Liat Amorphus Kajian Pola Distribusi Mineral Liat pada Tiga Jenis Tanah Berdasarkan Tingkat Perkembangan Tanah di Lahan Kampus Pertanian USU Baru Kwala Bekala

Tabel 1. Kapasitas Tukar Kation dari Beberapa Mineral liat Utama No. Mineral Liat Kapasitas Tukar Kation me100g 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

9. Liat Amorphus

Vermikulit Montmorillonit Halloysit 4H 2 O Illit Klorit Kaolinit Halloysit 2H 2 O Sesquioksida 160 pada pH 6.2 100-150 60-100 40-50 20-40 10-40 2-16 5-10 Sumber : Mukhlis 2004 Tanah muda biasanya mempunyai KTK rendah sesuai dengan tekstur bahan induk. KTK mula-mula akan meningkat dengan meningkatnya pelapukan, tetapi KTK akan menjadi rendah pada tanah dengan tingkat pelapukan lanjut. Hal ini akibat melapuknya mineral liat mudah lapuk mineral liat 2:1, alofan dan terbentuk mineral liat yang rendah KTK nya kaolinit, oksida-oksida. Batas antara KTK rendah dan tinggi adalah 16 me100g liat Hardjowigeno, 1993. Nilai KTK dapat menunjukkan beberapa hal dalam tanah yaitu sebagai petunjuk jenis-jenis mineral liat yang ditemukan dalam tanah, dan petunjuk tingkat pelapukan tanah Hardjowigeno, 1993. Dari berbagai pengamatan ciri tekstur tanah, ternyata KTK berbanding lurus dengan jumlah butir liat. Semakin tinggi jumlah liat suatu jenis tanah yang sama, maka KTK juga betambah besar. Makin halus tekstur tanah makin besar pula jumlah koloid liat dan koloid organiknya, sehingga KTK juga semakin besar. Sebaliknya tekstur kasar seperti pasir atau debu, jumlah koloid liat relatif kecil demikian pula koloid organiknya, sehingga KTK juga relatif lebih kecil daripada tanah bertekstur halus Hakim dkk, 1986. Universitas Sumatera Utara Differential Thermal Analysis DTA Differential Thermal Analysis DTA merupakan teknik yang digunakan secara luas dan sangat bermanfaat terutama dalam mengidentifikasikan bahan amorf. DTA digunakan untuk mengukur perbedaan suhu C antara bahan sampel dan bahan pembanding atau standar yang panasnya stabil, dengan menggunakan laju pemanasan yang dikendalikan dari suhu kamar sampai dengan 1000 C. Bahan pembanding standar yang digunakan kaolinit yang telah dikalsinkan, dipanaskan pada suhu 1000 C, Al 2 O 3 yang telah dikalsinkan, serta dapat juga digunakan α-Alumina. Untuk sampel tanah terlebih dahulu digunakan H 2 O 2 30 untuk menghilangkan bahan organik yang merekat pada tanah. Perlakuan terhadap sampel tanah yaitu berupa: 1 penjenuhan HCl 5 N, 2 penjenuhan NaOH 5 N, 3 penjenuhan 0,1 N NaCl 2 , 4 penjenuhan CaCl 2 , serta penjenuhan AlCl 3 . Perlakuan tersebut dapat mempengaruhi kurva yang dihasilkan oleh DTA, dimana kurva tersebut dapat menjadi penciri dalam identifikasi mineral. Pemanasan harus terkendalikan dan seragam yaitu berkisar 0,1 C hingga 1000 Cmenit Goenadi dan Rajagukguk, 1992 dalam Warman, 1994. Differential Thermal Analysis prinsip kerjanya berdasarkan kenyataan bahwa koordinasi air hablur lempung dan air hidrasi ion dapat tukar merupakan suatu reaksi endotermik menyerap panas. Hal ini menyebabkan temperatur contoh lempung turun sampai dibawah atas temperatur suatu bahan lembam kendali yang diperlakukan serupa, seperti alumunium kalsin. Bahan ini mempunyai panas jenis dan konduktivitas panas setara lempung. Contoh lempung yang disidik dan bahan