SIKAP MASYARAKAT PENDIDIKAN DASAR TERHADAP TUNANETRA YANG MENGIKUTI PENDIDIKAN INKLUSIF :Studi Deskriptif Tentang Sikap Masyarakat Pendidikan Dasar Terhadap Tunanetra yang Mengikuti Pendidikan Inklusifdi 3 (tiga) Kecamatan di Kota Medan.

(1)

vii DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Definisi Konsep ... 12

F. Metode Penelitian ... 13

1. Pendekatan Penelitian ... 13

2. Teknik Pengumpulan Data ... 14

3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 14

G. Kerangka Berfikir ... 16

BAB II KAJIAN KONSEPTUAL TENTANG SIKAP MASYARAKAT PENDIDIKAN DASAR TERHADAP SISWA TUNANETRA YANG MENGIKUTI PENDIDIKAN INKLUSIF ... 19

A. Konsep Sikap dan Pengukurannya ... 19

1. Sikap dan Definisinya ... 19

2. Sifat Sikap ... 23

3. Pengukuran Sikap ... 24

4. Karakteristik Sikap ... 26

B. Tunanetra ... 30

1. Konsep Tunanetra ... 30

2. Klasifikasi Tunanetra ... 31

3. Pengaruh Ketunanetraan Terhadap Perkembangan Anak ... 33

C. Pendidikan Inklusif ... 44

1. Pengertian Pendidikan Inklusif ... 44

2. Landasan Pendidikan Inklusif ... 48

3. Model Pendidikan Inklusif ... 50

4. Tujuan Implementasi Pendidikan Inklusif ... 50

5. Sasaran Pendidikan Inklusif ... 51

6. Faktor-faktor yang Perlu Diperhatikan dalam Implementasi Pendidikan Inklusif ... 54

7. Substansi Pendidikan Inklusif ... 58


(2)

viii

D. Masyarakat Pendidikan Dasar ... 61

1. Pengertian Pendidikan Dasar ... 61

2. Masyarakat Pendidikan Dasar ... 63

BAB III METODE PENELITIAN ... 64

A. Desain Penelitian ... 65

B. Strategi Pengumpulan Data ... 65

1. Pengumpulan Data Kuantitatif ... 65

2. Pengumpulan Data Kualitatif ... 71

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 79

A. Temuan Penelitian Data Kuantitatif ... 79

1. Jabatan Responden ... 80

2. Jenjang Sekolah Tempat Kerja Responden ... 80

3. Masa Kerja Jabatan ... 81

4. Status Kepegawaian ... 81

5. Tingkat Pendidikan ... 82

6. Keikutsertaan dalam Pelatihan Pendidikan Inklusif .... 83

B. Pembahasan ... 123

C. Temuan Data Kualitatif ... 139

1. Pembahasan ... 145

2. Faktor Pendukung ... 154

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 158

A. Kesimpulan ... 158

B. Rekomendasi ... 160

DAFTAR PUSTAKA ... 163 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(3)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Sekolah yang Menjadi Sampel Penelitian ... 15

Tabel 2.1 Klasifikasi Ketajaman Penglihatan ... 31

Tabel 3.1 Sampel Penelitian ... 67

Tabel 3.2 Partisipan Wawancara ... 75

Tabel 4.1 Jabatan Responden ... 80

Tabel 4.2 Jenjang Sekolah Tempat Kerja Responden ... 80

Tabel 4.3 Masa Kerja Jabatan Kepala Sekolah dan Guru ... 81

Tabel 4.4 Status Kepegawaian Kepala Sekolah dan Guru ... 81

Tabel 4.5 Tingkat Pendidikan Kepala sekolah dan Guru ... 82 Tabel 4.6 Keikutsertaan Pelatihan Tentang Pendidikan Inklusif


(4)

x

DAFTAR GRAFIK

Halaman Grafik 4.1 Rata-rata Sikap Masyarakat Pendidikan Dasar Ditinjau

dari Jenjang Tempat Kerja, Pendidikan Terakhir, Jabatan, Masa kerja, Status Kepegawaian, Keikutsertaan dalam Pelatihan ... 84 Grafik 4.2 Rata-rata Sikap Mayarakat Pendidikan Dasar Ditinjau dari

