Ideologi Upacara Melengkan Dalam Adat Perkawinan Masyarakat Gayo Takengon Aceh Tengah

(1)

IDEOLOGI UPACARA MELENGKAN DALAM ADAT

PERKAWINAN MASYARAKAT GAYO TAKENGON

ACEH TENGAH

TESIS

Oleh

M. ISA ANSARI NIM: 107009034/ LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

IDEOLOGI UPACARA MELENGKAN DALAM ADAT

PERKAWINAN MASYARAKAT GAYO TAKENGON

ACEH TENGAH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik pada Program Pascasarjana

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh

M. ISA ANSARI 107009034/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(3)

Judul Tesis : IDEOLOGI UPACARA MELENGKAN DALAM ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT GAYO TAKENGON ACEH TENGAH

Nama Mahasiswa : M. Isa Ansari Nomor Pokok : 107009034 Program Studi : Linguistik

Menyetujui, Komisi Pembimbing,

(Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D) (Dr. Nurlela, M.Hum)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D) (Dr. Syahron Lubis, M.A)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 7 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D Anggota :1. Dr. Nurlela, M.Hum

2. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D 3. Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A


(5)

PERNYATAAN

Judul Tesis

“IDEOLOGI UPACARA MELENGKAN DALAM ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT GAYO

TAKENGON ACEH TENGAH”

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah. Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini

bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Agustus 2014

Penulis,


(6)

IDEOLOGI UPACARA MELENGKAN DALAM ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT GAYO TAKENGON

ACEH TENGAH

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ideologi dalam upacara melengkan

adat perkawinan masyarakat Gayo Takengon Aceh Tengah. Kajian ini menggunakan teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) yang dikembangkan oleh Halliday. Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode makna antarpersona dalam perspektif LFS.Metode penelitian yang diaplikasikan adalah metode deskriptif yang memfokuskan kajian pada ciri-ciri atau fenomena bahasa yang digunakan dalam teks upacara melengkan secara sinkronis (synchronic). Temuan penelitian menunjukkan bahwa ideologi dalam teks upacara melengkan cenderung menekankan makna antarpersona ideologi dalam konteks agama, demokrasi (kekuasaan), dan sosial dan budaya. Ketiga makna ideologi tersebut direalisasikan oleh tiga jenis modus yaitu, deklaratif, interogatif dan imperatif. Dengan proporsi, modus deklaratif dalam konteks agama (67%), modus deklaratif dalam konteks demokrasi (39%), dan modus deklaratif dalam konteks sosial dan budaya (41%). Dengan pengertian bahwa penekanan makna antarpersona oleh penutur BG (pemelengkan) dalam konteks agama cenderung berdampak positif terhadap ajaran agama Islam pada masyarakat Gayo. Dengan demikian dalam kenyataannya penekanan makna antarpersona ideologi pada konteks agama (67%) yang menjadikan agama sebagai acuan yang dominan terhadap syariat Islam oleh masyarakat Gayo dalam setiap interaksi sosial. Sedangkan makna antarpersona dalam konteks sosial (41%) menunjukkan kecenderungan bahwa masyarakat Gayo adalah masyarakat yang cinta budaya sebagai warisan yang turun temurun (cultural heritage) dan makna antarpersona ideologi dalam konteks demokrasi adalah (39%), hal ini, menunjukkan bahwa masyarakat Gayo cenderung demokratis dan harmonis dalam setiap kegiatan sosial.


(7)

IDEOLOGY MELENGKAN SPEECH IN GAYO SOCIETY’S TRADITIONAL MARRIAGE OF CENTRAL ACEH

ABSTRACT

The objective of this research is aimed at describing an ideology in melengkan speech of Gayo society’s traditional marriage in central Aceh. The theories of this research apply Systemic Functional Linguistic (SFL) which is developed by Halliday. The method of analysis data in this research used the method of interpersonal meaning in the perspective of LFS. The method of research applied is a descriptive method which focused the study on the features of the language phenomena as found in the text of a melengkan speech in terms of synchronic. The findings showed that ideology which is found in the text of melengkan speech tends to emphasize the interpersonal meaning of ideology within the context of religion, democracy and social culture. In relation to the three types of meaning of ideology carried out in the text is realize by three types of mood, namely declarative, interrogative, and imperative. The proportion of the declarative mood within the context of religion (67%), within the context of democracy mood is realizing (39%), and within the context of social and culture mood is realize by (41%). Thus it means that, the emphasizing of interpersonal meaning of ideology by native speakers of Gayo language (pemelengkan) in the context of religion tends to be the positive effect on the teaching of Islam religion for the Gayo society. Therefore, in fact the interpersonal meaning is emphasized on ideology within the context of religion (67%), the religion is being the dominant reference of syariat Islam for the Gayo society in every activities of social interaction. Beside, the interpersonal meaning within the social context (41%) showing that the Gayo society love their culture as the cultural heritage and the interpersonal meaning of ideology within the context of democracy (39%) showing that the Gayo society tends to be democratic and harmonious in every social activities.


(8)

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpah rahmatNya dan ridhoNya, serta kekuatan, kesehatan, kesabaran, dan kemudahan yang telah diberikan kepada penulis, sehingga tesis ini pada akhirnya dapat diselesaikan dengan baik.

Dalam penyelesaian tesis ini, penulis menyadari bahwa banyak dukungan moral dan material dari berbagai pihak. Untuk itu penulis dengan rasa ikhlas menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H., M.Sc. (CTM), Sp.A. (K) sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah berkenan menerima penulis sebagai mahasiswa Program S-2 Linguistik di Sekolah Pascasarjana USU angkatan 2010.

2. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana USU, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti perkuliahan pada Program S-2 Linguistik, dan memberikan fasilitas kepada penulis dalam mengikuti perkuliahan di SPs USU.

3. Pemerintah dimana penulis sebagai penerima beasiswa BPPS dari Dikti Jakarta, sehingga penulis pada akhirnya dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Lingistik S-2 SPs USU.

4. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D dan Dr. Nurlela, M.Hum. sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Linguistik SPs USU dimana telah banyak memberikan inspirasi, motivasi serta dorongan dan pengarahan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penelitian tesis S-2 dengan baik.

5. Prof. Amrin Saragih, M.A, Ph.D sebagai Pembimbing-I dan Dr. Nurlela, M.Hum sebagai Pembimbing-II yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan serta pengarahan kepada penulis selama dalam proses pembimbingan dengan rasa ikhlas dan penuh kecermatan, sehingga hasil penelitian yang dituangkan dalam tesis ini dapat diselesaikan dengan hasil dan kualitas yang baik.


(9)

6. Dr. Nurlela, M.Hum sebagai dosen Pembimbing Akademis (PA) pada Program Studi S-2 Linguistik USU yang telah memberikan banyak inspirasi, dorongan serta motivasi, sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penelitian tesis dengan baik.

7. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D dan Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan berharga kepada penulis demi penyempurnaan isi dan kualitas dari tesis ini.

8. H. Bahdin Nur Tanjung, SE, M.M, mantan rektor UMSU serta Kopertis Wilayah-I Medan yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program S-2 Linguistik SPs USU.

9. Dra. Hj. Nur’ain Lubis, MAP, mantan Dekan Fakultas FKIP UMSU yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program S-2 Linguistik di SPs USU.

10.Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FKIP UMSU, Hj. Dewi Kesuma, S.S., M.Hum yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program S-2 di SPs USU.

11.Semua dosen Program S-2 Linguistik SPs USU yang secara ikhlas telah banyak memberikan informasi tentang perkembangan ilmu dan teknologi, khususnya dalam bidang ilmu bahasa (linguistik), sehingga dapat menambah wawasan akademik penulis dalam perkembangan dunia ilmu perlinguistikan dewasa ini.

12.Semua pegawai administrasi Sekolah Pascasarjana USU, Program Studi Lingustik (S-2) USU dan para pegawai perpustakaan USU, yang telah banyak memberikan kemudahan dan kelancaran kepada penulis dalam proses semua urusan penyelesaian tesis ini.

13.Teman-teman mahasiswa Program S-2 Linguistik SPs USU, angkatan 2010 yang secara akademis banyak memberikan motivasi dan dorongan serta masukan kepada penulis selama dalam proses perkuliahan.

14.Kedua orangtua penulis, ayahanda tercinta almarhum Urip Bin Lang dan almarhumah ibunda tercinta Ami Binti M.Ali dimana semasa hidupnya selalu


(10)

memberikan yang terbaik yaitu dorongan moril dan do’a untuk keberhasilan pendidikan. Penulis tetap mengenang dan mendoakan semoga jerih payah mereka amal dan ibadahnya dapat diterima disisi Allah SWT serta diampuni segala dosanya Amin Yarabbal Alamin, serta kedua mertua penulis almarhum Lahat dan Halimah, penulis haturkan penghargaan yang sama.

15.Istri tercinta Raodah yang telah memberikan dorongan dan dukungan serta doa kepada penulis dan juga kepada ketiga anak penulis yaitu Ahmad Putra Maharamiko, Ketiara Rezeki dan Rahmad Rizki Jadida untuk menyelesaikan pendidikan penulis Program Studi Linguistik S-2 di SPs USU.

16.Abangda tercinta beserta istri Dr. Zainuddin, M.Hum dan Dra.Hj. Surniati Chalid, M.Pd yang telah memberikan doa dan dorongan kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

17.Seluruh keluarga yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis, sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

Selanjutnya pada kesempatan ini juga penulis memohon maaf yang sebesar besarnya atas segala kekurangan dan kekhilafan kepada semua pihak yang mungkin terjadi selama mengikuti perkuliahan di Program S-2 SPs USU. Penulis menyadari bahwa tesis ini diakui masih memerlukan kesempurnaan dan kualitas yang lebih baik. Oleh sebab itu penulis mengharapkan masukan dan kritik yang konstruktif dari para pembaca demi untuk penyempurnaan tesis ini.

Akhirnya, semoga penelitian ini dapat menjadi rujukan untuk penelitian lanjutan dalam kajian bidang linguistik dan diharapkan juga bermanfaat bagi para pembaca dan peneliti.

Medan, Agustus 2014

M. Isa Ansari Nim: 107009034


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : M. Isa Ansari

Tempat/Tanggal Lahir : Ramasan, 05 Juni 1959 Agama : Islam

Status : Menikah

Pendidikan : 1. M.I.N, Remesen 1972 2. M Ts A I N, Takengon 1975 3. SMA Negeri 1, Takengon 1979

4. S1 Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, USU Medan 1988

5. Akta IV, Fakultas Ilmu Pendidikan, IKIP, Medan 1996

6. S2 Program Studi Linguistik, Fakultas Ilmu Bahasa, USU, Medan

Pekerjaan : Sejak Tahun 1990, Sampai Sekarang Dosen

Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan jurusan bahasa Inggris.


