MAKALAH HUKUM UDARA DAN RUANG ANGKASA
TUGAS
HUKUM INTERNASIONAL
“Hukum Udara”
SEKSI
KELOMPOK VII
Nama
:
a) Nama (NIM)
b) Nama (NIM)
c) Nama (NIM)
d) Nama (NIM)
e) Nama (NIM)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA
JAKARTA
2014
Kata Pengantar
Puji dan Syukur kami Panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya kami dapat menyelesaikan tugas
hukum internasional dengan tema “Hukum Udara” ini tepat pada waktunya.
Kami berharap tugas ini dapat memberikan suatu dampak positif dan
pembelajaran bagi kita semua.
Makalah yang kami buat ini, kami buat demi melengkapi tugas Hukum
Internasional. Kami pun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik
konstruktif di harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
1
Daftar Isi
Kata Pengantar...........................................................................................................................i
Daftar Isi...................................................................................................................................ii
Bab I. Pendahuluan...................................................................................................................1
A.
Latar Belakang..........................................................................................................1
B.
Rumusan Masalah......................................................................................................1
Bab II. Pembahasan...................................................................................................................2
A.
Pengertian hukum udara dan ruang angkasa..............................................................2
B.
Status yuridis hukum luar angkasa.............................................................................2
C.
Resolusi-Resolusi Majelis Umum..............................................................................3
D.
Prinsip Umum Hukum Angkasa berdasarkan Outer Space Treaty.............................7
E. Hak dan Kewajiban Negara...........................................................................................9
Bab III. Penutup......................................................................................................................11
A.
Kesimpulan...............................................................................................................11
B.
Saran.........................................................................................................................11
Daftar Pustaka..........................................................................................................................iii
2
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Hukum Udara dan angkasa luar (antariksa) merupakan salah satu cabang ilmu hukum
internasional yang relatif baru, karena baru mulai berkembang pada permulaan abad ke-20
setelah munculnya pesawat udara. Oleh karena itu berbeda dengan hukum laut yang pada
umumnya bersumber pada hukum kebiasaan, hukum udara dan angkasa luar terutama
didasarkan pada ketentuan-ketentuan konvensional, sedangkan hukum kebiasaan hanya
mempunyai peranan tambahan dalam pembentukan hukum udara dan angkasa luar.
Pada awalnya banyak yang berpendapat bahwa ruang udara mempunyai status yang
analog dengan laut yaitu kedaulatan territorial Negara atas ruang udara di atasnya dengan
ketinggian tertentu dan selanjutnya berlaku regime kebebasan seperti kedaulatan negara atas
laut wilayah yang dilanjutkan dengan regime kebebasan di laut lepas. Pendapat yang
diformulasikan dalam bentuk ini masih diperdebatkan dalam forum internasional karena
banyak Negara menganggap ruang udara dalam keseluruhannya tetap ditundukkan pada
kedaulatan Negara yang berada di bawahnya.1
Sebagai akibat dari kemajuan teknologi penerbangan yang serba canggih, manusia
mulai melakukan kegiatan-kegiatan angkasa luar. Peluncuran satelit buatan Sputnik 1 pada
permulaan bulan Oktober 1957, peluncuran astronot pertama Yuri Gagarin dalam pesawat
ruang angkasa pada tahun 1961, dan terutama pendaratan di bulan oleh misi Appolo XI
tahun 1969, menyebabkan orang berpikir bahwa ruang angkasa luar, seperti halnya dengan
laut lepas, tidak mungkin dimiliki oleh Negara manapun juga.2
B. Rumusan Masalah
Tugas untuk paper kelompok ini adalah hukum udara yang akan juga dipresentasikan per
kelompok. Isi paper ini antara lain mencakup:
1. Pengaturan hukum ruang angkasa menurut hukum internasional?
2. Prinsip-prinsip dalam hukum ruang angkasa internasional?
3. Hak dan kewajiban Negara menurut hukum ruang angkasa internasional?
1 Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Dinamika Global, Penerbit: PT.
Alumni, Bandung, cetakanb ke- 7, 2010, hlm. 379.
2 AK, Syahmin and Utama, Meria and Idris, Akhmad, Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Penerbit: Unit
Penelitian Fakultas Hukum Unsri dan Unsri Press, Palembang, 2012, hlm. 11.
1
4. Hal-hal lain yang dianggap penting oleh kelompok ini?
Bab II. Pembahasan
A. Pengertian hukum udara dan ruang angkasa
Hukum Udara adalah serangkaian ketentuan nasional dan internasional mengenai
pesawat, navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua hubungan hukum, publik
ataupun perdata, yang timbul dari navigasi udara domestik dan internasional.3
Hukum Ruang Angkasa adalah hukum yang ditujukan untuk mengatur hubungan
antara Negara-negara, untuk menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari
segala aktivitas yang tertuju kepada ruang angkasa dan di ruang angkasa serta aktivitas itu
demi kepentingan seluruh umat manusia, untuk memberikan perlindungan terhadap
kehidupan, terrestrial dan non-terrestrial, di manapun aktivitas itu dilakukan.4
B. Status yuridis hukum luar angkasa
Pasal 1 konvensi paris 1919 secara tegas menyatakan bahwa Negara-negara pihak
mengakui bahwa tiap-tiap Negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang
udara ang terdapat di atas wilayah. Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral
prinsip yang terdapat dalam konvensi paris 1919. Kedua konvensi tersebut dengan sengaja
menjelaskan bahwa wilayah Negara juga terdiri dari laut wilayahnya yang berdekatan.5
Hal ini juga dinyatakan oleh pasal 2 konvensi jenewa mengenai laut wilayah dan oleh
pasal 2 ayat 2 konvensi PBB tentang hukum laut 1982. 6 Ketentuan-ketentuan yang berlaku
terhadap navigasi udara, termasuk udara diatas laut wilayah, sama sekali berbeda dengan
ketentuan-ketentuan yang mengatur pelayaran maritime. Terutama tidak ada norma-norma
hukum kebiasaan yang memperolehkan secara bebas lintas terbang diatas wilayah
Negara,yang dapat disamakan dengan prinsip hak lintas damai di perairan nasional suatu
Negara.
3 AK, Syahmin and Utama, Meria and Idris, Akhmad, Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Penerbit: Unit
Penelitian Fakultas Hukum Unsri dan Unsri Press, Palembang, 2012, hlm. 15.
4 John C. Cooper, Aerospace Law – Subject Matter and Terminology, Recueil des course, JALC, 2003, hlm.,
89.
5 Boer Mauna, Op. Cit., hlm., 389.
6 Hall Bronner, R, Freedom of the Air on the Convention on the Law of the Sea, AJIL, Vol 71, 2003, hlm.,
317.
2
2.