Jenjang Tempat Kerja, Pendidikan Terakhir, Jabatan, Masa Kerja, Status Kepegawaian, Keikutsertaan dalam Pelatihan ... 87 Grafik 4.3 Rata-rata Sikap Masyarakat Pendidikan Dasar Ditinjau

dari Jenjang tempat kerja, Pendidikan Terakhir, Jabatan, Masa kerja, Status Kepegawaian, Keikutsertaan dalam Pelatihan ... 90 Grafik 4.4 Rata-rata Sikap Masyarakat Pendidikan Dasar Ditinjau

dari Jenjang tempat kerja, Pendidikan Terakhir, Jabatan, Masa kerja, Status Kepegawaian, Keikutsertaan dalam Pelatihan ... 93 Grafik 4.5 Rata-rata Sikap Masyarakat Pendidikan Dasar Ditinjau

dari Jenjang tempat kerja, Pendidikan Terakhir, Jabatan, Masa kerja, Status Kepegawaian, Keikutsertaan dalam Pelatihan ... 96 Grafik 4.6 Rata-rata Sikap Masyarakat Pendidikan Dasar Ditinjau

dari Jenjang tempat kerja, Pendidikan Terakhir, Jabatan, Masa kerja, Status Kepegawaian, Keikutsertaan dalam Pelatihan ... 99 Grafik 4.7 Rata-rata Sikap Masyarakat Pendidikan Dasar Ditinjau

dari Jenjang tempat kerja, Pendidikan Terakhir, Jabatan, Masa kerja, Status Kepegawaian, Keikutsertaan dalam Pelatihan ... 102 Grafik 4.8 Rata-rata Sikap Masyarakat Pendidikan Dasar Ditinjau

dari Jenjang tempat kerja, Pendidikan Terakhir, Jabatan, Masa kerja, Status Kepegawaian, Keikutsertaan dalam Pelatihan ... 105 Grafik 4.9 Rata-rata Sikap Masyarakat Pendidikan Dasar Ditinjau


(5)

xi

Masa kerja, Status Kepegawaian, Keikutsertaan dalam Pelatihan ... 108 Grafik 4.10 Rata-rata Sikap Masyarakat Pendidikan Dasar Ditinjau

dari Jenjang tempat kerja, Pendidikan Terakhir, Jabatan, Masa kerja, Status Kepegawaian, Keikutsertaan dalam Pelatihan ... 111 Grafik 4.11 Rata-rata Sikap Masyarakat Pendidikan Dasar Ditinjau

dari Jenjang tempat kerja, Pendidikan Terakhir, Jabatan, Masa kerja, Status Kepegawaian, Keikutsertaan dalam Pelatihan ... 114 Grafik 4.12 Rata-rata Sikap Masyarakat Pendidikan Dasar Ditinjau

dari Jenjang tempat kerja, Pendidikan Terakhir, Jabatan, Masa kerja, Status Kepegawaian, Keikutsertaan dalam Pelatihan ... 117 Grafik 4.13 Rata-rata Sikap Masyarakat Pendidikan Dasar Terhadap

Tunanetra yang Mengikuti Pendidikan Inklusif Secara Umum Ditinjau dari Jenjang Tempat Bekerja, Pendidikan Terakhir, Jabatan, Status Kepegawaian, Masa Kerja Jabatan dan Keikutsertaan Pelatihan ... 120


(6)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat minoritas yaitu tunanetra di Indonesia merupakan masyarakat yang selama ini masih kurang mendapat perhatian penuh dari masyarakat maupun dari pemerintah. Tunanetra mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dan peran serta yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Kenyataannya pada masa sekarang di era teknologi yang semakin meningkat ini ternyata kurang diimbangi dengan sikap masyarakat pendidikan dasar kepada mereka yang tunanetra dan secara umum kepada penyandang ketunaan. Pada kenyataannya masyarakat pendidikan dasar masih banyak menganggap “negatif” kepada mereka yang tunanetra. Bahkan di kalangan masyarakat pendidikan dasar masih meragukan kemampuan tunanetra, bahkan sebagian besar diantara mereka belum mengetahui dan belum mengenal siapa itu individu tunanetra, apa yang dapat dilakukannya, dan apa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif, sehingga sikap mereka masih sebatas kasihan kepada tunanetra. UUD 1945 pasal 31 menyatakan: “Setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan”.

