T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Komunikasi Terapeutik terhadap Kecemasan Pasien Pre Sectio Caesarea di Rumah Sakit Panti Wilasa Dr. Cipto Semarang T1 BAB II
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sectio caesarea
Sectio Caesarea adalah sebuah bentuk melahirkan anak
dengan
melakukan
sebuah
irisan
pembedahan
yang
menembus abdomen seorang ibu (laparotomy) dan uterus
(hiskotomi) untuk mengeluarkan satu bayi atau lebih (Oxorn,
2010).
Menurut Norwitz (2008) bahwa bedah caesarea dilakukan
dengan indikasi: bedah caesarea relatif dan bergantung pada
penilaian penolong persalinan, adanya kegagalan proses
persalinan, dan disproporsi sefalopelvik absolut (cephalopelvic
disproportion, CPD) yaitu kondisi klinis ketika janin terlalu besar
dibandingkan dengan rongga tulang panggul.
Sementara itu, menurut Rasjidi (2009), indikasi persalinan
sectio caesarea diantaranya adalah: (1) indikasi mutlak yang
dibagi menjadi dua indikasi yaitu indikasi ibu (misalnya panggul
sempit absolut, kegagalan melahirkan secara normal karena
kurang kuatnya stimulasi, adanya tumor jalan lahir, stenosis
serviks, plasenta previa, disproporsi sefalopelvik, dan ruptur
uteri) dan indikasi janin (misalnya kelaianan otak, gawat janin,
prolapsus plasenta, perkembangan bayi yang terhambat, dan
10
11
mencegah hipoksia janin karena preeklamasi, (2) indikasi
relatif, antara lain: riwayat sectio caesarea sebelumnya,
presentasi bokong, distosia fetal distress, preeklamasi berat,
ibu dengan HIV positif sebelum inpartu atau gemeli, (3) indikasi
sosial,
misalnya:
berdasarkan
pengalaman
melahirkan
sebelumnya, takut bayinya mengalami cedera atau asfiksia
selama persalinan.
Bagi ibu yang melahirkan dengan tindakan sectio caesarea
tidak saja menimbulkan resiko medis tapi juga resiko
psikologis. Resiko medis Sectio Caesarea menurut Kasdu
(dalam Pratiwi dan Suwarti, 2013) antara lain: (1) infeksi rahim
dan bekas jahitan, dimana luka setelah caesar lebih besar dan
lebih berlapis-lapis. Bila penyembuhan tidak sempurna, kuman
lebih mudah menginfeksi sehingga luka bisa lebih parah, (2)
perdarahan, dimana darah yang hilang lewat sectio caesarea
dua kali lipat dibanding lewat persalinan normal. Kehilangan
darah yang cukup banyak mengakibatkan syok secara
mendadak, (3) resiko obat bius dimana sebagian bayi
mengalami efek dari obat bius yang diberikan doker kepada
ibunya saat caesarea. Setelah dilahirkan bayi biasanya menjadi
kurang aktif dan banyak tidur sebagai efek dari obat bius.
Sedangkan resiko psikologis Sectio Caesarea menurut
Kasdu (dalam Pratiwi dan Suwarti, 2013) antara lain: (1) baby
12
blues, biasanya berlangsung selama satu atau dua minggu
yang ditandai dengan perubahan suasana hati, kecemasan,
sulit tidur, konsentrasi menurun, (2) Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD) dimana 3% perempuan memiliki gejala klinis
PTSD pada 6 minggu setelah caesarea, (3) sulit pendekatan
kepada bayi, dimana Ibu yang melahirkan secara sectio
caesarea biasanya sulit dekat dengan bayinya. Bahkan jarang
bisa menyusui dibandingkan dengan melahirkan normal karena
rasa tidak nyaman akibat sectio caesarea.
2.2 Kecemasan
Terdapat sejumlah definisi mengenai kecemasan. Menurut
Hawari (2008) kecemasan adalah gangguan alam perasaan
(afektif) yang ditandai dengan perasaan takut atau khawatir
yang mendalam dan berkelanjutan namun tetap realistis,
kepribadian tetap utuh, perilaku dapat terganggu tetapi masih
dalam batas normal.
Kecemasan juga didefinisikan sebagai
respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak
diketahui, internal, samar atau konfliktual (Kaplan & Saddock,
dalam Pratiwi dan Suwarti, 2013).
