduce Vehicle Emissions: A Review of Federal
and State Authority (New York: Sabin Center for Climate Change Law, 2017), hlm. 20.
8 Tim Theiss, et.al., Summary of High-Octane, Mid-Level Ethanol Blends Study 2, (Oak Ridge: Oak Ridge
National Laboratory, 2016), hlm. 2.
9 Ibid.
10 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Standar Emisi Euro 4 Segera Diberlakukan
Di Indonesia”, http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/579, diakses pada 3 September 2018.
11Praga
Utama, “Ini Beda Premium, Pertalite, Pertamax, dan Pertamax Plus”,
https://bisnis.tempo.co/read/678224/ini-beda-premium-pertalite-pertamax-dan-pertamaxplus/full&view=ok, diakses pada 3 September 2018.
12 Ibid.
13 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N, dan
Kategori O, Nomor PM 20 Tahun 2017, Lampiran I (C).
14 Arief Hermawan, “Indonesia Masih Terbelakang Soal Standar Emisi Kendaraan”,
https://tirto.id/ indonesia-masih-terbelakang-soal-standar-emisi-kendaraan-cjxJ, diakses pada 3
September 2018.
7

3

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23

standar emisi gas buang.15 Emisi gas

Sebagai upaya untuk menyesuaikan

antropogenik yang lazim ditemukan di

diri dengan standar emisi gas buang

seluruh dunia (baik sebagai polusi udara

internasional,

perkotaan dan deposisi atmosfer lintas

kemudian membentuk Tim Reformasi

batas) adalah, sulfur

Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi pada

nitrogen

oksida

oksida (SOx),

(NOx),

Presiden

Jokowi

karbon

tahun 2014. Beberapa rekomendasi yang

monoksida (CO), ozon (O3), jejak organik

diberikan oleh Tim Reformasi Tata

(aldehida, benzena dan hidrokarbon

Kelola Minyak dan Gas Bumi adalah

plyaromatic), beberapa jenis jejak logam

menyarankan penghentian impor bahan

(terutama timbal (Pb)) dan partikulat

bakar beroktan 88 (Premium) atau bahan

tersuspensi, serta polusi udara dari

bakar lainnya yang beroktan rendah dan

kapal.16 Pembakaran bahan bakar fosil,

menggantinya dengan Pertamax yang

khususnya dari kendaraan bermotor,

beroktan 9218 serta pengalihan produksi

menghasilkan 2 (dua) nitrogen oksida;

kilang domestik dari bensin beroktan 88

nitrogen oksida (NO dan nitrogen

menjadi beroktan 92.19

dioksida (NO2), yang secara kolektif

Rekomendasi ini juga didukung oleh

dikenal sebagai NOx),17 yang kemudian

munculnya Peraturan Presiden No. 191

turut berkontribusi dalam peningkatan

Tahun

antropogenik dari gas rumah kaca dan

Pendistribusian dan Harga Jual Eceran

pada akhirnya akan mengakibatkan

Bahan

pemanasan

disebut Perpres No. 191 Tahun 2014).

lingkungan.

global

dan

kerusakan

Perpres

2014

Bakar

ini

tentang

Minyak

mengatur

Penyediaan,

(selanjutnya

pengecualian

Patricia Birnie, et.al., International Law & the Environment, 3rd ed., (UK: Oxford University Press,
2009), hlm. 336.
16 Philippe Sands, Principles of International Environmental Law, 2nd ed., (UK: Cambridge University
Press, 2007), hlm. 323.
17 Ibid.
18 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, “Impor Bensin RON 88 Direkomendasikan
Dihentikan”,
https://migas.esdm.go.id/post/read/Impor-Bensin-RON-88--DirekomendasikanDihentikan, diakses pada 30 Mei 2018.
19 Abdul Aziz, “Inkonsistensi Pemerintah Soal Kebijakan BBM Premium” https://tirto.id/inkon
sistensi-pemerintah-soal-kebijakan-bbm-premium-cKAF, diakses pada 4 September 2018.
15

4

Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani
INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP
PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4

penyaluran

bahan

bakar

minyak

beroktan 88, termasuk Premium, di Jawa
dan Bali.20 Perpres ini dinilai sebagai
langkah

awal

pemerintah

untuk

dimulai

terhitung

Maret

2019

mendatang.23
Sayangnya, konsistensi pemerintah
dalam

menjalankan

rekomendasi-

menghapus bahan bakar tak ramah

rekomendasi yang diberikan oleh Tim

lingkungan secara bertahap. Pada tahun

Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas

2017, standar emisi gas buang Euro 4

Bumi ini tidak berlangsung lama. Pada

secara resmi diberlakukan di Indonesia

Juli 2017, pada saat negara-negara lain

melalui Permen LH dan Kehutanan No.

