BAB 5 PEMBAHASAN
Penelitian eksperimental laboratorium secara in vitro mengenai ekstrak kulit buah manggis terhadap Enterococcus faecalis adalah untuk membuktikan bahwa
ekstrak kulit buah manggis memiliki efek antibakteri dalam hal menghambat pertumbuhan Enterococcus faecalis. Ekstraksi kulit buah manggis dilakukan dengan
menggunakan pelarut etanol. Pelarut etanol diketahui lebih aman tidak bersifat toksik dibandingkan dengan menggunakan pelarut metanol. Pada penelitian ini,
digunakan etanol 70 sebagai pelarut dikarenakan pelarut ini sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal, di mana bahan pengotor hanya dalam
skala kecil turut dalam cairan pengektraksi.
31
Kulit buah manggis yang dipakai berasal dari buah manggis yang masih segar, bertujuan untuk menghindari rusaknya
kandungan zat akibat proses enzimatis. Kulit buah manggis yang dipergunakan sebanyak 1000 gram dan diperoleh simplisia 300 gram yang disesuaikan dengan
kapasitas perkolator untuk sekitar 300-400 gram simplisia dan dilarutkan dengan etanol 70.
Kulit buah manggis terlebih dahulu diiris kecil dengan tujuan untuk mempercepat proses maserasi. Untuk menghindari terjadinya pembusukan, buah
dengan kadar air yang tinggi terlebih dahulu harus dikeringkan dalam lemari
pengering. Irisan kering kulit buah manggis kemudian dihaluskan hingga menjadi
serbuk yang disebut simplisia lalu dimaserasi selama 3 jam dengan pelarut etanol. Metode ekstraksi yang dipilih adalah maserasi, alasannya karena pelaksanaannya
sederhana serta untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penguraian zat aktif yang
terkandung dalam kulit buah manggis oleh pengaruh suhu, karena dalam maserasi
tidak ada proses pemanasan. Tujuan maserasi adalah untuk memberi kesempatan pada simplisia untuk berdifusi ke dalam pelarut. Kemudian diperkolasi hingga
diperoleh 3,5 liter maserat cair, yang akan dilakukan penguapan menggunakan Vaccum Rotary Evaporator yang bekerja dengan menurunkan tekanan udara dari
tekanan udara luar menjadi 1 ATM, sehingga tekanan uap pelarut serta titik didih pelarut menurun. Penurunan tekanan akan berbanding lurus dengan penurunan
temperatur sehingga menghindari terjadinya penguraian kandungan kimia yang diekstraksi.
18,20
Berdasarkan penelitian Furukawa et al 1996 dan Chen et al 2008 yang membandingkan efek antibakteri dari bagian-bagian dari buah manggis yaitu kulit,
daging buah dan daun manggis maka hasil dari penelitian ini diketahui bahwa kulit buah manggis mempunyai efek antibakteri yang lebih tinggi dibandingkan dengan
daging buah dan daun.
21
Dalam hal ini, senyawa aktif kulit buah manggis yang berkhasiat sebagai antibakteri adalah saponin, flavonoid, alkaloid, dan tanin. Saponin merupakan zat
aktif yang dapat meningkatkan permeabilitas membran sehingga terjadi hemolisis sel, apabila saponin berinteraksi dengan sel bakteri, bakteri tersebut akan pecah atau lisis.
Flavonoid merupakan kelompok senyawa fenol yang mempunyai kecenderungan untuk mengikat protein, sehingga mengganggu proses metabolisme. Mekanisme kerja
alkaloid dihubungkan dengan kemampuan alkaloid untuk berikatan dengan DNA sel, sehingga mengganggu fungsi sel diikuti dengan pecahnya sel dan diakhiri dengan
kematian sel. Tanin dalam konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan pada konsentrasi tinggi, tanin bekerja sebagai antibakteri dengan
cara mengkoagulasi atau menggumpalkan protoplasma bakteri sehingga terbentuk ikatan yang stabil dengan protein bakteri dan pada saluran pencernaan, tanin
diketahui mampu mengeliminasi toksin.
