Pembaruan Agraria Dan Otonomi Daerah - GWR

PEMBARUAN AGRARIA DAN OTONOMI DAERAH
Oleh : Gunawan Wiradi

PENGANTAR
Dalam “Kabinet Persatuan Nasional” sekarang ini, status “Menteri Negara Agraria” di hapuskan,
dan BPN (Badan Pertanahan Nasional) ditempatkan dibawah koordinasi Menteri Ekuin. Selanjutnya,
status “kepala BPN” dirangkap oleh Menteri Dalam Negeri (lihat, Keppres no 135 dan 154/1999).
Sebagian masyarakat ada yang menyambut dengan gembira ketetapan tersebut. Bahkan ada yang
mengharap agar BPN sama sekali di likwidasi, karena toh kita akan melaksanakan Otonomi Daerah
melalui UU no 22/1999, dan kinerja BPN selama Orde Baru sering menjadi sasaran kritik yang tajam.
Namun bagi sebagian masyarakat yang lain, ketetapan tersebut justru mengundang tanda tanya, karena hal
itu mencerminkan arah yang tidak transparan “kemanakah politik nasional agraria kita hendak dibawa“.
Penulis artikel ini sependapat dengan pandangan yang kedua. Pertanyaan yang sangat mendasar
tersebut, belum pernah di jawab secara eksplisit, baik oleh pemerintah Orde Baru maupun oleh pemerintah
pasca Orde Baru. Memang, jawaban atas petanyaan itu sangat tergantung dari persepsi dan visi kita tentang
masalah agraria. Mengingat bahwa selama 20 tahun terakhir ini Indonesia di warnai oleh ribuan kasus
sengketa agraria, maka jika belajar dari sejarah, kita perlu mengagendakan Reforma Agraria. “Agrarian
Reform is the off spring of agrarian conflict“ (Christodoulou, 1990 : 112)
Kondisi keagrariaan kita dewasa ini sudah begitu kompleks, bahkan semrawut. Hal ini
menyebabkan bahwa “.... reforma agraria menjadi sangat sulit, namun sekaligus juga, justru diperlukan “
(White and Wiradi, 1984). Otonomi daerah harus memberi peluang untuk itu.


1. KEBIJAKAN AGRARIA ORDE BARU
Bagi seorang pengamat seperti saya, masalah kelembagaan (seperti BPN) itu sifatnya hanya
derivat. Pertanyaan yang paling mendasar tersebut diatas harus dijawab lebih dulu yaitu, “Politik nasional
agraria kita itu hendak dibawa kemana ?”
Pandangan saya ini didasarkan atas dua prinsip, yaitu, pertama, seyogyanya pemeritah sekarang
ini tidak mengulangi kesalahan Orde Baru. Kedua, reformasi total tanpa Reforma Agraria (tanpa “si”)
hampir tidak ada artinya. Tapi apa kesalahan Orde Baru ? Dan apa yang dimaksud dengan Reforma
Agraria ?
Strategi pembangunan Orde Baru dari awal sudah salah, karena tidak meletakan masalah agraria
sebagai basis pembangunan. Mengapa, karena Orde Baru salah persepsi mengenai masalah agraria.
Agraria hanya dianggap sebagai “tanah“, dan tanah hanya dilihat sebagai “faktor produksi“ khususnya
untuk pangan. Maka diambillah kebijakan jalan pintas (By-pass Approach), yaitu Revolusi Hijau Tanpa
Reforma Agraria. Banyak literatur asing yang mengupas hal ini. (lihat, a.l. Christodoulou, 1990)
Dalam pengertian modern, agraria itu mencakup bumi, air, dan kekayaan yang terkandung
didalamnya meskipun tetap tanah menjadi soal pokoknya. Masalah agraria itu melandasi hampir semua
aspek kehidupan. Bukan “sektor”. Karena itu, bagi negara agraris, seharusnya masalah agraria itu ditata
ulang dulu sebelum melaksanakan pembangunan. Sekarang, nasi sudah menjadi bubur. Karena tidak ditata
secara integral lebih dulu, maka berbagai sektor berjalan sendiri-sendiri. Hukum tumpang tindih dan
kondisi keagrariaan semakin semrawut. Semuanya itu berkaitan erat dengan kebijakan umum Orde Baru.