13
Kecemasan
merupakan
suatu
perasaan
subjektif
mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai
reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah
atau tidak adanya rasa mengatasi suatu masalah atau tidak
adanya rasa aman.
Perasaan yang tidak menentu tersebut
pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan
menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis
(Rochman, 2010). Berdasarkan penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa kecemasan adalah perasaan tidak menentu
terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui yang
dikaitkan dengan berbagai reaksi stres psikologis.
Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu
dan sebagian besar tergantung pada seluruh pengalaman
hidup seseorang. Peristiwa-peristiwa atau situasi khusus dapat
mempercepat
munculnya sarangan kecemasan.
Menurut
Daradjat (dalam Rochman, 2010) mengemukakan beberapa
penyebab kecemasan yaitu:
a. Rasa cemas yang timbul akibat melihatnya adanya bahaya
yang mengancam dirinya. Kecemasan ini lebih dekat
dengan rasa takut, karena sumbernya terlihat jelas dalam
pikiran.
b. Cemas atau merasa dosa atau bersalah, karena melakukan
hal-hal yang berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani.
14
Kecemasan
ini
sering
pula
menyertai
gejala-gejala
gangguan mental, yang kadang-kadang terlihat dalam
bentuk yang umum.
c. Kecemasan yang berupa penyakit dan terlihat dalam
beberapa bentuk. Kecemasan ini disebabkan oleh hal yang
tidak jelas dan tidak berhubungan dengan apapun yang
terkadang
disertai
dengan
perasaan
takut
yang
mempengaruhi keseluruhan kepribadian penderitanya.
Kecemasan
memiliki
sejumlah
gejala-gejala,
seperti
dikemukakan oleh Darajat (dalam Pratiwi dan Suwarti, 2013)
yang mengklasifikasikan gejala kecemasan sebagai berikut:
1. Gejala fisik (fisiologis), yaitu kecemasan yang sudah
mempengaruhi atau terwujud pada gejala-gejala fisik,
terutama pada fungsi sistem saraf. Ciri-cirinya yaitu ujung
jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, detak jantung
cepat, keringat bercucuran, tekanan darah meningkat, tidur
tidak nyenyak, nafsu makan hilang, kepala pusing, nafas
sesak dan mudah lelah.
2. Gejala mental (psikologis), yaitu kecemasan sebagai gejalagejala kejiwaan. Ciri-cirinya adalah takut, tegang, bingung,
khawatir, tidak dapat memusatkan perhatian, tidak bedaya,
rendah hati, tidak tentram, ingin lari dari kenyataan hidup,
15
perubahan emosi, turunnya kepercayaan diri, tidak ada
motivasi, gelisah, takut dan tegang.
Sedangkan menurut Carpenito (dalam Kusumawati, 2010),
sindrom kecemasan bervariasi tergantung dengan tingkat
kecemasan yang dialami seseorang dimana manifestasi
gejalanya terdiri atas kategori:
1.
Gejala fisiologis
Peningkatan
frekuensi
nadi,
tekanan
darah,
nafas,
diaforesis (berkeringat), gemetar, mual, kadang sampai
muntah, sering BAK atau BAB, kadang sampai diare,
insomnia, kelelahan dan kelemahan, kemerahan atau
pucat pada wajah, mulut kering, nyeri khususnya dada,
pinggang, leher, gelisah, pingsan, pusing, rasa panas
dingin.
2.
Gejala emosional
Individu merasa ketakutan dan ketidakberdayaan, gugup,
kehilangan proyeksi diri, tegang, tidak dapat rileks, individu
juga memperlihatkan peka terhadap rangsangan, tidak
sabar, mudah marah, mudah menangis, cenderung
menyalahkan orang lain, mengkritik diri sendiri dan orang
lain, menarik diri, kurang inisiatif, dan mengutuk diri sendiri.
16
3.
Gejala kognitif
Tidak
mampu
berkonsentrasi,
kurangnya
orientasi
lingkungan, pelupa, termenung, orientasi pada masa lalu
dari saat ini dan yang akan datang, memblok pikiran atau
ketidak mampuan untuk mengingat, dan perhatian yang
berlebihan.
Kecemasan dalam penelitian ini dikaitkan dengan sectio
caesarea yang akan dihadapi oleh seorang pasien yang
hendak menjalani proses melahirkan. Kecemasan pasien pre
sectio caesare
merupakan kecemasan yang spesifik yakni
kekhawatiran terhadap prosedur operasi, prosedur anestesi,
defisit informasi atau kesalah pahaman konsep, kekhawatiran
tentang masalah finansial keluarga, kekhawatiran terhadap diri
dan bayi yang akan dilahirkannya (Gant & Cunningham, 2010).
