HUKUM UDARA DAN ANGKASA
HUKUM UDARA DAN
ANGKASA
PENGANTAR HUKUM
UDARA
Pengertian Hukum Udara
E.
Suherman
◦ Hukum udara adalah keseluruhan
ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur ruang udara dan penggunaannya
untuk keperluan penerbangan.
Verschoor
◦ Hukum udara (air law) sebagai hukum dan
regulasi yang mengatur penggunaan ruang
udara yang bermanfaat bagi penerbangan,
kepentingan umum dan bangsa-bangsa di
dunia
Pembagian Hukum Udara
Sejarah
Zaman
Romawi
◦ Hukum Udara (dalam arti hukum yg
mengatur obyek udara) telah dikenal
dengan prinsip “Cuius est solum,
eius est usque ad coelum” siapa
yang memiliki tanah, memiliki juga
udara diatasnya sampai ke langit”.
Masa
kini
◦ Hukum yang sebagian besar
mengatur penerbangan dan
angkutan udara.
Masih muda karena mulai tumbuh di
awal abad ke-20 setelah Wright
bersaudara (1903)
berhasil terbang dg sebuah pesawat
yang lebih berat dari udara.
Peraturan
awal hukum udara
◦ Lenoir seorang Pejabat Kepolisian
Paris pada tahun 1784 membuat peraturan
berupa, Larangan penerbangan dengan balon udara
tanpa izin.
Peraturan
pertama mengenai keselamatan
penerbangan
◦ Count d’Angles seorang Kepala Polisi Seine pada
tahun 1819 membuat peraturan berupa,
Pengharusan balon udara dilengkapi dengan
parasut dan melarang percobaan dengan balon
udara selama musim panen.
Sebelum
PD I
◦ Perdebatan mengenai kedaulatan di
ruang udara. Ada dua pendapat
yaitu:
Ruang udara bebas
Negara masing2 berdaulat di ruang
udara di atasnya
◦ Perjanjian Paris 1919 dan chicago
menganut prinsip kedaulatan
negara.
Setelah
PD I
◦ 12 oktober 1929 ditandatangani konvensi
Warsawa tentang dokumen-dokumen
angkutan dan tanggung jawab pengangkut
◦ 1933 di Roma ditandatangani perj tentang
tanggung jawab pemakai pesawat terbang
asing terhadap kerugian yg ditimbulkan oleh
pihak III di darat, diperbaharui oleh Perjanjian
Roma 1952
◦ Perj Chicago 1944 dalam bidang hukum udara
publik merupakan konstitusi dari pengaturan
kegiatan penerbangan dan angkutan udara.
Peranan Badan Internasional dalam
perkembangan hukum udara
Internastional
Civil Aviation
Organization (ICAO)
◦ Panitia hukum yang bertugas
membahas masalah hukum dan
memperiapkan konfrensi
intrenasional mengenai hukum
udara.
International
Air Transport Association
(IATA)
◦ IATA beranggotakan perusahaan
penerbangan dari berbagai negara.
◦ Panitia hukum IATA bertugas utk meneliti
dan mengembangkan hukum udara yang
bersifat seragam khususnya tentang syarat
perjanjian pengangkutan udara yang
berlaku internasional
◦ Pendapat IATA dihargai oleh ICAO
◦ IATA hadir sebagai peninjau dalam konfrensi
mengenao hukum udara
Sumber-sumber hukum
udara
1. Multilateral
Sumber hukum udara perdata:
Perjanjian warsawa 1929 -->dokumen angkutan dan tanggung jawab
pengangkut
Perjanjian geneva 1948 --> hipotik pesawat udara
Perjanjian roma 1952 --> prinsip tanggung jawab (diluar perj
warsawa) dan asuransi wajib
Perjanjian Hague 1955 --> amandemen perj warsawa mengenai
ganti rugi
Perjanjian guadalajara 1961 --> pelengkap perj warsawa, yang
memberlakukan perj. Warsawa kepada pihak yang bukan merupakan
pihak yang mengadakan perjanjian angkutan.
Perjanjian montreal 1966 --> biaya ganti rugi yg kemudian diadopsi
oleh protokol guatemala
Protokol guatemala 1971 --> tanggung jawab mutlak pengangkut,
limit ganti rugi. Tanggung jawab thd barang menggunakan perj
warsawa, sedangkan utk bagasi baik tercatat atau tidak
menggunakan sistem tanggung jawab yang sama dengan
penumpang.
Sumber hukum udara publik
Konvensi Paris 1919
Konvensi chicago 1944
Konvensi Tokyo 1963 --> tindak pidana dlm hukum udara
internasional
Konvensi Den Haag 1970 --> pembajakan pesawat udara
(hijacking)
Konvensi Montreal 1971--> pemberantasan tindakan melawan
hukum terhadap keselamatan penerbangan sipil
Deklarasi Bonn 1978 --> pembajakan udara
Protokol Montreal 1988 --> pelengkap Konvensi Montreal 1971
Konvensi Montreal 1991 --> kewajiban negara anggota untuk
mengambil langkah-langkah yang diperlukan utk melarang
dan mencegah pembuatan bahan peledak yang tidak diberi
tanda
2. Bilateral air transport agreement
Perjanjian
angkutan udara
internasional timbal balik.
◦ Indonesia mempunyai +/_ 67
perjanjian transportasi udara
internasional dengan beberapa
negara asing.
3. Hukum kebiasaan
internasional
Berdasarkan
Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah
Internasional, hukum kebiasaan internasional
dapat menjadi sumber hukum udara
internasional.
contoh
◦ Pasal 1 Konv Paris 1999 --> negara memiliki
kedaulatan penuh dan absolut terhadap ruang udara
di atas laut teritorialnya. Isi pasal ini diakomodasi dlm
Konv Havana 1928 dan Pasal 1 konv Chicago
◦ Penerapan Air Defence Identification Zone (ADIZ)
oleh Amerika Serikat yang diikuti juga oleh Canada
ADIZ --> penunjukan ruang udara khusus dimensi tertentu
dimana semua pesawat udara harus mematuhi identifikasi
khusus atau persyaratan tambahan menyangkut lintas udara.
4. Prinsip-prinsip hukum
umum
Pasal
38 (1) Piagam Mahkamah
Internasional
1. Prinsip bonafide atau good faith (itikad
baik)
2. Pacta sunt servanda (perjanjian
mengikat para pihak)
3. Abus de droit ( suatu hak tidak boleh
disalah gunakan)
4. Nebis in idem (perkara yang sama tidak
dapat diajukan lagi ke pengadilan lebih
dari sekali)
5. Ajaran hukum
Ditemui
dalam sistem Common law
pemindahan resiko dari korban (injured people)
kepada pelaku (actor).
◦ Perusahaan penerbangan (actor) bertanggung jawab
terhadap kerugian yang diderita oleh korban (injured
people)
Bela
diri
suatu tindakan disebut bela diri apabila
tindakan tersebut seimbang dengan ancaman yang
dihadapi.