Ruang Udara Internasional
Kedaulatan teritorial suatu Negara berhenti pada batas-batas luar dari laut
wilayahnya. Kedaulatan ini tidak berlaku terhadap ruang udara yang terdapat diatas laut
lepas atau zona-zona dimana Negara-negara pantai hanya mempunyai hak-hak berdaulat
seperti atas landas kontinen. Atas alasan keamanan, status kebebasan yang berlaku dilaut
lepas tidak pula mungkin bersifat absolute. Pasal 12 konvensi Chicago dengan alasan
keamanan tersebut menyatakan bahwa diatas laut lepas ketentuan yang berlaku adalah
ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh ICAO sehubungan dengan penerbangan dan maneuver
pesawat-pesawat yang terdapat dalam annex dari konvensi.7
Namun internasionalisasi dinilai kurang lengkap. Pertama karena kekuasaan
pengaturan oleh ICAO terbatas pada penerbangan sipil dan tidak berlaku terhadap pesawatpesawat udara public walaupun majelis dari ICAO talah menyarankan kepada Negara-negara
pihak untuk memasukkan dalam legislasi nasionalnya masing-masing ketentuan-ketentuan
yang juga diberlakukan kepada pesawat-pesawat public yaitu ketentuan-ketentuan udara
seperti yang terdapat dalam annek II dari konvensi. ICAO tidak mempunyai wewenang
pelaksanaan, kepada masing-masing pihaklah diberikan wewenang untuk mengambil
tindakan agar pesawat udara yang mempunyai kebangsaan dari Negara tersebut yang berada
diatas laut lepas atau zona eksklusif menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan dan
peraturan-peraturan yang berlaku (pasal 12 konvensi).8
C. Resolusi-Resolusi Majelis Umum
Hukum angkasa luar ini berbeda dari cabang-cabang hukum internasional lainnya
mempunyai ciri-ciri khusus yaitu sifat hukumnya yang asli, menyangkut kepentingan yang
bersifat universal dan peranan penting yang diamainkan oleh Negara-negara adi daya uni
soviet dan amerika serikat. Ciri-ciri khas ini terutama peranan kedua Negara adi daya
tersebut telah menyebabkan prosedur pembuatan hukum antariksa cukup unik yang dimulai
dengan perundingan-perundingan bilateral antara kedua Negara diatas yang dilanjutkan
dengan pembahasan-pembahasan di majelis umum PBB. Majelis umum merumuskan
7 Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Udara dan Angkasa, Penerbit: PT Alumni, Bandung, Edisi Baru, 2009,
hlm., 101.
8 Boer Mauna, Op. Cit., hlm., 429-430.
3
prinsip-prinsip umum yang dimuat oleh resolusi-resolusi dan perjanjian-perjanjian yang
bersifat universal.9
Pada permulaan awal November 1963, majelis umum menerima sesuatu resolusi
mengenai pelucutan senjata (res.1149-Xll) yang berisikan kepeduliannya atas bahaya
penggunaan angkasa luar untuk tujuan militer. Kemudian dalam semangat yang sama,
majelis umum pada tanggal 17 oktober 1973 menerima resolusi yang meminta Negaranegara anggota untuk tidak menempatkan di orbit benda-benda yang membawa senjata
nuklir atau senjata pemusnah missal lainnya.
Pada tahun 1961 di tahun peluncuran yuri Gagarin dengan pesawat ruang angkasanya,
majelis umum pada tanggal 20 desember 1961 menerima resolusi pertamanya bersifat
substantive yang mencanangkan prinsip kebebasan ruang angkasa. Dua tahun kemudian
pada tahun 1963, majelis umum menerima deklarasi prinsip-prinsip yuridik yang mengatur
kegiatan-kegiatan Negara di bidang eksplorasi dan penggunaan angkasa luar . deklarasi yang
juga diterima oleh amerika serikat dan uni soviet tersebut talah memungkinkan masyarakat
internasional untuk merumuskan suatu perjanjian internasional umum mengenai ruang
angkasa. Berkat perundingan-perundingan yang berhasil dengan baik antara uni soviet dan
amerika serikat dan hasil-hasil karya dari komite penggunaan secara damai angkasa luar,
akhirnya majelis umum pada tanggal 19 desember 1966 menerima perjanjian internasional
mengenai prinsip-prinsip yang mengatur kegiatan-kegiatan Negara dibidang eksplorasi dan
penggunaan angkasa luar termasuk bulan dan benda-benda angkasa alamiah lainnya.
Perjanjian ini dapat dianggap sebagai dokumen hukum induk bagi kegiatan-kegiatan di
ruang angkasa luar.
Perjanjian ini secara serentak dibuka untuk penandatanganan di London, moskow dan
Washington tanggal 27 januari 1967 dan dengan cepat mulai berlaku tanggal 10 oktober
tahun yang sama. Sesuai dengan namanya dan atas keinginan uni soviet dokumen hukum
tersebut hanya semacam kerangka yang menyebutkan prinsip-prinsip umum yang
selanjutnya harus diperjelas, dirinci dan dilaksanakan.
Perjanjian-perjanjian Internasional Yang Diterima Majelis Umum sebagai kelanjutan
deklarasi 1963 dan perjanjian internasional 1967. Majelis umum menerima 4 perjanjian
tambahan yang melengkapi dari mengembangkan dokumen-dokumen yang telah ada yaitu:
9 AK, Syahmin and Utama, Meria and Idris, Akhmad, Op. Cit., hlm., 33.
4
1) Persetujuan mengenai penyelamatan astronot, pengembalian astronot dan resitusi bendabenda yang diluncurkan keruang angkasa tanggal 22 april 1968, Res. No.2345 (XXII).
2) Konvensi mengenai tanggung jawab internasional untuk kerugian yang disebabkan
benda-benda spasil tanggal 29 maret 1972, Res. 2223 (XXIX) 19 desember 1966.
3) Konvensi mengenai imatrikulasi benda-benda yang duiluncurkan ke angkasa luar
tanggal 14 januari 1975, Res. 3235 (XXIX).
4) Persetujuan yang mengatur kegiatan-kegiatan Negara di bulan dan benda-benda ruang
angkasa lain, tanggal 18 desember 1979, Res 34/68.
Komite Penggunaan Secara Damai Ruang Angkasa Luar. Pada tahun 1958 segera
setelah peluncuran satelit buatan pertama. Majelis umum PBB memutuskan untuk
mendirikan suatu AD Hoc Commite On the Peacefull Usus of the outer Space untuk
membahas :
1) Kegiatan-kegiatan dan sumber-sumber PBB, badan-badan khusus dan badan-badan
internasional lainnya mengenai penggunaan secara damai ruang angkasa luar.
2) Kerjasama internasional dan program-program di bidang yang kiranya dapat dilakukan
dibawah naungan PBB.
3) Pengaturan-pengaturan organisasi untuk mempermudah kerjasama internasional dalam
rangka PBB.
4) Masalah-masalah hukum yang dapat muncul dalam kegiatan eksplorasi ruang angkasa
5) Ada Juga Beberapa Teori Yang Dilahirkan Dari Organisasi Internasional, Perjanjian
Internasional, Cara Bekerja Sebuah Pesawat Angkasa, Cara Bekerja Transmisi
Gelombang Radio, Teori Orbit Satelit. Antara lain:
1.
