Permasalahan di Bidang Warisan

akibat perceraian kedua orang tuanya, juga si isteri perempuan jangan sampai terganggu jiwanya akibat perceraian yang dialaminya. Oleh karena itu pula, dalam perceraian harus diupayakan dilakukan proses perceraian secara damai, maksudnya bahwa dalam proses perceraian tersebut tidak ada perebutan hak asuh anak, dilakukan pembagian harta bersama secara adil, dan kedua orang tua juga harus rukun dan damai walau telah hidup berpisah tidak seperti ketika mereka belum bercerai, yang mana mereka selalu terlibat pertengkaran besar dan konflik yang berujung pada amarah, penyiksaan, kekerasan dan dendam serta tetap melakukan pengasuhan anak-anak dengan bersama-sama, walaupun mereka telah hidup berpisah setelah proses perceraian selesai.

3. Permasalahan di Bidang Warisan

Sengketa waris sering terjadi setelah pewaris wafat dan orang-orang tua kebanyakan juga sudah meninggal dunia. Penyebabnya adalah anggota masyarakat masa kini sudah lebih banyak dipengaruhi alam pikiran serba kebendaan materialistis sebagai akibat dari kemajuan zaman dan timbulnya banyak kebutuhan hidup mengakibatkan nilai-nilai, rasa malu, rasa kekeluargaaan dan tolong menolong sudah semakin surut. Apabila terjadi permasalahan harta warisan maka biasanya semua anggota keluarga pewaris almarhum berkumpul atau dikumpulkan oleh salah seorang anggota waris yang berwibawa bertempat di rumah pewaris. Pertemuan dapat dipimpin oleh anak tertua lelaki atau oleh paman saudara ayah atau saudara ibu Universitas Sumatera Utara menurut susunan kekerabatan bersangkutan ataupun oleh juru bicara yang ditunjuk dan disaetujui bersama para anggota keluarga yang hadir. 23 23 Hadikusuma Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung : Citra Jaya Bakti, 2003 h. 117 Hal yang sering terjadi dalam hal sengketa waris adalah timbulnya sengketa antaera janda pewaris, terhadap keluarga besar atau kerabat pewaris dalam hal ini ,mertua dan para ipar yang merasa bahwa keluarga besar atau kerabat si pewaris yang paling berhak terhadap harta perkawinan yang dihasilkan selama perkawinan antara pewaris dan isterinya, daripada si janda pewaris sendiri, aplagi bila selama perkawinan mereka si janda tidak memberikan keturunan bagi pewaris yang telah meninggal tersebut. Padahal kita ketahui bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan disebut sebagai harta bersama karena si janda turut andil dalam perolehan harta, walau ia tidak turut mencari, namun peran sertanya dalam perolehan harta bersama selama perkawinan tidak perlu dipertanyakan hingga janda pewaris yang paling berhak terhadap harta peninggalan tersebut daripada keluarga besar atau kerabat si pewaris sendiri. Hal tersebut didasarkan pada dasar hukum Undang-undang Perkawinan dan Jurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, yaitu Undang- undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 35 ayat 1 ji. Jurisprudensi Mahkamah Agung No.100 KSip1967, yang isinya sebagai berikut: a. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 passal 35 ayat 1: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama” Universitas Sumatera Utara b. Jurisprudensi Mahkamah Agung No.100 KSip1967: “Tidak dipersoalkan siapapun yang menghasilkan harta tersebut, selama harta tersebut diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, maka harta tersebut adalah harta bersama, kecuali diperjanjikan sebelumnya” Perceraian menimbulkan masalah terhadap anak-anak dan harta bersama. Pasal 37 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur masalah harta bersama apabila terjadi perceraian diatur menurut hukumnya masing-masing. Hukum masing-masing yaitu hukum adat, hukum agama dan hukum lainnya. Dalam masyarakat Batak Toba berlaku hukum adat, baik dalam memutuskan untuk perceraian maupun pembagian harta bersama. Di mana jika perceraian disebabkan karena kesalahan perempuan, maka pihak perempuan wajib membayar dua kali lipat dan tuhor yang diterima pihak perempuan, dan pihak perempuan tidak berhak menuntut pembagian harta bersama. Terjadinya perceraian menimbulkan masalah lain yaitu tentang harta bersama, di mana segala harta yang di dapat selama perkawinan berada dibawah kekuasaan suami, akan tetapi menyangkut harta bawaan