Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Respon Kedukaan Pasien Saat Terdiagnosa HIV Positif di Rumah Sakit Paru Dr Ario Wirawan Salatiga T1 462009004 BAB II

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Respon Kedukaan
2.1.1 Pengertian Kedukaan (Grief)
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan ketika
seseorang

mengalami

suatu

kehilangan

yang

kemudian

dimanifestasikan dalam bentuk perasaan sedih, gelisah, cemas,
sesak nafas, susah tidur, dan lain sebagainya (Potter & Perry, 2005).
Menurut Braker (2000), kedukaan (grief) dapat diarahkan sebagai
proses kognitif dan perasaan (emosi) dalam menghadapi kehilangan

sesuatu yang berharga. Seseorang yang berduka akan mengalami
penderitaan fisik, psikologis, sosial dan spiritual sebagai reaksi
penyesuaian diri terhadap hilangnya sesuatu yang sangat bernilai
baginya.
Sanders

(1998)

menambahkan

bahwa

grief

adalah

penderitaan yang emosional yang kuat dan mendalam, yang dialami
seseorang akibat suatu peristiwa seperti menghadapi kematian atau
kematian orang yang dicintai. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan
bahwa


grief

adalah proses psikologis, sosial, dan reaksi

fisik

seseorang sebagai akibat dari persepsi terhadap kehilangan. Dalam

11

penelitian

ini,

kehilangan

dimaksudkan

adalah


menghadapi

kematian.
2.1.2. Tahap Respon Kedukaan (Grief)
Respon psikologis yang dialami seseorang oleh Kubler-Ross
(1969) dikemukakan dalam teori yang disebut “ The Five Stages of
Grief ”. Teori ini membagi respons psikologis dalam lima tahap, yaitu
penyangkalan (denial), marah (anger), tawar-menawar (bargaining),
depresi (depression) dan penerimaan (acceptance).
Kelima tahap respons psikologis ini sering diidentikkan
dengan lima tahap model duka cita yang disebabkan oleh proses
kematian. Namun akhirnya berkembang tidak hanya sebatas
itu, lima tahap respons psikologis ini juga bisa digunakan untuk
mengidentifikasi individu pasca pemutusan hubungan kerja, adanya
bencana sehingga terpaksa harus mengungsi, kehilangan anggota
tubuh, hukuman, kebangkrutan, korban kejahatan atau kriminal dan
keputusasaan menghadapi masalah. Sehingga teori ini berkembang
lebih luas dan dapat digunakan untuk memahami reaksi pasca
kejadian traumatik yang dialami oleh seseorang.

Tahap respon menurut Kubler-Ross (1969) :
1. Tahap Penyangkalan (Denial)
Reaksi pertama individu yang kehilangan adalah terkejut,
tidak percaya, merasa terpukul dan menyangkal pernyataan bahwa
12

kehilangan itu benar-benar terjadi (Suliswati, 2005). Secara sadar
maupun tidak sadar seseorang yang berada pada tahap ini menolak
semua fakta, informasi dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan hal yang dialaminya. Individu merasa hidupnya menjadi
tidak berarti lagi. Pada saat itu dia dalam keadaan terguncang dan
pengingkaran, merasa ingin mati saja. Pada tahap ini seseorang
tidak mampu berpikir apa yang seharusnya dia lakukan untuk keluar
dari masalahnya. Dia tidak siap untuk menerima kondisinya (Kozier,
2004). Oleh karenanya tahap pengingkaran merupakan suatu tahap
yang sangat tidak nyaman dan situasi yang sangat menyakitkan
(French, 1992)
Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini biasanya berupa
keletihan, kelemahan, pucat, mual, diare, sesak napas, detak
jantung cepat, menangis, gelisah. Reaksi ini dapat berlangsung

selama beberapa menit sampai beberapa tahun (Suliswati, 2005).
2. Tahap Marah (Anger)
Kemarahan yang dialami oleh seseorang dapat diungkapkan
dengan berbagai cara. Individu mungkin menyalahkan dirinya sendiri
dan atau orang lain atas apa yang terjadi padanya, serta pada
lingkungan tempat dia tinggal. Pada kondisi ini individu tidak
memerlukan nasihat, baginya nasihat adalah sebuah bentuk
pengadilan (judgement) yang sangat membuatnya menjadi lebih
terganggu. Reaksi fisik yang sering terjadi pada tahap ini antara lain
13