Teori ICAO (International Civil Aviation Organization).
Teori ini berdasarkan pada bunyi konvensi Chicago tahun 1944 dengan segenap annex-
nya yang menggunakan batas berlakunya ketentuan hukum udara internasional. Dimulai
batas maksimum yang dapat dipakai oleh pesawat udara (aircraft) dengan mendefinisikan
pesawat udara sebagai”. Setiap alat yang mendapat gaya angkat aerodinamis di atmosfir
karena reaksi udara. Dapat dikatakan bahwa ruang angkasa dimulai pada saat tidak ada
5
reaksi udara menurut teknologi penerbangan berkisar 25 mil sampai 30 mil dari permukaan
bumi atau sekitar 60.000 kaki.
2.
Teori Transmisi Radio
Teori ini didasarkan pada sifat gelombang yang memancar melalui perantaraan
konduktor atmosfir udara dapat ditentukan bahwa batas ruang angkasa dimulai dari batas
maksimum udara dimana gelombang radio tidak dapat menembus batas tersebut melainkan
kembali memantul ke bumi ketinggian berdasarkan teori berkisar 150 mil sampai 300 mil
dari permukaan bumi.
3.
Teori Outer Space Treaty 1967.
Teori ini memberi batas antara ruang udara dan ruang angkasa berdasarkan teori titik
terendah orbit suatu satelit atau suatu space objects. Pembatasan teori outer space treaty
bersifat tidak pasti. Hal ini bergantung pada karakteristik suatu satelit buatan dan kepadatan
atmosfir di suatu orbit pada waktu tertentu. Menurut teori ini, ruang angkasa dimulai pada
ketinggian 80 Km diatas permukaan bumi yang merupakan batas ketinggian minimum
(lower limit) dari suatu orbit satelit.
4.
Teori GSO (Geo Stationary Orbit).
Teori ini dipakai oleh negara-negara “kolong” dimana negaranya dilalui garis
khatulistiwa termasuk Indonesia untuk memperjuangkan klaim hak-hak berdaulat,
mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam di ruang angkasa yang berbentuk cincin
ketinggian berkisar 36.000 km dari permukaan bumi. Teori ini lahir dari kegigihan
perjuangan negara-negara equator (khatulistiwa) untuk memperoleh preferential rights atas
GSO.10
5.
Teori Pesawat Lockheed U-2
Teori ini milik Amerika Serikat dengan kemampuan terbang berkisar 78. 000 kaki.
Pesawat LU-2 jenis pengintai ini ditembak jatuh oleh USSR. Sehingga menimbulkan perang
argumentasi antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Pihak Uni Soviet memprotes Amerika
karena pesawat udaranya telah memasuki wilayah udara Uni Soviet. Sebaliknya, Amerika
berdalih bahwa pesawatnya terbang pada ketinnggian yang dikategorikan sebagai wilayah
ruang angkasa yang bebas dari klaim kedaulatan dari negara manapun.
10 Ida Bagus Rahmadi Supancana, Perkembangan Pengaturan GSO dalam Forum Internasional dalam E.
Saefullah dan Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa dan Perkembangannya, Penerbit: Remadja Karya,
Bandung, (Edisi baru) 2008, 151.
6
6.
Teori Space Shuttle atau teori Orbiter.
Untuk memperkuat argumentasi yuridis masalah status hukum pesawat ulang-alik yang
banyak menimbulkan silang pendapat di kalangan ilmuan hukum udara. Beberapa ilmuan
hukum udara masih belum bisa menarik kesimpulan tentang penundukan hukum atas
pesawat ulang alik. Di satu sisi tunduk pada hukum ruang angkasa dan di sisi lain tunduk
pada hukum udara internasional. Karena sifat-sifat kendaraan tersebut selalu berubah-ubah,
kadang sifatnya sebagai pesawat angkasa dan juga sebagai pesawat udara biasa (K Martono,
1987). Untuk memperkuat argumen yuridis berkenaan dengan batas delimitasi ruang udara
dan ruang angkasa dapat dilihat dari proses kerja pesawat ulang alik pada saat menjalankan
misinya. Meluncur ke ruang angkasa melalui tiga tahapan yakni tahap ascend/launching
(peluncuran), tahap orbital (penempatan ke orbit), dan tahap descend (pulang turun kembali
ke bumi memasuki atmosfir). Turunya pesawat dengan gaya aerodinamis menggunakan
reaksi udara mirip pesawat udara komersial biasa. Dari proses kerja pesawat ini dapat
diambil teori penentuan delimitasi ruang udara dan ruang angkasa. Teori tersebut adalah
batas ruang udara berlaku pada saat tangki luar bahan bakar pecah dan terbakar disusul dua
roket pendorong lepas pada ketinggian 50 mil dari permukaan bumi.
D. Prinsip Umum Hukum Angkasa berdasarkan Outer Space Treaty
Pertama: larangan pemilikan nasional atas ruang angkassa dan benda-benda langit
(non-apptoptiation). Hal ini tercantum dalam pasal 2 Outer Space Treaty (OST) yang
berbunyi: “ruang angkasa teermasuk bulan dan benda-benda langit lainnya tidak dapat
dijadikan milik nasonal baik melalui pernyataan kedaulatan, penggunaan, ataupun
pendudukan melalui cara lain apapun.
Kedua: hak-hak yang sama bagi semua Negara untuk secara bebas memanfaatkan
ruang angkasa
Ketiga: kebebasan melakukan penyelidikan ilmiah di ruang angkasa; melindungi hakhak berdaulat Negara atas objek-objek ruang angkasa yang diluncurkan oleh mereka
Keempat: kerjasama Negara-negara dengan tujuan, memberikan bantuan kepada awak
pesawat ruang angkasa daloam suatu peristiwa darurat
Secara keseluruhan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Space Treaty 1967 meliputi:11
11 Juajir Sumardi, Hukum Ruang Angkasa (suatu pengantar), Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, hlm. 15.
7
a) Eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa, bulan dan benda-benda ruang angkasa
lainnya bagi semua Negara untuk tujuan damai dan kerjasama internasional (pasal 1
dan 2 Article I Space Traty 1967). Terkandung juga dalam prinsip ini bahwa untuk
merealisasikan kebebasan ekploitasi ruang angkasa, maka ruang angkasa dan bendabenda angkasa lainnya tidak boleh dijadikan sebagai objek kepemilikan yaitu dengan
melakukan sebuah klaim kedaulatan suatu Negara (Article II Space Treaty 1967);
b) Pelaksanaan eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa harus sesuai dengan hukum
internasional dan piagam PBB;
c) Larangan penempatan senjata-senjata di ruang angkasa;
d) Pemberian bantuan kepada astronot dan pemberitahuan mengenai gejala-gejala yang
membahayakan di ruang angkasa;
e) Tanggung jawab internasional harus dilakukan oleh Negara yang melaksanakan
kegiatan di ruang angkasa;
f) Ganti rugi atas kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan di ruang angkasa;
g) Jurisdiksi Negara peluncur atas person dan objek yang diluncurkan;
h) Prinsip pencegahan terhadap pencemaran terhadap pencemaran dan kontaminasi dari
ruang angkasa dan benda-benda ruang angkasa;
i) Prinsip tentang keharusan memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal PBB dan
masyarakat internasional mengenai maksud dan tujuan serta hasil dari kegiatan ruang
angkasa;
j) Prinsip penggunaan sistem ruang angkasa secara bersama.