◦ Penerapannya
pesawat udara sipil tidak dilengkapi
persenjataan karenatidak ada ancaman yang
membahayakan. Pesawat udara sipil mengutamakan
keselamatan (safety first) terhadap penumpang, awak
pesawat udara, pesawat udara itu sendiri, barang yang
diangkut.
6. Yurisprudensi
Berdasarkan
Pasal 38 (1) Piagam
Mahkamah Internasional
Contoh:
1. Kasus Ny. Oswald vs. Garuga
Indonesia Airways --> ganti rugi
non fisik
2. Kasus penduduk cengkareng vs.
Japan Airlines --> tanggung jawab
hukum pihak ke tiga.
KEDAULATAN DI RUANG
UDARA
Prinsip kedaulatan Negara dan
yursidiksi Negara di ruang udara
Teori kepemilikan ruang
udara
1. The Air Freedom Theory
◦ udara karena sifat yang dimilikinya, ia
menjadi bebas (by its nature is free).
◦ Teori yang pertama ini dapat
dikelompokan menjadi :
1. Kebebasan ruang udara tanpa batas
2. Kedaulatan ruang udara yang dilekati
beberapa hak khusus negara kolong, dan
3. Kebebasan ruang udara, tetapi diadakan
semacam wilayah territorial di daerah
dimana hak -hak tertentu negara kolong
dapat dilaksanakan
2. The Air Sovereignty Theory
◦ udara itu tidak bebas, sehingga negara
berdaulat terhadap ruang udara di atas
wilayah negaranya.
◦ Teori ini dapat dikelompokan menjadi :
1. Negara kolong berdaulat penuh hanya
terhadap satu ketinggian tertentu di ruang
udara.
2. Negara kolong berdaulat penuh, tetapi
dibatasi oleh hak lintas damai bagi navigasi
pesawat -pesawat udara asing, dan
3. Negara kolong berdaulat penuh tanpa batas.
Kedaulatan negara di ruang
udara
Pasal
33 UUD 1945 ayat (3) yang menyatakan, bahwa
“bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
lahir “hak menguasai oleh negara” atas sumber daya alam
yang ada di bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya (termasuk udara) dan penguasaan tersebut
memberikan kewajiban kepada negara untuk digunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Makna dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut bahwa
ruang udara sebagaimana penjelasan sebelumnya
merupakan sumber daya alam yang dikuasai negara.
memberikan arti kewenangan sebagai organisasi atau
lembaga negara untuk mengatur dan mengawasi
penggunannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Kedaulatan teritorial
Disamping
Kedaulatan di wilayah
darat dan laut, Negara dalam
hukum internasional memiliki
kedaulatan di wilayah udara
Instrumen internasional yang
mengakui wilayah Negara di
ruang udara saat ini adalah
Convention on International Civil
Aviation 1944 atau yang lebih
dikenal dengan Chicago
Convention
Kedaulatan negara menurut
Konv Chicago
Pasal
1 Conv Chicago:
◦ dinyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan
yang utuh dan penuh (complete and exclusive
souvereignity) atas ruang udara atas wilayah
kedaulatannya.
Dari
Pasal tersebut memberikan pandangan bahwa
perwujudan dari kedaulatan yang penuh dan utuh
atas ruang udara di atas wilayah teritorial, adalah :
1. setiap negara berhak mengelola dan mengendalikan
secara penuh dan utuh atas ruang udara nasionalnya;
2. tidak satupun kegiatan atau usaha di ruang udara
nasional tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu atau
sebagaimana telah diatur dalam suatu perjanjian udara
antara negara dengan negara lain baik secara bilateral
maupun multilateral.
Kedaulatan negara menurut UU
Nomor 1 Tahun 2009 ttg Penerbangan
Pasal
1 UU No 1 th 2009
◦ Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di
atas wilayah daratan dan perairan Indonesia.
Pasal
5
◦ Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh
dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia.
Pasal
6
◦ Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara
atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan
tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk
kepentingan penerbangan, perekonomian nasional,
pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya,
serta lingkungan udara.
Dampak kedaulatan negara di
ruang udara
Setiap
pesawat udara yang
memasuki wilayah udara negara
lain harus memperoleh izin
Bila izin tidak diperoleh maka
dianggap sebagai pelanggaran
wilayah udara nasional
Terhadap pelanggar dapat
dikenakan sanksi, termasuk
menurunkan secara paksa
pesawat hingga menembak jatuh
Izin
ini juga dapat dikomersialkan
oleh Negara terhadap pesawat
udara dari Negara lain yang
mengangkut penumpang dan
barang (traffic purposes)
Izin dapat diberikan di depan dan
dituangkan dalam perjanjian
internasional yang disebut
sebagai Bilateral Air Agreement
Kewenangan
menetapkan kawasan udara terlarang dan terbatas
merupakan kewenangan dari setiap negara berdaulat untuk
mengatur penggunaan wilayah udaranya, dalam rangka
keselamatan masyarakat luas, keselamatan penerbangan,
perekonomian nasional, lingkungan hidup, serta pertahanan dan
keamanan.
Yang
dimaksud dengan “kawasan udara terlarang (prohibited
area)” adalah kawasan udara dengan pembatasan yang bersifat
permanen dan menyeluruh bagi semua pesawat udara.
Pembatasan hanya dapat ditetapkan di dalam wilayah udara
Indonesia, sebagai contoh instalasi nuklir atau istana Presiden.
Yang
dimaksud dengan “kawasan udara terbatas (restricted area)”
adalah kawasan udara dengan pembatasan bersifat tidak tetap
dan hanya dapat digunakan untuk operasi penerbangan tertentu
(pesawat udara TNI). Pada waktu tidak digunakan (tidak aktif),
kawasan ini dapat digunakan untuk penerbangan sipil.
Pembatasan dapat berupa pembatasan ketinggian dan hanya
dapat ditetapkan di dalam wilayah udara Indonesia, misalnya
instalasi atau kawasan militer
LIMA PRINSIP
KEBEBASAN
PENERBANGAN DAN
CABOTAGE
Five Freedoms of the Air
pasal
1 ayat 1 International Air Transportation Agreement 1944:
“Each contracting State grants to the other contracting State the
following freedoms of the air in respect of scheduled international
air services:
Kebebasan dasar
1. hak suatu penerbangan baik berjadwal ataupun tidak berjadwal, untuk
melintas wilayah udara negara lain tanpa mendarat / landing.
2. hak sutau penerbangan baik berjadwal atau tidak berjadwal, untuk
melintas wilayah udara negara lain dengan keadaan tertentu sehingga
penerbangan tersebut dapat mendarat / landing di negara tersebut
tanpa mengangkut atau menurunkan penumpang atau barang, karena
pesawat mengalami gangguan atau kehabisan bahan bakar.
Kebebasan komersial
3. Hak untuk menurunkan penumpang, pos dan barang muatan yang
berasal dari negara asal pesawat (flag state)
4. hak untuk mengambil penumpang, pos dan barang muatan denagn
tujuan negara kebangsaan pesawat.
5. Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial
dari atau ke negara ke tiga di luar negara yang berjanji
terbang melintasi suatu wilayah
tanpa mendarat
Singapura
Indonesia
Australia
Contoh : penerbangan dari singapura menuju Australia dengan
melintasi atau melewati Indonesia.
Eight Freedoms of the Air
termuat
dalam International Air Transport Agreement 1944.
1. hak istimewa untuk terbang melintasi suatu wilayah tanpa mendarat
2. hak untuk mendarat tanpa maksud untuk melakukan traffic.
3. Hak untuk menurunkan penumpang, pos dan barang muatan yang
berasal dari negara asal pesawat (flag state)
4. hak untuk mengambil penumpang, pos dan barang muatan denagn
tujuan negara kebangsaan pesawat.
5. hak suatu maskapai penerbanagan untuk mengankut dan menurunkan
penumpang atau barang dari negara pertama menuju negara ketiga,
dengan persetujuan negara ketiga
6. Hak untuk mengangkut penumpang, barang maupun pos secara
komersial dari negara ke tiga melewati negara tempat pesawat udara di
daftarkan, kemudian diangkut ke negara tujuan.
7. Hak dari carrier (pengangkut) untuk beroperasi semata -mata diluar
wilayah bendera untuk terbang ke negara grantor dengan maksud
menurunkan atau mengambil penumpang dan sebaginya yang datang
dari atau tujuan ke negara ketiga, dan
8. hak untuk melakukan angkutan udara (traffic) di dalam wilayah suatu
negara (cabotage).
1. hak suatu penerbangan baik
berjadwal ataupun tidak berjadwal,
untuk melintas wilayah udara negara
lain tanpa mendarat / landing.
Singapura
Indonesia
Contoh : penerbangan dari singapura menuju
Australia dengan melintasi atau melewati
Indonesia.
Australia
2. mendarat tanpa maksud untuk
melakukan traffic
Mendarat
darutat
Singapura
Indonesia
Australia
Contoh : penerbangan singapura menuju Australia harus
mendarat di Indonesia karena kehabisan bahan bakar.
37
3. menurunkan penumpang, pos
dan barang muatan yang berasal
dari negara asal pesawat (flag
state)
Garuda
Indonesia
Singapura
Contoh : garuda Indonesia mengangkut penumpang dari
Indonesia menuju Singapura.
4. mengambil penumpang, pos
dan barang muatan denagn tujuan
negara kebangsaan pesawat
Garuda
Indonesia
Singapura
Contoh: Garuda Indonesia
mengangkut penumpang dari
Singapura menuju Indonesia.
Copyright by Hikmahanto Juwana
2006(c)
39
5. hak suatu maskapai penerbangan untuk
mengangkut penumpang atau barang dari
negara pertama menuju negara ketiga,
dengan persetujuan negara ketiga
garuda
Garuda tanpa penumpang
Singapura
Malaysia
Contoh : garuda indonesia mengangkut
penumpang atau barang dari Singapura menuju
Malaysia atau sebaliknya.
6. Hak untuk mengangkut penumpang, barang
maupun pos secara komersial dari negara ke tiga
melewati negara tempat pesawat udara di daftarkan,
kemudian diangkut ke negara tujuan.
garuda
transit
Singapura
Indonesia
Australia
Contoh : Garuda Indonesia mengangkut penumpang
dari Singapura menuju Australia transit di Indonesia.
7. Hak dari carrier (pengangkut) untuk beroperasi
semata -mata diluar wilayah bendera untuk terbang
ke negara grantor dengan maksud menurunkan
atau mengambil penumpang dan sebagainya yang
datang dari atau tujuan ke negara ketiga,
garuda
garuda
Singapura
Australia
8. hak yang diberikan negara asing untuk melakukan
pengangkutan penumpang atau barang dalam lingkup
domestik antar kota di negara pemberi hak.
Singapura Air Lines
transit
Singapura
Medan
transit
Jakarta
Contoh : Singapura Air Lines mengangkut
penumpang dari Singapura transit di Medan dan
juga transit di Jakarta baru ke Australia.
Medan-Jakarta merupakan lingkup penerbangan
domestik Indonesia
Australia
cabotage
konsep
cabotage berasal dari
hukum maritime.
Istilah cabotage berasal dari:
◦ “cabot” atau “chabot” (Perancis)
yang artinya kapal kecil.
◦ “cabo” (Spanyol, ) yang berarti
“cape” (tanjung) yang artinya
angkutan dari tanjung ke tanjung
yang lain dalam satu pantai
Cabotage dalam Konvensi
Chicago
Pasal
7
◦ setiap negara berhak menolak pemberian izin pesawat
udara asing yang melakukan angkutan penumpang,
barang dan pos secara komersial dalam negeri.
Merupakan
hak prerogatif yang diberikan kepada
negara anggota ICAO untuk mengatur angkutan
penumpang, barang, dan pos secara komersial
penerbangan dalam negeri.
contoh :
◦ Bersadarkan Keputusan Presiden Nomor 16 Perjanjian
Indonesia-Thailand (1970), Indonesia pernah memberi
cabotage kepada Thailand yang mengizinkan penerbangan
Jakarta-Medan-Singapore-Kuala Lumpur-BangkokHongkong-Tokyo pp.
◦ Jakarta-Medan adalah ruas cabotage.
Cabotage dalam UU No 1 Th.
2009
Pasal
85
Angkutan udara niaga terjadual
dalam negeri hanya dapat
dilakukan oleh badan usaha
angkutan udara niaga nasional,
baik milik BUMN, BUMD, maupun
BUMS yang berbentuk Perseroan
Terbatas yang telah mendapat
izin usaha angkutan udara niaga
berjadual.
Pandangan terhadap
cabotage
Setuju,
dengan alasan
◦ cabotage adalah hak prerogatif dari suatu negara untuk
mengangkut penumpang, barang dan/atau pos secara
komersial di dalam negeri suatu negara.
◦ Hak angkutan udara niaga dalam negeri tersebut diberikan
kepada perusahaan penerbangan nasional, dan tidak
diberikan kepada perusahaan asing manapun, kecuali atas
pertimbangan untuk kepentingan nasional negara yang
bersangkutan
◦ Jika cabotage dilepas maka perusahaan penerbangan
asing dapat melakukan penerbangan dalam negeri
Indonesia.
◦ Apabila perusahaan asing beroperasi di dalam negeri
Indonesia, maka perusahaan penerbangan nasional tidak
akan mampu bersaing dengan perusahaan penerbangan
asing yang beroperasi di Indonesia
Tidak
setuju, dengan alasan:
◦ bila Eropa yang sudah menjadi uni, Garuda
Indonesia tidak dapat melakukan
penerbangan ke Roma (Italia) ke Schippol di
Belanda, karena rute tersebut merupakan
cabotage negara- negara Uni Eropa.
◦ Uni eropa menganut kebijkan open sky
sehingga setelah jatuhnya pesawat adam
air di Sulawesi, lahir kebijakan Uni Eropa
yang melarang pesawat udara Indonesia
terbang di Eropa (negara-negara yang
tergabung dalam kebijakan open sky)
Open sky
Pasal
90 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan.