wajah merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur dan tangan mengepal
(Suliswati, 2005)
3. Tawar-Menawar (Bargaining)
Apabila

individu

telah


mampu

mengungkapkan

rasa

marahnya, maka ia maju ke tahap tawar-menawar (Suliswati, 2005).
Pada tahap ini seseorang berpikir seandainya dia dapat menghindari
kehilangan itu. Reaksi yang sering muncul adalah dengan
mengungkapkan perasaan bersalah atau ketakutan pada dosa yang
pernah dilakukan, baik itu nyata ataupun hanya imajinasinya saja
(Kozier, 2004). Seringkali seseorang yang berada tahap ini berusaha
tawar menawar dengan Tuhan agar merubah apa yang telah terjadi
supaya tidak menimpanya. Sering juga dinyatakan dengan katakata“seandainya saya hati-hati”, “kenapa harus terjadi pada keluarga
saya”. Sesungguhnya bargaining yang dilakukan seseorang tidak
memberikan solusi apapun bagi permasalahan yang dia hadapi.
4. Tahap Depresi (Depression)
Individu pada tahap ini mengalami disorganisasi dalam batas
tertentu dan merasa bahwa mereka tidak mampu melakukan tugas
yang di masa lalu dilakukan dengan sedikit kesulitan (Niven, 2002).

Individu sering menunjukkan sikap menarik diri, tidak mau berbicara,
takut, perasaan tidak menentu dan putus asa. Seseorang yang
berada pada tahap ini setidaknya sudah mulai menerima apa yang

14

terjadi padanya adalah kenyataan yang memang harus dia hadapi.
Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makan, susah
tidur, letih dan libido menurun (Suliswati, 2005).
5. Tahap Penerimaan (Acceptance)
Tahap

ini

berkaitan

dengan

reorganisasi


perasaan

kehilangan. Individu akan menyadari bahwa hidup mereka harus
terus berlanjut dan mereka harus mencari makna baru dari
keberadaan mereka. Pikiran yang selalu terpusat pada obyek atau
orang yang hilang akan mulai berkurang atau menghilang. Individu
telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya, gambaran
tentang obyek atau orang yang hilang mulai dilepaskan dan secara
bertahap perhatian dialihkan kepada obyek yang baru (Suliswati,
2005). Seseorang yang berada pada tahap ini mulai menyusun
rencana yang akan dilakukan pasca kehilangan (Kozier, 2004).
Tahap penerimaan ini biasanya diungkapkan dengan kalimat “apa
yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh” atau “yaah,
akhirnya saya harus dioperasi juga”.

15

2.2 Pasien saat terdiagnosa HIV positif
Istilah pasien berasal dari kata kerja bahasa latin yang
artinya “ menderita”, secara tradisional telah digunakan untuk

menggambarkan orang yang menerima perawatan. Konotasi yang
melekat pada kata itu adalah ketergantungan. Karena alasan inilah
banyak perawat memilih kata pasien, yang berasal dari kata kerja
bahasa latin yang artinya “bersandar” dan berkonotasi bekerja sama
dan independen.
Figur

sentral

dalam

pelayanan

perawatan

kesehatan

adalah pasien. Pasien yang datang ke rumah sakit atau fasilitas
pelayanan kesehatan dengan masalah kesehatan juga datang
sebagai individu, anggota keluarga atau anggota dari komunitas.

Tergantung pada masalahnya, keadaan yang berhubungan, dan
pengalaman masa lalu, kebutuhan pasien akan beragam.
2.3 HIV/AIDS
2.3.1 Pengertian HIV/AIDS
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah
kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya kekebalan
tubuh. Berkurangnya kekebalan tubuh itu sendiri disebabkan virus
HIV (Human Immunodeficiency Virus). Pada dasarnya HIV adalah
jenis parasit obligate yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel
atau media hidup. Virus ini “senang” hidup dan berkembang baik
pada sel darah putih manusia. HIV akan ada pada cairan tubuh yang
16

mengandung sel darah putih, seperti darah, cairan plasenta, air mani
atau cairan sperma, cairan sumsum tulang, cairan vagina, cairan
susu ibu dan cairan otak. HIV menyerang salah satu jenis dari sel –
sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih
tersebut termasuk limfosit yang disebut “sel T-4” atau disebut pula
“sel CD-4” (DepKes RI, 2007).
HIV dalam bahasa inggris merupakan singkatan dari Human