(12)

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR 1. Daftar Tabel

Tabel 2.1 : Protoaksi Ekspresi Bahasa ... 30 Tabel 2.2 : Realisasi Ekspresi Aksi (Modus) ... 30 Tabel 4.1 : Makna Antarpersona Ideologi Agama Dalam Teks

Upacara Melengkan ... 41 Tabel 4.2 : Makna Antarpersona Ideologi Demokrasi Dalam Teks

Upacara Melengkan ... 45 Tabel 4.3 : Makna Antarpersona Ideologi Sosial Dalam Teks

Upacara Melengkan ... 49 Tabel 4.4 : Makna Antarpersona Ideologi Agama

Dalam Teks Upacara Melengkan ... 54 Tabel 4.5 : Makna Antarpersona Ideologi Demokrasi

Dalam Teks Upacara Melengkan ... 59 Tabel 4.6 : Makna Antarpersona Ideologi Sosial

Dalam Teks Upacara Melengkan ... 63

2. Daftar Gambar


(13)

DAFTAR ARTI SINGKATAN, LAMBANG DAN ISTILAH

Singkatan

BG = Bahasa Gayo dkk = dan kawan-kawan KGI = Kamus Gayo Indonesia

LFS = Linguistik Fungsional Sistemik L.I = Lampiran I

L.II = Lampiran II L.III = Lampiran III L.IV = Lampiran IV mood = modus

NAD = Nanggroe Aceh Darussalam SAW = Shallallahu Alaihi Wasallam SWT = Subhanahu Wa Ta’ala

Lambang

% = Persentase ( ) = atau

Istilah

Aman Mayak = Pengantin Laki-laki Inen Mayak = Pengantin Perempuan Lexicogrammar = Tata bahasa

Melengkan = Pidato secara adat perkawinan

Modus = Realisasi ujaran (deklaratif, interogatif dan imperatif)

Protoaksi = Realisasi ujaran aksi awal (pernyataan, pertanyaan, perintah dan tawaran)


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : PETA LOKASI PENELITIAN ... 84 Lampiran II : TRANSKRIP TEKS NASKAH UPACARA MELENGKAN ... 85 Lampiran III : TRANSKRIP TEKS NASKAH UPACARA MELENGKAN ... 92


(15)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR ARTI SINGKATAN, LAMBANG DAN ISTILAH ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Batasan Masalah ... 11

1.5 Manfaat Penelitian ... 11

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 11

1.5.2 Manfaat Praktis ... 11

1.6 Definisi Istilah ... 12

1.6.1 Melengkan ... 12

1.6.2 Pemelengkan ... 12

1.6.3 Sarak Opat ... 12

1.6.4 Aman Mayak dan Inen Mayak ... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN KERANGKA TEORI ... 14

2.1 Konsep Ideologi ... 14

2.1.1 Ideologi dan Teks ... 15

2.1.2 Ideologi dan Konteks Sosial ... 17

2.1.3 Ideologi dan Agama ...19

2.2 Konsep Melengkan (Perkawinan) ... 20

2.3 Konsep Sarakopat... 21

2.4 Kajian Yang Relevan ... 22

2.5 Kerangka Teori ... 24

2.5.1 Teori Linguistik Fungsional Sistematik (LFS) ... 25

2.5.2 Teori Makna Antarpersona (Interpersonal Meaning) ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 31

3.1 Metode Penelitian ... 31

3.2 Data dan Sumber Data Penelitian ... 32


(16)

3.4 Metode Analisis Data ... 33

3.5 Prosedur Analisis Data ... 34

BAB IV ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN ... 36

4.1 Analisis Data ... 36

4.1.1 Ideologi Yang Mendasari Upacara Melengkan Dalam Adat Perkawinan Masyarakat Gayo Takengon Aceh Tengah ... 36

4.1.1.1 Interpretasi Ideologi (Agama) ... 37

4.1.1.1.1 Pernyataan (Statement) ... 37

4.1.1.1.2 Pertanyaan (Question) ... 39

4.1.1.1.3 Perintah (Command) ... 40

4.1.1.2 Interpretasi Ideologi Demokrasi ... 41

4.1.1.2.1 Pernyataan (Statement)... 42

4.1.1.2.2 Pertanyaan (Question) ... 43

4.1.1.2.3 Perintah (Command) ... 43

4.1.1.2.4 Tawaran (Offer) ... 44

4.1.1.3 Interpretasi Ideologi (Sosial) ... 46

4.1.1.3.1 Pernyataan (Statement)... 46

4.1.1.3.2 Pertanyaan (Question) ... 47

4.1.1.3.3 Perintah (Command) ... 48

4.1.1.3.4 Tawaran (Offer) ... 48

4.1.2 Ideologi Upacara Melengkan Direalisasikan Dalam Teks Bahasa Gayo ... 50

4.1.2.1 Interpretasi Ideologi (Agama) ... 50

4.1.2.1.1 Modus Deklaratif ... 50

4.1.2.1.2 Modus Introgatif... 53

4.1.2.1.3 Modus Imperatif ... 54

4.1.2.2 Interprestsi Ideologi (Demokrasi) ... 55

4.1.2.2.1 Modus Deklaratif ... 55

4.1.2.2.2 Modus Introgatif... 56

4.1.2.2.3 Modus Imperatif ... 57

4.1.2.2.4 Tawaran (Offer) ... 58

4.1.2.3 Interpretasi Ideologi (Sosial) ... 59

4.1.2.3.1 Modus Deklaratif ... 59

4.1.2.3.2 Modus Introgatif... 61

4.1.2.3.3 Modus Imperatif ... 61

4.1.2.3.4 Tawaran (Offer) ... 62

4.1.3 Implikasi Ideologi Direalisasikan Dalam Bahasa Gayo ... 63

4.1.3.1 Implikasi Makna Ideologi (Agama) ... 63

4.1.3.2 Implikasi Makna Ideologi (Demokrasi) ... 65

4.1.3.3 Implikasi Makna Ideologi (Sosial) ... 66

4.2 Hasil Penelitian ... 67

4.2.1 Ideologi Yang Mendasari Upacara Melengkan ... 68 4.2.2 Ideologi Upacara Melengkan Direalisasikan Dalam Teks Bahasa


(17)

Gayo ... 70

4.2.3 Implikasi Ideologi Upacara Melengkan Direalisasikan Dalam Bahasa Gayo ... 73

4.2.3.1 Implikasi Makna Ideologi (Agama) ... 73

4.2.3.2 Implikasi Makna Ideologi (Demokrasi) ... 74

4.2.3.3 Implikasi Makna Ideologi (Sosial) ... 76

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 78

5.1 Simpulan ... 78

5.2 Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81


(18)

IDEOLOGI UPACARA MELENGKAN DALAM ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT GAYO TAKENGON

ACEH TENGAH

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ideologi dalam upacara melengkan

adat perkawinan masyarakat Gayo Takengon Aceh Tengah. Kajian ini menggunakan teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) yang dikembangkan oleh Halliday. Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode makna antarpersona dalam perspektif LFS.Metode penelitian yang diaplikasikan adalah metode deskriptif yang memfokuskan kajian pada ciri-ciri atau fenomena bahasa yang digunakan dalam teks upacara melengkan secara sinkronis (synchronic). Temuan penelitian menunjukkan bahwa ideologi dalam teks upacara melengkan cenderung menekankan makna antarpersona ideologi dalam konteks agama, demokrasi (kekuasaan), dan sosial dan budaya. Ketiga makna ideologi tersebut direalisasikan oleh tiga jenis modus yaitu, deklaratif, interogatif dan imperatif. Dengan proporsi, modus deklaratif dalam konteks agama (67%), modus deklaratif dalam konteks demokrasi (39%), dan modus deklaratif dalam konteks sosial dan budaya (41%). Dengan pengertian bahwa penekanan makna antarpersona oleh penutur BG (pemelengkan) dalam konteks agama cenderung berdampak positif terhadap ajaran agama Islam pada masyarakat Gayo. Dengan demikian dalam kenyataannya penekanan makna antarpersona ideologi pada konteks agama (67%) yang menjadikan agama sebagai acuan yang dominan terhadap syariat Islam oleh masyarakat Gayo dalam setiap interaksi sosial. Sedangkan makna antarpersona dalam konteks sosial (41%) menunjukkan kecenderungan bahwa masyarakat Gayo adalah masyarakat yang cinta budaya sebagai warisan yang turun temurun (cultural heritage) dan makna antarpersona ideologi dalam konteks demokrasi adalah (39%), hal ini, menunjukkan bahwa masyarakat Gayo cenderung demokratis dan harmonis dalam setiap kegiatan sosial.


(19)

IDEOLOGY MELENGKAN SPEECH IN GAYO SOCIETY’S TRADITIONAL MARRIAGE OF CENTRAL ACEH

ABSTRACT

The objective of this research is aimed at describing an ideology in melengkan speech of Gayo society’s traditional marriage in central Aceh. The theories of this research apply Systemic Functional Linguistic (SFL) which is developed by Halliday. The method of analysis data in this research used the method of interpersonal meaning in the perspective of LFS. The method of research applied is a descriptive method which focused the study on the features of the language phenomena as found in the text of a melengkan speech in terms of synchronic. The findings showed that ideology which is found in the text of melengkan speech tends to emphasize the interpersonal meaning of ideology within the context of religion, democracy and social culture. In relation to the three types of meaning of ideology carried out in the text is realize by three types of mood, namely declarative, interrogative, and imperative. The proportion of the declarative mood within the context of religion (67%), within the context of democracy mood is realizing (39%), and within the context of social and culture mood is realize by (41%). Thus it means that, the emphasizing of interpersonal meaning of ideology by native speakers of Gayo language (pemelengkan) in the context of religion tends to be the positive effect on the teaching of Islam religion for the Gayo society. Therefore, in fact the interpersonal meaning is emphasized on ideology within the context of religion (67%), the religion is being the dominant reference of syariat Islam for the Gayo society in every activities of social interaction. Beside, the interpersonal meaning within the social context (41%) showing that the Gayo society love their culture as the cultural heritage and the interpersonal meaning of ideology within the context of democracy (39%) showing that the Gayo society tends to be democratic and harmonious in every social activities.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku (ethnic group) dan terkenal dengan Negara yang kaya dengan budaya. Setiap suku atau etnik mempunyai budaya dan bahasa daerah masing-masing dan kekhasannya. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1997) kata etnik bertalian dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa dsb. Bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan sebagai bahasa sarana komunakasi dan interaksi antar anggota masyarakat dari suku-suku atau kelompok-kelompok etnis di daerah-daerah dalam wilayah Negara Republik Indonesia (Kep. Mentri Dalam Negeri No.40 tahun 2007).

Suku Gayo merupakan salah satu suku atau etnik bangsa di Indonesia terdiri atas tiga sub-suku utama atau kelompok, yaitu (1) Gayo Lut (Gayo Deret), yang mendiami Kabupaten Aceh Tengah (Takengon) dan Kabupaten Bener Meriah (Simpang Tiga Redelong) merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah, (2) Gayo Lues (Gayo Blang), yang mendiami Kabupaten Gayo Lues (Blangkejeren) merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Tenggara (Kutacane), dan (3) Gayo Serbejadi (Lokop, Lukup) adalah sub-suku Gayo yang berdiam di kabupaten Aceh Timur provinsi Aceh.

Malinowski dalam Syukri (2006:4) memandang bahwa kelompok etnik sebagai satu kesatuan budaya dan territorial yang tersusun rapi dan dapat


(21)

digambarkan kedalam suatu peta etnografi. Sebuah kelompok etnik menurutnya memiliki batas-batas yang jelas (well defined boundries) memisahkan suatu kelompok etnik dengan yang lain. Secara defacto masing-masing kelompok ini memiliki budaya yang padu (cultural homogeneity). Oleh karena itu menurut Malinowski suatu kelompok etnik dapat dibedakan dengan kelompok etnik lain baik dalam organisasi sosial (kekerabatan), bahasa/sastra, dan budaya, kesenian, ekonomi dan politik. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa masyarakat Gayo adalah suatu kelompok etnik sendiri yang berbeda dengan kelompok etnik lain yang terdapat di provinsi Aceh dan provinsi lainnya di seluruh nusantara.