Kebijakan umum Orde Baru adalah kebijakan elitis, bertumpu kepada yang kuat (betting on the
strong). Asumsinya, kalau banyak konglomerat, seluruh bangsa akan makmur, karena akan terjadi “tetesan
ke bawah”. Karena itu, pembesaran “kueh nasional” harus dinomor satukan, sedangkan pemerataan
(sebagai perwujudan dari keadilan sosial) dinomor duakan. Apa hasilnya? Telah kita saksikan bersama,
“kueh nasional” itu ternyata diboyong oleh beberapa gelintir orang saja. Bahkan diboyong ke luar negeri.
Orde Baru juga terlalu menyandarkan diri kepada hutang luar negeri dan modal asing, sampai
“kebablasan”. Slogan kemandirian hanya berhenti sebagai slogan kosong. Bantuan, hutang, dan investasi
asing, yang semula selalu didengungkan “hanya sebagai pelengkap”, ternyata makin lama bukan makin
berkurang, melainkan “semakin lengkap”.
Kebijakan umum seperti itulah yang mendorong kebijakan agraria Orde Baru setahap demi
setahap diarahkan untuk lebih melayani kepentingan modal daripada untuk kepentingan rakyat. Rakyat

dikorbankan demi kepentingan modal, yang katanya, untuk memperbesar “kueh nasional”. Dalam proses
selanjutnya, berkembanglah pemikiran untuk menciptakan “pasar tanah”. Secara implisit, ini mengandung
arti bahwa tanah di pandang sebagai “komoditi”. Padahal, jauh hari, yaitu pada tahun 1946, salah satu
proklamator kita Bung Hatta, sudah memperingatkan bahwa seharusnya tanah jangan diperlakukan
sebagai komoditi (barang dagangan yang diperjual belikan semata-mata demi keuntungan). Sebab, hal itu
akan berakibat merajalelanya spekulasi tanah. Karena Bung Hatta seorang ekonom generasi tua, dapat di
duga bahwa mungkin pemikirannya di pengaruhi oleh hipotesa-hipotesa Henry George, seorang ekonom
abad-19, melalui bukunya berjudul Progress and Poverty (1879). Memang, buku kono itu sekarang tentu

sudah jarang di baca orang. Namun perlu dicatat bahwa hasil studi yang dilakukan oleh seorang ekonom
kontemporer, Fred Harrison pada awal dekade 1980-an, telah membuktikan hipotesa Henry George benar.
Yaitu bahwa hampir semua krisis ekonomi yang pernah dialami dunia, sumber utamanya adalah
merajalelanya spekulasi tanah. (lihat buku Harrison, The Power in the Land, 1983). Karena itu, boleh saja
mengambil kebijakan pasar bebas, namun dalam hal tanah, pemerintah justru harus melakukan intervensi.
Bukan untuk menciptakan pasar tanah, tapi untuk melindungi rakyat.
Atas dasar itu pula maka pada tahun 1996, satu tahun sebelum Indonesia dilanda krisis, saya sudah
menulis dalam jurnal ini dan (sekalipun dengan bahasa yang agak tersamar) sudah memperingatkan bahwa
jika kebijakan agraria Orde Baru seperti itu, kita akan menghadapi krisis. (lihat Jurnal Analisis Sosial No 3,
Juli, 1996). Hanya dalam tempo satu tahun, ternyata ramalan saya benar! Tahun 1997, Indonesia mulai
terjerumus ke dalam krisis yang cukup berat.
Secara normatif pun, kebijakan elitis pada hakekatnya bertentangan dengan semangat yang
terkandung di dalam UUD-1945 dan UUPA-1960. Lepas dari beberapa kelemahan yang ada di dalam
keduanya, baik UUD-1945 maupun UUPA-1960 pada hakekatnya bernuansa neo- populis, bukan elitis!
Ribuan kasus sengketa agraria yang mewarnai suasana selama 15 tahun terakhir masa Orde Baru,
seharusnya sudah cukup untuk menyadarkan kita semua bahwa masalah agraria adalah persoalan
mendasar, dan kesalahan yang lalu tidak harus di ulang.

