ANALISIS KUALITAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN RELOKASI TERHADAP PERKEMBANGAN PENDAPATAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BANDAR LAMPUNG

(1)

ABSTRAK

ANALISIS KUALITAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN RELOKASI TERHADAP PERKEMBANGAN PENDAPATAN PEDAGANG

KAKI LIMA DI KOTA BANDAR LAMPUNG Oleh

ENNI SUMARNI

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak kebijakan relokasi terhadap tingkat pendapatan pedagang kaki lima setelah dan sebelum relokasi, untuk mengetahui persepsi pedagang terhadap kebijakan relokasi dan untuk mengetahui kualitas implementasi kebijakan relokasi berpengaruh positif terhadap perkembangan pendapatan pedagang kaki lima di kota bandar lampung.Model persamaan analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji dua beda rata-rata dan regresi linier sederhana. Hasil menunjukan bahwa ada perbedaan pendapatan pedagang kaki lima setelah dan sebelum adanya kebijakan relokasi. Artinya rata-rata pendapatan pedagang kaki lima setelah relokasi tidak sama dengan pendapatan sebelum relokasi. Untuk persepsi masyarakat: hasil penelitian menunjukan bahwa kebijakan relokasi pedagang kaki lima tidak sepenuhnya melibatkan masyarakat. Dengan demikian pemerintah kota hanya melakukan kebijakan sepihak. sehingga ada pihak yang dirugikan dari kebijakan relokasi tersebut yaitu para pedagang kaki lima. Berdasarkan perhitungan regresi linier sederhana berarti korelasi antara variabel x dengan y adalah sebesar 0,070. karena nilai signifikansi 0.593 > 0.05 maka tidak dapat digunakan untuk prediksi. Jadi bisa disimpulkan bahwa persamaan garis regresinya adalah:

y=2,400 + 0,261 x

Kata Kunci: Kebijakan Relokasi, Kualitas Implementasi, Perkembangan Pendapatan Pedagang Kaki Lima.


(2)

ABSTRACT

QUALITY ANALYSIS IMPLEMENTATION OF DEVELOPMENT POLICY RELOCATION INCOME TRADERSFIVE FEET

IN BANDAR LAMPUNG By

Enni Sumarni

The purpose of this study was to determine relocation policies impact on the level income and street vendors after before relocation, To knowing perception merchants against relocation policy and policy implementation to find quality relocation a positive effect on revenue growth hawkers in the city of bandar lampung.model equation analysis used in this study are two different test average and simple linear regression. The results show that there are differences in income vendors before and after the policy relocation. Average income hawkers after relocation is not the same as income before relocation. For public perception: the results showed that the street vendor relocation policy does not fully engage the community. Thus the city only did the policy unilaterally. So that the aggrieved party of the relocation policy that the street vendors. Calculations based on simple linear regression mean correlation between variables x and y is equal to 0.070. Since the significance value 0.593> 0.05 then can not be used for prediction. So it can be concluded that the equation of the regression line is: Y = 2.400 + 0.261 X

Keywords: Relocation Policy, Quality Implementation, Development Revenue hawkers.


(3)

(4)

(5)

PERSEMBAHAN

Dengan tidak mengurangi rasa syukur kepada Allah SWT

dan segenap rasa cinta kasih serta kerendahan hati,

penulis persembahkan skripsi ini

kepada:

Bak dan Mak tercinta yang telah tulus dan ikhlas membesarkan

dan mendidikku dengan limpahan dan cinta kasih sayang,

berdoa dan selalu mengorbankan kebahagiaan mereka

demi keberhasilan penulis

Untuk kakakku Udo Jossen Saputra dan Wo Marya Yunita, Terima

Kasih untuk motivasi dan dukungan bagi penulis.

Untuk teman-teman Ekonomi Pembangunan angkatan 2010.

Sahabat-sahabat

Dan juga Almamater Tercinta


(6)

MOTO

“Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalatmu Sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”

(Al-Baqarah: 153)

“Hidup memerlukan pengorbananan. Pengorbanan memerlukan perjuangan.” (Enni Sumarni)

“Bukan soal bisa atau tidak bisa, tapi masalah mau atau tidak mau,”


(7)

PERSEMBAHAN

Dengan tidak mengurangi rasa syukur kepada Allah SWT

dan segenap rasa cinta kasih serta kerendahan hati,

penulis persembahkan skripsi ini

kepada:

Bak dan Mak tercinta yang telah tulus dan ikhlas membesarkan

dan mendidikku dengan limpahan dan cinta kasih sayang,

berdoa dan selalu mengorbankan kebahagiaan mereka

demi keberhasilan penulis

Untuk kakakku Udo Jossen Saputra dan Wo Marya Yunita, Terima

Kasih untuk motivasi dan dukungan bagi penulis.

Untuk teman-teman Ekonomi Pembangunan angkatan 2010.

Sahabat-sahabat

Dan juga Almamater Tercinta


(8)

SANWACANA

Bismillahirrohmanirrohim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan petunjuk, rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Kualitas Implementasi Kebijakan Relokasi Terhadap Perkembangan Pendapatan Pedagang Kaki Lima Di Kota Bandar Lampung ” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak memperoleh bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat :

1. Allah swt yang senantiasa memberikan kemudahan dibalik segala kesulitan. Hanya Engkaulah Dzat yang Maha Berkuasa.

2. Bapak Prof. Dr. Satria Bangsawan, S.E., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung;

3. Bapak Muhammad Husaini, S.E., M.E.P., selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan;


(9)

penyelesaian skripsi. Dan selaku Sekretaris Jurusan Ekonomi Pembangunan. Terima kasih untuk masukan dan saran-sarannya.

5. Bapak Monezar Usman, S.E.,M.Si. selaku Pembimbing Akademik. 6. Seluruh dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan

pengajaran dengan baik.

7. Bak dan Mak tercinta yang tidak pernah lelah, tidak pernah letih untuk mendoakan, memberikan semangat dan motivasi, berusaha dengan segenap daya upaya serta kesabaran untuk terciptanya keberhasilan masa depanku, semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesehatan dan kebahagiaan kepada orangtua saya.

8. Kakak – kakak saya tercinta wo marya yunita, Jossen Saputra, Temudo, dan tidak lupa juga untuk keponakan yang paling saya sayangi yaitu Sefa Mulya Putri. Terima kasih telah memberikan dukungan moril maupun materil selama ini.

9. Teman-teman seperjuangan EP 2010. semoga kita cepat sukses, amiin. 10. Sahabatku semenjak kecil Cudo Nia Lediarti, Terima kasih telah memberikan

pengalaman yang luar biasa semenjak kita duduk dibangku sekolah dasar sampai sekarang dan sampai masa yang akan datang.

11. Sahabat – Sahabat yang paling saya sayangi, Fischa Annisa, Eindah

Murniati, Diah Asri Lestari, Susanti dan Erika Marsella. Terima kasih kalian selalu memberi suport dukungan buat saya, kalian teman yang selalu


(10)

kekanak-12. Wo Cory Frisca,S.Pd.dan Ngah Rika Syafitri,S.Pd adalah teman terbaik sekaligus saudara ku yang selalu ada buat saya, yang selalu membantu saya baik secara moril maupun secara materil. Beliau selalu memberikan masukan dukungan serta perhatian yang luar biasa kepada saya, beliau selalu bisa memaklumi dan menghargai kekurangan dan kelebihan saya.

13. Wo Dian Setia Rini, Terimakasih karena telah menjadi teman yang terbaik. 14. Terima kasih buat Keluarga besar Kostan WISMA ANANDA

15. Latifa, Hana Eka Shandy, Devi Paul, Devi Ipul, Desitarani Kusuma Awalina,Moza, Riski, Rini,desta, tut wuri, monic, dan yang lainnya teman yang selalu sabar dan ikhlas membimbing dalam proses penulisan skripsi ini. 16. Beberapa pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penulisan skripsi ini

yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Bandar Lampung, 09 Juni 2014 Penulis,


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ..i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... .v

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah ...8

C. Tujuan Penelitian ...8

D. Kerangka Pemikiran ...8

E. Manfaat Penelitian ...9

F. Hipotesis ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Kebijakan Publik ... 13

B. Proses Kebijakan Publik ... 16

C. Konsep Sektor Informal ... 20

D. Pedagang Kaki Lima (PKL) ... 23

E. Teori Lokasi ... 27

F. Teori Pendapatan ... 33

G. Pengertian Eksternalitas ... 34

H. Jenis – jenis Eksternalitas ... 35

I. Implementasi Kebijakan ... 36

J. Definisi Kualitas ... 39

K. Penelitian Terdahulu ... 41

III. METODE PENELITIAN A. Jenis Dan Sumber Data ... 43

B. Batas Penelitian ... 44


(12)

2. Uji Validitas ... 47

3. Uji Reabilitas ... 48

4. Uji Korelasi ... 49

5. Uji Regresi ... 51

6. Uji Statistik ... 52

D. Lokasi Penelitian ... 53

E. Populasi dan Sampel ... 54

F. Penentuan Skor Jawaban Responden ... 56

G. Gambaran Umum Kota Bandar Lampung ... 56

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 58

B. Analisis Data ... 58

1. Uji Validitas ... 59

2. Uji Reliabilitas ... 59

3. Uji perbedaan Dua Rata – rata ... 59

4. Uji Korelasi ... 61

5. Uji Regresi ... 62

6. Uji Statistik ... 65

C. Data Hasil Pernyataan Responden ... 66

D. Implikasi Hasil Penelitian ... 75

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Jumlah dan Bidang Usaha Pedagang Kaki Lima Di Terminal

Ramayana 2012...3 2. Data Wilayah Administrasi

Kota Bandar Lampung ...47 3. Tanggapan pedagang kaki lima terhadap kebijakan relokasi

yang dilakukan oleh pemerintah daerah ...53 4. Tanggapan tentang sosialisasi yang dilakukan pemerintah

daerah untuk relokasi PKL di Kota Bandar Lampung ...54 5. Tanggapan mengenai fasilitas yang diberikan

pemerintah daerah terhadap PKL ...54 6. Tanggapan para PKL setelah adanya relokasi ...55 7. Tanggapan para PKL mengenai keadaan

konsumen setelah relokasi ...56 8. Tanggapan para PKL tentang kesejahteraan setelah relokasi ...57 9. sewa tempat pedagang kaki lima yang ditetapkan

oleh pemerintah daerah ...58 10.tanggapan tentang pendapatan pedagang kaki lima ...58 11.Tanggapan mengenai pendapatan sebelum

dan setelah relokasi ...59 12.tentang keamanan pedagang kaki lima setelah relokasi ...60 13.tentang kenyaman pedagang kaki lima setelah adanya relokasi ...60


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Pemikiran ... 9

2. Siklus Pembuatan Kebijakan ...15

3. Siklus Proses Kebijakan menurut Thomas R. Dye dalam Dunn ...16

4. Proses Kebijakan Publik Menurut Easton ...17

5. Proses Kebijakan Publik Menurut Anderson, dkk ...17

6. Proses Kebijakan Publik Menurut Dye ...18

7. Model “Bid-Rent” dan Zona Penggunaan Lahan Kota ... ...29


(15)

I.PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu sektor informal yang menjadi fenomena di perkotaan adalah Pedagang Kaki Lima (PKL). Dengan adanya keterbatasan lapangan kerja di sektor formal, Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi pilihan yang termudah untuk bertahan hidup. Hal tersebut sesuai dengan ciri-ciri dari sektor informal yaitu mudah dimasuki, fleksibel dalam waktu dan tempat, bergantung pada sumber daya lokal dan skala usaha yang relatif kecil. Kehadiran Pedagang Kaki Lima (PKL) sering dikaitkan dengan dampak negatif bagi lingkungan perkotaan dengan munculnya kesan buruk, kotor, kumuh dan tidak tertib. Hal ini ditunjukkan oleh penempatan sarana perdagangan yang tidak teratur dan tertata serta sering menempati tempat yang menjadi tempat umum. (Rachbini dan Hamid, 1994: 3).