Konvensi Chicago 1944 memiliki 4 prinsip yaitu:12
a) Airspace Soverignty
b) Nationality of Aircraft
c) Condition to Fulfill with the Respect to Aircraft or by Their Operators
d) International Cooperation and Facilitation
12 T.May Rudy, Hukum Internasional 2, Refika Aditama, Bandung, 2002, hlm. 31.
8
E. Hak dan Kewajiban Negara
Hak Negara:
1) Hak untuk melakukan eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa.dalam hal ini setiap
Negara dapat secara bebas untuk mengeksplorasi dan menggunakan ruang angkasa
untuk kepentingan negaranya maupun kepentingan internasional namun harus
dilakukan dengan tujuan damai dan bukan untuk menguasai atau untuk hal-hal yang
tidak baik dan merugikan.
2) Hak untuk memperoleh ganti rugi bila mengalami kerugian akibat benda-benda
angkasa. Dalam hal ini Negara yang mengalami kerugian akibat benda-benda langit
milik Negara lain berhak untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang dideritanya.
Seperti misalnya jatuhnya roket suatu Negara ke wilayah Negara lain dan
mengakibatkan kerugian bagi Negara tersebut, maka Negara yang mengalami
kerugian dapat menuntut ganti rugi kepada Negara peluncur roket tersebut.
3) mempunyai yurisdiksi dan wewenang untuk mengawasi benda antariksa termasuk
personil didalamnya. Dalam hal ini Negara-negara yang memiliki benda-benda ruang
angkasa dapat secara bebas mengawasi benda antariksanya dan personil didalamnya
tanpa ada yurisdiksi karena ruang angkasa adalah milik bersama bukan milik salah
satu / beberapa Negara saja
4) Hak untuk mengakses benda-benda langit dan benda-benda angkasa Negara lain.
Dalam hal ini setiap Negara bebas mengakses benda langit Negara manapun dengan
seijin Negara yang bersangkutan namun dalam beberapa hal seperti untuk mengakses
ISS (International Space Station) tidak perlu mendapatkan izin karena ISS
merupakan milik bersama, dan penggunaannya bersifat umum.
Kewajiban Negara:
1) Tunduk pada ketentuan hukum internasional dan PBB. Dalam PBB yang mengatur
urusan ini adalah badan PBB yaitu UN-COPUOS United Nations Committee on the
Peaceful Uses of Outer Space dan UNOOSA (United Nations Office for Outer Space
Affairs)
2) memberikan bantuan kepaada astronot Dalam hal ini bantuan harus diberikan kepada
astronpt yang mengalami keadaan darurat di ruang angkasa dan mengembalikan
benda-benda yang dimaksud disini adalah benda-benda angkasa milik setiap Negara
9
yang meluncurkan benda-benda angkasanya ke ruang angkasa, maka Negara tersebut
harus membawa kembali benda-benda angkasanya ke bumi setelah penggunaannya
selesai
3) Bertanggung jawab secara internasional terhadap benda-benda angkasanya. Dalam
hal ini jika benda angkasa suatu Negara jatuh dan menimbulkan kerusakan dan
kerugian bagi Negara lain, maka Negara pemilik benda-benda angkasa tersebut harus
bertanggung jawab atas kerugian yang di derita oleh Negara yang mengalami
kerugian akibat jatuhnya benda-benda angkasa milik Negara peluncur / pengirim
benda-benda angkasa
4) Mendaftarkan dan memberitahukan benda-benda angkasanya. Dalam hal ini Negara
harus mendaftarkan benda-benda angkasanya kepada komite internasional / PBB
yang mengatur tentang ruang angkasa dan memberitahukannya kepada public akan
benda-benda angkasa yang dimilikinya
5) Melakukan perlindungan dan pelestarian lingkungan. Dalam hal ini dalam
kepemilikan benda-benda ruang angkasa suatu Negara tidak boleh menimbulkan
kerusakan lingkungan baik di bumi maupun di ruang angkasa
6) Melakukan pengawasan dan control terhadap benda-benda angkasanya. Hal ini harus
dilakukan secara terus menerus sehingga jika benda-benda angkasa miliknya
mengalami masalah Negara pemilik dapat segera mengatassinya
7) Melaakukan kerjasama internasional. Kerjasama internasonal dalam hal ini salah
satunya adalah dalam menolong astronot yang mengalami masalah di ruang angkasa,
selain itu dalam pembuatan benda-benda angkasa juga diperlukan kerjasama
internasional seperti dalam pembuatan ISS (International Space Station).
Bab III. Penutup
A. Kesimpulan
Masalah
penetapan
garis
batas
antara
ruang
udara
dan
ruang
angkasa.
Adalah suatu kenyataan bahwa Negara-negara di dunia ini mengakui perlu adanya
penegasan mengenai perbatasan antara ruang udara yang berada dalam kedaulatan penuh
suatu Negara dan ruang angkasa yang bebas dan hanya digunakan untuk kepentingan
kemanusiaan dan perdamaian.
10
B. Saran
Dari pernyataan diatas maka harus ada penegasan antara hak dan kewajiban setiap
Negara wajib untuk mematuhi aturan hukum udara dan ruang angkasa tersebut. Menurut
kami dalam perkembangannya, hukum-hukum yang mengatur tentang udara dan ruang
angakasa akan masih berkembang lagi.
11
Daftar Pustaka
AK, Syahmin and Utama, Meria and Idris, Akhmad, 2012, Hukum Udara dan Ruang
Angkasa, Penerbit: Unit Penelitian Fakultas Hukum Unsri dan Unsri Press,
Palembang.
Boer Mauna, 2010, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Dinamika
Global. Penerbit: PT. Alumni, Bandung, cetakanb ke- 7.
Hall Bronner, R, 2003, Freedom of the Air on the Convention on the Law of the Sea, AJIL,
Vol 71.
Ida Bagus Rahmadi Supancana, 2008, Perkembangan Pengaturan GSO dalam Forum
Internasional dalam E. Saefullah dan Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa
dan Perkembangannya, Penerbit: Remadja Karya, Bandung, (Edisi baru).
John C. Cooper, 2003, Aerospace Law – Subject Matter and Terminology, Recueil des
course, JALC.
Juajir Sumardi, 1996, Hukum Ruang Angkasa (suatu pengantar), Pradnya Paramita, Jakarta.
Mieke Komar Kantaatmadja, 2009, Hukum Udara dan Angkasa, Penerbit: PT Alumni,
Bandung, Edisi Baru.