II. REFORMA AGRARIA DAN OTONOMI DAERAH
Sebelum mengulas masalah otonomi daerah, ada baiknya diuraikan secara ringkas apa yang sudah

saya terangkan dalam berbagai tulisan, tentang Reforma Agraria lebih dulu. Pembaruan tata-agraria, atau
yang di kenal dengan istilah “land reform”, umurnya sudah sangat tua, yaitu lebih dari 2500 tahun. Apa
yang dilakukan oleh Solon, seorang penguasa Yunani kuno 594 tahun Sebelum Masehi, dikenal sebagai
“land reform” yang pertama di dunia, walaupun gagal. Sekitar 30 tahun kemudian penguasa baru,
Pisistratus, melakukan lagi, dan berhasil. Semboyannya adalah “land-to-the-tiller” (Tanah untuk
penggarap). Dalam abad-abad selanjutnya land reform juga di lakukan di berbagai negara (lihat Gunawan
wiradi, 1998).
Dalam sejarah yang panjang itu, gagasan land reform mengalami perkembangan. Bukan saja
konsepnya, tapi juga subtansinya, modelnya, sifat pelaksanaanya, berubah dan beragam diantara berbagai
negara, sesuai dengan konteks jamannya, dan kondisi obyektif masing-masing negara.
“Land reform” adalah penataan ulang susunan pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah,
agar terjadi pembagian yang adil, khususnya demi kepentingan rakyat banyak. Land reform bukan
semata-mata membagi-bagi tanah. Yang dimaksud dengan “redistribusi”, bukanlah membagi-bagi seperti
membagi sembako, melainkan “menata kembali sebaran” pemilik, penguasaan, dan penggunaan tanah.
Kemudian, rumusan sederhana seperti itu dianggap kurang memadai, karena sebelumnya, dampak
negatifnya belum dirasakan. Karena itu, belajar dari pengalaman sejarah sebelumnya, maka
berkembanglah gagasan bahwa program land reform itu perlu di lengkapi dengan program-program
penunjangannya, termasuk program pasca reformasi (perkreditan, pemasaran, teknologi, pendidikan dan
latihan, dan lain sebagainya). Land reform dengan paket lengkap seperti itu disebut dengan istilah bahasa
Inggris “Agrarian Reform” atau sekarang lebih populer dalam bahasa Spanyol Reforma Agraria. Negara

pertama yang melakukan Reforma Agraria adalah Bulgaria pada tahun 1880. (Russel King, 1977).
Di Indonesia pemahaman mengenai “land reform” dan Reforma Agraria memang masih simpang
siur, karena hal ini memang banyak seluk beluknya.
Pada tahun 1979, Indonesia mengirimkan sebuah delegasi besar untuk menghadiri Konperensi
Sedunia Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan, di Roma. Konperensi itu menghasilkan sebuah

