Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengan Kecemasan Orangtua pada Saat Anak dirawat di Rumah Sakit T1 462009043 BAB II
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Terkait
2.1.1. Definisi Kecemasan
Kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau
keadaan kuatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang
buruk akan segera terjadi (Nevid, Ratus, dan Greene,
2003).
Menurut
Halgin
dan
Whitboune
(2010)
kecemasan lebih berorientasi pada masa depan dan
bersifat umum mengacu pada kodisi ketika individu
merasa kekuatiran/kegelisahan, ketegangan dan rasa
tidak nyaman yang tidak terkendali dan kemungkinan
akan terjadinya sesuatu yang buruk. Freud menjelaskan
tentang kecemasan realitas atau rasa takut
akan
bahaya-bahaya nyata di dunia luar (Hall & Gadner,
1993).
Menurut
Freud
fungsi kecemasan
adalah
memperingatkan sang pribadi adanya bahaya; ia
merupakan syarat bagi ego bahwa kalau tidak dilakukan
tindakan tepat maka bahaya itu akan meningkat sampai
ego dikalahkan (Hall & Gadner, 1993). Dari beberapa
9
pengertian
diatas
peneliti
memandang
bahwa
kecemasan adalah suatu ketakutan atau kekuatiran dari
suasana hati yang tidak menyenangkan timbul dari
situasi yang tidak menentu.
2.1.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan
Menurut Aktison dan Hilgard (1996) timbulnya
kecemasan bersumber dari dua faktor yang terjadi pada
diri individu yaitu: 1). Faktor internal, yakni faktor yang
ada dalam diri sendiri; misalnya perasaan tidak mampu,
tidak percaya diri perasaan bersalah dan dan rendah
diri. 2). Faktor eksternal, merupakan faktor dari luar diri
sendiri;
seperti dukungan dan kondisi lingkungan
keluarga, masyarakat dan tempat kerja. Sedangkan
Priest (1994), menyatakan bahwa kecemasan dapat
ditimbulkan oleh beberapa faktor seperti karena sering
mengalami
keputusasaan,
pengalaman-pengalaman
yang tidak menyenangkan.
2.1.3. Aspek-aspek kecemasan
Kecemasan sebagai respon emosional terhadap
suatu peristiwa yang tidak menyenangkan, bentuk
respon atau reaksinya berkaitan dengan beberapa
aspek. Calhum dan Acocella
10
(1995) menyebutkan
aspek-aspek kecemasan dapat ditemukan dalam tiga
reaksi, yaitu:
2.1.3.1. Reaksi emosional, yaitu komponen kecemasan
yang berkaitan dengan persepsi individu psikologis dari
kecemasan.
Individu
merasakan
keprihatinan,
ketegangan, sedih, mencela diri sendiri atau orang lain.
2.1.3.2. Reaksi kognitif, yaitu ketakutan dan kekuatiran
yang berpengaruh terhadap kemampuan berpikir jernih,
sehingga menganggu dalam memecahkan masalah dan
mengatasi tuntutan lingkungan sekitarnya.
2.1.3.3. Reaksi fisiologis, yaitu reaksi yang ditampilkan
oleh tubuh terhadap sumber ketakutan dan kekuatiran.
Reaksi ini berkaitan dengan sistem syaraf yang
mengandalikan berbagai otot dan kelenjar tubuh,
sehingga timbul reaksi dalam bentuk jantung berdetak
lebih keras, nafas bergerak lebih cepat dan tekanan
darah meningkat
2.1.4. Pengertian Hospitalisasi
Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan
tertentu yang terencana atau darurat, mengharuskan anak
tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan
sampai pemulangannya kembali ke rumah. Selama proses
tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami kejadian
11
yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan
pengalaman yang sangat traumatik dan penuh dengan
kecemasan (Supartini, 2004).
2.1.4.1. Hospitalisasi pada anak
Menurut
persepsi,
Kyle (2008), kemampuan dan
tingkat
perkembangan
usia
anak-anak
kognitif,
akan
dan
tingkat
mempengaruhi
persepsi mereka tentang hospitalisasi. Hal-hal ini
ternyata
akan
mempengaruhi
reaksi
mereka
terhadap rawat inap. Anak-anak muda memiliki
pengalaman yang terbatas dan intelektual yang
belum dewasa, sehingga memiliki waktu yang lebih
sulit dalam memahami apa yang terjadi pada
mereka. Hal ini dapat terjadi terutama pada balita
dan anak prasekolah, ketika merasakan keutuhan
tubuh mereka dilanggar selama prosedur invasif,
mereka
sering
menafsirkan
penyakit
sebagai
hukuman atas rumah sakit sebagai musuh, tindakan
menyiksa. Dengan demikian, anak-anak di bawah
usia 5 tahun lebih rentan terhadap gangguan emosi
ketika rawat inap.
12
Menurut
Department
of
Psychiatry
at
Children’s Hospital Boston tahun 2003 anak-anak
menunjukkan berbagai reaksi dalam situasi medis.
Reaksi-reaksi
ini
dibentuk
oleh
banyak
faktor
termasuk kepribadian anak, tingkat perkembangan,
koping anak dan pengalaman hospitalisasi.
2.1.4.2. Pengalaman sebelumnya
Menurut
Kyle, (2008) secara umum, anak-
anak kurang paham dan memiliki sedikit pengalaman
terhadap rawat inap, penyakit dan prosedur rumah
sakit akan mengalami peningkatan kecemasan.
Pengalaman sebelumnya terhadap rawat inap dan
penyakit dapat membuat persiapan baik lebih mudah
atau lebih sulit (jika pengalaman itu dianggap
sebagai negatif). Misalnya, jika anak pergi ke rumah
sakit karena kelahiran saudara kandung, ia mungkin
melihat ini sebagai pengalaman yang positif. Namun,
jika anak pergi ke rumah sakit karena penyakit serius
atau kematian keluarga dan teman dekat, ia mungkin
akan melihat pengalaman itu sebagai pengalaman
yang buruk.