lembam itu dipanasi bersamaan dengan takaran energi panas yang sama. Adanya perbedaan panas antara lempung dan bahan lembam itu Universitas Sumatera Utara dicatat dan diplot melawan temperatur. Ini akan menghasilkan kurva khas untuk setiap tipe lempung. Metode ini sangat teliti untuk mengenali mineral sekunder Poerwowidodo, 1991. Identifikasi kuantitatif mineral dapat dilakukan dengan menggunakan kurva DTA sebagai sidik jari dan membandingkannya atau mencocokkannya dengan kurva DTA dari mineral standar, atau dengan kurva dari mineral yang telah diketahui. Tiap mineral liat menampakkan ciri-ciri reaksi termal yang spesifik. Kurva DTA kaolinit dicirikan puncak kurva endotermik kuat pada 450- 600 C dan boleh suatu kurva eksotermik kuat pada 900-1000 C. Kurva Haloisit hampir sama dengan kaolinit, tetapi sebagai tambahan terdapat puncak kurva endotermik pada temperatur tendah 100-200 C dengan intensitas sedang hingga kuat. Montmorillonit menampakkan suatu kurva DTA yang dicirikan oleh suatu puncak endotermik antara 600-700 C, dan suatu cekungan kecil antara 800-900 C yang diikuti oleh puncak kurva endotermik lemah antara 900 -1000 C. Gibsit dan geotit biasanya dicirikan oleh suatu puncak kurva endotermik kuat hanya antara 290 C dan 350 C. Sering kali geotit dan beberapa mineral besi mempunyai reaksi endotermik pada temperatur yang lebih tinggi dari pada gibsit. Alofan menampakkan ciri-ciri DTA dengan puncak endotermik kuat pada temperatur rendah 50 -150 C dan suatu puncak kurva eksotermik kuat pada 900 -1000 C. Reaksi endotermal temperatur rendah dianggap diakibatkan oleh hilangnnya air yang terjerap, sedangkan reaksi eksotermik utama disebabkan oleh pembentukan alumina γ. Puncak kurva endotermik dan eksotermik yang khas dari beberapa mineral-mineral lempung disajikan pada gambar 1 Tan, 1991. Universitas Sumatera Utara Gambar 1. Kurva-Kurva Penciri Diferensial Termal Analisis DTA Beberapa Mineral Liat Pola Distribusi Mineral liat Tiap sifat tanah mempunyai pola agihan mineral acak sendiri-sendiri, terbawa dari sejarah pemunculan yang berbeda-beda, sekalipun dalam satu individu tubuh tanah yang sama. Maka tidak mudah menamakan morfologi tanah. Penamaan biasanya menggunakan gabungan pola agihan acak beberapa sifat tanah Universitas Sumatera Utara terpilih yang dinilai terpenting sebagai ciri diagnostik. Dengan penggabungan tersebut dapat digarisbatasi horizon-horizon induk. Dari ribuan pola acak dapat disimpulkan menjadi enam pola pokok, yaitu : a b c d e f Gambar 2. Bentuk Pola Distribusi Mineral Liat a. berkurang b. meningkat c. dengan makimum d. dengan minimum e. tidak tentu f. tetap Notohadiprawiro, 1998. Tingkat Perkembangan Tanah Perkembangan tanah adalah proses pembentukan tanah lanjut setelah terbentuknya horizon C. Banyak cara untuk menentukan perkembangan tanah salah satunya berdasarkan mineral liat yaitu dengan menentukan jenis dan jumlah mineral liat penyusun tanah. Tingkat perkembangan tanah ditentukan berdasarkan susunan mineral liat yaitu tanah dengan mineral gypsit kaolonit montmorillonit alofan Marpaung, 2005. Perkembangan tanah dapat dicirikan oleh distribusi dan komposisi mineral di dalam tanah. Tanah yang mengalami perkembangan tanah lebih lanjut jika kandungan mineral primer yang