18,19,29
Dengan mekanisme di atas diduga ekstrak kulit buah manggis mampu membuat sel bakteri menjadi lisis dan mati.
Pengujian efek antibakteri dilakukan dengan metode dilusi, pengenceran agar dalam gelas petri, dengan mengetahui nilai KHM Kadar Hambat Minimum yaitu
mengamati perubahan kekeruhan yang terjadi pada suspensi yang telah diinkubasi 37
C selama 24 jam dan nilai KBM Kadar Bunuh Minimum dari bahan coba dengan perhitungan jumlah koloni yang terbentuk. Sesuai dengan media pembenihan
yang dipergunakan, yaitu MHA Mueller Hinton Agar, maka bakteri Enterococcus faecalis yang diinkubasi selama 24 jam akan tumbuh maksimal. Dengan metode ini
bahan coba dapat berkontak langsung dengan mikroorganisme, sehingga hasil yang diperoleh lebih akurat. Pada penelitian ini, menggunakan metode dilusi pengenceran
ganda yang besarnya setengah dari konsentrasi awal yaitu konsentrasi 100, 50, 25, 12,5, 6,25 dan 3,125. Setiap konsentrasi dilakukan replikasi 5 sampel
sehingga didapat jumlah sampel yang digunakan baik pada penentuan nilai KHM dan KBM masing – masing adalah 32 sampel. Jumlah sampel tersebut telah memenuhi
standar penelitian yaitu 25 sampel. Penentuan konsentrasi tersebut disesuaikan berdasarkan standard konsentrasi pengujian antibakteri yang ada di laboratorium
Tropical Disease , UNAIR. Pengujian dimulai dari konsentrasi terbesar yaitu 100, kemudian dilakukan pengenceran ganda hingga pada konsentrasi 3,125.
Penentuan nilai KHM dilihat dari konsentrasi minimal bahan coba yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri setelah diinkubasi 24 jam yang dapat
dilihat secara makroskopik dari hasil biakan pada tabung yang mulai tampak jernih dengan menggunakan metode dilusi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari
semua konsentrasi bahan coba yang diuji ternyata tidak dapat terlihat larutan yang mulai tampak jernih. Hal ini diduga akibat ekstrak kulit buah manggis itu sendiri
berwarna kuning kecoklatan sehingga ketika disuspensikan dengan bakteri, bahan coba berwarna kuning keruh dan setelah diinkubasi selama 24 jam, bahan coba tetap
berwarna kuning keruh atau tidak mengalami perubahan dengan warna sebelumnya. Oleh karena itu, semua konsentrasi berwarna keruh dan dianggap tidak representatif
untuk dicari nilai KHM. Untuk itu, dilanjutkan dengan pengujian nilai KBM. Efek antibakteri dari ekstrak etanol kulit buah manggis dengan konsentrasi
100 sangat kental terhadap Enterococcus faecalis akan secara langsung membunuh bakteri karena tingginya konsentrasi antibakteri yang terkandung di
dalamnya. Demikian juga yang terjadi pada konsentrasi 50, 25, 12,5 6,25 dan 3,125 tidak ditemui pertumbuhan bakteri media steril dengan jumlah koloni
senilai 0 CFUml. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai KHM dan KBM tidak diketahui
karena rentang konsentrasi pada penelitian ini terlalu tinggi dimana masih belum didapatkan nilai konsentrasi yang paling minimal yang dapat membunuh bakteri
sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan memperkecil rentang konsentrasi bahan coba sehingga nilai KBM dapat diketahui. Tetapi pada penelitian ini,
konsentrasi minimal ekstrak etanol kulit buah manggis yang dapat membunuh bakteri adalah pada konsentrasi 3,125 dengan nilai 0 CFUml dimana tidak dijumpai
adanya pertumbuhan bakteri atau seluruh bakteri mati pada media perbenihan. Penelitian yang dilakukan oleh Atika 2012 menunjukkan bahwa ekstrak
pegagan terhadap bakteri Enterococcus faecalis diperoleh nilai KBM 15 dan penelitian Risya 2010 menunjukkan ekstrak lerak terhadap bakteri Enterococcus
faecalis diperoleh nilai KBM 25 sedangkan pada penelitian ini, konsentrasi minimal ekstrak kulit manggis terhadap bakteri Enterococcus faecalis diperoleh
konsentrasi minimal yang dapat membunuh bakteri adalah 3,125. Perbedaan konsentrasi dari ketiga penelitian ini diduga karena perbedaan kadar kandungan zat
aktif antibakteri dari masing-masing ekstrak bahan coba.
