Perbedaan Coping Stress Pada Pria Dan Wanita Dalam Pernikahan

(1)

  BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Pada perjalanan kehidupan, manusia berada dititik- titik yang berbeda dalam siklus kehidupan keluarga. Fase-fase siklus kehidupan keluarga mencakup meninggalkan rumah dan menjadi orang dewasa yang hidup sendiri, bergabungnya keluarga melalui pernikahan (pasangan baru), menjadi orang tua dan sebuah keluarga dengan anak, keluarga dengan remaja, keluarga pada kehidupan usia tengah baya, dan keluarga pada kehidupan usia lanjut. Fase-fase kehidupan ini akan dijalani baik oleh pria maupun wanita.

Menjadi pasangan baru (new couple) merupakan fase dari siklus kehidupan keluarga, dimana dua individu dari dua keluarga yang berbeda bersatu untuk membentuk suatu sistem keluarga yang baru. Fase ini tidak hanya melibatkan pembangunan satu sistem pernikahan baru, tetapi juga penyusunna kembali hubungan dengan keluarga jauh dan teman-teman untuk melibatkan pasangan.

Relasi dalam pernikahan ditentukan oleh hubungan antara dua orang (pria dan wanita) yang saling mempengaruhi sehingga memang agak sulit untuk menilai apakah suatu hubungan suatu pernikahan dapat dikatakan benar-benar sukses atau gagal. Kesuksesan pernikahan ditandai bukan hanya oleh beberapa erat hubungan tersebut terjalin dan intensitas perasaan yang dialami dua orang yang menjalin relasi pernikahan. Bukan juga ditentukan oleh siapa diantara kedua pasangan pernikahan tersebut yang lebih dominan. Kesuksesan suatu pernikahan dapat dinilai dari sejauh


(2)

mana pasangan merasakan kepuasan hubungan pernikahan pada sebagian besar waktu yang dilalui dalam ikatan pernikahan. Apakah kedua pasangan merasa yakin dan percaya bahwa kebutuhan fisik, emosional, dan psikologis terpenuhi dalam kebersamaannya dengan pasangannya (Nazwan, 2005).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh banyak pakar pernikahan menghasilkan data empirik yang membuktikan adanya hubungan yang erat antara hancurnya pernikahan dengan hancurnya sistem keluarga. Banyak pula penelitian yang memberikan data empirik mengenai korelasi yang positif antara kondisi marital discoord, marital distress, suatu kondisi dan iklim pernikahan beberapa waktu sampai jatuhnya keputusan bercerai (Sadarjoen, 2005).

Suka duka dalam hidup pernikahan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Berkaitan dengan hal tersebut, Hammarskjold (dalam Sadarjoen, 2005) mengungkapkan bahwa setiap pernikahan tidak akan terhindar dari konflik. Dua orang yang tinggal dalam satu atap tidak mungkin hidup tanpa konflik, kecuali bila salah satu pasangan atau bahkan kedua pasangan memutuskan untuk mengalah daripada berkonfrontasi. Namun, walaupun salah satu pasangan memutuskan untuk mengalah, bukan berarti konflik tidak terjadi, karena sekalipun kejengkelan tidak diungkap secara konfrontatif, konflik akan tetap muncul dalam hati yang paling dalam dan mendasari iklim relasi yang selanjutnya tercipta dengan pasangannya.

Hal senada diungkapkan oleh Colleman (dalam Nazwan, 2005) bahwa dalam membina rumah tangga konflik pasti ada. Sering kita berusaha menghindar dari konflik dan pertengkaran yang lebih lanjut. Mungkin kita pergi tidur bila istri/ suami


(3)

 

telah memulai suatu pertengkaran atau pergi keluar rumah agar pertengkaran tidak bertambah berat. Setiap orang pasti tidak suka bila timbul konflik. Tapi menghindari konflik merupakan sesuatu yang riskan apalagi bila didasari perasaan takut atau perasaan kalah dan pemikiran “buat apa”. Konflik yang terus dipendam suatu saat akan memuncak dan menyebabkan suatu pertengkaran yang hebat. Perasaan kecewa, frustasi, dan sterss yang dipendam akan menyebabkan timbulnya penyakit seperti maag, ketegangan otot, denyut jantung meningkat. Jadi bila timbul konflik, jangan takut untuk mengadapi.

Konflik-konflik yang muncul pada bulan pertama pernikahan dapat ditelusuri dari harapan-harapan kedua pasangan tentang apa pernikahan dan apa yang seharusnya tidak terjadi pada pernikahan tersebut. Pada umumnya, pasangan pernikahan tidak mengungkapkan harapan-harapannya secara terbuka untuk mengidealkan set harapan-harapannya tentang pernikahan. Akibatnya, harapan kedua pasangan mungkin tidak akan terpenuhi sehingga akhirnya membuat mereka mengalami gangguan ilusi tentang status pernikahannya. Kadang-kadang, pasangan mencoba menyesuaikan harapan mereka pada saat berada dalam periode berpacaran. Sering kali setiap pasangan akan menunjukkan hal terbaik demi upaya menarik hati pasangannya sebelum pernikahan terjadi dan hal tersebut mustahil untuk dapat dipertahankan secara permanen. Begitu mereka menikah, mereka merasa relaks dan yakin bahwa perilaku baik yang biasa dimunculkan pada periode berpacaran sudah tidak perlu dilakukan lagi dan tidak tepat dilakukan secara kontiniu (Sadarjoen, 2005).


(4)

Menurut Zega (dalam Nazwan, 2005) konflik adalah realita kehidupan. Kapan saja dan dimana saja konflik selalu terjadi, baik dalam ruang lingkup yang besar maupun yang kecil. Bahkan, konflik dapat terjadi tanpa mengenal lama atau barunya usia pernikahan tersebut. Konflik seringkali terjadi karena ketidaksiapan seseorang untuk menerima perbedaan. Dan tidak jarang konflik dalam keluarga diakibatkan oleh hal-hal yang sepele. Misalnya, sebelum menikah suami terbiasa tidur dengan lampu yang dimatikan. Sementara istri terbiasa tidur dengan lampu yang menyala. Perbedaan terjadi disini, tarik menarik kepentingan pribadi pun terjadi. Seringkali lampu dinyalakan oleh istri akibatnya suami menjadi korban dan tidak bisa tidur. Ketika hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, lebih baik dibicarakan bersama sekaligus mencari solusi yang terbaik terhadap perbedaan yang muncul. Padahal, perbedaan seharusnya dijadikan suatu kekuatan untuk lebih mendekatkan diri dengan pasangan masing-masing.

Beberapa ahli pernikahan dan keluarga percaya bahwa pernikahan mencerminkn fenomena yang berbeda-beda bagi pria dan wanita yang membuat kita perlu untuk memisahkan pembahasan saat membicarakan pernikahan pada pria dan pernikahan pada wanita. Peran perempuan yang berubah, serta meningkatnya jarak antar tempat tinggala anggota keluarga, menambah beban berat pada pasangan untuk mendefenisikan hubungan pernikahan bagi diri mereka sendiri dibandingkan dengan yang terjadi di masa lampau.

Lahey (2004) menyatakan bahwa perbedaan jenis kelamin mempengaruhi cara individu menghadapi masalah. Menurut Lahey (2004), dalam menghadapi


(5)

 

masalah, wanita rata-rata rentan menghadapi stres dibandingkan pria. Kiecolt-Glaser dan Newton (dalam Lahey 2004) menyatakan bahwa pria sangat tergantung pada istri untuk memperoleh dukungan sosial dalam menghadapi stres.

Pengalaman dan implikasi dari pernikahan berbeda bagi istri dan suami. Hal ini umumnya tepat dalam ekspresi keintiman dan dalam pekerjaan rumah tangga. Penelitian Brown & Gary (dalam Santrock, 1998) mengemukakan bahwa hanya sepertiga wanita yang sudah menikah menyatakan bahwa mereka akan terlebih dulu mencari suami mereka untuk memperoleh dukungan jika mendapatkn masalah yang serius, seperti mengalami stres, depresi atau kecemasan. Selanjutnya, hanya sepertiga dari wanita tersebut yang menyebut suami mereka sebagai salah satu dari tiga orang terdekat mereka. Lebih banyak pria daripada wanita yang memandang pasangannya sebagai teman terbaik.

Wanita secara konsisten lebih terbuka pada pasangan mereka daripada pria, dan cenderung mengekspresikan kelembutan, ketakutan dan kesedihan daripada pasangan mereka. Bagi sebagian besar pria, mengendalikan kemarahan merupakan orientasi emosional yang umum (Cancian & Gordon dalam Sadarjoen, 2005). Keluhan umum yang disampaikan wanita dalam suatu pernikahan yakni suami mereka tidak perduli pada kehidupan emosional mereka dan tidak mengekspresikan perasaan dan pikiran mereka sendiri (Rubin, dalam Sadarjoen, 2005). Wanita sering mengeluh bahwa mereka harus membuat pasangannya mengatakan apa yang dirasakannya dan mendorong mereka untuk terbuka. Pria seringkali menganggap bahwa mereka sudah terbuka dan tidak mengerti apa yang sebenarnya diinginkan oleh


(6)

pasangannya.

Pria sering protes bahwa sebanyak apapun mereka berbicara, hal tersebut tidak cukup bagi pasangannya. Wanita juga menyatakan bahwa mereka menginginkan kehangatan yang lebih banyak seperti halnya juga keterbukaan dari suami mereka. Sebagai contoh, wanita lebih sering memberikan ciuman atau pelukan spontan kepada pasangannya jika sesuatu yang positif terjadi, sebaliknya pria jarang melakukannya (Blumstein & Schwartz dalam Sadarjoen, 2005). Secara umum wanita lebih ekspresif dan lebih berperasaan daripada pria dalam pernikahan, dan perbedaan ini sangat mengganggu banyak wanita.

Ada juga perbedaan gender dalam pekerjaan rumah tangga. Wanita biasanya lebih banyak melakukan pekerjaan rumah tangga daripada pria. Sebagian besar wanita dan pria setuju bahwa wanita seharusnya bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga dan pria seharusnya membantu. Sebagian besar wanita merasa tidak puas dengan sedikitnya jumlah pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh pasangannya. Sebagian besar wanita melakukan pekerjaan rumah tangga dua atau tiga kali lipat dari yang dilakukan oleh pasangannya. Penelitian yang dilakukan oleh Berk (dalam Santrock, 1998), hanya 10 % suami yang melakukan pekerjaan rumah tangga sebanyak pasangannya. Pria “khusus” tersebut biasanya berada dalam lingkungan keluarga yang memiliki banyak anak-anak kecil dengan pasangan yang bekerja penuh waktu.

Hakikat keterlibatan wanita dalam pekerjaan rumah tangga seringkali berbeda dengan pria. Walau mengerjakan lebih banyak, apa yang dikerjakannya dan


(7)

 

bagaimana mereka menghayati pekerjaan tersebut berbeda dengan pria. Pekerjaan rumah tangga yang sebagian besar dilakukan oleh wanita tidak pernah berakhir, berulang, dan rutin, biasanya mencakup membersihkan rumah, memasak, mengawasi anak, berbelanja dan mencuci pakaian. Pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh pria adalah pekerjaan yang tidak rutin, tidak teratur, seringkali mencakup memperbaiki rumah, membuang sampah, menyiangi rumput, dan berkebun. Wanita seringkali melaporkan bahwa mereka harus melakukan beberapa pekerjaan sekaligus, yang mungkin menjelaskan mengapa mereka menganggap pekerjaan rumah tangga tersebut kurang membuat santai dan lebih menekan dibanding yang dilakukan oleh pria.