mudah lapuk lebih sedikit dibanding dengan mineral sukar lapuk. Sedangkan kandungan liat dalam tanah cenderung meningkat dengan tingkat pelapukan yang lebih lanjut Hardjowigeno, 1993. Universitas Sumatera Utara Karena proses pembentukan tanah yang terus menerus berjalan maka, maka bahan induk tanah berubah berturut-turut menjadi tanah muda, tanah dewasa, tanah tua. Ciri dari masing-masing tingkatan perkembangan tanah adalah sebagai berikut : 1. Tanah muda perkembangan awal. Terjadi proses pembentukan tanah terutama proses pelapukan bahan organik dan bahan mineral di permukaan tanah dan pembentukan struktur tanah karena pengaruh dari bahan organik tersebut sebagai perekat. Hasilnya adalah pembentukan horizon A dan C. 2. Tanah dewasa perkembangan sedang. Dengan proses lebih lanjut terbentuk horizon B akibat penimbunan liat iluviasi dari lapisan atas ke lapisan bawah atau perubahan warna yang menjadi lebih merah dari pada horizon C dibawahnya. Pada tingkat ini tanah mempunyai kemampuan berproduksi tinggi karena unsur hara dalam tanah cukup tersedia sebagai hasil pelapukan mineral, sedangkan pencucian unsur hara belum lanjut. 3. Tanah tua perkembangan lanjut. Dengan meningkatnya unsur hara, maka proses pembentukan profil tanah berjalan lebih lanjut sehingga terjadi perubahan yang lebih nyata pada horizon A dan B, tanah menjadi sangat masam, sangat mudah lapuk, dan kandungan bahan organik lebih rendah dari tanah dewasa. Akumulasi liat atau sesquioksida di horizon B lebih nyata sehingga membentuk horizon argilik Bt. Apabila tidak terjadi penimbunan liat maka horizon E tidak terbentuk, sedangkan di horizon B tidak terbentuk sesquioksida. Tetapi proses pelapukan akan terus berjalan dan terbentuklah banyak oksida-oksida besi dan alumunium Hardjowigeno, 1993. Universitas Sumatera Utara Penilaian tingkat perkembangan tanah ditentukan berdasarkan sifat morfologis tanah dan genesa tanah, dimana secara morfologi ditentukan berdasarkan kelengkapan horizon-horizon genetis dan kedalaman solum, sedangkan secara genetis tanah ditetapkan berdasarkan tingkat pelapukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif sebagai hasil evaluasi analisa fisika, kimia dan mineralogi tanah Hakim dkk, 1986. Tingkat perkembangan tanah dapat juga diketahui dengan menentukan bulk densitynya. Makin tinggi tinggi bulk density makin berkembang tingkat perkembangan tanah. Jika bulk density turun dari 2.65 menjadi kurang dari 2 maka pelapukan batuan akan meningkat karena terbentuknya pori-pori tanah Hardjowigeno, 1993. Jenis-Jenis Tanah Berdasarkan Tingkat Perkembangan Tanah Entisol Entisol merupakan tanah yang baru berkembang. Walaupun demikian tanah ini tidak hanya berupa bahan asal atau bahan induk tanah saja tetapi harus sudah terjadi proses pembetukan tanah Hardjowigeno, 1993. Entisol adalah tanah yang cenderung untuk berasal baru. Tanah ini ditandai dengan kemudaannya dan tidak ada horizon genesis alami atau hanya mempunyai permulaan horizon. Konsep pusat Entisol adalah tanah di dalam regolit yang dalam atau bumi tanpa horizon kecuali barangkali suatu lapis bajak. Akan tetapi beberapa Entisol mempunyai horizon plagen, Agrik, A 2 , dan beberapa batu keras yang dekat dengan permukaan Foth, 1994. Seperti aluvial dari daerah-daerah