36,37
Penelitian yang dilakukan oleh Torrungruang et al 2007 menunjukkan bahwa ekstrak etanol kulit buah manggis mempunyai efek antibakteri terhadap
Streptococcus mutans KPSK
2
dengan nilai KHM 6,25 dan KBM 12,5.
20
Sementara pada penelitian ini, pengujian efek antibakteri ekstrak etanol kulit buah manggis terhadap Enterococcus faecalis diperoleh konsentrasi minimal yang dapat
membunuh bakteri adalah 3,125. Perbedaan hasil dari dua penelitian tersebut kemungkinan karena perbedaan pada asal buah manggis dan pelarutnya.
Perbedaan asal buah manggis kemungkinan akan memberikan hasil uji yang berbeda pula. Hal ini disebabkan oleh keadaan geografis tanaman dari masing-masing
daerah sehingga kadar senyawa aktif yang terkandung, yaitu saponin, tanin, flavonoid dan alkaloid dalam kedua tanaman tidak sama antara satu dengan yang lain. Manggis
yang digunakan pada penelitian Torrungruang et al berasal dari Bangkok, Thailand sedangkan manggis pada penelitian ini berasal dari Medan, Indonesia.
20
Torrungruang et al menggunakan pelarut etil asetat sedangkan dalam penelitian ini menggunakan etanol 70. Dalam proses ekstraksi, hal utama yang
harus diperhatikan adalah pemilihan pelarut yang akan digunakan dalam proses ekstraksi. Khopkar 1990 dan Yunita 2004 menyatakan bahwa prinsip yang
mendasari pemilihan pelarut pada proses ekstraksi adalah kaidah “like dissolve like” yaitu pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, demikian juga sebaliknya pelarut
non-polar akan melarutkan senyawa non-polar dan pelarut organik akan melarutkan senyawa organik. Kandungan senyawa aktif dalam kulit buah manggis adalah
golongan fenol yang merupakan senyawa polar. Pelarut yang digunakan pada penelitian ini adalah etanol 70 yang merupakan senyawa polar sehingga dapat
menyari senyawa-senyawa aktif yang ada pada ekstrak kulit buah manggis. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Torrungruang et al menggunakan pelarut
etil asetat yang merupakan senyawa non polar yang lebih baik untuk mengekstrak senyawa-senyawa yang sama sekali tidak larut dalam pelarut polar sehingga diduga
zat-zat aktif dalam ekstrak kulit buah manggis pada penelitian Torrungruang et al tidak tertarik secara sempurna.
17,35,38
Berdasarkan uraian di atas, hasil penelitian secara in vitro ini membuktikan bahwa hipotesis penelitian ini diterima yaitu ada efek antibakteri ekstrak etanol kulit
buah manggis terhadap Enterococcus faecalis dengan konsentrasi minimal yang dapat membunuh bakteri 3,125 meskipun tidak dapat diuji secara statistik karena
disebabkan hasil yang diperoleh adalah 0. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian secara in vivo sebagai lanjutan penelitian ini sehingga bahan ini dapat digunakan
sebagai alternatif bahan medikamen saluran akar secara klinis. Adapun kekurangan dari peneliti yaitu penggunaan pelarut etanol 70 yang merupakan pelarut teknis
dimana bukan pelarut etanol 70 yang murni dan juga kesalahan peneliti dalam menentukan konsentrasi dengan rentang yang terlalu tinggi pada penelitian ini
sehingga nilai KHM dan KBM belum dapat diketahui.
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN