Ruang 10 Pemerintah Vol 1 Sistem

RUANG

VOL. 1 : SISTEM
Amalia Defiani - Bambang Eryudhawan - Fath Nadizti - Hendro
Sangkoyo - Indrawan Prabaharyaka - Ivan Nasution - Patrick Tantra Rofianisa Nurdin - Sherly de Yong - Tiara Anggita - Yulia Nurliani Lukito
- Yusni Aziz

April 2016

#10
PEMERINTAH

edisi #10: Pemerintah

2

ruang | kreativitas tanpa batas

RUANG #10: PEMERINTAH
Vol. 1: SISTEM


tidak akan terwujud tanpa kontribusi dari:
Sherly de Yong
Patrick Tantra
Yulia Nurliani Lukito
Amalia Deiani
Yusni Aziz
Roianisa Nurdin
Ivan Nasution
Fath Nadizti
Indrawan Prabaharyaka
Tiara Anggita

3

RUANG

PEMBUKA
Kontrak sosial kepada sebuah entitas yang mengatur hak dan kewajiban tiap individu dan masyarakat
dengan sistem hukum membentuk sebuah entitas yang sering kita sebut pemerintah.
Pemerintah menjadi kata yang berpolemik sejak Indonesia berusaha mencari bentuk negaranya. Sebelumnya, Moh.

Hatta mencetuskan kata “pengurus” (n orang mengurus) yang berdasar kepada nilai-nilai kolektivisme – gotong royong
dan usaha bersama. Sehingga, “pengurus” merupakan bagian dari rakyat. Sementara kata “penguasa” atau “pemerintah”
membawa nilai individualisme yang patut dilindungi. Pemerintah menjadi sebuah kedudukan superior yang tercerai
dengan rakyat. Hal ini membawa berbagai permasalahan terkait sistemik dan narasi yang terbentuk di ruang-ruang
kota.
Permasalahan-permasalahan ini dipertanyakan, dikritisi, dan dideinisikan kembali oleh kontributor-kontributor pada
edisi 10 ini. Ruang bersyukur mendapat masukan dari berbagai macam latar belakang disiplin keilmuan. Penyelenggara
negara, praktisi arsitektur dan perencana kota, akademisi, seniman, aktivis, pengamat, serta pecinta arsitektur dan
kota menawarkan beragam sudut pandang untuk membedah kompleksitas permasalahan tadi. Campuran antara
bahasa Indonesia, bahasa Inggris, ataupun bahasa Indonesia-Inggris memperkaya kemungkinan-kemungkinan yang
membebaskan, bukan malah memenjarakan. Semoga artikel-artikel ini memancing kita dengan pertanyaan-pertanyaan
lanjutan.
Dalam edisi ini, kedelapan belas artikel yang terkumpul dapat dituturkan dalam dua kelompok besar. Beberapa artikel
menyoroti soal visi dan peranan ideal beberapa komponen-komponen penyusun negara, kritik terhadap praktekpraktek hubungan diantara mereka hingga ide berkolaborasi dan bersinergi dalam sebuah “sistem”. Sementara
sebagian lain menawarkan “narasi” dalam membaca praktek-praktek yang berlangsung, seperti realita lapangan yang
seolah berjarak dengan visi, fenomena-fenomena politis keruangan atau pengaturan pengalaman ruang-ruang kota yang
membentuk manusia.
Kategori “Sistem” akan dibuka oleh Sherly de Yong, yang membahas tentang sebuah mekanisme kekuasaan untuk
mengatur perilaku individu-individu di dalam sebuah organisasi masyarakat melalui artikelnya “Panoptisisme
dan Pemerintahan”. Sementara Patrick Tantra melihat sistem kota dari sudut pandang ICT (nformation and

Communications Technology) dalam artikel “Government, Citizenship and Smart Cities”. Kemudian Yulia Nurliani
Lukito mengedepankan tentang “Sinergi Antara Arsitek dan Pemerintah” dalam studi kasus pada aliran Konstruktivisme
yang berkembang di Rusia. Sedangkan Amalia Deiani memaparkan argumen mengenai peranan visi dalam arah
kebijakan pemerintah pada studi kasus Bandar Udara Soekarno-Hatta dan Bandar Udara Baru Karawang dalam artikel
berjudul “Sistem Multi-bandara di Indonesia: Tinjauan dari Sudut Pandang Kebijakan”. Tim Ruang juga berkesempatan
mewawancara Bambang Eryudhawan dari Pusat Dokumentasi Arsitektur, yang saat ini turut aktif memperjuangkan
RUU Arsitek, untuk membagi pandangan dan pengalamannya dalam bergerak bersama pemerintah.
Selanjutnya, Ivan Nasution dalam artikel “Komunikasi Politik Media Sosial” mengedepankan tentang peranan media
dalam spektrum politik di Indonesia, terutama media sosial sebagai ruang publik baru di era Internet. Fath Nadizti,
dalam “Praktek Berarsitektur: Sebuah Krisis Jati Diri”, memotret dilema peran dan posisi arsitek dalam proyek
pemerintah pada studi kasus pengembangan kawasan Old Oak Common dan Park Royal, London Barat. Tim Ruang
juga mewawancarai Hendro Sangkoyo, Pendiri Sekolah Ekonomika Demokratika, mengenai kiprah sekolah tersebut
sejak didirikannya di tahun 2007. Kemudian, Indrawan Prabaharyaka dan Tiara Anggita menutup wacana tentang
“Sistem” mengritik dikotomi pemerintah dan rakyat melalui artikel yang berjudul “Kita adalah Pemerintah / pemerintah
/ pemerintahan”.
Dalam euforia memaknai kebebasan bicara dan berwacana secara lantang di ruang publik, fenomena di atas sedikit
banyak memberi andil dalam melahirkan beragam subkultur yang memperkaya kehidupan di ruang kota. Meski pada
akhirnya, bagaimana kita memaknai kehadiran mereka, akan kembali lagi kepada keberpihakan kita kepada nilai-nilai
yang mereka bawa.
Selamat memilih sudut pandang, selamat menikmati Ruang!