Walaupun demikian, pekerjaan rumah tangga bagi wanita sering membuat cemas, lelah, merasa hina, terisolasi, tidak pernah selesai dan tidak dapat dihindari. Maka tidak heran jika banyak wanita yang berperasaan campur aduk terhadap pekerjaan rumah tangga yang dapat menyebabkan stres. Bagi pria, pekerjaan rumah tangga itu adalah pekerjaan yang membosankan dan memuakkan.

Menurut Dr. Ismed Yusuf (dalam Nazwan, 2005) urusan keluarga merupakan sumber stres terbesar (70%) dibandingkan dengan faktor lain seperti pekerjaan (20%) dan lingkungan sosial (10%). Holmes dan Rahe (dalam Duffy & Wong, 2003) menyatakan bahwa pengalaman hidup yang positif seperti pernikahan menjadi sumber stres terbesar.

Meskipun pernikahan telah melewati berbagai tahap persiapan matang, tetap saja konflik kerap terjadi. Masalah-masalah yang datang silih berganti kepada


(8)

pasangan yang baru menikah kerap kali menimbulkan stres. Sebagai contoh, perubahan peran dari kedua pasangan. Sebelum menikah, keduanya hidup sebagai individu yang bebas dan lebih mementingkan diri sendiri, namun stelah menikah peran mereka berubah menjadi suami istri yang harus saling berbagi dan terikat oleh tali pernikahan (Sadarjoen, 2005).

Stres sendiri merupakan suatu fenimena yang tidak dapat dielakkan dari kehidupan seseorang, baik yang masih muda maupun yang tua pasti pernah mengalami stres, dimana saja, dalam setiap situasi dan itu merupakan hal yang wajar. Morgan (1986) mengatakan, negara barat dalam mengatasi masalah stres, misalnya Amerika sampai mengeluarkan biaya dalam jumlah besar untuk mengatasi penyakit yang berhubungan dengan stres.

Stres memiliki banyak pengertian, Lazarus (1996) mengatakan bahwa defenisi stres dilihat dari tingkat internal yang disebabkan oleh pengaruh fisik terhadap tubuh (kondisi penyakit, aktivitas, dan suhu tubuh) dan melalui tingkat eksternal disebabkan oleh faktor lingkungan dan situasi sosial. Hal- hal yang dapat menyebabkan seseorang mengalami stres disebut sebagai stressor.

Selye (dalam Rice, 1987) mengemukakan bahwa stres adalah respon tubuh yang tidak spesifik terhadap suatu tuntutan yang sedang dihadapi. Stres bukan ketegangan saraf, melainkan ketegangan tubuh. Stres menerangkan efek-efek dari reaksi tubuh terhadap tekanan. Penyebab stres, yang disebut stressor, bisa saja semata-mata bersifat jasmani, sosial atau kejiwaan. Pikiran yang menafsirkannya sebagai sesuatu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan.


(9)

 

Stres tidak harus dihindari, karena stres tersebut perlu juga dalam kehidupan seseorang. Supaya manusia dapat bertahan di dalam lingkungannya, maka ia harus tetap menyesuaikan diri terhadap tuntutan yang dihadapinya. Dia harus melawan apa saja yang mengancam keadaannya. Dia mungkin bisa tenang dan tidur lelap, namun dia tetap berada dibawah suatu tekanan. Jantung seseorang harus terus berdetak dan memompakan darah, pencernaannya harus mencerna makanan yang dikonsumsinya terakhir kali, dan otot-ototnya harus bekerja untuk menggerakkan dada saat bernafas. Otaknya terus berfungsi meskipun ketika seseorang sedang bermimpi. Hanya orang yang sudah mati yang benar-benar terbebas dari stres (Rice, 1992).

Individu akan memberikan reaksi yang berbeda untuk mengatasi stres. Dewasa ini proses terhadap stres menjadi pedoman untuk bereaksi terhadap stres tersebut. Secara umum, stres dapat diatasi dengan melakukan transaksi dengan lingkungan, dimana hubungan transaksi tersebut merupakan proses dimana seseorang berusaha untuk menangani atau mengatasi situasi stres yang menekan dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku. Hal tersebut berfungsi untuk memperoleh rasa aman dalam diri individu (Lazarus, 1996).

Kantor (dalam Sadarjoen, 2005) yakin bahwa setiap relasi memiliki pola aksi dan reaksi perilaku yang menjadi mekanisme pengarah untuk relasinya sendiri. Ia juga menggambarkan bahwa hal ini sama dengan strategi yang berkembang secara spesifik bagi setiap pernikahan dan setiap sistem keluarga. Strategi tersebut sebenarnya penting dibentuk untuk mengambil keputusan, mengatasi masalah, dan mendapatkan solusi dari masalah yang timbul, baik untuk hidup maupun bekerja


(10)

bersama (Kantor, dalam Sadarjoen, 2005).

Berangkat dari uraian di atas, peneliti ingin melakukan sebuah penelitian untuk mengetahui perbedaan coping stress (upaya mengatasi stres) pada pria dan wanita dalam pernikahan berdasarkan aspek-aspek coping stress yang dikemukakan oleh Jerabek (1998). Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat komparatif.

I.B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan coping stress (upaya mengatasi stres) pada pria dan wanit dalam pernikahan.

I.C. Manfaat Penelitian I.C.1. Manfaat Teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan kajian ilmu Psikologi, khususnya di bidang Psikologi Perkembangan karena menyangkut permasalahan dalam masa dewasa saat memasuki fase kehidupan baru (pernikahan).

I.C.2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini dapat dipakai sebagai informasi tambahan bagi penelitian-penelitian sejenis dalam bidang Psikologi Perkembangan.

b. Penelitian ini dapat dipakai sebagai informasi bagi pasangan yang beru menikah untuk dapat mengatasi stres yang dihadapinya dalam pernikahan.


(11)

  I.D. Sistematika Penulisan

Proposal skripsi ini dibagi atas 5 (lima) bab dan masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan dari proposal skripsi ini adalah : Bab I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Uraian latar belakang adalah mengenai coping stress pada pasangan baru dalam menghadapi pernikahan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian, meliputi landasan teori dari jenis kelamin (pria dan wanita), pasangan baru (pernikahan), coping stress, hubungan antara coping stress pasangan baru dalam menghadapi pernikahan dan hipotesis penelitian.

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini akan menjelaskan tentang identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional penelitian, subjek penelitian, metode pengumpulan data, prosedur penelitian, dan metode analisis data untuk pengujian hipotesis yang digunakan peneliti dalam penelitian.

Bab IV : Hasil dan Interpretasi Data

Dalam bab ini akan dipaparkan hasil-hasil yang diperoleh, meliputi gambaran subjek penelitian, hasil utama penelitian, dan hasil tambahan.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran


(12)

(13)

PERBEDAAN COPING STRESS PADA PRIA DAN WANITA DALAM PERNIKAHAN

Sripsi

Guna Memenuhi Syarat Skripsi Perkembangan

D I S U S U N OLEH

Grace Marbun

011301027

Fakultas Kedokteran Program Studi Psikologi Universitas Sumatera Utara


(14)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karunia-Nya yang dilimpahkan pada saya sehingga saya akhirnya dapat menyelesaikan skripsi saya ini tepat pada waktunya. Saya menyadari bahwa skripsi ini bias selesai bukan karena kerja keras saya sendiri tetapi karena bantuan banyak pihak yang sangat suportif kepada saya dalam pengerjaan skripsi ini.

Rasa terima kasih terdalam saya ucapkan kepada Bram Jaya Nailendra yang selama tiga tahun ini telah menjadi suami yang baik, abang dan juga sahabat yang mau mendengarkan segala keluh kesah saya (Makasih ya, mas...udah sabar ngadapin dhe’. Dhe sayang sama mas).

Ucapan terima kasih juga hendak saya sampaikan kepada berbagai pihak yang telah mendukung saya dalam menyelesaikan skripsi ini baik berupa doa, saran dan juga kritik yang telah diberikan. Oleh karena itu saya ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak dr. Chairul Yoel, Sp.A(K), selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Lily Garliah, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi saya yang telah banyak meluangkan waktu serta memberi dukungan moril, membimbing saya dengan penuh kesabaran dan memberikan berbagai masukan dan bahan pertimbangan pada saya dalam proses pengerjaan skripsi saya ini.


(15)

3. (Alm) Drs. Yoewono, selaku Dosen Pembimbing Akademik saya yang terdahulu. Terima kasih ya, pak atas kesabaran Bapak menghadapi saya selama ini. Saya minta maaf karena terlambat menyelesaikan studi saya, pak.

4. Ibu Desvi Yanti Muchtar, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Akademik saya sekarang. Terima kasih atas dukungan ibu dan jua mau menerima saya sebagai mahasiswa bimbingan ibu.

5. Bapak Eka D.J. Ginting, S.Psi, Psikolog. Terima kasih ya, pak atas dukungan bapak selama masa studi saya. Thank you for being someone that I can depend on.

6. Seluruh staff pengajar beserta pegawai di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang berperan dalam perkuliahan saya selama ini. Khususnya buat Pak Aswan (Terima kasih ya, pak udah mau perhatiin saya. Selama ini Bapak yang selalu memotivasi kami. Jaga kesehatan ya, pak!), Kak’ Ari dan Kak’ Devi. Makasih ya atas kesabarannya menghadapi saya yang selalu ngerepotin kalian.

7. Kedua orang tuaku, dr. T.H. Marbun, Sp.AnK dan ibu Readyana Tampubolon. Tidak ada yang bisa menandingi kesabaran papa dan mama selama ini ke aku dan juga doa kalian yang tiada hentinya untuk ku dan suamiku. Papa, terima kasih karena selama 23 tahun ini mau menjadi ayah yang mau menerimaku apa adanya dengan segala kekurangan diriku. Dan juga terima kasih karena papa sudah mau menjadi tempat bersandarku setiap waktu. Buat Mama, terima kasih juga atas kesabaran Mama selama ini ke aku. Mungkin banyak perbedaan diantara Mama dan aku, tapi aku yakin, Mama sangat sayang ke aku. Terima kasih ya, ma sudah menjadi ibu yang baik untukku.


(16)

8. Mertuaku tersayang (Alm) Papa Henrycus Soeparman dan Mama Naniek yang di Malang. Pa, De’ Grace akhirnya udah jadi sarjana, tapi sayang papa udah pergi ke surga. Maafin De’ Grace karena telat mempersembahkan titel sarjana ini ke papa. Matur nuhun buat mama atas kesabarannya menghadapi mantu seperti De’ Grace ini. Semoga Mama diberikan kesehatan yang hanya datang dari Tuhan Yesus.

9. Amang dr. Gerhard Panjaitan, Sp.BOnk dan Ibu drg. Sri Rambung tersayang, selaku mertua angkatku. Terima kasih atas doa dan support yang Amang dan Ibu berikan kepada Grace agar Grace bisa menjadi seorang sarjana.