Pelaksanaan pembukaan akses tanpa batas dari dan ke
Indonesia untuk perusahaan angkutan udara niaga asing
dilaksanakan secara bertahap berdasarkan perjanjian
bilateral atau multilateral yang pelaksanaannya melalui
mekanisme yang mengikat para pihak.
Perjanjian bilateral maupun multilateral tersebut dibuat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan
prinsip keadilan (fairness) dan timbal balik (reciprocity).
Kebijakan open sky yang diterapkan di Indonesia diartikan
sebagai terbukanya wilayah udara Indonesia atas berbagai
penerbangan asing untuk melewati dan mendarat di
bandara-bandara di wilayah Indonesia.
Kebangsaan dan Pendaftaran
Pesawat Udara
Setiap
pesawat udara harus mempunyai
tanda pendaftaran dan kebangsaan.
Menggunakan sistem pendaftaran
tunggal yaitu:
◦ Setiap pesawat udara yang didaftarkan akan
memperoleh kewarganegraan dari tempat
pesawat udara didaftarkan.
Contoh:
◦ Pesawat udara didaftarkan di Indonesia
memperoleh tanda pendaftaran dan
kebangsaan Indonesia
Pendaftaran
atau peralihan
kebangsaan diatur menurut
hukum nasional masing2.
Praktek Pelaksanaan Kedaulatan
Negara di Ruang Udara
TANGGUNG JAWAB DALAM
HUKUM UDARA
Prinsip Tanggung Jawab dalam
hukum Udara
Presumption
of liability
◦ Pengangkut dianggap bertanggung jawab terhadap kerugiankerugian yang diderita oleh seorang penumpang (atau ahli warisnya)
atau seorang pengirim barang, karena penumpang luka atau tewas,
atau bagasinya rusak atau hilang atau terlambat datang, demikian
pula dengan barang kiriman seorang pengirim barang.
◦ Pihak yang dirugikan tidak perlu membuktikan haknya atas ganti
rugi
Limitation
of liability
◦ Tanggung jawab pengangkut dibatasi sampai jumlah tertentu
◦ Imbangan terhadap prinsip Presumption of liability
◦ Limit tanggung jawab ganti rugi tidak boleh terlalu rendah atau
terlalu tinggi.
Absolute
liability atau strict liability
◦ Pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab tanpa ada
kemungkinan membebaskan diri kecuali dalam hal kalau yang
dirugikan bersalah atau turut bersalah dalam timbulnya kerugian.
Tanggung jawab pengangkut
Based
on Fault Liability (Tanggung
jawab hukum atas dasar kesalahan),
◦ jika penumpang ingin tuntun, maka harus
buktikan bahwa pengangkut bersalah
dengan mencari bukti Dalam Pasal 1365
KUHPer dikenal sebagai “tindakan
melawan hukum”.
Unsur-unsurnya :
Ada kesalahan (fault)
Ada kerugian (damage)
Ada hubungan kerugian dengan kesalahan.
Tidak dikenal dalam transportasi udara internasional karena
kedudukan para pihak tidak seimbang.
Presumption
of Liability
(Tanggungjawab hukum atas dasar
praduga bersalah),
◦ dianggap bersalah pengangkutnya sejak awal, tapi jika
bisa membuktikan dirinya tidak bersalah, dia bebas
tuntutan ganti rugi
Diperkenalkan sejak th 1929 (Konv. Warsawa).
◦ Ada batas (limited liability) ganti-rugi maksimal dan
minimal. Konsep ini mengenal:
Beban pembuktian terbalik
Tanggungjawab terbatas
Perlindungan hukum
Ikut bersalah
Tanggungjawab tidak terbatas.
Absolute/Strict
Liability (Tanggungjawab
hukum tanpa bersalah),
◦ harus tanggung jawab segala kerugian tanpa
pembuktian
Sama dengan konsep tanggungjawab Liability
Without Fault.
◦ Berupa tanggungjawab mutlak operator (air
carrier) terhadap kerugian yang diderita oleh pihak
ketiga, tanpa memerlukan adanya pembuktian
terlebih dahulu.
◦ Contoh kerugian yang diderita oleh pihak ketiga
akibat pendaratan darurat atau jatuhnya barang
dan/atau orang dari pesawat udara
Hubungan konvensi warsawa 1929 dengan
ordonansi pengangkutan udara Stb 1939/100
konvensi
warsawa 1929 berlaku
untuk penerbangan internasional
Stb 1939/100 berlaku untuk
penerbanagan dalam negeri.
Tanggung jawab pengangkut dalam
Konvensi warsawa 1929 dan konvensi
roma 1933 dan 1954
Konvensi Warsawa 1929 menganut prinsip:
presumption of liability (praduga bersalah)
◦ Perusahaan penerbangan dianggap bersalah sehingga harus membayar
ganti kerugian yang diderita oleh penumpang/ atau pengirim barang
tanpa dibuktikan kesalahan terlebih dahulu.
Beban
pembuktian terbalik
◦ Perusahaan penerbangan harus membuktikan tidak bersalah
Tanggung
jawab hukum tidak terbatas (unlimited liability)
◦ Perusahaan tidak berhak menggunakan batas ganti rugi yang ditentukan
oleh konvensi apabila kerugian disebabkab oleh kesalahan yang di
sengaja oleh perusahaan
◦ Perusahaan penerbangan bertanggung jawab mengganti berapapun
jumlah kerugian.
Jumlah
ganti rugi
◦ Penumpang --> 125.000 franc
◦ Bagasi/ kargo – 250 franc/ kg
◦ Barang pribadi – 5.000 franc
◦ Merupakan batas minimum ganti rugi
Konvensi Roma 1933 dan 1952
Menganut prinsip absolute / strict liability
◦ Korban tidak perlu membuktikan kesalahan
penerbangan tetapi otomatis mendapat ganti
kerugian
◦ Berlaku bagi pesawat asing yang mengalami
kecelakaan di negara anggota dan
menimbulkan dampak kerugian di bumi
(darat atau air)
Jika
kecelakaan terjadi di udara berlaku
konsep fault liability
Tanggung jawab pengangkutan menurut
hukum udara nasional indonesia
Stb
1939 Nomor 100 tentang
ordonansi pengangkutan udara,
tanggung jawab pengangkut:
◦ presumption of liability (praduga
bersalah)
◦ Tanggung jawab terbatas kecuali
apabila penumpang bisa
membuktikan adanya kesalahan
yang disengaja oleh perusahaan.
Asuransi Penerbangan
UU
No.33 Tahun 1964 tentang Dana
Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang
jo. PP No.17 Tahun 1965 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib
Kecelakaan Penumpang.
Pasal 1 huruf a
◦ Setiap penumpang dari pesawat udara perusahaan
penerbangan nasional wajib membayar iuran wajib
melalui perusahaan penerbangan yang
bersangkutan untuk menutup kerugian akibat
kecelakaan selama penerbnagan berlangsung.