Masyarakat Indonesia dalam konteks budaya yang pluralistik tidak terlepas dari budaya masing-masing yang mereka miliki sebagai keberadaan leluhurnya. Pelly dalam Syukri (2006:1) menyatakan demikianlah masyarakat Indonesia yang pluralistik, tidak mungkin melepaskan diri dari budaya masing-masing yang mereka miliki, dan masing-masing pula berusaha men sosialisasikannya secara turun temurun (heridetis). Budaya merupakan suatu adat istiadat atau kebiasaan yang menjadikan identitas (ciri khas) dari suatu daerah. Indonesia kaya akan budaya yang perlu dilestarikan dan dijaga bersama untuk mewujudkan kelestariannya. Dalam konteks tersebut masyarakat harus tau akar kebudayaan bangsanya sendiri, karena dengan adanya keragaman budaya tersebut dapat memberikan khasanah untuk memperkaya kebudayaan bangsa Indonesia. Kekhasan suatu budaya merupakan fenomena tersendiri sebagai akar budaya dan poros ideologi bangsa .


(22)

Masyarakat Gayo di daerah Kabupaten Aceh Tengah (Takengon), mengenal beberapa bentuk tradisi lisan berupa seni bertutur diantaranya adalah seni bertutur dalam budaya atau adat istiadat upacara melengkan dalam perkawinan masyarakat Gayo Takengon. Upacara melengkan dikenal dengan pidato adat dalam perkawinan masyarakat Gayo, merupakan warisan leluhur (cultural heritage). Dalam kamus Gayo-Indonesia (1985) kata atau istilah melengkan adalah pidato secara adat dengan menggunakan kata pilihan. Pidato adat yang lazimnya disampaikan oleh seorang atau dua orang pelaku seni melengkan yang saling berhadapan dari pihak calon pengantin laki-laki (aman mayak) dan dari pihak pengantin perempuan (inen mayak). Pelaku seni melengkan dari kedua pihakbiasanya mengungkapkan isi pidatonya berupa kata-kata pilihan secara adat dengan pola tertentu menggunakan pilihan kata-kata (bahasa) yang khas budaya Gayo yang tidak dapat dilakukan semua orang, boleh dikatakan seperti prosa liris. Sebagai contoh yang terdapat dalam teks upacara melengkan dalam penelitian ini dikutip berikut ini, “Pemulo padih rahim bismillah, kin perberkat ni delah” yang berarti “diawal kata dengan ucapan rahim bismillah sebagai pemberkat diujung lidah”.

Dalam teks diatas bila dicermati pelaku seni melengkan tersebut menggunakan pola tertentu dan pilihan kata yang berbentuk prosa liris seperti ungkapan Pemulo padih (diawal kata) rahim bismillah (pemberkat ucapan yang Islami) perberkat ni delah (diekspresikan dengan lidah). Dalam konteks ini pelaku seni melengkan pilihan katanya mengacu kepada ungkapan yang bernafaskan Islami dengan pola modus pernyataan (statement) yang berkaitan dengan agama sebagai acuan semiotika dengan rangkaian ungkapan… rahim bismillah… Kekhasan


(23)

penggunaan pola dan pilihan kata yang diungkapkan oleh pelaku seni melengkan

diatas merupakan kekhasan suatu budaya tersendiri sebagai akar budaya dan poros ideologi bangsa.

Melengkan lahir dari realitas kehidupan sosial kemasyarakatan dan

merupakan kearifan lokal bagi masyarakat Gayo. Dalam konteks budaya melengkan

dikatakan sebagai kearifan lokal karena melengkan merupakan budaya lokal yang mengatur nilai luhur tradisi budaya secara arif dan bijaksana. Sibarani (2012:112-113) menyatakan bahwa kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana (The local wisdom is the value of local culture having been applied to wisely manage the community’s social order and social life).

Melengkan sebagai kearifan lokal menjadi bagian sub-sistem dari sarak opat

dalam adat perkawinan masyarakat Gayo. Dalam kamus Gayo-Indonesia (1985) kata

Sarak berarti badan atau wadah, kata opat berarti kekuasaan yang empat (terdiri dari

raja, petue, imam, rakyat). Adapun salah satu fungsi sarak opat dalam upacara

melengkan adalah sebagai pemangku adat dan berkewajiban dalam pelaksanaan

kemasyarakatan, (seperti pelaksanaan upacara melengkan dalam adat perkawinan masyarakat Gayo). Keempat pilar sarak opat tersebut berkewajiban menciptakan hubungan yang harmonis dan demokratis serta objektif dalam menyelesaikan proses adat istiadat dalam kehidupan masyarakat dalam konteks sosial budaya.

Dalam penelitian ini ideologi merupakan landasan atau skema untuk mengungkap makna ideologi tersebut yang terdapat dalam teks upacara melengkan


(24)

adat perkawinan masyarakat Gayo. Terkait dengan beberapa pandangan terhadap ideologi, berikut ini diutarakan beberapa aspek bagaimana ideologi dilihat dalam aspek atau perspektif budaya dalam masyarakat. Sebagai karakter bangsa dan budaya, ideologi merupakan landasan berpikir dan instrumen untuk menginterpretasikan dan merealisasikan hal yang dilihat, didengar atau dibaca. Sebagai karakter bangsa, kita ketahui bahwa ideologi bangsa Indonesia adalah pancasila. Pancasila dapat dijadikan pedoman hidup masyarakat agar terciptanya masyarakat yang adil dan makmur, dan dapat dikembangkan untuk kehidupan lebih harmonis dalam bermasyarakat dan bernegara agar tetap kokoh menjadi landasan hidup masyarakat. Budaya sebagai karakter bangsa, karena kebudayaan merupakan akar dari terbentuknya ideologi bangsa Indonesia. Misalnya gotong royong sebagai akar kebudayaan utama dari setiap wilayah yang ada di Indonesia dan sangat penting untuk menguatkan ideologi bangsa Indonesia. Istilah gotong royong adalah salah satu bentuk akar budaya bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi dari segi adat istiadat, kebudayaan dan agama merupakan aspek terpenting untuk terbentuknya sebuah ideologi bangsa Indonesia.

Ideologi juga dapat diartikan sebagai cara-cara tertentu dalam merepresentasikan dan merekonstruksikan masyarakat yang dapat menghasilkan kembali hubungan-hubungan kekuasaan yang tak seimbang (Young dan Brigid, 2006:32). Artinya ideologi berpijak pada sistem budaya dan bangsa. Pramutoko (2007) mengatakan ideologi dapat berarti suatu faham atau ajaran yang dapat melahirkan suatu kebudayaan, disamping ideologi itu sendiri merupakan kebudayaan, karena kebudayaan adalah hasil dunia, rasa dan karsa manusia dalam arti yang seluas-luasnya.


(25)

Terkait dengan beberapa pandangan tentang ideologi yang diuraikan diatas, peneliti dalam hal ini berupaya untuk dapat mengungkap makna ideologi sebagai karakter suatu budaya melalui teks upacara melengkan dalam adat perkawinan masyarakat Gayo Takengon, Aceh Tengah.

Adapun kajian dalam penelitian ini adalah Ideologi Upacara Melengkan

Dalam Adat Perkawinan Masyarakat Gayo Takengon Aceh Tengah. Sampaisaat ini, menurut pengamatan peneliti belum ada kepustakaan yang meneliti tentang Ideologi dalam upacara melengkan adat perkawinan masyarakat Gayo. Terkait dengan upaya untuk mengkaji ideologi dalam teks upacara melengkan adat perkawinan masyarakat Gayo di Takengon, ada beberapa alasan peneliti secara pragmatis yang dapat dikemukakan antara lain : (1) peniliti sebagai putra daerah ingin mengkaji apa yang mendasari ideologi yang terdapat dalam teks upacara melengkan dalam adat perkawinan masyarakat Gayo. (2) untuk melestarikan upacara melengkan dalam adat perkawinan masyarakat Gayo, sebagai identitas dan warisan budaya (cultural heritage) masyarakat Gayo. Karena dewasa ini upacara tersebut hampir punah dan sangat jarang dilakukan oleh kalangan masyarakat Gayo, disebabkan pelaku seni

melengkan dikalangan orang Gayo sudah berkurang. (3) melengkan sebagai salah satu unsur kebudayaan daerah perlu dilestarikan untuk mengkaji kekhasan pola dan penggunaan bahasa yang terdapat dalam teks upacara melengkan dalam adat perkawinan masyarakat Gayo. (4) dalam rangka revitalisasi budaya melengkan agar dapat dikenal generasi muda selanjutnya (5) sebagai salah satu upaya penelitian tentang budaya daerah yang masih relatif terbatas jumlahnya, dibandingkan dengan daerah lain


(26)

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kerangka teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) yang dikembangkan oleh Halliday (1992). Adapun alasan peneliti menggunakan teori LFS, karena lebih relevan dengan tujuan dari penelitian ini dimana berfokus pada kajian teks secara fungsional. Dan teori ini memandang bahasa adalah sistem arti dan sistem lain (yaitu sistem bentuk dan ekspresi) untuk merealisasikan arti tersebut (Saragih, 2003). Dalam teori LFS bahasa merupakan fenomena sosial yang wujud sebagai semiotik sosial. Semiotik sosial dalam teks upacara melengkan akan berimplikasi pada ideologi budaya yang terdapat dalam teks tersebut. Dalam analisis data penelitian ini menggunakan teori LFS dalam perspektif makna antarpersona (interpersonal meaning) Teori analisis ini yang dikembangkan oleh Martin,dkk (1995) bertujuan mengidentifikasi empat fungsi ujar dalam teks, yaitu 1) pernyataan (statement) 2) pertanyaan (question) 3) perintah (command) dan 4) Tawaran (offer). Dalam teks upacara melengkan keempat fungsi ujar tersebut direalisasikan oleh tiga jenis modus (mood) dalam bentuk tata bahasa (lexicogrammar) 1) modus deklaratif, 2) modus pertanyaan, dan 3) modus introgatif.

Dalam beberapa ikhwal yang dipaparkan diatas bahwa dalam penelitian ideologi teks upacara melengkan dalam adat perkawinan masyarakat Gayo, tentu saja

tidak terlepas dari fungsi bahasa dalam budaya. Dengan kata lain, bagaimana bahasa digunakan oleh penutur bahasa Gayo dalam konteks sosial budaya. Dalam hal

ini bahasa Gayo merupakan bahasa daerah yang digunakan oleh pelaku seni

melengkan dalam teks upacara melengkan.

Bahasa – bahasa daerah itupun, merupakan sebahagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup sesuai dengan penjelasan Undang – Undang Dasar 1945. Yang


(27)

mengacu pada Bab XV, pasal 36. Berdasarkan uraian di atas, mengisyaratkan bahwa bahasa – bahasa daerah mempunyai fungsi dan kedudukan yang penting dalam konteks budaya dan bangsa. Dikatakan sangat penting karena bahasa daerah dapat memberikan sumbangan yang positif terhadap perkembangan bahasa Indoenesia, selain untuk kepentingan daerahnya masing – masing.

Bahasa daerah sebagai sarana pemerkayaan bahasa Indonesia perlu dilakukan pembinaannya dan pengembangannya dalam berbagai usaha, salah satu diantaranya adalah dengan melakukan kegiatan penelitian bahasa Gayo yang merupakan salah satu bahasa daearah di Indonesia yang tetap memegang peranan penting dalam masyarakat. Zainuddin (2001 : 2), mengatakan, bahasa Gayo berfungsi aktif sebagai alat perhubungan dalam masyarakat Gayo. Bahasa Gayo juga cukup berperan terutama dalam konteks sosial budaya, yakni sebagai pengungkap perasaan individual dan juga sebagai sarana penalaran, seperti dalam acara – acara adat sinte murip

(perkawinan) dan sinte mate (kematian). Moeliono (1985 : 75), menegaskan setiap bahasa dapat dianggap memadai syarat sebagai alat perhubungan masyarakatnya, sebagai pengungkap perasaan seorang, dan sebagai sarana penalaran di dalam wadah sosial budaya. Akbar, dkk. (1985 : 21) mengatakan bahwa,

Sebagai suatu bahasa yang hidup, bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi di dalam keluarga dan masyrakat. Di samping itu, bahasa Gayo merupakan lambang identitas dan kebanggaan serta pendukung seni budaya yang hidup di dalam

daerah – daerah berbahasa Gayo. Kecuali di kota – kota, baik kota kabupataten maupun kecamatan, bahasa gayo dipakai sebagai bahasa pengantar di


(28)

lembaga-lembaga pendidikan formal tingkat dasar, dari kelas 1 hingga 3, sedangkan pada dayah dayah (pesantren) hingga di kelas-kelas tertinggi.