berencana

P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/20

mengurangi emisi gas buang dengan

17. Adapun masa transisi yang diberikan

melarang

oleh Kementerian Lingkungan Hidup

bermotor berbahan bakar minyak,24

dan

Pemerintah

Kehutanan

(KLHK)

terkait

menerapkan

penggunaan

Indonesia

kebijakan

kendaraan

sebaliknya

penerapan standar emisi Euro 4 adalah

mengumumkan bahwa Indonesia akan

paling lambat 1 tahun 6 bulan untuk

kembali

kendaraan bermotor berbahan bakar

bahan bakar minyak beroktan rendah

bensin, CNG dan LPG21 serta 4 tahun

seperti Premium di seluruh wilayah

untuk kendaraan bermotor berbahan

Indonesia.

diesel.22

mewajibkan

Kebijakan

pendistribusian

mewajibkan

mengalami

kembali pendistribusian Premium ini

pengunduran oleh KLHK selama 6

kemudian tercantum dalam Perpres No.

(enam)

masa

43 Tahun 2018 yang disahkan oleh

transisi penerapan Euro 4 ini akan

Presiden Jokowi pada 24 Mei 2018 lalu.

bakar

bulan,

Setelah

penghitungan

20 Indonesia,

Peraturan Presiden tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar
Minyak, Perpres No. 191 Tahun 2014, Ps. 3 ayat (3).
21 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Op, cit., Ps 8 ayat (1) huruf a.
22 Ibid., Ps 8 ayat (1) huruf b.
23 Safyra Primadhyta, “KLHK Undur Masa Transisi Penerapan Standar Emisi Euro 4”
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180417094301-85-291322/klhk-undur-masa-transisipenerapan-standar-emisi-euro-4, diakses pada 30 Agustus 2018.
24
Alanna Petroff, “These countries want to ban gas and diesel cars”,
http://money.cnn.com/2017/09/11/ autos/countries-banning-diesel-gas-cars/index.html, diakses
pada 29 Juni 2018.

5

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23

Pemberlakuan Peraturan Presiden ini
mengakibatkan

masyarakat

mempertanyakan
Pemerintah

kembali

komitmen

Indonesia

dalam

II. Komitmen

Indonesia

dalam

Mengurangi Energi Tak Ramah
Lingkungan
A. Komitmen Berdasarkan Peraturan

mengontrol emisi gas buang kendaraan

Presiden Nomor 191 Tahun 2014

bermotor guna mengurangi polusi udara

Perpres No. 191 Tahun 2014 yang
diundangkan pada tanggal 31 Desember

di Indonesia.
Prinsip pengambilan kebijakan yang

2014 memuat beberapa ketentuan yang

harus didasari oleh bukti ini disebut juga

berkaitan dengan komitmen Indonesia

sebagai

prinsip

evidence-based

policy

dalam mengurangi energi yang tak

making.

Dalam

pengimplementasian

ramah lingkungan. Pasal 3 mengatur

evidence-based policy making, pemerintah

bahwa

dituntut untuk memiliki kemampuan

tersebut,

untuk

Jenis BBM Khusus Penugasan atau BBM

mengelola

manfaatnya

kebijakan

dirasakan

oleh

hingga
orang

jenis

pemerintah

melalui

membatasi

Bensin

RON

Perpres

pendistribusian

minimum

88

banyak.25 Dengan ditetapkannya Perpres

(Premium) untuk wilayah Jawa dan Bali.

ini muncul satu pertanyaan yakni:

Pembatasan

sudahkah prinsip evidence-based policy

atas alasan tingginya konsumsi Premium

making diimplementasikan dengan baik

pada wilayah Jawa dan Bali.26 Konsumsi

dalam proses perumusan Perpres No. 43

Premium yang tinggi tersebut turut

Tahun 2018?

berkontribusi

pendistribusian

dalam

didasari

kualitas

udara

bersih di wilayah Jawa dan Bali.
Menurut data yang dirilis oleh
Greenpeace

Indonesia,

Jakarta

dan

Denpasar menempati posisi 5 (lima)