Pedagang Kaki Lima atau disebut juga dengan PKL adalah pedagang yang menjalankan kegiatan usahanya dalam jangka waktu tertentu dengan

mempergunakan sarana atau perlengkapan yang mudah dipindahkan, dibongkar pasang dan mempergunakan lahan fasilitas umum sebagai tempat usahanya. Akan tetapi adanya kebutuhan terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL) oleh masyarakat menjadikan keberadaan para Pedagang Kaki Lima (PKL) pun semakin banyak. Masyarakat terutama yang kelas bawah masih membutuhkan mereka untuk


(16)

memenuhi kebutuhan yang terjangkau. Dengan demikian, meningkatnya jumlah Pedagang Kaki Lima (PKL) bukan semata-mata karena keinginan para pedagang tadi untuk memperoleh pendapatan (push factors), tetapi lebih karena tuntutan pasar yang membutuhkan jasa Pedagang Kaki Lima (pull factors). Di samping itu jenis usaha ini juga memberikan dampak yang menguntungkan (positive

spillovers) seperti mengurangi beban pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja, membantu proses daur ulang beberapa jenis sampah, serta menjadi alternatif terbaik bagi kelompok berdaya beli rendah.

PKL sebagai tulang punggung ekonomi masyarakat lemah, membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah dalam hal penyelenggaraan iklim yang kondusif bagi berkembangnya usaha mereka. Penyelenggaraan iklim yang kondusif bagi berkembangnya mereka akan mengefektifkan pengelolaan dan penaataan PKL agar meningkat dan berkembang skala usahanya tanpa mengabaikan ketertiban, kebersihan dan keindahan kota seperti yang diatur dalam Perda 11/2005 tentang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Selain itu PKL juga sebagai bagian dari masyarakat pelaku usaha memiliki potensi besar untuk dikembangkan dan diberdayakan. Maka dari itu, perlu adanya pemahaman lebih menyeluruh mengenai kebijakan penataan PKL.

Sesuai dengan perkembangan adanya Era Reformasi di Indonesia, maka PKL bukan untuk dilarang dan bukan untuk diusir. Namun, lebih dari itu PKL adalah merupakan asset yang potensial apabila dibina, ditata, dan dikembangkan status usahanya. Lebih khusus dalam peningkatan laju pertumbuhan ekonomi kota atau dapat meningkatkan pendapatan asli daerah.


(17)

Sektor informal dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan perkotaan. Selain membuka kesempatan kerja, sektor informal juga dapat meningkatkan pendapatan bagi masyarakat kota. Namun, pertumbuhan sektor informal yang pesat tanpa mendapat penanganan yang baik dan terencana akan menimbulkan persoalan bagi kota. Untuk itu, pemerintah kota harus jeli dalam menangani masalah sektor informal itu. Sehingga, sektor informal dapat tumbuh dengan subur tanpa mengganggu kepentingan umum, terutama tidak mengganggu keamanan, ketertiban dan keindahan kota.

Tabel 1. Jumlah dan Bidang Usaha Pedagang Kaki Lima Di Terminal Ramayana 2012

No JENIS DAGANGAN JUMLAH PEDAGANG

1. Warung Rokok 14

2. Accesories 31

3. Pakaian 11

4. Sepatu & Sandal 46

5. Tas 5

6. Warung Makanan 21

7. Warung Minuman 13

8. Buah –buahan 5

9. Alat – alat Pertanian 1

10. Parfum 3

11. Kaset VCD 31

12. Jam 4

13. Poster 4

14. Buku 9

JUMLAH 198 PEDAGANG


(18)

Dari tabel 1. Tentang jumlah pedagang kaki lima dan bidang usahanya, bisa dilihat bahwa bidang usaha yang lebih diminati adalah yang pertama yaitu bidang usaha sepatu & sandal, sedangkan yang kedua adalah dalam bidang accesories & kaset VCD, yang ketiga adalah dalam bidang warung makanan,minuman, pakaian & warung rokok sedangkan yang selanjutnya yaitu dalam bidang buku, poster, jam, parfum, buah-buahan, tas dan alat-alat pertanian. Jadi bisa disimpulkan bahwa bidang usaha yang paling diminati oleh pedagang kaki lima yang berada disekitar terminal ramayana adalah dalam bidang usaha sandal & sepatu.

Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa Pedagang Kaki Lima (PKL)

mempunyai sisi positif dan sisi negatif. Hal ini merupakan dilema bagi pemerintah kota dalam mengatasi menjamurnya Pedagang Kaki Lima (PKL). Di dilihat dari sisi positifnya keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) dapat menyerap tenaga kerja yang tidak tertampung di sektor formal sehingga dapat mengurangi beban pemerintah dalam mengatasi pengangguran. Sedangkan di lihat dari sisi

negatifnya, keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) memberikan kesan kotor, kumuh dan tidak tertib terhadap lingkungan perkotaan yang tidak diinginkan oleh pemerintah kota dalam menata kotanya.

Berangkat dari permasalahan itulah pemerintah Kabupaten Bandar Lampung kemudian membangun tempat baru bagi para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang sebelumnya tersebar di Daerah Pasar Tengah yaitu tepatnya di Jalan Pangkal Pinang Kecamatan Tanjung Karang Pusat Kota Bandar Lampung Di pindahkan ke Jalan Raden Intan tepatnya di Pasar Terminal Ramayana Kecamatan Tanjung Karang Pusat. Pasar Terminal Ramayana ini adalah tempat sentra Pedagang Kaki


(19)

Lima (PKL) Kota Bandar Lampung setelah adanya penertiban oleh pihak pemerintah daerah yaitu Satuan Polisi Pamong Praja dalam menjaga keindahan kota. Dengan direlokasinya para Pedagang Kaki Lima (PKL) tersebut, maka permasalahan di pusat kota utamanya masalah ketertiban dan keindahan kota Bandar Lampung yang awalnya terlihat kumuh dan semrawut kini sudah mulai terlihat rapi dan secara garis besar permasalahan dapat teratasi.

Namun, dalam waktu dekat setelah adanya relokasi para Pedagang Kaki Lima (PKL) tersebut tidak semua menempati Pasar Terminal Ramayana, banyak para pedagang kaki lima yang kembali pada tempat semula berjualan dan sering juga ditemukan dipinggir-pinggir jalan, depan ruko-ruko dan sebagainya. Berdasarkan wawancara langsung yang dilakukan peneliti terhadap sebagian pedagang yang tidak mau menempati Pasar Terminal Ramayana yaitu disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain;

1. Lokasi para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang sebelum ada pemusatan ke Pasar Terminal Ramayana, tempat berjualannya terbuka dan mudah dijangkau oleh konsumen, namun setelah pemusatan Pedagang Kaki Lima (PKL) ke Pasar Terminal Ramayana, kini lokasinya lebih tertutup sehingga kurang terakses oleh pelanggan dari masing-masing Pedagang Kaki Lima (PKL) tersebut.

2. Jatah tempat dari masing-masing Pedagang Kaki Lima (PKL) yang disediakan oleh pemerintah terlalu sempit, sehingga tempat berjualan antar pedagang harus berdempetan. Karena pada sebelumnya para Pedagang Kaki Lima (PKL) ini bisa memamfaatkan tempat berjualan sesuai dengan kebutuhan, namun


(20)

setelah relokasi ke Pasar Terminal Ramayana para pedagang harus menempati sesuai jatah dari pemerintah yaitu 1 m – 3 m persegi, padahal sebelumnya, diantara beberapa Pedagang Kaki Lima (PKL) harus membuka warungnya selebar 3 m – 6 m (sesuai kebutuhan).

Relokasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan apabila tidak terpenuhinya daerah-daerah yang digunakan untuk berdagang para PKL tersebut. Menurut Rudi ( 2011: 7), “Terhitung pada tahun 2006 ada sekitar 5.817 PKL yang menempati tempat-tempat umum dan akan menimbulkan kekacauan tata kota. Alasan tersebut yang menjadi tonggak awal pemerintah perlu melakukan suatu penataan PKL, dan sekaligus untuk mengembalikan fungsi tata ruang kota seperti semula”.

Kebijakan peraturan dan pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL) melalui Peraturan daerah No.11 Tahun 2000 ini dikeluarkan dengan melihat latar belakang secara umum kondisi nasional Indonesia yang tidak begitu baik dan kondisi kota Bandar Lampung pada khusunya. Selain Peraturan daerah No.11 Tahun 2000 Pemerintah juga memberikan Peraturan Daerah no.14 Tahun 2011-2031 tentang rencana tata ruang wilayah.

Upaya pengaturan tempat usaha para PKL ini berdasarkan pada Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2000 pasal 2 yang berbunyi :

1. Pengadaan, pemindahan dan penghapusan lokasi PKL ditetapkan oleh Walikota.

2. Lokasi dan pengaturan tempat-tempat usaha PKL sebagaimana dimaksud ayat (1) ditunjukan dan ditetapkan oleh Walikota.


(21)

dimaksud ayat (2) adalah lokasi milik dan atau yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah atau pihak lain.

Kemudian dalam pasal 3 berbunyi :

“Penunjukan atau penetapan tempat-tempat usaha sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) diatur dengan mempertimbangkan fasilitas PKL yang ada dan tempat kepentingan umum lainnya.