Setiap kajian bahasa secara fungsional berdasarkan suatu pendekat

(approach). Ini berarti bahwa tidak ada kajiaan bahasa yang bebas dari nilai atau anggapan dasar (Halliday, 1994: xvii). Dalam persfektif linguistik fungsional sistemik (LFS) bahasa adalah sistem arti dan sistem lain yakni sistem bentuk dan ekspresi untuk me realisasikan arti tersebut Saragih, (2003 :1).

Salah satu sifat bahasa yang fungsional adalah fungsi sosial dan budaya dalam masyarakat, karena hampir semua kegiatan manusia tidak terlepas dari penggunaan bahasa untuk menyampaikan ide dan buah pikiran seseorang, terhadap orang lain (mitra bicara). Dalam fungsi sosial bahasa dapat dipandang sebagai ungkapan psikologis dan sebagai realitas mental. Dalam pemakaian bahasa sistem semiotik konotatif terdapat dalam hubungan bahasa dengan konteks sosial yang terdiri atas ideologi, konteks budaya (genre) dan konteks situasi (register). Ideologi direalisasikan oleh budaya, budaya, direalisasikan oleh konteks situasi. Sedangkan fungsi bahasa secara budaya ialah berkenaan dengan bentuk norms (norma – norma) perilaku peserta percakapan dan juga berhubungan dengan genre, yaitu yang menunjukan pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan dalam masyarakat, seperti variasi dialek.

Disamping itu bahasa Gayo berperan dalam upacara adat kematian dan

perkawinan. Dalam upacara adat sinte mate “kematian” digunakan bahasa dalam

bentuk, sebuku atau ratapan diungkapkan dalam tangisan kesedihan. Dalam acara adat sinte murip “perkawinan” digunakan bahasa dan pilihan kata yang tidak dapat


(29)

dilakukan oleh semua orang karena bahasa yang digunakan bersifat puitis

(melengkan). Disamping itu bahasa Gayo berfungsi sebagai alat penalar dalam

kesenian seperti kesenian didong, dan saer sebagai media pemersatu masyarakat Gayo. Sibarani (2004) menyatakan budaya dapat dipelajari melalui bahasa dan bahasa dapat dipelajari dalam konteks budaya. Menurut Nababan (1986 :38) salah satu fungsi bahasa adalah kebudayaan dan masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Berkaitan dengan latar belakang masalah diatas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Ideologi apakah yang mendasari upacara melengkan adat perkawinan masyarakat Gayo Takengon Aceh Tengah ?

2. Bagaimanakah ideologi upacara melengkan direalisasikan dalam teks bahasa Gayo ?

3. Bagaimanakah implikasi ideologi itu direalisasikan dalam bahasa Gayo?

1.3 Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan rumusan masalah penelitian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk.

1. Mendeskripsikan ideologi upacara melengkan adat perkawinan masyarakat Gayo

2. Mendeskripsikan realisasi ideologi dalam teks upacara melengkan masyarakat Gayo dan


(30)

3. Mendeskripsikan implikasi ideologi direalisasikan dalam bahasa Gayo

1.4 Batasan Masalah

Mengingat banyak karya dalam bentuk tradisi lisan, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dibatasi hanya ideologi dalam upacara melengkan

(perkawinan) adat perkawinan masyarakat Gayo, yang diperoleh dari data tulisan.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Temuan penelitian ini secara teoritis diharapkan bermanfaat untuk :

1) menjadikan kajian yang menerapkan kerangka teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) , dan teori ini bermanfaat untuk menganalisis ideologi dalam teks tradisi lisan dan tulisan dalam upacara melengkan (perkawinan) adat Gayo Takengon.

2) menjadikan model untuk mengungkapkan ideologi dalam upacara melengkan

adat perkawinan masyarakat Gayo.

1.5.2 Manfaat Praktis

Temuan penelitian ini secara praktis diharapkan bermanfaat untuk :

1) informasi dan manfaat kepada para peneliti tentang konsep ideologi yang terdapat dalam upacara perkawinan, khususnya pada upacara melengkan adat perkawinan masyarakat Gayo dalam bentuk karya sastra tradisi lisan


(31)

2) acuan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan ideologi dalam karya sastra di Indonesia, khususnya ideologi dalam upacara melengkan adat perkawinan masyarakat Gayo.

1.6Definisi Istilah 1.6.1 Melengkan

Menurut Melalatoa, dkk (1985:219) melengkan adalah pidato secara adat dengan menggunakan kata pilihan. Contoh (dalam teks berikut). Susun kite bilang belo, reriyah kite rerige, enta kune galakte (L.II.123)“Bersatu kita seperti sirih, dan

musyawarah kita bersama bagaimana baiknya”.

Dengan kata lain melengkan adalah pidato secara adat yang digunakan pada kegiatan adat, seperti pidato adat melengkan memgantar mas kawin (turun caram), pidato adat ngunduh mantu (munenes), dan pidato adat melengkan malam berguru (malam pemberian nasihat kepada calon pengantin), dari pihak famili dan orang tua menjelang akad nikah, pada adat perkawinan mayarakat Gayo Takengon Aceh Tengah pada umumnya dan masyarakat Gayo lainnya.

1.6.2 Pemelengkan

Menurut Melalatoa, dkk (1985:219) pemelengkan adalah seseorang yang bemelengkan, berpidato secara adat. Seperti pidato dalam upacara melengkan adat perkawinan, upacara melengkan turun caram (mengantar emas kawin), upacara

melengkan malam berguru (malam pemberian nasihat kepada calon pengantin),


(32)

1.6.3 Sarak Opat

Melalatoa, dkk (1985:315) mengatakan sarak opat adalah kekuasaan yang empat (terdiri dari raja, petue, imam, rakyat). Sarak berarti badan atau wadah Opat

kekusasaan yang empat. Sarak opat adalah pemegang tampuk kekuasaan di dalam tatanan pemerintahan etnik Gayo seperti tiap klen ada sarak opat-nya.

1.6.4 Aman Mayak dan Inen Mayak

Aman mayak sebutan kepada calon mempelai laki-laki dan Inen mayak

sebutan kepada calon mempelai perempuan. Dengan kata lain dalam adat Gayo pengertian aman mayak dan inen mayak sebutan kepada seorang laki-laki atau perempuan yang baru menikah, artinya tidak lagi berstatus sebagai calon mempelai akan tetapi keduanya sudah menjadi suami istri yang sudah akad nikah.


(33)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN KERANGKA TEORI

Kajian pustaka pada penelitian ini terdiri atas beberapa konsep dasar yaitu, tentang konsep ideologi, ideologi dan teks, ideologi dan konteks sosial, konsep

melengkan, dan juga kajian hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan tujuan dari kajian ini serta kerangka teori penelitian.

2.1 Konsep Ideologi

Kress dan Hodge (dalam Sinar 2008 : 84) menyatakan bahwa kajian ideologi membicarakan hubungan bahasa dengan masyarakat dan kebudayaan karena adanya pengaruh tuntutan sosial politik. Pengaruh kekuasaan terhadap sejarah, politik, sistem masyarakat, nilai, sastra, dan budaya membentuk pandangan masyarakat sehingga meyakini suatu konsep sebagai kebenaran yang wajar. Fowler dan Kress (1979:185) menyebutkan bahwa semua teks mewujudkan ideologi. Penggunaan bahasa dipengaruhi oleh posisi ideologi, yaitu nilai yang dipertahankan (secara sadar maupun tidak), pandangan yang diperoleh melewati jalur khusus melalui budaya. Lemke (1990:435) juga sependapat bahwa bahasa di dalam penggunaanya tidak pernah berdiri sendiri di luar nilai atau ideologi. Ideologi adalah cara dalam merasakan dan menangkap sesuatu dan menginterpretasikan hal yang dilihat, didengar, atau dibaca.

Konsep ideologi di atas merupakan acuan terhadap hubungan bahasa dengan masyarakat dan kebudayaan dalam bentuk adanya pengaruh antara budaya sosial politik dan kemasyarakatan. Di samping itu ideologi mengacu kepada perwujudan


(34)

terhadap teks sebagai nilai budaya dalam interaksi sosial dimana bahasa sebagai alat untuk menginterpretasikan ideasional, interpersonal dan tekstual.

2.1.1 Ideologi dan Teks

Ideologi merupakan konstruksi atau konsep sosial yang menyatakan apa yang seharusnya dilakukan atau seharusnya tidak dilakukan seseorang sebagai anggota masyarakat. Dengan pengertian ini, konteks ideologi mencakup nilai (yang dimiliki secara sadar atau tidak), sudut pandang, posisi atau perspektif yang dianut (Eggins, 1994 :10). Ideologi ditentukan oleh sejumlah faktor seperti kelas sosial, jenis kelamin, etnik, dan generasi (Martin, 1992 :581). Karena ideologi mempengaruhi seseorang dalam bertindak termasuk dalam berinteraksi atau memproduksi teks, teks tidak terlepas dari pertimbangan ideologi. Dengan kata lain, teks merupakan realisasi ideologi dan ideologi dapat dijajagi di dalam teks. Realisasi ideologi dalam teks dapat eksplisit atau implisit. Menurut Saragih (2003 :204) dalam klausa Dia melontarkan

pendapat di dalam rapat itu dan Dia menyampaikan pendapat di dalam rapat itu

proses melontarkan mengisyaratkan bahwa pendapat itu dipandang sebagai sesuatu benda padat yang kokoh dan kuat seperti batu karena yang biasa dilontarkan adalah benda padat seperti batu. Proses menyampaikan menunjukkan bahwa pendapat itu sudah lama dipendam dan belum pernah diketahui orang, itulah sebabnya pendapat itu disampaikan di dalam rapat itu. Perbedaan makna seperti ini adalah perbedaan pandangan atau ideologi.

Dari uraian di atas dapat digambarkan bahwa ideologi merupakan suatu pemahaman seseorang dalam bertindak atau berinteraksi dan memproduksi suatu teks. Dengan kata lain ideologi direalisasikan dalam teks secara eksplisit atau implisit


(35)

baik dalam isu mengeluarkan pendapat seseorang berdasarkan ide yang bersifat ideologis dimana situasi merupakan faktor penentu teks. Halliday (1978 : 144) menjelaskan bahwa makna diciptakan oleh sistem sosial dan dipertukarkan oleh anggota-anggota masyarakat dalam bentuk teks. Darma (2009: 189) menyatakan teks berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan, dimaknai, dan dikatakan oleh masyarakat dalam situasi yang nyata. Artinya bahwa teks merupakan perilaku interaksi dan memberikan pilihan makna dalam konteks situasi.

Dalam ihwal kajian pengertian teks Haliday (1978:40) menyatakan bahwa teks adalah suatu pilihan semantis (semantic choice) data konteks sosial, yaitu suatu cara penggungkapan makna melalui bahasa lisan atau tulis. Dengan demikian, semua bahasa hidup yang menggambil bagian tertentu dalam konteks situasi dapat disebut teks. Selanjutnya Saragih (2003:204-205) menyatakan bahwa hubungan antara konteks sosial dan bahasa atau teks adalah hubungan konstrual semiotik dengan pengertian bahwa konteks sosial menentukan teks dan pada gilirannya teks juga menentukan konteks sosial. Secara rinci dapat dikatakan bahwa konteks situasi sebagai unsur yang langsung berhubungan dengan bahasa yang dimiliki hubungan sistematis dengan metafungsi bahasa dengan rincian unsur isi menentukan makna

atau fungsi paparan atau fungsi ideational, pelibat menentukan makna atau fungsi antarpesona atau interpersonal dan cara menentukan makna atau fungsi tekstual.

Selanjutnya, pada tingkat tata bahasa makna paparan atau ideotional dikodekan oleh transitivitas yang terdiri atas barbagai aspek, seperti proses, partisipan, sirkumstan, hubungan parataksis, dan hipotaksis. Makna antarpesona dikodekan oleh aksi, modus, modalitas, vokatif, orang (pronomina), dan makna tekstual


(36)

direalisasikan oleh tema/rema, kohesi, kepadatan leksikal, kerumitan tata bahasa,

dan nominalisasi.

2.1.2 Ideologi dan Konteks Sosial

Ideologi mengacu kepada konstruksi atau konsep sosial yang menetapkan apa seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam satu interaksi sosial. Dengan batasan ini, ideologi merupakan konsep atau gambar ideal yang diinginkan atau diidamkan oleh anggota masyarakat dalam satu komunitas yang terdiri atas apa yang diinginkan atau yang tidak diinginkan terjadi (Saragih: 2003:5). Terkait dengan uraian diatas ideologi direalisasikan dalam konteks sosial, dimana dalam suatu komunitas atau masyarakat menetapkan apa yang sebenarnya boleh dilakukan dan seharusnya tidak dilakukan oleh seseorang sesuai dengan konsep yang berlaku dalam masyarakat tertentu.

Kress dan Hodge (1979) mengatakan bahwa kajian ideologi membicarakan hubungan bahasa dengan masyarakat dan kebudayaan karena adannya pengaruh tuntutan sosial politik. Pengaruh kekuasaan terhadap sejarah politik sistem masyarakat, nilai, sastra dan budaya membentuk pandangan masyarakat sehingga meyakini suatu konsep sebagai kebenaran yang wajar. Sinar (2008: 84) memberi contoh pandangan yang sudah menjadi “ilmu” atau “teori” yang dipercayai dunia Barat adalah “orang-orang Timur Tengah adalah teroris”, atau “orang Melayu malas”. Konsep ini dilahirkan oleh penguasa yang dominan yang dapat membentuk pandangan masyarakat terhadap suatu objek sehingga masyarakat tersebut secara wajar mempercayai pandangan atau “ilmu” tadi. Kewajiban ini selanjutnya merepresentasikan gambaran tersebut menjadi yang absah dan diyakini.


(37)

Konteks sosial mengacu kepada segala sesuatu diluar yang tertulis atau terucap, yang mendampingi bahasa atau teks dalam pristiwa pemakaian bahasa atau interaksi sosial. Konteks seperti ini disebut juga konteks eksternal. Konteks sosial terbagi dalam tiga kategori yaitu konteks situasi, konteks budaya, (disebut juga

genre) dan konteks ideologi (Martin, 1992). Ketiga konteks sosial ini membentuk

strata dengan pengertian strata yang paling dekat kebahasa lebih konkret dari pada strata yang lebih jauh dari bahasa. Berdasarkan strata kedekatan kepada bahasa, konteks sosial secara berurut mulai dari konteks situasi, budaya, dan ideologi (Saragih 2003: 5)

Konteks situasi terdiri atas apa (field) yang dibicarakan, siapa (tenor) yang membicarakan sesuatu bahasa, dan bagaimana (mode) pembicaraan itu dilakukan. Secara rinci, field menunjuk peran bahasa atau topik yang dibicarakan dalam interaksi sosial, tenor menggambarkan status (sama atau stara, tidak sama atau berbeda), suka atau tidak suka (affect), hubungan (biasa atau baru pertama kali) antar pemakai bahasa (addresser dan addressee), dan mode mengurai modium atau saluran pemakaian bahasa yang dapat berupa lisan atau tulisan. Dalam interaksi bahasa, ketiga aspek konteks situasi itu dapat diidentifikasi. Namun, dalam beberapa situasi dapat terjadi satu aspek tidak jelas atau tidak teridentifikasi yang dalam keadaan demikian aspek situasi disebut netral.

Konteks budaya dibatasi sebagai aktivitas sosial bertahap untuk mencapai suatu tujuan. Dengan pengertian ini, konteks budaya mencakup tiga hal, yaitu (1) batasan kemungkinan ketiga unsur konteks situasi, (2) tahap yang harus dilalui dalam satu interaksis sosial, dan (3) tujuan yang akan dicapai dalam interaksi sosial. Pada


(38)

dasarnya, setiap interaksi sosial mempunyai tujuan tertentu. Tujuan ini sering juga disebut fungsi teks tersebut.

Terkait dengan ihwal konteks sosial dalam kajian bahasa, Saragih (2003:192) menyatakan bahwa pemakaian bahasa dibatasi sebagai segala sesuatu yang mendampingi pemakaian bahasa atau teks. Arti bentuk dalam konteks. Pada dasarnya, dalam setiap interaksi dapat dinyatakan dengan dua cara. Pertama, arti dikodekan oleh bentuk bukan bahasa (non-verbal realization), seperti gerak tangan, ekspresi wajah, atau langkah. Kedua, arti direalisasikan oleh bahasa. Kedua realisasi arti itu dapat terjadi pada saat yang sama.

Konteks merupakan wahana terbentuknya teks. Dalam pandangan LFS arti yang terealisasi dalam teks merupakan hasil interaksi pemakai bahasa dengan konteks. Dengan kata lain, teks wujud dalam konteks sosial tertentu dan tidak ada teks tanpa konteks. Hubungan antara teks dan konteks adalah hubungan konstrual semiotik artinya konteks dan teks saling menentukan : konteks menentukan teks dan teks pada gilirannya merujuk konteks.

2.1.3 Ideologi dan Agama

Pengertian tentang “ideologi” dan “agama” dalam versi Islam, mengacu pada konsep dasar tentang keterkaitannya dengan agama atau kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Menurut Pramutoko (2007) Ideologi dapat berarti suatu paham atau ajaran yang mempunyai nilai kebenaran atau dianggap benar sebagai hasil kontemplasi (perenungan) manusia baik berdasarkan wahyu maupun hasil kontemplasi akal budi secara murni. Ideologi ini biasanya merupakan hasil kerja filosof atau orang yang mau dan mampu menggunakan akalnya untuk memikirkan


(39)

tentang diri dan lingkungannya atau segala yang ada. Sedangkan agama adalah peraturan dari Allah SWT untuk manusia yang berakal guna mencari keyakinan, mencapai jalan bahagia lahir bathin, dunia dan akherat bersandar pada wahyu-wahyu Ilahi yang terhimpun dalam kitab suci AL-Qur’an. (http://mischanz.wordpress.com/2009/12/16/pengertian-agama-menurut-islam/)

Dalam teks upacara melengkan adat perkawinan Masyarakat Gayo Takengon Aceh Tengah, diprediksi terdapat unsur konteks ideologi dan agama. Hal ini dapat dideskripsikan beberapa teks yang mengacu pada fungsi ujar (speech function) oleh pemakai bahasa Gayo (pemelengkan. Interpretasi ekspresi ideologi mengacu pada makna agama (keTuhanan). Dalam hal ini mengacu pada pernyataan Ma’rifatul

Mabda’ membahas tentang hal-hal yang berhubungan dengan Allah serta qadla’ dan

qadar-Nya (Sudihawan, dkk. 2013). Dalam data terdapat beberapa teks yang menyatakan adanya unsur makna agama (keTuhanan) seperti berikut ini:

Pertama kami tiro ampun ku Tuhen urum ku Nabi. (LII.80) “Pertama kami mohon ampun kepada tuhan dan kepada nabi”

Alhamdulillah sene bubak sene bube (LII.138) “syukur Alhamdulillah senda gurau”

2.2 Konsep Melengkan (Perkawinan)

Istilah melengkan dalam masyarakat Gayo dikenal dengan upacara pidato adat sebagai warisan budaya (cultural heritage), di temukan dalam berbagai upacara, seperti upacara melengkan dalam adat perkawinan. Badudu (1996) dalam Herlina


(40)

(2007:24) menyatakan bahwa upacara yaitu aturan resmi, seremoni, rangkaian, tindakan yang terikat atau kebiasaan yang berlaku, sebagai sebagian dari perayaan. Menurut Ibrahim dan Pinan, (2003 :252) menyatakan bahwa melengkan yaitu pidato adat berbentuk kata-kata puitis yang disampaikan satu atau dua orang yang saling berhadapan dalam berbagai upacara adat antara lain menjelang akad nikah, menaiken

reje (melantik pucuk pimpinan pemerintahan), menerima tamu terhormat yang

berkunjung pertama kali ke Gayo dan upacara-upacara lainnya.

Melalatoa dkk, (1985 :219) mengatakan bahwa melengkan adalah pidato secara adat dengan menggunakan kata pilihan dalam adat perkawinan. Konsep melengkan pada prinsipnya merupakan pidato adat yang disampaikan oleh seorang atau dua orang pelaku yang saling berhadapan dalam upacara tradisional Gayo seperti, acara perkawinan, menerima tamu terhormat, dan upacara adat lainnya. Pelaku seni melengkan biasanya mengungkapkan pidato adat dengan bahasa prosa liris.

2.3 Konsep Sarakopat

Menurut Syukri (2006:6) sarakopat sebagai lembaga masyarakat dapat berfungsi sebagai alat control dalam bidang keamanan, ketentraman, kerukunan dan ketertiban masyarakat. Sarak berarti badan atau wadah opat berarti kekuasaan yang empat terdiri dari raja, petue, imem, rayat Melalatoa, dkk (1985: 315). Berikut ini diberikan fungsi masing-masing dari keempat kekuasaan yakni raja, petue, imem dan

rayat. Raja berfungsi bertanggung jawab untuk melindungi rakyatnya. Imem


(41)

Islam atau tidak. Petue untuk meneliti, merencanakan, mengevaluasi dan mencari jalan pemecahan masalah yang dihadapi rakyat. Rayat menyalurkan aspirasi rakyat serta merumuskannya dalam penyelesaian masalah dan program pembangunan sesuai dengan kepentingan rakyat (Syukri, 2006:130-135).

2.4 Kajian Yang Relevan

Kajian tentang ideologi berikut ini dilakukan oleh Sinulingga (2008) dengan fokus kajian “Ideologi Erdemubayu (Perkawinan) Batak Karo: Kajian Semiotika Sosial”. Kajian yang dilakukan oleh Sinulingga (2008) ada persamaan dengan kajian yang akan dilakukan oleh penulis yakni dari sudut pandang ideologi sebagai kerangka analisis data. Relevansi lain adalah sama-sama mengkaji ideologi dalam konteks perkawinan (Erdemubayu), dan sumber data yang sama dari suatu teks tertulis. Perbedaannya adalah Sinulingga menggunakan teori Deskriptif, sedangkan penulis sendiri akan menggunakan teori (LFS). Adapun hasil kajian sinulingga tersebut dimana makna ideologi bersifat atau mengacu pada kekuatan (power) yang terletak pada kelompok partisipan atau kalimbubu. Kajian Sinulingga tersebut memberikan kontribusi yang positif terhadap penelitian ini yakni dalam ikhwal penerapan ideologi sebagai kerangka berfikir analitis, serta dapat dijadikan sebagai data pembanding dalam ikhwal ideologi adat perkawinan Batak Karo dan ideologi upacara melengkan

dalam adat perkawinan masyarakat Gayo Takengon.

Selanjutnya yang berkaitan dengan kepustakaan mengenai adat upacara perkawinan diantaranya adalah Makna Antar Persona Dalam Teks Upacara


(42)

Pascasarjana Linguistik USU. Kajian yang dilakukan oleh Herlina ada relevansinya dengan kajian yang dilakukan oleh penulis yakni dalam ikhwal upacara perkawinan pada masyarakat Karo dengan upacara melengkan pada adat perkawinan masyarakat Gayo Takengon. Relevansi lainnya adalah tentang penggunaan kerangka teori yang sama, yaitu teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) yang dikembangkan oleh Halliday (1992 dan 2004). Adapun perbedaannya adalah Herlina dalam kajiannya tidak menggunakan ideologi sebagai landasan analisis data., sedangkan penulis sendiri menggunakan ideologi sebagai kerangka analisis data. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Herlina dalam teks upacara perkawinan pada masyarakat Karo yang dikaitkan dengan makna antar persona cenderung direalisasikan dalam modus

deklaratif, introgatif, dan imperatif.

Berikut ini juga berkenaan dengan kajian tentang adat perkawinan yang dikaji oleh Sianipar (2001). Dalam kajiannya Sianipar ada relevansinya dengan penelitian yang di lakukan oleh penulis yaitu dari sudut pandang adat perkawinan masyarakat Batak Toba dengan adat upacara melengkan perkawinan masyarakat Gayo Takengon. Relevansi lainnya adalah menggunakan teks tertulis sebagai sumber data. Adapun perbedaannya adalah Sianipar tidak menggunakan ideologi sebagai kerangka atau landasan analisis data, sedangkan penulis menggunakan ideologi sebagai kerangka analisis dalam kajian. Perbedaan lain ialah Sianipar menggunakan kerangka teori penelitian dalam perspektif sosiolinguistik, sedangkan penulis menggunakan kerangka teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sianipar menunjukkan ada keterkaitan yang signifikan antara ragam-ragam bahasa dengan peran penutur dalam acara adat perkawinan masyarakat Batak Toba di


(43)

Medan. Peran penutur dalam arti hula-hula, boru dan dongan sabutuha. Kajian yang di lakukan Sianipar tentang adat perkawinan masyarakat Batak Toba di Medan dapat dijadikan sebagai data pembanding dan konstribusi dalam ikhwal sistem adat perkawinan atau budaya yang berbeda.

2.5 Kerangka Teori

Kerangka teori yang diterapkan dalam analisis teks upacara melengkan adat perkawinan masyarakat Gayo, adalah teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS), yang dipelopori oleh M.A.K Halliday dan yang dikembangkan Martin (1985). Relevansi teori LFS dengan penelitian ini adalah, secara fungsional keberpijakannya pada analisis teks dan konteks sosial dalam penganalisisan bahasa. Istilah fungsional dalam analisis teks atau wacana mengacu pada realisasi fungsional dari sistem arti dan ekspresi dalam bahasa. Istilah sistemik mengacu pada sistem makna secara interelasi dalam kaitannya dengan fenomena ekspresi.

Ada dua konsep mendasar teori LFS membedakannya dengan teori linguistik lainnya, yaitu (1) Bahasa merupakan fenomena sosial yang wujud sebagai semiotik sosial, dan (2) Bahasa merupakan teks yang berkonstrual (saling menentukan dan merujuk pada konteks sosial.

Sebagai semiotik secara mendasar bahasa terdiri dari dua unsur penting yaitu

arti dan ekspresi. Arti, direalisasikan oleh ekspresi dalam konteks sosial. Semiotik sosial terdiri dari tiga unsur yaitu arti, bentuk dan ekspresi. Hubungan ketiga unsur ini yaitu arti secara semantis direalisasikan bentuk (lexicogrammar) dan bentuk dikodekan oleh ekspresi (phonologi/grophology). Teori LFS memandang bahasa dari


(44)

ketiga unsur tersebut yaitu sebagai unit semantik. Semantik direalisasikan tata bahasa dan tata bahasa diekspresikan phonology dalam bahasa lisan, dan grophology dalam bahasa tulis. Hubungan arti dan bentuk bersifat alamiah, yaitu berdasarkan konteks sosial sedangkan hubungan arti dan ekspresi bersifat arbitrer (tidak terprediksi).

2.5.1 Teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS)

Teori LFS yang dikemukakan oleh Halliday berfokus pada kajian teks atau wacana dalam konteks sosial. Teks adalah bahasa yang berfungsi atau yang sedang melakukan tugas (Halliday 1992:13). Teori ini memandang bahasa adalah sistem arti dan sistem lain (yaitu sistem bentuk dan ekspresi) untuk merealisasikan arti tersebut (Saragih 2003:1). Teks dibatasi sebagai unit bahasa yang fungsional dalam konteks sosial (Halliday : 1994, dalam Saragih 2003:3). Bahasa yang fungsional akan memberi arti kepada pemakai bahasa, hal ini berarti teks merupakan suatu unit arti (semantic unit) bukan unit tata bahasa (gramatical unit), seperti kata, frase, klausa, paragraf, dan naskah. Hubungan bahasa atau teks dengan konteks sosial adalah hubungan konstrual dimana konteks sosial akan ditentukan oleh teks.

Dalam teori LFS bahasa merupakan fenomena sosial yang wujud sebagai semiotik sosial. Sebagai semiotik secara umum bahasa terdiri dari dua unsur penting yakni arti dan ekspresi dimana arti direalisasikan oleh ekspresi. Semiotik sosial terdiri atas tiga unsur, yaitu arti, bentuk, dan ekspresi. Adapun hubungan ketiga unsur ini adalah hubungan arti (semantics) atau hubungan arti wacana (discourse semantics).

Dalam teori LFS dikenal istilah “metafungsi”. Metafungsi dalam kajian teks atau wacana disebut metafungsi bahasa. Metafungsi bahasa diartikan sebagai fungsi


(45)

bahasa dalam pemakaian bahasa oleh penutur bahasa. Dimana dalam setiap interaksi antar pemakai bahasa , penutur menggunakan bahasa untuk memaparkan (ideational function), mempertukarkan (interpersonal function), danmerangkai (textual function)

(Halliday, 1994:xiii; Eggins, 1994:3). Sejalan dengan ketiga metafungsi bahasa itu (Saragih 2003:6) menyatakan bahwa bahasa dikatakan membawa tiga arti yakni, makna pengalaman (ideational meaning), makna antarpersona atau makna pertukaran (interpersonal meaning), dan makna perangkaian atau pengorganisasian (textual meaning). Dalam kajian ini analisis ideologi dalam teks upacara melengkan adat perkawinan masyarakat Gayo mengacu pada makna antarpersona atau makna pertukaran pengalaman (interpersoal meaning).

Para pakar teori LSF seperti Kress, Halliday dan Stillar menyatakan bahwa wacana adalah ranah sosial dan teks adalah ranah linguistik. Martin dalam Saragih (1988 : 59) menyatakan bahwa konteks itu terdiri dari tiga unsur dan merupakan sistem semiotik diatas dan di luar bahasa. Bahasa adalah alat ekspresi register, bahasa dan register alat ekspresi genre. Bahasa, register dan genre alat ekspresi ideologi, ketiga unsur konteks itu ialah : (a) konteks situasi (register) (b) konteks budaya (genre) dan (c) ideologi. Ketiga konteks tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :


(46)

Gambar 2.1 Konteks Sosial dan Teks

Konteks ideologi mengacu kepada nilai, sikap, pandangan hidup yang di anut dan di rundingkan oleh pembicara atau penulis dalam satu interaksi sosial, dan menetapkan apa seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam satu interaksi sosial. Misalnya dalam upacara melengkan adat perkawinan masyarakat Gayo dimana fungsi Reje diungkapkan dalam bahasa adat Reje musuket sipet,

maksudnya Reje berkewajiban menimbang secara benar dan adil dalam interaksi sosial. Dalam hal ini konteks ideologi mempengaruhi seseorang dalam bertindak termasuk dalam interaksi sosial atau memproduksi teks karna teks tidak terlepas dari pertimbangan konteks ideologi.

Konteks budaya (genre) adalah proses sosial yang bertahap dan berorientasi pada tujuan. Dalam setiap pembicaraan atau tulisan ada satu tujuan yang mau disampaikan. Tujuan itulah genre, yang terkait pada aturan budaya sesuatu bangsa.

Ideologi

Genre

Register


(47)

Tujuan yang akan dicapai dalam interaksi sosial misalnya pada acara malam berguru.

Maksudnya “malam pemberian nasihat” terhadap calon pengantin dari pihak keluarga, bertujuan agar pengantin dapat mengetahui aturan-aturan dalam melaksanakan bahtera rumah tangga.

Konteks situasi (register) terdiri dari apa yang di bicarakan (field) siapa yang ambil bagian dalam pembicaraan (tenor) bagaimana peranan bahasa dipakai dalam pembicaraan itu (mode). Dalam upacara melengkan misalnya konteks situasi (feld) objek yang dibicarakan adalah “calon pengantin”, siapa yang membicarakan (tenor)

adalah sarakopat (reje, petue, imem, rayat). Materi yang dibicarakan mengenai pelaksanaan melengkan, Mode dalam hal ini merujuk kepada pembicaraan dengan pemakaian bahasa berupa lisan dalam interaksi sosial.

2.5.2 Teori Makna Antarpersona (Interpersonal Meaning)

Dalam teori LFS makna antarpersona (Interpersonal meaning) mengacu pada fungsi ujar (speech function) yang dilakukan pemakai bahasa dalam interaksi bahasa (sosial). Martin, dkk (1995:62) mengidentifikasi empat fungsi ujar dasar dalam setiap interaksi yaitu, memberi informasi, meminta informasi, memberi barang & jasa, dan meminta barang & jasa yang masing fungsi itu disebut pernyataan (statement), pertanyaan (question), penawaran (offer), dan perintah (command). Keempat fungsi ujar tersebut dalam komunikasi direalisasikan oleh modus (mood) dengan kelaziman pernyataan direalisasikan oleh modus deklaratif, pertanyaan oleh modus introgatif, dan perintah oleh modus imperatif, sedangkan tawaran adalah non-modus.


(48)

Peran makna antarpersona dalam perspektif LFS tergantung pada konteks sosial dalam hal ini konteks sosial mengacu pada keempat fungsi ujar (speech function) yang dilakukan oleh pemakai bahasa Gayo (pemelengkan) dalam upacara

melengkan adat perkawinan masyarakat Gayo Takengon Aceh Tengah, yang

mencakup situasi (medan, pelibat, dan cara) dalam konteks budaya yang didalamnya termasuk kajian ideologi.

Ada dua peran dasar yang dilakukan oleh penutur dalam menggunakan bahasa yaitu memberi dan meminta informasi. Dalam hal ini kedua peran tersebut membawakan dua jenis komoditas yaitu terkait dengan informasi dan barang dan jasa. Dalam hal ini secara semantis (makna) akan ditemukan pada empat jenis aksi (protoaksi) dalam speech function yaitu pernyataan (statement), pertanyaan (question), penawaran (offer), dan perintah (command). Keempat jenis protoaksi tersebut menjadi sumber dasar dari semua aksi yang dilakukan oleh pemakai bahasa yang direalisasikan oleh modus (tatabahasa) atau disebut lexicogrammar yang secara linguistik disebut mood atau modus yang terdiri dari modus deklaratif, introgatif, dan imperatif. Dengan kata lain keempat protoaksi yang ditemukan merupakan realisasi makna antarpersona pada tingkat semantik dimana protoaksi tersebut direalisasikan oleh tiga jenis modus yang terdiri dari modus deklaratif, introgatif, dan imperatif.