T.May Rudy, 2002, Hukum Internasional 2, Refika Aditama, Bandung.
http://www.oosa.unvienna.org/
http://www.oosa.unvienna.org/oosa/COPUOS/copuos.html
3
HUKUM INTERNASIONAL
“Hukum Udara”
SEKSI
KELOMPOK VII
Nama
:
a) Nama (NIM)
b) Nama (NIM)
c) Nama (NIM)
d) Nama (NIM)
e) Nama (NIM)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA
JAKARTA
2014
Kata Pengantar
Puji dan Syukur kami Panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya kami dapat menyelesaikan tugas
hukum internasional dengan tema “Hukum Udara” ini tepat pada waktunya.
Kami berharap tugas ini dapat memberikan suatu dampak positif dan
pembelajaran bagi kita semua.
Makalah yang kami buat ini, kami buat demi melengkapi tugas Hukum
Internasional. Kami pun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik
konstruktif di harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
1
Daftar Isi
Kata Pengantar...........................................................................................................................i
Daftar Isi...................................................................................................................................ii
Bab I. Pendahuluan...................................................................................................................1
A.
Latar Belakang..........................................................................................................1
B.
Rumusan Masalah......................................................................................................1
Bab II. Pembahasan...................................................................................................................2
A.
Pengertian hukum udara dan ruang angkasa..............................................................2
B.
Status yuridis hukum luar angkasa.............................................................................2
C.
Resolusi-Resolusi Majelis Umum..............................................................................3
D.
Prinsip Umum Hukum Angkasa berdasarkan Outer Space Treaty.............................7
E. Hak dan Kewajiban Negara...........................................................................................9
Bab III. Penutup......................................................................................................................11
A.
Kesimpulan...............................................................................................................11
B.
Saran.........................................................................................................................11
Daftar Pustaka..........................................................................................................................iii
2
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Hukum Udara dan angkasa luar (antariksa) merupakan salah satu cabang ilmu hukum
internasional yang relatif baru, karena baru mulai berkembang pada permulaan abad ke-20
setelah munculnya pesawat udara. Oleh karena itu berbeda dengan hukum laut yang pada
umumnya bersumber pada hukum kebiasaan, hukum udara dan angkasa luar terutama
didasarkan pada ketentuan-ketentuan konvensional, sedangkan hukum kebiasaan hanya
mempunyai peranan tambahan dalam pembentukan hukum udara dan angkasa luar.
Pada awalnya banyak yang berpendapat bahwa ruang udara mempunyai status yang
analog dengan laut yaitu kedaulatan territorial Negara atas ruang udara di atasnya dengan
ketinggian tertentu dan selanjutnya berlaku regime kebebasan seperti kedaulatan negara atas
laut wilayah yang dilanjutkan dengan regime kebebasan di laut lepas. Pendapat yang
diformulasikan dalam bentuk ini masih diperdebatkan dalam forum internasional karena
banyak Negara menganggap ruang udara dalam keseluruhannya tetap ditundukkan pada
kedaulatan Negara yang berada di bawahnya.1
Sebagai akibat dari kemajuan teknologi penerbangan yang serba canggih, manusia
mulai melakukan kegiatan-kegiatan angkasa luar. Peluncuran satelit buatan Sputnik 1 pada
permulaan bulan Oktober 1957, peluncuran astronot pertama Yuri Gagarin dalam pesawat
ruang angkasa pada tahun 1961, dan terutama pendaratan di bulan oleh misi Appolo XI
tahun 1969, menyebabkan orang berpikir bahwa ruang angkasa luar, seperti halnya dengan
laut lepas, tidak mungkin dimiliki oleh Negara manapun juga.2
B. Rumusan Masalah
Tugas untuk paper kelompok ini adalah hukum udara yang akan juga dipresentasikan per
kelompok. Isi paper ini antara lain mencakup:
1. Pengaturan hukum ruang angkasa menurut hukum internasional?
2. Prinsip-prinsip dalam hukum ruang angkasa internasional?
3. Hak dan kewajiban Negara menurut hukum ruang angkasa internasional?
1 Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Dinamika Global, Penerbit: PT.
Alumni, Bandung, cetakanb ke- 7, 2010, hlm. 379.
2 AK, Syahmin and Utama, Meria and Idris, Akhmad, Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Penerbit: Unit
Penelitian Fakultas Hukum Unsri dan Unsri Press, Palembang, 2012, hlm. 11.
1
4. Hal-hal lain yang dianggap penting oleh kelompok ini?
Bab II. Pembahasan
A. Pengertian hukum udara dan ruang angkasa
Hukum Udara adalah serangkaian ketentuan nasional dan internasional mengenai
pesawat, navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua hubungan hukum, publik
ataupun perdata, yang timbul dari navigasi udara domestik dan internasional.3
Hukum Ruang Angkasa adalah hukum yang ditujukan untuk mengatur hubungan
antara Negara-negara, untuk menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari
segala aktivitas yang tertuju kepada ruang angkasa dan di ruang angkasa serta aktivitas itu
demi kepentingan seluruh umat manusia, untuk memberikan perlindungan terhadap
kehidupan, terrestrial dan non-terrestrial, di manapun aktivitas itu dilakukan.4
B. Status yuridis hukum luar angkasa
Pasal 1 konvensi paris 1919 secara tegas menyatakan bahwa Negara-negara pihak
mengakui bahwa tiap-tiap Negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang
udara ang terdapat di atas wilayah. Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral
prinsip yang terdapat dalam konvensi paris 1919. Kedua konvensi tersebut dengan sengaja
menjelaskan bahwa wilayah Negara juga terdiri dari laut wilayahnya yang berdekatan.5
Hal ini juga dinyatakan oleh pasal 2 konvensi jenewa mengenai laut wilayah dan oleh
pasal 2 ayat 2 konvensi PBB tentang hukum laut 1982. 6 Ketentuan-ketentuan yang berlaku
terhadap navigasi udara, termasuk udara diatas laut wilayah, sama sekali berbeda dengan
ketentuan-ketentuan yang mengatur pelayaran maritime. Terutama tidak ada norma-norma
hukum kebiasaan yang memperolehkan secara bebas lintas terbang diatas wilayah
Negara,yang dapat disamakan dengan prinsip hak lintas damai di perairan nasional suatu
Negara.
3 AK, Syahmin and Utama, Meria and Idris, Akhmad, Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Penerbit: Unit
Penelitian Fakultas Hukum Unsri dan Unsri Press, Palembang, 2012, hlm. 15.
4 John C. Cooper, Aerospace Law – Subject Matter and Terminology, Recueil des course, JALC, 2003, hlm.,
89.
5 Boer Mauna, Op. Cit., hlm., 389.
6 Hall Bronner, R, Freedom of the Air on the Convention on the Law of the Sea, AJIL, Vol 71, 2003, hlm.,
317.
2
2.