deklarasi, yang kemudian diterbitkan dengan judul The Peasants’ Charter (Piagam Petani). Dalam
deklarasi itu dinyatakan bahwa :
“Tujuan Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan adalah transformasi kehidupan dan
kegiatan pedesaan dalam semua aspeknya: aspek ekonomi, sosial, budaya, kelembagaan,
lingkungan dan kemanusiaan. Sasaran dan strategi untuk mencapai itu haruslah dikendalikan oleh
kebijakan yang berusaha mencapai pertumbuhan dengan pemerataan, redistribusi kuasa-kuasa
ekonomi dan politik serta partisipasi rakyat“ (TPC,1981 : 6).
Rumusan panjang tersebut memang mendapat banyak kritik karena terkesan kompromistis,
sehingga esensinya menjadi kabur. Namun yang penting, keluarnya deklarasi itu, bagaimana juga,
menunjukan bahwa relevansi Reforma Agraria telah memperoleh pengakuan dunia. Anehnya, Indonesia
Orde Baru yang nota bene menghadiri konperensi itu, tidak menindak lanjuti, malahan seolah acuh tak
acuh terhadap isi dokumen tersebut.
Tindak lanjutnya justru diprakarsai oleh sejumlah pakar dunia. Pada tahun 1981, diselenggarakan
suatu Lokakarya international mengenai Reforma Agraria di Hotel Selabintana, Sukabumi, Jawa Barat.

Namun saat itu, pers dan media elektronik dilarang meliput, sehingga masyarakat luas tidak
mengetahuinya. Hasil Lokakarya tersebut berisi sejumlah kesimpulan yang di tarik dari pengalaman
berbagai negara. Isinya antara lain adalah bahwa jika suatu negara memang mempunyai kemauan politik
untuk melaksanakan Reforma Agraria, maka kelembagaan operasional yang dianggap lebih memadai
adalah sebuah Badan Otorita yang hanya bertanggung jawab kepada Presiden ataupun Perdana Menteri.
Badan khusus itu juga perlu dibentuk di tingkat daerah.
Badan khusus itu, baik di tingkat pusat maupun daerah, mempunyai dua fungsi pokok, yaitu
mengkoordinasikan berbagai sektor; dan kedua, mendorong atau memfasilitasi percepatan proses.
Mengapa? Karena, Reforma Agraria adalah suatu program yang bernuansa “gebrakan cepat”, bukan kerja
rutin ! Jadi, ada umurnya (misalnya, lima tahun, seperti di Jepang, Taiwan, India, dll.; atau 17 tahun,
seperti di Mesir).
Dapat diduga bahwa lahirnya BPN (Badan Pertanahan Nasional) di Indonesia (1988) sedikit
banyak dilatar belakangi oleh Lokakarya Selabintana tersebut di atas, karena hasilnya memang pernah di
sampaikan kepada Menteri Dalam Negeri (waktu itu Amir Machmud). Sayangnya, fungsi yang diberikan
kepada BPN tidak seperti yang direkomendasikan.
Jadi jelasnya, kalau kita berfikir dalam konteks Reforma Agraria, lembaga seperti BPN memang
perlu dipertahankan. Bahkan justru harus di tingkatkan kewenangannya. Mengapa? Karena agraria itu
melandasi hampir semua aspek kehidupan. Ia bukan “sektor”! Agraria justru melandasi semua sektor.
Bukan sekedar “pelayan” bagi sektor lain, tapi menjadi “Koordinator”. Bahwa BPN selama ini dinilai
mempunyai banyak kekurangan atau katakanlah “keburukan”, itu yang harus diperbaiki. Sebab

“keburukan” itu justru produk dari kebijakan dan tingkah laku Orde Baru sendiri.
Bagaiman dengan Otonomi Daerah? apakah dengan menyerahkan kewenangan ke daerah masalah
agraria akan menjadi selesai? Masih banyak pertanyaan yang harus di jawab. Dalam UU no 22/1999,
satu-satunya pasal yang menyebut masalah pertanahan adalah pasal-11. Isinya masih sangat umum. Belum
menjanjikan apa-apa.
Memang benar, dengan adanya otonomi daerah, peluang bagi suatu pembaruan agraria yang
demokratis terbuka lebar. Namun hal ini masih sangat tergantung dari kualitas Pemda dan kualitas
DPRD-nya. Harus dijaga jangan sampai “sentralisme” jusru tersebar menjadi “sentralisme” kecil-kecil di
tingkat daerah. Pemahaman yang mendalam mengenai seluk beluk pembaruan agraria perlu dimiliki oleh
Pemda dan DPRD-nya. Pembaruan agraria, dimanapun selalu disertai dengan berbagai konflik. Justru
disinilah letak relevansi adanya Badan Otorita tingkat pusat, karena salah satu fungsinya yang lain adalah
mengatasi konflik.
Perlu dicatat, bahwa bahkan dinegara yang berbentuk federal pun (seperti India), Badan Otorita
tingkat pusat itupun tetap ada. Tertapi, sekali lagi, ini kalau kita berbicara dalam konteks Reforma Agraria.
Jika pemerintah sekarang ini memang tidak mempunyai kemauan politik untuk melakukan Reforma
Agraria, itu soal lain. Namun itu berarti pemerintah kurang menangkap aspirasi rakyat, khususnya rakyat
tani. Sekarang ini pemerintah mungkin dapat berdalih : “Kami hanya melaksanakan amanat GBHN !”.
Celakanya isi GBHN 1999-2004 sekarang ini, arah kebijakan dibidang agraria sifatnya mengambang,
tidak jelas, dan sama sekali tidak mengandung “sense of reform”. Karena, sekalipun diberi embel-embel


