Pengembangan Kultur Pelayanan Faktor-Faktor Manajerial yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan Perizinan

yang komitmen, struktur yang cocok dengan situasi dan kondisi dan apakah ada sumberdaya yang mapan. Dalam pengendalian pelayanan perlu prosedur yang runtut yaitu antara lain penentuan ukuran, identifikasi, pemeliharaan catatan untuk inspeksi dan peralatan uji, penilaian, penjaminan dan perlindungan Gaspersz, 1994. Oleh karena itu struktur organisasi yang demikian akan berpengaruh positif terhadap pencapaian kualitas pelayanan. Akan tetapi, apabila struktur organisasi tidak disusun dengan baik maka akan dapat menghambat kualitas pelayanan publik yang baik.

2.2.4. Pengembangan Kultur Pelayanan

Hal lain yang juga sangat krusial dalam peningkatan kualitas pelayanan perizinan adalah berkembangnya kultur pelayanan dalam diri birokrat atau aparatur pelayanan. Seberapapun hebatnya sumber daya manusia jika tidak didukung oleh kultur pelayanan maka kehebatan itu justru akan dipakai untuk membodohi masyarakat pengguna jasa yang berkepentingan terhadap salah satu organisasi. Kultur pelayanan berawal dari budaya organisasi yang diterapkan dalam sebuah organisasi. Menurut Sethia dan Glinow dalam Collins dan Mc Laughlin, 1996 membedakan ada empat macam budaya organisasi, yaitu : a. Apathetic Culture Dalam tipe ini perhatian anggota organisasi terhadap hubungan antar manusia maupun perhatian terhadap kinerja pelaksanaan tugas , dua-duanya rendah. Ridha Fahmi: Kualitas Pelayanan Perizinan terpadu Satu Pintu Dan Faktor-Faktor Manajerial Yang Mempengaruhinya Di Kota Lhokseumawe, 2008. USU e-Repository © 2008 Disini penghargaan diberikan terutama berdasarkan permainan politik dan pemanipulasian orang-orang lain. b. Caring Culture Budaya organisaian tipe ini dicirikan oleh rendahnya perhatian terhadap kinerja dan tingginya perhatian terhadap perhatian terhadap hubungan antar manusia. Penghargaan lebih didasarkan atas kepaduan tim dan harmoni, dan bukan didasarkan atas kinerja pelaksanaan tugas. c. Exacting Culture Perhatian orang sangat rendah tetapi perhatian terhadap kinerja sangat tinggi. Disini secara ekonomis, penghargaan sangat memuaskan tetapi hukuman atas kegagalan yang dilakukan sangat berat. Dengan demikian tingkat keamanan pekerjaan sangat rendah. d. Intergrative Culture Dalam tipe ini perhatian terhadap orang maupun kinerja keduanya sangat tinggi. Beberapa hasil penelitian pada organisasi-organisasi publik di Indonesia dianalisis dengan menggunakan empat tipe budaya organisasi di atas, maka disimpulkan bahwa sebagian besar organisasi publik memiliki budaya organisasi bertipe Caring. Organisasi-orgnisasi publik di Indonesia biasanya memiliki perhatian yang sangat rendah terhadap pelaksanaan tugas, tetapi memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap hubungan antar manusia. Ratminto dan Winarsih 2005 menyebutkan bahwa ciri-ciri birokrat sebagai berikut : Ridha Fahmi: Kualitas Pelayanan Perizinan terpadu Satu Pintu Dan Faktor-Faktor Manajerial Yang Mempengaruhinya Di Kota Lhokseumawe, 2008. USU e-Repository © 2008 a. lebih mementingkan kepentingan pimpinan daripada kepentingan klien atau pengguna jasa; b. lebih merasa sebagai abdi negara daripada abdi masyarakat; c. meminimalkan resiko dengan cara menghindari inisiatif; d. menghindari tanggungjawab; e. menolak tantangan; f. tidak suka berkreasi dan berinovasi dalam melaksanakan tugasnya; Budaya Caring ini tidak cocok dengan pemberian pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. Dengan demikian harus diadopsi budaya organisasi baru yang lebih sesuai dan kondusif dengan manajemen pelayanan publik. Budaya organisasi seperti ini disebut kultur kinerja Ivancevich, et.al, 1997, yang mendefinisikan budaya kinerja sebagai suatu situasi kerja yang memungkinkan semua karyawan dapat melaksanakan semua pekerjaan dengan cara terbaik. Budaya kinerja seperti ini akan dapat memberikan kontribusi yang besar dalam peningkatan kualitas pelayanan apabila organisasi memiliki budaya organisasi yang bertipe Integrative dan birokrat- birokrat yang ada dalam organisasi itu telah mengadopsi 10 semangat kewirausahaan sebagaimana disampaikan oleh Osborne dan Gaebler 1993. Adapun kesepuluh semangat kewirausahaan yang dikembangkan Osborne dan Gaebler 1993 adalah sebagai berikut : a. mengarahkan ketimbang mengayuh; b. memberi wewenang kepada masyarakat; c. menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan; Ridha Fahmi: Kualitas Pelayanan Perizinan terpadu Satu Pintu Dan Faktor-Faktor Manajerial Yang Mempengaruhinya Di Kota Lhokseumawe, 2008. USU e-Repository © 2008 d. menciptakan organisasi yang digerakkan oleh misi ketimbang peraturan; e. lebih berorientasi kepada hasil, bukan input; f. berorientasi kepada pelanggan, bukan birokrasi; g. berorientasi wirausaha; h. bersifat antisipatif; i. menciptakan desentralisasi; j. berorientasi kepada pasar. Organisasi yang memiliki tiga ciri tersebut di atas budaya kinerja, budaya organisasi integrative, dan mengadopsi 10 semangat kewirausahaan disebut organisasi yang mempunyai budaya pelayanan. Dengan kata lain budaya pelayanan dalam organisasi terbentuk bila : 1. organisasi memiliki budaya kinerja 2. organisasi memiliki budaya organisasi bertipe integrative 3. orang-orang dalam organisasi memiliki 10 semangat kewirausahaan.

2.2.5. Pembangunan Sistem Pelayanan yang Mengutamakan Kepentingan Masyarakat