ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA DI BAWAH PIDANA MINIMAL KHUSUS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN TERHADAP ANAK (Studi Perkara Nomor: 168/Pid.B/2013/PN.TK)

(1)

ANALYSIS OF BASIC CONSIDERATION IN IMPOSING CRIMINAL JUDGE UNDER SPECIAL MINIMUM PUNISHMENT OF

PERPETRATORS OF CRIMINAL ACTS AGAINST CHILDREN DECENCY

(Case Study Number: 168/Pid.B/PN.TK/2013) By

MUHAMMAD AMIN

Every criminal morals of children should be punishable by a maximum, thus providing a deterrent effect to the perpetrators and as a lesson for others, in fact the judges convict under minimal threat to the perpetrator. The problem of this research are: (1) What is the basic consideration in imposing criminal judge under special minimum punishment of perpetrators of criminal acts against children decency in case number: 168/Pid.B/PN.TK/2013? (2) How is the power law judge's ruling that criminalize under special minimum decency towards criminals against children in case number: 168/Pid.B/PN.TK/2013?

The research approach used is juridical normative and empirical. Data collection procedures performed by literature and field studies. Informant consists of prosecutors in the State Court of Bandar Lampung, the judge in the District Court Cape Coral Class IA and criminal law academics. The data were then analyzed qualitatively.

Based on the results of research and discussion can be concluded: (1) Basic considerations judges in imposing criminal punishment under special minimum against criminals decency of children in case number: 168/Pid.B/PN.TK/2013 consists of aggravating and relieving. The burden is defendant resulted in the victim losing chastity. Things are easing, the defendant admitted his actions, has made peace with the victims and their families and courteous in the trial. Over these things then the judges convict the defendant Maesa aka Andi Setiawan Dika Bin Suprapto with imprisonment for seven (7) months in prison and a fine of Rp.60.000.000 (sixty million dollars) provided that if the fine is not paid then replaced to imprisonment for 1 (one month). (2) The power of the judge's ruling laws that criminalize under special minimum decency towards criminals against children is to have a legally enforceable and binding, as a court of first instance verdict appealed and upheld by the appellate court that the appeal is not filed within the time defined by the Law on Criminal Proceedings.

Suggestions in this study were: (1) Law enforcement officers are advised to be more intense in dealing with legal protection for children (2) Parents and the public in general, should further improve the supervision and control of the environment and children's playground.


(2)

PIDANA DI BAWAH PIDANA MINIMAL KHUSUS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN TERHADAP ANAK

(Studi Perkara Nomor: 168/Pid.B/PN.TK/2013) Oleh

MUHAMMAD AMIN

Setiap pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak seharusnya dihukum dengan hukuman yang maksimal, sehingga memberikan efek jera kepada pelaku dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain, pada kenyataannya majelis hakim menjatuhkan pidana di bawah ancaman minimal terhadap pelaku. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah pidana minimal khusus terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak pada perkara nomor 168/Pid.B/PN.TK/2013? (2) Bagaimanakah kekuatan hukum putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah minimal khusus terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak pada perkara nomor 168/Pid.B/PN.TK/2013? Pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Narasumber terdiri dari jaksa pada Kejaksanaan Negeri Bandar Lampung, hakim pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan akademisi hukum pidana. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan: (1) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah pidana minimal khusus terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak pada perkara nomor 168/Pid.B/PN.TK/2013 terdiri dari hal yang memberatkan dan meringkankan. Hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa mengakibatkan korban kehilangan kesucian. Hal-hal yang meringankan, yaitu terdakwa mengakui perbuatannya, telah melakukan perdamaian dengan korban dan keluarganya dan sopan dalam persidangan. Atas hal-hal tersebut maka Majelis Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Maesa Andika Setiawan alias Dika Bin Suprapto dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan penjara dan denda sebesar Rp.60.000.000 (enampuluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu bulan). (2) Kekuatan hukum putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah minimal khusus terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak adalah memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat, sebagai putusan pengadilan tingkat pertama yang diajukan banding dan dikuatkan oleh pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Aparat penegak hukum disarankan untuk lebih intens dalam menangani masalah perlindungan hukum kepada anak (2) Orang tua dan masyarakat luas pada umumnya, hendaknya semakin meningkatkan pengawasan dan kontrol terhadap lingkungan dan tempat bermain anak.


(3)

i

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA DI BAWAH PIDANA MINIMAL KHUSUS TERHADAP PELAKU

TINDAK PIDANA KESUSILAAN TERHADAP ANAK (Studi Perkara Nomor: 168/Pid.B/2013/PN.TK)

Oleh

MUHAMMAD AMIN

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA DI BAWAH PIDANA MINIMAL KHUSUS TERHADAP PELAKU

TINDAK PIDANA KESUSILAAN TERHADAP ANAK (Studi Perkara Nomor: 168/Pid.B/2013/PN.TK)

(Tesis)

Oleh

MUHAMMAD AMIN NPM 1322011085

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(5)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Pemikiran ... 9

E. Metode Penelitian ... 17

F. Sistematika Penulisan ... 22

II . TINJAUAN PUSTAKA ... 24

A. Fungsi Hukum dalam Kehidupan Masyarakat ... 24

B. Perlindungan Hukum terhadap Anak ... 29

C. Pemidanaan ... 37

D. Tindak Pidana Kesusilaan terhadap Anak... 48

E. Perlindungan terhadap Korban ... 54

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana di Bawah Minimal Khusus terhadap Pelaku Tindak Pidana Kesusilaan terhadap Anak ... 61

B. Kekuatan Hukum Putusan Hakim yang Menjatuhkan Pidana di Bawah Minimal Khusus terhadap Pelaku Tindak Pidana Kesusilaan terhadap Anak ... 100

IV. PENUTUP ... 107

A. Simpulan ... 107

B. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(6)

i

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Muhammad Amin, dilahirkan di Medan pada tanggal 26 Juni 1976, merupakan putra kelima dari tujuh bersaudara, pasangan Bapak Hi. Awaluddin Nasution dan Ibu Hj. Yulinar.

Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar Negeri 5 Kota Medan diselesaikan pada Tahun 1989, Sekolah Menengah Pertama Yapena 45 Kota Medan diselesaikan pada tahun 1992, Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 12 Kote Medan diselesaikan pada Tahun 1995. Selanjutnya pada Tahun 2003, penulis menyelesaikan pendidikan pada Program Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Batang Hari Jambi.


(7)

1. Tim Penguji

Ketua

Sekretaris

Penguji Utama

Anggota

Anggota

: Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H.

:

I)r.

Erna l)ewi, S.H., M.H.

:

Dr.

Eddy

Rifai,

S.H.,

M.I{.

:

Ilr.

Maroni, S.H., M.H.

: Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H.

Nur

2. Dekan F tas Hukum

Prof. Dr. Her NIP 19621109 r

PASchb'

ktur Program Pascasarjana

Dr. Sudjarwo, M.S. 19530528 198103

r

0A2


(8)

Nama Mahasiswa Nomor Pokok Mahasiswa Program Kekhususan Program Studi

Fakultas

TINDAK PMANA KESUSII.AAN TERHADAP ANAK

(Studi Perkara Nomor: 168 l?id.B,12013/PN.TK) : Muhammad Amin

:1322011085

: Hukum Pidana

: Program Pascasarjana Magister Hukum : Hukurn

MENYETUJT]I

Dosen Komisi Pembimbing

Dr.

NIP

tr

Dr. Erna Dewi, S.H., ilI.H. NIP 19610715 198503 2003

MENGETAIIUI

.Ni,,!*rh,MH

19ss0106 198003 2 001

Ketua Program P ']ana

Program Stg*i agister Huk Fakultas Hukum

r Anwar, S.H., M,Hum.

ffiffi

-.IlGffi"

ft,h^q****""!

S ++!!flionisre]qs$',


(9)

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1. Tesis

dengan

judul:

"Analisis Dasar

pertimbangan

Hakim

dalam Menjatuhkan Pidana

di

Bawah Pidana Minimal Khusus terhadap Pelaku

Tindak Pidana Kesusilaan Terhadap

Anak, (studi

perkara Nomorr l68lPid.Bn013lPN.TK), adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiatr yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut pligiarisme.

2.

Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahlcan sepenuhnya kepada Universitas

Lampung.

Atas pernyataan ini, apabila di kennudian hari ternyata ditemukan adanya ketidak

benaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya;

saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung 12 Februari 2015


(10)

i MOTO

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam

bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Kedua mata zinanya adalah memandang,

kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara,

tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan

oleh kemaluan atau didustakannya”.


(11)

i

PERSEMBAHAN

Penulis persembahkan Tesis ini kepada : Ayahanda dan Ibunda

Hi. Awaluddin Nasution dan Ibu Hj. Yulinar, yang telah memberikan cinta dan kasih sayang perjuangan dan doa yang tidak pernah putus untukku

Istriku Tercinta Ermawati Syanur

Atas cinta, kasih sayang, dukungan dan kesetiaan yang diberikan kepadaku dalam melangkah menuju kebaikan

Anak-anakku Muhammad Redo Nasution Muhammad Raihan Nasution, Faiha Annisa Rahma Nasution Belahan jiwaku, penyejuk mata dan hatiku

Keluarga besarku

atas motivasi dan dukungannya untuk keberhasilanku


(12)

i

SAN WACANA

Alhamdulillahirobbil alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab hanya dengan kehendak dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul: “Analisis Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana di Bawah Pidana Minimal Khusus terhadap Pelaku Tindak

Pidana Kesusilaan Terhadap Anak” (Studi Perkara Nomor:

168/Pid.B/2013/PN.TK).

Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Lampung. Dalam penulisan tesis ini penulis mendapatkan bimbingan dan arahan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H. selaku Pembimbing I, atas bimbingan, masukan, motivasi dan saran yang diberikan dalam penyusunan sampai dengan selesainya Tesis ini.

2. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H. selaku Pembimbing II, atas bimbingan, masukan, motivasi dan saran yang diberikan dalam penyusunan sampai dengan selesainya Tesis ini.

3. Bapak Dr. Heryandi, SH., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

4. Bapak Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(13)

ii

6. Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H. selaku Penguji, atas masukan dan saran yang diberikan dalam proses perbaikan Tesis ini.

7. Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H. selaku Penguji, atas masukan dan saran yang diberikan dalam proses perbaikan Tesis ini.

8. Bapak dan Ibu dosen Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada penulis.

9. Seluruh staf Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

10.Rekan-rekan Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung, atas persahabatan dan motivasi yang diberikan dalam penyelesaian Tesis dan menempuh studi.

11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

Penulis berdoa semoga kebaikan yang telah diberikan akan mendapatkan balasan kebaikan dari sisi Allah SWT. Akhirnys semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Bandar Lampung, 12 Februari 2015 Penulis


(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya juga melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan potensi masa depan dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Anak yang belum matang secara mental dan fisik, kebutuhannya harus dicukupi, pendapatnya harus dihargai, diberikan pendidikan yang benar adanya suatu kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi dan kejiwaannya, agar kelak anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang dapat diharapkan sebagai penerus bangsa. Pada kenyataannya anak justru mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari orang dewasa dan dijadikan sebagai objek tindak pidana.1

Anak yang menjadi korban kekerasan dalam kehidupan sehari-hari, yang menunjukkan bagaimana lemahnya posisi anak ketika mengalami kekerasan terhadap dirinya. Anak sangat rentan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya, di ruang-ruang publik, bahkan dirumahnya sendiri. Kekerasan terhadap anak dominan terjadi di dalam rumah tangga yang sebenarnya diharapkan dapat memberikan rasa aman, dan yang sangat disesalkan adalah

1

Gadis Arivia. Potret Buram Eksploitasi Kekerasan Seksual pada Anak. Ford Foundation. Jakarta. 2005.hlm.4.


(15)

kasus-kasus kekerasan terhadap anak selama ini dianggap sebagai masalah yang wajar dan tidak dianggap sebagai tindak pidana kejahatan, dan yang sering terjadi tindak kekerasan pada anak disertai dengan tindak pidana pencabulan pada anak.2

Pencabulan merupakan tindakan pelanggaran hukum, pelanggaran moral, susila dan agama. Pencabulan yang dilakukan oleh seorang pelaku terhadap anak yang masih di bawah umur, dapat menimbulkan trauma fisik dan psikis terhadap korban terutama yang berusia anak-anak sehingga bisa berpengaruh pada perkembangan diri korban ketika dewasa nanti. 3

Upaya perlindungan hukum kepada Anak pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 287 KUHP yang mengatur:

(1) Barangsiapa bersetubuh dengan sorang wanita yang bukan istrinya, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umur wanita itu belum lima belas tahun, atau kalau umumya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawinkan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(2) Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan, kecuali bila umur wanita itu belum sampai dua belas tahun atau bila ada salah satu hal seperti tersebut dalam Pasal 291 dan Pasal 294.

Perkembangan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana kesusilaan selanjutnya diatur secara khusus melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Latar belakang pemberlakuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 adalah masih sering terjadinya berbagai bentuk perilaku orang dewasa yang melanggar hak-hak anak di Indonesia dalam berbagai

2

Primautama Dyah Savitri. Benang Merah Tindak Pidana Pelecehan Seksual. Penerbit Yayasan Obor. Jakarta. 2006. hlm.11

3


(16)

aspek kehidupan. Oleh karena itu Nomor 23 Tahun 2002 diberlakukan dalam rangka pemenuhan hak-hak anak dalam bentuk perlindungan hukum yang meliputi hak atas kelangsungan hidup, hak untuk berkembang, hak atas perlindungan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat tanpa diskriminasi. Setiap anak yang menjadi korban tindak pidana kesusilaan memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum secara pasti sesuai dengan Hak Asasi Manusia.

Hukum pada dasarnya merupakan pedoman atau pegangan bagi manusia yang digunakan sebagai pembatas sikap, tindak atau perilaku dalam melangsungkan antar hubungan dan antar kegiatan dengan sesama manusia lainnya dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Hukum juga dapat dilukiskan sebagai jaringan nilai-nilai kebebasan sebagai kepentingan pribadi di satu pihak dan nilai-nilai ketertiban sebagai kepentingan antar pribadi di pihak lain. Arti penting perlindungan hukum dalam kehidupan masyarakat antara lain adalah untuk menciptakan stabilitas, mengatur hubungan-hubungan sosial dengan cara khusus, dan menghindarkan manusia dari kekacauan di dalam segala aspek kehidupannya. Hukum diperlukan guna menjamin dan menghindarkan manusia dari kekacauan.4

Upaya perlindungan hukum kepada anak yang menjadi korban tindak pidana kesusilaan dikoordinasikan dan tingkatkan dalam bentuk kerjasama secara lokal, nasional, regional dan internasional, dengan strategi antara lain dengan mengembangkan koordinasi yang berkesinambungan di antara stake holder dalam penghapusan kekerasan seksual kepada anak. Pencegahan tindak pidana

4

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana IndonesiaMelihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1994.