13
2.1.5. Kecemasan orangtua terhadap hospitalisasi
Anak-anak dapat merasakan kecemasan dan
kekuatiran orangtuanya, ketika orangtua berbisik-bisik
sehingga anak dapat berimajinasi. Misalnya, anakanak prasekolah dapat menceritakan hal yang rumit
untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan
ketika orang tidak dapat menjawab pertanyaannya,
anak
akan
kepercayaan
menjadi
anak
bingung
pada
ibunya
dan
ketakutan,
dapat
menjadi
berkurang. Hal ini sangat penting bagi anak-anak
untuk percaya kepada seseorang yang memegang
kendali dan sehingga orang tersebut dapat dipercaya.
Reaksi seorang anak sering dibentuk oleh respon
terhadap penyakit dan rawat inap. Hubungan antara
keluarga dan staf rumah sakit juga dapat berkontribusi
pada stres anak. Hubungan ini memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap kualitas lingkungan. Petugas
rumah sakit harus bertanggung jawab atas anak-anak
yang dirawat di rumah sakit dengan mempertahankan
kemitraan
yang
baik
terhadap
keluarga.
Entah
direncanakan atau tidak direncanakan, rawat inap
meningkatkan stres keluarga dan tingkat kecemasan.
Cedera sakit atau sakit yang serius dari anggota
14
keluarga
dapat
mempengaruhi
semua
anggota
keluarga. Proses yang dapat mengganggu rutinitas
keluarga dan dapat mengubah peran keluarga (Kyle,
2008).
2.1.5.1. Reaksi orangtua terhadap hospitalisasi
Kyle (2008) mengatakan bahwa reaksi
orang
tua
terhadap
hospitalisasi
adalah
sebagai berikut: Melihat anak sakit adalah hal
yang
sulit,
membantu
terutama
prosedur
ketika
orangtua
tindakan
dengan
memegang anak. Orangtua mungkin merasa
bersalah karena tidak mencari perawatan
cepat. Orangtua juga dapat menunjukkan
perasaan
lainnya
kemarahan,
seperti
depresi,
penyangkalan,
dan
kebingungan.
Orangtua dapat menyangkal bahwa anaknya
sakit,
mereka
dapat
mengekspresikan
kemarahan, terutama diarahkan kepada staf
perawat,
anggota
keluarga
lain,
serta
ketakutan yang lebih tinggi karena kontrol
kerugian
mereka
Depresi
dapat
dalam
terjadi
merawat
karena
anak.
adanya
kelelahan fisik sehingga menghabiskan waktu
15
yang banyak
Kebingungan
untuk merawat anaknya.
akan
berkembang
karena
berhadapan dengan lingkungan yang asing
atau hilangnya peran orangtua.
Menurut Wong, dkk (2001) krisis penyakit
dan hospitalisasi pada masa kanak-kanak
mempengaruhi setiap anggota keluarga inti.
Reaksi orangtua terhadap penyakit anak
mereka
bergantung
pada
keberagaman
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pada
awalnya orangtua dapat bereaksi dengan
tidak percaya, terutama jika penyakit tersebut
muncul tiba-tiba dan serius. Setelah realisasi
penyakit, orang tua bereaksi dengan marah,
atau merasa bersalah atau kedua-duanya.
Takut,
cemas
dan
frustasi
merupakan
perasaan yang banyak diungkapkan oleh
orangtua. Takut dan cemas dapat berkaitan
dengan
keseriusan
penyakit
dan
jenis
prosedur medis yang dilakukan. Sering kali
kecemasan yang paling besar berkaitan
dengan
trauma
16
dan
nyeri
pada
anak.
Orangtua akhirnya dapat bereaksi dengan
beberapa tingkat depresi (Wong, dkk., 2001).
Depresi biasanya terjadi ketika krisis akut
sudah berlalu, seperti setelah
pemulangan
atau pemulihan yang tidak sempurna. Ibu
sering mengungkapakan kelelahan fisik dan
mental setelah semua anggota keluarga
beradaptasi dengan krisis. Alasan lain untuk
cemas
dan
depresi
berkaitan
dengan
kekuatiran akan masa depan anak, termasuk
dampak negatif dari hospitalisasi dan beban
keuangan akibat hospitalisasi tersebut (Wong,
dkk., 2001).
.
2.1.5.2. Faktor yang Mempengaruhi Reaksi
keluarga
Gaya pengasuhan, hubungan keluarga
dengan anak dan keterampilan koping anggota
keluarga dapat mempengaruhi keadaan selama
di rumah sakit. Variasi budaya, etnis, agama,
nilai dan praktik
dapat
mempengaruhi sikap
keluarga terhadap penyakit. Hal ini mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap respon dan
perilaku keluarga. Misalnya, keyakinan agama
17
dapat meningkatkan masalah atau dapat menjadi
sumber kekuatan untuk keluarga dan anak.
Keluarga yang berada dalam krisis dan tanpa
adanya sistem pendukung yang baik akan sulit
untuk beradatasi dengan stres akibat rawat inap
(Kyle, 2008).
Menurut Meskhani & Bavarian (2005) ada
beberapa faktor seperti ketidakpastian tentang
penyakit anak dan kesembuhannya, kekuatiran
tentang informasi yang diberikan oleh pengasuh,
rasa takut, dan rasa bersalah menganggu peran
orangtua dan kemungkinan orangtua mengalami
penderitaan dan kecemasan. Mereka merasa
bahwa dalam posisi yang lemah dan mungkin
kehilangan
control
dan
kemandirian
juga
merupakan penyebab distres. Hal ini dapat
diperparah adanya situasi asuhan yang diberikan
oleh pengasuh tidak menyenangkan.
18
2.2. Penelitian terkait
2.2.1 Dampak hospitalisasi terhadap anak
Anak-anak
mengalami
kecemasan
selama
hospitalisasi, tingkat kecemasan mereka berbeda-beda
berdasarkan jenis kelamin dan umur yang ditemukan oleh
Hudson,
Lepper,
Stickland
dan
Jessee
(1987).
Perempuan lebih tinggi tingkat kecemasan dibandingkan
dengan laki-laki. Tingkat kecemasan yang paling tinggi
dirasakan anak yang berumur 6-12 tahun (Hudson, dkk.,
1987).
Penelitian yang dilakukan oleh Palender dan LeinoKilpi (2010) di Filandia, dengan tujuan mengetahui
pengalaman baik dan buruk anak
pada usia sekolah
selama hospitalisasi menyatakan bahwa ada empat
kategori yang menjadi pengalaman buruk anak selama
hospitalisasi yaitu terhadap orang, perasaan, aktivitas
dan lingkungan. Fokusnya adalah pada pengalaman
anak-anak ketika menjadi pasien bahkan anak-anak tidak
menyebutkan secara spesifik bahwa mereka telah
menjadi pasien. Banyak pengalaman negatif yang
mereka alami terkait dengan penyakit, pemisahan dalam
lingkungan, dimana ada seseorang yang tidak mereka
kenal melakukan perawatan fisik dan tindakan prosedur
19
serta adanya pembatasan makanan dan menunggu
sebuah prosedur. Semua itu merupakan pengalaman
yang tidak menyenangkan yang dirasakan oleh anakanak. Pengalaman terburuk yang dirasakan oleh anak
adalah tindakan keperawatan dan aktivitas pengobatan,
anak-anak menyebutkan seperti adanya jarum suntik,
pemeriksaan/perawatan jahitan, operasi, dan adanya
pembatasan makanan.
Anak mengatakan mereka seperti disiksa ketika ada
pengambilan
sampel
darah
yang
menjadikan
pengalaman buruk bagi anak. Sebagai bagian dari
menjadi
perasaan
seorang
berkaitan
pasien,
anak-anak
dengan
gejala
melaporkan
penyakit
dan
pemisahan. Pengalaman terburuk selama di rumah sakit
yang diasakan anak-anak lebih pada gejala penyakit
yang
mereka
dapatkan.
Sebagian
besar
mereka
mengatakan nyeri, perasaan kurang sehat, adanya
ketegangan, sakit perut, suhu badan panas, kelelahan,
dan sakit kepala. Seorang anak mengatakan mual, nyeri,
sembelit, diare dan tidak enak badan.
20
Berpisah dari orang tua, teman, rumah, sekolah
adalah hal yang tidak disukai anak selama di rawat di
rumah sakit. Setelah berada di rumah sakit dan jauh dari
rumah
menimbulkan
pengalaman
yang
negatif.
Hospitalisasi menyebabkan gangguan rutinitas, seperti
sekolah dan hubungan dengan teman. Beberapa anak
mengatakan mereka ditinggal oleh ibu dan ayahnya pada
malam hari, tidak bisa menelepon temanya, merindukan
rumah dan sekolah. Lingkungan selama rawat inap
menjadi salah satu yang tidak mengenakkan dimana
harus terbaring ditempat tidur, kurangnya kegiatan seperti
kerajinan, dan tidak ada privasi. Untuk beberapa anak
hanya di tempat tidur dan terisolasi, terutama di bangsal
infeksi, merupakan hal terburuk selama dirawat inap.
Menyikapi hal tersebut anak membutuhkan sesuatu yang
dapat mereka kerjakan selama di rawat inap.
Dalam penelitian Salmella, Aronen dan Salanterä
(2010), di Filandia mereka mendengar perkataan anakanak membahas ketakutan yang berhubungan dengan
rumah sakit atau layanan kesehatan lainnya. Anak-anak
menafsirkan takut akan gerak tubuh orang dewasa dan
membuat
kesimpulan
21
yang
salah
satunya
cukup
memperihatikan
memperdulikan
bahwa orang dewasa tidak lagi
mereka,
menyakiti
mereka
dengan
sengaja dan tidak menghiraukan apa yang mereka
inginkan.
2.2.2. Stres dan perubahan koping individu
Pelander dan Leino-Kilpi (2010) mengatakan bahwa
efek rawat inap pada anak-anak dipengaruhi oleh sifat dan
tingkat keparahan masalah kesehatan, kondisi anak, dan
sejauh mana kegiatan dan rutinitas, ketidak pedulian,
ketidak bahagiaan, dan bahkan perubahan nafsu makan.
Ketika aktivitas motorik anak dibatasi, kemarahan dan
hiperaktif mungkin terjadi. Bermain, rekreasi dan pendidikan
peluang menyediakan outlet untuk mengalihkan perhatian
anak
dari
penyakit,
menyediakan
mereka
dengan
pengalaman yang menyenangkan, dan membantu mereka
memahami kondisi mereka. Tentu saja, kemampuan ini
berbeda pada usia anak, persepsi mereka terhadap situasi
sebelumnya,
hubungan
dengan
personil
perawatan
kesehatan, dan dukungan dari orang lain yang signifikan.
22
2.2.3. Pengalaman orangtua terhadap kecemasan
Orangtua
pengalaman
juga
yang
merasakan
tidak
bermacam-macam
menyenangkan
tentang
hospitalisasi. Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh
Olgivie (1990) yang bertujuan mengungkapkan perasaan
orangtua terhadap hospitalisasi anak yang dioperasi
menunjukkan bahwa orangtua merasa stres, cemas,
kelelahan, bosan dan kuatir terhadap kondisi anaknya.
Orangtua juga mengatakan kurangnya informasi dari
perawat tentang keadaan anakya.