Kebijakan relokasi yang diatur oleh pemerintah daerah tentunya memiliki efek atau dampak bagi pedagang kaki lima itu sendiri dan juga bagi lingkungan. Dua kriteria yang digunakan yaitu internal dan eksternal. Internal yaitu bagaimana dampak terhadap PKL dalam hal peningkatan ekonomi, rasa keadilan dan eksternal yaitu bagaimana keterkaitannya dengan lingkungan. Dampak terhadap lingkungan memberikan implikasi yang positif yaitu tertatanya lingkungan dengan baik, dengan pengolahan limbah pasar, penghijauan sekitar pasar relokasi, sehingga lingkungan pasar menjadi asri dan tidak terlihat kesan kumuh (ramah lingkungan). Sedangkan dampak negatif yaitu menurunnya modal dan pendapatan, meningkatnya biaya operasional, menurunnya aktivitas pasar (produksi, distribusi dan konsumsi), melemahnya jaringan sosial (pelanggan) dan menurunnya kesempatan pedagang untuk ikut dalam kelompok-kelompok sosial non formal. Oleh karena itu, untuk mengetahui hal ini secara lebih mendalam, maka perlu diadakan penelitian lebih lanjut yaitu tentang “Analisis Kualitas Implementasi Kebijakan Relokasi Terhadap Perkembangan Pendapatan Pedagang Kaki Lima Di Kota Bandar Lampung “.


(22)

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dalam penelitian ini, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah Dampak Kebijakan Relokasi Terhadap Tingkat Pendapatan Pedagang Kaki Lima (PKL) Setelah dan Sebelum Relokasi?

2. Apakah pedagang kaki lima memiliki persepsi yang positif terhadap kebijakan relokasi?

3. Apakah Kualitas Implementasi Kebijakan Relokasi berpengaruh positif terhadap perkembangan pendapatan Pedagang Kaki Lima?

C.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dampak kebijakan relokasi terhadap tingkat pendapatan pedagang kaki lima setelah dan sebelum relokasi.

2. Untuk Mengetahui Persepsi Pedagang Terhadap Kebijakan Relokasi. 3. Untuk mengetahui kualitas Implementasi Kebijakan Relokasi berpengaruh

positif terhadap perkembangan pendapatan Pedagang Kaki Lima

D. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan studi pustaka yang telah dikemukakan, penelitian ini akan menganalisis pengaruh penataan terhadap perubahan pendapatan dan pembeli (konsumen) pedagang kaki lima (Studi Penelitian : Pasar Terminal Ramayana). Pengaruh tersebut dilihat dari segi jumlah konsumen, perubahan keuntungan usaha dan omset penjualan sebelum dan sesudah terjadinya pembangunan tempat


(23)

penjualan di kawasan terminal ramayana. Dari penjelasan kerangka pemikiran teoritis diatas secara skema kerangka pemikiran teoritis dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.Bagan Kerangka Pikir

E. Manfaat Pnelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis

Dapat dijadikan sebagai salah satu wahana pengembangan ilmu pengetahuan kemasyarakat kemasyarakat khususnya bagi pemerintah kota Bandar Lampung.

RELOKASI PKL

Pendapatan PKL sebelum adanya relokasi

Pendapatan PKL sesudah adanya relokasi

Jumlah pembeli (konsumen)

Jumlah pembeli (konsumen)

Keuntungan (laba) Omset

penjualan Omset


(24)

Serta dapat dijadikan sebagai acuan bagi pemerintah untuk membuat dan melaksanakan kebijakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas.

2. Manfaat praktis

Dapat dijadikan sebagai masukan mengenai upaya-upaya apakah yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan dalam bentuk kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan pedagang kaki lima ( PKL ). Selain manfaat secara teoritis maupun praktis, juga terdapat manfaat-manfaat yang dirasakan bagi pemerintah, masyarakat maupun pedagang kaki lima diantaranya: 2.1 Bagi pedagang kaki lima

Dapat dijadikan suatu pembelajaran yang akan dapat dikembangkan guna memenuhi kebutuhan dan memberikan pencerahan untuk berusaha sesuai dengan ketentuan perda yang berlaku. Serta PKL diharapkan dalam melakukan aktifitas dapat berjalan tertib, aman, nyaman jika mengetahui aturan yang ada dalam peraturan daerah tersebut.

2.2. Bagi Pemerintah Daerah

Dapat memberikan kontribusi dinas tata ruang kota agar menjadi lebih tertib dan lebih baik, dan dapat dijadikan suatu wacana bagi dinas pengelolaan pasar agar dapat menerapkan peraturan dengan baik serta tidak merugikan berbagai pihak.


(25)

F. Hipotesis

1. Diduga Relokasi Mempunyai Dampak negatif Terhadap Tingkat Pendapatan Pedagang Kaki Lima

2. Diduga pedagang memiliki persepsi yang positif terhadap kebijakan relokasi 3. Diduga Kualitas Implementasi kebijakan relokasi berpengaruh positif terhadap

perkembangan pendapatan pedagang kaki lima

G. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan skripsi ini penulisan akan dibagi menjadi lima Bab, sehingga apa yang dikemukakan akan lebih mudah dipahami. Adapun susunannya adalh sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

Merupakan bab yang berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pikir, hipotesis dan

sistematika penulisan. Bab II : Tinjauan Pustaka

Merupakan bab yang berisi berbagai teori yang berkaitan dengan penelitian ini.

Bab III : Metode Penelitian

Merupakan bab yang berisi penjelasan secara rinci mengenai semua unsur metode dalam penelitian ini, yaitu penjelasan mengenai, jenis dan


(26)

sumber data, metode pengumpulan data, metode analisis data serta batasan penelitian.

Bab IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan

Merupakan bab yang berisi analisis dan pembahasan hasil penelitian dampak kebijakan relokasi terhadap pendapatan pedagang kaki lima di Kota Bandar Lampung.

Bab V : Penutup

Bab ini berisi kesimpulan dari hasil pembahasan, keterbatasan penelitian dan saran yang dapat penulis sampaikan dalam penulisan skripssi ini.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Kebijakan Publik

Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan yang muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang

dilakukan oleh instansi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (Mustopadidjaja, 2002). Pada sudut pandang lain, Hakim (2003) mengemukakan bahwa Studi Kebijakan Publik mempelajari keputusan-keputusan pemerintah dalam mengatasi suatu masalah yang menjadi perhatian publik. Beberapa

permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah sebagian disebabkan oleh kegagalan birokrasi dalam memberikan pelayanan dan menyelesaikan persoalan publik. Kegagalan tersebut adalah information failures, complex side effects, motivation failures, rentseeking, second best theory, implementation failures (Hakim, 2002)

Berdasarkan stratifikasinya, kebijakan publik dapat dilihat dari tiga tingkatan, yaitu kebijakan umum (strategi), kebijakan manajerial, dan kebijakan teknis operasional. Selain itu, dari sudut manajemen, proses kerja dari kebijakan publik dapat dipandang sebagai serangkaian kegiatan yang meliputi (a) pembuatan kebijakan, (b) pelaksanaan dan pengendalian, serta (c) evaluasi kebijakan


(28)

Menurut Dunn (1994), proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut diartikan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling tergantung, yaitu (a) penyusunan agenda, (b) formulasi kebijakan, (c) adopsi kebijakan, (d) implementasi kebijakan, dan (e) penilaian kebijakan. Proses formulasi kebijakan dapat dilakukan melalui tujuh tahapan sebagai berikut (Mustopadidjaja, 2002):

1. Pengkajian Persoalan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami hakekat persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat.

2. Penentuan tujuan. Adalah tahapan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan publik yang segera akan diformulasikan.

3. Perumusan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah solusi pemecahan masalah yang mungkin diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. 4. Penyusunan Model. Model adalah penyederhanaan dan kenyataan persoalan

yang dihadapi yang diwujudkan dalam hubungan kausal. Model dapat dibangun dalam berbagai bentuk, misalnya model skematik, model matematika, model fisik, model simbolik, dan lain-lain.

5. Penentuan kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk menilai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kriteria yang dapat dipergunakan antara lain kriteria ekonomi, hukum, politik, teknis, administrasi, peranserta masyarakat, dan lain-lain.


(29)

6. Penilaian Alternatif. Penilaian alternatif dilakukan dengan menggunakan kriteria dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan kelayakan setiap alternatif dalam pencapaian tujuan. 7. Perumusan Rekomendasi. Rekomendasi disusun berdasarkan hasil penilaian

alternatif kebijakan yang diperkirakan akan dapat mencapai tujuan secara optimal dan dengan kemungkinan dampak yang sekecil-kecilnya.

Dunn membagi siklus pembuatan kebijakan dalam lima yaitu tahap pertama tahap penyusunan agenda, tahap kedua melalui formulasi kebijakan, tahap ketiga melalui adopsi kebijakan, tahap keempat merupakan tahap implementasi

kebijakan dan tahap terakhir adalah tahap penilaian atau evaluasi kebijakan. Kelima tahap yang menjadi urut-urutan semuanya perlu dikelola dan dikontrol oleh pembuat yang sekaligus pelaksana kebijakan publik. Tanpa adanya

kepemimpinan yang profesional dan bertanggung jawab maka bukan kesuksesan yang diperoleh melainkan kebijakan yang menbawa kerugian bagi publik

Sumber: Wiliam Dunn (1994)

Gambar 2. Siklus Pembuatan Kebijakan Penyusunan Agenda

Formulasi Kebijakan

Adopsi Kebijakan

Implementasi Kebijakan

Penilaian / evaluasi kebijakan


(30)

Dalam merumuskan ada 5 tahap dalam membuat kebijakan (publik policy) yaitu, pertama penyusunan agenda kebijakan, kedua penyusunan formula kebijakan

(sance policy), ketiga penerapan kebijakan (policy implementation), keempat proses evaluasi, kelima tahap penilaian atau evaluasi kebijakan.

Dalam proses penyusunan kebijakan dapat melibatkan tiga elemen kelembagaan dari ekskutif, legislatif, dan pihak lain yang terkait seperti asosiasi, profesi dan lembaga swadaya masyarakat. Seluruh elemen yang disebutkan di atas menjadi pemangku kepentingan (stockholder) dalam kebijakan publik.

B. Proses Kebijakan Publik

Kebijakan dapat pula dipandang sebagai sistem. Bila kebijakan dipandang sebagai sebuah sistem, maka kebijakan memiliki elemen-elemen pembentuknya. Menurut Thomas R. Dye dalam Dunn (2000: 110) terdapat tiga elemen kebijakan yang membentuk sistem kebijakan. Dye menggambarkan ketiga elemen kebijakan tersebut sebagai kebijakan publik/public policy, pelaku kebijakan/policy stakeholders, dan lingkungan kebijakan/policy environment.

Tiga elemen sistem kebijakan

Sumber : Thomas R. Dye dalam Dunn (2000:110)

Gambar 3.Siklus Proses Kebijakan menurut Thomas R. Dye dalam Dunn

Pelaku


(31)

Ketiga elemen ini saling memiliki andil, dan saling mempengaruhi. Sebagai contoh, pelaku kebijakan dapat mempunyai andil dalam kebijakan, namun mereka juga dapat pula dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Lingkungan kebijakan juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik itu sendiri. Dunn (2000: 111) menyatakan, “Oleh karena itu, sistem kebijakan berisi proses yang dialektis, yang berarti bahwa dimensi obyektif dan subyektif dari pembuat kebijakan tidak tepisahkan di dalam prakteknya”.