Imunnodeficiency Virus

dalam bahasa Indonesia berarti virus

penyebab menurunnya kekebalan tubuh manusia. HIV adalah Virus
yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian
menimbulkan AIDS. Virus HIV menyerang salah satu jenis sel darah
putih yang berpungsi untuk kekebalan tubuh (Maryunani, 2009).
Kecepatan reproduksi HIV diperkirakan berkaitan dengan
status kesehatan orang yang terjangkit infeksi tersebut. Jika orang
tersebut tidak sedang berperan melawan infeksi yang lain, refroduksi
HIV berjalan dengan lambat, namun reproduksi HIV tampaknya akan
dipercepat kalau penderitanya sedang menghadapi infeksi lain atau
kalau sistem imunnya terstimulasi keadaan ini dapat menjelaskan
periode laten yang diperlihatkan sebagian penderita sudah terinfeksi
HIV. Sebagai contoh, seorang pasien mungkin bebas dari gejala
selama sepuluh tahun, meskipun demikian sebagian besar orang
yang terinfeksi HIV (sampai 65%) tetap menderita penyakit HIV atau

17

AIDS yang simtomatik dalam waktu 10 tahun sesudah orang
tersebut terinfeksi (Smaltzer & Bare, 2001).
Perjalanan klinis pada pasien dari tahap terinfeksi HIV
sampai tahap AIDS, sejalan dengan penurunaan sederajat imunitas
pasien, terutama imunitas seluler dan menunjukkan gambaran
penyakit yang kronis. Penurunan imunitas biasanya diikuti adanya
peningkatan resiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta
penyakit keganasan (Depkes RI, 2003). Dari semua orang yang
terinfeksi HIV, sebagian berkembang menjadi AIDS pada tiga tahun
pertama, 50% menjadi AIDS sesudah sepuluh tahun, dan hampir
100% pasien HIV menunjukkan gejala AIDS setelah 13 tahun.
Dalam tubuh ODHA, partikel virus akan bergabung dengan
DNA sel pasien, sehingga orang yang terinfeksi HIV seumur hidup
akan bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga orang yang yeng
terinfeksi HIV seumur hidup akan tetap terinfeksi, sebagian pasien
memperlihatkan gejala tidak khas seperti demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk pada
3-6 minggu setelah infeksi kondisi ini dikenal dengan dengan infeksi
primer. Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu dimana HIV
pertama kali masuk kedalam tubuh.
Fase awal proses infeksi (imunokompeten) akan terjadi
respon imun berupa penigkatan aktivitas imun, yaitu pada tingkat
seluler (HLA-DR; sel T; IL-2R) serum atau humoral (beta-2
18

mikroglobulin, neopterin, CD8, IL-R dan antibodi upregulation (gp
120, anti p24; IgA). Selama infeksi primer jumlah limpisit CD4+
dalam darah menurun dengan cepat. Target virus ini adalah limposit
CD4+ pada nodus limpa dan thymus selama waktu tersebut yang
membuat individu yang terinfeksi HIV akan mungkin terkena infeksi
oportunistik dan membatasi kemampuan thymus untuk memproduksi
limposit T. Tes antibodi HIV menggunakan enzyme linked
imunoabsorbent assay (ELISA) yang menunjukkan hasil positif.
Setelah

infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa

gejala) ini berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok
orang yang perjalanan penyakitnya sangat cepat, hanya sekitar 2
tahun, dan ada pula yang perjalanannya sangat lambat (Nursalam,
2009).
Berikut ini tabel perjalanan virus HIV :
3 bulan

10 – 15 tahun

1 – 2 tahun

Terinfeksi HIV

HIV Positif

AIDS

Tanpa gejala

- Gejala ringan

- Infeksi oportunistik

- Belum perlu ke RS

- Perlu ke RS

19

2.3.2 Diagnosa HIV/AIDS
Menurut Barakbah et al (2007) karena banyak negara
berkembang, yang belum memiliki fasilitas pemeriksaan serologi
maupun antigen HIV yang memadai, maka WHO menetapkan
kriteria diagnosis AIDS sebagai berikut:
Dewasa
Definisi kasus AIDS dicurigai bila paling sedikit mempunyai 2
gejala mayor dan 1 gejala minor dan tidak terdapat sebab-sebab
penekanan sistem imun lain yang diketahui, seperti kanker,
malnutrisis berat atau sebab-sebab lainnya.
1. Gejala Mayor
a. Penurunan berat badan > 10% berat badan per bulan
b. Diare kronis lebih dari 1 bulan
c. Demam lebih dari 1 bulan
2. Gejala Minor
a. Batuk selama lebih dari 1 bulan
b. Pruritus dermatitis menyeluruh
c. Infeksi umum yang rekuren, misalnya herpes zoster
d. Kandidiasis orofaringeal
e. Infeksi herpes simpleks kronis progresif atau yang meluas
f.