Dalam studi yang kualitatif yang dilakukan oleh
Callery (1996) di Inggris bertujuan untuk melihat persepsi
orang tua dan perawat terhadap peran orangtua sebagai
asisten anak selama anak dirawat di rumah sakit. Hasil
wawancaranya bahwa para orangtua mengalami stres,
cemas dan takut. Hal ini disebabkan oleh penyakit, hasil
diagnosa dan masa depan anakknya setelah menjalani
operasi. Orangtua membutuhkan waktu khusus dengan
perawat untuk bercerita tentang apa yang terjadi pada
anaknya,
tetapi
disisi
lain
perawat
sibuk
dengan
pekerjaanya pada tindakan prosedur sedangkan ibu juga
selalu berfokus dengan kondisi anaknya dan ingin selalu
23
menemani
anaknya.
Perawat
mengatakan
bahwa
orangtua dari anak juga merupakan pasien atau klien dari
perawat. Orangtua juga mendapat peran sebagai asisten
anaknya sehingga hal ini menimbulkan kebingungan
pada orangtua tentang peran mereka sebagai asisten
anaknya dan sebagai klien. Perawat mengatakan bahwa
dia melihat kondisi fisik yang tidak baik pada salah
seorang ibu yang anaknya sudah menjalani operasi
selama empat hari yang lalu. Perawat mengatakan
bahwa ibu pasien sangat marah, dia tidak bisa tidur
semalaman karena kondisi anakya semakin memburuk.
Orangtua mengalami pengalaman stres kerena
pemisahan pada unit neonatal dengan penyakit kritis
yang dialami anaknya yang baru lahir. Pada kemudian
harinya orangtua merasa kuatir adanya risiko yang akan
timbul setelah anaknya berusia
tiga tahun. Hal ini
dinyatakan berdasarkan studi yang dilakukan oleh
Rautava, Lehtonen, Helenius, dan Silanpaa (2003) di
Filandia yaitu efek hospitalisasi neonatal terhadap orang
tua dan perilaku anak. Rautava, dkk., (2003) mengatakan
bahwa
masalah
bukan
24
pada
perpisahan
yang
menyebabkan orangtua tidak bisa menyusui bayinya,
tetapi karena keadaan kritis yang didapat pada bayinya.
Hasil penilitian Agren (1985) menunjukkan bahwa
orangtua ingin berpartisipasi dalam perawatan anaknya.
Perawat perlu menanyakan tentang keinginan orangtua
agar ikut terlibat dalam perawatan anaknya. Perawat
memberikan kesempatan
kepada orangtua supaya
selalu dekat dengan anaknya. Menurut Agren (1985) hal
itu dibutuhkan agar dapat mengurangi stres pada
keluarga selama rawat inap anaknya, dan mengurangi
trauma psikogis pada anak selama rawat inap.
Tidak ada hubungan adaptasi keluarga imigran dan
non-imigran dengan tingkat kecemasan pada saat anak
dirawat di rumah sakit diungkapkan oleh Castillo &
Vilchez-Lara (2010) dalam studi kuantitatif di Spanyol.
Castillo & Vilchez-Lara (2010) mengatakan bahwa
orangtua imigran dan non-imigran mengalami kecemasan
selama
proses
hospitalisasi.
Sementara
di
Italia
penelitian yang dilakukan Scrimin, dkk (2009) ditemukan
bahwa ibu memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi
dibandingkan ayah. Pengukuran tingkat kecemasan juga
25
diteliti di Florida, Amerika Serikat oleh Alexander, dkk
(1986) menemukan bahwa tingkat kecemasan ibu lebih
besar dibandingkan ayah. Walaupun secara statistik tidak
ada perbedaan yang signifikan antara tingkat kecemasan
ibu dan ayah ketika anak di operasi.
Ibu memang lebih merasakan dampak hospitalisasi
dibandingkan
ayah,
hal
ini
ditunjukkan
dari
hasil
penelitian yang dilakukan oleh Lee, A. Lee, Ranki, Weiss
dan
Alkon (2007) di Amerika pada orang tua Cina-
Amerika
mendapatkan
bahwa
ibu
kurang
tidur
dibandingkan dengan ayah selama rawat inap yang
terjadi pada bayi mereka dan ini menunjukkan adanya
hubungan stres yang dirasakan orang tua, kurang tidur,
kelelahan selama proses tersebut. Lee, dkk (2007)
menambahkan bahwa penyakit pada anaknya juga
menimbulkan pengalaman stres bagi orang tua.
Wich dan Cristoph (1998) mengungkapkan perasaan
yang dialami oleh orangtua terhadap hospitalisasi adalah
mereka
anaknya,
hal
yang
adanya
berhubungan
pemisahan
dengan
selama
diagnosis
hospitalisasi,
ketidakpastian terhadap satu kondisi serta ketakutan.
26
Semua itu menyebabkan orangtua merasa frustasi dan
tidak berdaya ketika melihat anakya menjalani sebuah
prosedur. Orangtua juga berkeluh tentang adanya konflik
dengan beberapa staf, hambatan dalam komunikasi,
lingkungan rumah sakit yang asing dan kebijakan yang
tidak fleksibel.
Persepsi
caregiving
orangtua
ketika
anak
terhadap
dirawat
perawat
di
sebagai
rumah
sakit
dikemukakan oleh Harbaugh, Tomlinson dan Kirschbaum
(2004). Orangtua mengatakan perawat akan menjamin
perawatan yang berkualitas dan melibatkan orangtua
dalam perawatan. Hal positif yang diterima orangtua dari
perawat seperti: 1). memungkinkan untuk dekat dan
menjaga anak, 2). mengurangi stres dan ketidakpastian
keadaan yang sedang berlangsung, adanya informasi
yang akurat dan adanya kepastian, 4). melakukan
keperawatan
yang
kompeten
dan
terkordinasi,
Mengahrgai setiap individualitas anak
mereka,
5).
6).
Orangtua mendapat menjaga informasi kesehatan anak
mereka tentang keluhan dan kemajuan. Tapi sebaliknya
ada perilaku negative dari perawat yaitu pemisahan dan
27
pengucilan, kelalaian dalam komunikasi, perawatan yang
tidak menunjukkan kasih sayang dan perlindungan.