Sudi Fahmi, “Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup,” Jurnal Hukum, 2, 18 (2011), hlm. 217.
26
EVY/OIN,
“Kuota
Premium
Jawa-Bali
Dibatasi”,
https://nasional.kompas.com/read/2010/09/22/09102483/kuota.premium.jawa-bali.dibatasi,
diakses pada 4 Oktober 2018.
25

6

Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani
INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP
PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4

besar sebagai kota dengan kualitas udara
terburuk

di

dunia.27

Karenanya,

lain; Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009

tentang

Perlindungan

pembatasan pendistribusian Premium di

Pengelolaan

wilayah Jawa dan Bali tersebut juga

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun

merupakan sebuah bentuk kesadaran

1999 tentang Pengendalian Pencemaran

Pemerintah

akan

besarnya

Udara, serta Permen LH tentang Baku

permasalahan

lingkungan

yang

Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan

sisa

Bermotor. Peraturan-peraturan tersebut

pembakaran BBM yang mengandung

membebankan tanggung jawab kepada

bahan-bahan

Pemerintah untuk

ditimbulkan

oleh

gas

pencemar

buang

seperti

CO2

Lingkungan

dan
Hidup,

mengatur

semua

(Carbon Dioksida), NOx (Nitrogen Oksida),

usaha

CO (Carbon Monoksida), VHC (Volatile

mencemari

Hydro Carbon) dan partikel lainnya.

dalam kegiatan transportasi dimana

Bahan-bahan

pemerintah

diwajibkan

untuk

menggunakan

BBM

ramah

memicu
manusia

tersebut

dampak
maupun

berpotensi

negatif

terhadap

ekosistem

bila

atau

kegiatan

agar

lingkungan,

tidak

khususnya

yang

lingkungan.

melebihi konsentrasi tertentu.28
Kebijakan

mengenai

pembatasan

B. Komitmen

secara

Internasional

pendistribusian Premium untuk wilayah

mengenai

Jawa dan Bali tersebut sejalan dengan

Pengurangan Energi Tak Ramah

beberapa

Lingkungan

peraturan

yang

berkaitan

Pengendalian

dan

dengan pengendalian pencemaran udara

Perubahan iklim merupakan salah

dan permasalahan lingkungan lainnya.

satu permasalahan lingkungan yang

Peraturan perundangan tersebut antara

menjadi perhatian utama dari banyak

KumparanSAINS, “Jakarta dan Denpasar Masuk Daftar Kota Berpolusi Udara Terburuk Dunia”,
27 Juli 2018, https://kumparan.com/@kumparansains/jakarta-dan-denpasarmasuk-daftar-kota-berpolusi-udara-terburuk-dunia-27431110790555072, diakses pada 4 Oktober
2018.
28 Sugiarti, “Gas Pencemar Udara Dan Pengaruhnya Bagi Kesehatan Manusia,” Jurnal Chemica, Vol.
10, (2009), hlm. 50.
27

7

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23

negara di dunia. Salah satu penyebab

yang berkaitan dengan permasalahan

utama dari perubahan iklim tersebut

Emisi Gas Buang Kendaraan. Meskipun

adalah meningkatnya emisi gas rumah

terdapat

kaca yang memicu suhu global rata-rata

mengenai

di

pengurangan

permukaan

bumi

meningkat.

beberapa

permasalahan

pengendalian
energi

dan

tak

ramah

Peningkatan suhu permukaan bumi

lingkungan

masih

belum

dapat

tersebut

dipecahkan,

namun

negosiasi

antar

diperkirakan

akan

menyebabkan naiknya permukaan laut

negara tersebut akhirnya mampu untuk

dan bergesernya zona iklim. Kesadaran

merumuskan

luas bahwa risiko kerugian ekonomi dan

internasional. Perjanjian internasional

lingkungan

tersebut yaitu United Nations Framework

yang

timbul

akibat

sebuah

perubahan iklim akan sangat tinggi,

Convention

mendorong masyarakat internasional

(selanjutnya disingkat UNFCCC).

melakukan

tindakan

mengendalikan

potensi

untuk

on

perjanjian

UNFCCC

Climate

merupakan

Change

sebuah

perubahan

konvensi internasional yang memiliki

iklim. Berbagai macam tindakan, seperti

tujuan untuk mencapai “stabilization of

negosiasi antara negara-negara terus

greenhouse

dilaksanakan.

yang

atmosphere at a level that would prevent

negara-negara

dangerous anthropogenic interference with

tersebut bertujuan untuk membentuk

the climate system”30. Selain itu UNFCCC

sebuah “world-wide agreement”.29

juga berisi komitmen dari negara-negara

dilaksanakan

“World-wide

Negosiasi
oleh

agreement”

atau

untuk

gas

concentrations

menerapkan
dalam

in

the

langkah-langkah

perjanjian internasional ini berkaitan

penting

hal

pengurangan

dengan pengendalian dan pengurangan

kegiatan yang menghasilkan emisi dan

energi tak ramah lingkungan, khususnya

mampu mencemari lingkungan udara.