“secara adil”, “transparan”, dan seterusnya, namun tekanannya hanya sekedar “meningkatkan
pemanfaatan dan penggunaan tanah”. (lihat, GBHN Bab IV, butir-16).
Jika MPR sebagai lembaga tertinggi negara saja visinya tentang agraria masih seperti itu, dapat
dibayangkan bagaimana DPRD-DPRD di daerah. Inilah kekhawatiran yang ada.
Sebenarnya, otonomi daerah dapat menjadi sarana dan memberi peluang bagi pelaksanaan
Reforma Agraria yang didukung dan di “dongkrak” dari bawah, secara demokratis, atau
“Reform-By-Leverage”. (meminjam istilah dari Powelson and Stock, 1987). Untuk itu
organisasi-organisasi petani harus berdaya. Keberdayaan ormas tani inilah “dongkrak”nya. Namun hal ini
harus dijamin oleh Undang-Undang, sebagai “payung nasional”. Harus dijamin bahwa pelaksanaan
pembaruan agraria benar-benar mengikut sertakan rakyat melalui ormas-ormas tani yang representatif dan
bertanggung jawab. Yang justru harus dijaga adalah jangan sampai ada penafsiran bahwa demi
meningkatkan pendapatan Daerah, Pemerintah Daerah lalu merasa mempunyai wewenang untuk
memperlakukan tanah sebagai “komoditi”. Sebab, jika demikian, akan terdapat peluang terjadinya kolusi
antara Pemda dan Investor asing. Ini berarti sejarah jaman kolonial akan terulang.

DAFTAR ACUAN
1. CHRISTODOULOU, D. (1990): The Unpromised Land, Agrarian Reform and Conflict Worldwide, Zed
Books Ltd. London ; New Jersey.
2. GUNAWAN WIRADI (1996) : “Jangan Perlakukan Tanah Sebagai Komoditi “, dalam Jurnal Analisis
Sosial No 3 ; Juli 1996. Hal 33-42.

3. GUNAWAN WIRADI (1998) : “Reforma Agraria Dalam Perspektif Transisi Agraris”. Makalah dalam
Seminar Nasional Agraria, diselenggarakan oleh FSPI di Lampung, Oktober 1998.
4. HARRISON, Fred (1983) : The Power in The Land. Shepheard-Walwyn (Publishers) Ltd. London.
5. KING, Russell (1977) : Land Reform. A World Survey. Westview Press, Boulder Colorado.
6. FAO (1981) : The Peasants’Charter
7. POWELSON, J. P and R. STOCK (1987) : The Peasant Betrayed A. Lincoln Institute of Land Policy
Book. Oelgeschloger, Gunn & Hain, Publishers, Ltd, Boston.
8. WHITE, B. and G.WIRADI (1984) : Agrarian Reform in Comparative, Perspective. Policy Issues and
Research Needs (Draft). Hasil lokakarya International di Selabintana, Sukabumi, Jawa Barat (1981).