tetap berada dalam kekuasaan masing-masing. Upaya untuk menyelesaikan pembagian harta bersama dilakukan dengan musyawarah keluarga, dan besarnya hak masing-masing menunjukkan tidak adanya keseimbangan, di mana hak suami lebih besar dari isteri. Salah satu saran yang diajukkan adalah dalam pembagian harta bersama sebaiknya dituangkan dalam akta otentik yang di buat oleh notaris. Universitas Sumatera Utara Permasalahan lainnya adalah timbulnya perebutan waris diantara keturunan pewaris terhadap harta yang ditinggalkan. Dalam tradisi adat Batak, dikampung halaman, tiap anak laki-laki yang menikah, akan didirikan di tanah adat mereka rumah tempat tinggal untk anak yang menikah tersebut agar anak tersebut mandiri dipajae, demikian seterusnya hal tersebut terjadi sejak anak pertama siakkangan menikah hingga pada adik-adiknya. Namun, untuk anak laki-laki paling kecil siampudan orang tua mereka tidak lagi mendirikan rumah untuk tempat tinggalnya karena rumah tempat tinggal mereka selama inilah yang kemudian diberikan untuk bagiannya panjaeannya dan dirumah tersebutlah kemudian ia tinggal, bersama dengan orang tuanya, sebelum orang tuanya meninggal, dan setelah orang tuanya meninggal maka rumah tersebut kemudian menjadi miliknya secara pribadi sebagaimana rumah lain yang didirikan orang tua mereka terhadap abang-abangnya tersebut sejak rumah tersebut didirikan orang tua untuk mereka masing-masing. Tradisi atau adat ini tetap diakui masyarakat Batak Toba hingga saat ini bahkan jika mereka kemudian merantau ke daerah lain yang bukan lagi berstatus tanah adat sebagaimana dikampung halaman. Hal tersebut kemudian memicu pertengkaran anak-anak pewaris. Dimana masing-masing merasa paling berhak atas harta peninggalan pewaris yang didirikan bukan lagi di tanah adat mereka, tidak lagi bernilai adat namun telah bernilai ekonomis, hingga harta tersebut harus dibagi sesuai bagian masing-masing bukun untuk dikuasai secara individu. hal lainnya adalah sengketa antara anak perempuan si pewaris terhadap saudara laki-lakinya serta keluarga besar atau kerabat si pewaris dalam hal ini adalah Universitas Sumatera Utara nenek maupun pamannya. Hal ini sering terjadi pada masyarakat batak dimanapun, karena system kekeluargaan masyarakat batak yang patrilineal menutup celah atau kemungkinan untuk anak perempuan memperoleh bagian hak waris dari orang tuanya. Hal tersebut dapat terjadi karena system kekeluargaan masyarakat Batak Toba yang patrilineal yang dirasa merugikan keberadaan perempuan baik si janda pewaris maupun anak perempuannya. Hal lainnya adalah bahwa budaya hukum dan sub budaya hukum masyarakat batak toba yang tidak member jaminan keadilan kepada perempuan. 24 Pemimpin berfungsi sebagai mediator atau penengah para pihak yang bearsengketa. Pemimpin mengemukakan permasalahan, didahului nasihat bagi Padahal sekarang ini telah ada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia MARI No.1589 KSip1961, tanggal 1 Nopember 1961 yang isinya : bahwa anak perempuan dan anak laki-laki adalah sama dengan bagian anak perempuan. Putusan Mahkamah Agung selanjutnya No. 415 KSip1970, tanggal 30 Juni 1970, No. 1589 KSip1974, tanggal 9 Pebruari 1974 dan No. 459 KSip1982 tanggal 15 Agustus 1982 yang menyatakan bahwa anak perempuan berhak mewaris atas harta peninggalan ayahnya. Sehingga dalam peristiwa ini, diadakan pertemuan para ahli waris dongan tubu, boru, hula-hula beserta pengetua adat yang cukup disegani dalam masyarakat mereka untuk memimpin pertemuan. 24 Sulistyowati irianto; Perempuan diantara Berbagai Pilihan Hukum, Jakarta ; Yayasan Obor Indonesia, 2005, h.292 Universitas Sumatera Utara para pihak betapa pentingnya kerukunan hidup dan kedamaian dalam hidup kekeluargaan. Pemimpin pertemuan juga harus mengupayakan agar seluruh pihak pada akhirnya berdamai dan pembagian waris dilakukan secara adil dan seluruh pihak baik anak laki maupun anak perempuan si pewaris dapat menerima bagian waris sesuai bagiannya masing-masing dan menikmati waris yang ditinggalkan oleh si pewaris, serta untuk selanjutnya dapat hidup dalam suasana perdamaian dan kekeluargaan yang erat sebagaimana sebelumnya.

B. Dalihan Natolu Sebagai Mediator Bagi Penyelesaian Permasalahan Dalam Perkawinan Adat Batak