10.Buat abangku P. Mathin Luther Marbun (Bang, aku akhirnya lulus. Terima kasih atas motivasi yang telah abang berikan ke aku. Semoga Tuhan menyertai abang di Belanda) dan Adolf Bastian (Thanks yo laptopnya....), serta edaku Desy Lenny Sianipar juga keponakan-keponakan ku yang lucu, Baz dan Raff, terima kasih atas dukungan kalian semua baik moril maupun materil. Juga aku berterima kasih buat kritikan pedas kalian sehingga aku semangat lagi untuk menyelesaikan skripsiku. Buat Baz dan Raff, makasih karena sudah bolehin Bou ngerjain homework Bou di rumah kalian.

11. Mba’ Tanya, Mas Liga, Mas Doy, Mba’ Yaya, dan De’ Bill yang ada di Malang. Terima kasih atas dukungan kalian semua. Walaupun kita jauh, tapi doa dan motivasi yang kalian berikan sangat berguna bagiku.

12.Untuk Ma’Tua dan Pa’Tua Lolo. Terima kasih banyak karena dari aku kecil kalian lah yang menjadi pengganti Papa dan Mama saat mereka tidak bisa hadir untukku. Ma’tua dan Pa’tua, terima kasih atas doa dan kebaikan serta ketulusan kalian


(17)

mengerti seluk beluk kehidupanku selain Papa dan Mama. Terima kasih juga karena selama ini tidak pernah lupa untuk menelefonku untuk sekedar menanyakan, “Udah gimana skripsimu, nang?”, itu sangat menyemangatiku dalam mengerjakan skripsi ini. Semoga Ma’Tua dan Pa’Tua selalu dalam perlindungan Tuhan Yesus, terutama buat Pa’Tua, semoga Tuhan Yesus memberikan kesembuhan bagi Pa’Tua. Aminn... 13.Buat Ma’tua Eti (Bu dosen yang ditakuti se-Unimed) dan Tante Elly, makasih ya atas

dukungan dan doa kalian selama ini. Kalian memang tante dan sekaligus tetangga yang baik. Semoga Tuhan memberkati kalian.

14.Buat sepupuku tersayang, Riynn Marety S.Pd. Duuhhh....yang udah tamat duluan dari aku. Makasih ya, tok atas segala dukunganmu ke aku. Selama ini kita yang paling akrab, semoga sampai kita tua kita tetap akrab ya. Semoga Tuhan memberikan pekerjaan dan juga jodoh yang baik untukmu. (Cepat lah kau kawini si Ling-Ling itu, apalagi yang kau tunggu?!???!?).

15.Keluarga Besar (Alm) Op. S Tampubolon dan (Alm) Op. Rosina br. Hutagaol ( Sriwijaya 84) yang ada di Medan, Jakarta, Bandung dan dimanapun kalian berada. You’re the best family that i’ve ever had. Terutama buat Bang Ges dan Kak’ Wid makasih ya udah mau nemeni aku nyari buku di kampus orang. Semoga Tuhan memberikan jodoh yang baik buat kalian.

16.Teman-temanku di Psikologi USU angkatan 2001 yang udah pada tamat duluan. Terima kasih ya, guys. Terutama buat happy famz (Mami Chika, Mami Joys, Papi Adrian, Ivren, Santa dan Maria), semoga Tuhan memebrkati kalian. Love you, guys.


(18)

17.Yunita Pardede, S.Psi, makasih ya, yu udah ngedorong aku untuk ngerjain skripsiku. Semoga Tuhan memberikan pekerjaan dan jodoh buat Yunita. (Btw, kapan kita masak-masak lagi??)

Tak ada gading yang tak retak. Tentunya skripsi ini memiliki banyak kelemahan dan kekurangan. Karena itu saya sangat terbuka untuk kritik maupun saran dari para pembaca demi kesempurnaan hasil penelitian ini.

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya.

Medan, Februari 2008

Grace Marbun 011301027


(19)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……. ………. i

Daftar isi ……. ………... vi

BAB I. PENDAHULUAN ………... 1

I.A. Latar Belakang Masalah ………...…. 1

I.B. Tujuan Penelitian... 10

I.C. Manfaat Penelitian... 10

I.D. Sistematika Penulisan... 10

BAB II. LANDASAN TEORI ... 13

II.A. Jenis Kelamin ... 13

II.A.1. Pengertian Jenis Kelamin ... 13

II.B. Pasangan Baru (New Couple) ...….. 13

II.B.1. Pengertian Pasangan Baru ... ... 13

II.C. Pernikahan ... 15

II.C.1. Pengertian Pernikahan ... 15

II.C.2. Jenis-Jenis Pernikahan ... 15

II.C.3. Tahapan Pernikahan ... 16

II.D. Coping Stress (Upaya Mengatasi Stres) ... 16

II.D.1. Pengertian Stres ... 16

II.D.2. Faktor-Faktor Penyebab Stres... 17

II.D.3. Jenis-Jenis Stress ... 19

II.D.4. Pengertian Coping Stress ... 19


(20)

II.D.6. Strategi Coping Stress ... 21

II.D.7. Faktor yang Mempengaruhi Coping Stress... 24

II.D.8. Aspek-Aspek Coping Stress ... 25

II.E. Dinamika Coping Stress dalam Pernikahan ... 32

II.F. Hipotesis ...….. 33

BAB III. METODE PENELITIAN ... 34

III.A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 34

III.B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian ... 34

III.B.1. Jenis Kelamin ... 34

III.B.2. Coping Stress (Upaya Menghadapi Stres) ... 35

III.C. Metode Pengambilan Data ... 37

III.C.1.Populasi dan Sampel ... 37

III.C.2. Metode Pengambilan Sampel... 37

III.D. Instrumen atau Alat Ukur ... 37

III.E. Uji Coba Alat Ukur ... 41

III.E.1. Validitas ... 42

III.E.2. Reliabilitas ... 42

III.F. Prosedur Penelitian ... 43

III.G. Metode Analisa Data ... 45

BAB IV. ANALISA DAN INTERPRETASI DATA ... 48

IV.A. Subjek I ... 48


(21)

IV.A.3. Data Wawancara Subjek I ... 51

IV.A.4. Interpretasi Subjek I ... 61

IV.B. Subjek II ... 64

IV.B.1. Deskripsi Data Subjek II... 64

IV.B.2. Data Observasi Subjek II... 65

IV.B.3. Data Wawancara Subjek II ... 66

IV.B.4. Interpretasi Subjek II ... 74

IV.C. Subjek III ... 76

IV.C.1. Deskripsi Data Subjek III ... 76

IV.C.2. Data Observasi Subjek III ... 77

IV.C.3. Data Wawancara Subjek III ... 78

IV.C.4. Interpretasi Subjek III ... 86

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI dan SARAN ... 89

V.A. Kesimpulan ... 89

V.B. Diskusi ... 91

V.C. Saran ... 93

V.C.1. Saran Praktis ... 93

V.C.2. Saran Penelitian Lanjutan ... 93


(22)

DAFTAR TABEL/ GAMBAR

Dinamika Coping Stress dalam Keluarga... 13 Latar Belakang Subjek . ... 48 Gambaran Umum Subjek I ... 50 Waktu Wawancara Subjek I ... 51 Gambaran Umum Subjek II ... 66 Waktu Wawancara Subjek II ... 66 Gambaran Umum Subjek III ... 77 Waktu Wawancara Subjek III ... 78


(23)

  BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Jenis Kelamin

II.A.1. Pengertian Jenis Kelamin

Menurut Hungu (2007) jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki memproduksikan sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara keduanya, dan fungsinya tetap dengan laki-laki dan perempuan pada segala ras yang ada di muka bumi.

II.B. Pasangan Baru

II.B.1. Pengertian Pasangan Baru (New Couple)

Menurut Brehm (1992) menjadi pasangan baru (new couple) merupakan fase dari siklus kehidupan keluarga, dimana dua ndividu dari dua keluarga yang berbeda bersatu untuk memberntuk satu sistem keluarga yang baru. Fase ini tidak hanya melibatkan pembangaunan satu sistem pernikahan baru, tetapi juga penyusunan kembali hubungan dengan keluarga jauh dan teman-teman untuk melibatkan pasangan. Peran perempuan yang berubah, dan meningkatnya jumlah pernikahan pasangan dari latar belakang kebudayaan yang berbeda, serta meningkatnya jarak antara tempat tinggal anggota keluarga, menambah beban berat pada pasangan untuk mendefenisikan hubungan mereka bagi diri mereka sendiri dibandingkan dengan


(24)

yang terjadi di masa lampau.

Brehm (1992) menyatakan bahwa individu yang disebut sebagai pasangan baru merupakan pasangan menikah yang usia pernikahannya tidak lebih dari tiga tahun.

II.C. Pernikahan

II.C.1. Pengertian Pernikahan

Brehm (1992) mendefenisikan pernikahan sebagai ekspresi akhir seorang individu dari suatu hubungan yang mendalam : dimana dua individu bersumpah di depan umum didasarkan pada keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya. Pernikahan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) adalah suatu proses pembentukan keluarga dengan lawan jenis. Hurlock (1980) menyebutkan pernikahan adalah proses penyesuaian diri antara suami istri dalam kesamaan dan keintiman.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah ekspresi akhir seorang individu untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya dan berkeluarga dengan lawan jenisnya serta menyesuaikan diri dalam kesamaan dan keintiman.

II.C.2. Jenis-jenis Pernikahan

II.C.2.a. Berdasarkan pengalaman menikah individu

Brehm (1992) membedakan pernikahan berdasarkan pengalaman menikah individu menjadi :


(25)

  1. First Marriage

First Marriage adalah pernikahan pertama individu, dimana individu baru pertama kali mengikat hubungan dengan seseorang secara sah dalam suatu pernikahan.

2. Remarriage

Remarriage adalah pernikahan individu dimana individu pernah menikah tetapi kemudian menikah kembali dengan alas an karena individu telah bercerai ataupun karena pasangan hidup telah meninggal.

II.C.2.b. Berdasarkan usia pernikahan

Brehm (1992) menggolongkan pernikahan berdarakan usia pernikahan menjadi :

1. Newlywedding

Newlywedding adalah suatu hubungan pernikahan yang baru berusia kurang dari atau sama dengan tiga tahun.

2. Marriage

Marriage adalah suatu hubungan pernikahan yang telah berusia lebih dari tiga tahun.

II.C.3. Tahapan PErnikahan (Marital Stage)

Tahapan pernikahan analog dengan tahapan-tahapan perkembangan jiwa yang dialami setiap individu (Gould dalam Sadarjoen, 2005). Apabila dua orang menjalin pernikahan pada fase dewasa, maka hal ini akan mempengaruhi setiap pasangan sebanyak pengaruh kejadian eksternal di dalam kehidupan mereka. Roulins dan


(26)

Fieldman (dalam Sadarjoen, 2005) mengungkapkan terminology marital life cycle. Terminology tersebut dinyatakan tidak sama jalannya dengan perubahan siklus kehidupan manusia, namun lebih mempertimbangkan kejadian-kejadian sebagai pelajaran hidup. Marital life cycle mengungkapkan bahwa tahap-tahap perkawinan muncul karena adanya tiga area kehidupan pasangan yang terpisah, namun saling tumpang tindih. Ketiga area kehidupan yang dimaksud adalah :

a. Perubahan-perubahan dalam peran parental

Perubahan-perubahan dalam peran orang tua pada siklus kehidupan adalah sebagai berikut : kelahiran anak pertama, masa remaja anak-anak, dan keluarnya anak bungsu dari rumah karena sudah dewasa.