(17)

pencabulan dapat ditempuh dengan strategi mengutamakan hak anak dalam semua kebijakan dan program pemerintah dan masyarakat, memberdayakan anak sebagai subyek dari hak-haknya dalam menentang pencabulan, serta menyediakan akses pelayanan dasar bagi anak di bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial.

Berdasarkan data nasional Komisi Perlindungan Anak (KPA) maka diketahui bahwa pada tahun 2010 terjadi sebanyak 3.652 kasus pencabulan anak di Indonesia, meningkat menjadi 4.217 kasus pada tahun 2011, menjadi 5.078 kasus tahun 2012 dan kembali mengalami peningkatan 5.781 kasus pada tahun 2014.5

Data di atas menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 masih belum mampu secara optimal dalam memberikan perlindungan kepada anak, bahkan jumlah anak yang menjadi korban pencabulan mengalami peningkatan. Padahal undang-undang ini telah mengatur secara rinci sanksi pidana terhadap pelaku pencabulan dan pelanggar hak-hak anak lainnya, namun demikian pada pelaksanaannya sanksi tersebut tidak sepenuhnya memberikan efek jera kepada pelaku dan aparat penegak hukum seharusnya mengoptimalkan upaya perlindungan hukum kepada anak sebagai korban tindak pidana kesusilaan.

Upaya memberikan perlindungan kepada anak-anak yang menjadi korban tindak pidana kesusilaan dapat dilakukan dengan mengembangkan sistem dan mekanisme perlindungan hukum dan sosial bagi bagi anak yang beresiko atau menjad korban tindak pidana kesusilaan. Selain itu sangat penting pula dilakukan upaya pemulihan terhadap anak korban tindak pidana kesusilaan. Caranya antara

5


(18)

lain dengan mengutamakan pendekatan yang baik kepada anak yang menjadi korban tindak pidana kesusilaan dalam keseluruhan prosedur perundangan, memberi pelayanan medis, psikologis terhadap anak dan keluarganya, mengingat anak yang menjadi korban biasanya mengalami trauma yang akan berpotensi mengganggu perkembangan kejiwaan mereka.

Kehidupan bermasyarakat setiap orang tidak dapat terlepas dari berbagai hubungan timbal balik dan kepentingan yang saling terkait antara yang satu dengan yang lainya yang dapat di tinjau dari berbagai segi, misalnya segi agama, etika, sosial budaya, politik, dan termasuk pula segi hukum. Ditinjau dari kemajemukan kepentingan seringkali menimbulkan konflik kepentingan, yang pada akhirya melahirkan apa yang dinamakan tindak pidana. Untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang ada tersebut, maka di buat suatu aturan dan atau norma hukum yang wajib ditaati. Terhadap orang yang melanggar aturan hukum dan menimbulkan kerugian kepada orang lain akan diambil tindakan berupa ganti kerugian atau denda, sedang bagi seorang yang telah melakukan tindak pidana akan dijatuhi sanksi berupa hukuman baik penjara, kurungan dan atau denda.

Uraian di atas menunjukkan adanya pembangunan di bidang hukum yang merespon kompleksnya fenomena hukum termasuk maraknya kejahatan/ kriminalitas yang terus terjadi seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemerintah Indonesia melalui badan dan atau instansi-instansi beserta aparatur penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Permasyarakatan) diharapkan mampu melaksanakan upaya penegakan hukum yang nyata dan dapat di pertanggungjawabkan sesuai


(19)

dengan peraturan hukum yang berlaku agar tatanan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang aman dan tertib dapat di capai semaksimal mungkin.

Fenomena yang melatar belakangi penelitian ini adalah aturan hukum tidak selalu dijadikan acuan bagi pembelaan terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana kesusilaan. Sementara itu di sisi lain penegak hukum sangat terikat pada asas legalitas, sehingga undang-undang dibaca sebagaimana huruf-huruf itu berbunyi, dan sangat sulit memberikan interpretasi yang berbeda bahkan ketika harus berhadapan dengan kasus-kasus yang berkaitan erat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan tidak jarang, kasus-kasus kekerasan terhadap anak terkena imbas dari sistem peradilan yang tidak netral, seperti misalnya terkait persoalan politik dan uang. Oleh karena itu diharapkan dapat muncul pemikiran-pemikiran baru dan terobosan-terobosan yang dapat memberikan perlindungan yang memadai bagi para pencari keadilan.

Sebagai contoh perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak yang dilakukan oleh lelaki dewasa adalah Perkara Nomor 168/Pid.B/2013/PN.TK. Terdakwa bernama Maesa Andika Setiawan (29 tahun) terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana kesusilaan terhadap korban CN (17 tahun), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:

(1) Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).


(20)

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Sesuai dengan ketentuan pasal di atas maka seharusnya terdakwa dipidana minimal paling singkat 3 (tiga) tahun penjara, tetapi pada kenyataannya Majelis Hakim hanya menjatuhkan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan penjara terhadap terdakwa, dikurangi dengan masa tahanan. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaannya di lapangan.

Berdasarkan uraian di atas penuliskan melakukan penelitian dalam Tesis yang berjudul: ”Analisis Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana di Bawah Pidana Minimal Khusus Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kesusilaan Terhadap Anak (Studi Perkara Nomor: 168/Pid.B/2013/PN.TK)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah pidana minimal khusus terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak pada perkara nomor 168/Pid.B/2013/PN.TK?

b. Bagaimanakah kekuatan hukum putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah minimal khusus terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak pada perkara nomor 168/Pid.B/2013/PN.TK?


(21)

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup ilmu penelitian adalah hukum pidana, dengan subkajian mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah pidana minimal khusus terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak pada perkara nomor 168/Pid.B/2013/PN.TK. Ruang lingkup waktu penelitian adalah tahun 2014 dan lokasi penelitian yaitu di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah pidana minimal khusus terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak pada perkara nomor 168/Pid.B/2013/PN.TK

b. Untuk menganalisis kekuatan hukum putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah minimal khusus terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak pada perkara nomor 168/Pid.B/2013/PN.TK

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan secara teoretis dan kegunaan secara praktis sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan berguna dalam memperkaya wawasan hukum pidana, dengan kajian tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan


(22)

pidana di bawah pidana minimal khusus terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak pada perkara nomor 168/Pid.B/2013/PN.TK

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran kepada aparat penegak hukum untuk melaksanakan perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana kesusilaan.

D. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teoretis

Kerangka teoretis merupakan abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya penelitian hukum6. Berdasarkan pengertian tersebut maka kerangka teoretis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Teori Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yaitu saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain (Pasal 184 KUHAP).

6


(23)

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusanputusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur Negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Fungsi hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.7

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:

1) Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

2) Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;

3) Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya 8

7

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika,.2010, hlm.103.