ANGKASA
PENGANTAR HUKUM
UDARA
Pengertian Hukum Udara
E.
Suherman
◦ Hukum udara adalah keseluruhan
ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur ruang udara dan penggunaannya
untuk keperluan penerbangan.
Verschoor
◦ Hukum udara (air law) sebagai hukum dan
regulasi yang mengatur penggunaan ruang
udara yang bermanfaat bagi penerbangan,
kepentingan umum dan bangsa-bangsa di
dunia
Pembagian Hukum Udara
Sejarah
Zaman
Romawi
◦ Hukum Udara (dalam arti hukum yg
mengatur obyek udara) telah dikenal
dengan prinsip “Cuius est solum,
eius est usque ad coelum” siapa
yang memiliki tanah, memiliki juga
udara diatasnya sampai ke langit”.
Masa
kini
◦ Hukum yang sebagian besar
mengatur penerbangan dan
angkutan udara.
Masih muda karena mulai tumbuh di
awal abad ke-20 setelah Wright
bersaudara (1903)
berhasil terbang dg sebuah pesawat
yang lebih berat dari udara.
Peraturan
awal hukum udara
◦ Lenoir seorang Pejabat Kepolisian
Paris pada tahun 1784 membuat peraturan
berupa, Larangan penerbangan dengan balon udara
tanpa izin.
Peraturan
pertama mengenai keselamatan
penerbangan
◦ Count d’Angles seorang Kepala Polisi Seine pada
tahun 1819 membuat peraturan berupa,
Pengharusan balon udara dilengkapi dengan
parasut dan melarang percobaan dengan balon
udara selama musim panen.
Sebelum
PD I
◦ Perdebatan mengenai kedaulatan di
ruang udara. Ada dua pendapat
yaitu:
Ruang udara bebas
Negara masing2 berdaulat di ruang
udara di atasnya
◦ Perjanjian Paris 1919 dan chicago
menganut prinsip kedaulatan
negara.
Setelah
PD I
◦ 12 oktober 1929 ditandatangani konvensi
Warsawa tentang dokumen-dokumen
angkutan dan tanggung jawab pengangkut
◦ 1933 di Roma ditandatangani perj tentang
tanggung jawab pemakai pesawat terbang
asing terhadap kerugian yg ditimbulkan oleh
pihak III di darat, diperbaharui oleh Perjanjian
Roma 1952
◦ Perj Chicago 1944 dalam bidang hukum udara
publik merupakan konstitusi dari pengaturan
kegiatan penerbangan dan angkutan udara.
Peranan Badan Internasional dalam
perkembangan hukum udara
Internastional
Civil Aviation
Organization (ICAO)
◦ Panitia hukum yang bertugas
membahas masalah hukum dan
memperiapkan konfrensi
intrenasional mengenai hukum
udara.
International
Air Transport Association
(IATA)
◦ IATA beranggotakan perusahaan
penerbangan dari berbagai negara.
◦ Panitia hukum IATA bertugas utk meneliti
dan mengembangkan hukum udara yang
bersifat seragam khususnya tentang syarat
perjanjian pengangkutan udara yang
berlaku internasional
◦ Pendapat IATA dihargai oleh ICAO
◦ IATA hadir sebagai peninjau dalam konfrensi
mengenao hukum udara
Sumber-sumber hukum
udara
1. Multilateral
Sumber hukum udara perdata:
Perjanjian warsawa 1929 -->dokumen angkutan dan tanggung jawab
pengangkut
Perjanjian geneva 1948 --> hipotik pesawat udara
Perjanjian roma 1952 --> prinsip tanggung jawab (diluar perj
warsawa) dan asuransi wajib
Perjanjian Hague 1955 --> amandemen perj warsawa mengenai
ganti rugi
Perjanjian guadalajara 1961 --> pelengkap perj warsawa, yang
memberlakukan perj. Warsawa kepada pihak yang bukan merupakan
pihak yang mengadakan perjanjian angkutan.
Perjanjian montreal 1966 --> biaya ganti rugi yg kemudian diadopsi
oleh protokol guatemala
Protokol guatemala 1971 --> tanggung jawab mutlak pengangkut,
limit ganti rugi. Tanggung jawab thd barang menggunakan perj
warsawa, sedangkan utk bagasi baik tercatat atau tidak
menggunakan sistem tanggung jawab yang sama dengan
penumpang.
Sumber hukum udara publik
Konvensi Paris 1919
Konvensi chicago 1944
Konvensi Tokyo 1963 --> tindak pidana dlm hukum udara
internasional
Konvensi Den Haag 1970 --> pembajakan pesawat udara
(hijacking)
Konvensi Montreal 1971--> pemberantasan tindakan melawan
hukum terhadap keselamatan penerbangan sipil
Deklarasi Bonn 1978 --> pembajakan udara
Protokol Montreal 1988 --> pelengkap Konvensi Montreal 1971
Konvensi Montreal 1991 --> kewajiban negara anggota untuk
mengambil langkah-langkah yang diperlukan utk melarang
dan mencegah pembuatan bahan peledak yang tidak diberi
tanda
2. Bilateral air transport agreement
Perjanjian
angkutan udara
internasional timbal balik.
◦ Indonesia mempunyai +/_ 67
perjanjian transportasi udara
internasional dengan beberapa
negara asing.
3. Hukum kebiasaan
internasional
Berdasarkan
Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah
Internasional, hukum kebiasaan internasional
dapat menjadi sumber hukum udara
internasional.
contoh
◦ Pasal 1 Konv Paris 1999 --> negara memiliki
kedaulatan penuh dan absolut terhadap ruang udara
di atas laut teritorialnya. Isi pasal ini diakomodasi dlm
Konv Havana 1928 dan Pasal 1 konv Chicago
◦ Penerapan Air Defence Identification Zone (ADIZ)
oleh Amerika Serikat yang diikuti juga oleh Canada
ADIZ --> penunjukan ruang udara khusus dimensi tertentu
dimana semua pesawat udara harus mematuhi identifikasi
khusus atau persyaratan tambahan menyangkut lintas udara.
4. Prinsip-prinsip hukum
umum
Pasal
38 (1) Piagam Mahkamah
Internasional
1. Prinsip bonafide atau good faith (itikad
baik)
2. Pacta sunt servanda (perjanjian
mengikat para pihak)
3. Abus de droit ( suatu hak tidak boleh
disalah gunakan)
4. Nebis in idem (perkara yang sama tidak
dapat diajukan lagi ke pengadilan lebih
dari sekali)
5. Ajaran hukum
Ditemui
dalam sistem Common law
pemindahan resiko dari korban (injured people)
kepada pelaku (actor).
◦ Perusahaan penerbangan (actor) bertanggung jawab
terhadap kerugian yang diderita oleh korban (injured
people)
Bela
diri
suatu tindakan disebut bela diri apabila
tindakan tersebut seimbang dengan ancaman yang
dihadapi.