Ruang Udara Internasional
Kedaulatan teritorial suatu Negara berhenti pada batas-batas luar dari laut
wilayahnya. Kedaulatan ini tidak berlaku terhadap ruang udara yang terdapat diatas laut
lepas atau zona-zona dimana Negara-negara pantai hanya mempunyai hak-hak berdaulat
seperti atas landas kontinen. Atas alasan keamanan, status kebebasan yang berlaku dilaut
lepas tidak pula mungkin bersifat absolute. Pasal 12 konvensi Chicago dengan alasan
keamanan tersebut menyatakan bahwa diatas laut lepas ketentuan yang berlaku adalah
ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh ICAO sehubungan dengan penerbangan dan maneuver
pesawat-pesawat yang terdapat dalam annex dari konvensi.7
Namun internasionalisasi dinilai kurang lengkap. Pertama karena kekuasaan
pengaturan oleh ICAO terbatas pada penerbangan sipil dan tidak berlaku terhadap pesawatpesawat udara public walaupun majelis dari ICAO talah menyarankan kepada Negara-negara
pihak untuk memasukkan dalam legislasi nasionalnya masing-masing ketentuan-ketentuan
yang juga diberlakukan kepada pesawat-pesawat public yaitu ketentuan-ketentuan udara
seperti yang terdapat dalam annek II dari konvensi. ICAO tidak mempunyai wewenang
pelaksanaan, kepada masing-masing pihaklah diberikan wewenang untuk mengambil
tindakan agar pesawat udara yang mempunyai kebangsaan dari Negara tersebut yang berada
diatas laut lepas atau zona eksklusif menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan dan
peraturan-peraturan yang berlaku (pasal 12 konvensi).8
C. Resolusi-Resolusi Majelis Umum
Hukum angkasa luar ini berbeda dari cabang-cabang hukum internasional lainnya
mempunyai ciri-ciri khusus yaitu sifat hukumnya yang asli, menyangkut kepentingan yang
bersifat universal dan peranan penting yang diamainkan oleh Negara-negara adi daya uni
soviet dan amerika serikat. Ciri-ciri khas ini terutama peranan kedua Negara adi daya
tersebut telah menyebabkan prosedur pembuatan hukum antariksa cukup unik yang dimulai
dengan perundingan-perundingan bilateral antara kedua Negara diatas yang dilanjutkan
dengan pembahasan-pembahasan di majelis umum PBB. Majelis umum merumuskan
7 Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Udara dan Angkasa, Penerbit: PT Alumni, Bandung, Edisi Baru, 2009,
hlm., 101.
8 Boer Mauna, Op. Cit., hlm., 429-430.
3
prinsip-prinsip umum yang dimuat oleh resolusi-resolusi dan perjanjian-perjanjian yang
bersifat universal.9
Pada permulaan awal November 1963, majelis umum menerima sesuatu resolusi
mengenai pelucutan senjata (res.1149-Xll) yang berisikan kepeduliannya atas bahaya
penggunaan angkasa luar untuk tujuan militer. Kemudian dalam semangat yang sama,
majelis umum pada tanggal 17 oktober 1973 menerima resolusi yang meminta Negaranegara anggota untuk tidak menempatkan di orbit benda-benda yang membawa senjata
nuklir atau senjata pemusnah missal lainnya.
Pada tahun 1961 di tahun peluncuran yuri Gagarin dengan pesawat ruang angkasanya,
majelis umum pada tanggal 20 desember 1961 menerima resolusi pertamanya bersifat
substantive yang mencanangkan prinsip kebebasan ruang angkasa. Dua tahun kemudian
pada tahun 1963, majelis umum menerima deklarasi prinsip-prinsip yuridik yang mengatur
kegiatan-kegiatan Negara di bidang eksplorasi dan penggunaan angkasa luar . deklarasi yang
juga diterima oleh amerika serikat dan uni soviet tersebut talah memungkinkan masyarakat
internasional untuk merumuskan suatu perjanjian internasional umum mengenai ruang
angkasa. Berkat perundingan-perundingan yang berhasil dengan baik antara uni soviet dan
amerika serikat dan hasil-hasil karya dari komite penggunaan secara damai angkasa luar,
akhirnya majelis umum pada tanggal 19 desember 1966 menerima perjanjian internasional
mengenai prinsip-prinsip yang mengatur kegiatan-kegiatan Negara dibidang eksplorasi dan
penggunaan angkasa luar termasuk bulan dan benda-benda angkasa alamiah lainnya.
Perjanjian ini dapat dianggap sebagai dokumen hukum induk bagi kegiatan-kegiatan di
ruang angkasa luar.
Perjanjian ini secara serentak dibuka untuk penandatanganan di London, moskow dan
Washington tanggal 27 januari 1967 dan dengan cepat mulai berlaku tanggal 10 oktober
tahun yang sama. Sesuai dengan namanya dan atas keinginan uni soviet dokumen hukum
tersebut hanya semacam kerangka yang menyebutkan prinsip-prinsip umum yang
selanjutnya harus diperjelas, dirinci dan dilaksanakan.
Perjanjian-perjanjian Internasional Yang Diterima Majelis Umum sebagai kelanjutan
deklarasi 1963 dan perjanjian internasional 1967. Majelis umum menerima 4 perjanjian
tambahan yang melengkapi dari mengembangkan dokumen-dokumen yang telah ada yaitu:
9 AK, Syahmin and Utama, Meria and Idris, Akhmad, Op. Cit., hlm., 33.
4
1) Persetujuan mengenai penyelamatan astronot, pengembalian astronot dan resitusi bendabenda yang diluncurkan keruang angkasa tanggal 22 april 1968, Res. No.2345 (XXII).
2) Konvensi mengenai tanggung jawab internasional untuk kerugian yang disebabkan
benda-benda spasil tanggal 29 maret 1972, Res. 2223 (XXIX) 19 desember 1966.
3) Konvensi mengenai imatrikulasi benda-benda yang duiluncurkan ke angkasa luar
tanggal 14 januari 1975, Res. 3235 (XXIX).
4) Persetujuan yang mengatur kegiatan-kegiatan Negara di bulan dan benda-benda ruang
angkasa lain, tanggal 18 desember 1979, Res 34/68.
Komite Penggunaan Secara Damai Ruang Angkasa Luar. Pada tahun 1958 segera
setelah peluncuran satelit buatan pertama. Majelis umum PBB memutuskan untuk
mendirikan suatu AD Hoc Commite On the Peacefull Usus of the outer Space untuk
membahas :
1) Kegiatan-kegiatan dan sumber-sumber PBB, badan-badan khusus dan badan-badan
internasional lainnya mengenai penggunaan secara damai ruang angkasa luar.
2) Kerjasama internasional dan program-program di bidang yang kiranya dapat dilakukan
dibawah naungan PBB.
3) Pengaturan-pengaturan organisasi untuk mempermudah kerjasama internasional dalam
rangka PBB.
4) Masalah-masalah hukum yang dapat muncul dalam kegiatan eksplorasi ruang angkasa
5) Ada Juga Beberapa Teori Yang Dilahirkan Dari Organisasi Internasional, Perjanjian
Internasional, Cara Bekerja Sebuah Pesawat Angkasa, Cara Bekerja Transmisi
Gelombang Radio, Teori Orbit Satelit. Antara lain:
1.
Teori ICAO (International Civil Aviation Organization).