Berikut ini dipresentasikan protoaksi yang menjadi sumber dari semua aksi yang dilakukan oleh pemakai bahasa Gayo (pemelengkan) dalam teks upacara


(49)

Tabel 2.1 Protoaksi Ekspresi Bahasa

Peran

Komoditas

Informasi Barang dan Jasa Memberi

Meminta

Pernyataan Pertanyaan

Tawaran Perintah

Secara spesifik tabel ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Memberi/informasi :Pernyataan (statement) Meminta/informasi :Pertanyaan (question) Memberi/barang dan jasa :Tawaran (offer) Meminta/barang dan jasa :Perintah (command)

Keempat protoaksi diatas merupakan realisasi makna atau fungsi antarpersona pada tingkat semantik. Protoaksi tersebut direalisasikan oleh tiga jenis modus yakni modus deklaratif introgatif dan imperatif. Realisasi ini dapat di lihat pada table 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2 Realisasi Ekspresi Aksi (Modus)

Semantik (makna) Modus (tatabahasa) Pernyataan

Pertanyaan Pernyataan Tawaran

Deklaratif Introgatif Imperatif


(50)

-BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang diterapkan adalah metode deskriptif kualitatif. Metode dekriptif digunakan karena penelitian yang dilakukan memfokuskan kajian data pada ciri-ciri atau sifat-sifat (fenomena) bahasa secara alami atau pada kenyataan bahasa secara apa adanya (synchronic). Sudaryanto (1986:40-50) menyatakan bahwa sifat, keadaan dan keunikan suatu bahasa dapat diketahui melalui kenyataan di lapangan. Oleh sebab itu penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran tentang sifat-sifat atau fenomena kebahasaan secara alami dan empiris yang masih hidup dalam masyarakat penutur bahasa tersebut, sehingga hasil yang akan diperoleh berupa interpretasi ideologi dalam teks upacara melengkan adat perkawinan masyarakat Gayo Takengon menggambarkan fenomena bahasa yang masih aktual.

Terkait dengan jenis penelitian deskrptif-kualitatif, Nida (1962:2) menyatakan bahwa (a) analisis deskriptif harus berdasarkan apa yang dikatakan oleh penutur bahasa itu, (b) bentuk adalah yang utama dan penggunaanya adalah hal yang kedua. Selanjutnya Seliger dan Elana (1989:116) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif memberikan deskripsi tentang fenomena yang ada secara alamiah tanpa intervensi dari suatu eksprimen atau suatu perlakuan tertentu.


(51)

3.2 Data dan Sumber Data Penelitian

Data penelitian ini adalah teks upacara melengkan dalam adat perkawinan masyarakat Gayo Takengon. Sedangkan sumber data penelitian ini adalah naskah (teks) tulisan upacara melengkan adat perkawinan masyarakat Gayo yang diperoleh dari beberapa sumber kepustakaan (library research) yang berkenaan dengan upacara

melengkan adat perkawinan masyarakat Gayo, antara lain yang ditulis oleh : (1) Pinan (1998), (2) Ibrahim dan Pinan (2003), (3) M. Saleh dan Baihaqi (2012).

Terkait dengan sumber data tulisan dalam teks upacara melengkan

merupakan bentuk bahasa yang lebih bersistem (langue) yang terdapat dalam pikiran setiap penutur asli bahasa Gayo. Dalam sumber data tertulis diprediksi terdapat penggunaan pola kalimat yang sederhana dan kompleks, dan bahasa Gayo sudah mengenal sistem tulisan sebagai alat komunikasi dalam konteks sosial.

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode perpustakaan (library research) yaitu mengumpulkan beberapa buku

(references) yang berhubungan dengan teks upacara melengkan adat perkawinan

masyarakat Gayo. Teknik pengumpulan data digunakan teknik dokumentasi,yaitu semua data diinventarisasi dan diseleksi serta diverifikasi sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan dari penelitian ini.


(52)

3.4 Metode Analisis Data

Metode analisis data dalam penelitian ini mengacu pada makna antarpersona. Saragih (2008:55) menyatakan bahwa makna antarpersona mengacu kepada fungsi ujar (speech function) yang dilakukan pemakai bahasa dalam interaksi bahasa. Martin, dkk (1995:62) mengidentifikasi empat fungsi ujar dasar dalam setiap interaksi yaitu, memberi informasi, meminta informasi, memberi barang/jasa dan meminta barang/jasa yang masing fungsi itu disebut pernyataan (statement), pertanyaan (question), penawaran (offer), dan perintah (command). Keempat fungsi komunikasi itu dapat direalisasikan oleh modus deklaratif (pernyataan), pertanyaan oleh modus introgatif, perintah oleh modus imperatif, dan penawaran.

Analisis makna antarpersona dalam teks upacara melengkan (perkawinan) adat Gayo pada konteks sosial mencakup tiga dimensi wacana (medan, pelibat, dan sarana) dalam konteks budaya dan ideologi.

Medan wacana adalah teks wacana upacara melengkan tulisan. Upacara

melengkan pada upacara adat perkawinan masyarakat Gayo yang terdiri atas : (1)

melengkan turun caram (mengantar mas kawin) (2) melengkan berguru (malam

berguru), (3) melengkanmah bai (pengantar pengantin laki-laki ketempat perempuan, dan (4) melengkan munenes (mengunduh mantu).

Pelibat dalam teks upacara melengkan terdiri dari tiga partisipan yaitu : (1) pelaku pemelengkan (pembawa pidato secara adat) dari pihak pengantin laki-laki (aman mayak). (2)tokoh pemelengkan dari pihak pengantin perempuan (inen mayak) sebagai mitra bicara, yang secara formal terlibat dalam upacara tersebut dalam interaksi sosial.(3) calon pengantin sebagai subjek dalam interaksi sosial. Kedua


(53)

pelaku pemelengkan berperan sebagai sumber pemberi dan penerima informasi dalam konteks sosial dan budaya. Interaksi sosial dalam memberi dan menerima informasi oleh kedua pemelengkan merupakan interaksi sosial yang bertujuan untuk memberikan informasi langsung terhadap kedua calon pengantin berupa beberapa pandangan, dan kata-kata nasehat dalam menjalankan bahtera keluarga.

3.5 Prosedur Analisis Data

Untuk memudahkan analisis data teks dalam konteks upacara melengkan

(perkawinan) yang sudah ditranskripsikan dilakukan prosedur kegiatan sebagai berikut :

1. Menautkan teks upacara melengkan (perkawinan) sesuai dengan konteks: sosial budaya (genre) dan konteks situasi (register).

2. Menerjemahkan teks upacara melengkan (perkawinan) tersebut ke dalam bahasa Indonesia untuk dapat dianalisis dalam bentuk, arti dan ekspresi .

3. Mengidentifikasi data berdasarkan jenis interpretasi ekspresi ideologi yang terdapat dalam teks upacara melengkan (perkawinan), berdasarkan teori LFS makna antarpersona, dalam pemakaian bahasa.

4. Mendeskripsikan data dengan menggunakan teori analisis makna antarpersona, yang mencakupi dua aspek analisis:

a. Analisis makna antarpersona mengacu pada analisis aksi awal (protoaksi) dari penutur bahasa dalam teks upacara melengkan


(1)

Lampiran : III TRANSKRIP TEKS NASKAH UPACARA MELENGKAN (M. Saleh dan Baihaqi)

1. Melengkan Ari Aman Mayak (Penyerahan pengantin laki-laki kepada pihak perempuan)

[1]Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh,tabi mulo kulangit si kami jujung seringkel payung, [2] maaf mulo ku bumi si kami jejak seringkel tapak. [3]Reje.. lagu peri cerak mane nge muganti ulen mebilangen lao antara kami urum kite musara pakat tumungni peden. [4]Takala rumput jarum jemarum uren reno remene, topan tomang simuk kuyu mu asal uren mu usul keta awale kami berpemulon akhire mukesudahen [5]Reje awale kede – kede ku raya rime diangi diang ku pematang sino-sino ku ladang rebe erah-erah ku lah ni belang. [6]Ara sara bunge si tengah kemang si tengah mulingang iyup-iyup kuyu seju daes bang setimang pasang mampat ipanang cacak ni rupe. [7]Reje sene i telege berakah i doyah sene berbunge berakah berbuah uwah ni rembie nge beramburen resam ni denie kin peraturen. [8]Kami titi tali alus sigere metus kami tunung dene rintis si lurus besilo se nge sawah kami beriringen naru bertenamunen dele kul kucak tue mude. [9]Reje ari sara datu gelahmi sari awan, ari sara awan gelahmi sara ine ama keras-keras kuyu pedemun ilang rara ipepanen keras-keras ni petemun huru hara iperaten si kami irengeni tikik gelah kucerite ibebuk getuk kin kaule, [10] iperut singtak kin narue akale pe lelang kekire e pe lolo. [11]Reje.. tentang ni pendidikne beta owe jadi kami samutazan kamat ku kemiringe ter lao sipitu kami ubuh geralle si temas italu si jeroh artie buge muripe mubahgie raya [12]Ike denie munamamat amanah keta i akhirat isini serge. [13]Nge sawah umure ku tun si pitu sekulah kami serahen ku guru mungaji kami serahen ku tengku tetah tentu we nge sekeder-kedere. [14]Reje... engon persih erah selese kerah sdr. Idene sine kami tonai nume lelah lempuk gere nguk remalan cume ari kaul nate kami mujulenne kuini ara engon sdr. [15] Sine male nik ku batang ruangni kami amiki sawah kunul kuatanni ampang nume kena gere munerah urum munengon cume ari kaul ni ate kami munamik tonane. [16]Ari pakete nge tumung ketuike pe nge beles nterbilangen, [17] sijeroh nge sawah hat urum inge e gere, [18] ara mukalang batang


(2)

batang si muregang ilah ni dene. [19] Kami’jurahen batil bersap ini ku reje, [20] tentang ni isie konyel belo kapur kacu bako bunge lawang kutatangen jejari sepuluh reje ke sikuninge nge le betimang urum siputihe nge [21]bebilang keta beterime mi reje taris nama kirimen rempele nama mujute kami nahan ku reje kenaru pe tali reje rom we punce e kemarupe cerak sara we mustike e. [22]Wassalamualaikum warrahmatullahi wbarakatuh. [23]Tar pemulo pedih rahism Bismillah,kin pemberkat ni delah kami male berperi, [24] kami erengen urum. [25] Alhamdulillah buge enti mukekunah urum muhali seli tabi mulo langit si ku jujung seringkel payung tabi mulo bumi si ku pijak seringkel tapak, [26]tabi mulo ama maaf mulo ine tabi mulo pamili biyak saudere. [27]Reje kayu rubu pelongoho,doleng kolak seserenen, [28] siremalan kire farmulo si konol kire taruken, si timang kire beret si juil kire murelge, [29] rejr simusiket sifet, petue simu sidik sesat imem simuperlu sunat siberbuat iwan bedang age serta rakyat sigenep mupakat. [30]Sikarna denem ni mata ngele bersiengonen, denem ni ate male bersirasanen, sebelem kami berkeranan urum ari ama reje, [31] teringet kami kin kata pusaka ari negeri antara urum peri mustike ari negeri linge, [32] kuh tuh malo tebok jeli kati kemang jejari 10 mulo kami tatang, [33] kin ganti ni manges kacu bunge lawang katinti mutang gecik... ari akherat sawah ku dunie, [34] kin syarat ni kami mutertip, kin dene kami mulie, kami nahen ku ama reje batil bersaf edet ni sitetue, [35]ukir kerawang kerenem tembege isie lengkap lagi semperne. [36] Sara belo si tumong gageng siben mulekang ilen ari pucukke. [37] Roa pinang siben mulekang ilen ari tampokke. [38] Tulu Kapur tur barang si ancur, oyape kemana nge murom sara pelok [39] Opat bako sugi warnae item, i atente denem rasanye mabok. [40] Lime konyel ara iwan uten, kene jema jemen engok kin uwak ni mabok. [41] Onom kacu oya kene datu jemen. Oya getah ni kayu singe munge beraduk. [42] Pitu bunge lawang oya jarang – jarang wa ku jema singuk. [43]Reje si karna angin berasal, njen berusul, perbuaten berasaliah, [44] asal ni kuyu ari ngutte, [45]sene wonen sene itelege, sene ni kekanak sawak kutetue, ari alamien sawak ku duduk ni tenge, [46] akhere sawak kukite si tetue sene i telege berakah ijoyah sene buge kin bunge,[47] berakahni mera kin uwah. [48]Asal usul ni buetni ari resam ni bebujang, munanang mah galak ni ate, [49] teles mulintes bunge si tengah kemang temas ipang