◦ Penerapannya
pesawat udara sipil tidak dilengkapi
persenjataan karenatidak ada ancaman yang
membahayakan. Pesawat udara sipil mengutamakan
keselamatan (safety first) terhadap penumpang, awak
pesawat udara, pesawat udara itu sendiri, barang yang
diangkut.
6. Yurisprudensi
Berdasarkan
Pasal 38 (1) Piagam
Mahkamah Internasional
Contoh:
1. Kasus Ny. Oswald vs. Garuga
Indonesia Airways --> ganti rugi
non fisik
2. Kasus penduduk cengkareng vs.
Japan Airlines --> tanggung jawab
hukum pihak ke tiga.
KEDAULATAN DI RUANG
UDARA
Prinsip kedaulatan Negara dan
yursidiksi Negara di ruang udara
Teori kepemilikan ruang
udara
1. The Air Freedom Theory
◦ udara karena sifat yang dimilikinya, ia
menjadi bebas (by its nature is free).
◦ Teori yang pertama ini dapat
dikelompokan menjadi :
1. Kebebasan ruang udara tanpa batas
2. Kedaulatan ruang udara yang dilekati
beberapa hak khusus negara kolong, dan
3. Kebebasan ruang udara, tetapi diadakan
semacam wilayah territorial di daerah
dimana hak -hak tertentu negara kolong
dapat dilaksanakan
2. The Air Sovereignty Theory
◦ udara itu tidak bebas, sehingga negara
berdaulat terhadap ruang udara di atas
wilayah negaranya.
◦ Teori ini dapat dikelompokan menjadi :
1. Negara kolong berdaulat penuh hanya
terhadap satu ketinggian tertentu di ruang
udara.
2. Negara kolong berdaulat penuh, tetapi
dibatasi oleh hak lintas damai bagi navigasi
pesawat -pesawat udara asing, dan
3. Negara kolong berdaulat penuh tanpa batas.
Kedaulatan negara di ruang
udara
Pasal
33 UUD 1945 ayat (3) yang menyatakan, bahwa
“bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
lahir “hak menguasai oleh negara” atas sumber daya alam
yang ada di bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya (termasuk udara) dan penguasaan tersebut
memberikan kewajiban kepada negara untuk digunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Makna dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut bahwa
ruang udara sebagaimana penjelasan sebelumnya
merupakan sumber daya alam yang dikuasai negara.
memberikan arti kewenangan sebagai organisasi atau
lembaga negara untuk mengatur dan mengawasi
penggunannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Kedaulatan teritorial
Disamping
Kedaulatan di wilayah
darat dan laut, Negara dalam
hukum internasional memiliki
kedaulatan di wilayah udara
Instrumen internasional yang
mengakui wilayah Negara di
ruang udara saat ini adalah
Convention on International Civil
Aviation 1944 atau yang lebih
dikenal dengan Chicago
Convention
Kedaulatan negara menurut
Konv Chicago
Pasal
1 Conv Chicago:
◦ dinyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan
yang utuh dan penuh (complete and exclusive
souvereignity) atas ruang udara atas wilayah
kedaulatannya.
Dari
Pasal tersebut memberikan pandangan bahwa
perwujudan dari kedaulatan yang penuh dan utuh
atas ruang udara di atas wilayah teritorial, adalah :
1. setiap negara berhak mengelola dan mengendalikan
secara penuh dan utuh atas ruang udara nasionalnya;
2. tidak satupun kegiatan atau usaha di ruang udara
nasional tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu atau
sebagaimana telah diatur dalam suatu perjanjian udara
antara negara dengan negara lain baik secara bilateral
maupun multilateral.
Kedaulatan negara menurut UU
Nomor 1 Tahun 2009 ttg Penerbangan
Pasal
1 UU No 1 th 2009
◦ Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di
atas wilayah daratan dan perairan Indonesia.
Pasal
5
◦ Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh
dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia.
Pasal
6
◦ Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara
atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan
tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk
kepentingan penerbangan, perekonomian nasional,
pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya,
serta lingkungan udara.
Dampak kedaulatan negara di
ruang udara
Setiap
pesawat udara yang
memasuki wilayah udara negara
lain harus memperoleh izin
Bila izin tidak diperoleh maka
dianggap sebagai pelanggaran
wilayah udara nasional
Terhadap pelanggar dapat
dikenakan sanksi, termasuk
menurunkan secara paksa
pesawat hingga menembak jatuh
Izin
ini juga dapat dikomersialkan
oleh Negara terhadap pesawat
udara dari Negara lain yang
mengangkut penumpang dan
barang (traffic purposes)
Izin dapat diberikan di depan dan
dituangkan dalam perjanjian
internasional yang disebut
sebagai Bilateral Air Agreement
Kewenangan
menetapkan kawasan udara terlarang dan terbatas
merupakan kewenangan dari setiap negara berdaulat untuk
mengatur penggunaan wilayah udaranya, dalam rangka
keselamatan masyarakat luas, keselamatan penerbangan,
perekonomian nasional, lingkungan hidup, serta pertahanan dan
keamanan.
Yang
dimaksud dengan “kawasan udara terlarang (prohibited
area)” adalah kawasan udara dengan pembatasan yang bersifat
permanen dan menyeluruh bagi semua pesawat udara.
Pembatasan hanya dapat ditetapkan di dalam wilayah udara
Indonesia, sebagai contoh instalasi nuklir atau istana Presiden.
Yang
dimaksud dengan “kawasan udara terbatas (restricted area)”
adalah kawasan udara dengan pembatasan bersifat tidak tetap
dan hanya dapat digunakan untuk operasi penerbangan tertentu
(pesawat udara TNI). Pada waktu tidak digunakan (tidak aktif),
kawasan ini dapat digunakan untuk penerbangan sipil.
Pembatasan dapat berupa pembatasan ketinggian dan hanya
dapat ditetapkan di dalam wilayah udara Indonesia, misalnya
instalasi atau kawasan militer
LIMA PRINSIP
KEBEBASAN
PENERBANGAN DAN
CABOTAGE
Five Freedoms of the Air
pasal
1 ayat 1 International Air Transportation Agreement 1944:
“Each contracting State grants to the other contracting State the
following freedoms of the air in respect of scheduled international
air services:
Kebebasan dasar
1. hak suatu penerbangan baik berjadwal ataupun tidak berjadwal, untuk
melintas wilayah udara negara lain tanpa mendarat / landing.
2. hak sutau penerbangan baik berjadwal atau tidak berjadwal, untuk
melintas wilayah udara negara lain dengan keadaan tertentu sehingga
penerbangan tersebut dapat mendarat / landing di negara tersebut
tanpa mengangkut atau menurunkan penumpang atau barang, karena
pesawat mengalami gangguan atau kehabisan bahan bakar.
Kebebasan komersial
3. Hak untuk menurunkan penumpang, pos dan barang muatan yang
berasal dari negara asal pesawat (flag state)
4. hak untuk mengambil penumpang, pos dan barang muatan denagn
tujuan negara kebangsaan pesawat.
5. Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial
dari atau ke negara ke tiga di luar negara yang berjanji
terbang melintasi suatu wilayah
tanpa mendarat
Singapura
Indonesia
Australia
Contoh : penerbangan dari singapura menuju Australia dengan
melintasi atau melewati Indonesia.
Eight Freedoms of the Air
termuat
dalam International Air Transport Agreement 1944.
1. hak istimewa untuk terbang melintasi suatu wilayah tanpa mendarat
2. hak untuk mendarat tanpa maksud untuk melakukan traffic.
3. Hak untuk menurunkan penumpang, pos dan barang muatan yang
berasal dari negara asal pesawat (flag state)
4. hak untuk mengambil penumpang, pos dan barang muatan denagn
tujuan negara kebangsaan pesawat.
5. hak suatu maskapai penerbanagan untuk mengankut dan menurunkan
penumpang atau barang dari negara pertama menuju negara ketiga,
dengan persetujuan negara ketiga
6. Hak untuk mengangkut penumpang, barang maupun pos secara
komersial dari negara ke tiga melewati negara tempat pesawat udara di
daftarkan, kemudian diangkut ke negara tujuan.
7. Hak dari carrier (pengangkut) untuk beroperasi semata -mata diluar
wilayah bendera untuk terbang ke negara grantor dengan maksud
menurunkan atau mengambil penumpang dan sebaginya yang datang
dari atau tujuan ke negara ketiga, dan
8. hak untuk melakukan angkutan udara (traffic) di dalam wilayah suatu
negara (cabotage).
1. hak suatu penerbangan baik
berjadwal ataupun tidak berjadwal,
untuk melintas wilayah udara negara
lain tanpa mendarat / landing.
Singapura
Indonesia
Contoh : penerbangan dari singapura menuju
Australia dengan melintasi atau melewati
Indonesia.
Australia
2. mendarat tanpa maksud untuk
melakukan traffic
Mendarat
darutat
Singapura
Indonesia
Australia
Contoh : penerbangan singapura menuju Australia harus
mendarat di Indonesia karena kehabisan bahan bakar.
37
3. menurunkan penumpang, pos
dan barang muatan yang berasal
dari negara asal pesawat (flag
state)
Garuda
Indonesia
Singapura
Contoh : garuda Indonesia mengangkut penumpang dari
Indonesia menuju Singapura.
4. mengambil penumpang, pos
dan barang muatan denagn tujuan
negara kebangsaan pesawat
Garuda
Indonesia
Singapura
Contoh: Garuda Indonesia
mengangkut penumpang dari
Singapura menuju Indonesia.
Copyright by Hikmahanto Juwana
2006(c)
39
5. hak suatu maskapai penerbangan untuk
mengangkut penumpang atau barang dari
negara pertama menuju negara ketiga,
dengan persetujuan negara ketiga
garuda
Garuda tanpa penumpang
Singapura
Malaysia
Contoh : garuda indonesia mengangkut
penumpang atau barang dari Singapura menuju
Malaysia atau sebaliknya.
6. Hak untuk mengangkut penumpang, barang
maupun pos secara komersial dari negara ke tiga
melewati negara tempat pesawat udara di daftarkan,
kemudian diangkut ke negara tujuan.
garuda
transit
Singapura
Indonesia
Australia
Contoh : Garuda Indonesia mengangkut penumpang
dari Singapura menuju Australia transit di Indonesia.
7. Hak dari carrier (pengangkut) untuk beroperasi
semata -mata diluar wilayah bendera untuk terbang
ke negara grantor dengan maksud menurunkan
atau mengambil penumpang dan sebagainya yang
datang dari atau tujuan ke negara ketiga,
garuda
garuda
Singapura
Australia
8. hak yang diberikan negara asing untuk melakukan
pengangkutan penumpang atau barang dalam lingkup
domestik antar kota di negara pemberi hak.
Singapura Air Lines
transit
Singapura
Medan
transit
Jakarta
Contoh : Singapura Air Lines mengangkut
penumpang dari Singapura transit di Medan dan
juga transit di Jakarta baru ke Australia.
Medan-Jakarta merupakan lingkup penerbangan
domestik Indonesia
Australia
cabotage
konsep
cabotage berasal dari
hukum maritime.
Istilah cabotage berasal dari:
◦ “cabot” atau “chabot” (Perancis)
yang artinya kapal kecil.
◦ “cabo” (Spanyol, ) yang berarti
“cape” (tanjung) yang artinya
angkutan dari tanjung ke tanjung
yang lain dalam satu pantai
Cabotage dalam Konvensi
Chicago
Pasal
7
◦ setiap negara berhak menolak pemberian izin pesawat
udara asing yang melakukan angkutan penumpang,
barang dan pos secara komersial dalam negeri.
Merupakan
hak prerogatif yang diberikan kepada
negara anggota ICAO untuk mengatur angkutan
penumpang, barang, dan pos secara komersial
penerbangan dalam negeri.
contoh :
◦ Bersadarkan Keputusan Presiden Nomor 16 Perjanjian
Indonesia-Thailand (1970), Indonesia pernah memberi
cabotage kepada Thailand yang mengizinkan penerbangan
Jakarta-Medan-Singapore-Kuala Lumpur-BangkokHongkong-Tokyo pp.
◦ Jakarta-Medan adalah ruas cabotage.
Cabotage dalam UU No 1 Th.
2009
Pasal
85
Angkutan udara niaga terjadual
dalam negeri hanya dapat
dilakukan oleh badan usaha
angkutan udara niaga nasional,
baik milik BUMN, BUMD, maupun
BUMS yang berbentuk Perseroan
Terbatas yang telah mendapat
izin usaha angkutan udara niaga
berjadual.
Pandangan terhadap
cabotage
Setuju,
dengan alasan
◦ cabotage adalah hak prerogatif dari suatu negara untuk
mengangkut penumpang, barang dan/atau pos secara
komersial di dalam negeri suatu negara.
◦ Hak angkutan udara niaga dalam negeri tersebut diberikan
kepada perusahaan penerbangan nasional, dan tidak
diberikan kepada perusahaan asing manapun, kecuali atas
pertimbangan untuk kepentingan nasional negara yang
bersangkutan
◦ Jika cabotage dilepas maka perusahaan penerbangan
asing dapat melakukan penerbangan dalam negeri
Indonesia.
◦ Apabila perusahaan asing beroperasi di dalam negeri
Indonesia, maka perusahaan penerbangan nasional tidak
akan mampu bersaing dengan perusahaan penerbangan
asing yang beroperasi di Indonesia
Tidak
setuju, dengan alasan:
◦ bila Eropa yang sudah menjadi uni, Garuda
Indonesia tidak dapat melakukan
penerbangan ke Roma (Italia) ke Schippol di
Belanda, karena rute tersebut merupakan
cabotage negara- negara Uni Eropa.
◦ Uni eropa menganut kebijkan open sky
sehingga setelah jatuhnya pesawat adam
air di Sulawesi, lahir kebijakan Uni Eropa
yang melarang pesawat udara Indonesia
terbang di Eropa (negara-negara yang
tergabung dalam kebijakan open sky)
Open sky
Pasal
90 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan.