aluvium masih memperlihatkan penampang asli belum berubah. Keadaan tekstur tanah tergantung pada proses Universitas Sumatera Utara transportasi dan akumulasinya. Dekat-jauhnya bahan itu diangkut dari sumber dan faktor waktu. Pada umumnya besar tekstur tanah yang demikian memperlihatkan tekstur kasar jika berdekatan dengan sungai, dan bertekstur halus jika berjauhan dari sungai atau di luar jalur dataran banjir. Sedangkan penyebaran golongan Entisol tergantung pada keadaan fisiografik yang sangat berbeda-beda iklim, morfologi, dan geologi Rafi’i, 1990. Nilai reaksi tanah sangat beragam mulai dari pH 2.5 sampai 8.5, kadar bahan organik tergolong rendah dan biasanya kurang dari 1, kejenuhan basa sedang hingga tinggi dengan KTK sangat beragam, karena sangat bergantung pada jenis mineral liat yang mendominasinya, kadar hara tergantung bahan induk, permeabilitas lambat, dan peka erosi Munir, 1996. Tingkat perkembangan yang sangat lemah pada Entisol disebabkan adanya beberapa faktor berikut : 1. Iklim yang sangat ekstrim basah atau kering, sehingga perombakan bahan induk terhambat 2. Bahan induk yang sangat resisten terhadap pelapukan, misalnya kwarsa 3. Adanya faktor erosi yang selalu mengerus epipedon, sehingga tidak pernah tebentuk horizon iluviasi Munir, 1996. Inceptisol Inceptisol adalah tanah yang belum matang Immature dengan perkembangan profil yang lebih lemah dibanding dengan tanah matang, dan masih banyak menyerupai sifat bahan induknya. Beberapa Inceptisol terdapat dalam Universitas Sumatera Utara keseimbangan dengan lingkungan dan tidak akan matang bila lingkungan tidak berubah Hardjowigeno, 1993. Inceptisol dapat berkembang dari bahan induk batuan beku, sedimen dan metamorf. Biasanya memiliki tekstur yang beragam dari kasar hingga halus, dalam hal ini tergantung tingkat pelapukan bahan induknya. Bentuk wilayahnya beragam dari berombak hingga bergunung, kesuburan tanahnya rendah, kedalaman efektifnya beragam dari dangkal hingga dalam. Di dataran rendah pada umumnya dijumpai solum yang tebal, sedangkan pada daerah lereng curam solumnya tipis Munir, 1996. Inceptisol mempunyai karakteristik dari kombinasi sifat tersedianya air untuk tanaman lebih dari setengah tahun atau lebih dari tiga bulan berturut-turut dalam musim kemarau. Kisaran C-Organik dan KTK dalan Inceptisol sangat lebar, demikian juga kejenuhan basa. Inceptisol dapat terbentuk disemua tempat, kecuali daerah kering, mulai dari kutub sampai tropika Darmawijaya, 1990. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan Inceptisol adalah : 1. Bahan induk yang resisten 2. Posisi dalam landskap yang ekstrim yaitu daerah curam atau lembah 3. Pembentukan geomorfologi yang muda, sehingga pembentukan tanah belum lanjut Tidak ada proses pedogenik yang dominan kecuali leaching, meskipun proses pedogenik adalah aktif. Ditempat dengan bahan induk yang resisten, proses pembentukan liat terhambat Hardjowigeno, 1993. Universitas Sumatera Utara Ultisol Fenomena sifat fisik Ultisol menurut Mohr and Van Baren 1959 dapat dicirikan sebagai berikut yaitu, 1 kedalaman solum sedang moderat 1-2 m, 2 berwarna merah-kuning yaitu chroma meningkat dengan bertambahnya kedalaman, 3 teksturnya halus pada horizon Bt, karena mengandung liat yang maksimal pada horizon