Teori ini berdasarkan pada bunyi konvensi Chicago tahun 1944 dengan segenap annex-
nya yang menggunakan batas berlakunya ketentuan hukum udara internasional. Dimulai
batas maksimum yang dapat dipakai oleh pesawat udara (aircraft) dengan mendefinisikan
pesawat udara sebagai”. Setiap alat yang mendapat gaya angkat aerodinamis di atmosfir
karena reaksi udara. Dapat dikatakan bahwa ruang angkasa dimulai pada saat tidak ada
5
reaksi udara menurut teknologi penerbangan berkisar 25 mil sampai 30 mil dari permukaan
bumi atau sekitar 60.000 kaki.
2.
Teori Transmisi Radio
Teori ini didasarkan pada sifat gelombang yang memancar melalui perantaraan
konduktor atmosfir udara dapat ditentukan bahwa batas ruang angkasa dimulai dari batas
maksimum udara dimana gelombang radio tidak dapat menembus batas tersebut melainkan
kembali memantul ke bumi ketinggian berdasarkan teori berkisar 150 mil sampai 300 mil
dari permukaan bumi.
3.
Teori Outer Space Treaty 1967.
Teori ini memberi batas antara ruang udara dan ruang angkasa berdasarkan teori titik
terendah orbit suatu satelit atau suatu space objects. Pembatasan teori outer space treaty
bersifat tidak pasti. Hal ini bergantung pada karakteristik suatu satelit buatan dan kepadatan
atmosfir di suatu orbit pada waktu tertentu. Menurut teori ini, ruang angkasa dimulai pada
ketinggian 80 Km diatas permukaan bumi yang merupakan batas ketinggian minimum
(lower limit) dari suatu orbit satelit.
4.
Teori GSO (Geo Stationary Orbit).
Teori ini dipakai oleh negara-negara “kolong” dimana negaranya dilalui garis
khatulistiwa termasuk Indonesia untuk memperjuangkan klaim hak-hak berdaulat,
mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam di ruang angkasa yang berbentuk cincin
ketinggian berkisar 36.000 km dari permukaan bumi. Teori ini lahir dari kegigihan
perjuangan negara-negara equator (khatulistiwa) untuk memperoleh preferential rights atas
GSO.10
5.
Teori Pesawat Lockheed U-2
Teori ini milik Amerika Serikat dengan kemampuan terbang berkisar 78. 000 kaki.
Pesawat LU-2 jenis pengintai ini ditembak jatuh oleh USSR. Sehingga menimbulkan perang
argumentasi antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Pihak Uni Soviet memprotes Amerika
karena pesawat udaranya telah memasuki wilayah udara Uni Soviet. Sebaliknya, Amerika
berdalih bahwa pesawatnya terbang pada ketinnggian yang dikategorikan sebagai wilayah
ruang angkasa yang bebas dari klaim kedaulatan dari negara manapun.
10 Ida Bagus Rahmadi Supancana, Perkembangan Pengaturan GSO dalam Forum Internasional dalam E.
Saefullah dan Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa dan Perkembangannya, Penerbit: Remadja Karya,
Bandung, (Edisi baru) 2008, 151.
6
6.
Teori Space Shuttle atau teori Orbiter.
Untuk memperkuat argumentasi yuridis masalah status hukum pesawat ulang-alik yang
banyak menimbulkan silang pendapat di kalangan ilmuan hukum udara. Beberapa ilmuan
hukum udara masih belum bisa menarik kesimpulan tentang penundukan hukum atas
pesawat ulang alik. Di satu sisi tunduk pada hukum ruang angkasa dan di sisi lain tunduk
pada hukum udara internasional. Karena sifat-sifat kendaraan tersebut selalu berubah-ubah,
kadang sifatnya sebagai pesawat angkasa dan juga sebagai pesawat udara biasa (K Martono,
1987). Untuk memperkuat argumen yuridis berkenaan dengan batas delimitasi ruang udara
dan ruang angkasa dapat dilihat dari proses kerja pesawat ulang alik pada saat menjalankan
misinya. Meluncur ke ruang angkasa melalui tiga tahapan yakni tahap ascend/launching
(peluncuran), tahap orbital (penempatan ke orbit), dan tahap descend (pulang turun kembali
ke bumi memasuki atmosfir). Turunya pesawat dengan gaya aerodinamis menggunakan
reaksi udara mirip pesawat udara komersial biasa. Dari proses kerja pesawat ini dapat
diambil teori penentuan delimitasi ruang udara dan ruang angkasa. Teori tersebut adalah
batas ruang udara berlaku pada saat tangki luar bahan bakar pecah dan terbakar disusul dua
roket pendorong lepas pada ketinggian 50 mil dari permukaan bumi.
D. Prinsip Umum Hukum Angkasa berdasarkan Outer Space Treaty
Pertama: larangan pemilikan nasional atas ruang angkassa dan benda-benda langit
(non-apptoptiation). Hal ini tercantum dalam pasal 2 Outer Space Treaty (OST) yang
berbunyi: “ruang angkasa teermasuk bulan dan benda-benda langit lainnya tidak dapat
dijadikan milik nasonal baik melalui pernyataan kedaulatan, penggunaan, ataupun
pendudukan melalui cara lain apapun.
Kedua: hak-hak yang sama bagi semua Negara untuk secara bebas memanfaatkan
ruang angkasa
Ketiga: kebebasan melakukan penyelidikan ilmiah di ruang angkasa; melindungi hakhak berdaulat Negara atas objek-objek ruang angkasa yang diluncurkan oleh mereka
Keempat: kerjasama Negara-negara dengan tujuan, memberikan bantuan kepada awak
pesawat ruang angkasa daloam suatu peristiwa darurat
Secara keseluruhan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Space Treaty 1967 meliputi:11
11 Juajir Sumardi, Hukum Ruang Angkasa (suatu pengantar), Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, hlm. 15.
7
a) Eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa, bulan dan benda-benda ruang angkasa
lainnya bagi semua Negara untuk tujuan damai dan kerjasama internasional (pasal 1
dan 2 Article I Space Traty 1967). Terkandung juga dalam prinsip ini bahwa untuk
merealisasikan kebebasan ekploitasi ruang angkasa, maka ruang angkasa dan bendabenda angkasa lainnya tidak boleh dijadikan sebagai objek kepemilikan yaitu dengan
melakukan sebuah klaim kedaulatan suatu Negara (Article II Space Treaty 1967);
b) Pelaksanaan eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa harus sesuai dengan hukum
internasional dan piagam PBB;
c) Larangan penempatan senjata-senjata di ruang angkasa;
d) Pemberian bantuan kepada astronot dan pemberitahuan mengenai gejala-gejala yang
membahayakan di ruang angkasa;
e) Tanggung jawab internasional harus dilakukan oleh Negara yang melaksanakan
kegiatan di ruang angkasa;
f) Ganti rugi atas kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan di ruang angkasa;
g) Jurisdiksi Negara peluncur atas person dan objek yang diluncurkan;
h) Prinsip pencegahan terhadap pencemaran terhadap pencemaran dan kontaminasi dari
ruang angkasa dan benda-benda ruang angkasa;
i) Prinsip tentang keharusan memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal PBB dan
masyarakat internasional mengenai maksud dan tujuan serta hasil dari kegiatan ruang
angkasa;
j) Prinsip penggunaan sistem ruang angkasa secara bersama.