Hal ini menunjukkan bahwa tunanetra berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak awas) dalam pendidikan. Tulisan seperti di atas sudah sering kita dengar, tetapi tulisan itu sengaja penulis lakukan sebagai langkah awal untuk membangun kesadaran masyarakat pendidikan dasar agar memiliki kepedulian dan perhatian penuh terhadap pendidikan inklusif bagi tunanetra.


(7)

Inklusi adalah sebuah filosofi pendidikan dan sosial. Mereka yang percaya inklusi meyakini bahwa semua orang adalah bagian yang berharga dalam kebersamaan masyarakat, apapun perbedaan mereka. Dalam pendidikan ini berarti bahwa semua anak, terlepas dari kemampuan maupun ketidak mampuan mereka, latar belakang sosial-ekonomi, suku, latar belakang budaya atau bahasa, agama atau jender, menyatu dalam komunitas sekolah yang sama.

Pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak yang memiliki hambatan, seperti tunanetra; Secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan bulan Juni 1994 bahwa prinsip mendasar dari pendidikan inklusi adalah (selama memungkinkan) semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.

Sekolah inklusif dimulai dengan filosofi bahwa semua anak dapat belajar dan tergabung dalam sekolah dan kehidupan komunitas umum. Keanekaragaman antar anak dihargai, dan diyakini bahwa keanekaragaman menguatkan kelas dan menawarkan semua kesempatan yang lebih besar untuk pembelajaran anak.

Di Indonesia, pendidikan inklusif di dalam sekolah inklusi baru ditetapkan semenjak tahun Dahulu istilahnya adalah sekolah terpadu. Sekolah inklusi adalah sekolah yang menerima siswa-siswi berkebutuhan khusus seperti tunanetra, tuna rungu, dan tunadaksa. Hingga pada tahun , setelah di sahkannya UU No. mengenai Sistem Pendidikan Layanan Khusus, maka sekolah terpadu kemudian ditetapkan menjadi sekolah inklusi.


(8)

Program pendidikan inklusif ini yang sebenarnya lebih manusiawi dan sejalan dengan amanah UUD 1945 (amandemen), sebagaimana terkandung dalam pasal 31 ayat 1 dan 2 berikut ini:

ayat (1): Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan;

ayat (2): Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Senada dengan UUD 1945, dalam pasal 5 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, disebutkan bahwa: ayat (1): Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk

memperoleh pendidikan yang bermutu;

ayat (2): Warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus;

ayat (3): Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak berhak memperoleh pendidikan layanan khusus;

Perlu disadari bahwa kesempatan bagi tunanetra untuk memperoleh pendidikan umum, saat ini masih sangat minim. Minimnya kesempatan tersebut, dalam pandangan penulis akan semakin mempersulit pengembangan potensi dan skill yang dimiliki tunanetra. Padahal, akses pendidikan yang kita ketahui bukan hanya diberikan kepada anak normal, melainkan tunanetra pun juga berkesempatan untuk mengenyam pendidikan umum. Namun pada kenyataannya di lapangan masyarakat pendidikan dasar lebih mengutamakan siswa yang awas. Pendidikan adalah salah satu hak asasi manusia yang dilindungi dan dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun nasional. Dokumen Pendidikan untuk Semua ingin memastikan bahwa semua anak, tanpa kecuali, memperoleh pendidikan. Akan tetapi, di Indonesia, misalnya, menurut data Depdiknas tahun 2002, hanya sekitar 7,5% anak penyandang cacat usia sekolah yang sudah memperoleh pendidikan formal di sekolah reguler, kenyataan inilah, Bambang


(9)

Basuki salah seorang pendiri Yayasan Mitra Netra, yang juga guru SLB mengatakan bahwa tunanetra yang tidak mempunyai gangguan akademik dan juga emosional, mereka hanya membutuhkan rehabilitasi, kemudian aksesibiltas dan perlakuan khusus. Rehabilitasi itu berupa konseling bahwa mereka menerima kebutaannya, baik yang low vision dengan menggunakan pembesaran huruf dan orientasi mobilitas karena tidak bergerak dengan mandiri.