8Ibid,


(24)

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.

Hukum dan keadilan merupakan dua buah sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, hukum bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan keadilan tanpa hukum ibarat macan ompong, namun untuk mendapatkan keadilan maka pencari keadilan harus melalui prosedur-prosedur yang tidak adil. Sehingga hukum menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat, hukum bukan lagi untuk membahagiakan masyarakat tetapi malah menyengsarakan masyarakat. Hukum gagal memberikan keadilan ditengah masyarakat. Supremasi hukum yang selama ini didengungkan hanyalah sebagai tanda (sign) tanpa makna. Teks-teks hukum hanya permainan bahasa (language of game) yang cenderung menipu dan mengecewakan. Hukum dan kekuasaan mempunyai hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Hal ini sesuai dengan apa yang di

ungkapkan oleh Lord Acton “Power tends to corrupt and absolute power corrupts

absolutely” bahwa kekuasaan cenderung rusak, sedangkan kekuasaan yang mutlak

pasti rusaknya. Baik buruknya sesuatu kekuasaan, tergantung dari bagaimana kekuasaan tersebut dipergunakan. Artinya, baik buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah


(25)

ditentukan atau disadari oleh masyarakat lebih dahulu. Hal ini merupakan suatu unsur yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib dan bahkan bagi setiap bentuk organisasi yang teratur. 9

Salah satu penyebab kemandegan yang terjadi di dalam dunia hukum adalah karena masih terjerembab kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang bersejalan dengan hidup manusia yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun pada peristiwa hukumnya, Sehingga hukum hanya dipahami dalam artian yang sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai diluar undang-undang tidak dimaknai sebagai hukum.

Unsur pemegang kekuasaan merupakan faktor penting jika digunakan kekuasaan yang dimilikinya itu sesuai dengan kehendak masyarakat. Karena itu di samping keharusan adanya hukum sebagai alat pembatas, juga bagi pemegang kekuasaan ini diperlukan syarat-syarat lainnya seperti memiliki watak yang jujur dan rasa pengabdian terhadap kepentingan masyarakat. Kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat juga merupakan pembatas yang ampuh bagi pemegang kekuasaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum itu tidak untuk kepentingan penguasa, tetapi untuk kepentingan masyarakat.

Tuntutan terhadap hukum pada masa kini adalah menjadikan hukum yang mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi untuk menjamin kepastian hukum dan ketertiban masyarakat. Sekaligus diharapkan hukum

9


(26)

berfungsi sebagai sarana untuk menampung perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh, atau dengan kata lain, hukum harus dapat menyesuaikan diri dengan kecepatan perubahan masyarakat serta harus dapat dipergunakan sebagai sarana untuk memberi arah kepada perubahan. Tatanan hukum, didukung oleh norma-norma yang secara sengaja dan sadar dibuat untuk menegakkan suatu jenis ketertiban tertentu dalam masyarakat. Karena tatanan hukum itu berupa norma-norma yang berisi petunjuk-petunjuk tingkah laku, maka ia merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan ke mana harus diarahkan.

b. Teori Pemidanaan

Pemidanaan dalam aliran hukum secara garis besar dapat dibagi dua yaitu aliran klasik dan aliran modern, aliran klasik dipengaruhi paham indeterministis, yaitu paham yang menganggap manusia mempunyai kehendak bebas dalam melakukan tindakan dan pidana ditentukan secara pasti. Aliran klasik ini berpijak pada tiga asas sebagai berikut:

1) Asas legalitas yang menyatakan bahwa tiada pidana tanpa Undang-Undang, tiada tindak pidana tanpa Undang- Undang dan tiada penuntutan tanpa Undang-Undang.

2) Asas kesalahan yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana bukannya dengan sengaja atau kealpaan.

Sehubungan dengan hal tersebut menurut Muladi, tujuan pemidanaan dikenal tiga teori tujuan pemidanaan, yaitu sebagai berikut:


(27)

1) Teori Absolut atau Pembalasan

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan suatu pembalasan yang mutlak dari tindak pidana tanpa tawar menawar.Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat jelas bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan atau kebaikan masyarakat. tetapi dalam semua hal harus dikenakan karena orang yang bersangkutan telah melakukan kejahatan. Bahwa walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakat), pembunuhan terakhir yang masih dipidana di dalam penjara harus dipidana sebelum resolusi atau keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. 10

2) Teori Relatif atau Tujuan

Menurut teori relatif, tujuan pidana bukanlah sekedar melaksanakan pembalasan dari suatu perbuatan jahat, tetapi juga rnernpunyai tujuan lain yang bermanfaat, dalam arti bahwa pidana dijatuhkan bukan karena orang telah berbuat jahat, melainkan pidana dijatuhkan agar orang tidak melakukan kejahatan. Memidana harus ada tujuan lebih lanjut daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Jadi dasar pembenaran pidana munurut teori relatif atau tujuan ini adalah terletak pada tujuannya. Teori ini seperti telah dikenal dengan rehabilitation theory. Sedangkan prevensi umum dirnaksudkan pengaruh pidana terhadap masyarakat, artinya pencegaaan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku masyarakat untuk

10

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang. 2001. hlm. 75.


(28)

tidak melakukan tindak pidana. Ada tiga bentuk pengaruh dalam pengertian prevensi umum, yaitu pengaruh pencegahan, pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral dan pengaruh mendorong suatu kebiasaan perbuatan patuh pada hukum. Prevensi umum mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan kewibawaan, menegakkan norma dan membentuk norma. Tujuan pidana untuk rnencegah kejahatan ini dapat dibedakan antara prevensi khusus (special prevention) dengan prevensi umum (general prevention), prevensi khusus dimaksudkan pengaruh pidana terhadap pidana hingga pencegahan kejahatan ini ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana. 11

3) Teori Integratif atau Gabungan

Menurut teori ini pemberian pidana di samping sebagai pembalasan dari suatu tindak pidana yang dilakukan juga sebagai usaha mencegah dilakukannya tindak pidana. Selain sebagai pembalasan atas suatu tidak pidana, pidana diberikan untuk mempengaruhi perilaku masyarakat umum demi perlindungan masyarakat. Tujuan pidana dan pembenaran penjatuhan pidana di samping sebagai pembalasan juga diakui sebagai pidana yang memiliki kemanfaatan baik terhadap individu maupun terhadap masyarakat. Ajaran ini memungkinkan adanya kemungkinan untuk mengadakan sirkulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus. 12

11

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 101-102.

12


(29)

Timbulnya teori gabungan atau aliran integratif ini karena adanya berbagai kelemahan pada teori pembalasan dan teori tujuan. Menurut Binding kelemahan-kelemahan terdapat pada teori pembalasan adalah terlalu sulit untuk menentukan berat ringannya pidana diragukankan adanya hak negara untuk rnenjatuhkan pidana sebagai pembalasan, pidana pemba1asan tidak bcrmanfaat bagi masyarakat. Sedangkan dalam teori tujuan pidana hanya ditujukan untuk mencegah kejahatan sehingga dijatuhkan pidana yang berat oleh teori pencegahan umum maupun teori pencegahan khusus, jika ternyata kejahatan itu ringan, penjatuhan pidana yang berat tidak akan memenuhi rasa keadilan bukan hanya masyarakat tidak puas tetapi juga penjahat itu sendiri.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian13. Batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Anak adalah adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan14

b. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi15

c. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi

13

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.103

14

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

15


(30)

siapa yang melanggar larangan itu. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku16

d. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana17.

e. Tindak pidana kesusilaan adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti: rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri dan kehilangan kesucian18

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum dan sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan penelitian ini.