Jika kebijakan dapat dipandang sebagai suatu sistem, maka kebijakan juga dapat dipandang sebagai proses. Dilihat dari proses kebijakan, Nugroho menyebutkan bahwa teori proses kebijakan paling klasik dikemukakan oleh David Easton. David Easton dalam Nugroho (2008: 383) menjelaskan bahwa proses kebijakan dapat dianalogikan dengan sistem biologi.

Pada dasarnya sistem biologi merupakan proses interaksi antara mahluk hidup dan lingkungannya, yang akhirnya menciptakan kelangsungan perubahan hidup yang relatif stabil. Dalam terminologi ini Easton menganalogikannya dengan kehidupan sistem politik. Kebijakan publik dengan model sistem mengandaikan bahwa kebijakan merupakan hasil atau output dari sistem (politik). Seperti dipelajari dalam ilmu politik, sistem politik terdiri dari input, throughput, dan output, seperti digambaran sebagai berikut.


(32)

ENVIRONMENT ENVIRONMENT DEMANDS

SUPPORT DECISIONS

OR POLICIES

FEEDBACK

Sumber: David Easton dalam Nugroho (2008: 383) Gamba 4. Proses Kebijakan Publik Menurut Easton

Model proses kebijakan publik dari Easton mengasumsikan proses kebijakan publik dalam sistem politik dengan mengandalkan input yang berupa tuntutan (demand) dan dukungan (support). Model Easton ini tergolong dalam model yang sederhana, sehingga model Easton ini dikembangkan oleh para akademisi lain seperti Anderson, Dye, Dunn, serta Patton dan Savicky.

Menurut James A. Anderson, dkk. dalam Tilaar dan Nugroho (2005:186) proses kebijakan melalui tahap-tahap/stages sebagai berikut:

Sumber : James A. Anderson, dkk. Dalam Tilaar dan Nugroho(2005: 186) Gambar 5. Proses Kebijakan Publik Menurut Anderson, dkk

Policy agenda Policy formulati on Policy adoption Policy impleme ntation Policy evaluati on I N P U T A POLITICAL SYSTEM O U T P U T


(33)

Dijelaskan bahwa tahap-tahap tersebut sebagai berikut:

Stage 1: Policy agenda, yaitu those problems, among many, which receive the serious attention of public officer.

Stage 2: Policy formulation, yaitu the development of pertinent and acceptable proposal courses of action for dealing with problem.

Stage 3: Policy adoption, yaitu the development of support for a specific proposal so that policy can legitimated or authorized.

Stage 4: Policy implementation, yaitu application of the policy by the

government’s administrative machinery to problem.

Stage 5: Policy evaluation, yaitu effort by the government to determine whether the policy was effective and why, and why not.

Pakar lain, Dye mengemukakan tahap proses kebijakan yang hampir mirip dengan model Anderson, dkk. tersebut. Menurut Thomas R. Dye dalam Tilaar dan

Nugroho (2008:189) proses kebijakan publik adalah sebagai berikut :

(Sumber : Thomas R Dye dalam Tilaar dan Nugroho (2008:189)

Gambar 6 Proses Kebijakan Publik Menurut Dye

Di model Dye terlihat bahwa proses kebijakan Anderson, dkk. mendapatkan satu tambahan tahap sebelum agenda setting, yaitu identifikasi masalah kebijakan. Dalam hal ini Dye melihat tahapan pra penentuan agenda (agenda setting) yang terlewatkan oleh Anderson, dkk.. Selain itu Dye juga menggantikan tahap policy adoption dengan policy legitimation. Namun dalam hal ini pergantian ini tidak memiliki perbedaan mendasar karena baik Anderson, dkk. dan Dye sama-sama menekankan pada proses legitimasi dari kebijakan itu menjadi suatu keputusan pemerintah yang sah.

Identific ation of policy problem Agenda setting Policy formulat ion Policy legimitati on Policy implem entation Policy evalua tion


(34)

C.Konsep Sektor Informal

Gagasan sektor informal dilontarkan pertama kali oleh seorang antropolog asal Inggris yaitu Keith Hart, dalam tulisannya yang diterbitkan tahun 1971, setelah melakukan penelitian kegiatan penduduk di kota Accra dan Nima, Ghana. Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan sejumlah aktivitas tenaga kerja yang berada diluar pasar tenaga kerja formal yang terorganisir. Dikatakan “diluar pasar” karena sektor ini termasuk kelompok yang tidak permanen atau tidak ada jaminan tentang keberlangsungan pekerjaan yang dimilikinya Kelompok informal menggunakan teknologi produksi yang sederhana dan padat karya, tingkat

pendidikan dan ketrampilan terbatas dan dilakukan oleh anggota keluarga. Istilah sektor informal semakin populer setelah ILO (International Labour Organization) melakukan penelitian di Kenya dan kemudian melanjutkan penelitiannya tersebut ke negara-negara berkembang lainnya. Pada penelitian tersebut istilah sektor informal dipergunakan sebagai pendekatan untuk

membedakan tenaga kerja yang tergolong dalam dua kelompok yang berlainan sifatnya (Manning dan Effendi, 1996: 75).

Jan Bremen (dalam Manning dan Effendi, 1996: 138-140) memperjelas pengertian sektor informal dengan menyatakan bahwa sektor informal

menunjukkan fenomena perbedaan dua kegiatan yang mempunyai ciri-ciri yang berlawanan. Tenaga kerja formal adalah yang bergaji dalam suatu pekerjaan yang permanen. Sifat semacam ini biasanya dimiliki oleh kegiatan yang saling

berhubungan dalam suatu sistem yang terjalin dengan organisasi yang baik. Pada umumnya mereka yang terikat dalam kontrak kerja kelompok ini mempunyai


(35)

syarat-syarat bekerja yang dilindungi oleh hukum. Di lain pihak, mereka yang berada di luar kelompok ini dinamakan sektor informal.

Studi mendalam tentang sektor informal di Indonesia dilakukan oleh Hans Dieter-Evers, yang menganalogikan sektor ini sebagai bentuk ekonomi bayangan dengan negara. Ekonomi bayangan digambarkan sebagai berbagai kegiatan ekonomi yang tidak mengikuti aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah. Kegiatan ekonomi bayangan ini merupakan bentuk kegiatan ekonomi yang bergerak dalam unit-unit kecil sehingga bisa dipandang efisien dalam memberikan pelayanan. Dilihat dari sisi sifat produksinya, kegiatan ini bersifat subsisten yang bernilai ekonomis dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, khususnya bagi masyarakat yang ada di lingkungan sektor informal (Rachbini dan Hamid, 1994: 3).

Menurut Hidayat (1978, dalam Widodo, 2002: 24) pengertian sektor formal diberikan sebagai sektor yang terdiri dari unit usaha yang telah memperoleh berbagai proteksi ekonomi dari pemerintah. Sedangkan sektor informal adalah unit-unit usaha yang tidak memperoleh proteksi pemerintah dan sektor yang belum mempergunakan bantuan atau fasilitas pemerintah meskipun bantuan itu telah tersedia. Kriteria adanya accessibility terhadap suatu fasilitas yang

disediakan pemerintah adalah yang dipakai sebagai ukuran untuk membedakan usaha sektor formal dan informal.

Sektor informal muncul ke permukaan karena sektor formal tidak memberikan ruang lingkup yang cukup sehingga kegiatan ekonomi berlangsung di luar sektor yang terorganisir. Sektor yang utamanya diisi oleh golongan yang kurang mampu ini terlihat makin menjamur di negara-negara sedang berkembang. Karena


(36)

kegiatannya dipandang ilegal, maka para pengamat menamakan kegiatan ini sebagai kegiatan ekonomi bawah tanah atau sering disebut underground economy

(Rachbini dan Hamid, 1994: 25).

Dari beberapa penjelasan mengenai sektor informal diatas, dapat disimpulkan bahwa sektor informal merupakan suatu unit usaha yang berskala kecil, tidak memiliki legalitas hukum, pola usahanya bersifat sederhana dan menggunakan sistem kekeluargaan, dilakukan oleh dan untuk masyarakat golongan menengah ke bawah, dan dalam aktivitasnya tidak diperlukan keterampilan khusus.

Sedangkan ciri-ciri menurut Todaro (2006: 393) ciri-ciri sektor informal disebutkan sebagai berikut:

1. Sebagian besar memiliki produksi yang berskala kecil, aktifitas – aktifitas jasa dimiliki oleh perorangan atau keluarga, dan dengan menggunakan teknologi yang sederhana.

2. Umumnya para pekerja bekerja sendiri dan sedikit yang memiliki pendidikan formal.

3. Produktifitas pekerja dan penghasilannya cenderung lebih rendah daripada di sektor formal.

4. Para pekerja di sektor informal tidak dapat menikmati perlindungan seperti yang didapat dari sektor formal dalam bentuk jaminan kelangsungan kerja, kondisi kerja yang layak dan jaminan pensiun.

5. Kebanyakan pekerja yang memasuki sektor informal adalah pendatang baru dari desa yang tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja di sektor formal.


(37)

6. Motivasi mereka biasanya untuk mendapatkan penghasilan yang bertujuan hanya untuk dapat bertahan hidup dan bukannya untuk mendapatkan keuntungan, dan hanya mengandalkan pada sumber daya yang ada pada mereka untuk menciptakan pekerjaan.

7. Mereka berupaya agar sebanyak mungkin anggota keluarga mereka ikut berperan serta dalam kegiatan yang mendatangkan penghasilan dan meskipun begitu mereka bekerja dengan waktu yang panjang.

8. Kebanyakan diantara mereka menempati gubuk – gubuk yang mereka buat sendiri di kawasan kumuh (slum area) dan permukiman liar (schelter) yang umumnya kurang tersentuh pelayanan jasa seperti listrik, air, transportasi serta jasa – jasa kesehatan dan pendidikan.

Dari penjelasan di atas aktivitas sektor informal yang dikategorikan sebagai unit usaha kecil bisa bersifat mendukung aktivitas formal dan apabila diberdayakan dan dikembangkan dengan baik akan bersinergi dengan sektor formal perkotaan untuk saling melengkapi kebutuhan warga kota.

D. Pedagang Kaki Lima (PKL)

Pedagang kaki lima merupakan salah satu bentuk aktivitas perdagangan sektor informal (Dorodjatun Kuntjoro Jakti, 1986). Pedagang kaki lima adalah pedagang kecil yang umumnya berperan sebagai penyalur barang-barang dan jasa ekonomi kota. Sektor informal yang dominan di daerah perkotaan adalah pedagang pinggir jalan dan merupakan kegiatan ekonomi skala kecil yang menghasilkan dan atau


(38)

mendistribusikan barang dan jasa yang selanjutnya dapat disebut sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL).