ISI
vol.1: Sistem

7

Panoptisisme dan Pemerintahan

esai Sherly de Yong

Governance, Citizenship and
Smart
Cities
essay

17

Patrick Tantra

27


Sinergi Antara Arsitek Dan Pemerintah

esai Yulia Nurliani Lukito

Sistem Multi-Bandara di Indonesia:
esai Tinjauan Dari Sudut Pandang
Kebijakan

33

Amalia Deiani

43

Kopi Pagi Bersama Bambang
wawancara Eryudhawan: Ada Apa Dengan RUU
Arsitek?
Yusni Aziz & Roianisa Nurdni


55

Komunikasi Politik Media Sosial

esai Ivan Nasution

Praktek Berarsitektur: Sebuah Krisis
esai Jati Diri

65

Fath Nadizti

75

Hendro Sangkoyo: Tentang SDE Dan
wawancara Gerilya Pemulihan Krisis
Yusni Aziz

89


Kita Adalah Pemerintah / Pemerintah /
esai Pemerintahan
Indrawan Prabaharyaka & Tiara Anggita

K O N T R I B U T O R
AMALIA DEFIANI telah AD
bekerja selama kurang lebih 7 tahun
sebagai Perencana Fasilitas Bandar
Udara dan Penyusun Peraturan
Perundang-undangan di Direktorat
Bandar Udara, Kementerian
Perhubungan. Ia berlatar belakang
Arsitektur di Institut Teknologi
FN
Bandung, Indonesia dan dual
degree Magister Sistem dan Teknik
Transportasi di Universitas Gadjah
Mada Indonesia dan Master of
Transport Planning dari Institute

for Transport Studies, University of
Leeds, Inggris.
IP

FATH NADIZTI, alumnus
program double-degree Arsitektur
ITS dan Saxion Hogeschool Belanda
tahun 2013. Aktif di Bandung
bersama komunitas dan kegiatan
action research. Melanjutkan
program magister Urban Studies di
IN
University College London karena
rasa ingin tahu terhadap politik
kehidupan berkota.
INDRAWAN
PRABAHARYAKA is a
researcher who has been working
for urban and sanitation sector. Past PT
experiences includes UNESCOIHE and international NGOs based

in Indonesia. Recently, he worked
as Program Coordinator for the
National Task Force for Water and
Sanitation (Pokja AMPL Nasional),
a cross-institutional government
organization under the Ministry of RN
National Development Planning.
Currently, he is a PhD researcher
in Munich Center for Technology
in Society, Technische Universität
München (TUM).

IVAN NASUTION lulus dari
arsitektur ITB, kemudian bekerja
di Park+Associates Architect.
Setelah menyelesaikan penelitian di
Berlage Institute Rotterdam pada
tahun 2011, kini ia menjadi research
associate di Centre for Sustainable
Asian Cities, NUS.

PATRICK TANTRA is
interested in how context shapes
the built environment and in a
holistic approach to resolving design
problems. He recently obtained
his MSc in Smart Cities and Urban
Analytics at the Bartlett, Center for
Advanced Spatial Analysis (CASA)UCL. He also holds architectural
degrees from Curtin University and
a Postgraduate Diploma from the
Bartlett. Currently, he is developing
a London open data platform at
CASA and working freelance on
private architecture projects. He is
also the Vice Chief Oficer for the
Indonesian Institute of ArchitectsEuropean Union chapter (IAI-EU).
ROFIANISA NURDIN
menjadi sarjana Arsitektur ITB pada
tahun 2012. Menggemari sastra
dan arsitektur kota, dan diam-diam

berkhayal ingin mengambil kuliah
ilologi. Ketertarikannya kepada kota,
manusia, dan budaya membawanya
ke dalam ranah industri kreatif
dengan semangat kolaborasi melalui
Vidour yang digagas pada tahun
2011 dan CreativeMornings Jakarta
yang digagas pada tahun 2014.
Memori kolektifnya tersebar di
kota-kota Asia Tenggara: Bandung,
Ubud, Jakarta, George Town
(Penang), dan Singapura.

SHERLY DE YONG SY
menyelesaikan pendidikan di Jurusan
Desain Interior Fakultas Seni dan
Desain Universitas Kristen Petra
Surabaya. Ia pernah bekerja sebagai
konsultan desainer di sebuah
perusahaan desain interior di
Singapura. Saat ini menjadi dosen
jurusan Desain Interior Univesitas YNL
Kristen Petra. Di tahun 2012, menjadi
mahasiswa pascasarjana Teori, Sejarah,
dan Kritik Arsitektur, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember Surabaya.
YULIA NURLIANI LUKITO
teaches at the Department of TA
Architecture, UI, where she got her
bachelor degree in architecture.
She obtained her master in History
and Theory of Architecture from
Graduate School of Design, Harvard
University, and her doctorate degree
from RWTH Aachen University in YA
Germany. Her research interests are
mainly philosophy of design, history
and theory of architecture, modernity
and vernacular architecture.
TIARA ANGGITA is an urban
development enthusiast who has
been working for the Directorate of HS
Housing and Human Settlement, the
Ministry of National Development
Planning for the last 3 years. She
earned her bachelor degree in Urban
and Regional Planning from Bandung
Institute of Technology. She has been
working for strategic national housing
projects such as self-help housing BE
(perumahan swadaya) and slum upgrading, where she is actively involved
in the policy making processes with
different global/local actors.

YUSNI AZIZ, alumnus dari
double-degree bachelor program
kerjasama antara ITS dan Saxion
Hogeschool of Applied Sciences.
Kemudian menyelesaikan riset di
Berlage Institute pada tahun 2013.
Saat ini menjadi pengajar di UPH,
dan melakukan riset pribadi.

NARASUMBER
HENDRO SANGKOYO
lulus dari jurusan arsitektur ITB,
dan melanjutkan studinya tentang
Perencanaan Wilayah dan Kota, dan
Kajian Asia Tenggara; yang kemudian
disambungnya dengan dengan
Planning Theory and Comparative
Politics di Universitas Cornell,
Amerika Serikat. Sempat mengajar
di Cornell, Universitas Melbourne,
Institut Teknologi Indonesia dan
Royal Melbourne Institute of
Technology. Saat ini sibuk dengan
School of Democratics Economics
(SDE) yang ia dirikan bersama
rekannya di tahun 2007.
BAMBANG
ERYUDHAWAN seorang
arsitek lulusan ITB yang sempat
menjabat sebagai anggota dewan
BPPI, Ketua IAI Jakarta tahun
2000-2006, dan ketua tim sidang
pemugaran DKI Jakarta. Aktif
menerbitkan beberapa publikasi,
salah satu yang teranyar adalah 100
Tahun SD Kartini Semarang (1913
- 2013)

RUANG
Editorial Board :
Ivan Kurniawan Nasution
Mochammad Yusni Aziz
Roianisa Nurdin
web : www.membacaruang.com
facebook : /ruangarsitektur
twitter : @ruangarsitektur
tumblr : ruangarsitektur.tumblr.com
email : akudanruang@yahoo.com
segala isi materi di dalam majalah elektronik ini
adalah hak cipta dan tanggung jawab masingmasing penulis. penggunaan gambar untuk
keperluan tertentu harus atas izin penulis.