16

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 54

17

Pasal 1 Angka (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

18

Gadis Arivia. Potret Buram Eksploitasi Kekerasan Seksual pada Anak. Ford Foundation. Jakarta. 2005.hlm.2.


(31)

Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala dan objek yang sedang diteliti yang bersifat teoritis berdasarkan atas kepustakaan dan literatur yang berkaitan dengan pembahasan penelitian. Pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di lapangan, baik berupa pendapat, sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas hukum.19

2. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dilihat dari sumbernya dapat dibendakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dai bahan pustaka20.

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan narasumber, untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari:

1) Bahan Hukum Primer, bersumber dari:

a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

19

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.5

20Ibid


(32)

b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana

d) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak e) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. f) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak g) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban

h) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang sesuai dengan masalah dalam penelitian ini, diantaranya:

a) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak

b) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/ pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum dan buku lain yang membahas tentang anak, dokumentasi, kamus hukum dan internet.


(33)

3. Penentuan Narasumber

Penelitian ini memerlukan narasumber sebagai sumber informasi untuk mengolah dan menganalisis data sesuai permasalahan yang dibahas. Narasumber dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang b. Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 2 orang c. Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 orang +

Jumlah : 4 orang

4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi lapangan sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.


(34)

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

5. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat umum lalu menarik kesimpulan yang bersifat khusus sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.21

21


(35)

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan Tesis ini disajikan dalam empat bab yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, yaitu sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisi pendahuluan penyusunan Tesis yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian yang meliputi pendekatan masalah, sumber data, penentuan narasumber, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, analisis data serta Sistematika Penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan pustaka yang meliputi fungsi hukum dalam kehidupan masyarakat, perlindungan hukum terhadap anak, pemidanaan, tindak pidana kesusilaan terhadap anak dan perlindungan terhadap korban.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dari hasil penelitian, yang terdiri dari faktor-faktor yang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah pidana minimal khusus terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak pada perkara nomor 168/Pid.B/2013/PN.TK dan kekuatan hukum putusan hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah pidana minimal khusus terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan.


(36)

IV. PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.


(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Fungsi Hukum dalam Kehidupan Masyarakat

Hukum merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial dalam suatu masyarakat, yaitu bahwa hukum akan melayani anggota-anggota masyarakat, baik berupa pengalokasian kekuasaan, pendistribusian sumber-sumber daya, serta melindungikepentingan anggota masyarakat itu sendiri oleh karenanya hukum menjadi semakin penting peranannya sebagai sarana untuk mewujudkan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Kesadaran yang menyebabkan bahwa hukum merupakan instrumen penting untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu, menjadikan hukum sebagai sarana yang secara sadar dan aktif digunakan untuk mengatur masyarakat, melalui penggunaan peraturan hukum yang dibuat dengan sengaja1

Pemberlakuan hukum adalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan, secara teknis hukum dapat memberikan hal-hal sebagai berikut: 1) Hukum merupakan suatu sarana untuk menjamin kepastian dan memberikan

predikbilitas di dalam kehidupan masyarakat;

2) Hukum merupakan sarana pemerintah untuk menetapkan sanksi;

1

Satjipto Rahardjo. Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional.Rajawali Press. Jakarta. 1996. hlm. 19.


(38)

3) Hukum sering dipakai oleh pemerintah sebagai sarana untuk melindungi melawan kritik;

4) Hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribusikan sumber-sumber daya2

Hukum sebagai sarana pembangunan dapat mengabdi dalam tiga sektor, yaitu: 1) Hukum sebagai alat penertib (ordering) yang berarti hukum menciptakan

suatu kerangka bagi pengambilan keputusan politik dan pemecahan perselisihan yang mungkin timbul melalui suatu hukum acara yang baik; 2) Hukum sebagai alat penjaga keseimbangan (balancing) yang berarti hukum

berfungsi untuk menjaga keseimbangan dan harmonisasi antara kepentingan umum dan kepentingan individu;

3) Hukum sebagai katalisator yang berarti hukum berfungsi untuk memudahkan terjadinya proses perubahan melalui pembaharuan hukum dengan bantuan tenaga kreatif di bidang profesi hukum. 3

Hukum merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial itu sendiri, yaitu hukum akan melayani kebutuhan anggota-anggota masyarakat, baik berupa pengalokasian kekuasaan, pendistribusian sumber daya-sumber daya serta melindungi kepentingan anggota masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu hukum semakin dirasakan penting peranannya sebagai sarana untuk mewujudkan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Hukum mempunyai arti penting bagi kekuasaan formal lembaga-lembaga negara, unit-unit pemerintah, dan pejabat

2Ibid

. hlm. 20. 3

Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi). Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta. 1994. hlm.76


(39)

negara dan pemerintah. Legalisasi kekuasaan itu dilakukan melalui penetapan landasan hukum bagi kekuasaan melalui aturan hukum, Di samping itu hukum dapat dapat pula berperan mengontrol kekuasaan sehingga pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan secara legal dan etis.

Perubahan hukum dalam masyarakat yang sedang berubah meliputi perubahan hukum tidak tertulis, perubahan di dalam menafsirkan hukum perundang-undangan, perubahan konsepsi mengenai hak milik umpamanya dalam masyarakat industri modern, perubahan pembatasan hak milik yang bersifat publik, perubahan fungsi dari perjanjian kontrak, peralihan tanggung jawab dari tuntutan ganti rugi ke ansuransi, perubahan dalam jangkauan ruang lingkup hukum internasional dan perubahan-perubahan lain.

Setiap sistem hukum menunjukkan empat unsur dasar, yaitu: pranata peraturan, proses penyelenggaraan hukum, prosedur pemberian keputusan oleh pengadilan dan lembaga penegakan hukum. Dalam hal ini pendekatan pengembangan terhadap sistem hukum menekankan pada beberapa hal, yaitu: bertambah meningkatnya diferensiasi internal dari keempat unsur dasar system hukum tersebut, menyangkut perangkat peraturan, penerapan peraturan, pengadilan dan penegakan hukum serta pengaruh diferensiasi lembaga dalam masyarakat terhadap unsur-unsur dasar tersebut4

Perkembangan hukum difokuskan pada hubungan timbal balik antara diferensiasi hukum dengan diferensiasi sosial yang dimungkinkan untuk menggarap kembali peraturan-peraturan, kemampuan membentuk hukum, keadilan dan institusi

4


(40)

penegak hukum. Diferensiasi itu sendiri merupakan ciri yang melekat pada masyarakat yang tengah mengalami perkembangan. Melalui diferensiasi ini suatu masyarakat terurai ke dalam bidang spesialisasi yang masing-masing sedikit banyak mendapatkan kedudukan yang otonom.