Carlo Carraro, International Environmental Agreements on Climate Change, (Dordrecht: Kluwer
Academic Publishers, 1999), hlm. 1.
30 Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nations Framework Convention on Climate Change,
(resolution/adopted by the General Assembly, 20 Januari 1994, A/RES/48/189), Ps 2.
29

8

Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani
INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP
PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4

Selain UNFCCC, terdapat sebuah
perjanjian

internasional

yang

juga

membatasi atau mengurangi emisi gas
rumah kaca, dengan cara menerapkan

memiliki tujuan untuk mengendalikan,

dan/atau

mengurangi atau mencegah emisi gas

tindakan lebih lanjut untuk membatasi

rumah kaca, yaitu Kyoto Protocol to the

dan mengurangi emisi gas rumah kaca.32

United Nations Framework Convention on

Selain itu, Protokol Kyoto secara umum

Climate Change (selanjutnya disingkat

dipandang sebagai langkah pertama

Protokol

yang

Kyoto).

Protokol

Kyoto

merinci

kebijakan

penting

menuju

dan

rezim

memiliki hubungan yang erat dengan

pengurangan emisi global yang benar-

UNFCCC

benar

karena

Protokol

tersebut

diharapkan

akan

mampu

dibentuk dan diadopsi pada konferensi

menstabilkan konsentrasi gas rumah

ketiga dari negara anggota UNFCCC

kaca.33

atau the Third session of the Conference of

Namun demikian, pada masa ini

Parties (COP3) yang diadakan di Kyoto,

Protokol Kyoto dianggap kurang adil

Jepang pada tahun 1997. Indonesia telah

dan kurang efektif dalam mengikat

meratifikasi Protokol Kyoto dengan

negara-negara

Undang-Undang 17 Tahun 2004 tentang

terlibat dalam mengatasi perubahan

Pengesahan Kyoto Protocol to the United

iklim

Nations Framework Convention on Climate

Ketidakadilan

Change pada tanggal 28 Juli 2004.31

tersebut dikarenakan Protokol Kyoto

anggota

yang

untuk

semakin
dan

ikut

parah.

ketidakefektifan

Sama halnya dengan UNFCCC,

hanya membebankan kewajiban kepada

Protokol Kyoto juga berisi komitmen-

negara-negara maju untuk membatasi

komitmen dari negara-negara anggota

atau mengurangi emisi gas rumah kaca

dalam

serta

mencapai

tujuan

untuk

menciptakan

kestabilan

iklim

Marsudi Triatmodjo, “Implikasi Berlakunya Protokol Kyoto-1997 Terhadap Indonesia”, Jurnal
Hukum Internasional, Vol. 2, (2005), hlm. 302.
32 Ludivine Tamiotti, Trade and Climate Change: A Report by the United Nations Environment
Programme and the World Trade Organization, (UNEP: Earthprint, 2009), hlm. 71-72.
33 Ashwani Kumar, et.al, Biofuels: Greenhouse Gas Mitigation and Global Warming: Next Generation
Biofuels and Role of Biotechnology, (India: Spinger, 2018), hlm. 6.
31

9

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23

(Annex

I

Protokol

Kyoto),

namun

kebijakan

yang

digunakan

untuk

cenderung membebaskan negara-negara

menunjang penurunan emisi gas rumah

berkembang dari kewajiban tersebut.

kaca di Indonesia adalah penggunaan

Kebijakan

bahan bakar yang lebih bersih (fuel

tersebut

kewajiban

menyebabkan

negara-negara

dalam

switching).36

mengurangi atau membatasi emisi gas

Seiring

berjalannya

waktu,

rumah kaca tidak merata sehingga

ketidakefektifan Protokol Kyoto tersebut

mengakibatkan

berujung pada pelaksanaan Konferensi

sulit

tercapainya

kestabilan iklim global di bumi.34
Meskipun

bukan

Parties/COP21) dari UNFCCC ke-21 yang

merupakan negara anggota Annex 1 dari

diadakan di Paris pada tanggal 12

Protokol Kyoto, Pemerintah Indonesia

Desember 2015. Dalam COP21 tersebut,

kemudian mengesahkan Perpres Nomor

196

61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi

UNFCCC mengadopsi Paris Agreement

Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah

(Perjanjian

Kaca.