“We are the Government”
Desain : Yusni Aziz

PANOPTISISME DAN
PEMERINTAHAN
oleh Sherly de Yong

ESAI
INDONESIA
Foucault, Panoptikon, Sistem
pemerintahan

Panoptisisme memanfaatkan unsur psikologis penataan
ruang dan arsitektur untuk menerapkan kuasa. Penguasaan
terhadap individu melalui mekanisme pemantauan searah
dan arsitektur yang dibentuk sedemikian rupa inilah
yang membentuk konsep panoptisisme. Lalu, bagaimana
panoptikon ini bisa berdampak di dalam tata ruang?

edisi #10: Pemerintah

Michel Foucault, seorang pemikir strukturalis, membicarakan ide kuasa
pendisiplinan (disciplinary power) dalam bukunya yang berjudul Discipline
and Punish [1]. Kuasa pendisiplinan menurutnya adalah sebuah mekanisme
kekuasaan untuk mengatur perilaku individu-individu dalam sebuah organisasi
masyarakat. Ia bukanlah sebuah pemaksaan pendisiplinan masyarakat seperti pada
prinsip kapitalisme demi produktivitas ekonomi semata. Melainkan penerapan
kuasa melalui penataan ruang arsitektur dan kota yang akan mempengaruhi
waktu, aktivitas, dan perilaku manusia di dalamnya.
Lalu bagaimanakah bentuk penerapan kuasa melalui penataan ruang ini?
Foucault membahas sebuah teknik dan mekanisme pengawasan yang disebut
dengan panoptisisme (Panopticism) [1]. Panoptisisme memanfaatkan unsur
psikologis penataan ruang dan arsitektur untuk menerapkan kuasa. Misalnya,
seorang anak tertangkap basah oleh ibunya sedang bermain saat waktunya untuk
belajar. Setelah kejadian ini, anak tadi akan merasa selalu diawasi oleh ibunya setiap
kali dia hendak bermain saat waktunya untuk belajar, padahal belum tentu sang
ibu melakukan itu. Perasaan sang anak ini bisa dikatakan perasaan psikologis dari
panoptikon.
Lalu bagaimanakah sebenarnya bentuk panoptisisme ini?

8

Sebelumnya, kita akan melihat terlebih dahulu sejarah dan konsep panoptikon
yang merupakan inspirasi dari panoptisisme. Kata “panoptisisme” yang diusulkan
oleh Foucault terinspirasi dari rancangan penjara Panoptikon oleh seorang ilsuf
Inggris bernama Jeremy Bentham pada tahun 1790-an (lihat gambar 1). Penjara
ini berbentuk melingkar dengan sel-sel penjara yang mengelilingi sebuah menara
yang berada di tengah. Tiap individu di dalam sel bisa melihat menara pengawas,
namun tidak mengetahui siapa yang berada di menara pengawas. Sementara itu,
pengawas dapat secara terus-menerus memantau individu yang berada di dalam
sel tanpa pernah dapat dilihat oleh mereka yang diawasi – “one is totally seen
without ever seeing and one sees everything without ever being seen.”

ruang | kreativitas tanpa batas

Panoptikon merupakan contoh ruang yang memiliki bentuk karakter kekuasaan
/ kekuatan. Ia merupakan perwujudkan sebuah sistem pengawasan yang memiliki
peranan penting untuk menonjolkan displin kuasa dan ilmu (knowledge). Bagi
Foucault, ia bukanlah penjara, namun sebuah model yang merangkum karakteristik
masyarakat yang berdasar pada kuasa pendisiplinan [2]. Penguasaan terhadap
individu melalui mekanisme pemantauan searah dan arsitektur yang dibentuk
sedemikian rupa inilah yang membentuk konsep panoptisisme.

9

edisi #10: Pemerintah

Lalu, bagaimana panoptikon ini bisa berdampak di dalam tata ruang?
Seperti pada kasus penjara panoptikon, teknik penataan ruang tertentu (melalui
penyekatan, pencahayaan, orientasi, hirarki ruang, letak menara penjaga, dan lainlain) bisa membuat narapidana yang ada di dalamnya merasa selalu diawasi terus
menerus, padahal belum tentu ada orang yang mengawasi di dalam menara
penjaga. Pengawasan secara psikologis sekaligus efektif inilah yang melahirkan
panoptikon. Dari sekilas gambaran mengenai teori panoptisisme Foucault, penulis
akan membedah fenomena panoptisisme dan tata ruang dan keterkaitannya
dengan pemerintahan.

10

Panoptisisme, Arsitektur dan Pemerintahan
Sebelum memahami prinsip panoptisisme Foucault, sebaiknya kita memahami
terlebih dahulu pandangan Foucault tentang kuasa (power), pengetahuan
(knowledge), dan disiplin (discipline), serta kaitannya terhadap ruang (space) dan
panoptisisme.
Foucault menjelaskan lima metodologi yang dipertimbangkan dalam menganalisis
kuasa. Kuasa meliputi: (1) tidak dipandu oleh kehendak subjektif individual, (2)
bersandar pada hubungan kekuasaan di antara orang-orang, dan bukanlah pada

ruang | kreativitas tanpa batas

jumlah yang disyaratkan, (3) tidak terkonsentrasi pada satu individu atau kelas, (4)
tidak mengalir hanya dari yang-lebih kepada yang-kurang berkuasa, tetapi lebih
kepada yang berasal dari bawah, dan (5) memiliki dinamika tersendiri dan disengaja.
Hubungan antar kuasa bisa diungkapkan dalam hubungan antara orang tua dan
anak, sepasang kekasih, pengusaha dan karyawan [1]. Dalam setiap interaksi antar
manusia, kekuasaan menyaratkan negosiasi. Dan setiap individu memiliki tempatnya
dalam sistem hirarki, tanpa mengacuhkan keleksibelan hubungan hirarki tersebut.
Ada tiga teori dan ide utama mengenai kuasa. Pertama, konsep kuasa bukanlah
sebuah “benda” atau “kapasitas” yang bisa dimiliki baik oleh negara atau individu
tertentu, melainkan sebuah “hubungan” antara individu dan golongan lain yang
hanya muncul ketika dijalankan. Foucault mengajukan sebuah hipotesa bahwa
kuasa diperluas dengan adanya tubuh sosial (social body). Tidak ada kebebasan
(freedom) yang luput dari hubungan kuasa, tetapi penolakan (resistance) muncul di
manapun ada kuasa (power). Penolakan ini muncul pada setiap tingkat, termasuk
pada tingkat rendah [3].
Kedua, Foucault mengkritik model yang melihat bahwa kuasa itu sepenuhnya
berada pada negara atau admistratif dan badan eksekutif yang memerintah
negara. Menurutnya pada praktiknya, keberadaan sebuah negara tergantung dari
operasi kompleks beribu-ribu hubungan kuasa pada setiap tingkatan dari tubuh
sosial. Dan yang ketiga, kuasa haruslah produktif secara sosial dan bukanlah
penindasan terhadap individu, kelas sosial atau insting natural. Dengan ini kuasa
akan menghasilkan jenis pengetahuan dan penataan budaya tertentu [3].
Selain ketiga makna dari kuasa tadi, mekanisme dari kuasa yang membentuk tipetipe dari berbagai macam pengetahuan juga penting. Hal ini bertujuan untuk
menginvestigasi dan mengumpulkan informasi dari aktivitas manusia dan wujudnya.
Pengetahuan yang dikumpulkan dengan cara ini akan membentuk latihan-latihan
kuasa. Pengetahuan tidak memisahkan masyarakat, ilmu, atau negara pada sisi
yang berlainan, melainkan suatu kesatuan kuasa-pengetahuan (power-knowledge).
Kuasa dan pengetahuan beroperasi hampir secara bergantian. Hal ini didiskusikan
secara sadar oleh Foucault dengan menggunakan istilah yang ditulis dengan tanda
penghubung, dan ini menemukan lebih banyak perbedaan diantara dua kategori
ini.
Foucault selalu mereleksikan dan mendiagnosis masa kini dengan mempelajari
apa yang telah terjadi pada masa lampau. Segala sesuatunya dinilai sesuai dengan
kerangka pengetahuan yang selamanya akan terus berubah [2]. Seperti pada hal
kuasa, menurutnya, sejak dahulu pendisiplinan tubuh (body) telah ada sebagai
upaya untuk menjadikan individu-individu lebih patuh, sehingga mereka mampu
dimanfaatkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan tertentu. Dalam hal ini tubuh