28
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Terkait
2.1.1. Definisi Kecemasan
Kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau
keadaan kuatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang
buruk akan segera terjadi (Nevid, Ratus, dan Greene,
2003).
Menurut
Halgin
dan
Whitboune
(2010)
kecemasan lebih berorientasi pada masa depan dan
bersifat umum mengacu pada kodisi ketika individu
merasa kekuatiran/kegelisahan, ketegangan dan rasa
tidak nyaman yang tidak terkendali dan kemungkinan
akan terjadinya sesuatu yang buruk. Freud menjelaskan
tentang kecemasan realitas atau rasa takut
akan
bahaya-bahaya nyata di dunia luar (Hall & Gadner,
1993).
Menurut
Freud
fungsi kecemasan
adalah
memperingatkan sang pribadi adanya bahaya; ia
merupakan syarat bagi ego bahwa kalau tidak dilakukan
tindakan tepat maka bahaya itu akan meningkat sampai
ego dikalahkan (Hall & Gadner, 1993). Dari beberapa
9
pengertian
diatas
peneliti
memandang
bahwa
kecemasan adalah suatu ketakutan atau kekuatiran dari
suasana hati yang tidak menyenangkan timbul dari
situasi yang tidak menentu.
2.1.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan
Menurut Aktison dan Hilgard (1996) timbulnya
kecemasan bersumber dari dua faktor yang terjadi pada
diri individu yaitu: 1). Faktor internal, yakni faktor yang
ada dalam diri sendiri; misalnya perasaan tidak mampu,
tidak percaya diri perasaan bersalah dan dan rendah
diri. 2). Faktor eksternal, merupakan faktor dari luar diri
sendiri;
seperti dukungan dan kondisi lingkungan
keluarga, masyarakat dan tempat kerja. Sedangkan
Priest (1994), menyatakan bahwa kecemasan dapat
ditimbulkan oleh beberapa faktor seperti karena sering
mengalami
keputusasaan,
pengalaman-pengalaman
yang tidak menyenangkan.
2.1.3. Aspek-aspek kecemasan
Kecemasan sebagai respon emosional terhadap
suatu peristiwa yang tidak menyenangkan, bentuk
respon atau reaksinya berkaitan dengan beberapa
aspek. Calhum dan Acocella
10
(1995) menyebutkan
aspek-aspek kecemasan dapat ditemukan dalam tiga
reaksi, yaitu:
2.1.3.1. Reaksi emosional, yaitu komponen kecemasan
yang berkaitan dengan persepsi individu psikologis dari
kecemasan.
Individu
merasakan
keprihatinan,
ketegangan, sedih, mencela diri sendiri atau orang lain.
2.1.3.2. Reaksi kognitif, yaitu ketakutan dan kekuatiran
yang berpengaruh terhadap kemampuan berpikir jernih,
sehingga menganggu dalam memecahkan masalah dan
mengatasi tuntutan lingkungan sekitarnya.
2.1.3.3. Reaksi fisiologis, yaitu reaksi yang ditampilkan
oleh tubuh terhadap sumber ketakutan dan kekuatiran.
Reaksi ini berkaitan dengan sistem syaraf yang
mengandalikan berbagai otot dan kelenjar tubuh,
sehingga timbul reaksi dalam bentuk jantung berdetak
lebih keras, nafas bergerak lebih cepat dan tekanan
darah meningkat
2.1.4. Pengertian Hospitalisasi
Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan
tertentu yang terencana atau darurat, mengharuskan anak
tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan
sampai pemulangannya kembali ke rumah. Selama proses
tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami kejadian
11
yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan
pengalaman yang sangat traumatik dan penuh dengan
kecemasan (Supartini, 2004).
2.1.4.1. Hospitalisasi pada anak
Menurut
persepsi,
Kyle (2008), kemampuan dan
tingkat
perkembangan
usia
anak-anak
kognitif,
akan
dan
tingkat
mempengaruhi
persepsi mereka tentang hospitalisasi. Hal-hal ini
ternyata
akan
mempengaruhi
reaksi
mereka
terhadap rawat inap. Anak-anak muda memiliki
pengalaman yang terbatas dan intelektual yang
belum dewasa, sehingga memiliki waktu yang lebih
sulit dalam memahami apa yang terjadi pada
mereka. Hal ini dapat terjadi terutama pada balita
dan anak prasekolah, ketika merasakan keutuhan
tubuh mereka dilanggar selama prosedur invasif,
mereka
sering
menafsirkan
penyakit
sebagai
hukuman atas rumah sakit sebagai musuh, tindakan
menyiksa. Dengan demikian, anak-anak di bawah
usia 5 tahun lebih rentan terhadap gangguan emosi
ketika rawat inap.
12
Menurut
Department
of
Psychiatry
at
Children’s Hospital Boston tahun 2003 anak-anak
menunjukkan berbagai reaksi dalam situasi medis.
Reaksi-reaksi
ini
dibentuk
oleh
banyak
faktor
termasuk kepribadian anak, tingkat perkembangan,
koping anak dan pengalaman hospitalisasi.
2.1.4.2. Pengalaman sebelumnya
Menurut
Kyle, (2008) secara umum, anak-
anak kurang paham dan memiliki sedikit pengalaman
terhadap rawat inap, penyakit dan prosedur rumah
sakit akan mengalami peningkatan kecemasan.
Pengalaman sebelumnya terhadap rawat inap dan
penyakit dapat membuat persiapan baik lebih mudah
atau lebih sulit (jika pengalaman itu dianggap
sebagai negatif). Misalnya, jika anak pergi ke rumah
sakit karena kelahiran saudara kandung, ia mungkin
melihat ini sebagai pengalaman yang positif. Namun,
jika anak pergi ke rumah sakit karena penyakit serius
atau kematian keluarga dan teman dekat, ia mungkin
akan melihat pengalaman itu sebagai pengalaman
yang buruk.