2.3 Komunikasi Terapeutik
Terdapat sejumlah definisi mengenai komunikasi terapeutik
yang selanjutnya dirangkum oleh penulis sebagai berikut:
komunikasi terapeutik adalah suatu interaksi interpersonal
antara perawat dan pasien yang direncanakan secara sadar
sehingga terjadi pertukaran informasi yang efektif, dimana
selama interaksi berlangsung perawat berfokus pada kebutuhan
pasien guna kesembuhan pasien (Videbeck, 2008).
17
Komunikasi terapeutik bertujuan untuk mengembangkan
pribadi pasien ke arah yang lebih positif atau adaptif dan
diarahkan pada pertumbuhan pasien yang meliputi: (1) realisasi
diri, penerimaan diri, dan peningkatan penghormatan diri, (2)
kemampuan membina hubungan interpersonal dan saling
bergantung dengan orang lain, (3) peningkatan fungsi dan
kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai
tujuan yang realistis, (4) rasa identitas personal yang jelas dan
peningkatan integritas diri (Surlia, 2014).
Sementara itu, menurut Indrawati dkk (dalam Kasana, 2014)
bahwa tujuan komunikasi terapeutik adalah untuk membantu
pasien yaitu mengurangi beban perasaan dan pikiran serta
dapat mengambil tindakan yang efektif untuk pasien, membantu
mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri.
Sedangkan manfaat dari komunikasi terapeutik adalah untuk
mendorong dan menganjurkan kerja sama antara perawat dan
pasien melalui hubungan perawat-pasien, mengidentifikasi dan
mengungkap perasaan serta mengkaji masalah dan juga
mengevaluasi tindakan yang dilakukan perawat, memberikan
pengertian tingkah laku perawat dan membantu pasien
mengatasi masalah yang dihadapi, dan mencegah tindakan
yang negatif terhadap pertahanan diri pasien.
18
Ada tiga hal mendasar yang memberi ciri-ciri komunikasi
terapeutik yaitu sebagai berikut (Taufik dan Juliane, 2010): (1)
ikhlas (genuineness) dimana semua perasaan negatif yang
dimiliki oleh pasien baru bisa diterima dan pendekatan individu
dengan verbal maupun non verbal akan memberikan bantuan
kepada pasien untuk mengkomunikasikan kondisinya secara
tepat, (2) empati (empathy) yang meliputi sikap jujur dalam
menerima kondisi pasien, obyektif dalam memberikan penilaian
terhadap kondisi pasien dan tidak berlebihan, (3) hangat
(warmth) sehingga pasien bisa mengekspresikan perasaannya
lebih mendalam. Ada beberapa prinsip komunikasi terapeutik
menurut Priyanto (2009) yaitu : klien (dalam hal ini pasien)
harus merupakan fokus utama dari interaksi, tingkah laku
professional mengatur hubungan terapeutik, hubungan sosial
dengan klien harus dihindari, kerahasiaan klien harus dijaga,
kompetensi
intelektual
harus
dikaji
untuk
menentukan
pemahaman, memelihara interaksi yang tidak menilai dan
hindari membuat penilaian tentang tingkah laku klien dan
memberi
nasehat,
memberi
petunjuk
klien
untuk
menginterpretasikan kembali pengalamannya secar rasional,
telusuri interaksi verbal klien melalui statemen klarifikasi dan
hindari perubahan subyek/topik jika perubahan isi topik tidak
merupakan sesuatu yang sangat menarik klien, implementasi
19
intervensi
berdasarkan
teori,
dan
membuka
diri
hanya
digunakan hanya pada saat membuka diri mempunyai tujuan
terapeutik.
2.4
Pengaruh
Komunikasi
Terapeutik
terhadap
Tingkat
Kecemasan Pasien Pre Sectio Caesarea
Operasi atau pembedahan merupakan masa kritis dan
menghasilkan kecemasan. Menurut Taylor (dalam Liza dkk,
2014) bahwa kecemasan dapat dikurangi dengan tindakan
keperawatan yang berfokus pada komunikasi terapeutik
terutama bagi pasien selain keluarganya.