11

edisi #10: Pemerintah

dijadikan sebagai obyek dan sasaran kekuasaan.
Ia lalu mengajukan hubungan antara kuasa-pengetahuan secara bertahap: (1)
disciplinary power, yang dalam sejarah menggantikan bentuk lama dari kekuasaan
yang berdaulat, fokusnya kepada penciptaan dan kontrol individu dengan melatih
badan dan perilaku. (2) Biopower yang berfokus pada kehidupan, kematian dan
kesehatan dari keseluruhan populasi. (3) Governmentality yang memungkinkan
penggabungan kekuasaan ke dalam mekanisme yang menunjukkan jalan untuk
perilaku orang di dalam tubuh sosial [3]. Istilah yang terakhir meninggalkan diskusi
mengenai kuasa, malah lebih mendiskusikan soal kebebasan, kebenaran dan
subyek, dan cara untuk memandu diri sendiri dan mengatur orang lain.
Bentuk kuasa pendisiplinan (disciplinary power) mendukung diskusi teoritis
panoptisisme, karena kedisiplinan (disciplinary) merupakan dasar dari teknik dan
prinsip mekanisme ini. Kuasa pendisiplinan pertama kali berkembang pada pada
akhir abad ke-18, dengan menggantikan bentuk kuasa berdaulat. Sistem kuasa ini
dianut masyarakat feudal yang memiliki igur otoritas seperti raja, imam, atau ayah
yang ditunjuk sebagai pemegang kuasa [3]. Menurut Foucault, bentuk kuasa ini
menyebabkan ineisiensi dalam pengaturan perilaku populasi di Eropa.
Kedisiplinan (Discipline), merupakan sebuah “teknologi” yang bertujuan untuk
menjaga seseorang berada di dalam pengawasan. Hal ini termasuk cara
mengontrol tindakan, perilaku, dan bakat seseorang, juga cara meningkatkan
kinerjanya, kapasitasnya, dan menempatkannya pada posisi yang paling berguna
(teknologi produktif). Teknologi ini mengeksploitasi manusia sebagai obyek dan
sasaran kekuasaan, seperti yang dikatakan oleh Timothy Rayner:

12



“Sebuah ‘anatomi politik’ yang juga sebuah ‘mekanisme kekuasaan’
lahir; yang berarti seseorang dapat mengendalikan tubuh orang lain
bukan hanya agar mereka dapat melakukan keinginanannya,
tetapi agar mereka dapat bergerak sebagai satu keinginan, dengan
teknik, kecepatan, dan eisiensi yang ditentukan.” [4, pp. 148-9]

Foucault mendata ada beberapa teknik atau prinsip yang menfasilitasi mekanisme
kuasa pendisiplinan ini [3]. Yang pertama terkait dengan pengorganisasian ruang.
Menurutnya, ruang merupakan hal yang fundamental dalam pelaksanaan sebuah
kekuasaan. Pemikiran ini terkait dengan konsep kuasa dan ruang pada akhir abad
ke-18 yang mengatakan bahwa arsitektur merupakan bagian dari politik dan
kuasa dari sebuah pemerintahan [5]. Ia memiliki peranan penting dalam praktek

ruang | kreativitas tanpa batas

pemerintahan, terutama dalam kendali dan pembentukan teritori sebuah kota.
Pemerintah saat itu beranggapan bahwa distribusi ruang, dari mulai pola penataan
kota sampai kepada ruang yang paling privat, merupakan hal yang paling eisien
dalam mengontrol sebuah kota dan teritorinya.
Perkembangan teknologi, terutama dalam konstruksi rel dan listrik, dan urbanisasi
yang meningkat, pada abad ke-19, mempengaruhi pola keterkaitan kuasa dan
ruang tadi. Pembentukan ruang di kota bukan lagi menjadi domain dari kuasa
pemerintahan dan para arsitek, namun tergantikan oleh insinyur, teknisi, dan
pembangun yang dapat mengontrol teritori, komunikasi, dan kecepatan [5]. Kuasa
yang dibentuk dari pola penataan ruang tidak lagi dipegang oleh pemerintahan,
namun beralih kepada masyarakat.
Pengorganisasian ruang dimulai dengan sebuah prinsip ‘berpagar’ (enclosure) yang
mengunci seseorang pada ruang institusionalnya. Misalnya, penjahat di penjara
atau anak-anak di sekolah. Prinsip ini menciptakan partisi-partisi kecil, yang
membagi manusia dalam ‘peringkat-peringkat’ dan ‘kelas-kelas’nya. Pembagian ini
nantinya memerlukan desain arsitektur yang menjaga ruang-ruang sosial ini tetap
terorganisir secara isik.
Teknik mekanisme kuasa yang kedua berhubungan dengan organisasi aktiitas dan
perilaku. Pertama, mengembangkan sebuah jadwal bagi sekelompok orang untuk
hadir pada saat yang bersamaan demi menjalankan tugas. Kemudian bentuk dari
aktiitas grup ini diatur, orang-orang tadi dilatih untuk menampilkan gerakan yang
sama secara bersamaan. Ketiga, digunakan metode pelatihan tubuh dan gestur
untuk menyempurnakan pergerakan tadi agar tubuh menjadi semakin eisien di
dalam aktiitas yang dilakukan [3]. Kesuksesan dari teknik kuasa pendisiplinan ini
semakin terjamin dengan adanya tambahan dari pengawasan.
Arsitektur dapat membentuk pola aktivitas orang-orang melalui penataan
ruang, pengarahan, dan pembagian sesuai aktivitas masing-masing melalui
mekanisme panoptikon. Penataan ruang bisa mengukuhkan keberadaan kuasa
untuk mengakomodasi aktivitas-aktivitas tersebut. Hal ini memerlukan sebuah
keteraturan hirarkis dengan kuasa yang jelas dan terwujud dalam kebudayaan
masyarakat. Misalnya, hirarki penataan ruang pada bangunan religius yang mengatur
posisi masing-masing dalam aktivitas religius, dengan sendirinya akan mengatur
hubungan hirarkis antara umat dan pemimpin umat.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk membentuk “arsitektur kontrol”
(disciplinary architecture) yang dapat mengubah persepsi dan perilaku pengguna:

13

edisi #10: Pemerintah

(1) penataan isik dari elemen bangunan dan (2) perubahan sifat material. Elemen
bangunan dapat berupa penentuan posisi, pemisahan, atau persembunyian.
Sementara itu, sifat material dapat berupa tekstur, warna, dan jenis material.
Pada hal pertama, arsitek dan desainer dapat memanfaatkan struktur isik
untuk mengontrol (mengarahkan atau melarang) perilaku / kegiatan tertentu
pada ruang yang tersedia. Misalnya, seperti penggunaan pagar untuk mencegah
seseorang mengakses daerah terlarang. Pada hal kedua, arsitek dan desainer dapat
memanfaatkan sifat isik desain untuk memberi efek psikologis seseorang untuk
membentuk perilaku. Misalnya, dengan menggunakan warna-warna tertentu
untuk mempengaruhi suasana hati pengguna. Selain kedua pola ini, ada juga pola
pengawasan melalui perancangan tata ruang dan teknologi untuk menfasilitasi
atau membatasi aktivitas atau jarak pandang sekelompok orang [6].
Penggunaan metode arsitektur kontrol ini cukup banyak dipraktekkan dalam
arsitektur. Misalnya, desain bangku-bangku taman yang memiliki lengan di tengahtengah bangku untuk mencegah orang tidur. Ataupun, penggunaan jendela pada
tempat tinggi di ruang kelas untuk memaksimalkan pencahayaan yang masuk,
namun mencegah para murid untuk terganggu dengan peristiwa di luar jendela
[6].
Pencegahan kejahatan melalui desain lingkungan merupakan salah satu contoh
aplikasi dari arsitektur kontrol. Ada 3 strategi utama, yaitu kontrol akses,
pengawasan dan penguatan teritori. Contohnya, bangunan yang mengadaptasi
sistem ini dapat dibangun sedemikian rupa sehingga orientasi jendela dan pintu
dari ruang yang berpenghuni akan mengarah pada lingkungan sekitar. Hal dapat
memaksimalkan pengawasan dari orang yang berlalu lalang (eyes on the street).

14

Bangunan panoptikon yang dibangun oleh Jeremy Bentham merupakan salah satu
contoh aplikasi desain arsitektur kontrol. Panoptikon dalam hal ini tidak dipandang
sebagai sebuah penjara, melainkan sebuah prinsip umum kontruksi, pengawasan,
dan mesin optik untuk sekelompok manusia. Ide panoptikon ini digunakan untuk
mendapatkan kontrol atas apa yang kelihatan (isik narapidana) dan tidak kelihatan
(psikologi dari narapidana). Panoptisisme memberi pengelihatan sepenuhnya
kepada seseorang dan menghalangi penglihatan yang lain terhadapnya.
Mekanisme arsitektur panoptikon ini membentuk kuasa menjadi lebih efektif
dan ekonomis dalam meningkatkan moral publik, penyebaran edukasi dan
pengembangan ekonomi. Selain susunan bangunan panoptikon secara isik, sistem
ini juga diimbangi dengan adanya kontrol dan observasi. Hal ini dapat mengimbangi

ruang | kreativitas tanpa batas

desain isiknya sehingga tercipta sistem mekanisme kuasa pendisiplinan yang lebih
eisien. Bangunan panoptikon ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk merumuskan
panoptisisme, siapa yang memiliki kuasa dan tidak, serta memberikan batasan yang
jelas mengenai siapa yang diawasi dan siapa yang mengawasi.
Arsitektur dalam hal ini sangat terkait dengan panoptisisme dan pemerintahan,
dengan tiga komponennya, penataan isik elemen bangunan, material, dan
pengawasan. Komponen ini dapat digunakan untuk melihat kuasa pendisiplinan di
dalam sebuah desain. Pemerintahan bisa memanfaatkan pengawasan panoptikon
ini ke dalam masyarakat. Dan arsitektur juga membantu pemerintahan di dalam
pengawasan. Sebagai contohnya, pola penataan atrium / plaza yang terbuka bisa
memberi kesempatan bagi orang-orang untuk mengawasi dan diawasi. Bangunan
jika dirancangan dengan menggunakan prinsip panoptisisme, akan memberikan
dampak kuasa melalui adanya pengawasan pasif. Atau pengawasan aktif melalui
penggunaan peletakan CCTV di jalan-jalan protokol selain membantu pengawasan
kemacetan, juga memantau tindak kejahatan yang mungkin bisa terjadi di jalanan.
Pada satu sisi, hal ini dapat membantu pemerintahan untuk mengawasi masyarakat
melalui tata ruang. Namun, di sisi lain, privasi individu bisa dilanggardengan
pemanfaatan yang tidak tepat. Di beberapa negara yang sudah maju, mekanisme
panoptisisme ini dinilai sebagai mekanisme yang melanggar privasi masyarakat.

Persantunan
Beberapa bagian dalam artikel ini telah dipublikasikan dengan judul “The meaning
of panopticism in architecture deterministic” dalam buku “Recent Trends in Social
and Behaviour Sciences: Proceedings of the International Congress on Interdisciplinary
Behaviour and Social Sciences 2013” (2014) yang ditulis bersama Murni Rachmawati
and Josef Prijotomo.

Referensi
[1] Foucault, M. (1977). Discipline and Punishment: The Birth of the Prison. Billing &
Sons, London.
[2] Leach, N. (1997). Rethinking Architecture: A cultural reader theory. Routledge,
London.
[3] O’Farrel, Clare. (2006). Michel Foucault. Sage Publication, London.
[4] Rayner, T. (2001). Biopower and Technology: Foucault and Heidgger’s Way of
Thinking. http://sydney.edu.au/contretemps/2may2001/rayner.pdf diakses 1 Juni
2014
[5] Rabinow, Paul (1984). The Foucault Reader. Penguin Books, London

15

edisi #10: Pemerintah

“Panoptisisme
memberi penglihatan
sepenuhnya
kepada seseorang
dan menghalangi
penglihatan yang
lain terhadapnya.”