13
2.1.5. Kecemasan orangtua terhadap hospitalisasi
Anak-anak dapat merasakan kecemasan dan
kekuatiran orangtuanya, ketika orangtua berbisik-bisik
sehingga anak dapat berimajinasi. Misalnya, anakanak prasekolah dapat menceritakan hal yang rumit
untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan
ketika orang tidak dapat menjawab pertanyaannya,
anak
akan
kepercayaan
menjadi
anak
bingung
pada
ibunya
dan
ketakutan,
dapat
menjadi
berkurang. Hal ini sangat penting bagi anak-anak
untuk percaya kepada seseorang yang memegang
kendali dan sehingga orang tersebut dapat dipercaya.
Reaksi seorang anak sering dibentuk oleh respon
terhadap penyakit dan rawat inap. Hubungan antara
keluarga dan staf rumah sakit juga dapat berkontribusi
pada stres anak. Hubungan ini memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap kualitas lingkungan. Petugas
rumah sakit harus bertanggung jawab atas anak-anak
yang dirawat di rumah sakit dengan mempertahankan
kemitraan
yang
baik
terhadap
keluarga.
Entah
direncanakan atau tidak direncanakan, rawat inap
meningkatkan stres keluarga dan tingkat kecemasan.
Cedera sakit atau sakit yang serius dari anggota
14
keluarga
dapat
mempengaruhi
semua
anggota
keluarga. Proses yang dapat mengganggu rutinitas
keluarga dan dapat mengubah peran keluarga (Kyle,
2008).
2.1.5.1. Reaksi orangtua terhadap hospitalisasi
Kyle (2008) mengatakan bahwa reaksi
orang
tua
terhadap
hospitalisasi
adalah
sebagai berikut: Melihat anak sakit adalah hal
yang
sulit,
membantu
terutama
prosedur
ketika
orangtua
tindakan
dengan
memegang anak. Orangtua mungkin merasa
bersalah karena tidak mencari perawatan
cepat. Orangtua juga dapat menunjukkan
perasaan
lainnya
kemarahan,
seperti
depresi,
penyangkalan,
dan
kebingungan.
Orangtua dapat menyangkal bahwa anaknya
sakit,
mereka
dapat
mengekspresikan
kemarahan, terutama diarahkan kepada staf
perawat,
anggota
keluarga
lain,
serta
ketakutan yang lebih tinggi karena kontrol
kerugian
mereka
Depresi
dapat
dalam
terjadi
merawat
karena
anak.
adanya
kelelahan fisik sehingga menghabiskan waktu
15
yang banyak
Kebingungan
untuk merawat anaknya.
akan
berkembang
karena
berhadapan dengan lingkungan yang asing
atau hilangnya peran orangtua.
Menurut Wong, dkk (2001) krisis penyakit
dan hospitalisasi pada masa kanak-kanak
mempengaruhi setiap anggota keluarga inti.
Reaksi orangtua terhadap penyakit anak
mereka
bergantung
pada
keberagaman
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pada
awalnya orangtua dapat bereaksi dengan
tidak percaya, terutama jika penyakit tersebut
muncul tiba-tiba dan serius. Setelah realisasi
penyakit, orang tua bereaksi dengan marah,
atau merasa bersalah atau kedua-duanya.
Takut,
cemas
dan
frustasi
merupakan
perasaan yang banyak diungkapkan oleh
orangtua. Takut dan cemas dapat berkaitan
dengan
keseriusan
penyakit
dan
jenis
prosedur medis yang dilakukan. Sering kali
kecemasan yang paling besar berkaitan
dengan
trauma
16
dan
nyeri
pada
anak.
Orangtua akhirnya dapat bereaksi dengan
beberapa tingkat depresi (Wong, dkk., 2001).
Depresi biasanya terjadi ketika krisis akut
sudah berlalu, seperti setelah
pemulangan
atau pemulihan yang tidak sempurna. Ibu
sering mengungkapakan kelelahan fisik dan
mental setelah semua anggota keluarga
beradaptasi dengan krisis. Alasan lain untuk
cemas
dan
depresi
berkaitan
dengan
kekuatiran akan masa depan anak, termasuk
dampak negatif dari hospitalisasi dan beban
keuangan akibat hospitalisasi tersebut (Wong,
dkk., 2001).
.
2.1.5.2. Faktor yang Mempengaruhi Reaksi
keluarga
Gaya pengasuhan, hubungan keluarga
dengan anak dan keterampilan koping anggota
keluarga dapat mempengaruhi keadaan selama
di rumah sakit. Variasi budaya, etnis, agama,
nilai dan praktik
dapat
mempengaruhi sikap
keluarga terhadap penyakit. Hal ini mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap respon dan
perilaku keluarga. Misalnya, keyakinan agama
17
dapat meningkatkan masalah atau dapat menjadi
sumber kekuatan untuk keluarga dan anak.
Keluarga yang berada dalam krisis dan tanpa
adanya sistem pendukung yang baik akan sulit
untuk beradatasi dengan stres akibat rawat inap
(Kyle, 2008).
Menurut Meskhani & Bavarian (2005) ada
beberapa faktor seperti ketidakpastian tentang
penyakit anak dan kesembuhannya, kekuatiran
tentang informasi yang diberikan oleh pengasuh,
rasa takut, dan rasa bersalah menganggu peran
orangtua dan kemungkinan orangtua mengalami
penderitaan dan kecemasan. Mereka merasa
bahwa dalam posisi yang lemah dan mungkin
kehilangan
control
dan
kemandirian
juga
merupakan penyebab distres. Hal ini dapat
diperparah adanya situasi asuhan yang diberikan
oleh pengasuh tidak menyenangkan.
18
2.2. Penelitian terkait
2.2.1 Dampak hospitalisasi terhadap anak
Anak-anak
mengalami
kecemasan
selama
hospitalisasi, tingkat kecemasan mereka berbeda-beda
berdasarkan jenis kelamin dan umur yang ditemukan oleh
Hudson,
Lepper,
Stickland
dan
Jessee
(1987).
Perempuan lebih tinggi tingkat kecemasan dibandingkan
dengan laki-laki. Tingkat kecemasan yang paling tinggi
dirasakan anak yang berumur 6-12 tahun (Hudson, dkk.,
1987).
Penelitian yang dilakukan oleh Palender dan LeinoKilpi (2010) di Filandia, dengan tujuan mengetahui
pengalaman baik dan buruk anak
pada usia sekolah
selama hospitalisasi menyatakan bahwa ada empat
kategori yang menjadi pengalaman buruk anak selama
hospitalisasi yaitu terhadap orang, perasaan, aktivitas
dan lingkungan. Fokusnya adalah pada pengalaman
anak-anak ketika menjadi pasien bahkan anak-anak tidak
menyebutkan secara spesifik bahwa mereka telah
menjadi pasien. Banyak pengalaman negatif yang
mereka alami terkait dengan penyakit, pemisahan dalam
lingkungan, dimana ada seseorang yang tidak mereka
kenal melakukan perawatan fisik dan tindakan prosedur
19
serta adanya pembatasan makanan dan menunggu
sebuah prosedur. Semua itu merupakan pengalaman
yang tidak menyenangkan yang dirasakan oleh anakanak. Pengalaman terburuk yang dirasakan oleh anak
adalah tindakan keperawatan dan aktivitas pengobatan,
anak-anak menyebutkan seperti adanya jarum suntik,
pemeriksaan/perawatan jahitan, operasi, dan adanya
pembatasan makanan.
Anak mengatakan mereka seperti disiksa ketika ada
pengambilan
sampel
darah
yang
menjadikan
pengalaman buruk bagi anak. Sebagai bagian dari
menjadi
perasaan
seorang
berkaitan
pasien,
anak-anak
dengan
gejala
melaporkan
penyakit
dan
pemisahan. Pengalaman terburuk selama di rumah sakit
yang diasakan anak-anak lebih pada gejala penyakit
yang
mereka
dapatkan.
Sebagian
besar
mereka
mengatakan nyeri, perasaan kurang sehat, adanya
ketegangan, sakit perut, suhu badan panas, kelelahan,
dan sakit kepala. Seorang anak mengatakan mual, nyeri,
sembelit, diare dan tidak enak badan.
20
Berpisah dari orang tua, teman, rumah, sekolah
adalah hal yang tidak disukai anak selama di rawat di
rumah sakit. Setelah berada di rumah sakit dan jauh dari
rumah
menimbulkan
pengalaman
yang
negatif.
Hospitalisasi menyebabkan gangguan rutinitas, seperti
sekolah dan hubungan dengan teman. Beberapa anak
mengatakan mereka ditinggal oleh ibu dan ayahnya pada
malam hari, tidak bisa menelepon temanya, merindukan
rumah dan sekolah. Lingkungan selama rawat inap
menjadi salah satu yang tidak mengenakkan dimana
harus terbaring ditempat tidur, kurangnya kegiatan seperti
kerajinan, dan tidak ada privasi. Untuk beberapa anak
hanya di tempat tidur dan terisolasi, terutama di bangsal
infeksi, merupakan hal terburuk selama dirawat inap.
Menyikapi hal tersebut anak membutuhkan sesuatu yang
dapat mereka kerjakan selama di rawat inap.
Dalam penelitian Salmella, Aronen dan Salanterä
(2010), di Filandia mereka mendengar perkataan anakanak membahas ketakutan yang berhubungan dengan
rumah sakit atau layanan kesehatan lainnya. Anak-anak
menafsirkan takut akan gerak tubuh orang dewasa dan
membuat
kesimpulan
21
yang
salah
satunya
cukup
memperihatikan
memperdulikan
bahwa orang dewasa tidak lagi
mereka,
menyakiti
mereka
dengan
sengaja dan tidak menghiraukan apa yang mereka
inginkan.
2.2.2. Stres dan perubahan koping individu
Pelander dan Leino-Kilpi (2010) mengatakan bahwa
efek rawat inap pada anak-anak dipengaruhi oleh sifat dan
tingkat keparahan masalah kesehatan, kondisi anak, dan
sejauh mana kegiatan dan rutinitas, ketidak pedulian,
ketidak bahagiaan, dan bahkan perubahan nafsu makan.
Ketika aktivitas motorik anak dibatasi, kemarahan dan
hiperaktif mungkin terjadi. Bermain, rekreasi dan pendidikan
peluang menyediakan outlet untuk mengalihkan perhatian
anak
dari
penyakit,
menyediakan
mereka
dengan
pengalaman yang menyenangkan, dan membantu mereka
memahami kondisi mereka. Tentu saja, kemampuan ini
berbeda pada usia anak, persepsi mereka terhadap situasi
sebelumnya,
hubungan
dengan
personil
perawatan
kesehatan, dan dukungan dari orang lain yang signifikan.
22
2.2.3. Pengalaman orangtua terhadap kecemasan
Orangtua
pengalaman
juga
yang
merasakan
tidak
bermacam-macam
menyenangkan
tentang
hospitalisasi. Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh
Olgivie (1990) yang bertujuan mengungkapkan perasaan
orangtua terhadap hospitalisasi anak yang dioperasi
menunjukkan bahwa orangtua merasa stres, cemas,
kelelahan, bosan dan kuatir terhadap kondisi anaknya.
Orangtua juga mengatakan kurangnya informasi dari
perawat tentang keadaan anakya.