Kemampuan
komunikasi terapeutik penting dalam mengidentifikasi dan
mengatasi kecemasan pasien preoperasi. Hal ini sesuai
pendapat Warsini dkk (2015) bahwa salah satu faktor yang
dapat menurunkan tingkat kecemasan pasien pre-operasi yaitu
dengan memberikan komunikasi terapeutik kepada pasien
tersebut. Pasien adalah individu dengan kebutuhan perasaan,
dan keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik,
dimana perawat memiliki peran yang cukup penting dalam
mempengaruhi,
komunikasi.
menurunkan
kecemasan
melalui
proses
20
2.5 Kerangka Konseptual
Berdasarkan uraian tinjauan pustaka di atas maka dapat
dibuat kerangka konseptual seperti tampak pada gambar 1
berikut ini.
Gambar 1. Kerangka Konseptual
Stressor (resiko
Sectio Caesarea)
Mekanisme koping
maladaptif/ adaptif
Kecemasan
pre sectio caesarea
Komunikasi
terapeutik
Gambar 1 di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
persalinan dengan cara sectio caesarea dapat mengakibatkan
berbagai resiko bagi si ibu seperti infeksi rahim dan bekas
jahitan, pendarahan dan resiko obat bius. Adanya berbagai
kemungkinan resiko tersebut, tentunya akan menimbulkan
kecemasan pre sectio caesarea. Dengan adanya berbagai
resiko tersebut maka diperlukan mekanisme koping yaitu cara
yang dilakukan oleh individu dalam menyelesaiakan masalah,
menyesuaikan diri terhadap perubahan, respon terhadap
situasi yang mengancam. Mekanism koping dapat digolongkan
21
kedalam mekanisme koping aditif (yang mendukung fungsi
integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan) dan
maladaptif (yang menghambat fungsi integrasi, memecah
pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai
lingkungan).
Dalam
melaksanakan
mekanisme
koping
diperlukan komunikasi terapeutik yang ditujukan
untuk
mengurangi kecemasan pasien pre sectio caesarea.
2.6 Hipotesis
Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
H0: komunikasi terapeutik tidak mempunyai pengaruh terhadap
kecemasan pasien pre sectio caesarea
H1: komunikasi terapeutik mempunyai pengaruh negatif
terhadap kecemasan pasien pre sectio caesarea
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sectio caesarea
Sectio Caesarea adalah sebuah bentuk melahirkan anak
dengan
melakukan
sebuah
irisan
pembedahan
yang
menembus abdomen seorang ibu (laparotomy) dan uterus
(hiskotomi) untuk mengeluarkan satu bayi atau lebih (Oxorn,
2010).
Menurut Norwitz (2008) bahwa bedah caesarea dilakukan
dengan indikasi: bedah caesarea relatif dan bergantung pada
penilaian penolong persalinan, adanya kegagalan proses
persalinan, dan disproporsi sefalopelvik absolut (cephalopelvic
disproportion, CPD) yaitu kondisi klinis ketika janin terlalu besar
dibandingkan dengan rongga tulang panggul.
Sementara itu, menurut Rasjidi (2009), indikasi persalinan
sectio caesarea diantaranya adalah: (1) indikasi mutlak yang
dibagi menjadi dua indikasi yaitu indikasi ibu (misalnya panggul
sempit absolut, kegagalan melahirkan secara normal karena
kurang kuatnya stimulasi, adanya tumor jalan lahir, stenosis
serviks, plasenta previa, disproporsi sefalopelvik, dan ruptur
uteri) dan indikasi janin (misalnya kelaianan otak, gawat janin,
prolapsus plasenta, perkembangan bayi yang terhambat, dan
10
11
mencegah hipoksia janin karena preeklamasi, (2) indikasi
relatif, antara lain: riwayat sectio caesarea sebelumnya,
presentasi bokong, distosia fetal distress, preeklamasi berat,
ibu dengan HIV positif sebelum inpartu atau gemeli, (3) indikasi
sosial,
misalnya:
berdasarkan
pengalaman
melahirkan
sebelumnya, takut bayinya mengalami cedera atau asfiksia
selama persalinan.