Limfadenopati generalisata

20

Adanya

Sarkoma

Kaposi

meluas

atau

meningitis

cryptococcal sudah cukup untuk menegakkan AIDS.
Anak
Definisi kasus AIDS terpenuhi bila ada sedikitnya 2 tanda
mayor dan 2 tanda minor dan tidak terdapat sebab-sebab
penekanan imun yang lain yang diketahui, seperti kanker, malnutrisi
berat atau sebab-sebab lain.
1. Gejala Mayor
a. Berat badan turun atau pertumbuhan lambat yang abnormal
b. Diare kronis lebih dari 1 bulan
c. Demam lebih dari 1 bulan
2. Gejala Minor
a. Limfadenopati generalisata
b. Kandidiasis orofaringeal
c. Infeksi umum yang rekuren
d. Batuk-batuk selama lebih dari 1 bulan
e. Ruam kulit yang menyeluruh
Konfirmasi infeksi HIV pada ibunya dihitung sebagai kriteria
minor.

21

Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan
anti-HIV, penegakan diagnosis dilakukan melalui pemeriksaan
serum atau cairan tubuh lain (cerebrospinal fluid) penderita.
1. ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)
ELISA digunakan untuk menemukan antibodi (Baratawidjaja).
Kelebihan teknik ELISA yaitu sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %100% (Kresno). Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah
infeksi. Tes ELISA telah menggunakan antigen recombinan, yang
sangat spesifik terhadap envelope dan core (Hanum, 2009).
2. Western Blot
Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar
relatif dari suatu protein dalam suatu campuran berbagai jenis
protein atau molekul lain. Biasanya protein HIV yang digunakan
dalam campuran adalah jenis antigen yang mempunyai makna
klinik, seperti gp120 dan gp41 (Kresno, 2001).
Western blot

mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6% -

100%. Namun pemeriksaan cukup sulit, mahal membutuhkan waktu
sekitar 24 jam (Hanum, 2009).
3. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat
zat antibodi maternal masih ada pada bayi dan menghambat
pemeriksaan secara serologis maupun status infeksi individu yang
22

seronegatif pada kelompok risiko tinggi dansebagai tes konfirmasi
untuk HIV-2 sebab sensitivitas ELISA rendah untuk HIV-2 (Kresno,
2001).
Pemeriksaan

CD4

dilakukan

imunophenotyping yaitu dengan

dengan

flow cytometry dan

melakukan
cell sorter.

Prinsip flowcytometry dan cell sorting (fluorescence activated cell
sorter, FAST) adalah menggabungkan kemampuan alat untuk
mengidentifasi

karakteristik

permukaan

setiap

sel

dengan

kemampuan memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu suspensi
menurut karakteristik masing-masing secara otomatis melalui suatu
celah, yang ditembus oleh seberkas sinar laser. Setiap sel yang
melewati berkas sinar laser menimbulkan sinyal elektronik yang
dicatat oleh instrumen sebagai karakteristik sel bersangkutan.
Setiap karakteristik molekul pada permukaan sel manapun
yang terdapat di dalam sel dapat diidentifikasi dengan menggunakan
satu atau lebih probe yang sesuai. Dengan demikian, alat itu dapat
mengidentifikasi setiap jenis dan aktivitas sel dan menghitung jumlah
masing-masing dalam suatu populasi campuran (Kresno, 2001).
Menurut Kresno (2001) aplikasi FACS banyak sekali,
diantaranya adalah:
a.

Analisis

dan

pemisahan

subpopulasi

limfosit

dengan

menggunakan antibodi monoklonal terhadap antigen permukaan
(CD) yang dilabel dengan zat warna fluorokrom.
23

b.