Sebenarnya anjuran kepada masyarakat secara umum tentang kesadaran kepada tunanetra sudah sering dilakukan, baik di masmedia cetak, elektronik, melalui seminar-seminar tingkat daerah sampai tingkat internasional. Misalnya dalam acara-acara di media elektronik sudah sering ditampilkan profil seorang tunanetra yang berhasil, baik keberhasilan melalui jalur pendidikan formal maupun melalui keterampilan yang diperolehnya melalui pelatihan-pelatihan. Namun semua itu pada kenyataannya belum membuka mata masyarakat pendidikan dasar untuk memberi kesempatan kepada tunanetra.

Karena sebagian besar masyarakat pendidikan dasar masih menganut pandangan yang salah ini, maka besar kemungkinan bahwa pandangan tersebut juga akan tercermin dalam sikap tunanetra terhadap dirinya sendiri. Gambaran atau profil seorang tunanetra sudah melekat dalam benak masyarakat pendidikan dasar bahwa ia adalah orang yang butuh bantuan keseluruhan , akibatnya, adalah pada diri seorang anak tunanetra dapat membatasi ruang geraknya untuk mengembangkan kemampuannya di masyarakat, walaupun ia mau aktif untuk melakukan suatu kegiatan, orang lain sudah terlebih dahulu mengatakan “biar saya yang mengerjakan” sehingga tunanetra hanya tinggal diam tanpa melakukan


(10)

aktifitas yang seharusnya dapat dilakukan tunanetra. Lebel yang diberikan kepada seseorang akan mempengaruhi cara orang lain berperilaku terhadap dirinya.

Dalam pendidikan seorang tunanetra masih terbatas ruang geraknya untuk memasuki jenjang pendidikan, hanya sekolah-sekolah tertentu yang bersedia menerima. Dengan kata lain masih sebagian kecil sekolah yang mau menerima tunanetra dengan alasan sekolah tersebut belum menyediakan fasilitas untuk tunanetra, belum tahu cara mendidik dsb, sehingga tidak jarang penulis sering gagal mencari sekolah yang mau menerima tunanetra. Dengan demikian pelaksanan pendidikan inklusif masih belum banyak dimengerti secara mendalam oleh masyarakat pendidikan dasar sehingga tunanetra mengalami hambatan untuk meneruskan cita-citanya. Karena sebagian besar tunanetra ingin mendapat kesempatan yang sama dengan orang awas, baik dalam dunia pendidikan, lapangan kerja ataupun dalam linkungan sosialnya.

Demikian juga untuk memperoleh lapangan pekerjaan sebagian besar masih meragukan kemampuan tunanetra. Masih ada masyarakat maupun pemerintah yang beranggapan bahwa penyandang tunanetra tidak bisa bekerja dengan baik, tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk memegang suatu jabatan, lebih banyak merepotkan, dan menambah pengeluaran akomodasi dan fasilitas khusus. Hal inilah yang membuat pelamar yang kebetulan penyandang tunanetra gagal diterima, bahkan sebelum mereka menunjukkan kualifikasinya sudah ditolak. Sebenarnya dasar hukum yang melindungi hak bekerja bagi penyandang cacat adalah UU No. 4 tahun 1997 pasal 13 yang berbunyi: “Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan


(11)

pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.” Hal tersebut ditegaskan dalam padal 14, yang menyatakan, “Perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya, sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan yang ada atau kualitas perusahaan”. Tapi pada kenyataannya UU seperti tersebut di atas masih sangat sulit untuk diwujudkan.