Bagi ibu yang melahirkan dengan tindakan sectio caesarea
tidak saja menimbulkan resiko medis tapi juga resiko
psikologis. Resiko medis Sectio Caesarea menurut Kasdu
(dalam Pratiwi dan Suwarti, 2013) antara lain: (1) infeksi rahim
dan bekas jahitan, dimana luka setelah caesar lebih besar dan
lebih berlapis-lapis. Bila penyembuhan tidak sempurna, kuman
lebih mudah menginfeksi sehingga luka bisa lebih parah, (2)
perdarahan, dimana darah yang hilang lewat sectio caesarea
dua kali lipat dibanding lewat persalinan normal. Kehilangan
darah yang cukup banyak mengakibatkan syok secara
mendadak, (3) resiko obat bius dimana sebagian bayi
mengalami efek dari obat bius yang diberikan doker kepada
ibunya saat caesarea. Setelah dilahirkan bayi biasanya menjadi
kurang aktif dan banyak tidur sebagai efek dari obat bius.
Sedangkan resiko psikologis Sectio Caesarea menurut
Kasdu (dalam Pratiwi dan Suwarti, 2013) antara lain: (1) baby
12
blues, biasanya berlangsung selama satu atau dua minggu
yang ditandai dengan perubahan suasana hati, kecemasan,
sulit tidur, konsentrasi menurun, (2) Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD) dimana 3% perempuan memiliki gejala klinis
PTSD pada 6 minggu setelah caesarea, (3) sulit pendekatan
kepada bayi, dimana Ibu yang melahirkan secara sectio
caesarea biasanya sulit dekat dengan bayinya. Bahkan jarang
bisa menyusui dibandingkan dengan melahirkan normal karena
rasa tidak nyaman akibat sectio caesarea.
2.2 Kecemasan
Terdapat sejumlah definisi mengenai kecemasan. Menurut
Hawari (2008) kecemasan adalah gangguan alam perasaan
(afektif) yang ditandai dengan perasaan takut atau khawatir
yang mendalam dan berkelanjutan namun tetap realistis,
kepribadian tetap utuh, perilaku dapat terganggu tetapi masih
dalam batas normal.
Kecemasan juga didefinisikan sebagai
respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak
diketahui, internal, samar atau konfliktual (Kaplan & Saddock,
dalam Pratiwi dan Suwarti, 2013).
13
Kecemasan
merupakan
suatu
perasaan
subjektif
mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai
reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah
atau tidak adanya rasa mengatasi suatu masalah atau tidak
adanya rasa aman.
Perasaan yang tidak menentu tersebut
pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan
menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis
(Rochman, 2010). Berdasarkan penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa kecemasan adalah perasaan tidak menentu
terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui yang
dikaitkan dengan berbagai reaksi stres psikologis.
Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu
dan sebagian besar tergantung pada seluruh pengalaman
hidup seseorang. Peristiwa-peristiwa atau situasi khusus dapat
mempercepat
munculnya sarangan kecemasan.
Menurut
Daradjat (dalam Rochman, 2010) mengemukakan beberapa
penyebab kecemasan yaitu:
a. Rasa cemas yang timbul akibat melihatnya adanya bahaya
yang mengancam dirinya. Kecemasan ini lebih dekat
dengan rasa takut, karena sumbernya terlihat jelas dalam
pikiran.
b. Cemas atau merasa dosa atau bersalah, karena melakukan
hal-hal yang berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani.
14
Kecemasan
ini
sering
pula
menyertai
gejala-gejala
gangguan mental, yang kadang-kadang terlihat dalam
bentuk yang umum.
c. Kecemasan yang berupa penyakit dan terlihat dalam
beberapa bentuk. Kecemasan ini disebabkan oleh hal yang
tidak jelas dan tidak berhubungan dengan apapun yang
terkadang
disertai
dengan
perasaan
takut
yang
mempengaruhi keseluruhan kepribadian penderitanya.
Kecemasan
memiliki
sejumlah
gejala-gejala,
seperti
dikemukakan oleh Darajat (dalam Pratiwi dan Suwarti, 2013)
yang mengklasifikasikan gejala kecemasan sebagai berikut:
1. Gejala fisik (fisiologis), yaitu kecemasan yang sudah
mempengaruhi atau terwujud pada gejala-gejala fisik,
terutama pada fungsi sistem saraf. Ciri-cirinya yaitu ujung
jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, detak jantung
cepat, keringat bercucuran, tekanan darah meningkat, tidur
tidak nyenyak, nafsu makan hilang, kepala pusing, nafas
sesak dan mudah lelah.