ini, 4 strukturnya pada horizon Bt terbentuk gumpal, 5 konsistensinya teguh, cutan liat terjadi pathite banyak ditemukan konkresi besi, 6 permeabilitasnya lambat sampai baik, 7 erodibilitasnya tinggi. Sedangkan sifat kimia Ultisol adalah, 1 kemasaman kurang dari 5,5; 2 bahan organik rendah sampai sedang, 3 kejenuhan basa kurang dari 35 , 4 KTK kurang dari 24 ml100 g liat. Pencucian ekstensif terhadap basa-basa merupakan prasyarat untuk terbentuknya Ultisol. Pencucian sangat lanjut sehingga tanah bereaksi masam Hardjowigeno, 1993 Universitas Sumatera Utara BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lahan Kampus Pertanian USU Baru Kwala Bekala dengan ketinggian tempat 60 m di atas permukaan laut pada koordinat 3 28’41.9”LU - 3 28’44.22”LU dan 98 38’11.0”BT - 98 38’18.5”BT, yang berjarak 17 km dari kota Medan. Penelitian ini juga dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan, dan Laboratorium Pendidikan Teknologi Kimia Industri PTKI Medan, yang dilaksanakan pada bulan Desember 2008 sampai dengan April 2009. Bahan dan Alat Bahan Adapun bahan yang digunakan yaitu peta lokasi penelitian skala 1 : 50.000 untuk mengetahui lokasi pelaksanaan penelitian, peta jenis tanah kecamatan Pancur Batu skala 1 : 50.000 untuk mengetahui jenis tanah di daerah yang akan diteliti tanah pada tiga profil pewakil berdasarkan tingkat perkembangan tanah, peta geologi kecamatan Pancur Batu 1 : 50.000 untuk mengetahui jenis bahan induk tanah di daerah yang akan diteliti tanah pada tiga profil pewakil berdasarkan tingkat perkembangan tanah, peta elevasi kecamatan Pancur Batu 1 : 50.000 untuk mengetahui ketinggian tempat lokasi penelitian, formulir isian profil tanah, aquades untuk melarutkan tanah, termograf sebagai kertas gambar termogram, dan bahan lain untuk analisa tanah di lapangan dan di laboratorium. Universitas Sumatera Utara Alat Adapun alat yang digunakan adalah DTA untuk mengidentifikasi mineral liat, GPS Global Position System untuk mengetahui koordinat tempat yang akan diteliti, cangkul untuk menggali profil tanah, altimeter untuk mengukur ketinggian tempat, abney level untuk mengukur kemiringan lereng, kompas untuk menentukan arah mata angin, meteran untuk mengukur profil tanah, kamera untuk mendokumentasi profil tanah, ring sampel untuk mengambil contoh tanah tidak terganggu, ayakan 270 mesh 52 µuntuk menyaring tanah, kantong plastik untuk tempat sampel tanah, Munsell Soil Color Chart untuk menentukan warna tanah, label nama sebagai penanda sampel tanah, pisau pandu untuk menentukan horizon dan batas horizon, kertas milimeter untuk menghitung analisis kuntitatif dari DTA, alat tulis, dan alat lain yang mendukung dalam penelitian ini. Metode Penelitian Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Differential Thermal Analysis, Distribusi mineral liat digambar pada koordinat dengan fungsi kedalaman tanah. Prosedur Penelitian 1. Persiapan Sebelum penelitian ini dilakukan, terlebih dahulu diadakan rencana penelitian, konsultasi dengan dosen pembimbing, telaah pustaka, penyusunan usulan penelitian, pengadaan peta-peta yang dibutuhkan, mengadakan pra survey ke lapangan dan persiapan bahan dan alat yang akan digunakan dalam penelitian ini. Universitas Sumatera Utara

2. Pengamatan Lapangan