Kelahiran anak pertama memberikan dampak yang paling besar karena anak memaksa pasangan untuk menambah peran sebagai ibu dan ayah, padahal sebelumnya mereka hanya beridentitas sebagai pasangan suami istri. Pasangan sering sekali merasa waktu yang diluangkan bersama pasangan sangat sedikit (Campbell dalam Sadarjoen, 2005).

Selama periode remaja, peran orang tua mungkin bergeser menjadi rasa ketidaknyamanan akan pola asuh yang telah mereka terapkan, dan sering kali merasa moral keluarga telah jatuh. Sementara itu, akan tiba waktunya kedua pasangan mengalami kejadian final, yaitu saat anak bungsu keluar dari rumah dan dirasakan sebagai sinyal “empty nest” yang merupakan pertanda akhir dari aktivitas parental (Menaghan, dalam Sadarjoen, 2005).


(27)

  b. Perubahan-perubahan dalam status ekonomi

Perbahan-perubahan dalam status ekonomi sering terkait dengan pendidikan pasangan, pekerjaan pasangan dan jumlah serta jarak kelahiran anak-anaknya. Dua tahap dalam marital life cycle yang sangt rentan terhadap stress ekonomi terjadi pada awal pernikahan dan saat pension tiba. Perolehan penghasilan keluarga yang rendah pada setiap periode siklus pernikahan dapat memberikan efek kehancuran dalam kualitas kehidupan pasangan.

c. Perubahan dalam peran yang dimainkan diluar kehidupan keluarga

Perubahan-perubahan dalam peran yang dimainkan diluar kehidupan keluarga juga sangat bervariasi sama halnya dengan marital life cycle. Kembalinya istri dalam setting kerja setelah tinggal di rumah demi mengasuh anak-anak beberapa tahun sebelumnya akan memberikan berbagai macam perubahan permainan peran dalam rumah tangga yang dapat menjadi sumber stress bagi kelangsungan kehidupan pernikahan (Ryne, dalam Sadarjoen, 2005).

II.D. Coping Stress (Cara Menghadapi Stres)

Stres dapat dipersespsikan berbeda-beda oleh masing-masing orang. Secara garis besar, stress merupakan keadaan maupun kondisi yang muncul ketika seseorang dihadapkan pada suatu kejadian yang dirasa mengancam kondisi fisiologis maupun psikologis seseorang.

II.D.1. Pengertian Stres

Baron dan Byrne (1997) menyatakan bahwa stres merupakan respon terhadap persepsi kejadian fisik atau psikologis dari individu sebagai sesuatu yang potensial


(28)

menimbulkan bahaya atau tekanan emosional.

Selye (dalam Munandar, 2001) menyatakan bahwa stres adalah tanggapan menyeluruh dari tubuh terhadap setiap tuntutan yang dating atasnya. Jadi stres bersifat subyektif tergantung bagaimana orang tersebut memandang kondisi penyebab stress (stressor).

Dalam buku Stress and Health, Rice (1992) mendefenisikan stress dengan tiga pengertian yang berbeda, yaitu :

a. Stres mengarah pada tiap kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan seseorang merasa tertekan atau dibangkitkan. Dalam hal ini, stres berasal dari eksternal seorang individu. Kondisi yang dapat menimbulkan stres disebut stressor. Setiap situasi, peristiwa/kejadian atau objek yang memaksa tubuh dan menyebabkan timbulnya “physiological reaction” adalah stressor.

b. Stres mengarah pada respon subjektif. Dalam hal ini, stres merupakan bagian internal dari mental, termasuk didalamnya adalah emosi, pertahanan diri, interpretasi dan proses coping yang terdapat dalam diri seseorang.

c. Stres mengarah pada physical reaction dalam mengatasi ataupun menghilangkan gangguan.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa stres merupakan setiap tekanan atau ketegangan yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang.

II.D.2. Faktor-faktor Penyebab Stres


(29)

 

menyebabkan timbulnya ”physiological reaction” disebut dengan stressor.Stressor dapat berupa stimulus yang berasal dari lingkungan fisik dan situasi social. Rice (1992) dalam bukunya yang berjudul Stress and Health, mengemukakan tentang hal-hal yang dapat menjasi sumber stres pada setiap orang.

Secara umum stressor dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: a. Internal

Yaitu, stressor yang berasal dari dalam diri individu sendiri. Ada beberapa hal yang merupakan stressor internal, antara lain:

i. Kepribadian

Seseorang dengan Tipe A memiliki cirri-ciri sebagai berikut : agresif, ambisius, senang bersaing, senang menyelesaikan pekerjaan dan kebiasaan berlomba dengan waktu. Pada waktu-waktu tertentu, mereka mampu menunjukkan kemampuan dan keefisienan mereka. Namun, bila dihadapkan dalam kondisi stressful, mereka tidak mampu lagi untuk mengendalikan diri dan kebingungan. Seseorang dengan Tipe B memiliki cirri-ciri yang berlawanan dengan Tipe A, yaitu : easygoing, tidak suka berkompetisi dan tenang.

ii. Kognitif

Kognitif juga dapat menjelaskan bagaimana jalannya seseorang dapat mengalami stres. Stres secara khusus dapat mempengaruhi individu secara pribadi dalam menerima dan menginterpretasikan suatu masalah.


(30)

b. Eksternal

Yaitu, stressor yang berasal dari luar diri individu. Beberapa stressor eksternal, antara lain:

i. Faktor rumah tangga (stress in the family)

Stres dalam keluarga didefenisikan sebagai tekanan yang dapat merusak atau mengubah sistem dalam keluarga. Pengaruh stres ini terhadap keluarga yaitu mengurangi keharmonisan dan merupakan sumber dari berbagai masalah. ii. Faktor lingkungan (environmental stress)

Lingkungan adalah tempat yang mengarah pada hal di sekeliling kita, ruang fisik yang dapat dirasakan dan tempat kita berperilaku. Byrne dan Clare (dalam Rice, 1992) mengemukakan pengertian stres lingkungan sebagai suatu kondisi sikap seseorang terhadap aspek-aspek tertentu dari lingkungan.

iii. Faktor sosial (social source of stress)

Perubahan sosial dapat dilihat dari perubahan gaya hidup (life-style changes), nilai-nilai dan tradisi-tradisi lama yang telah bergeser. Perubahan-perubahan yang terjadi meliputi aborsi, kebebasan homoseksual, pernikahan yang kemudian membuat keluarga, masyarakat dan pemerintahan terpengaruh untuk mengikuti perubahan-perubahan tersebut.

II.D.3. Jenis-Jenis Stres

Selye (dalam Munandar, 2001) membedakan stres menjadi 2 (dua), yaitu: a. Distress


(31)

 

Sebagai contoh: pertengkaran, kematian pasangan hidup, dan lain-lain. b. Eustress

Merupakan jenis stres yang diakibatkan oleh hal-hal yang menyenangkan. Sebagai contoh: perubahan peran setelah menikah, kelahiran anak pertama, dan lain-lain. II.D.4. Pengertian Coping Stress

Taylor (dalam Smet, 1994) mengemukakan bahwa coping stress adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan-tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan-tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi stressful.

Menurut Lazarus (1996) coping stress adalah upaya kognitif dan tingkah laku untuk mengelola tuntutan internal dan eksternal yang khusus dan konflik diantaranya yang dinilai individu sebagai beban dan melampaui batas kemampuan individu tersebut.

Individu akan memberikan reaksi yang berbeda untuk mengatasi stres. Dewasa ini proses terhadap stres menjadi pedoman untuk membangun coping stress. Secara umum stres dapat diatasi dengan melakukan transaksi dengan lingkungan dimana hubungan transaksi ini merupakan suatu proses dimana individu berusaha untuk menangani dan menguasai situasi stres yang menekan dengan melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya.

Coping adalah transaksi berseri antara individu yang memiliki satuan sumber daya, nilai, komitmen, dan lingkungan tempat tinggal dengan sumber dayanya


(32)

sendiri, tuntutan. Coping bukan merupakan suatu tindakan yang dilakukan individu tetapi merupakan kumpulan respon yang terjadi setiap waktu, yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan individu tersebut (Yanny, dkk, 2004). Reaksi emosional, termasuk kemarahan dan depresi, dapat dianggap sebagai bagian dari proses coping untuk menghadapi suatu tuntutan.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa coping stress merupakan suatu upaya kognitif untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi atau meminimalisasikan suatu siatuasi atau kejadian yang penuh ancaman.

II.D.5. Fungsi Coping Stress

Secara umum menurut Folkman, dkk (dalam Smet, 1994) coping stress mempunyai 2 (dua) macam fungsi, yaitu:

a. Emotion-focused coping

Digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Pengaturan ini melalui perilaku individu, seperti pengguna alkohol, bagaimana mengabaikan fakta-fakta yang tidak menyenangkan dengan strategi kognitif. Bila individu tidak mampu mengubah kondisi yang stressful, individu akan cenderung mengatur emosinya. Salah satu strategi ini disebutkan Freud (dalam Smet, 1994) yaitu mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism). Strategi ini tidak mengubah situasi stressful, namun hanya mengubah cara orang memikirkan situasi dan melibatkan elemen penipuan diri (denial).

b. Problem-focused coping


(33)

 

dalam menghadapi masalahnya dan berusaha untuk menyelesaikannya. Untuk mengurangi stressor, individu akan mengatasinya dengan cara mempelajari cara atau ketrampilan baru. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini, bila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi. Metode ini digunakan oleh orang dewasa.

II.D.6. Strategi-Strategi Coping Stress

Menurut Arthur Stone dan Jhon Neale (dalam Benjamin, dkk, 1987) terdapat 8 (delapan) kategori strategi coping stress, yaitu :

a. Direct action (tindakan langsung)

Individu memikirkan dan mencari pemecahan permasalahannya dan kemudian melakukan sesuatu atau bertindak untuk menyelesaikan masalah tersebut. b. Acceptance (penerimaan)

Individu mampu menerima kenyataan bahwa keadaan stres tersebut telah terjadi dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk menghindari masalah tersebut.

c. Destruction (pengacauan masalah)

Individu melibatkan diri pada aktivitas lain dan memaksakan diri untuk memecahkan masalah lain.

d. Situation redefenition (mendefenisikan ulang situasi)

Mendefenisikan situasi dengan memikirkan masalah dengan cara yang berbeda agar situasi stres tersebut menjadi dapat diterima.


(34)

e. Catharsis (katarsis)

Mencari pelepasan emosi sebagai alat untuk mengurangi ketegangan dari stres.

f. Relaxation techniques (teknik relaksasi)

Merupakan cara untuk mengurangi tekanan yang dialami individu. g. Social support (dukungan sosial)

Mencari dukungan sosial, misalnya dari teman, orang yang dicintai, psikolog atau dari lingkungan masyarakat sekitar untuk mengurangi stres.

h. Religious strategy (strategi keagamaan)

Mencari ketenangan spiritual yang diperoleh dari teman, orang tua atau pemuka agama. Strategi ini dapat ditempuh dengan perilaku seperti berdoa. Berdoa diyakini dapat membuat individu mampu menghadapi berbagai situasi yang penuh tekanan.