2. Gejala mental (psikologis), yaitu kecemasan sebagai gejalagejala kejiwaan. Ciri-cirinya adalah takut, tegang, bingung,
khawatir, tidak dapat memusatkan perhatian, tidak bedaya,
rendah hati, tidak tentram, ingin lari dari kenyataan hidup,
15
perubahan emosi, turunnya kepercayaan diri, tidak ada
motivasi, gelisah, takut dan tegang.
Sedangkan menurut Carpenito (dalam Kusumawati, 2010),
sindrom kecemasan bervariasi tergantung dengan tingkat
kecemasan yang dialami seseorang dimana manifestasi
gejalanya terdiri atas kategori:
1.
Gejala fisiologis
Peningkatan
frekuensi
nadi,
tekanan
darah,
nafas,
diaforesis (berkeringat), gemetar, mual, kadang sampai
muntah, sering BAK atau BAB, kadang sampai diare,
insomnia, kelelahan dan kelemahan, kemerahan atau
pucat pada wajah, mulut kering, nyeri khususnya dada,
pinggang, leher, gelisah, pingsan, pusing, rasa panas
dingin.
2.
Gejala emosional
Individu merasa ketakutan dan ketidakberdayaan, gugup,
kehilangan proyeksi diri, tegang, tidak dapat rileks, individu
juga memperlihatkan peka terhadap rangsangan, tidak
sabar, mudah marah, mudah menangis, cenderung
menyalahkan orang lain, mengkritik diri sendiri dan orang
lain, menarik diri, kurang inisiatif, dan mengutuk diri sendiri.
16
3.
Gejala kognitif
Tidak
mampu
berkonsentrasi,
kurangnya
orientasi
lingkungan, pelupa, termenung, orientasi pada masa lalu
dari saat ini dan yang akan datang, memblok pikiran atau
ketidak mampuan untuk mengingat, dan perhatian yang
berlebihan.
Kecemasan dalam penelitian ini dikaitkan dengan sectio
caesarea yang akan dihadapi oleh seorang pasien yang
hendak menjalani proses melahirkan. Kecemasan pasien pre
sectio caesare
merupakan kecemasan yang spesifik yakni
kekhawatiran terhadap prosedur operasi, prosedur anestesi,
defisit informasi atau kesalah pahaman konsep, kekhawatiran
tentang masalah finansial keluarga, kekhawatiran terhadap diri
dan bayi yang akan dilahirkannya (Gant & Cunningham, 2010).
2.3 Komunikasi Terapeutik
Terdapat sejumlah definisi mengenai komunikasi terapeutik
yang selanjutnya dirangkum oleh penulis sebagai berikut:
komunikasi terapeutik adalah suatu interaksi interpersonal
antara perawat dan pasien yang direncanakan secara sadar
sehingga terjadi pertukaran informasi yang efektif, dimana
selama interaksi berlangsung perawat berfokus pada kebutuhan
pasien guna kesembuhan pasien (Videbeck, 2008).
17
Komunikasi terapeutik bertujuan untuk mengembangkan
pribadi pasien ke arah yang lebih positif atau adaptif dan
diarahkan pada pertumbuhan pasien yang meliputi: (1) realisasi
diri, penerimaan diri, dan peningkatan penghormatan diri, (2)
kemampuan membina hubungan interpersonal dan saling
bergantung dengan orang lain, (3) peningkatan fungsi dan
kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai
tujuan yang realistis, (4) rasa identitas personal yang jelas dan
peningkatan integritas diri (Surlia, 2014).
Sementara itu, menurut Indrawati dkk (dalam Kasana, 2014)
bahwa tujuan komunikasi terapeutik adalah untuk membantu
pasien yaitu mengurangi beban perasaan dan pikiran serta
dapat mengambil tindakan yang efektif untuk pasien, membantu
mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri.
Sedangkan manfaat dari komunikasi terapeutik adalah untuk
mendorong dan menganjurkan kerja sama antara perawat dan
pasien melalui hubungan perawat-pasien, mengidentifikasi dan
mengungkap perasaan serta mengkaji masalah dan juga
mengevaluasi tindakan yang dilakukan perawat, memberikan
pengertian tingkah laku perawat dan membantu pasien
mengatasi masalah yang dihadapi, dan mencegah tindakan
yang negatif terhadap pertahanan diri pasien.