untuk

merupakan sebuah kerangka kerja baru

menindaklanjuti kesepakatan COP13,

yang mengikat secara hukum sebagai

COP15,

upaya

Perpres

COP16

Indonesia

Antar Negara Anggota (Conference of the

ini

disusun

dan

memenuhi

negara-negara

yang

Paris).

anggota

Perjanjian

dikoordinasikan

dari

Paris

secara

komitmen Pemerintah Indonesia dalam

internasional

pertemuan G-20 di Pittsburg untuk

perubahan iklim.37 Tujuan utama dari

menurunkan emisi gas rumah kaca.35

Perjanjian Paris, sebagaimana diatur

Dalam bidang energi dan transportasi,

dalam Pasal 2, adalah untuk menahan

Perpres ini mengatur bahwa salah satu

kenaikan suhu rata-rata global di bawah

untuk

mengatasi

34 Christoph Böhringer, The Kyoto Protocol: A Review and Perspectives, Discussion Paper No. 03-61,
ZEWl-Zentrum für Europäische Wirtschaftsforschung/Center for European Economic Research (2003),
hlm. 11.
35 Indonesia, Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca,
Perpres No. 61 Tahun 2011, bagian Menimbang huruf b.
36 ibid, Lampiran I, hlm. 10.
37 Climate Focus, “The Paris Agreement Summary”, Climate Focus Client Brief on the Paris
Agreement III, Briefing Note, (2015), hlm. 1.

10

Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani
INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP
PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4

2°C (dua derajat Celcius) di atas tingkat

menitik

di

dan

kebijakan lingkungan yang hanya dapat

melanjutkan upaya untuk menekan

diadopsi ketika didasari ada bukti ilmiah

kenaikan suhu ke 1,5°C (satu setengah

yang meyakinkan.39 Evidence-based policy

derajat Celcius) di atas tingkat pra–

making hadir sebagai sebuah bentuk

industrialisasi.

pencegahan kerusakan lingkungan yang

masa

pra-industrialisasi

Indonesia

menandatangani

mungkin

beratkan

pada

timbul40

perumusan

sebagai

akibat

Perjanjian Paris pada 22 April 2016, dan

kegagalan suatu kebijakan yang diambil

dilanjutkan dengan ratifikasi melalui

oleh pembuat kebijakan.41

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.

Peran kajian bukti ilmiah dalam

Berdasarkan Perjanjian Paris, Indonesia

pengembangan

telah berkomitmen untuk menurunkan

kebijakan terlihat dari berbagai cara

emisi gas rumah kaca (mitigasi) pada

antara lain: pertama, kajian bukti ilmiah

tahun

berperan

2030

sebesar

29%

dengan

kemampuan sendiri dan sampai dengan

mengenai

41%

opsi

bila

dengan

dukungan

internasional.38

sebagai

implementasi

sumber

efektivitas

kebijakan

sehingga

dan

informasi

masing-masing

yang

akan

mempermudah

diambil

pengambil

kebijakan dalam mengambil keputusan
III. Evidence-Based
dalam

Policy

Perumusan

Making

tentang kebijakan mana yang harus

Peraturan

diambil. Kedua, kajian bukti ilmiah dari

Presiden Nomor 43 Tahun 2018

evaluasi kebijakan berperan sebagai

Gagasan evidence-based policy making

sumber

merupakan

sebuah

gagasan

yang

informasi

bagi

pengambil

kebijakan untuk memutuskan apakah

38 Nur Masripatin, et.al., Strategi Implementasi NDC (Nationally Determined Contribution), (Jakarta:
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK RI, 2017), hlm. 2-4.
39 I Plewis, Educational Inequalities and Education Action Zones, dalam C. Pantazis dan D. Gordon
(eds), Tackling Inequalities: Where Are We Now and What Can Be Done, (Bristol: Policy Press, 2000), hlm.
96.
40 Philippe, Op.cit., hlm. 6.
41 Suzuette S. Soomai, “The Use and Influence of Scientific Information in Environmental Policy
Making: Lessons Learned from Nova Scotia”, Proceedings of the Nova Scotian Institute of Science Vol.47
Part.1, (2012), hlm. 158.