Perkembangan demikian ini menyebabkan susunan masyarakat menjadi semakin komplek. Dengan diferensiasi dimungkinkan untuk menimbulkan daya adaptasi masyarakat yang lebih besar terhadap lingkungannya.Sebagai salah satu sub-sistem dalam masyarakat, hukum tidak terlepas dari perubahan-perubahan yang terjadi masyarakat. Hukum disamping mempunyai kepentingan sendiri untuk mewujudkan nilai-nilai tertentu di dalam masyarakat terikat pada bahan-bahan yang disediakan oleh masyarakatnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di sekelilingnya.

Untuk melihat hubungan antara hukum dan perubahan sosial perlu sebuah alat dalam bentuk konsep yang menjelaskan secara fungsional tempat hukum dalam masyarakat. Alat tersebut menunjukkan pekerjaan hukum yaitu: (1) Merumuskan hubungan antara anggota masyarakat dengan menentukan perbautan yang dilarang dan yang boleh dilakukan; (2) Mengalokasikan dan menegaskan siapa yang boleh menggunakan kekuasaan, atas siapa dan bagaimana prosedurnya; (3) Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara mengatur kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat manakala terjadi perubahan5

5

Ibid. hlm. 79


(41)

Apabila hukum itu dipakai dalam arti suatu bentuk karya manusia tertentu dalam rangka mengatur kehidupannya, maka dapat dijumpai dalam berbagai lambang. Diantara lambang tersebut yang paling tegas dan terperinci mengutarakan isinya adalah bentuk tertulis atau dalam lebih sering dikenal dengan bentuk sistem hukum formal. Segi yang menandai bentuk yang demikian adalah terdapatnya kepastian dalam norman-normanya dan segi yang lainnya adalah kekakuan. Kepastian hukum memang banyak disebabkan karena sifat kekakuan bentuk pengaturan ini dan gilirannya menyebabkan timbulnya keadaan yang lain lagi seperti kesen-jangan diantara keadaan-keadaan, hubungan-hubungan serta peristiwa-peristiwa dalam masyarakat yang diatur oleh hukum formal tersebut.

Tuntutan terhadap terjadinya perubahan hukum, mulai timbul manakala kesenjangan tersebut telah mencapai tingkat sedemikian rupa, sehingga kebutuhan akan perubahan semakin mendesak. Tingkat yang demikian itu bisa ditandai oleh tingkah laku anggota masyarakat yang tidak lagi merasakan kewajiban yang dituntut oleh hukum sebagai sesuatu yang harus dijalankan. Sehingga terdapat suatu jurang yang memisahkan antara tanggapan hukum di satu pihak dan masyarakatnya, dilain pihak mengenai perbuatan yang seharusnya dilakukan. Perubahan hukum formal, dapat dilihat dari segi yang berhubungan dengan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh hukum, menyangkut pengertian hukum sebagai sarana pengintegrasian, yang kemudian lebih dijabarkan lagi ke dalam fungsinya yang berlainan seperti fungsi kontrol sosial. Dengan terjadinya perubahan-perubahan, hukum harus menjalankan usahanya sedemikian rupa


(42)

sehingga konflik-konflik serta kepincangan-kepincangan yang mungkin timbul, tidak mengganggu ketertiban serta produktivitas masyarakat6

Penyesuaian hukum terhadap perubahan sosial sudah dianggap suatu hak yang tidak perlu diragukan lagi, namun apabila kita dihadapkan pada peranan hukum melakukan kontrol sosial, masih dipertanyakan mengenai kemampuan hukum untuk menjalankan perannya yang demikian itu; karena hukum sebagai sarana kontrol sosial dihadapkan pada persoalan bagaimana menciptakan perubahan dalam masyarakat sehinga mampu mengikuti perubahan yang sedang terjadi7

Perubahan terhadap hukum dapat dilakukan melalui pembangunan hukum, yang bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaharui hukum positip sendiri sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada perkembangan mutakhir; dan sebagai usaha untuk memfungsionalkan hukum dalam masa pembangunan, yaitu dengan cara turut mengadakan perubahan sosial sebagaimana dibutuhkan oleh suatu masyarakat yang sedang membangun.

B. Perlindungan Hukum terhadap Anak

Pengertian dan batasan umur mengenai anak menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang usia yang dikategorikan sebagai anak yang antara lain sebagai berikut:

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

6

Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung. 1996. hlm. 51 7

Badra Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra . Aditya Bakti. Bandung.. 2002. Hlm. 16


(43)

Pasal 287 Ayat (1) KUHP menyatakan bahwa usia yang dikategorikan sebagai anak adalah seseorang yang belum mencapai lima belas tahun.

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Pasal 1 angka (2) menyatakan anak adalah seorang yang belum mencapai batas usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Pasal 1 angka (1) menyatakan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin

4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal angka (5) menyebutkan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pasal 1 angka (1), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menjelaskan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).


(44)

Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang melakukan tindak pidana, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan itu harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.

Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas yaitu: 1) Nondiskriminasi;


(45)

3) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; 4) Penghargaan terhadap pendapat anak.

Upaya pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, memerlukan peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.

Menurut Pasal 66 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan melalui:

a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1).


(46)

Hak-hak anak di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, adalah sebagai berikut:

(a) Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).

(b) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5).

(c) Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua (Pasal 6).

(d) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku [Pasal 7 Ayat (1) dan (2)].

(e) Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8).

(f) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Khusus bagi anak penyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus [Pasal 9 Ayat (1) dan (2)].


(47)

(g) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10).

(h) Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal 11). (i) Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan

sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12).

(j) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. Setiap orang yang melakukan segala bentuk perlakuan itu dikenakan pemberatan hukuman [Pasal 13 Ayat (1) dan (2)]. (k) Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada

alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir (Pasal 14).

(l) Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik; pelibatan dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam kerusuhan sosial; pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan pelibatan dalam peperangan (Pasal 15).


(48)

(m)Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir [Pasal 16 Ayat (1), (2) dan (3)].

(n) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan [Pasal 17 Ayat (1) dan (2)].

(o) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18).

Setiap anak berkewajiban untuk menghormati orang tua, wali, dan guru; mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; mencintai tanah air, bangsa, dan negara; menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan melaksanakan etika dan akhlak yang mulia (Pasal 19).

Perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana merupakan perwujudan dari pemenuhan hak-hak anak dalam konteks sistem peradilan pidana anak. Hak-hak anak yang menjadi sorotan utama dalam proses ini adalah sebagai berikut; sebagai tersangka, hak-hak yang diperoleh sebagai tindakan perlindungan


(49)

terhadap tindakan yang merugikan (fisik, psikologis dan kekerasan), hak untuk yang dilayani kerena penderitaan fisik, mental, dan sosial atau penyimpangan perilaku sosial; hak didahulukan dalam proses pemeriksaan, penerimaan laporan, pengaduan dan tindakan lanjutan dari proses pemeriksaan; hak untuk dilindungi dari bentuk-bentuk ancaman kekerasan dari akibat laporan dan pengaduan yang diberikan.

Hak-hak anak dalam proses penuntutan, meliputi sebagai berikut: menetapkan masa tahanan anak cuma pada sudut urgensi pemeriksaan, membuat dakwaan yang dimengerti anak, secepatnya melimpahkan perkara ke Pengadilan, melaksanakan ketetapan hakim dengan jiwa dan semangat pembinaan atau mengadakan rehabilitasi. Hak-hak anak pada saat pemeriksaan di Kejaksaan sebagai berikut; hak untuk mendapatkan keringanan masa/ waktu penahanan, hakuntuk mengganti status penahanan dari penahanan Rutan (Rumah Tahanan Negara) menjadi tahanan rumah atau tahanan kota, hak untuk mendapatkan perlindungan dari ancaman, penganiayaan, pemerasan dari pihak yang beracara, hak untuk mendapatkan fasilitas dalam rangka pemerisaan dan penuntutan, hak untuk didampingi oleh penasehat hukum.

