tersebar ke seluruh belahan dunia perempuan kembali mendapatkan haknya atas warisan yaitu separuh dari laki-laki.
36
Selain hak-hak yang bersifat umum di atas, terdapat pula hak-hak yang bersifat khusus bagi perempuan, yaitu:
37
1. Hak-hak finansial hak dalam bidang keuangan, meliputi:
a. Bagian pernikahan
b. Tunjangan nafaqoh
2. Hak-hak spiritual hak membentuk diri, meliputi:
a. Perilaku yang baik
b. Hak untuk kesejahteraan dan pelayanan
c. Hak untuk hidup bersama
38
D. Tujuan Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dalam Islam
Secara global, tujuan syari’ dalam mensyari’atkan hukum ialah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia seluruhnya, baik di dunia yang fana
ini maupun di akhirat yang baqa’ kelak, dengan cara mendatangkan kemanfaatan bagi mereka dan menghindarkan kemafsadatan bagi
mereka. Firman Allah dalam surat al-Anbiyaa ayat 107:
☺
Artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk
menjadi rahmat bagi semesta alam.”
36
Ibid, h. 76.
37
Ibid, h. 80-82.
38
. Ibid, h. 83-88.
Tujuan hukum dalam Islam maqashid as-syari’ah itu ada lima, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara kehormatan dan keturunan,
memelihara akal, dan memelihara harta. Dalam mewujudkan dan memelihara tujuan-tujuan tersebut, ulama ushul fiqh membaginya dalam beberapa
tingkatan sesuai dengan kualitas kebutuhannya.
39
Ketiga bagian tersebut adalah:
1. Kebutuhan Ad-Dharuriyah, yaitu kemaslahatan mendasar dalam
mewujudkan dan memelihara eksistensi kelima pokok di atas. 2.
Kebutuhan Al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan dalam rangka perwujudan dan perlindungan yang diperlukan dalam melestarikan lima pokok tersebut di
atas. 3.
Kebutuhan At-Tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang dimaksudkan untuk mewujudkan dan memelihara hal-hal yang menunjang peningkatan
kualitas kelima pokok kebutuhan mendasar manusia di atas dan menyangkut hal-hal yang terkait dengan makarim al-akhlak.
Adapun hubungan antara perlindungan terhadap perempuan dalam hukum Islam dengan tujuan tersebut di atas termasuk ke dalam tingkat
dharuriyah, karena apabila tujuan tersebut terwujud dan terpelihara maka akan tercipta kemaslahatan di dunia maupun di akhirat.
Diantara tujuan disyari’atkannya hukum dalam Islam Maqashid asy- Syari’ah
adalah memelihara kehormatan dan harga diri manusia hifzh al- ‘Irdh
, memelihara kesucian keturunan dan hak reproduksi hifzh al-Nasl, dan perlindungan terhadap jiwa Hifzh al-Nafs. Haramnya zina dan semua
39
Ismail Muhammad Suah, Tujuan dan Ciri Hukum Islam Dalam Filsafat Hukum Islam, ed. Cet. II, Jakarta: Bumi Aksara dan Depag RI, 1992, h. 65.
perilaku yang dalam terminologi modern disebut dengan istilah pelecehan seksual, tidak terlepas dari tujuan-tujuan tersebut.
40
Berbagai tindak kekerasan yang selama ini terjadi dan menimpa kaum perempuan merupakan suatu tindak kejahatan yang harus dihapuskan. Karena,
kekerasan tersebut pada umumnya banyak yang melanggar hak-hak asasi seorang perempuan, seperti tindak pidana perdagangan orang dimana kaum
perempuan banyak yang menjadi korbannya. Dalam tindak kejahatan ini selain perempuan diperdagangkan layaknya
barang, mereka juga sering mendapatkan paksaan untuk melakukan perbuatan- perbuatan yang melawan hukum. Seperti eksploitasi seksual dimana korban
dipaksa untuk bekerja sebagai pekerja seks. Dalam hal ini mereka tidak dapat menolak, karena jika mereka menolaknya maka mereka akan mendapatkan
berbagai macam hukuman, baik berupa pemukulan maupun denda yang harus dibayarkan korban pada para pelaku.
41
Secara prinsip, Islam adalah agama yang mengharamkan segala bentuk tindakan menyakiti, mencederai, melukai kepada diri sendiri atau bahkan
kepada orang lain, baik secara verbal maupun tindakan nyata terhadap salah satu anggota tubuh. Kekerasan sebagai suatu tindakan yang menyakiti,
mencederai dan membuat orang lain berada dalam kesulitan, hukumnya adalah haram. Pengharaman ini disebabkan adanya bentuk kezaliman yang
dilakukan oleh pelaku pada korban. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi SAW pernah berkata, “Jadilah hamba-hamba Allah
40
Abdul Moqsith Ghozali, dkk., Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan: Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda,
Jakarta: Rahima, 2002, h. 120.