Konvensi Chicago 1944 memiliki 4 prinsip yaitu:12
a) Airspace Soverignty
b) Nationality of Aircraft
c) Condition to Fulfill with the Respect to Aircraft or by Their Operators
d) International Cooperation and Facilitation
12 T.May Rudy, Hukum Internasional 2, Refika Aditama, Bandung, 2002, hlm. 31.
8
E. Hak dan Kewajiban Negara
Hak Negara:
1) Hak untuk melakukan eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa.dalam hal ini setiap
Negara dapat secara bebas untuk mengeksplorasi dan menggunakan ruang angkasa
untuk kepentingan negaranya maupun kepentingan internasional namun harus
dilakukan dengan tujuan damai dan bukan untuk menguasai atau untuk hal-hal yang
tidak baik dan merugikan.
2) Hak untuk memperoleh ganti rugi bila mengalami kerugian akibat benda-benda
angkasa. Dalam hal ini Negara yang mengalami kerugian akibat benda-benda langit
milik Negara lain berhak untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang dideritanya.
Seperti misalnya jatuhnya roket suatu Negara ke wilayah Negara lain dan
mengakibatkan kerugian bagi Negara tersebut, maka Negara yang mengalami
kerugian dapat menuntut ganti rugi kepada Negara peluncur roket tersebut.
3) mempunyai yurisdiksi dan wewenang untuk mengawasi benda antariksa termasuk
personil didalamnya. Dalam hal ini Negara-negara yang memiliki benda-benda ruang
angkasa dapat secara bebas mengawasi benda antariksanya dan personil didalamnya
tanpa ada yurisdiksi karena ruang angkasa adalah milik bersama bukan milik salah
satu / beberapa Negara saja
4) Hak untuk mengakses benda-benda langit dan benda-benda angkasa Negara lain.
Dalam hal ini setiap Negara bebas mengakses benda langit Negara manapun dengan
seijin Negara yang bersangkutan namun dalam beberapa hal seperti untuk mengakses
ISS (International Space Station) tidak perlu mendapatkan izin karena ISS
merupakan milik bersama, dan penggunaannya bersifat umum.
Kewajiban Negara:
1) Tunduk pada ketentuan hukum internasional dan PBB. Dalam PBB yang mengatur
urusan ini adalah badan PBB yaitu UN-COPUOS United Nations Committee on the
Peaceful Uses of Outer Space dan UNOOSA (United Nations Office for Outer Space
Affairs)
2) memberikan bantuan kepaada astronot Dalam hal ini bantuan harus diberikan kepada
astronpt yang mengalami keadaan darurat di ruang angkasa dan mengembalikan
benda-benda yang dimaksud disini adalah benda-benda angkasa milik setiap Negara
9
yang meluncurkan benda-benda angkasanya ke ruang angkasa, maka Negara tersebut
harus membawa kembali benda-benda angkasanya ke bumi setelah penggunaannya
selesai
3) Bertanggung jawab secara internasional terhadap benda-benda angkasanya. Dalam
hal ini jika benda angkasa suatu Negara jatuh dan menimbulkan kerusakan dan
kerugian bagi Negara lain, maka Negara pemilik benda-benda angkasa tersebut harus
bertanggung jawab atas kerugian yang di derita oleh Negara yang mengalami
kerugian akibat jatuhnya benda-benda angkasa milik Negara peluncur / pengirim
benda-benda angkasa
4) Mendaftarkan dan memberitahukan benda-benda angkasanya. Dalam hal ini Negara
harus mendaftarkan benda-benda angkasanya kepada komite internasional / PBB
yang mengatur tentang ruang angkasa dan memberitahukannya kepada public akan
benda-benda angkasa yang dimilikinya
5) Melakukan perlindungan dan pelestarian lingkungan. Dalam hal ini dalam
kepemilikan benda-benda ruang angkasa suatu Negara tidak boleh menimbulkan
kerusakan lingkungan baik di bumi maupun di ruang angkasa
6) Melakukan pengawasan dan control terhadap benda-benda angkasanya. Hal ini harus
dilakukan secara terus menerus sehingga jika benda-benda angkasa miliknya
mengalami masalah Negara pemilik dapat segera mengatassinya
7) Melaakukan kerjasama internasional. Kerjasama internasonal dalam hal ini salah
satunya adalah dalam menolong astronot yang mengalami masalah di ruang angkasa,
selain itu dalam pembuatan benda-benda angkasa juga diperlukan kerjasama
internasional seperti dalam pembuatan ISS (International Space Station).
Bab III. Penutup
A. Kesimpulan
Masalah
penetapan
garis
batas
antara
ruang
udara
dan
ruang
angkasa.
Adalah suatu kenyataan bahwa Negara-negara di dunia ini mengakui perlu adanya
penegasan mengenai perbatasan antara ruang udara yang berada dalam kedaulatan penuh
suatu Negara dan ruang angkasa yang bebas dan hanya digunakan untuk kepentingan
kemanusiaan dan perdamaian.
10
B. Saran
Dari pernyataan diatas maka harus ada penegasan antara hak dan kewajiban setiap
Negara wajib untuk mematuhi aturan hukum udara dan ruang angkasa tersebut. Menurut
kami dalam perkembangannya, hukum-hukum yang mengatur tentang udara dan ruang
angakasa akan masih berkembang lagi.
11
Daftar Pustaka
AK, Syahmin and Utama, Meria and Idris, Akhmad, 2012, Hukum Udara dan Ruang
Angkasa, Penerbit: Unit Penelitian Fakultas Hukum Unsri dan Unsri Press,
Palembang.
Boer Mauna, 2010, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Dinamika
Global. Penerbit: PT. Alumni, Bandung, cetakanb ke- 7.
Hall Bronner, R, 2003, Freedom of the Air on the Convention on the Law of the Sea, AJIL,
Vol 71.
Ida Bagus Rahmadi Supancana, 2008, Perkembangan Pengaturan GSO dalam Forum
Internasional dalam E. Saefullah dan Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa
dan Perkembangannya, Penerbit: Remadja Karya, Bandung, (Edisi baru).
John C. Cooper, 2003, Aerospace Law – Subject Matter and Terminology, Recueil des
course, JALC.
Juajir Sumardi, 1996, Hukum Ruang Angkasa (suatu pengantar), Pradnya Paramita, Jakarta.
Mieke Komar Kantaatmadja, 2009, Hukum Udara dan Angkasa, Penerbit: PT Alumni,
Bandung, Edisi Baru.
T.May Rudy, 2002, Hukum Internasional 2, Refika Aditama, Bandung.
http://www.oosa.unvienna.org/
http://www.oosa.unvienna.org/oosa/COPUOS/copuos.html
3