16

Sherly de Yong

GOVERNANCE, CITIZENSHIP
AND SMART CITIES
by Patrick Tantra

ESSAY
ENGLISH
Governance, Smart Cities,
ICT

The birth of the “Smart City” as the new urban paradigm should not be seen only as the governments
and corporations’ quest of increased eficiency, but
also as a chance for citizen empowerment through
the open data movement.

edisi #10: Pemerintah

Introduction
Cities are complex entities that are intrinsically crammed with a multitude
of interdependencies and contradictions. In recent years, advancements in
Information and Communications Technology (ICT) have made possible a new
urban paradigm: The Smart City. Supposedly, once cities are equipped with
networked ICT, their governments are on a better footing to make sense of the
complexity and formulate the public good that is better aligned with its citizens’
needs.
The reasoning often used by governments and corporations to justify the smart
city paradigm is the quest for increased eficiency. Historically, the improvement
in eficiency has been achieved by militarising the bureaucratic structures that
underpin societies and later on to corporations. The similarity caused the
boundaries between politics and consumerism to blur, and making it possible to
place both merchandise and politics under the tenets of consumption.
To remain relevant, the deinition of public good must be reconstituted and placed
within the contemporary construct. Here, the vital link lies with the formation of a
stronger civil society in a networked city context. Moreover, and while the proitmaking motives behind the corporate push for the adoption of the paradigm can
be disdainful, technological progress also makes other alternatives possible. What
is becoming increasingly visible is the range of non-corporate ICT initiatives that
have begun to play a role in addressing citizens’ needs.

The military–industrial complex

18

The quest for improving eficiency in governments is not a new phenomenon.The
German sociologist, Max Weber wrote extensively on how the organisational
model pioneered by the 19th-century Prussian army, founded upon clear
command structures and highly competent oficers and soldiers, became the
model for many government organisations and businesses.

No matter how impoverished a person, as long as they know their
position and duties they are less likely to revolt.
(Bismarck in Wilson, 1989)

The adoption of this management structure permits long-term stability and
predictability. The quest for order and eficiency was transferred to 20th-century
civil society through the standardisation of operations, educational curricula and
in professions such as law, medicine and science. Likewise, rationalised time

ruang | kreativitas tanpa batas

Figure 1. Emperor William II reviews Prussian troops (Röchling 1894)

and activities also found a place in business practices that proited from its
implementation.
From the 1980s,Western democratic governments and the corporations operating
in their realms gradually drifted away from the militarised models. A phenomenon
that is also marked by a shift from manual labour to machine automation and the
preference for short-term results. The immediate effect causes large institutions
to splinter and the fragmentation of many people’s lives. In these societies, people
are geared towards relocating rather than settling in, resulting in highly individualist
societies that inhibits traditional communities from forming.

Shopping for democracy
A direct comparison can be drawn between the Wal-Mart superstore model
and political irms. In a Wal-Mart store, customers are free to wander through

19

edisi #10: Pemerintah

aisle upon aisle of goods and everything that is purchasable is available in an
instant. In the rare cases that contact between a consumer and salespersons
happen, these occasions are typically sanitised from mediation and persuasion.
Similar parallels can be observed with many governments and political parties.
In these organisations, the decision on what policies to adopt becomes limited
to global imaging and marketing. These are the instances where the line between
consumption and politics is blurred.

Mostly what is sought by the act of purchasing the good is no longer the
good’s function nor its materiality. Instead, what is desired is its potency
and potential. When applied to the politics, this makes it possible—
and acceptable—for politicians to emphasise selling ideas and making
promises rather than acting substantively.
(Sennett, 2007)

In the smart city paradigm, corporate hand in dispensing public goods on behalf of
governments is contested by for many. So what is this public good? In economics,
the public good is deined as a good that can be used by everyone and where
use by one individual does not reduce its availability to others. In philosophy and
politics, the public good refers to mutual beneit at the societal level.
Up to the 19th century, the provision of the public good has largely been the
domain of governments. They were the only organisations that are suitably
equipped with the management structure and inancial resources to deliver it
eficiently to a large population. As corporations have become more important
and equally- if not even more powerful, they can enter into complex arrangements
with governments to provide the public good. As societies become increasingly
connected through ICT networks another alternative is possible. A shift towards
citizen empowerment.
20

Figure 2. Wal-Mart
aisles (Stephen Wilkes
/ Gallery Stock 2013)

ruang | kreativitas tanpa batas

Citizen empowerment
infrastructure

via

the

open

data

In his book ‘Against The Smart City’, Adam Greenield opined that the smart city
model envisaged by corporations to be self-serving. For corporations, the city
dweller’s participation is limited only to generating data that can be captured,
analysed and acted upon by administrators. On the other hand, it would be
presumptuous to assume that citizen participation automatically leads to public
good. If citizens are empowered, and a genuinely open society created, then what
type of information is shared and who decides?
In the most extreme cases, the kind of bigotry and fundamentalist ideas spread
through the internet using the same networked infrastructure and ICT justiies
the control that must be exerted to maintain collective security. These are just
some instances that highlight the underlying tension between freedom of speech
and state control. Hence, there are still scope for further deliberations on the
balance between initiatives that are considered “top-down” — coming from the
government to that which are considered “bottom-up” — initiated by the citizen.
When Tim Berners-Lee invented the World Wide Web (WWW) in 1989, it was
intended as a platform for global information sharing. To our beneit, his creation
was not patented and was made open without any royalties due. His position
contrast to that of corporate ICT initiatives, which takes advantage of the free
infrastructure, but seek proits from licences they issue in return for the use their
patented products. To be in keeping with the spirit of openness championed by
Berners-Lee, information ought to be considered as a form of public good, thus
freely available. One form in which this approach has manifested into is the Open
Data movement.

“Open data is deined as data that can be freely used, reused and
redistributed by anyone—subject only, at most, to the requirement to
attribute and share-alike.”
(Open Knowledge Foundation 2012: para.3)

At the moment, much of the vital work done to encourage information sharing
happens around the creation of a global standard. The non-proit organisation,
Creative Commons, creates a variety of licenses that work alongside existing
copyright rules and provide people the legal foundation to share, use and build
upon licensed work. This protects the people who use the work, so they do not
have to worry about copyright infringement.

21

edisi #10: Pemerintah

Millions of works have been licensed using Creative Commons, which is relected
by the ubiquity of its logo on the World Wide Web. While there are many positive
aspects to the open data movement, the initiative is not without its pitfalls. As
seen in Karnataka, India, open data can also be used to disempower citizens. In this
example, a pro-poor initiative to digitise land titles was exploited by the rich to
access previously restricted data and re-appropriate the lands of the poor instead.

Figure 3. Creative Commons logo (Creative Commons n.d.)

