Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-ukuran seperti tingkat kehidupan levels of living, pemenuhan kebutuhan pokok basic needs fulfillment, kualitas
hidup quality of life, dan pembangunan manusia human development. Dari beberapa defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan sosial adalah
berbagai usaha yang dikembangkan untuk meningkatkan taraf hidup manusia, baik secara fisik, mental, emosional, sosial, ekonomi, dan kehidupan spiritual agar
terwujud kehidupan yang layak dan bermartabat.
2.6. Regulasi dan Kontrol terhadap Relasi Kerja Subkontrak
Hubungan sub kontrak diatur didalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana dalam pasal 64 ditegaskan, “Perusahaan dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa buruh yang dibuat secara
tertulis”. Dengan demikian, pada pola relasi yang terbentur dalam kasus, sub kontraktor adalah “pemborong pekerjaan” dan sekaligus juga dapat dikategorikan
sebagai agen penyedia buruh murah. Selain dikategorikan sebagai hubungan pemborongan-pekerjaan dan
penyediaan jasa pekerja, relasi antara principal dan subkontraktor dalam kasus dapat disebut juga sebagai hubungan kerja atau hubungan buruh-majikan. Relasi kerja,
menurut KUHPa buku III bab 7A, didefinisikan sebagai hubungan orang yang bekerja pada pihak lain yang menerima upah dari pihak lain itu.
Hal lain dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang harus mendapat perhatian sehubungan dengan “relasi buruh-majikan informal” adalah
pasal 63 ayat 1 dan 2. Isi pasal ini membolehkan perjanjian paruh waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, dan memberikan alternatif bagi pengusaha, termasuk
Universitas Sumatera Utara
pengusaha besar untuk membuat surat pengangkatan bagi buruh sebagai pengganti surat perjanjian kerja. Surat pengangkatan ini akan sangat merugikan buruh karena:
pertama, didalamnya tidak tercantum secara tegas hak dan kewajiban bagi pengusaha maupun buruh. Surat pengangkatan hanya menegaskan identitas buruh, jenis
pekerjaan, dan besar upah ketika pertama kali mulai bekerja. Regulasi yang memandang usaha-usaha kecil subkontraktor sebagai usaha
kecil independen mungkin harus ditinjau kembali karena berimplikasi terhadap kelangsungan relasi antara principal dan subkontraktol. Maksudnya adalah relasi ini
hanya di pandang sebagai “kerjasama yang setara” antara dua pengusaha independen.
Jika hal ini terus berlangsung, maka kaum buruh dalam pabrik subkontraktor “yang berlandaskan relasi informal” akan terus berada dalam kondisi “ada” exist.
Pola relasi sosial dan produksi yang terbangun dalam hubungan informal ini memberikan jaminan secara sosial-ekonomi bagi para buruh dan subkontraktor untuk
tetap memperoleh pekerjaan, dengan berbagai aturan atau kedisiplinan yang relatif lebih longgar dibandingkan dengan hubungan formal pada usaha-usaha besar. Oleh
karena itu, kondisi yang di pandang timpang dari sudut pandang ekonomi, dalam hal pertukaran sumber daya dan distribusi keuntungan, justru di pandang sebagai hal
yang wajar dan tidak bisa diubah oleh buruh. Kondisi timpang tersebut dianggap setara dengan jaminan ekonomi yang mereka terima dari subkontraktor. Hal ini yang
menyebabkan ketidak puasan buruh tidak pernah pecah menjadi perselisihan terbuka. Kestabilan hubungan antara subkontraktor dan buruh-buruhnya berdasarkan
pada hubungan ketergantungan sosial-ekonomi satu dan lainnya. Hubungan dianatara mereka berdasarkan pada kewajiban dan interaksi timbale-balik. Dimensi hubungan
kekuasaan power relation yang terkandung dalam relasi buruh-majikan dapat dikategorikan sebagai hubungan patron-client.
Universitas Sumatera Utara
Majikan sebagai patron memberikan jaminan sosial-ekonomi dan buruh sebagai client memberikan pengabdian. Mengacu pada scott, apabila client dapat
membatalkan hubungan dengan patron-nya, maka hubungan kekuasaan diantara keduanya relatif berimbang. Hal ini terjadi pada buruh yang bukan kerabat.
Sebaliknya, bagi buruh yang memiliki ikatan kekerabatan sulit untuk memutuskan hubungan tersebut. Artinya, hubungan kekuasaan antara subkontraktor dengan buruh
yang memiliki hubungan kekerabatan relatif tidak berimbang. Kemudian juga, tradisi hubungan patron-client dalam kerangka relasi buruh-majikan di dalam struktur
desentralisasi produksi, merupakan kondisi yang justru menguatkan mekanisme. Meskipun demikian, kedekatan hubungan antar buruh seperti ini merupakan
modal sosial untuk kelangsungan hidup buruh tersebut. Komunitas sebagai social savety net selalu menjadi andalan individu maupun kelompok miskin. Ada berbagai
istilah untuk menunjukkan jaminan sosial-ekonomi jenis ini, yaitu coping strategies, coping mechanism, dan jaminan sosial informaltradisional.
Untuk kepentingan praktis, ruang lingkup strategi dan mekanisme bertahan secara sederhana dapat dibedakan atas empat kelompok Cook, dkk: 2003 yakni :
1. Penilaian terhadap strategi produksi yaitu penilaian yang menyangkut pemanfaatan berbagai sumber daya, baik sumber dana, tenaga dan sumber sarana
sehingga bisa meningkatkan pendapatan para buruh dalam meningkatkan kesejahteraannhya.
2. Penilaian terhadap strategi konsumsi yaitu penilaian yang lebih dititikberatkan pada pengurangan pengeluaran untuk konsumsi secara kualitas dan
kuantitas, apakah sesuai dengan kebutuhan yang telah direncanakan atau tidak. 3. Penilaian terhadap strategi relasijaringan yaitu penilaian terhadap
pengembangan jaringan sosial yang dekat atau sumber daya eksternal, yaitu
Universitas Sumatera Utara
komunitas-komunitas yang terdiri dari kerabat, teman dan tetangga serta organisasi non-pemerintah dan organisasi pemerintah.
4. Penilaian terhadap pengaruh impact, yaitu penilaian yang mencakup dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan suatu strategi.
Semua konsep ruang lingkup strategi dan mekanisme bertahan yang telah dipaparkan diatas bertujuan untuk menghadapi kesulitan ekonomi buruh di
Indonesia.
2.7. Peranan Pemerintah dalam Mengatur Ketenagakerjaan Pemerintah