Hak-hak anak dalam proses persidangan antara lain adalah; hak untuk memperoleh pemberitahuan datang kesidang pengadilan (Pasal 145 KUHAP), hak untuk menerima surat penggilan guna menghadiri sidang pengadilan (Pasal 146 Ayat (1) KUHAP), hak untuk memperoleh apa yang didakwakan (Pasal 51 hurub b KUHAP), hak untuk mendapatkan juru bahasa atau penerjemah (Pasal 53, Pasal


(50)

177, Pasal 165 Ayat (4) KUHAP), hak untuk mengusahakan atau mengajukan saksi (Pasal 65 dan Pasal 165 Ayat (4) KUHAP).

Hak anak selama persidangan, masih dibedakan lagi dalam kedudukannya sebagai pelaku, korban dan sebagai saksi. Hak anak selama persidangan dalam kedudukannya sebagai pelaku:

a. Hak mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan kasusnya. b. Hak untuk mendapatkan pendamping dan penasihat selama persidangan. c. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan

mengenai dirinya.

d. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja.

e. Hak untuk menyatakan pendapat.

f. Hak untuk memohon ganti kerugian atas perlakuan yang menimbulkan penderitaan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

g. Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan/penghukuman yang positif, yang masih mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya.

h. Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya.

C. Pemidanaan

Pengertian sistem pemidanaan dapat mencakup pengertian yang sangat luas. L.H.C. Hulsman pernah mengemukakan, bahwa sistem pemidanaan (the


(51)

sanksi pidana dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanction and punishment). Apabila pengertian pemidanaan diatikan secara luas sebagai suatu proses pemberiaan atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukunn pidana itu ditegakkan atau dioperasionalasasikan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana substantif, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.8

Bertolak dari pengertian di atas, maka apabila aturan perundang-undangan (the statutory rules) dibatasi pada hukum pidana substantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP baik berupa aturan umum maupun aturan khusus tentang perumusan tindak pidana, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan. Istilah “hukuman

“yang berasal dari kata straf dan istilah "dihukum" yang berasal dari perkataan "wordt gestraft" yang menurut Mulyatno merapakan istilah-istilah yang konvensional. Terhadap istilah ini beliau tidak setuju dan digunakan istilah yang inkonvensional yaitu “pidana” untuk kata straf dan "diancam dengan pidana" untuk kata word gestraft karena kalau straf diartikan hukuman, maka strafrecht

akan mempunyai hukum-hukuman. Dihukum berarti diterapi hukum baik hukum perdata, maupun hukum pidana. Hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang mempunyai arti lebih Was daripada pidana, sebab dalam hal ini

8

Erna Dewi. Sistem Minimum Khusus dalam Tindak Pidana, Sebagai Salah Satu Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Pustaka Magister Semarang. 2013. hlm. 13


(52)

tercakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata.9

Sudarto menyatakan, bahwa "penghukuman" berasal dari kata dasar "hukum" atau "memutuskan tentang hukumnya" (berechten). "Menetapkan hukum" untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata.Iistilah "penghukuman" dapat dipersempit artinya, vakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan

“pemidanaan" atau "pemberian/penjatuhan pidana" oleh hakim. Penghukuman

dalam arti yang demikian menurut Sudarto, mempunyai makna sama dengan

sentence conditionally atau voorwaardelijk veroordeld yang sama artinya dengan dihukum bersyarat. Akhirnya dikemukakan Sudarto, bahwa istilah "hukuman" kadang-kadang digunakan untuk pengganti perkataan straf namun menurut beliau istilah "pidana" lebih baik daripada "hukuman"10

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukannya11

Sistem hukum Indonesia mengatur bahwa hukuman atau pidana yang dijatuhkan dan perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana harus lebih dahulu tercantum

9

Ibid. hlm. 14

10

Ibid. hlm. 14

11

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 14.


(53)

dalam undang-undang pidana. Hal ini sesuai dengan asas yang disebut dengan istilah "nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali", yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, terdapat perbedaan istilah hukuman dan pidana, karena suatu pidana harus berdasarkan undang-undang (pidana), sedangkan hukuman lebih luas pengertianya, karena dalam pengertian hukuman di dalamnya termasuk keseluruhan norma, baik norma kepatutan, kesopanan, kesusilaan, dan kebiasaan, walaupun demikian kedua istilah itu tetap mempunyai persamaan, yaitu sama-sama berlatar belakang pada tata nilai (value), baik dan tidak baik, sopan dan tidak sopan, diperbolehkan dan dilarang dan seterusnya.12

Seorang yang dijatuhi pidana atau si terpidana ialah orang yang bersalah atau melanggar suatu peraturan hukum pidana, tetapi mungkin juga seorang dihukum karena melakukan suatu perbuatan yang melanggar suatu ketentuan yang bukan hukum pidana, misalnya hukum administrasi sehingga dihukum dengan hukuman pemecatan dari suatu status (pegawai negeri). Ini berarti merupakan suatu nestapa yang jauh lebih berat daripada pidana yang dijatuhkan karena melanggar hukum pidana, misalnya yang berbentuk pidana denda atau pidana bersyarat yang berbentuk denda atau pidana bersyarat yang pada umumnya bcrarti siterpidana tidak akan merasakan kehidupan dalam tembok penjara. Dengan demikian pidana itu berkaitan erat dengan hukum pidana.Hukum pidana itu sendiri merupakan suatu bagian dari tata hukum. Karena sifatnya yang mengandung sanksi istimewa seperti disebutkan di atas, maka sering hukum pidana disebut sebagai hukum sanksi istimewa.

12

Erna Dewi. Op cit. hlm.14-15


(54)

Mengenai siapakah yang berhak menjatuhkan pidana, umumnya para sarjana hukum telah sependapat bahwa negara atau pemerintahlah yang berhak memidana atau yang memegang ius puniendi itu, tetapi yang dipermasalahkan dalam hal ini adalah apa yang menjadi alasan sehingga negara atau pemerintah yang berhak memidana.