Outcomes
Examples of work that are spurred by the open data movement can be
represented by a number of non-corporate initiatives encompassing diverse
ields. Part of the city of London’s open data initiative, the London Datastore
is a website created by the Greater London Authority (GLA) that functions as
a repository for London-related data. It was set up with the intention to give
citizens open access and let them use it for any purpose, free of charge. They
anticipated that by making it freely accessible, raw data can be turned into more
useful information.
22

Figure 4. Front page
of to the London
Datastore webpage
(Greater London
Authority n.d.)

ruang | kreativitas tanpa batas

An initiative from the construction industry, the WikiHouse is an open-source
platform for designing and sharing house designs that anyone can use to
manufacture and assemble a house in days, with no construction skills. All design
information shared in the WikiHouse commons is shared under a Creative
Commons License.

23

Figure 5. Wikihouse construction (Wikihouse NZ n.d.)

New forms of inancing are also made possible by networked ICT. Crowdfunding
is the practice of funding a project or venture to raise money from the public,
typically via the Internet. The model usually brings together three parties: the
project instigator, supporters and an organisation that functions as the moderator
and platform for bringing the parties together.
The miniaturisation and affordability coupled by the explosion of information
also nurture many tech-related grass root movements. The maker movement,
for instance, is a subculture representing a technology-based extension of DIY.
Makers can be engaged in various pursuits ranging from electronics to traditional

edisi #10: Pemerintah

arts and crafts. The emphasis of this subculture is on the sharing and reuse
of designs that are published online and in maker-oriented publications. The
movement runs counter to the generic mass-produced products by empowering
individuals to become craftsmen and making it possible for consumers also to
become producers.

Figure 6. Children tinkering at the 2013 World Maker Faire (Agency By Design 2013)

Conclusion

24

The discourse surrounding the smart city is still in the process of being formulated,
and, therefore, there is still a broad scope of opportunities for shaping it in the
right direction. Critics are right to beckon caution when it comes down to
adopting the corporation’s brand of smart city paradigm, but future initiatives
should not discount their contribution altogether. While there is a danger that
in smart cities, citizens may become mere idle data producers, the answer to the
issue should not be about having to select rigidly between a proit-making or nonproit initiative to deliver public good. The two need not be in contrast. Instead,
both corporations and civic society have a role to play in advancing the public
good.The argument should instead be about whether to adopt an open or closed
system. In an open system, external interactions are taken into account and thus,
both top-down and bottom-up urban initiatives can exist together. Within this
framework governments still have a vital role to play; to channel public money to
build the network infrastructure and then to regulate its use.

ruang | kreativitas tanpa batas

Bibliography
Bajarin, T., 2014. Why the Maker Movement Is Important to America’s Future. Times Magazine
[online]. 19 May. Available from: http://time.com/104210/maker-faire-maker-movement/
[Accessed 25 April 2015]
Creative Commons, (n.d.). Creative commons: About [online]. Available from: http://
creativecommons.org/about [Accessed 25 April 2015]
Financial Conduct Authority (FCA), 2014. Crowdfunding [online]. Available from: http://www.fca.
org.uk/consumers/inancial-services-products/investments/types-of-investment/crowdfunding
[Accessed 25 April 2015]
Greenield, A., 2014. Practices of the Minimum Viable Utopia [CASA Lecture]. 3 December.
London: UCL.
Greenield, A., 2015. Make City Berlin 2015 interview Speedbird [online blog]. Available from:
https://speedbird.wordpress.com/ [Accessed 25 April 2015]
Kitchin, R., 2014. The Data Revolution: Big Data, Open Data, Data Infrastructures and Their
Consequences, Thousand Oaks: SAGE Publications Ltd.
Lathrop, D., & Ruma, L., 2010. Open Government: Collaboration, Transparency, and Participation
in Practice, Beijing ; Cambridge MA: O’Reilly Media.
London Data Store, (n.d.). London Data Store [online]. Available from: ttp://data.london.gov.uk/
[Accessed 25 April 2015]
MOOC List, (n.d.). MOOC List: About/ FAQ [online]. https://www.mooc-list.com/content/
about-faqs [Accessed 25 April 2015]
Open Knowledge Foundation, 2012. What is open data? [online]. Available from: http://
opendatahandbook.org/en/what-is-open-data/ [Accessed 25 April 2015]
Open Data Institute (ODI), 2015. Sir Tim Berners-Lee [online]. Available from: https://theodi.
org/team/timbl [Accessed 25 April 2015]
Sennett, R. (Ed.), 2007.The Culture of the New Capitalism. New Haven & London:Yale University
Press.
Sunstein, C.R., 2007. Republic.com 2.0. Princeton: Princeton University Press.
Waal, M.D., 2013. The City as Interface - How New Media are Changing the City. Rotterdam:
NAI Publishers.
WikiHouse, (n.d.). Wikihouse: About [online]. Available from: http://www.wikihouse.cc/about/
[Accessed 25 April 2015]
Wilson, J., 1989. Bureaucracy: What Government Agencies Do And Why They Do It. New York,
NY: Basic Books.

25

“Both
corporations
and civic
society have a
role to play in
advancing the
public good”

Patrick Tantra

SINERGI ANTARA ARSITEK
DAN PEMERINTAH
oleh Yulia Nurliani Lukito

ESAI
INDONESIA
Konstruktivisme, Peran
Arsitek, Sinergi, Sistem
Pemerintahan

Sejarah mencatat hubungan antara arsitektur dengan
penguasa atau pemerintah dapat menjadi sebuah
kekuatan yang besar dan mempengaruhi masyarakat
luas. Apa yang dapat kita pelajari dari Konstruktivisme
di Rusia?

edisi #10: Pemerintah

Sejarah mencatat hubungan antara arsitektur dengan penguasa atau pemerintah
dapat menjadi sebuah kekuatan yang besar dan mempengaruhi masyarakat
luas. Pada masa arsitektur modern mulai berkembang di Eropa, terdapat
aliran Konstruktivisme yang berkembang di Rusia. Aliran Konstruktivisme yang
berkembang sekitar tahun 1913 hingga 1920 ini menghasilkan karya seni dan
bangunan yang kreatif, yang mengetengahkan bentuk geometris serta kedinamisan
sebagai pencerminan era kemajuan teknologi dan estetika mesin.

Para seniman Konstruktivisme adalah pelopor pembaharuan di Rusia
atau dikenal dengan sebutan Russian avant-garde.
Para seniman dan desainer Konstruktivisme memiliki kesamaan visi dengan
pemerintahan Bolsevik di Rusia pada saat itu yang menginginkan tatanan masyarakat
baru yang bersifat optimis dan berdasarkan nilai-nilai komunal. Pemerintah pada
akhirnya menobatkan Konstruktivisme sebagai seni resmi Negara Soviet sekaligus
menjadi alat propaganda untuk program-program pemerintah.
Sebagai contoh adalah karya El Lissitzky Beat the Whites With the Red Wedge
yang menjadi poster propaganda Lenin pasca Revolusi Bolshevik. Pada poster ini
tampak ketegasan, kekontrasan, keberanian sekaligus bentuk yang lingkaran yang
menggambarkan sesuatu yang terus bergerak dan dinamis.