Dalam studi yang kualitatif yang dilakukan oleh
Callery (1996) di Inggris bertujuan untuk melihat persepsi
orang tua dan perawat terhadap peran orangtua sebagai
asisten anak selama anak dirawat di rumah sakit. Hasil
wawancaranya bahwa para orangtua mengalami stres,
cemas dan takut. Hal ini disebabkan oleh penyakit, hasil
diagnosa dan masa depan anakknya setelah menjalani
operasi. Orangtua membutuhkan waktu khusus dengan
perawat untuk bercerita tentang apa yang terjadi pada
anaknya,
tetapi
disisi
lain
perawat
sibuk
dengan
pekerjaanya pada tindakan prosedur sedangkan ibu juga
selalu berfokus dengan kondisi anaknya dan ingin selalu
23
menemani
anaknya.
Perawat
mengatakan
bahwa
orangtua dari anak juga merupakan pasien atau klien dari
perawat. Orangtua juga mendapat peran sebagai asisten
anaknya sehingga hal ini menimbulkan kebingungan
pada orangtua tentang peran mereka sebagai asisten
anaknya dan sebagai klien. Perawat mengatakan bahwa
dia melihat kondisi fisik yang tidak baik pada salah
seorang ibu yang anaknya sudah menjalani operasi
selama empat hari yang lalu. Perawat mengatakan
bahwa ibu pasien sangat marah, dia tidak bisa tidur
semalaman karena kondisi anakya semakin memburuk.
Orangtua mengalami pengalaman stres kerena
pemisahan pada unit neonatal dengan penyakit kritis
yang dialami anaknya yang baru lahir. Pada kemudian
harinya orangtua merasa kuatir adanya risiko yang akan
timbul setelah anaknya berusia
tiga tahun. Hal ini
dinyatakan berdasarkan studi yang dilakukan oleh
Rautava, Lehtonen, Helenius, dan Silanpaa (2003) di
Filandia yaitu efek hospitalisasi neonatal terhadap orang
tua dan perilaku anak. Rautava, dkk., (2003) mengatakan
bahwa
masalah
bukan
24
pada
perpisahan
yang
menyebabkan orangtua tidak bisa menyusui bayinya,
tetapi karena keadaan kritis yang didapat pada bayinya.
Hasil penilitian Agren (1985) menunjukkan bahwa
orangtua ingin berpartisipasi dalam perawatan anaknya.
Perawat perlu menanyakan tentang keinginan orangtua
agar ikut terlibat dalam perawatan anaknya. Perawat
memberikan kesempatan
kepada orangtua supaya
selalu dekat dengan anaknya. Menurut Agren (1985) hal
itu dibutuhkan agar dapat mengurangi stres pada
keluarga selama rawat inap anaknya, dan mengurangi
trauma psikogis pada anak selama rawat inap.
Tidak ada hubungan adaptasi keluarga imigran dan
non-imigran dengan tingkat kecemasan pada saat anak
dirawat di rumah sakit diungkapkan oleh Castillo &
Vilchez-Lara (2010) dalam studi kuantitatif di Spanyol.
Castillo & Vilchez-Lara (2010) mengatakan bahwa
orangtua imigran dan non-imigran mengalami kecemasan
selama
proses
hospitalisasi.
Sementara
di
Italia
penelitian yang dilakukan Scrimin, dkk (2009) ditemukan
bahwa ibu memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi
dibandingkan ayah. Pengukuran tingkat kecemasan juga
25
diteliti di Florida, Amerika Serikat oleh Alexander, dkk
(1986) menemukan bahwa tingkat kecemasan ibu lebih
besar dibandingkan ayah. Walaupun secara statistik tidak
ada perbedaan yang signifikan antara tingkat kecemasan
ibu dan ayah ketika anak di operasi.
Ibu memang lebih merasakan dampak hospitalisasi
dibandingkan
ayah,
hal
ini
ditunjukkan
dari
hasil
penelitian yang dilakukan oleh Lee, A. Lee, Ranki, Weiss
dan
Alkon (2007) di Amerika pada orang tua Cina-
Amerika
mendapatkan
bahwa
ibu
kurang
tidur
dibandingkan dengan ayah selama rawat inap yang
terjadi pada bayi mereka dan ini menunjukkan adanya
hubungan stres yang dirasakan orang tua, kurang tidur,
kelelahan selama proses tersebut. Lee, dkk (2007)
menambahkan bahwa penyakit pada anaknya juga
menimbulkan pengalaman stres bagi orang tua.
Wich dan Cristoph (1998) mengungkapkan perasaan
yang dialami oleh orangtua terhadap hospitalisasi adalah
mereka
anaknya,
hal
yang
adanya
berhubungan
pemisahan
dengan
selama
diagnosis
hospitalisasi,
ketidakpastian terhadap satu kondisi serta ketakutan.
26
Semua itu menyebabkan orangtua merasa frustasi dan
tidak berdaya ketika melihat anakya menjalani sebuah
prosedur. Orangtua juga berkeluh tentang adanya konflik
dengan beberapa staf, hambatan dalam komunikasi,
lingkungan rumah sakit yang asing dan kebijakan yang
tidak fleksibel.
Persepsi
caregiving
orangtua
ketika
anak
terhadap
dirawat
perawat
di
sebagai
rumah
sakit
dikemukakan oleh Harbaugh, Tomlinson dan Kirschbaum
(2004). Orangtua mengatakan perawat akan menjamin
perawatan yang berkualitas dan melibatkan orangtua
dalam perawatan. Hal positif yang diterima orangtua dari
perawat seperti: 1). memungkinkan untuk dekat dan
menjaga anak, 2). mengurangi stres dan ketidakpastian
keadaan yang sedang berlangsung, adanya informasi
yang akurat dan adanya kepastian, 4). melakukan
keperawatan
yang
kompeten
dan
terkordinasi,
Mengahrgai setiap individualitas anak
mereka,
5).
6).
Orangtua mendapat menjaga informasi kesehatan anak
mereka tentang keluhan dan kemajuan. Tapi sebaliknya
ada perilaku negative dari perawat yaitu pemisahan dan
27
pengucilan, kelalaian dalam komunikasi, perawatan yang
tidak menunjukkan kasih sayang dan perlindungan.
28