Hasil pengamatan penulis menunjukkan bagaimana sikap masyarakat pendidikan dasar terhadap tunanetra. Dari beberapa kali pengamatan disimpulkan ada beberapa karakteristik yang tidak mendukung orang awas kepada mereka antara lain: tunanetra adalah orang yang membutuhkan bantuan secara total, tidak berdaya, memiliki ruang gerak yang sangat terbatas, identik dengan kemiskinan, pribadi yang mudah putus asa dan frustasi, kemampuan yang rendah, tidak perlu sekolah karena tidak ada lapangan pekerjaan untuk mereka, karena orang awas yang sarjanapun banyak yang pengangguran, miskin konsep, sering terdengar dari masyarakat adalah kata “kasihan”. Hampir setiap orang yang melihat tunanetra mengatakan “kasihan ya”. Karena itu tunanetra sering digambarkan sebagai orang yang tak berdaya, tidak mandiri dan hidup menderita, karena purbasangka yang demikianlah maka masyarakat awas mengatakan tunanetra patut dikasihani, selalu butuh perlindungan dan bantuan.

Dodds, (dalam tarsidi: 1993) mengemukakan bahwa persepsi negatif tentang ketunanetraan sering sengaja dipertahankan dan diperkuat oleh badan-badan amal demi menggugah hati banyak dermawan. Hal serupa sering kita


(12)

jumpai di masyarakat dimana orang mencari bantuan dengan mengatasnamakan tunanetra. Akibatnya masyarakat jarang menjumpai model tunanetra yang positif, tunanetra yang mandiri dengan banyak aktifitas. Kemudian dalam dunia hiburan, seni misalnya dalam sinetron-sinetron, sering menampilkan seorang tunanetra dengan banyak keterbatasan sehingga selalu dan selalu dibantu dalam keseluruhan kegiatannya, bahkan hal yang kecil untuk mengambil air minumnya orang awas langsung mengambilkannya. Keadaan inilah yang menguatkan orang awas merasa hanya sebatas kasihan melihat tunanetra, tanpa mengetahui bahwa banyak tunanetra yang sudah hidup mandiri melalui keterampilan dan bidang akademik yang mereka telah tempuh dengan bersusah payah.

Kata kasihan ini tidak dapat menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi tunanetra. Yang paling penting bagi tunanetra adalah mereka diberi kesempatan, dihargai sebagai manusia pada umumnya untuk mengembangkan kemampuannya semaksimal mungkin dan mendapat kesempatan untuk berkompetisi dengan orang awas pada umumnya sesuai kesanggupan apa yang dapat lakukan tunanetra.

Teks yang menyertai logo dari National Federation Of The Blind, persatuan tunanetra Amerika serikat adalah: “The real problem of the blindness is not lack of eyesight. The real problem is the misundestanding and lack information which exist. If a blind person has proper training and opportunity, blindness is only a physical nuisance” ( dalam Tarsidi: 2004). Teks tersebut menyampaikan bahwa masalah yang sesungguhnya dari tunanetra yang paling besar bukanlah karena ia tunanetra tetapi karena kesalahfahaman dan kurangnya


(13)

informasi tentang ketunanetraan kepada masyarakat atau instansi pemerintahan dan swasta. Jadi apabila seorang tunanetra memperoleh pendidikan dan pelatihan keterampilan yang sesuai dengan kemampuan seorang tunanetra, dan masyarakat memberi kesempatan, dengan demikian ketunanetraan bukanlah menjadi suatu alasan yang fundamental. Hal ini menyiratkan bahwa dengan pendidikan dan keterampilan yang tepat dan selanjutnya diberi kesempatan sama seperti orang awas pada umumnya, maka tunanetra akan dapat melakukan pekerjaan pada umumnya dan di tempat kerja pada umumnya, dan dapat melakukan pekerjaan seperti orang awas juga. James H. Omvig, ( dalam Tarsidi :1999) mengemukakan bahwa setiap hari ribuan orang tunanetra, laki-laki maupun perempuan, yang telah diberi pendidikan dan latihan yang tepat, berhasil bekerja sebagai sebagai petani dan pekerja pabrik, juru mesin, dan petugas pemeliharaan, dosen perguruan tinggi, guru sekolah umum, ahli kimia, dan ilmuwan lainnya, pengacara, agen asuransi, atau real estate, pengusaha di berbagai bidang, juru masak, pencuci piring, buruh dan politisi.