11

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23

kebijakan tersebut dapat dilanjutkan
atau

diperlukannya

penyesuaian

Berdasarkan muatannya, terdapat 4
(empat) jenis bukti kajian ilmiah yang

kebijakan demi efektivitas kebijakan itu

memiliki

sendiri.42

pengambilan kebijakan, antara lain:47

Pada dasarnya, proses pengambilan
kebijakan

lingkungan

memiliki

ciri

dampak

pada

proses

data deskriptif (biaya hidup, penerimaan
pajak, tingkat pasar saham, tingkat

interdisipliner, yang tercermin dalam

pengangguran,

proses pembuatannya yaitu ketika para

masyarakat, dampak kesehatan), temuan

ahli hukum, peneliti, dan para ilmuwan

analitik

berintegrasi untuk memformulasikan

mengidentifikasi

suatu

lingkungan.43

kebijakan

tingkat

kesejahteraan

(penelitian
faktor-faktor

yang
yang

Oleh

menyebabkan suatu hal), bukti evaluatif

karena itu, bukti kajian ilmiah yang

(mengkaji efektivitas kebijakan yang

dibutuhkan

ada), dan analisis prediktif kebijakan

kebijakan

untuk
harus

mendukung
bersifat

(menghitung keuntungan dan kerugian,

jangka

kemungkinan biaya dan manfaat, serta

panjang.44 Selain itu, bukti kajian ilmiah

hasil yang diharapkan dari masing-

tersebut

masing alternatif kebijakan).

interdisipliner,

harus

juga

luas,

dan

dikumpulkan

secara

cermat dan sistematis45 serta relevan,
representatif dan valid.46

Dalam kehidupan nyata, bukti dapat
muncul

dari

berbagai

elemen

Ian Sanderson, “Evaluation, Policy Learning and Evidence-Based Policy Making”, Public
Administration, Vol.80, No.1, (2002), hlm. 4.
43 C. Brodhag dan S. Taliere, “Sustainable Development Strategies: Tools for Policy Coherence”,
Natural Resources Forum Vol.30 No.2, (2006): hlm.136-145.; lihat juga B.W. Head, “Three Lenses of
Evidence-Based Policy”, Australian Journal of Public Administration Vol.67 No.1, (2008), hlm. 1-11.
44 Louise Shaxson, et.al., “Developing an Evidence-based Approach to Environmental Policy
Making: Insights from Defra’s Evidence & Innovation Strategy”, Science & Technology Policy Research
Electronic Working Paper, No. 181, (2009), hlm. 2.
45 Court, et.al. Policy Engagement: How Civil Society Can be More Effective, (London: Overseas
Development Institute, 2006), hlm. 5.
46 Palmira Permata Bachtiar, “Producing Evidence to Inform Policy Process in Indonesia: The
Challenges on the Supply Side”, dalam The SMERU Research Institute, “Towards Pro-poor Policy
Through Research”, Newsletter No.32, (2011), hlm. 4.
47 Carol Hirschon Weiss, “What Kind of Evidence in Evidence Based Policy?” disampaikan dalam
Harvard University, 3rd International Interdisciplinary Evidence-Based Policies and Indicator Systems
Conference, 2001, hlm. 288-289.
42

12

Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani
INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP
PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4

masyarakat seperti institusi akademik,

telah resmi menandatangani Perpres No.

badan-badan

dan

43 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas

lembaga swadaya masyarakat48 serta

Perpres No. 191 Tahun 2014 tentang

hadir dalam berbagai bentuk. Sebagai

Penyediaan, Pendistribusian dan Harga

contoh,

Inggris

Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.50

sebagai

Melalui Perpres No. 43 Tahun 2018 ini,

pengetahuan pakar, hasil penelitian

Pemerintah menetapkan kembali Jawa

yang dipublikasikan, data statistik, hasil

dan Bali sebagai wilayah penugasan

konsultasi

penyediaan

pemerintahan

Pemerintah

mendefinisikan

bukti

dengan

kepentingan

pemangku

(stakeholders),

dokumen

dan

pendistribusian

premium.

evaluasi kebijakan sebelumnya, internet,

Sejak pertama kali diberlakukan,

hasil konsultasi, dokumen hitungan

Perpres No. 43 Tahun 2018 ini telah

biaya opsi-opsi kebijakan, dan keluaran

menuai banyak kritik dari masyarakat.51

dari pemodelan ekonomi dan statistik.49

Pertanyaan yang kemudian muncul

Beralih

ke

dalam

implementasi

adalah:

sudahkah

pemerintah

pada

mengimplementasikan prinsip evidence-

perumusan Perpres No. 43 Tahun 2018

based policy making dalam perumusan

yang

Perpres No. 43 Tahun 2018?