Pemisahan

limfosit

yang

memproduksi

berbagai

kelas

imunoglobulin dengan menggunakan antibodi monoklonal terhadap
kelas dan subkelas Ig spesifik dan tipe L-chain.
c. Memisahkan sel hidup dari sel mati.
d. Analisis kinetik atau siklus sel dan kandungan DNA atau RNA.
e. Analisis fungsi atau aktivasi sel dengan mengukur produk yang
disintesis oleh sel setelah distimulasi.
Selain uji fungsi limfosit, uji fungsi fagositosis juga dapat
dilakukan dengan menggunakan flowcytometry.
2.3.3 Cara Penularan HIV/AIDS
Virus HIV menular melalui enam cara penularan, yaitu :
a. Hubungan seksual dengan mengidap HIV/AIDS Hubungan
seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tampa
perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual
berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai
selaput lender vagina, penis, dubur, atau mulut sehingga HIV yang
terdapat dalam cairan tersebut masuk kealiran darah. Selama
berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur,
dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah
pasangan seksual (Syaiful, 2000).

24

b. Ibu dan bayinya
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in
utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan
HIV dari ibu ke bayi adalah 0.01% sampai 0,7%. Bila ibu baru
terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi
terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan kalau gejala AIDS
sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai 50%. Penularan
juga terjadi selama proses persalinan melalui transfusi fotomaternal
atau kontak antara kulit dan memberan mukosa bayi dengan darah
atau sekresi maternal saat melahirkan, semakin lama proses
melahirkan, semakin besar risiko penularan. Oleh karena itu, lama
persalinan bisa dipersingkatan dengan operasi

section caesaria.

Transmisi lain terjadi selam periode post partum melalui ASI. Resiko
bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10% (Lily V,
2004). Di negara-negara industri, transmisi HIV dari ibu ke janin
sebesar kira-kira 15 sampai 25%. Hal ini tergantung pada status
viremia ibu. Ada berbagai kemungkinan transmisi, tetapi infeksi
transplasenta dengan HIV selama atau segera sebelum kelahiran
tampaknya menjadi yang paling sering. Infeksi sering juga terjadi
selama berjalannya anak melalui jalan lahir ibu (HIV dalam lendir
leher rahim) Patterson BK, et al (2000).

25

c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Sangat cepat menularnya HIV karena Virus langsung ke
pembuluh darah dan menyebar keseluruh tubuh.
d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, dan alat-alat
lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang
terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak
terinfeksi bisa menularkan HIV.
e. Alat-alat untuk menoreh kulit
Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat
seseorang membuatato, dan sebagainya bisa menularkan HIV
sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih
dahulu.
f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian.
Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun
yang digunakan oleh para penguna narkoba (injecting Drug UserIDU) sangat berpotensi menular HIV. Selain jarum suntik, pada para
pemakai IDU secara bersama-sama juga menggunakan tempat
penyampuran, pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga
berpotensi tinggi untuk menularkan HIV (Nursalam, 2009).

26

Dokumen yang terkait

GAMBARAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PASIEN HIV/ AIDS DI RS PARU dr. ARIO WIRAWAN SALATIGA Gambaran Dukungan Keluarga Pada Pasien HIV/AIDS di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga.

1 9 13

GAMBARAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PASIEN HIV/ AIDS DI RS PARU dr. ARIO WIRAWAN SALATIGA Gambaran Dukungan Keluarga Pada Pasien HIV/AIDS di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga.

0 3 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Perawat Mengenai Perannya sebagai Educator Bagi Pasien dan Keluarga di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga T1 462008084 BAB II

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Respon Kedukaan Pasien Saat Terdiagnosa HIV Positif di Rumah Sakit Paru Dr Ario Wirawan Salatiga T1 462009004 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Respon Kedukaan Pasien Saat Terdiagnosa HIV Positif di Rumah Sakit Paru Dr Ario Wirawan Salatiga T1 462009004 BAB IV

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Respon Kedukaan Pasien Saat Terdiagnosa HIV Positif di Rumah Sakit Paru Dr Ario Wirawan Salatiga T1 462009004 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Respon Kedukaan Pasien Saat Terdiagnosa HIV Positif di Rumah Sakit Paru Dr Ario Wirawan Salatiga

0 1 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Respon Kedukaan Pasien Saat Terdiagnosa HIV Positif di Rumah Sakit Paru Dr Ario Wirawan Salatiga

0 0 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Pelaksanaan Metode Keperawatan Tim Di Ruang Dahlia Rumah Sakit Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga T1 462009032 BAB II

0 0 13

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor Penyebab MDR (Multi Drugs Resistance) pada Pasien TB di Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga T1 BAB II

0 0 15