Perkembangan kognitif tunanetra tidak jauh berbeda dengan tetangganya orang awas, itu terbukti banyaknya tunanetra yang mengikuti pendidikan di perguruan tinggi negeri atau swasta, sebagai contoh pada saat ini ada sekitar 56 mahasiswa tunanetra sekolah di UPI Bandung. Jadi, dengan kata lain seorang tunanetra dapat bersekolah sampai tingkat yang lebih tinggi asal ia diberi kesempatan, ada kemampuan dan kemauan. Sebagai contoh di bawah ini ada beberapa profil tunanetra yang sudah berhasil dan mandiri.

1. Miles Hilton Barber, seorang pilot tunanetra yang sukses terbangkan pesawat Microlight (Harian PELITA, 25 Oktober 2007)


(14)

PESAWAT Microlight merupakan pesawat olahraga di kalangan Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) dan biasa diterbangkan para pilot-pilot dengan sertifikat yang diperoleh dengan seleksi sangat ketat. Salah satu persyaratan tersebut adalah sehat jasmani dan rohani. Namun kenyataannya membuktikan bahwa penyandang cacat tunanetra berhasil menerbangkan.

Bahkan Miles Hilton Barber yang pernah mengantongi rekor menerbangi Kanal Inggris dengan menerbangkan pesawat Microlight pada ketinggian 20.300 kaki itu, akan menambah panjang sejarah dalam dunia olahraga mengelilingi dunia untuk menggalang dana guna merestorasi penglihatan para orang-orang penyandang cacat netra yang berada di negara berkembang. 2. Rama, Seorang “Blogger” Tunanetra (sumber Kompas, 8 Juli 2008)

Dalam buku tamu di blog miliknya, Eko Ramaditya Adikara menyebut dirinya sebagai The Indonesian Blind Blogger. Contoh saat dia mempraktikkan bagaimana menulis artikel di atas papan ketik komputer pribadi yang diperuntukkan bagi orang normal (bukan papan ketik Braille), Rama mampu menulis 60 kata per menit. Kemampuan itu setara dengan pengetik profesional mana pun yang biasa bekerja di atas papan ketik QWERTY. Rama bahkan tidak membuat kesalahan satu huruf pun atas apa yang ia tulis secepat angin berlalu itu.

3. Bart Hagem ( 32 tahun) seorang hakim tunanetra (Sumber Detik News, Selasa 23,06,2009)

Hakim Bart Hagen akan menjalankan tugas dengan cara menandai dokumen, selanjutnya dengan bantuan teknologi dokumen itu diubah ke dalam bentuk suara. Sementara untuk mobilitas di gedung pengadilan, dia akan dipandu oleh anjing pemandunya yang setia.

4. Agung Rejeki Yuliastuti, seorang tunanetra yang menjadi psikolog (Sumber Radar Semarang, jumat 9 Januari 2009)

Buta usia 25 tahun dan sering menjadi nara sumber seminar motivasi.

Pernah terpilih menjadi salah satu dari delapan tokoh wanita Jawa Tengah yang dianggap mampu menjadi inspirasi perjuangan perempuan oleh partai PKS

5. Dr. Didi Tarsidi: Beliau seorang tunanetra yang berhasil meraih gelar doktor dari UPI Bandung. Beliau adalah salah seorang dosen di Pasca Sarjana UPI Bandung, beliau juga seorang tunanetra yang begitu mahir menggunakan komputer, mahir berbicara bahasa Inggris, menjadi presiden Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) se-Indonesia, dan juga beliau banyak menterjemahkan buku-buku yang berhubungan dengan ketunanetraan yang dimuat dalam blog-pribadinya.

6. Bambang Basuki (57 tahun) Pendiri Yayasan Mitra Netra

Dia adalah pendiri ayasan Mitra Netra, yayasan non profit yang memberi layanan yang tepat dan inovatif kepada para tunanetra. “Siapa yang lebih mengerti tunanetra kalau bukan tunanetra itu sendiri”, betulkan? Katanya! Bambang menceritakan ihwal ia menjadi tak bisa melihat sama sekali. Penyandang cacat adalah manusia dengan tantangan istimewa. Begitu juga


(15)

dengan orang di sekitarnya. Jika mereka bisa mengatasi dengan baik, maka dia juga akan menjadi orang yang istimewa, katanya.