18
Ada tiga hal mendasar yang memberi ciri-ciri komunikasi
terapeutik yaitu sebagai berikut (Taufik dan Juliane, 2010): (1)
ikhlas (genuineness) dimana semua perasaan negatif yang
dimiliki oleh pasien baru bisa diterima dan pendekatan individu
dengan verbal maupun non verbal akan memberikan bantuan
kepada pasien untuk mengkomunikasikan kondisinya secara
tepat, (2) empati (empathy) yang meliputi sikap jujur dalam
menerima kondisi pasien, obyektif dalam memberikan penilaian
terhadap kondisi pasien dan tidak berlebihan, (3) hangat
(warmth) sehingga pasien bisa mengekspresikan perasaannya
lebih mendalam. Ada beberapa prinsip komunikasi terapeutik
menurut Priyanto (2009) yaitu : klien (dalam hal ini pasien)
harus merupakan fokus utama dari interaksi, tingkah laku
professional mengatur hubungan terapeutik, hubungan sosial
dengan klien harus dihindari, kerahasiaan klien harus dijaga,
kompetensi
intelektual
harus
dikaji
untuk
menentukan
pemahaman, memelihara interaksi yang tidak menilai dan
hindari membuat penilaian tentang tingkah laku klien dan
memberi
nasehat,
memberi
petunjuk
klien
untuk
menginterpretasikan kembali pengalamannya secar rasional,
telusuri interaksi verbal klien melalui statemen klarifikasi dan
hindari perubahan subyek/topik jika perubahan isi topik tidak
merupakan sesuatu yang sangat menarik klien, implementasi
19
intervensi
berdasarkan
teori,
dan
membuka
diri
hanya
digunakan hanya pada saat membuka diri mempunyai tujuan
terapeutik.
2.4
Pengaruh
Komunikasi
Terapeutik
terhadap
Tingkat
Kecemasan Pasien Pre Sectio Caesarea
Operasi atau pembedahan merupakan masa kritis dan
menghasilkan kecemasan. Menurut Taylor (dalam Liza dkk,
2014) bahwa kecemasan dapat dikurangi dengan tindakan
keperawatan yang berfokus pada komunikasi terapeutik
terutama bagi pasien selain keluarganya.
Kemampuan
komunikasi terapeutik penting dalam mengidentifikasi dan
mengatasi kecemasan pasien preoperasi. Hal ini sesuai
pendapat Warsini dkk (2015) bahwa salah satu faktor yang
dapat menurunkan tingkat kecemasan pasien pre-operasi yaitu
dengan memberikan komunikasi terapeutik kepada pasien
tersebut. Pasien adalah individu dengan kebutuhan perasaan,
dan keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik,
dimana perawat memiliki peran yang cukup penting dalam
mempengaruhi,
komunikasi.
menurunkan
kecemasan
melalui
proses
20
2.5 Kerangka Konseptual
Berdasarkan uraian tinjauan pustaka di atas maka dapat
dibuat kerangka konseptual seperti tampak pada gambar 1
berikut ini.
Gambar 1. Kerangka Konseptual
Stressor (resiko
Sectio Caesarea)
Mekanisme koping
maladaptif/ adaptif
Kecemasan
pre sectio caesarea
Komunikasi
terapeutik
Gambar 1 di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
persalinan dengan cara sectio caesarea dapat mengakibatkan
berbagai resiko bagi si ibu seperti infeksi rahim dan bekas
jahitan, pendarahan dan resiko obat bius. Adanya berbagai
kemungkinan resiko tersebut, tentunya akan menimbulkan
kecemasan pre sectio caesarea. Dengan adanya berbagai
resiko tersebut maka diperlukan mekanisme koping yaitu cara
yang dilakukan oleh individu dalam menyelesaiakan masalah,
menyesuaikan diri terhadap perubahan, respon terhadap
situasi yang mengancam. Mekanism koping dapat digolongkan
21
kedalam mekanisme koping aditif (yang mendukung fungsi
integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan) dan
maladaptif (yang menghambat fungsi integrasi, memecah
pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai
lingkungan).
Dalam
melaksanakan
mekanisme
koping
diperlukan komunikasi terapeutik yang ditujukan
untuk
mengurangi kecemasan pasien pre sectio caesarea.
2.6 Hipotesis
Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
H0: komunikasi terapeutik tidak mempunyai pengaruh terhadap
kecemasan pasien pre sectio caesarea
H1: komunikasi terapeutik mempunyai pengaruh negatif
terhadap kecemasan pasien pre sectio caesarea