(3)

kona ku atep, [50]iwan empus ara pejamurem rukus rebus bercecah ungke, [51] enguk rulus ulung kin pingen biyespetus gere bergule, [52] jarak le jarak ku pedusunen tar kala mampak renyel ku mendale cerak-cerak iper simpangen beluh ulak mudemu sabe, [53] umah kul kin pengerjen iken ge akur ume berume, [54] kemahatur lagu jemen gelah jujur si telang ke. [55]Reje _ teringet kite utang ni jema tue kin buah ate jantung rasa ni ara tulu kire eurakke. [56] Sara iturun manin, ioboh prasin italu gerelle. [57] Roa iserahen ku tengku guru, si dungu buge kati panenge ara si ara arae. [58] Tulu warus berwajib bela perintah, ringen berberet sinte berluah, kin pong [59] mupakat urum musyawarah kin tempah tamah si lelang gantung kati perin jema kite mutertip i pikiri nasib i tungkaki untung. [60]Karna nge iyamik ni ama rejr kami ari alam-alamen ku duduk ni tenge, isang ni ama reje kami ku atanni kite si pitu tenge, [61] ikunulen ni ari reje kuatan batang ruang si pitil batang ari cike ara ari benang, sitekeke wani kite si delene pelastek ari jepang. [62]Reje jentik ne pepeltek mucantik urum kedidi, ike delepe tenaruh ni etik ke gere korek gere mujadi sentan kami tilik gere ne mempat winni pejejek lagu tersik, [63] sentan kami timang gerene remang pelintang lagu belide, [64] sentan kami etong gerene mampat pejenyong lagu tolong, [65] katinti kase ken omong mumerahi pong urum sudere. [66]Angan kire kasat ujet kire urum cinte male kite bobon winne kin kiding pantas kati temas kite mutalu kin pumu naru kakiti ni kayu kati lemas kite mujangko, [67] male kite bobon ken senok kin peniduk ni waib lalu. [68]Reje roa lao si kukudukni nge sewah kami ku batang ruang tete gergel ni ama reje, [69]munemeyen kire bebalun berukir urum batil tembege, [70] bererengen urum beras padi si tungket imen, sigere mera putus ari wan beberasen. [71] Kin perampan kire bade, kin penampong kire dene, siremalan bererengan urum belo beronom pitu berpinang kire tulu, [72] berjarum ayu, si bertenenting berpocak mien kukuning, [73] bermohon ari ulu sawah ku kiding, [74]buge nguk kin riling ni ampie ni kuyu bode, belang si gere ilen terpancang uten si gere ilen bertene. [75]Reje [76]Singket ni peri konot di cerak kusowahen ku sudere saat ketike munosah tenah betelah ke basa besilo [77]- putehe berbilang kati terang. [78]- kuninge bertunang berupa tangang.... beriringen mien tempat tidur lengkap urum isie. [79]Reje! [80]Ari bulet ni pakat urum tirus nigenap uru ari reje munungen


(4)

adet urum resam turun ceram, singemubekas mujule mas kebasa besilo, [81] mungkuh renyel buet, musemet renyel janyi mupasti renyel waktu, isewah ni kekelang ku batang ruang kati terang. [82] I sampe ni telangke sibijak pane, [83] i ke gere mahali seli urum makelekio sewah ukum. [84]Reje. [85]Kami sigehni ara curakke. [86] Sara kekanak uadah mah kakak kakake [87] Roa sitetue singe maligen urum inge – inge [88] Tulu si memude simah gajah tegerre. [89] Opat si tetue pelen. Si gatune silep si biasae lupe ini pe kami tiro morji ku tuah bahgie. [90]Reje. [91]Kami sigehni nge rempek ari sukut sudere, pamili, biak, ari sagi, pendari, munatangen kire jejari sepuluh kati penuh sebelas urum utok ni kepala nikami. [92] Ari ama reje.[93] Munyerahen buah ate jantung rasa ku ama reje, penyerahan ni kami ni secara edet katenti puren kin upel ueum ceka,[94] okami tonai nume karna male musangka, kami amik nume karena mabota, karena nge iyengonni ama reja iarap ni ama reje urum bimang,[95] dan katinti bewene sudere salah panang, nume si kuen kirea,[96] waloupe bebulang, ike ibarat reje tiang si roani kin terupang boh gere mulingan ike gaikise gegebe. [97]Terbang ni keleton ian lao iyo tampel senye gerilo mukekamang karena nge tumong janyuite sitetue katinge silaha atanni ampang. [98] Tai ini reje konot doa selalu tarisnume kerence rempele nahma wujudte ini sikami nahan ku ama reje.

2. Melengkan Munerime Rempele (Melengkan menerima pengantin laki-laki)

[99]Reje... assalamualaikum awal ni peri bismillahirrahmanirahhim mulo ni kaji berdoa kite ku allahirabbi selawat urum salam ku rasul nabi [100]Reje... tabi mulo ku lanit si ku jujung seringkel payung, tabi mulo bumi si ku jejak seringkel tapak, tabi reje tabi tuen putri, [101] tabi kuen tabi kiri, tabi bewenne simukamul i awan batang ruang tete gergelni. [102]Reje... tabi reje simusuket sisifet sitingi derejet tabi mulo petue simusidik sasat sigere pipet tabi mulo imem simumerlu sunet si gere ilet, [103] tabi mulo rakyat sigenap mupakat. [104]Reje... ari kata oleh te nagin muasal munengon kite ari gerake uruen mu usul munengon kite ari redukte kati perbueten te ni muasalliah. [105]Reje... kenannge sawah reje kualam-alaman beraron naru musara niringen dele ni tamunen sara loloten gere musi kuyui gere tauhi uren alhamdulillah


(5)

singuk kami perinen. [106]Reje... kul pedi rasa ni tuah raya pedi rasa ni bahgie. [107] Ari pitu petala langit, pitu petala bumi lagu mutauh bintang ariu langit mupancar intan ari bumi kun tenumpit ni kami.[108]Reje ku alui kulah ni dene ari kul ni ate kin iringen ni reje ku rai ku alam-alamen kene jema jemen tene mulie ku amiken ari awahni pintu kati selalu ku batang ruang ku amiken ari sawah ni pintu. [109]Reje... keta ini jamurte taring supu kin penyebu, [110] rering kin penyiding kin penampis ni ari musi kuyu kin payung ari serlah luding kunul nge musara tumpuk ratip nge musara nanguk nyawante nge musara peluk. [111]Reje.. pentalumi ari tulu curake tutur atani pematang tutur atani belang tutur atani atani belang tutur atani ruang tutur atani pematang woi ari so woi ari ini tutur atani belang woi ari so abang ari ini. [112] Tape ike turu atani ruang nge ara turun terane nge ara batas urum perulukne. [113]Reje... si kerna oya sa mumetihe kadang beraabang tutur berengi nge italu ujang beta we kunulpe si terkiri nge kami bubiun terkuen. [114] Nge terduru sipatute kunule teruken. Oyape kami tiro tabi. Kusudere kutiro ampun kutuhen. [115]Reje... ari kata olehte kerna nge sawah reje mujulen tenanh munyawah ni janyi berdedingin sejuk bercelala bengi bertimah lemut berbesi berni. [116] Keta taluni renye nge bersut [117] Reje.. melengkan kutiro mulo ari pekekit atepe gunah termah langkah kuterime gere musakit reje mujurah gere susah kami munerime. [118]Reje... tuk mukaro burjenjani akang muniri ikala pedemun berdoa kite allahu rabbi ipak urum uwinni jerohmi petemun kalangmepot siner mucaya jema munepa ikala bernum kite tulung ku allah ta’alla bugemi bumi bumi e gere ne leta langite enti kire mu emun [119]Reje... bier sidahpe naru ni tali i cari-cari sara cerak urum peri ikaji kaji sara we mustikee. [120]Reje... segermi kutiro tabi kadang enta ara salah luah cerak urum peri kesalah kuedet ari bertobat kati lepas denie akherat. [121]Reje... lagu leng sine perinte mane ari sene bugak ku sene buge sene ni ni kekanak sawah ku tetue oya resam ari sedenge si kena sene atani belang wajib atani ruyang si kerna awale nge berpemulon akhirepe keta berkesudahen keta sarae kite roan haruse kite wajiben. [122]Reje... taris nama kirimen rempele nama ujute engon perser erah selese udah enta oya udah enta gere ke turah mungune kami kusudere kami erah mulo sekejep seketike oya ke [123] jemae....(oyale) [124]Nge kami terime sepenuh ate. [125]Reje


(6)

sejeb seketike sine. Reje munye rohan barang bereet, kin putehe gere mukilet dan kin iteme gere bang kelet, ta – ini reje kekik pora kusamut, memang jurah turah bejamur selayak patut menurut edet gayo. [126]Reje sene itelege berakah ijoyah, sene muidi bunge berakah mujodi uwah, [127] sene bubak sene buke sene ni kekanak sewah ku tetue. [128]Batil tembage kerenem pirak lengkap kowel pinang kacu bunge lowang manges ni tetue kin balutte kati belangi ruji opot sogi berukir kerawang mampat ipanang ijurah ni ama reje. [129]Ideni pinang nge kite rasa, apak ni kapur nge kite cube demikien kacu bunge lowang mera kite mumang ike delepe bako inipe kami ucepen terime kasih. [130]Reje _ memang-memang ilang memang-memang ijo beda pudaha beta besilo. Ara ni edet ari kute marhum ara ni hukum ari syiah kuala beta kata oleh ni datunte. [131]Reje taris nume kiremen rempele nama wujutte oya kata oleh ni reje sine, situlu tepang kunul iyatan ni ampang si cengkeh bulang, keta inipe seber mulo sejeb seketike ku kunei mulo [132]ku kuen ku kiri katinti kin barah hati kige ke pasti ini jamu si terime. [133]Alhamdulillah gere lebih urum kurang nge tures ntum terang sitarlah tepang kunul iatan ni ampang nge kami terime. [134]Tar bilangan si jeroh urum ketike si bise kami nge sawah kubatang ruang kutete gergel ni ama reje. [135]Kadang selama kami kunul ibatang ruang ni ama reje gere cocok udah ipanang gere remang udah ipenge. [136] Keta kami tatangaen jejari sepuluh kati penuh sebelas urum ulok kepala ni kami berijin sudere. [137]Reje udah kase kami pipet iwan edet, gere mehat lupen iam peraturen, maklum delah gere bertulen, [138] beber gere berbelide gere mehat ari mudeni beden, [139] simulo ku bobon kupuren si duru kubobon tan riken, sikiri kubobon tarkuwen ini gere kami sejen ampun kutuhen maaf ku tuah bahgiengku.