41
Jurnal Perempuan, Hukum Kita Sudahkah Melindungi?, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2006, h. 53.
yang bersaudara satu dengan yang lain, karena seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lain, tidak diperkenankan menzalimi, menipu, atau
melecehkannya.”
42
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin, melarang kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun. Karena hal ini bertentangan
dengan prinsip kerahmatan yang dimilikinya. Untuk mereduksi kejahatan kekerasan ini, Islam menawarkan konsep keadilan relasi antara laki-laki dan
perempuan. Oleh karena itu, maka hukum memperdagangkan perempuan layaknya barang, untuk dijadikan objek eksploitasi seksual adalah haram.
Firman Allah dalam surat an-Nuur [24] ayat 33:
☺ ☺
☺
42
Swara Rahima, Islam Menolak Kekerasan Terhadap Perempuan, h. 31-32.
⌦ ⌧
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga
kesucian dirinya sehingga Allah SWT memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang
menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka dan
berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-
budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran sedangkan mereka menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari
keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang kepada mereka sesudah mereka dipaksa.”
QS. an- Nuur [24]: 33.
Jabir bin Abdillah dan Ibnu Abbas mengatakan bahwa diturunkannya surat an-Nuur ayat 33 tersebut adalah untuk merespon kasus Abdullah bin
Ubay. Menurut kisahnya, Ubay memiliki beberapa orang budak perempuan, yaitu Musaikah, Mu’adzah, Umaymah, Umrah, Arwa, dan Qutaylah. Sebagai
seorang majikantuan, Abdullah bin Ubay sering memaksa budak-budak perempuanya tersebut untuk melacur demi keuntungan finansial semata.
Mereka juga sering mendapatkan pukulan jika menolak perintah majikannya tersebut. Diriwayatkan pula bahwa pemaksaan untuk melacur itu sengaja
dilakukan oleh majikan untuk mendapatkan keturunan anak. Hal ini kemudian diadukan oleh Musaikah dan Mu’adzah ada juga yang
menyebutnya Umaymah kepada Rasulullah SAW. Sebagai suatu bentuk
pelarangan terhadap peristiwa tersebut, maka turunlah surat an-Nuur ayat 33 ini.
43
Konklusi atau kesimpulan yang dapat diambil dari surat an-Nuur ayat 33 tersebut adalah bahwa al-Qur’an dengan tegas mengharamkan seseorang
untuk melakukan tindakan penipuan, pemaksaan, dan eksploitasi terhadap perempuan, bahkan terhadap orang yang ada dalam kekuasaannya, seperti
anak dan budak. Ayat ini pun menegaskan bahwa melacurkan seseorang, tak terkecuali budak dan anaknya sendiri, adalah bagian dari suatu tindakan
kriminal sehingga pelakunya harus dihukum.
44
Dengan demikian, kita sebagai umat Nabi Muhammad hendaknya mengikuti teladan beliau yang tidak pernah melakukan kekerasan terhadap
siapapun, termasuk perempuan. Karenanya, orang yang melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan dengan cara memperdagangkannya untuk
tujuan komersial dan meraih keuntungan pribadi tersebut dianggap sebagai orang yang tidak bermoral dan tidak berprikemanusiaan.
43
Faqihuddin Abdul Kodir, dkk., Fiqh Anti Trafiking, h. 66-69.
44
Ibid, h. 69.
BAB III BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP PEREMPUAN KORBAN PERDAGANGAN TRAFIKING DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007
A. Gambaran Umum Tentang Perdagangan Orang Trafiking 1.
Pengertian perdagangan orang trafiking, korban, macam-macam perdagangan orang trafiking, dan hak-hak korban
Perdagangan orang trafficking in person yang dilakukan untuk berbagai tujuan, di Indonesia telah berlangsung sejak dahulu kala, dan sampai saat ini
perdagangan orang yang dianggap sebagai suatu bentuk perbudakan modern itu masih tetap berlangsung bahkan semakin meningkat. Landasan bagi
perkembangan industri seks ini sudah terbentuk sejak zaman raja-raja Jawa dahulu yaitu dengan meletakkan perempuan sebagai barang dagangan untuk
memenuhi nafsu laki-laki dan untuk menunjukkan adanya kekuasaan dan kemakmuran. Pada masa penjajahan Belanda, bentuk industri ini menjadi
lebih terorganisir dan berkembang pesat yaitu untuk memenuhi kebutuhan pemuasan seks masyarakat Eropa, seperti pedagang dan para utusan yang pada
umumnya adalah bujangan. Pada masa pendudukan Jepang 1941-1945, komersialisasi seks terus berkembang. Selain memaksa perempuan pribumi
dan perempuan Belanda menjadi pelacur, Jepang juga membawa banyak perempuan Jawa dari Singapura, Malaysia, dan Hong Kong untuk melayani
para perwira tinggi Jepang.
45
45
Sutedjo Yuwono, Penghapusan Perdagangan Orang Trafficking in Person di Indonesia,
Jakarta: Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2003, h. 1.