Mc. Gee dan Yeung (1977 : 25), memberikan pengertian PKL sama dengan ”hawkers”, yang didefinisikan sebagai sekelompok orang yang menawarkan

barang dan jasa untuk dijual pada ruang publik, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Dalam perkembangan selanjutnya pengertian PKL ini menjadi semakin luas, dapat dilihat dari ruang aktivitas usahanya, yang hampir menggunakan ruang publik yang ada seperti jalur-jalur pejalan kaki, areal parkir, ruang-ruang terbuka, taman-taman, terminal, dan bahkan di perempatan jalan serta berkeliling dari rumah ke rumah melalui jalan-jalan kampung di perkotaan. PKL di Indonesia saat ini dapat dikatakan mendominasi kegiatan ekonomi masyarakat terutama di perkotaan. Perkembangan suatu kota selalu diikuti perkembangan jumlah PKL yang memenuhi ruang publik kota.

Berdasarkan penelitian Kamala Chandrakirana dan Isono Sadoko (1994:37) ciri- ciri PKL antara lain:

1. Sebagai pedagang eceran yang menjual langsung ke konsumen;

2. Mendapatkan pasokan barang dagangan dari berbagai sumber seperti produsen, pemasok, toko pengecer maupun PKL sendiri;

3. Pada umumnya berperan sebagai pengusaha yang mandiri;

4. Berjualan dengan berbagai sarana: kios, tenda dan secara gelar di pinggirpinggi jalan, atau di muka toko yang dianggap strategis;

5. Semakin besar modal usaha pedagang, semakin permanen sarana usahanya; 6. Pada umumnya mempekerjakan anggota keluarganya sendiri untuk membantu; 7. Kebanyakan pedagang menjalankan usahanya tanpa izin;


(39)

8. Rendahnya biaya operasional usaha PKL;

9. Cara pembayaran bahan mentah/barang dagangan secara kontan;

10. Bebas menentukan waktu usahanya atau tidak mengenal pembatasan waktu usaha.

Dari pengertian di atas PKL dapat didefinisikan sebagai pedagang yang

berjualan di lokasi yang strategis dan keramaian umum seperti trotoar di depan pertokoan/kawasan perdagangan, pasar, sekolah, dan pinggir jalan, dan aktivitas yang dilakukan cenderung berpindah-pindah dengan kemampuan modal yang terbatas, dimana kegiatan perdagangannya dapat dilakukan secara berkelompok atau secara individual.

1. Pola penyebaran PKL dan Pola Pelayanan PKL a. Pola penyebaran

Menurut Mc Gee dan Yeung (1977:76) pola penyebaran PKL dipengaruhi oleh aglomerasi dan aksesibilitas.

(a).Aglomerasi, aktivitas PKL selalu akan memanfaatkan aktivitas-aktivitas di sek tor formal dan biasanya pusat-pusat perbelanjaan menjadi salah satu daya tarik lokasi sektor informal untuk me-narik konsumennya. Adapun cara PKL menarik konsumen dengan cara ver-jualan berkelompok (aglomerasi). Para PKL cenderung melakukan kerjasana dengan pedagang PKL lainnya yang sa-ma jenis dagangannya atau saling mendukung seperti penjual makanan dan minuman. Pengelompokan PKL ju-ga merupakan salah satu daya tarik bagi konsumen, karena mereka dapat bebas memilih barang atau jasa yang diminati konsumen.


(40)

(b). Aksesibilitas, para PKL lebih suka ber-lokasi di sepanjang pinggir jalan utama dan tempat-tempat yang sering dilalui pejalan kaki

Menurut Mc.Gee dan Yeung (1977:37-38), pola penyebaran aktivitas PKL, ada dua kategori, yaitu:

(a). Pola penyebaran PKL secara menge-lompok (focus aglomeration), biasa ter-jadi pada mulut jalan, disekitar ping-giran pasar umum atau ruang terbuka. Pengelompokkan ini terjadi merupakan suatu pemusatan atau pengelompokan pedagang yang memiliki sifat sama / berkaitan. Pengelompokan pedagang yang sejenis dan saling mempunyai kai-tan, akan menguntungkan pedagang, karena mempunyai daya tarik besar ter-hadap calon pembeli. Aktivitas peda-gang dengan pola ini dijumpai pada ruang-ruang terbuka (taman, lapangan, dan lainnya). Biasanya dijumpai pada para pedagang makanan dan minuman.

(b). Pola penyebaran memanjang (linier aglomeration), pola penyebaran ini dipengaruhi oleh pola jaringan jalan. Pola penyebaran memanjang ini terjadi di sepanjang/pinggiran jalan utama atau jalan penghubung. Pola ini terjadi ber-dasarkan pertimbangan kemudahan pencapaian, sehingga mempunyai ke-sempatan besar untuk mendapatkan konsumen. Jenis komoditi yang biasa diperdagangkan adalah sandang / paka-ian, kelontong, jasa reparasi, buah-buahan, rokok/obat-obatan, dan lain.


(41)

2. Pola Pelayanan PKL

Menurut Mc Gee dan Yeung (1977:82-83) sifat pelayan PKL digolongkan menjadi :

(a). Unit PKL tidak menetap, Unit ini ditunjukkan oleh sarana fisik perdagangan yang mudah dibawa, atau dengan kata lain ciri utama dari unit ini adalah PKL yang berjualan bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Biasa-nya bentuk sarana fisik perdagangan berupa kereta dorong, pikulan / keran-jang.

(b). Unit PKL setengah menetap Ciri utama unit ini adalah PKL yang pada periode tertentu menetap pada suatu lokasi kemudian bergerak setelah waktu berjualan selesai (pada sore hari atau malam hari). Sarana fisik ber-dagang berupa kios beroda, jongko atau roda/kereta beratap.

(c). Unit PKL menetap Ciri utama unit ini adalah PKL yang berjualan menetap pada suatu tempat tertentu dengan sarana fisik berdagang berupa kios atau jongko/roda/kereta beratap.

E. Teori Lokasi

Teori tempat pemusatan pertama kali dirumuskan oleh Christaller (1933) dan dikenal sebagai teori pertumbuhan perkotaan yang pada dasarnya menyatakan bahwa pertumbuhan kota tergantung spesialisasinya dalam fungsi pelayanan perkotaan, sedangkan tingkat permintaan akan pelayanan perkotaan oleh daerah sekitarnya akan menentukan kecepatan pertumbuhan kota (tempat pemusatan)


(42)

tersebut. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan timbulnya pusat – pusat pelayanan:

1. faktor lokasi ekonomi,

2. faktor ketersediaan sumberdaya, 3. kekuatan aglomerasi,

4. faktor investasi pemerintah (Sulistiono, 2007:16).

Teori lokasi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi. Atau dapat juga diartikan sebagai ilmu tentang alokasi secara geografis dari sumber daya yang langka, serta hubungannya atau

pengaruhnya terhadap lokasi berbagaimacam usaha atau kegiatan lain (activity). Jadi secara umum teori lokasi ini dikembangkan untuk memperhitungkan pola lokasi kegiatan-kegiatan ekonomi dengan cara yang konsistendan logis, selain itudapat digunakan untuk memudahkan dalam pemilihan lokasi suatu

kegiatanekonomi dan sosial beserta interaksinya dengan wilayah sekitar (Tarigan,2005:122).

Salah satu hal banyak dibahas dalam teori lokasi adalah pengaruh jarak

terhadapintensitas orang bepergian dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Analisis ini dapat dikembangkanuntuk melihat suatu lokasi yang memiliki daya tarik terhadap batas wilayah pengaruhnya, dimana orang masih ingin mendatangi pusat yang memiliki daya tarik tersebut. Hal ini terkaitdengan besarnya daya tarik pada pusat tersebut dan jarak antara lokasi dengan pusat tersebut.


(43)

Secara umum, pemilihan lokasi oleh suatu unit aktivitas ditentukan oleh beberapa faktorseperti: bahan baku lokal (local input); permintaan lokal (local demand); bahan baku yang dapatdipindahkan (transferred input); dan permintaan luar (outside demand) (Hoover & Giarratani). Beberapa teori lokasi yang dikemukakan oleh para ahli yaitu sebagai berikut :

Bid Rent Theories , Von Thunen (1826)Von Thunen yang merupakan bapak dari teori lokasi mengidentifikasi tentang perbedaanlokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Von Thunen pemilihan lokasi didasarkan pada kemampuan membayarharga tanah (bid rent) yang berbeda dengan harga pasar tanah (land rent). Lokasi berdasarkan bid rent tertinggi. Makin dekat letaknya dengan pasar penjualan atau pusatkota makin tinggi sewa tanah makin berkurang biaya transportasi. Perkembangan dari teori Von Thunen adalah selain harga lahan tinggi di pusat kota dan akan makin menurun apa bila makin jauh dari pusat kota.

Menurut Catanese (1989) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kota ini dapat berupa faktor fisik dan non fisik. Faktor-faktor fisik akan

mempengaruhi perkembangan suatu kota diantaranya:

1. Faktor Lokasi

Faktor di mana kota itu berada akan sangat mempengaruhi perkembangan kota tersebut, hal ini berkaitan dengan kemampuan kota tersebut untuk melakukan aktifitas dan interaksi yang dilakukan penduduknya. Kota yang berlokasi di jalur jalan utama atau persimpangan jalan utama akan mampu menyebarkan


(44)

pergerakan dari dan semua penjuru dan menjadi titik pertemuan antara pergerakan dari berbagai arah.

2. Faktor Geografis

Kondisi geografis suatu kota akan mempengaruhi perkembangan kota. Kota yang mempunyai kondisi geografis relatif datar akan sangat cepat untuk berkembang dibandingkan dengan kota di daerah yang bergunung-gunung yang akan menyulitkan dalam melakukan pergerakan baik itu orang maupun barang. Selain itu kota di daerah yang bergunung–gunung akan sulit merencana dan mendesainnya dibandingkan dengan daerah dengan daerah datar. Sebagai gambaran kota yang berada di dataran rendah (rata) lebih cepat berkembang dibandingkan dengan Kota yang berada di daerah yang bergunung-gunung.