7. Saharuddin, yang sering juga dipanggil Andi Sebastian, Seorang tunanetra pejuang HAM (Sumber Kompas, Rabu 25 Juli 2007)

Lahir di Pare-pare, 28 Mei 1968, Alumnus Magister dari Universitas Hasanuddin, Saharuddin menjadi tunanetra pada usia 10 tahun. Beliau adalah salah seorang dari 11 anggota Komnas HAM, dan menjadi anggota Komnas HAM periode 2007-2012

Masih banyak lagi profil tunanetra yang berhasil dan mandiri yang mungkin masyarakat pendidikan dasar belum mengetahuinya. Jadi dengan demikian tidak menutup kemungkinan banyak tunanetra akan berhasil seperti contoh-contoh di atas apabila masyarakat pendidikan dasar memberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pemerintah memberi kesempatan untuk berkompetisi dengan orang awas memasuki lapangan pekerjaan untuk tunanetra. Tetapi melihat kenyataan di lapangan kesempatan pendidikan yang diberikan kepada tunanetra untuk bersaing dengan orang awas masih sangat terbatas, masyarakat pendidikan dasar seolah-olah lebih mengutamakan orang awas untuk masuk sekolah reguler. Melihat kenyataan inilah penulis melakukan penelitian untuk mendapatkan gambaran bagaimana sebenarnya sikap masyarakat pendidikan dasar di kota Medan terhadap siswa tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:


(16)

1. Bagaimana gambaran sikap masyarakat pendidikan dasar kota Medan terhadap siswa tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif ditinjau, jenjang sekolah tempat bekerja, pendidikan terakhir, jabatan, masa kerja jabatan, status kepegawaan, keikut sertaan dalam pelatihan pendidikan inklusif.

2. Bagaimana pendapat masyarakat pendidikan dasar terhadap siswa tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif?

3. Apa saja yang menjadi penghambat pelaksanaan pendidikan inklusif bagi tunanetra?

C. Tujuan Penelitian

Setiap peneliti tentunya mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mendapatkan gambaran tentang sikap masyarakat pendidikan dasar terhadap tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif ditinjau dari, masa kerja, status kepegawaian, pendidikan terakhir dan keikut sertaan pelatihan;

2. Mendapatkan gambaran bagaimana pendapat masyarakat pendidikan dasar terhadap tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif.

3. Mendapatkan gambaran faktor-faktor penghambat pelaksanaan pendidikan inklusif bagi tunanetra.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat dan masukan serta bahan pertimbangan dalam upaya meningkatkan sikap masyarakat kepada


(17)

pendidikan inklusif bagi tunanetra. Adapun manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut:

1. Sebagai bahan masukan bagi penulis bagimana gambaran sikap masyarakat pendidikan dasar terhadap tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif. 2. Sebagai bahan masukan bagi penulis faktor penghambat pelaksanan

pendidkan inklusif bagi tunanetra.

3. Bagi sekolah reguler sebagai bahan masukan bagi penulis tentang penerimaan siswa tunanetra tanpa membedakan, penyandang ketunaan atau tidak, kaya atau miskin dsb.

4. Bagi kepala sekolah dan guru, agar turut membantu program pendidikan inklusif bagi tunanetra, agar semua Anak Berkebutuhan Khusus dapat mengikuti pendidikan di tempat terdekat dengan rumahnya.

E. Definisi Konsep 1. Sikap

Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek (Soekidjo Notoatmojo, dalam Mar’at). Yang dimaksud dengan sikap dalam penelitian ini adalah reaksi atau respon seseorang tentang pendidikan inklusif bagi tunanetra yang akan diukur dengan skala sikap

2. Masyarakat Pendidikan Dasar

Masyarakat pendidikan Dasar yang dimaksud penulis disini adalah guru dan kepala sekolah yang bertugas atau menjadi pendidik di sekolah pada tingkat


(18)

dasar (SD) dan menengah pertama (SMP). Mereka ini pada umumnya adalah yang secara langsung berhubungan dengan tunanetra dalam pelaksanaan proses kegiatan belajar/mengajar.