Pelaksanaan pembukaan akses tanpa batas dari dan ke
Indonesia untuk perusahaan angkutan udara niaga asing
dilaksanakan secara bertahap berdasarkan perjanjian
bilateral atau multilateral yang pelaksanaannya melalui
mekanisme yang mengikat para pihak.
Perjanjian bilateral maupun multilateral tersebut dibuat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan
prinsip keadilan (fairness) dan timbal balik (reciprocity).
Kebijakan open sky yang diterapkan di Indonesia diartikan
sebagai terbukanya wilayah udara Indonesia atas berbagai
penerbangan asing untuk melewati dan mendarat di
bandara-bandara di wilayah Indonesia.
Kebangsaan dan Pendaftaran
Pesawat Udara
Setiap
pesawat udara harus mempunyai
tanda pendaftaran dan kebangsaan.
Menggunakan sistem pendaftaran
tunggal yaitu:
◦ Setiap pesawat udara yang didaftarkan akan
memperoleh kewarganegraan dari tempat
pesawat udara didaftarkan.
Contoh:
◦ Pesawat udara didaftarkan di Indonesia
memperoleh tanda pendaftaran dan
kebangsaan Indonesia
Pendaftaran
atau peralihan
kebangsaan diatur menurut
hukum nasional masing2.
Praktek Pelaksanaan Kedaulatan
Negara di Ruang Udara
TANGGUNG JAWAB DALAM
HUKUM UDARA
Prinsip Tanggung Jawab dalam
hukum Udara
Presumption
of liability
◦ Pengangkut dianggap bertanggung jawab terhadap kerugiankerugian yang diderita oleh seorang penumpang (atau ahli warisnya)
atau seorang pengirim barang, karena penumpang luka atau tewas,
atau bagasinya rusak atau hilang atau terlambat datang, demikian
pula dengan barang kiriman seorang pengirim barang.
◦ Pihak yang dirugikan tidak perlu membuktikan haknya atas ganti
rugi
Limitation
of liability
◦ Tanggung jawab pengangkut dibatasi sampai jumlah tertentu
◦ Imbangan terhadap prinsip Presumption of liability
◦ Limit tanggung jawab ganti rugi tidak boleh terlalu rendah atau
terlalu tinggi.
Absolute
liability atau strict liability
◦ Pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab tanpa ada
kemungkinan membebaskan diri kecuali dalam hal kalau yang
dirugikan bersalah atau turut bersalah dalam timbulnya kerugian.
Tanggung jawab pengangkut
Based
on Fault Liability (Tanggung
jawab hukum atas dasar kesalahan),
◦ jika penumpang ingin tuntun, maka harus
buktikan bahwa pengangkut bersalah
dengan mencari bukti Dalam Pasal 1365
KUHPer dikenal sebagai “tindakan
melawan hukum”.
Unsur-unsurnya :
Ada kesalahan (fault)
Ada kerugian (damage)
Ada hubungan kerugian dengan kesalahan.
Tidak dikenal dalam transportasi udara internasional karena
kedudukan para pihak tidak seimbang.
Presumption
of Liability
(Tanggungjawab hukum atas dasar
praduga bersalah),
◦ dianggap bersalah pengangkutnya sejak awal, tapi jika
bisa membuktikan dirinya tidak bersalah, dia bebas
tuntutan ganti rugi
Diperkenalkan sejak th 1929 (Konv. Warsawa).
◦ Ada batas (limited liability) ganti-rugi maksimal dan
minimal. Konsep ini mengenal:
Beban pembuktian terbalik
Tanggungjawab terbatas
Perlindungan hukum
Ikut bersalah
Tanggungjawab tidak terbatas.
Absolute/Strict
Liability (Tanggungjawab
hukum tanpa bersalah),
◦ harus tanggung jawab segala kerugian tanpa
pembuktian
Sama dengan konsep tanggungjawab Liability
Without Fault.
◦ Berupa tanggungjawab mutlak operator (air
carrier) terhadap kerugian yang diderita oleh pihak
ketiga, tanpa memerlukan adanya pembuktian
terlebih dahulu.
◦ Contoh kerugian yang diderita oleh pihak ketiga
akibat pendaratan darurat atau jatuhnya barang
dan/atau orang dari pesawat udara
Hubungan konvensi warsawa 1929 dengan
ordonansi pengangkutan udara Stb 1939/100
konvensi
warsawa 1929 berlaku
untuk penerbangan internasional
Stb 1939/100 berlaku untuk
penerbanagan dalam negeri.
Tanggung jawab pengangkut dalam
Konvensi warsawa 1929 dan konvensi
roma 1933 dan 1954
Konvensi Warsawa 1929 menganut prinsip:
presumption of liability (praduga bersalah)
◦ Perusahaan penerbangan dianggap bersalah sehingga harus membayar
ganti kerugian yang diderita oleh penumpang/ atau pengirim barang
tanpa dibuktikan kesalahan terlebih dahulu.
Beban
pembuktian terbalik
◦ Perusahaan penerbangan harus membuktikan tidak bersalah
Tanggung
jawab hukum tidak terbatas (unlimited liability)
◦ Perusahaan tidak berhak menggunakan batas ganti rugi yang ditentukan
oleh konvensi apabila kerugian disebabkab oleh kesalahan yang di
sengaja oleh perusahaan
◦ Perusahaan penerbangan bertanggung jawab mengganti berapapun
jumlah kerugian.
Jumlah
ganti rugi
◦ Penumpang --> 125.000 franc
◦ Bagasi/ kargo – 250 franc/ kg
◦ Barang pribadi – 5.000 franc
◦ Merupakan batas minimum ganti rugi
Konvensi Roma 1933 dan 1952
Menganut prinsip absolute / strict liability
◦ Korban tidak perlu membuktikan kesalahan
penerbangan tetapi otomatis mendapat ganti
kerugian
◦ Berlaku bagi pesawat asing yang mengalami
kecelakaan di negara anggota dan
menimbulkan dampak kerugian di bumi
(darat atau air)
Jika
kecelakaan terjadi di udara berlaku
konsep fault liability
Tanggung jawab pengangkutan menurut
hukum udara nasional indonesia
Stb
1939 Nomor 100 tentang
ordonansi pengangkutan udara,
tanggung jawab pengangkut:
◦ presumption of liability (praduga
bersalah)
◦ Tanggung jawab terbatas kecuali
apabila penumpang bisa
membuktikan adanya kesalahan
yang disengaja oleh perusahaan.
Asuransi Penerbangan
UU
No.33 Tahun 1964 tentang Dana
Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang
jo. PP No.17 Tahun 1965 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib
Kecelakaan Penumpang.
Pasal 1 huruf a
◦ Setiap penumpang dari pesawat udara perusahaan
penerbangan nasional wajib membayar iuran wajib
melalui perusahaan penerbangan yang
bersangkutan untuk menutup kerugian akibat
kecelakaan selama penerbnagan berlangsung.