evidence-based

berisi

policy

making

mengenai

perubahan
penyediaan,

Salah satu cara untuk menelusuri

pendistribusian dan harga jual eceran

implementasi evidence-based policy making

bahan bakar minyak di Indonesia. Pada

dalam

24 Mei 2018, Kementerian Energi dan

peraturan

Sumber

Indonesia adalah dengan mempelajari

peraturan

mengenai

Daya

Mineral

(ESDM)

mengumumkan bahwa Presiden Jokowi

naskah

proses

perumusan

suatu

perundang-undangan

akademik

yang

di

mendasari

Suzuette, op.cit., hlm. 156.
UK Cabinet Office, Modernising Government White Paper, (London: Centre for Management and
Policy Studies, 1999), hlm. 33.
50 TW, “Presiden Jokowi Teken Perpres Nomor 43 Tahun 2018, Premium Wajib Tersedia di Jamali”,
https://migas.esdm.go.id/post/read/presidenjokowi-teken-perpres-nomor-43-tahun-2018pertamina-wajib-distribusikan-premium-di-jamali, diakses pada 1 Juni 2018.
51 Abdul Aziz, Op.cit.
48

49

13

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23

peraturan

perundangan-undangan

No. 43 Tahun 2018 dari pernyataan-

tersebut. Sayangnya, UU No. 12 Tahun

pernyataan yang dikemukakan oleh

2011 tentang Pembentukan Peraturan

Kementerian ESDM.

Perundang-undangan

mewajibkan

Dirjen Migas Kementerian ESDM,

pembuatan naskah akademik hanya

Djoko Siswanto menjelaskan bahwa

untuk

Undang-Undang,

pemberlakuan Perpres No. 43 Tahun

Rancangan Peraturan Daerah Provinsi,

2018 adalah upaya Pemerintah untuk

dan

Daerah

menjaga harga BBM dan daya beli

dalam

masyarakat di tengah meningkatnya

peraturan

harga minyak mentah dunia.53 Selain itu,

perundang-undangan lainnya, seperti

Pemerintah juga menyatakan bahwa

Peraturan Presiden, naskah akademik

Perpres No. 43 Tahun 2018 diberlakukan

tidak menjadi dokumen prasyarat.

untuk

Rancangan

Rancangan

Peraturan

Kabupaten/Kota.52
proses

Sehingga

perumusan

Ketika

ditelusuri

jenis

melalui

situs

premium

menanggulangi
di

sejumlah

kelangkaan
daerah

di

Jaringan Dokumentasi dan Informasi

Indonesia54 dan sebagai upaya preventif

Hukum

terjadinya inflasi.55

Nasional

(JDIHN/www.jdihn.bphn.go.id),
dokumen kajian dan analisis yang

Jika melihat data dari Badan Pusat
Statistik (BPS), pada Juli 2018 memang

mendasari pembentukan Perpres No. 43
Tahun 2018 juga tidak dapat ditemukan.
Penulis hanya dapat menelusuri alasan
yang mendasari pemberlakuan Perpres
Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011,
LN No. 82 tahun 2011, TLN No. 5234, Ps 1 Angka 11.
53 Shintaloka Pradita Sicca, “Pemerintah Ungkap Alasan Pertamina Harus Jual Premium di Jamali”,
https://tirto.id/pemerintah-ungkap-alasan-pertamina-harus-jual-premium-di-jamali-cHzF, diakses
pada 30 Agustus 2018.
54 Lani Diana Wijaya, “Presiden Jokowi Resmi Teken Revisi Perpres 191/2014 Soal Premium”,
https://bisnis
.tempo.co/read/1092758/presiden-jokowi-resmi-teken-revisi-perpres-1912014-soalpremium, diakses pada 26 Mei 2018.
55 Sekretariat Kabinet RI, “Perpres dan Permen Direvisi, Archandra: Presiden Instruksikan Jamin
Pasokan dan Harga Premium”, https://setkab.go.id/perpres-dan-permen-di revisi-archandrapresiden-instruksikan-jamin-pasokan-dan-harga-premium/, diakses pada 31 Agustus 2018.
52

14

Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani
INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP
PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4

terjadi inflasi sebesar 0,28 persen56

dioksida kendaraan bermotor.60 Emisi

dengan kenaikan harga bensin dan tarif

karbon

pulsa ponsel sebagai dua komoditas

menyebabkan

yang

kenaikan

dominan

memberikan

dioksida

sendiri

dapat

pemanasan

air

laut,

cuaca

global,
ekstrim,

andil/sumbangan inflasi dalam kategori

meningkatnya

transpor,

penyakit seperti asma dan kanker.61

komunikasi

dan

jasa

keuangan.57 Namun, apakah dengan
hanya

mempertimbangkan

dampak

ekonomi jangka pendek saja cukup?
Selain mengkaji dampak ekonomi

angka

kematian

dan

Dampak negatif terhadap kesehatan
masyarakat

tersebut

juga

memiliki

dampak sosial baik bagi orang dewasa
maupun

anak-anak.