Gambar 7. Model “Bid-Rent” dan Zona Penggunaan Lahan Kota

Sedang faktor-faktor non fisik yang berpengaruh terhadap perkembangan suatu kota dapat berupa:


(45)

Perkembangan penduduk data disebabkan oleh dua hal , yaitu secara alami (internal) dan migrasi (eksternal), perkembangan secara alami adalah yang berkaitan dengan kelahiran dan kematian yang terjadi di kota tersebut, sedangkan migrasi berhubungan dengan pergerakan penduduk dari luar kota masuk kedalam kota. Menurut Daljoeni (1987) pembahasan tentang laju perkembangan penduduk meliputi jumlah, pertambahan, kepadatan dan penyebaran. Penyebaran kepadatan penduduk dipengaruhi oleh empat unsur geografis yaitu lokasi, iklim, tanah dan air Kartasapoetra (dalam Novianti 2002)

2. Faktor Aktivitas Kota

Kegiatan yang ada didalam kota tersebut, terutama kegiatan perekonomian. Perkembangan perekonomian ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam kota itu sendiri (faktor internal) yang meliputi faktor-faktor produksi seperti lahan, tenaga kerja, modal serta faktor-faktor yang berasal dari luar daerah (faktor eksternal) yaitu tingkat permintaan dari daerah-daerah lain terhadap komoditi yang dihasilkan oleh daerah yang bersangkutan. Faktor-faktor tersebut pada gilirannya akan membentuk suatu aglomerasi kegiatan perekonomian yang makin lama akan semakin besar dan menyebabkan kota tersebut

R.V.Retcliff dalam (Yunus, 2008:68), mendefinisikan konsep zona penggunaan lahan kota atas dasar variabel kemampuan membayar sewa lahan (land value) dan jarak dari pusat kota. Atas dasar variabel ini, terbentuklah pola pembagian lahan perkotaan atas 4 zona, dari pusat kota menuju ke luar kota, meliputi : retail zone,


(46)

some industrial and transportation facilities zone, residential zone and agriculture zone. Retail function berlokasi pada pusat kota

karena kelangsungan usaha ini membutuhkan derajat aksesibilitas yang paling besar agar memperoleh keuntungan maksimal. Aksesibilitas yang tinggi

dimaksudkan untuk menarik customer (Short, 1984 dalam Yunus, 2008:69). Inilah alasan kenapa sektor retail berani membayar sewa yang tinggi, khususnya pada penjualan high quick turnovergoods, baru kemudian irregular lower

turnovergoods.

Least Cost Location , Alfred Weber (1909) Weber menganalisis tentang lokasi kegiatan industri. Menurut teori Weber pemilihan lokasiindustri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja dimana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum. Prinsip teori Weber adalah : bahwa penentuan lokasi industri ditempatkan di tempat – tempat yang resiko biaya atau ongkosnya paling murah atau minimal (least cost location). Weber menyusun model yang dikenal dengan sebutan segitiga lokasional (locational triangle). Menurut Weber, untuk menentukan lokasi industri ada tiga faktor penentu yaitu : material, konsumsi, tenaga kerja

Ketiga faktor di atas oleh Weber diukur dengan ekuivalensi ongkos transport. Weber juga masih mengajukan beberapa asumsi lagi yaitu : Hanya tersedia satu jenis alat transportasi, lokasi pabrik hanya ada di satu tempat, jika ada beberapa macam bahan mentah maka sumbernya juga berasal dari beberapa tempat. Biaya


(47)

transportasi menurut Weber tergantung dari dua hal pokok yaitu bobot barang dan jarak yang harus ditempuh untuk mengangkutnya.

Market Area Theories (August Losch) Teori ini melihat persoalan dari sisi permintaan/demand (pasar), berbeda dengan Weber yangmelihat persoalan dari sisi penawaran (produksi). Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal. Losch cenderung menyarankan agar lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar. Sehingga dalam teori ini, apabila di asumsikan bahwa lokasi optimal dari suatu pabrik atau industri adalah apabila dapat menguasai wilayah pemasaran sehingga dapat di hasilkan

pendapatan paling besar. Jadi pemilihan lokasi pada prinsip luas pasar (market area) terbesar yang dikuasai oleh perusahaan.

F. Teori Pendapatan

Fisher dalam Choir (2010) menjelaskan bahwa income atau pendapatan sebagai rangkaian pengalaman jiwa seseorang yang berupa keceriaan atau peristiwa tertentu dari berbagai orang lebih dari sekedar sebuah entitas. Faktanya menurut dia, sebuah entitas artisial seperti bisnis tidak mendapatkan income karena bisnis tidak memiliki kesadaran. Konsumsi sebagai kebutuhan absolut menurut konsep Fisher menjadi sangat penting sampai-sampai dia tidak tidak mengakui tabungan sebagai income karena dia menganggap tabungan hanya sebagai konsumsi potensial, dimana tidak ada kegembiraan yang dirasakan mengenai itu.


(48)

Hicks kemudian memperluas konsep income ekonomi dengan yang dikenal sekarang sebagai maintenance of capital intact, dimasukkannya pendapatan yang lain. Mengikuti ide bahwa “ kalkulasi pendapatan dalam praktik adalah untuk memberi seseorang indikasi berapa jumlah yang bisa dikonsumsi tanpa

menjadikan dia miskin”, beliau mengenalkan konsep well-offmess sebagai dasar perkiraan pendapatan seseorang yang dicetuskan Fisher. Menurut dia, pendapatan adalah: “the maximum value which .(a person) can consume during a week and

still expect to be as well off at the end of the week as he was in the beginning”

G. Pengertian Eksternalitas

Menurut Guritno Mangkoesoebroto (1993: 110) yang dimaksud dengan

eksternalitas hanyalah apabila tindakan seseorang mempunyai dampak terhadap orang lain (segolongan orang lain) tanpa adanya kompensasi apapun juga sehingga timbul inefisiensi dalam alokasi faktor produksi.

Secara tradisional eksternalitas disimppulkan oleh Pigou (DJ.A.Simarmata, 1994 :59) sebagai dampak-dampak pada produksi atau kesejahteraan yang tidak mempunyai harga atau yang mempunyai harga parsial. Menurut Meade dalam DJ.A. Simarmata (1994:65) : Eksternalitas adalah kejadian yang menimbulkan keuntungan berarti (menimbulkan kerugian) pada seseorang atau beberapa orang, yang tidak sepenuhnya merupakan peserta pengambilan keputusan atau berbagai keputusan, yang secara langsung atau tidak langsung memungkinkan kejadian bersangkutan dapat terjadi.


(49)

Menurut Walter Nicholsaon yang diterjemahkan oleh Deliarno (1999 : 609): suatu eksternalitas terjadi bila aktivitas ekonomi seseorang yang membawa dampak bagi keadaan ekonomi orang lain tidak direfleksikan dalam operasi pasar.

Menurut Due dan Friedlander yang dikutip oleh Rudy Sitompul (1984:61) Eksternalitas timbul dari interaksi antara fungsi-fungsi produksi dari perusahaan atau fungsi-fungsi kegunaan dari perorangan yang tidak tercermin di dalam harga barang-barang tersebut.

H. Jenis – jenis Eksternalitas

Eksternalitas dibagi menjadi 2 jenis yaitu;

1. Teroduksichnical externality, yaitu tindakan konsumsi / produksi

mempengaruhi tindakan konsumsi / produksi orang lain tanpa kompensasi. 2. Pecunary externality, yaitu tindakan konsumsi / produksi yang lebih

menekankan pada unsur harga dalam perekonomian yaitu kendala anggaran. Akibat tindakan konsumsi / produksi seseorang maka harga input menjadi yang lebih rendah dari seharusnya.

Jenis eksternalitas menurut Jhon F.Due dan Ann Friedlaender yaitu: 1. Eksternalitas konsumsi, terjadi apabila kemakmuran dari suatu orang

dipengaruhi oleh pola-pola konsumsi lain.

2. Eksternalitas produksi, terjadi apabila keluaran (output) suatu perusahaan juga bersifat sebagai masukan (input) bagi fungsi produksi perusahaan.

3. Eksternalitas keuangan, timbul karena adanya saling ketergantungan dari hubungan-hubungan produksi yyang terdapat disetiap perekonomian.


(50)

4. Eksternalitas teknologi, terjadi apabila produsen dari suatu kegiatan tertentu tidak dapat membuat semua keuntungan menjadi kenyataan atau tidak dipaksakan untuk memikul semua biaya yang timbul akibat dari kegiatannya yang diderita oleh perusahaan-perusahaan atau anggota-anggota masyarakat, sehingga timbul keuntungan atau kerugian eksternal.

Ditinjau dari dampaknya, eksternalitas dapat dibagi menjadi dua, yaitu eksternalitas negatif dan eksternalitas positif. Eksternalitas positif merupakan dampak yang menguntungkan dari tindakan yang dilakukan oleh suatu pihak lain tanpa adanya konpensasi dari pihak yang diuntungkan, sedangkan eksternalitas negatif apabila dampaknya bagi orang lain yang tidak menerima konpensasi sifatnya merugikan.

I. Implementasi Kebijakan

a. Implementasi Kebijakan Model Adam Smith

Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan dalam persfektif bottom up adalah Adam Smith. Menurut Smith dalam Islamy (2007), implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini memandang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari persfekti perubahan social dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran. Menurut Smith dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu :


(51)

1. Idealized policy: yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya.

2. Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan.

3. Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan.

4. Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.

b. Implementasi Kebijakan ModelVan Metter dan Van Horn

Model pendekatan top-down yang dirumuskan oleh Donald Van Metter dan Van Horn sebagaimana dalam Agustino (2008:141) disebut dengan A model of the Policy Implementation. Dalam teori ini ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja suatu kebijakan, yaitu :

1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika-dan-hanya-jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realisits dengan sosi-kultur yang mengada pada level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan di


(52)

level warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan public hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.

2. Sumberdaya

Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat terbantung dari

kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia merupakan sumberdaya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tetapi di luar sumberdaya manusia, sumberdaya-sumberdaya lain yang perlu diperhitungkan juga adalah sumber daya financial dan sumberdaya waktu. Ketiga sumber daya ini akan saling mendukung dalam implementasi sebuah kebijakan.

3. Karakteristik Agen Pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan public. Hal ini sangat penting kerena kinerja implementasi akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.

4. Sikap/Kecenderungan para Pelaksana

Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan public. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan


(53)

diimplementasikan adalah kebijakan “dari atas” yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan. 5. Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana

Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi.

6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik

Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan dalam perspektif yang ditawarkan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan

kekondusifan kondisi lingkungan eksternal

J. Definisi Kualitas

Definisi kualitas berdasarkan sudut pandang tiga pakar kualitas tingkat

internasional, yaitu mengacu pada pendapat Crosby, dkk (dalam Yamit, 2005, p7) antara lain :

1. Deming mendefinisikan kualitas adalah apapun yang menjadi


(54)

2. Crosby mempersepsikan kualitas sebagai nihil cacat, kesempurnaan

dan kesesuaian terhadap persyaratan.

3. Juran mendefinisikan kualitas sebagai kesesuaian terhadap spesifikasi, jika dilihat dari sudut pandang produsen. Sedangkan secara obyektif kualitas menurut Juran, (dalam Yamit, 1996, p337) adalah :

Menurut Gaspersz (2002, p181) mendefinisikan kualitas adalah: Totalitas dari karakteristik suatu produk (barang dan atau jasa) yang menunjang kemampuan untuk memenuhi kebutuhan yang dispesifikasikan. Kualitas seringkali diartikan sebagai segala sesuatu yang memuaskan pelanggan atau kesesuaian terhadap persyaratan atau kebutuhan. Perusahaan jasa dan pelayanan lebih menekankan pada kualitas proses, karena konsumen biasanya terlibat langsung dalam proses tersebut. Sedangkan perusahaan yang menghasilkan produk lebih menekankan pada hasil, karena konsumen umumnya tidak terlibat secara langsung dalam prosesnya. Untuk itu diperlukan sistem manajemen kualitas yang dapat

memberikan jaminan kepada pihak konsumen bahwa produk tersebut dihasilkan oleh proses yang berkualitas.