Menurut Beysens, Negara atau pemerintah berhak memidana karena:

a. Sudah menjadi kodrat alam negara itu bertujuan dan berkewajiban mempertahankan tata tertib masyarakat atau ketertiban negara.

b. Pidana yang dijatuhkan itu bersifat pembalasan kepada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela.

c. Pidana yang dijatuhkan itu tidak boleh bersifat balas dendam, tetapi bersifat obyektif dengan cara memberikan kerugian kepada seseorang karena perbuataan melanggar yang dilakukannya dengan sukarela dan dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.13

Hukum pidana adalah merupakan hukum sanksi yang istimewa atau yang dikatakan oleh Sudarto, bahwa hukum pidana merupakan sistem sanksi yang negatif. Hukum pidana diterapkan jika sarana (upaya) lain, sudah tidak memadai, maka hukum pidana dikatakan mempunyai fungsi yang subsidiair. Hakekat, makna, tujuan serta ukuran dari penderitaan pidana yang patut diterima, menurut' Leo Polak merupakan problema yang tidak terpecahkan. Terhadap pendapat Leo Polak itu, Sudarto menegaskan, bahwa sejarah dari hukum pidana pada

13

Ibid. hlm.16


(55)

hakekatnya merupakan sejarah pidana dan pemidanaan. Pidana termasuk juga tindakan (maatregel, masznahme), bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh yang dikenai. Oleh karena itu orang tidak pernah ada henti-hentinya untuk mencari dasar, hakekat dan tujuan pidana dan pemidanaan, untuk memberikan pembenaran dari pidana itu sendiri.14

Bonger misalkan mengatakan pidana adalah mengenakan suatu penderitaan, karena orang itu telah melakukan suatu perbuatan yang merugikan masyarakat. Ini sama dengan pendapat Roeslan Saleh yang mengatakan, bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu. Tujuan pidana itu menurut Plato dan Aristoteles, bahwa pidana itu dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat, tetapi agar jangan diperbuat kejahatan, hal ini merupakan suatu kenyataan bahwa hukum pidana bersifat preventif atau pencegahan agar tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran. Begitu juga Herbert L. Packer berpendapat bahwa tingkatan atau derajad ketidak-enakan atau kekejaman bukanlah ciri yang membedakan antara

punishment dan treatment. 15

Perbedaannya harus dilihat dari tujuannya,seberapa jauh peranan dari perbuatan si pelaku terhadap adanya pidana atau tindakan perlakuan. Menurut H.L. Packer, tujuan utama dari treatment adalah untuk memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan. Fokusnya bukan pada perbuatannya yang telah lalu atau yang akan datang, akan tetapi pada tujuan untuk memberikan

14

Ibid. hlm.16 15

Ibid. hlm.17


(1)

60

berkenaan dengan saksi. Tidak sedikit kasus yang pembuktiannya sulit dilakukan karena ketiadaan saksi. Saksi merupakan unsur penting dalam pembuktian suatu proses peradilan pidana. Hal ini juga berlaku terhadap korban yang seringkali pula menjadi saksi dalam persidangan. Begitu banyak kasus tindak pidana yang tidak terungkap dengan berbagai alasan seperti tidak adanya saksi, saksi ataupun korban yang mengurungkan niatnya untuk memberikan kesaksian karena takut akan keselamatan dirinya ataupun keluarganya, saksi pelapor yang justru menjadi tersangka dengan tuduhan tindak pidana pencemaran nama baik. Lemahnya perlindungan terhadap saksi dan korban mengakibatkan semakin menjamurnya pelanggaran terhadap hukum di Indonesia. Inilah mengapa jaminan perlindungan saksi dan korban sangatlah penting untuk diatur secara khusus mengingat contoh-contoh kasus yang telah terjadi. 28

28


(2)

IV. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah pidana minimal khusus terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak pada perkara nomor 168/Pid.B/2013/PN.TK terdiri dari hal yang memberatkan dan meringkankan. Hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa mengakibatkan korban kehilangan kesucian. Hal-hal yang meringankan, yaitu terdakwa mengakui perbuatannya, telah melakukan perdamaian dengan korban dan keluarganya dan sopan dalam persidangan. Atas hal-hal tersebut maka Majelis Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Maesa Andika Setiawan alias Dika Bin Suprapto dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan penjara dan denda sebesar Rp.60.000.000 (enampuluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu bulan).

2. Kekuatan hukum putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah minimal khusus terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak pada perkara nomor 168/Pid.B/2013/PN.TK adalah putusan hakim memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat, sebagai putusan pengadilan tingkat pertama yang diajukan banding dan dikuatkan oleh pengadilan tingkat banding yang


(3)

108

tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hakim disarankan untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak dibawah umur sesuai dengan tuntutan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum, karena pada dasarnya tuntutan tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi anak sebagai korban pencabulan sesuai dengan asas legalitas. Meskipun kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan dilindingu undang-undang, namun hendaknya putusan selaras dengan tuntutan JPU, sehingga tidak menjadi yurisprudensi bagi hakim lainnya dalam menjatuhkan pidana minimal kepada pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur.

2. Orang tua dan masyarakat luas pada umumnya, hendaknya semakin meningkatkan pengawasan dan kontrol terhadap lingkungan dan tempat bermain anak, hal ini penting dilakukan guna mengantisipasi potensi terjadinya tindak pidana pencabulan yang mengancam anak-anak. Kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat hendaknya semakin intensif melakukan pembinaan kepada warga masyarakat untuk dapat meminimalisasi potensi terjadinya tindak pidana pencabulan yang mungkin dapat terjadi di lingkungan masyarakat setempat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arivia, Gadis. 2005. Potret Buram Eksploitasi Kekerasan Seksual pada Anak. Ford Foundation. Jakarta.

Atmasasmita, Romli. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi,

Mandar Maju, Bandung.

Chazawi, Adami. 2005. Tindak pidanaMengenai Kesopanan, Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Dewi, Erna. 2013. Sistem Minimum Khusus dalam Tindak Pidana, Sebagai Salah

Satu Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Pustaka Magister Semarang

Gosita, Arief. 2001, Masalah Korban Kejahatan, Pressindo, Jakarta.

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

---, 2001. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.

Hadjon, Phillipus M. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya.

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta. 1998.

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Adityta Bakti, Bandung.

Marpaung, Leden. 2004. Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya Sinar Grafika, Jakarta.

Moeljatno, 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993.

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang. 1997.

Nawawi Arief, Barda. 2003. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra . Aditya Bakti. Bandung.


(5)

Rahardjo, Satjipto. 1996. Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial

dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Rajawali. Jakarta.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana IndonesiaMelihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta.

Savitri, Primautama Dyah. 2006. Benang Merah Tindak Pidana Pelecehan Seksual. Penerbit Yayasan Obor. Jakarta

Santosa, Topo. 1997. Seksualitas dan Hukum Pidana, IND-HILL-CO, Jakarta. 1997.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. ---. 1986. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka

Cipta. Jakarta.

Sudarto. 1984. Himpunan Kuliah Perbandingan Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

………., 2000..Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Zulfa, Eva Achjani. Keadilan Restoratif di Indonesia, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan AnakUndang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


(6)

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan


Dokumen yang terkait

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Studi Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK)

0 20 70

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA INCEST (Studi Putusan No.24/Pid.B/2012/PN.KLD)

3 21 44

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR: 30/PID/2013/PT.TK)

0 16 59

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERBANKAN DALAM PERKARA NOMOR: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK

0 4 60

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA DI BAWAH PIDANA MINIMAL KHUSUS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN TERHADAP ANAK (Studi Perkara Nomor: 168/Pid.B/2013/PN.TK)

0 7 78

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENCABULAN TERHADAP ANAK (Studi Putusan Nomor: 66/Pid/2013/PT.TK)

0 0 12

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT (STUDI KASUS PUTUSAN NO.30/PID/2013/PT.TK)

0 2 11

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERUSAKAN (Studi Perkara Nomor: 892/Pid.B/2014/PN.Tjk.)

0 1 15

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (Studi Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk)

0 1 15

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PROYEK PELEBARAN JALAN (Studi Perkara Nomor 15Pid.Sus.TPK2015PN.Tjk.) (Jurnal Skripsi)

0 2 14