28

“Beat the Whites with the Red Wedge” adalah karya El Lissitzky, 1919

ruang | kreativitas tanpa batas

Tokoh lain adalah seorang pemahat sekaligus arsitek bernama Vladimir Tatlin yang
juga merupakan salah satu pelopor gerakan Konstruktivisme di Rusia. Setelah
melakukan perjalanan ke Paris,Tatlin berpendapat bahwa seni harus bisa dinikmati
oleh semua kalangan secara merata serta tidak boleh ada pembedaan seni untuk
kaum borjuis atau kaum proletar. Karenanya Konstruktivisme berkembang menjadi
seni terapan yang idenya merangkum pentingnya desain yang baik untuk kehidupan
masyarakat eperti desain benda keseharian, patung, dan bangunan. Karenanya selain
memakai kanvas, rancangan seniman dan desainer Konstruktivisme kebanyakan
memakai media yang beragam seperti kayu, kaca, besi, dan baja.
“Monument To The Third
International” adalah salah
satu karya fenomenal
dari Vladimir Tatlin, 1920.
(sumber: en.wikipedia.org)
(sumber: en.wikipedia.org)

29

Tatlin merancang sebuah monumen yang bernama Monument to the Third
International yang rencananya akan dibangun melebihi tinggi menara Eiffel. Hal
ini memperlihatkan ambisi Tatlin untuk memamerkan potensi kekuatan Rusia
berupa ketajaman visi, kemampuan membangun, serta sumber alam dan manusia
yang lebih bervariasi dibandingkan Perancis atau Negara Barat lain. Ukuran yang
besar—bahkan rencananya dua kali ukuran Empire State Building di Amerika
Serikat—menyimbolkan pemerintahan Rusia yang kuat dan dominan.

edisi #10: Pemerintah

Monumen ini memiliki garis rancangan yang tegas—rencananya menggunakan
bahan baja—dan rangkaian elemen yang saling menopang serta membuat gerakan
ke atas yang dinamis. Monumen ini juga menunjukkan komposisi asimetris dan
menunjukkan gerakan spiral ke atas yang menyimbolkan perubahan masyarakat
kearah yang lebih baik, produktif, dan saling menopang; seperti yang Tatlin inginkan
bagi masyarakat Rusia di zaman modern.
Selama perang saudara di tahun 1918-1921 para pengikut gerakan Konstruktivisme
mulai menggarap ruang publik dengan karya mereka sebagai pengejawantahan
ide tentang masyarakat baru. Karena gerakan Konstruktivisme berorientasi ke
masa depan atau bersifat futuristik, karya seniman dan perancang menggunakan
material baru seperti besi, beton, dan kaca yang menunjukkan kemajuan teknologi.
Para seniman dan desainer Konstruktivisme memiliki keinginan menjadikan karya
mereka berguna untuk masyarakat. Beberapa seniman dan arsitek juga memiliki
hubungan yang dekat dengan para tokoh pelopor sekolah desain modern Bauhaus
di Jerman; El Lissitzky misalnya menjadi salah seorang pengajar di Bauhaus.

Di Jerman, pada saat yang hampir bersamaan dengan gerakan
Russian avant-garde, terdapat sebuah perkumpulan seniman, arsitek,
dan kalangan industrialis yang disebut dengan
The Deutscher Werkbund.

30

Terbentuknya perkumpulan ini menjadi sebuah momentum penting dalam
perkembangan arsitektur modern dan penyatuan antara desain, arsitektur, dan
industri. Tujuan awal pendirian perkumpulan yang didirikan pada tahun 1907 di
Munich ini adalah menyatukan para profesional di bidang desain dengan kalangan
industrialis, sehingga mampu meningkatkan daya saing produk-produk Jerman.
Pemerintah sangat mendukung The Werkbund karena selama ini produk-produk
Jerman dianggap belum bisa menyaingi produk-negara tetangga seperti Inggris dan
Prancis. Sebagai pimpinan pertama The Werkbund adalah Hermann Muthesius
yang pernah dikirim pemerintah Jerman ke Inggris untuk mempelajari gerakan
Arts and Crafts, serta pengaruh desain terhadap perindustrian di Inggris.
The Deutcher Werkbund juga membuat pameran internasional seperti Cologne
Exhibition pada tahun 1914 serta Stuttgart Exhibition pada tahun 1927—yang
memamerkan rancangan rumah karya arsitek dunia dengan skala 1:1 atau dikenal
dengan Weissenhofsiedlung. Moto dari the Deutscher Werkbund adalah Vom
Sofakissen zum Städtebau (dari bantal sofa hingga pembangunan kota), yang
mengindikasikan betapa besarnya ambisi Jerman untuk meningkatkan bidang
desain, industri dan perdagangan.

ruang | kreativitas tanpa batas

Beberapa hal yang dapat kita pelajari dari gerakan Konstruktivisme di Rusia adalah
betapa arsitektur mampu mendukung sebuah pemerintahan karena arsitektur
merupakan media yang mampu menjangkau semua lapisan masyarakat. Hal ini
dikarenakan kesamaan visi antara pemerintah dan para seniman dan desainer
serta semangat untuk mengisi sebuah era baru yaitu era modern yang penuh
dengan perubahan, perkembangan cepat, dan kemungkinan-kemungkinan baru.
Walaupun monumen buatan Tatlin tidak pernah terealisasi, namun dunia
menyaksikan betapa idealisme dari seorang arsitek dapat mencapai lapisan
masyarakat yang luas di Rusia, bahkan juga mempengaruhi arsitektur modern
melalui keunikannya. The Deutcher Werkbund juga memperlihatkan kerjasama
yang kuat antara para profesional dengan pemerintah, sehingga daya saing produk
nasional Jerman dapat menjadi lebih baik.

Tanpa kesamaan visi dan kerjasama yang kuat antara seniman,
arsitek dan pemerintah maka akan sulit menyatukan daya upaya
demi kemajuan bersama.
***

Referensi:
Frampton, Kenneth. Modern Architecture: A Critical History (World of Art). Fourth edition.
London: Thames & Hudson, 2007.
Curtis, William J. R. Modern Architecture Since 1900. Oxford: Phaidon Press, Oxford, 1982
Wilson, J., 1989. Bureaucracy: What Government Agencies Do And Why They Do It. New York,
NY: Basic Books.

31

“Beberapa hal yang
dapat kita pelajari dari
gerakan Konstruktivisme
di Rusia adalah betapa
arsitektur mampu
mendukung sebuah
pemer