Menurut Taylor (dalam Smet, 1994) ada 8 (delapan) jenis strategi coping stress, yaitu:

a. Konfrontasi, yaitu sikap agresif untuk mengubah situasi

b. Mencari dukungan sosial, yaitu suatu sikap untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan informasi dari orang lain.

c. Merencanakan pemecahan masalah

d. Kontrol diri, adalah sikap untuk mengatur perasaan


(35)

 

f. Penilaian kembali secara positif (possitive appraisal), yaitu suatu upaya untuk menemukan arti yang positif dari permasalahan yang dihadapi.

g. Menerima tanggung jawab dalam masalah peran

h. Melarikan diri/ menghindar (escape/avoidance), yaitu dengan cara makan, minum, merokok, dan memakai obat-obatan.

Strategi penanganan stres juga dapat digolongkan menjadi mendekat (approach) atau menjauh (avoidance). Strategi mendekat (approach strategies) meliputi usaha kognitif untuk memahami penyebab stres dan usaha untuk menghadapi penyebab stres tersebut dengan cara menghadapinya secara langsung. Strategi menghindar (avoidance strategies) meliputi usaha kognitif untuk menyangkal atau meminimalisasikan penyebab stres dan usaha yang muncul dalam tingkah laku untuk menarik diri atau menghindar dari penyebab stres (Santrock, 1998)

Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun metode coping stress yang dapat digunakan untuk semua situasi stres. Tidak ada strategi coping stress yang paling berhasil. Strategi coping stress yang paling efektif adalah strategi yang sesuai dengan jenis stres dan situasi (Smet, 1994). Keberhasilan coping stress lebih bergantung pada penggabungan strategi coping stress yang sesuai dengan ciri-ciri masing-masing kejadian yang mengancam, daripada mereka mencoba menemukan satu strategi coping stress yang paling berhasil.


(36)

II.D.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Coping Stress

Reaksi terhadap stres bervariasi antara individu yang satu dengan individu yang lainnya, dan dari waktu ke waktu pada orang yang sama. Perbedaan ini

disebabkan oleh faktor psikologis dan sosial yang tampaknya dapat merubah dampak stressor bagi individu.

Menurut Smet (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress adalah : a. Variabel dalam kondisi individu; mencakup umur, tahap kehidupan, jenis

kelamin, temperamen, faktor genetik, intelegensi, pendidikan, suku, kebudayaan, status ekonomi dan kondisi fisik.

b. Karakteristik kepribadian, mencakup introvert-extrovert, stabilitas emosi secara umum, kepribadian “ketabahan” (hardiness), locus of control, kekebalan, dan ketahanan.

c. Variabel sosial-kognitif, mencakup dukungan sosial yang disrasakan, jaringan sosial, serta kontrol pribadi yang dirasakan.

d. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi dalam jaringan sosial.

e. Strategi coping stress; merupakan cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam situasi stres.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress adalah : kesehatan fisik, karakteristik kepribadian,


(37)

 

variabel sosial-kognitif, hubungan dengan lingkungan sosial dan strategi coping stress.

II.D.8.Aspek-Aspek Coping Stress

Coping dapat diidentifikasi melalui respon, manifestasi (tanda dan gejala) dan pernyataan klien dalam wawancara. Menurut Jerabek (1998) ada 7 (tujuh) aspek coping stress, yaitu :

1. Reactivity to stress (reaksi terhadap stres)

Bagaimana individu bereaksi terhadap stres, atau dapat dikatakan sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi stres. Jerabek (1998) mengatakan bahwa semakin rendah kemampuan seseorang menghadapi stres, maka reaksinya terhadap stres tergolong maladaptif. Sebaliknya, semakin tinggi kemampuan seseorang menghadapi stres, maka reaksinya terhadap stres semakin adaptif.

2. Ability to assess situation (kemampuan untuk menilai situasi)

Kemampuan untuk menilai situasi yang dimaksud yaitu bagaimana cara individu menanggapi situasi/masalah yang mengancam dirinya. Dimana situasi tersebut dapat terkendali jika individu memiliki kemampuan yang tinggi untuk menilai situasi, dan situasi yang menimpanya akan menimbulkan stres jika individu memiliki kemampuan yang rendah untuk menilai situasi (Jerabek, 1998).

3. Self-reliance (kepercayaan terhadap diri sendiri)

Self-reliance merupakan kepercayaan individu terhadap dirinya untuk dapat menghadapi/menyelesaikan situasi atau masalah yang datang kepadanya. Jerabek (1998) menyatakan bahwa, semakin tinggi kepercayaan diri individu dalam


(38)

menghadapi situasi yang mengancam dirinya, maka ia akan terhindar dari stres. Sebaliknya, semakin rendah kepercayaan diri individu dalam menghadapi situasi yang mengancam, maka ia akan mengalami stres.

4. Resourcefulness (banyaknya akal daya)

Menurut Jerabek (1998) resourcefulness merupakan daya/ kemampuan individu untuk memikirkan jalan keluar dalam menghadapi situasi/ masalah yang mengancamnya. Semakin tinggi kemampuan individu untuk mencari jalan keluar bagi masalahnya, ia akan terlepas dari stres, namun semakin rendah kemampuan individu untuk mencari jalan keluar bagi masalahnya, ia akan mengalami stres. Salah satu contoh dari aspek ini yaitu : berbagi masalah dengan teman atau orang yang disayangi, mengikuti group therapy.

5. Adaptability and flexibility (adaptasi dan penyesuaian)

Adaptasi dan penyesuaian individu dalam menghadapi situasi/masalah yang mengancam dirinya juga mempengaruhi tingkat stres seseorang. Jerabek (1998) mengatakan bahwa, semakin tinggi adaptasi dan penyesuaian diri individu terhadap situasi/ masalah yang mengancam, ia akan terhindar dari stres. Sebaliknya, semakin rendah adaptasi dan penyesuaian diri individu terhadap situasi/ masalah yang mengancam, ia akan mengalami stres.

6. Proactive attitude (sikap proaktif)

Jerabek (1998) menyatakan bahwa individu juga harus berperan aktif dalam menghadapi situasi/ masalah yang mengancam dirinya. jika individu tidak aktif dalam menyeleseaikan masalahnya atau terlalu bergantung kepada orang lain, ia


(39)

 

akan mengalami stres. Namun sebaliknya, jika seseorang aktif menghadapi situasi/ masalah yang menancam dirinya, ia akan terlepas dari stres.

7. Ability to relax (kemampuan untuk relaks)

Jerabek (1998) menyatakan bahwa bersikap santai/ relaks dalam menghadapi masalah, dapat mengurangi tingkat stres seseorang. Semakin tinggi kemampuan individu untuk relaks dalam menghadapi maslaahnya, semakin rendah tingkat stres nya. Namun semakin tegang seseorang menghadapi stres nya, maka tingkat stres nya akan semakin tinggi.

II.E. Dinamika Coping Stress dalam Pernikahan

Kita dapat melihat dinamika coping stress dalam pernikahan melalui teori yang dikemukakan oleh Reuben Hill (dalam Rice, 1987). Hill meneliti bahwa dinamika coping stress dan menamakan teori tersebut sebagai the ABCX Model. David Klein (dalam Rice, 1987) juga melakukan penelitian yang sama dan menamakan teorinya sebagai stress-crisis-coping theory (SSC theory).

Dalam teori ABCX, Hill (dalam Rice, 1987) menyatakan bahwa suatu kejadian (A) berinteraksi dengan anggota-anggota keluarga dan menciptakan krisis (B), dan interpretasi keluarga tentang kejadian tersebut (C), dapat menciptakan krisis (X). Dalam sebuah keluarga, sebuah stressor muncul hanya jika keluarga menginterpretasikan kejadian yang menimpa mereka sebagai suatu ancaman (family appraisal), dan sumber keluarga (family resources) tersebut tidak dapat menghadapi ancaman tersebut (secondary appraisal).


(40)

Ada 2 (dua) konsep mendasar pada ABCX Model yang dikemukakan oleh Hill (dalam Rice, 1987). Pertama, besarnya perubahan yang disebabkan oleh kejadian yang menimbulkan stres. Kedua, kerentanan keluarga terhadap stres. Secara umum, dinamika coping stress dapat kita lihat pada bagan sebagai berikut :

Gambar 1

Dinamika Coping Stress dalam Keluarga

Amount of change (besar perubahan-perubahan yang terjadi pada keluarga) merupakan tingkat dari penyesuaian diri keluarga terhadap kejadian yang menimpa mereka (Hill, dalam Rice, 1987). Contohnya : kematian pasangan hidup, perceraian,

Amount of Change (Besarnya perubahan)

Stressor Event (Kejadian yang menyebabkan

stress)

Family Vulnerability to Stress (Kerentanan keluarga terkena stres)

Amount of Family Stress (Besarnya stres yang

dihadapi keluarga)

Family Defenition of Seriousness of Change

(Family appraisals)

Family

Integration Family Adaptability


(41)

 

kelahiran anak pertama, perilaku anak saat remaja, ataupun perginya anak paling bungsu dari rumah (emptyness).

Stressor events dijelaskan oleh McCubbin dan Patterson (dalam Rice, 1987) sebagai kejadian hidup atau transisi yang dapat mempengaruhi sistem sosial keluarga. Sebagai contoh : kematian orang tua, pendapatan yang kecil, dipenjaranya salah satu anggota keluarga, dan lain-lain.

Family vulnerability of stress. Dalam teori Hill (dalam Rice, 1987), family vulnerability merupakan faktor yang paling kompleks dan paling penting dalam menghasilkan stres pada keluarga. Pada dasarnya, stressor events berinteraksi dengan family vulnerability untuk menghasilkan krisis. Semakin tinggi ancaman dari kejadian yang menimpa keluarga, semakin tinggi pula family vulnerability terhadap stres, dan juga krisis menimpa keluarga tersebut. Sebaliknya, semakin rendah ancaman dari kejadian yang menimpa keluarga, maka family vulnerability juga rendah dan keluarga tersebut tidak mengalami stres.

Family appraisal. Dari bagan di atas dapat kita lihat bahwa family vulnerability berkaitan dengan pengrtian (defenition) keluarga (atau yang disebut juga appraisal) terhadap seriusnya perubahan yang terjadi dalam keluarga dan keseluruhan dari integrasi dan kemampuan adaptasi keluarga.

Family resources. Sumber-sumber keluarga merupakan kombinasi dari sumber personal yang dimiliki salah satu anggota keluarga secara pribadi, dan sumber pribadi tersebut merupakan bagian dari sistem keluarga. Telah diteliti oleh Hill (dalam Rice, 1987) bahwa stres yang terjadi dalam keluarga terfokus pada 4 (empat)


(42)

sumber, yaitu : status keuangan atau keadaan perekonomian keluarga, status kesehatan atau keadaan fisik keluarga, sumber psikologis yang biasanya diukur dari variabel kepribadian, dan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan ditampilkan secara tidak langsung sebagai sumber kognitif, yang memperkirakan appraisal nyata dan menghasilkan kemampuan untuk memecahkan masalah (problem solving).

Secara singkat hubungan family vulnerability dengan besar stres yang terjadi dalam keluarga dapat kita lihat dalam bagan berikut :

Gambar 2

Hubungan Family Vulnerability dengan Besar Stres Kelurga

High

Low

Low

High

McCubbin dan Patterson (dalam Rice, 1987) mengidentifikasikan 4 (empat) hipotesis umum terhadap bagaimana coping keluarga dalam menghadapi stres. Pertama, coping stress dapat mengurangi family vulnerability terhadap stres. Kedua,


(43)

 

keluarga dan organisasi keluarga. Ketiga, coping stress dapat mengurangi bahkan menghilangkan stressor events. Dan keempat, coping stress secara aktif mengendalikan lingkungan keluarga dan mengubah organisasi keluarga ke arah yang lebih baik.

II.F. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah ada perbedaan coping stress (upaya mengatasi stres) antara pria dan wanita dalam pernikahan. Artinya, coping stress pada pria lebih efektif daripada coping stress wanita.


(44)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat komparatif, dimana tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan apakah ada perbedaan antara coping stress pada pria dan wanita (pasangan baru) dalam pernikahan.

III.A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel-variabel penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah : a. Variabel bebas : Jenis kelamin (pria dan wanita)

b. Variabel tergantung : Coping stress

III.B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian

Adapun defenisi operasional dari kedua variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

III.B.1. Jenis kelamin

Menurut Hungu (2007) jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan dan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Perbedaan jenis kelamin berkaitan dengan karakteristik tubuh laki-laki dan tubuh perempuan, dimana laki-laki memproduksi sperma, sedangkan perempuan memproduksi sel telur dan secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil, dan menyusui. Perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan di antara keduanya dan fungsinya tetap dengan laki-laki dan perempuan pada segala ras yang


(45)

  III.B.2. Coping stress

Coping stress merupakan suatu upaya kognitif untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh ancaman. Pengertian coping stress yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari teori coping stress yang dikemukakan oleh Jerabek (1998).

Menurut Jerabek (1998) ada tujuh aspek coping stress, yaitu : 1. Reactivity to stress (reaksi terhadap stres)

Bagaimana individu bereaksi terhadap stres, atau dapat dikatakan sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi stres. Jerabek (1998) mengatakan bahwa semakin rendah kemampuan seseorang menghadapi stres, maka reaksinya terhadap stres tergolong maladaptif. Sebaliknya, semakin tinggi kemampuan seseorang menghadapi stres, maka reaksinya terhadap stres semakin adaptif.

2. Ability to assess situation (kemampuan untuk menilai situasi)

Kemampuan untuk menilai situasi yang dimaksud yaitu bagaimana cara individu menanggapi situasi/masalah yang mengancam dirinya. Dimana situasi tersebut dapat terkendali jika individu memiliki kemampuan yang tinggi untuk menilai situasi, dan situasi yang menimpanya akan menimbulkan stres jika individu memiliki kemampuan yang rendah untuk menilai situasi (Jerabek, 1998).

3. Self-reliance (kepercayaan terhadap diri sendiri)

Self-reliance merupakan kepercayaan individu terhadap dirinya untuk dapat menghadapi/menyelesaikan situasi atau masalah yang datang kepadanya. Jerabek (1998) menyatakan bahwa, semakin tinggi kepercayaan diri individu dalam


(46)

menghadapi situasi yang mengancam dirinya, maka ia akan terhindar dari stres. Sebaliknya, semakin rendah kepercayaan diri individu dalam menghadapi situasi yang mengancam, maka ia akan mengalami stres.

4. Resourcefulness (banyaknya akal daya)

Menurut Jerabek (1998) resourcefulness merupakan daya/ kemampuan individu untuk memikirkan jalan keluar dalam menghadapi situasi/ masalah yang mengancamnya. Semakin tinggi kemampuan individu untuk mencari jalan keluar bagi masalahnya, ia akan terlepas dari stres, namun semakin rendah kemampuan individu untuk mencari jalan keluar bagi masalahnya, ia akan mengalami stres. Salah satu contoh dari aspek ini yaitu : berbagi masalah dengan teman atau orang yang disayangi, mengikuti group therapy.

5. Adaptability and flexibility (adaptasi dan penyesuaian)

Adaptasi dan penyesuaian individu dalam menghadapi situasi/masalah yang mengancam dirinya juga mempengaruhi tingkat stres seseorang. Jerabek (1998) mengatakan bahwa, semakin tinggi adaptasi dan penyesuaian diri individu terhadap situasi/ masalah yang mengancam, ia akan terhindar dari stres. Sebaliknya, semakin rendah adaptasi dan penyesuaian diri individu terhadap situasi/ masalah yang mengancam, ia akan mengalami stres.

6. Proactive attitude (sikap proaktif)

Jerabek (1998) menyatakan bahwa individu juga harus berperan aktif dalam menghadapi situasi/ masalah yang mengancam dirinya. jika individu tidak aktif dalam menyeleseaikan masalahnya atau terlalu bergantung kepada orang lain, ia


(47)

 

akan mengalami stres. Namun sebaliknya, jika seseorang aktif menghadapi situasi/ masalah yang menancam dirinya, ia akan terlepas dari stres.

7. Ability to relax (kemampuan untuk relaks)

Jerabek (1998) menyatakan bahwa bersikap santai/ relaks dalam menghadapi masalah, dapat mengurangi tingkat stres seseorang. Semakin tinggi kemampuan individu untuk relaks dalam menghadapi maslaahnya, semakin rendah tingkat stres nya. Namun semakin tegang seseorang menghadapi stres nya, maka tingkat stres nya akan semakin tinggi.

III.C. Metode Pengambilan Data III.C.1. Populasi dan sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah pasangan (pria dan wanita) yang baru menikah yang ada di kota Medan dan usia pernikahannya tidak lebih dari tiga tahun. III.C.2. Metode pengambilan sampel

Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu Random Sampling. Dalam random sampling semua inidividu dalam populasi baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Data pasangan yang baru menikah diperoleh dari kantor catatan sipil kota Medan.

III.D. Instrumen atau Alat Ukur

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala coping stress. Skala coping stress disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Jerabek (1998), yaitu :


(48)

1. Reactivity to stress (reaksi terhadap stres)

Bagaimana individu bereaksi terhadap stres, atau dapat dikatakan sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi stres. Jerabek (1998) mengatakan bahwa semakin rendah kemampuan seseorang menghadapi stres, maka reaksinya terhadap stres tergolong maladaptif. Sebaliknya, semakin tinggi kemampuan seseorang menghadapi stres, maka reaksinya terhadap stres semakin adaptif.

2. Ability to assess situation (kemampuan untuk menilai situasi)

Kemampuan untuk menilai situasi yang dimaksud yaitu bagaimana cara individu menanggapi situasi/masalah yang mengancam dirinya. Dimana situasi tersebut dapat terkendali jika individu memiliki kemampuan yang tinggi untuk menilai situasi, dan situasi yang menimpanya akan menimbulkan stres jika individu memiliki kemampuan yang rendah untuk menilai situasi (Jerabek, 1998).

3. Self-reliance (kepercayaan terhadap diri sendiri)

Self-reliance merupakan kepercayaan individu terhadap dirinya untuk dapat menghadapi/menyelesaikan situasi atau masalah yang datang kepadanya. Jerabek (1998) menyatakan bahwa, semakin tinggi kepercayaan diri individu dalam menghadapi situasi yang mengancam dirinya, maka ia akan terhindar dari stres. Sebaliknya, semakin rendah kepercayaan diri individu dalam menghadapi situasi yang mengancam, maka ia akan mengalami stres.

4. Resourcefulness (banyaknya akal daya)

Menurut Jerabek (1998) resourcefulness merupakan daya/ kemampuan individu untuk memikirkan jalan keluar dalam menghadapi situasi/ masalah yang


(49)

 

mengancamnya. Semakin tinggi kemampuan individu untuk mencari jalan keluar bagi masalahnya, ia akan terlepas dari stres, namun semakin rendah kemampuan individu untuk mencari jalan keluar bagi masalahnya, ia akan mengalami stres. Salah satu contoh dari aspek ini yaitu : berbagi masalah dengan teman atau orang yang disayangi, mengikuti group therapy.

5. Adaptability and flexibility (adaptasi dan penyesuaian)

Adaptasi dan penyesuaian individu dalam menghadapi situasi/masalah yang mengancam dirinya juga mempengaruhi tingkat stres seseorang. Jerabek (1998) mengatakan bahwa, semakin tinggi adaptasi dan penyesuaian diri individu terhadap situasi/ masalah yang mengancam, ia akan terhindar dari stres. Sebaliknya, semakin rendah adaptasi dan penyesuaian diri individu terhadap situasi/ masalah yang mengancam, ia akan mengalami stres.

6. Proactive attitude (sikap proaktif)

Jerabek (1998) menyatakan bahwa individu juga harus berperan aktif dalam menghadapi situasi/ masalah yang mengancam dirinya. jika individu tidak aktif dalam menyeleseaikan masalahnya atau terlalu bergantung kepada orang lain, ia akan mengalami stres. Namun sebaliknya, jika seseorang aktif menghadapi situasi/ masalah yang menancam dirinya, ia akan terlepas dari stres.

7. Ability to relax (kemampuan untuk relaks)

Jerabek (1998) menyatakan bahwa bersikap santai/ relaks dalam menghadapi masalah, dapat mengurangi tingkat stres seseorang. Semakin tinggi kemampuan individu untuk relaks dalam menghadapi maslaahnya, semakin rendah tingkat stres


(50)

nya. Namun semakin tegang seseorang menghadapi stres nya, maka tingkat stres nya akan semakin tinggi.

Skala coping stress ini terdiri dari item yang bersifat favorable (pernyataan yang bersifat positif) dan unfavorable (pernyataan yang bersifat negatif). Aspek-aspek diatas diuraikan dalam skala model likert, dimana masing-masing item memiliki 4 (empat) alternatif jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS).

Pada item yang bersifat favorable, maka nilai 4 diberikan bila subjek memilih jawaban Sangat Setuju (SS), nilai 3 untuk jawaban Setuju (S), nilai 2 untuk jawaban Tidak Setuju (TS) dan nilai 1 untuk jawaban Sangat Tidak Setuju (STS). Pada item unfavorable, nilai 4 diberikan bila subjek memilih jawaban Sangat Tidak Setuju (STS), nilai 3 untuk jawaban Tidak Setuju (TS), nilai 2 untuk jawaban Setuju (S), dan nilai 1 untuk memilih jawaban Sangat Setuju (SS).

Adapun blue print disajikan dalam bentuk tabel yang memuat uraian komponen-komponen atribut. Dalam penulisan item blueprint akan dipaparkan gambaran mengenai isi skala dan menjadi acuan serta pedoman bagi penulis untuk tetap berada dalam lingkup yang benar (Azwar, 1999).


(51)

  Tabel 1

Distribusi Item-Item Skala Coping Stress Sebelum Uji Coba

No Aspek-aspek Coping

Stress Indikator

Nomor item

Jumlah Favorable Unfavorable

1 Reactivity to stress

Pikiran kacau, tidak dapat mengendalikan emosi, berpikiran positif

43,50,64 1,8,15,22,29

,36,57 10

2 Ability to assess situation Menyalahkan pasangan, memiliki pertimbangan terhadap situasi, berkompromi dengan pasangan 9,16,37,44,

51,65 2,23,30,58 10

3 Self-reliance

Berbagi masalah dengan orang lain, membuka diri, menerima kekurangan diri

3,10,17,24, 31,38,45,

69

59,66,70 11 4 Resourcefulness Banyak akal, membangun

strategi dan memakainya

4,11,18,25,

32,39,46 53,60 9

5 Adaptability and flexibility

Mampu atau tidak mampu berhadapan dengan situasi baru atau tuntutan yang baru

5,26,40 12,19,33,47,

54,61,67 10

6 Proactive attitude

Berani menanggung resiko, bekerja sama dengan orang lain untuk menyelesaikan masalah,

mandiri dalam menghadapi masalah

6,13,20,34,

48,55,62,68 27,41 10

7 Ablility to relax Rekreasi, tertawa, bersenang-senang

7,14,21,28,3 5,42,49,

52,56

63 10

Jumlah 43 27 70

III.E. Uji Coba Alat Ukur

Validitas dan reliabilitas skala coping stress akan diuji sebelum digunakan untuk mengambil data penelitian. Penjelasan mengenai validitas dan reliabilitas ini adalah sebagai berikut :


(52)

III.E.1. Validitas

Skala coping stress diuji validitas isinya melalui analisis rasional terhadap isi alat ukur. Menurut Azwar (1999) validitas isi (content validity) bertujuan untuk mengungkap sejauhmana item-item dalam alat ukur tersebut mencakup keseluruhan kawasan isi yang akan diukur. Pengujian dilakukan dengan komputerisasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada setiap item dengan skor total item itu sendiri yaitu menggunakan Pearson Product Moment. Teknik statistik akan mempergunakan software SPSS versi 12.0 for windows.

III.E.2. Reliabilitas

Teknik analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu koefisien alpha dari Cronbach. Penghitungan menggunakan software SPSS versi 12.0 for windows. III.E.3. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Uji coba skala coping stress dilakukan pada pria dan wanita yang usia pernikahannya dibawah atau sama dengan 3 (tiga) tahun dengan jumlah sampel 55 orang. Setelah dilakukan uji coba, skala coping stress yang memiliki daya beda cukup tinggi adalah 22 item. Item-item skala ini memiliki nilai daya beda item bergerak dari 0.286 sampai 0.748 dengan reliabilitas skala adalah 0.901. Berikut ini adalah blueprint skala coping stress setelah uji coba.


(53)

  Tabel 2

Distribusi Item-Item Coping Stress Setelah Uji Coba

No. Aspek-aspek Item

Favorable Item Unfavorable Jumlah 1 Reactivity to stress - 1(15), 8(22), 13(29),

18(36) 4

2 Ability to assess

situation - 22(23) 1

3 Self-reliance 3(10), 9(24),

16(38), 20(45) 10(59), 14(66) 6

4 Resourcefulness - 4(53) 1

5 Adaptability and flexibility

5(26) 11(12), 15(19), 17 (33), 19(47), 12(54),

21(61), 2(67)

8

6 Proactive attitude - 6(27) 1

7 Ability to relax 7(52) - 1

Jumlah 6 16 22

Keterangan: ( ) = nomor item pada saat uji coba

III.E.4. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Adapun prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari : 1. Tahap persiapan

Hal-hal yang perlu dipersiapkan sebelum melakukan penelitian adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyusunan alat ukur dan masalah administrasi penelitian yang menyangkut urusan perijinan melaksanakan penelitian.


(54)

a. Penyusunan alat ukur

Skala coping stress disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Jerabek (1998). Jerabek (1998) menyatakan bahwa aspek-aspek dari coping stress adalah : reactivity to stress, ability to assess situation, self-reliance, resourcefulness, adaptability and flexibility, proactive attitude, dan ability to relax. Skala coping stress dibuat sebanyak 70 item.

b. Mencari informasi tentang sampel

Sebelum skala dibagikan maka perlu mencari informasi tentang pasangan yang baru menikah di Medan. Informasi yang ingin diperoleh yaitu tentang pasangan baru yang usia pernikahannya tidak lebih dari 3 (tiga) tahun.

2. Tahap uji coba alat ukur

Uji coba alat ukur dilakukan kepada subjek yang memenuhi karakteristik sampel dalam penelitian ini. Hasil uji coba kemudian dianalisa dengan analisa daya beda item untuk menentukan item-item yang layak digunakan sebagai alat ukur dan juga reliabilitas alat ukur yang ditentukan melalui koefisien alpha Cronbach dengan menggunakan software SPSS versi 12.0 for windows.

3. Tahap Pelaksanaan

Setelah alat ukur diujicobakan, maka penelitian kepada pasangan baru (pria dan wanita) yang telah ditentukan sebagai sampel penelitian.

4. Tahap Pengolahan Data

Skala yang memenuhi kriteria untuk dianalisis, diolah dengan menggunakan software SPSS versi 12.0 for windows.


(55)

  III.E.5. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah alat ukur diujicobakan, maka penelitian dilaksanakan kepada pasangan baru (pria dan wanita) yang memenuhi karakteristik sampel yang telah ditentukan sebelumnya. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 11-15 Desember 2007.

III.E.6. Tahap Pengolahan Data

Skala yang memenuhi kriteria untuk dianalisis, diolah dengan software SPSS versi 12.0 for windows.

III.F. Metode Analisis Data

Sesuai dengan hipotesis yang diajukan dan berdasarkan identifikasi variabel penelitian, jenis data dan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui perbedaan coping stress pada pria dan wanita (pasangan baru) dalam menghadapi pernikahan, maka peneliti menggunakan analisis statistik uji asumsi t dengan bantuan software SPSS versi 12.0 for windows.

Sebelum dilakukan analisis t-test, terlebih dahulu diajukan uji asumsi penelitian yaitu asumsi terhadap variabel-variabel penelitian yang meliputi :

1. Uji Normalitas

Adapun maksud dari uji normalitas ini adalah untuk mengtahui apakah distribusi pada penelitian variabel tergantung (coping stress) telah menyebar secara normal. Uji normalitas sebaran dianalisis dengan menggunakan One Sample Kolmogorov Smirnov Test. Berdasarkan analisa tersebut, maka diketahui bahwa variabel coping


(56)

stress mengikuti sebaran normal. 2. Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah sampel penelitian berasal dari populasi yang homogen atau tidak. Pengukuran homogenitas dilakukan dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA).

Uji asumsi dan uji hipotesa dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 12.0 for windows.


(57)

 

BAB IV

ANALISA DAN INTERPRETASI DATA

Bab ini menguraikan analisa hasil wawancara dengan para subjek penelitian. Pada

bab ini, akan dikemukakan deskripsi data subjek, data observasi, data wawancara, dan

interpretasi hasil wawancara. Dengan demikian akan diperoleh dinamika psikologis subjek

penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian. Berikut ini tabel yang memuat data para

subjek penelitian secara lebih singkat.

Tabel IV.A

Latar Belakang Subjek

Subjek Usia Lama berpacaran

Jumlah pengalaman berpacaran

Mira 21 tahun 1 tahun 1 bulan 3 kali

Lina 21 tahun 1 bulan setengah 3 kali

Lola 20 tahun 2 tahun 8 bulan 4 kali

Dari tabel di atas dapat diketahui latar belakang singkat dari masing-masing subjek

penelitian. Sebagian besar subjek berada pada tingkat usia yang sama. Ketiga subjek


(58)

IV.A. Subjek I

IV.A.1 Deskripsi Data Subjek I

Tabel 1.B

Gambaran umum Subjek I

Dimensi Mira

Usia 21 tahun

Pendidikan Mahasiswa

Lamanya berpacaran 1 tahun 1 bulan

Mira adalah seorang perempuan yang berumur 21 tahun. Mira telah berpacaran

selama 1 tahun 1 bulan. Tika adalah seorang perempuan yang sehari-harinya kegiatannya

diisi dengan kuliah. Dirumah Tika hanya tinggal dengan Ibu dan ayahnya saja karena

abangnya yang telah menikah dan menetap di Bandung.

Secara fisik Mira yang berpenampilan sehari-hari memakai jilbab dan berkacamata

minus sangat rapi. Ini terlihat pada saat dia berpakaian yang memakai jilbab putih dan

memakai baju putih dan bercardingan hitam dan rok hitam. Tinggi badannya sekitar 160 cm


(59)

 

IV.A.2 Data Observasi

Tabel IV.C

Waktu wawancara

No Tanggal Wawancara Waktu Wawancara Tempat

1 8 November 2007 16.00- 17.00 WIB Belakang kampus Mira

2 15 November 2007 15.00-16.00 WIB Belakang kampus Mira

3 20 November 2007 14.00-15.00 WIB Belakang kampus Mira

Kampus Mira berada di universitas terkemuka di kota Medan. Proses wawancara

dilakukan sebanyak tiga kali. Proses wawancara dilaksanakan di tempat yang telah disepakati

antara Mira dan peneliti. Wawancara dilaksanakan di belakang kampus Mira. Peneliti

mengenal Mira dari salah seorang teman peneliti. Tika sudah lama mengenal teman peneliti

karena mereka satu kelompok dikampus.

Pertama kali dikenalkan dengan peneliti Tika sedang lagi mengurus kuliahnya.

Tetapi Tika mempersilahkan pada peneliti untuk mewawancarai Tika dan peneliti pun

berpindah tempat ke belakang kampus Tika.

Tika menyatakan kesediaanya untuk diwawancarai setelah peneliti mengemukakan

tujuan dari penelitian. Wawancara dilakukan dibelakang kampus Tika. Peneliti mulai

mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai penelitian. Pada awal wawancara Tika


(60)

tentang perasaan Tika untuk menceritakan tentang berpacaran, Tika menjawab pertanyaannya

dengan lancar kemudian diselingi tertawa. Tika mengarahkan matanya kearah lapangan yang

ada di belakang kampus Tika.

Tika duduk bersandar pada kursi panjang kayu. Tika memakai jilbab putih dan

cardigan hitam dan rok panjang hitam. Selama proses wawancara berlangsung, Tika berusaha

menjaga kontak mata dengan peneliti.

Pada wawancara I, peristiwa yang mengganggu proses wawancara antara lain adalah

suara berisik yang berasal dari suara tukang bangunan yang sedang bekerja di belakang

kampus Tika. Peneliti dan Tika terpaksa menghentikan wawancara yang berlangsung karena

suara berisik tersebut sudah kuat terdengar.

Wawancara II dilakukan dibelakang kampus Tika juga. Tika mengenakan jilbab

hitam dengan kemeja coklat dan rok jins biru. Peneliti dan Tika duduk bersampingan di kursi

panjang hitam yang ada dibelakang kampus Tika. Tika menjawab pertanyaan yang dilakukan

peneliti dengan lancar.

Hal-hal yang menganggu wawancara 2 adalah banyaknya mahasiswa yang sedang

melintas di tempat wawancara berlangsung, sehingga terkadang wawancara terpaksa

dihentikan.

Wawancara III juga dilakukan di belakang kampus Tika. Tika mengenakan jilbab

hitam dan baju bertangan panjang berwarna putih bercardigan biru serta dipadu dengan rok

jins biru. Tika dan peneliti duduk bersampingan di kursi hitam panjang dibelakang kampus

Tika. Dalam menjawab pertanyaan, Tika mampu mempertahankan kontak mata dengan


(61)

 

IV.A.3 Data Wawancara

Coping Stress

1. Kesadaran Diri

Tika menjalani status berpacaran sejak satu tahun satu bulan. Perubahan yang dialami

Tika selama berpacaran, misalnya Tika menjadi lebih dewasa dan bawaan hati menjadi lebih

senang dan ingin cepet-cepet untuk menyelesaikan kuliah. Tika merasa hubungannya dengan

pacarnya sudah dekat. Apabila Tika mengalami permasalahan seputar kehidupannya Tika

selalu curhat dengan pacarnya atau ke teman-temannya.

Setahun lebih sebulan.(S1.W1/L36). kalau masalah pribadi kaitannya sama pacar omonginnya kalo ga ke pacar ya ke temen-temen deket. Kalo kaitannya apa, masalah pribadinya itu hal-hal umum ya ke pacar aja. (S1.W1/L40-L43).

Perubahan?? Apa ya kak??! Mungkin tika jadi lebih dewasa, bawaannya senang, trus lebih terpacu untuk cepet-cepet nelesaiin kuliah apalagi dia uda serius gitu. Kemudian tika juga jadi suka hal-hal yang dulu mungkin tika agak malas ngelakuinnya. (S1.W2/L86-L91).

Kayak mulai-mulai tertarik untuk belajar masak, beres-beres rumah lebih sering, ya gitu-gitu lah kak…(S1.W2/L94-L96).

Yaaa, serius lah kak, serius yang gimana ya, serius yang ginilah kalo misalnya tika uda tamat ya kawin kak. Kayak yang udah tika bilang kemaren temen-temen pacar tika itu uda pada berumah tangga semua, jadi ya pacar tika itu suruh tika cepet-cepet ngelarin kuliah nya tika, jangan ditunda-tunda lagi. Gitu kak.. (S1.W3/L13_L19).

Dalam pengambilan keputusan Tika dan pacarnya saling berkomunikasi satu sama

lain. Diantara mereka berdua tidak ada yang dominant. Artinya, kedua-duanya punya hak

yang sama dalam pengambilan keputusan. Contohnya pada saat mau pergi ke pesta, pacar

Tika ingin Tika berdandan dengan make-up yang sesuai untuk ke pesta. Hanya saja karena


(1)

 

Titi dalam pengambilan keputusan selalu menyerahkan segala keputusan kepada pacarnya.

karena pacarnya merasa kalau laki-laki itu adalah kepala, dan laki-lakilah yang berhak

membuat segala keputusan.

Kemampuan memotivasi diri yang dimiliki seseorang akan cenderung membuat

seseorang memiliki pandangan positif dalam menilai segala sesuatu dalam dirinya.(Goleman

2001). Tika selalu mendapatkan motivasi dari pacarnya berupa dukungan untuk cepat-cepat

menyelesaikan kuliah. Didi selalu mendapat dukungan untuk belajar dengan giat agar dapat

mengikuti UAS dengan baik. Titi selalu mendapat dukungan dari pacarnya agar cepat-cepat

menyelesaikan kuliah dan segera melangsungkan pernikahan.

Menurut Goleman (2001), empati atau mengenal emosi orang lain dibangun pada

kesadaran diri. Seseorang yang memiliki keterbukaan pada emosi sendiri, maka dapat

dipastikan bahwa orang tersebut akan terampil membaca perasaan orang lain. Tika mampu

mengenali emosi pacarnya jika ada masalah. Tika selalu memberikan ruang gerak untuk

pacarnya untuk menenangkan diri. Didi mampu mengenali emosi pacarnya dari tingkah laku

pacarnya. Sedangkan Titi dapat memahami kondisi pacarnya yang selalu boros.

Ketrampilan sosial merupakan seni dalam membina hubungan dengan orang lain

yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan (Goleman, 2001). Tika memiliki komunikasi

yang baik dengan pacarnya dan juga keluarga besar pacarnya. Komunikasi Didi dan pacarnya

terjalin dengan baik karena mereka selalu bertukar kabar. Sedangkan hubungan Titi dan

pacarnya terjalin dengan baik karena pacarnya selalu menelfon Titi apabila pacar Titi telah

pulang dari kantor.


(2)

V.B. DISKUSI

Temuan baru yang terlihat dalam penelitian ini adalah adanya perbedaan antara Tika,

Didi dan Titi dalam pengambilan keputusan. Menurut Tika dalam pengambilan keputusan

antara Tika dan pacar Tika tidak ada yang dominan. Kedua belah pihak memiliki hak untuk

dapat mengambil keputusan. Didi juga mengatakan dalam pengambilan keputusan harus

mendiskusikan dulu dengan pacarnya. Apabila sulit untuk menyelesaikan masalahnya, Didi

lah yang berinisiatif untuk mengambil keputusan. Hal ini berbeda dengan Titi, dalam

pengambilan keputusan antara pacar Titi dan Titi, semuanya di putuskan oleh pacar Titi.

Pacar Titi selalu menganggap lelaki adalah kepala. Menurut Witri (2003), kemampuan

bernegosiasi untuk menyelesaikan konflik sama pacar bermanfaat untuk melanggengkan

hubungan. Kemudian melalui pacaran remaja dapat menolerir perbedaan.

Saat menghadapi permasalahan juga ditemukan perbedaan pada Tika, Didi dan Titi.

Menurut Tika dalam menghadapi permasalahan Tika berusaha untuk menyelesaikan

masalahnya sesegera mungkin. Sementara Didi dalam mengambil keputusan berusaha untuk

menenangkan diri terlebih dahulu lalu membicarakan dengan pacarnya. Cara penyelesaian

masalah Tika dengan pacarnya juga berbeda, Tika ketika menghadapi masalah dengan pacar

Tika akan berusaha menyelesaikan masalahnya langsung pada saat masalah itu muncul dan

berusaha menyelidiki masalah tersebut sampai selesai. Tika berpacaran dengan pacar Tika

sudah setahun lebih sebulan. Tika mengatakan apabila sedang mengalami masalah biasanya

selalu menceritakan segala sesuatu dengan pacarnya. Didi yang sudah berpacaran dengan

pacarnya satu bulan setengah juga apabila sedang menghadapi masalah dengan pacarnya

selalu cerita ke pacarnya. Hubungan Titi dengan pacar Titi yang sudah terbina dua tahun 8

bulan juga cenderung mencari tahu penyebab masalah tersebut dan mencari seseorang yang

menjadi penyebab permasalahan tersebut. Penyelesaian masalah yang disarankan dalam


(3)

 

kecerdasan emosional adalah penyelesaian masalah dengan menggunakan kemampuan untuk

mengontrol emosinya. Kemampuan untuk mengontrol emosi tidak terlepas dari kecerdasan

emosional seseorang untuk menghadapi dan mengatasi masalah.

Menurut Hidayati & Masyum (2005) kecerdasan emosional penting dan perlu untuk

pacaran. Individu yang berkembang kecerdasan emosionalnya dengan baik dan termpil dalam

mengelola emosinya, seperti mampu mengidentifikasikan serta mendefenisikan perasaan

yang muncul, mampu mengungkapkan perasaan, mampu menilai intensitas (kadar perasaan),

mampu mengelola perasaan, mampu mengendalikan diri sendiri, mampu mengurangi stress,

mampu mengetahui antara perasaan dan tindakan dan terampil dalam berperilaku.

V.C. SARAN

V.C.1. Saran Praktis

1.

Bagi remaja yang berpacaran dapat meningkatkan emosionalnya dalam menghadapi

pasangannya agar tercipta hubungan yang sehat selain itu remaja juga diberikan

pendidikan seks bagi remaja.

2.

Bagi pihak keluarga dan masyarakat dapat memberikan dukungan positif berupa

nasehat-nasehat yang membangun bagi remaja yang berpacaran.

V.C.2. Saran penelitian lanjutan.

1.

Agar dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai gambaran kecerdasan

emosional pada remaja yang berpacaran

2.

Dalam melakukan penelitian terhadap remaja yang berpacaran sangat diperlukan

rapport yang lebih baik.


(4)

3.

Agar memperoleh pemahaman yang lebih dalam mengenai kecerdasan emosional

sebaiknya menggali informasi yang berhubungan dengan budaya subjek penelitian.

4.

Penelitian selanjutnya disarankan agar menambah dimensi berupa suku/ budaya dan


(5)

 

DAFTAR PUSTAKA

Adhim, M.F. (2002), Mencapai pernikahan barokah,Cetak XIII. Yogyakarta : Penerbit Mitra

Pustaka

Adrianus, Guntoro, Judith,D, & Zarfiel. (2001). Kebutuhan akan informasi dan pelayanan

kesehatan reproduksi remaja [on-line].

http://www.pkbi.or.id/images/pdf/7055476anakesproremaja

Baron & Byrne. (1997). Social Psychology. USA : Allyn and Bacon, a division of Simon &

Schuster, Inc.

Brehm, S, Sharon. (1992). Intimate Relationship (2

nd

ed.). New York : McGraw Hill, Inc.

Cooper,R., & Sawaf,A., (2002). Executive EQ : Kecerdasan emosional untuk kepemimpinan

dan organisasi. (Edisi I, Cetakan I). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum

Dacey & Kenny (1997). Adolescent Development (2

nd

ed). USA : Brown & Benchmark

Publishers.

Dameria. 2005. Pentingnya Pendidikan Kecerdasan Emosional. [on-line]

www.gemozaik.com

.

Duvall, E M & Miller, B.C. (1985). Marriage and Family Development (6

th

ed.). NY :

Harpen & Row, Publisher. Inc.

Geer, J, Heiman, J, & Leitenberg, H. (1984). Human Sexuality. New Jersey : Prentince Hall,

Inc.

Hidayati, Rokhmah & Mashum, Yahya. (2002).Kecerdasan Emosional dalam

Pacaran, Perlukah?. Yogyakarta.

[on-line)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0211/15/dikbud/kece35.htm

Hurlock, Elisabeth, B., (1999). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang KEhidupan (Edisi V). Jakarta : Erlangga

Imran, Irawati, Dra, Psi. (2000). Modul 2 : Perkembangan Seksualitas Remaja. Jakarta :

PKBI

Irmawati, Nauly, M, Garlia. L , dkk. (2002). Pedoman Penulisan Skripsi. Medan: USU.

Goleman (2001). Working With Emotional Intelligence. Alih bahasa : Alex Tri Kantjono.


(6)

Goleman, D., (2003). Emotional Intelligence : Kecerdasan emosional – Mengapa emotional

intelligence lebih penting daripada IQ (Cetakan IV). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka

Umum.

Minauli, I , (2002). Metode Observasi. Medan: USU Press.

Monks, F.J. & Knoer .(1999). Psikologi Perkembangan : Pengantar dalam Berbagai

Bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Patton. 2002. Kecerdasan Emosional Pengembangan Sukses Lebih Bermakna. Penerbit Mitra

Media.

Poerwandari, K. (2001). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Edisi kedua.

Jakarta: Lembaga Pengembangan Saran Pengukuran dan Pendidikan Psikologi

(LPSP3) UI.