(55)

K.Penelitian-Penelitian Terdahulu

No Tahun Penulis Judul Model Hasil

1. 2010 Agata Ika Febriliana wati

Efektivitas

Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jalan Ki Hajar Dewantara Surakarta

Menggunakan Analisis deskriftif kualitatif dan kuantitatif.

Untuk menggambarkan atau memaparkan fakta yang diperoleh dari penelitian.

kebijakan relokasi PKL di jalan Ki Hajar Dewantara Surakarta dilihat dari sisi pelaksanaanya dikatakan efektif karena tujuan kebijakan tercapai yaitu menciptakan kawasan bebas PKL di dekat Kampus Kentingan UNS dan kawasan yang asri berkaitan dengan dibangunnya Solo Techno Park.

2. 2009 Marthin Rapael Hutabarat “Dampak Kehadiran Pasar Modern Brastagi Supermarket Terhadap Pasar Tradisional Sei Sikembang di Kota Medan”

Menggunakan analisis deskriptif, untuk menguji hipotesis menggunakan metode analisis

Uji-t berpasangan (paired

t-test

Pasar modern dikota Medan mengalami perkembangan sejak tahun 2000 sampai tahun 2009 yang cukup besar, yaitu sebesar 69,07%.

Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah jam buka, rata – rata siklus barang, rata – rata margin laba pedagang sebelum dan sesudah adanya supermarket. Terdapat perbedaan yang

nyata antara pendapatan bersih pedagang sebelum dan sesudah adanya supermarket.


(56)

3. 2004 Dian “Kajian lokasi pedagang kaki lima Berdasarkan

preferensi pkl serta persepsi

Masyarakat sekitar di kota pemalang”.

Analisis deskriptif kuantitatif dengan distribusi frekuensi, analisis tabulasi silang dengan chi kuadrat dan deskriptif kualitatif

Lokasi PKL yang telah ditentukan oleh Pemda menyebabkan pola penyebaran yang berbeda-beda, sedangkan saat ini PKL cenderung mengelompok dengan sejenisnya.

Meskipun telah dibuat peraturan tentang penataan PKL namun baik PKL atau masyarakat menganggp perlu diadakan pengaturan yang lebih lanjut karena pada beberapa lokasi masih kelihatan semrawut dan kurang tertib. Sementara kegiatan PKL sebagai salah satu sektor informal belum terantisipasi dalam perencanaan tata ruang kota sehingga sarana dan prasarana yang ada biasanya kurang mendukung kegiatan PKL

4. 2008 Endang Hariningsi h & Rintar Agus Simatupan

“ Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Usaha Pedagang Eceran Studi Kasus:

Pedagang Kaki Lima Di Kota

Yogyakarta”.

Regresi berganda (Multiple regression) Y = α + β1x1 + β2x2 + β3x3 + β4x4 + β5x5 + β6x6 + β7x7 + β8x8 + β9x9 + β10x10

Kesimpulan secara umum bahwa hipotesis 11 yaitu variabel independen yaitu tingkat pendidikan, jam kerja, pengalaman pengeceran dengan orang lain sebelum mandiri, pengalaman pada posisi sekarang, tingkat persediaan, ukuran tempat, dan jumlah pegawai berpengaruh secara simultan terhadap variabel dependen yaitu pendapatan bersih pedagang kaki lima.


(57)

5. 2006 Hendi Yulianto

“ studi Implementasi Pengaturan dan Pembinaan PKL dalam Program Relokasi di Wilayah Kecamatan

Semarang Timur “

Terdapat hubungan positif antara variable sosialisasi dengan implementasi program, dengan kata lain bahwa sosialisasi yang baik maka implementasi program akan dapat berhasil dengan baik, atau sebaliknya jika

sosialisasi buruk maka akan dapat menghambat keberhasilan implementasi program.

Terdapat hubungan positif antara variabel kesadaran pedagang dengan implementasi program.

Bahwa dengan kesadaran pedagang yang tinggi terhadap suatu kebijakan maka implementasi program akan dapat berhasil dengan baik, atau sebaliknya.


(58)

III. METODE PENELITIAN

A.Jenis Dan Sumber Data

Data-data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu data primer dan sekunder.

1. Data Primer

Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan penyebaran kuisioner kepada kelompok pedagang kaki lima yang mengalami perelokasian. Tujuan penyebaran Kuisioner adalah untuk mengetahui jumlah konsumen, pendapatan PKL, dan masalah yang dihadapi setelah dan sebelum perelokasian di kota Bandar Lampung.

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan pelengkap dari data primer, diperoleh melalui buku, instansi-instansi terkait yaitu kantor Satuan Polisi Pamong Praja Bandar Lampung dan berbagai kepustakaan lainnya, seperti penelitian terdahulu serta dari internet dll.


(59)

B. Definisi Variabel Operasional

Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu variabel atau konstruk dengan cara memberikan arti atau menspesifikasikan kegiatan, ataupun memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur konstruk atau variabel tersebut.(M.Nasir: 1998). Sebagai panduan untuk melakukan

penelitian dan dalam rangka pengujian hipotesis yang diajukan, maka perlu dikemukakan definisi variabel yang digunakan. Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu variabel independent dan variabel dependen.

a) Variabel Dependen.

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah perkembangan pendapatan pedagang kaki lima.

b) Variabel Independen.

Variabel independent dalam penelitian ini adalah kualitas implementasi kebijakan relokasi

C. Metode Analisis dan Pengolahan Data

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif kuantitatif dengan menggunakan teori-teori dan data-data yang saling berhubungan dengan penelitian ini yang bersumber dari berbagai literatur yang mendukung hasil analisa kuantitatif dari penelitian dan disertai analisis statistik untuk mengetahui keterkaitan hasil perhitungan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan alat analisis yaitu, metode statistical product and service solutions


(60)

(SPSS) 16.0 for windows. Selain itu, dalam membahas permasalahan ini peneliti menggunakan rumus uji validitas, uji realibilitas, dan uji perbedaan dua rata-rata.

1. Uji Perbedaan Dua Rata-Rata

Pengujian hipotesis ini dilakukan dengan menggunakan rumusan statistik uji perbedaan dua rata-rata. Rumusan hipotesisnya adalah sebagai berikut:

H0 : µ2 = µ1 : Rata-rata pendapatan pedagang kaki lima setelah Relokasi Sama dengan Pendapatan Sebelum Relokasi.

Ha : µ2 ≠ µ1 : Rata-rata Pendapatan Pedagang Kaki Lima setelah Relokasi tidak sama dengan sebelum Relokasi

Statistik uji yang digunakan adalah:

Z0 = ( D -

D = ∑ = rata-rata-D

∑ ( n-1) = √

= √

Keterangan:

Z0 = Perbedaan dua rata-rata


(61)

n = banyaknya elemen sampel α = tingkat kepercayaan 95% (0,05)

Dengan cara pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:

1. Apabila nilai Z0 ˂ -Ztabel maka dapat dikatakan bahwa nilai Z berada dalam daerah signifikan untuk menolak H0. Artinya kita dapat menerima Ha.

2. Apabila nilai Z0 ≥-Z tabel maka dapat dikatakan bahwa nilai Z berada dalam daerah penerimaan H0.

( J. Supranto, 2009 : 142 )

2.Uji Validitas dan Reliabilitas

a. uji validitas

Validitas adalah suatu instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2004:109). Dan untuk mengukur tingkat validitas soal, digunakan rumus korelasi product moment sebagai berikut:

rxy = ∑ ∑ ∑

√ ∑ ∑ ∑ ∑ Keterangan:

n = jumlah sampel yang diuji ∑x = jumlah skor butir (X) ∑y = jumlah skor butir (Y)


(62)

∑ = jumlah skor butir (X) kuadrat ∑ = jumlah skor butir (Y) kuadrat

Kriteria uji, apabila r hitung >r tabel maka pengukuran tersebut valid, tetapi apabila r hitung < r tabel maka pengukuran angket tersebut tidak valid.

b. uji reliabilitas

Reliabilitas adalah sebuah indeks yang menunjukan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau diandalkan (Singarimbun dan Effendi, 1995:140). Uji reliabilitas merupakan suatu cara untuk melihat, apakah alat ukur berupa kuesioner yang digunakan konsisten atau tidak. Apabila suatu alat ukur dipakai dua kali atau lebih dan hasil pengukuranya konsisten, maka alat pengukur disebut reliabel. Uji reliabilitas konsumen dapat diuji dengan menggunakan rumus

koefisien cronback’s alpha, yang digunakan untuk mencari realibilitas instrumen, skornya bukan 0 dan 1 (suharsimi, 2002: 171). Rumus yang digunakan untuk koefisien cronback’s alpha adalah sebagai berikut:

r1 =

keterangan:

r1 = validitas variabel internal seluruh instrumen

k = jumlah item instrumen

Si2 = jumlah varians item 2 i S


(63)

3. Uji Korelasi

Koefesien korelasi ialah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefesien korelasi berkisar antara +1 s/d -1. Koefesien korelasi menunjukkan kekuatan (strength) hubungan linear dan arah hubungan dua

variabel acak. Jika koefesien korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai hubungan searah. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan tinggi pula. Sebaliknya, jika koefesien korelasi negatif, maka kedua variabel mempunyai hubungan terbalik. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan menjadi rendah dan berlaku sebaliknya. Untuk memudahkan melakukan interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel penulis memberikan kriteria sebagai berikut (Sarwono:2006):

0 : Tidak ada korelasi antara dua variabel

>0 – 0,25: Korelasi sangat lemah

>0,25 – 0,5: Korelasi cukup

>0,5 – 0,75: Korelasi kuat

>0,75 – 0,99: Korelasi sangat kuat

Korelasi sempurna

Korelasi yang digunakan oleh peneliti adalah korelasi Pearson atau Product Moment Correlation.


(64)

rumus ini adalah:

1.Pengambilan sampel dari populasi harus random(acak).

2.Data yang dicari korelasinya harus berskala interval atau rasio. 3.Variasi skor kedua variabel yang akan dicari korelasinya harus sama.

4.Distribusi skor variabel yang dicari korelasinya hendaknya merupakan distribusi unimodal.

5.Hubungan antara variabel X dan Y hendaknya linier.

Rumus Korelasi Product Moment/Pearson Correlation: Korelasi Product Moment dengan simpangan:

r_xy=(∑xy)/√((∑x^2 )(∑y^2 ) )

Keterangan:

r_xy = Koefisiensi korelasi anatara variabel X dan variabel Y:dua variabel yang dikorelasikan ( x=X-M ) dan( y= Y-M).