Sebuah

studi

jangka pendek, Pemerintah juga harus

menunjukkan bahwa polusi udara dapat

mempertimbangkan dampak ekonomi

menyebabkan gangguan kognitif ringan

jangka panjang,58 dampak lingkungan

pada orang dewasa62 dan menghambat

dan dampak sosial sebelum menerbitkan

perkembangan

suatu kebijakan.59 Dari segi dampak

anak.63 UNICEF melaporkan bahwa

lingkungan, sebuah studi menunjukkan

hubungan kausalitas antara polusi udara

bahwa

dan timbulnya berbagai penyakit pada

penggunaan

bahan

bakar

beroktan tinggi akan berdampak pada

anak

pada

kognitif

akhirnya

pada

anak-

menyebabkan

pengurangan produksi emisi karbon
BPS, “Inflasi sebesar 0,28 persen pada Juli 2018. Inflasi tertinggi terjadi di Sorong sebesar 1,47
persen.”, https://www.bps.go.id/pressrelease/2018/08/01/1435/inflasi-sebesar-0-28-persen-padajuli-2018--inflasi-tertinggi-terjadi-di-sorong-sebesar-1-47-persen-.html, diakses pada 31 Agustus 2018.
57 BPS, “Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi,” No.59/08/Th.XXI, 2018, hlm. 4.
58 UK Strategic Policy Making Team Cabinet Office, Professional Policy Making for the Twenty First
Century, (London: UK Cabinet Office, 1999), Chapter. 4.1.
59 Philip Davies, “The State of Evidence-Based Policy Evaluation and Its Role in Policy Formation,”
National Institute Economic Review Vol.219, No.1, (2012), hlm. R.48.
60 Romany, Op.cit., hlm. 9.
61 Mark Z. Jacobson, “On the Causal Link Between Carbon Dioxide and Air Pollution Mortality”,
Geophysical Research Letters, Vol.35, (2008), hlm. 2-5.
62 Nicholas Rees, Clear the Air for Children, the Impact of Air Pollution on Children, (US: UNICEF, 2016),
hlm. 30.
63 Jordi Sunyer, et.al., “Association between Traffic-Related Air Pollution in Schools and Cognitive
Development in Primary School Children: A prospective cohort study”, PLOS Medicine 12 (3), (2005),
hlm. 19.
56

15

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23

rendahnya

tingkat

kehadiran64

dan

prestasi akademik anak di sekolah.65
Selain

lebih

penggunaan

ramah

bahan

lingkungan,

bakar

Penjelasan di atas menunjukkan
bahwa pemberlakuan Perpres No. 43
Tahun 2018 ini tidak memperhitungkan

beroktan

dampak jangka panjang baik dari segi

tinggi ternyata juga lebih baik dari segi

lingkungan, sosial maupun ekonomi.

dampak ekonomi jangka panjang. Dalam

Hal ini terlihat dari tindakan Pemerintah

perumusan Perpres No. 43 Tahun 2018,

yang mengesampingkan pemberlakuan

Pemerintah

tidak

standarisasi Euro 4 bagi kendaraan

mempertimbangkan dampak ekonomi

bermotor di Indonesia dengan kembali

jangka panjang seperti penghematan

mewajibkan pendistribusian premium di

penggunaan bahan bakar.66 Biaya terkait

seluruh wilayah Indonesia.

Indonesia

perancangan dan produksi mesin yang

Sudah saatnya

bagi

pemerintah

dapat digunakan untuk bahan bakar

Indonesia untuk kembali menjalankan

beroktan tinggi pun relatif lebih kecil jika

komitmennya

dibandingkan

penggunaan

dengan

penghematan

dalam
energi

mengurangi
tak

ramah

biaya bahan bakar selama masa pakai

lingkungan di Indonesia. Komitmen ini

kendaraan.67 Selain itu, penggunaan

hanya akan terealis