∑xy =Jumlah perkalian x dengan y x^2 =Kuadrat dari x (deviasi x) y^2 =Kuadrat dari y (deviasi y)

Uji Normalitas

Uji normalitas adalah Uji Reliabilitas. Seperti kata dasarnya, uji normalitas

dilakukan untuk mengetahui apakah data tersebut mengikuti distribusi normal atau tidak. Uji normalitas merupakan bagian dari uji persyaratan analisis statistik atau


(65)

analisis uji asumsi dasar. Uji asumsi dasar adalah syarat yang harus dipenuhi sebelum data yang ada di uji dengan uji statistik yang sesungguhnya. Uji ini menggunakan data yang berskala ordinal. Jika data tidak berdistribusi normal dan atau jumlah sampel sedikit dan jenis data adalah nominal atau ordinal, maka metode yang digunakan adalah statistik non parameterik. Untuk uji kenormalan dari sampel dapat dilakukan dengan bantuan Uji Shapiro-Wilk, Kolmogrov-Smirnov dan Liliefors serta gambar normal Probability Plots.

Dasar pengambilan keputusan dalam uji normalitas adalah:

1. Jika Sig. (Signifikansi) atau nilai probabilitas < 0,05, maka data berdistribusi tidak normal.

2. Jika Sig. (Signifikansi) atau nilai probabilitas > 0,05, maka data berdistribusi normal.

4.Uji Regresi

Regresi merupakan suatu alat ukur yang juga dapat digunakan untuk mengukur ada atau tidaknya korelasi antarvariabel. Jika kita memiliki dua buah variabel atau lebih maka sudah selayaknya apabila kita ingin mempelajari bagaimana variabel-variabel itu berhubungan atau dapat diramalkan.Analisis regersi berguna untuk mendaptkan hubungan fungsional antara dua variabel atau lebih. Selain itu analisis regersi berguna untuk mendapatkan pengaruh antar variabel prediktor terhadap variabel kriteriumnya atau meramalkan pengaruh variabel prediktor terhadap variabel kriteriumnya (Usman & Akbar, 2006).


(66)

Dasar pengambilan keputusan dalam uji regresi adalah sebagai berikut:

Untuk melihat signifikansi persamaan regresi dapat dilihat dari nilai F dan dibandingkan dengan F tabel.

1. Apabila nilai F < F tabelmaka persamaan garis regresi tidak dapat digunakan untuk prediksi

2. Apabila nilai F > F tabelmaka persamaan garis regresi dapat digunakan untuk prediksi

3. Selain itu dapat pula dengan melihat nilai Sig. dapat digunakan untuk prediksi apabila nilai Sig. < 0,05

5. Uji statistik

Uji F ( Pengujian secara bersama-sama )

Uji F digunakan untuk mengetahui peranan variabel bebas secara keseluruhan. Kesimpulan uji F dapat diperoleh dengan membandingkan antara nilai F-hitung dengan F-tabel pada tingkat tertentu dan derajat bebas tertentu (Gujarati, 1997). Pengujian ini dilakukan dengan rumus :

a. Bila F hitung > F tabel maka H0 ditolak, berarti secara bersama-sama variable bebas berpengaruh secara nyata dan signifikansi tehadap variabel terikat.


(67)

b. Bila F hitung < F tabel maka H0 diterima, berarti secara bersama-sama variable bebas tidak berpengaruh secara nyata dan signifikansi tehadap variabel terikat.

D. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada pedagang kaki lima di Pasar Terminal Ramayana yang telah direlokasi dari Jalan Pangkal Pinang Kota Bandar Lampung. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa relokasi tersebut memberikan berbagai dampak bagi pedagang kaki lima yang mengalami relokasi di sekitar Terminal Ramayana.

Sumber: Data Peta 2014 Bandar Lampung


(1)

Topografi Kota Bandar Lampung sangat beragam, mulai dari dataran pantai sampai kawasan perbukitan hingga bergunung, dengan ketinggian permukaan antara 0 sampai 500 m daerah dengan topografi perbukitan hinggga bergunung membentang dari arah Barat ke Timur dengan puncak tertinggi pada Gunung Betung sebelah Barat dan Gunung Dibalau serta perbukitan Batu Serampok disebelah Timur. Topografi tiap-tiap wilayah di Kota Bandar Lampung adalah sebagai berikut :

1. Wilayah pantai terdapat disekitar Teluk Betung dan Panjang dan pulau di bagian Selatan

2. Wilayah landai/dataran terdapat disekitar Kedaton dan Sukarame di bagian Utara

3. Wilayah perbukitan terdapat di sekitar Telukbetung bagian Utara

4. Wilayah dataran tinggi dan sedikit bergunung terdapat disekitar Tanjung Karang bagian Barat yaitu wilayah Gunung Betung, dan Gunung Dibalau serta perbukitan Batu Serampok di bagian Timur.


(2)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil perhitungan dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka ditarik suatu kesimpulan bahwa dampak kebijakan relokasi terhadap tingkat pendapatan pedagang kaki lima antara lain :

1. Melalui statistik Uji beda dua rata-rata, variabel Pendapatan Pedagang Kaki Lima setelah dilakukan kebijakan relokasi menerima Ha (Tolak Ho) dalam hal ini menunjukan bahwa variabel Pendapatan Pedagang Kaki Lima setelah dilakukan kebijakan relokasi memiliki pengaruh negatif terhadap Tingkat Pendapatan Pedagang Kaki Lima sebelum dilakukan kebijakan relokasi dimana ada perbedaan pendapatan rata – rata Pedagang Kaki Lima sebelum dilakukan kebijakan relokasi sebesar Rp 15.081.818 dan setelah dilakukan kebijakan relokasi Pendapatan Pedagang Kaki Lima sebesar Rp 10.425.000 sehingga ini berdampak pada Tingkat Pendapatan Pedagang Kaki Lima.

2. Hasil penelitian menunjukan bahwa kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima tidak sepenuhnya melibatkan masyarakat. Dengan demikian Pemerintah Kota hanya melakukan kebijakan sepihak. Sehingga ada pihak yang dirugikan dari kebijakan relokasi tersebut yaitu Para Pedagang Kaki Lima.


(3)

3. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai hitung sebesar 0.288 dengan nilai F-tabel sebesar 1.84 dengan df(n-k). dapat disimpulkan F-hitung < F-F-tabel maka Ho diterima dan Ha ditolak. Berarti variabel kualitas implementasi secara bersama-sama tidak berpengaruh dan signifikan terhadap variabel perkembangan pendapatan pedagang kaki lima.

B. Saran

Dari penelitian tentang dampak kebijakan relokasi PKL maka penulis memberikan saran sebagai berikut :

1. Dalam pengambilan kebijakan yaitu untuk merelokasi pedagang kaki lima adalah keputusan yang terbaik yang diambil oleh pemerintah kota.dengan demikian pemerintah kota dalam menetapkan kebijakan yang bertujuan untuk merapihkan tata ruang kota. Tetapi sebaiknya Pemerintah Kota sebelum melakukan Relokasi, harus ada masyarakat yang dilibatkan dalam penetapan kebijakan tersebut. Supaya tidak ada kesalahpahaman antara Pemerintah Kota dengan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian kebijakan tersebut akan berjalan secara baik dan efektif, dan akan menghasilkan dampak yang positif baik untuk Pemerintah maupun untuk Para Pedagang Kaki Lima itu sendiri.

2. Para Pedagang Kaki Lima setelah direlokasi ke Terminal Ramayana sebaiknya ada perhatihan khusus dari Pemerintah Kota. Karena tampa pengawasan dari Pemerintah Kota maka para Pedagang Kaki Lima tidak akan berjalan secara efektif. Dengan demikian akan mengakibatkan penurunan kesejahteraan


(4)

84

terhadap para Pedagng Kaki Lima. tanpa adanya perhatian dan pengawasan khusus dari Pemerintah Kota maka akan ada yang dirugikan dari adanya kebijakan relokasi tersebut, yaitu Para Pedagang Kaki Lima itu sendiri sementara yang diuntungkan adalah dari pihak Pemerintah Kota. Jadi sebaiknya Pemerintah Kota melakukan Pengawasan dan Perhatian khusus Terhadap Para Pedagang Kakii Lima yang direlokasi ke Terminal Ramayana.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

AR. Mustopadidjaya (2002), Manajemen Proses Kebijakan Publik, Formulasi,Implementasi dan Evaluasi Kinerja, Jakarta:LAN

Dinas Pengelolaan Pasar Kota Bandar Lampung.Jumlahpedagang kaki lima Terminal Ramayana. Bandar Lampung

Dinas Pengelolaan Pasar Kota Bandar Lampung.Bidang Usaha Pedagang Kaki Lima. Bandar Lampung.

Dunn, William, N. 1994. Public Polcy analysis, New Jersey : Prentice Hall, Inc. Easton, David, dan Sahat Simamora (alih bahasa), Kerangka Kerja Analisa Sistem

Politik, Jakarta: Bina Aksara, 1984

Fatnawati, Nur. 2013.dampak relokasi pedagang kaki lima berdasarkan

peraturan daerah kota surakarta nomor 3 tahun 2008 tentang pengelolaan pedagang kaki lima terhadap usaha pedagang kaki lima di surakarta. Skripsi Fakultas Hukum,Universitas Negeri Semarang.

Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jilid 1. Erlangga, Jakarta.

Mangkoesoebroto, G. 1994. Kebijakan Publik di Indonesia Substansi dan Urgensi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Nazir, Moh,Ph.D. 1988. Metode Penelitian. Galia Indonesia Jakarta Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan

Pedagang Kaki Lima (PKL).

Prasetyia,Ferry. 2012. Teori Eksternalitas. Fakultas ekonomi dan bisnis Jurusan ilmu ekonomi Universitas brawijaya teori EKSTERNALIT

Rachbini, Hamid, 1994. Analisis Ekonomi Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL). Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo Maduras


(6)

Simarmata, DJ.A. 1994. Ekonomi Publik dan External. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Supranto, J. 2009. Statistik Teori dan Aplikasi. Erlangga. Jakarta.

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D.Alfabeta. Bandung.

Suharsimi, Arikunto. 2005. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. Jakarta.

Tripitono, Adi Prabowo. 2013. Analisis Ekonomi Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) Ke PUMARA Di Kabupaten Bangkalan. Kabupaten Bangkalan.

Universitas Lampung.2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Penerbit Unila.Bandar Lampung.

Widarjono, Agus. 2005, Ekonometrika, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta.

William, Dunn. 1994. Pengantar analisis kebijakan publik.:gajah mada university press. Jogyakarta

WEB:

http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/PPKN/article/view/6001 http://artefaksi.blogspot.com/2007/01/mengurai-fenomena-pkl.html

http://hetifah.com/artikel/penyebab-gagalnya-pengelolaan-pkl-di-perkotaan.html http://www.scribd.com/doc/3499983/Formulasi-Kebijakan-Publik

http://ratnadwipa.blogspot.com/2008/12/agenda-setting-dan-perumusan-masalah.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Regresi_Linier_Sederhana http://id.wikipedia.org/wiki/Pendapatan

http://David Easton, The Political System, New York: Knopf, 1953, hal.129.)