3. Tunanetra:

Tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total), hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang awas/Low Vision) (Tarsidi: 2008)

4. Pendidikan Inklusif

UNESCO (1994) dalam Alimin (2008:7) memberikan gambaran bahwa: Pendidikan inklusif berarti bahwa sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa kecuali ada perbedaan secara fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa atau kondisi lain, termasuk penyandang cacat dan anak berbakat, anak jalanan, anak yang bekerja, anak dari etnis budaya, bahasa minoritas, dan kelompok anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan. Inilah yang dimaksud dengan one school for all.

F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini bermaksud untuk membuat penggambaran deskripsi, fakta, kejadian, atau hal khusus yang terjadi di lapangan secara sistematik, faktual, dan akurat tentang


(19)

sikap masyarakat pendidikan dasar terhadap tunnetra yang mengikuti pendidikan inklusif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskritif dengan pendekatan kuantitatif.

Penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung pada saat ini atau saat yang lampau. Penelitian ini tidak mengadakan manipulasi atau pengubahan pada variabel-variabel bebas, tetapi menggambarkan suatu kondisi apa adanya. Atau lebih tepat lagi penelitian ini menggunakan metode stasistik. Sukmadinata dalam Sugiyono (2005: 54)

2. Teknik Pengumpulan Data Kuantitatif

Teknik pengumpulan data adalah skala sikap. Melalui teknik skala sikap ini akan dikumpulkan data yang berupa jawaban tertulis dari responden atas sejumlah pertanyaan yang diajukan di dalam angket tersebut. Indikator-indikator dari variabel Sikap masyarakat pendidikan dasar terhadap siswa tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif, merupakan materi pokok yang dibuat menjadi sejumlah pertanyaan dalam angket, sebagai instrumen akan dikembangkan skala sikap. Jenis skala sikap yang penulis pilih adalah model Likert (Azwar, 1988) yang mengharuskan subjek yang disurvai untuk memilih satu diantara 5 pilihan sikap. (Sangat setuju – setuju – tidak tahu – tidak setuju – sangat tidak setuju). a. Populasi dan Sampel Penelitian

a) Populasi

Menurut Sugiyono (dalam Ridwan, 2005: 54) “Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subyek yang menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti dan kemudian ditarik kesimpulan”. Dalam penelitian ini populasinya adalah semua SD dan SMP di kota Medan yang belum melaksanakan pendidikan inklusif.


(20)

b) Sampel

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik purposive sampling. Teknik ini adalah menentukan sampel dengan pertimbangan tertentu. Maka penulis memilih 3 kecamatan dari 28 kecamatan yang ada di kota Medan untuk dijadikan sampel penelitian dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Di kecamatan yang tidak ada SLB dan dan tidak ada sekolah inklusif, sebanyak 2 (dua) sekolah

2. Di kecamatan yang ada Sekolah Luar Biasa, sebanyak (dua) 2 sekolah. 3. Di kecamatan yang ada Sekolah Inklusif, sebanyak (dua) 2 sekolah.

TABEL 1.1

Sekolah yang Menjadi Sampel Penelitian

No. Nama Sekolah Status Jumlah

Responden

1 SD N. XY Negeri 18 orang

2 SD N. RS Negeri 17 orang

3 SD N . PG Negeri 19 orang

4 SMP N. MR Negeri 33 orang

5 SMP N. PX Negeri 38 orang

6 SMP N. FG Negeri 35 orang

Total 160 orang

b. Pengolahan Data

Untuk pengolahan data ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:

a) Mengumpulkan kembali instrumen penelitian yang berupa skala sikap yang telah di isi oleh para responden dalam penelitian ini.

b) Memberi kode pada setiap instrumen yang telah dikembalikan.

c) Menentukan skala penilaian terhadap jawaban yang diberikan responden pada instrumen berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.


(21)

d) Skor yang diperoleh tiap responden dijumlahkan, setelah itu jumlah skor tersebut dibagi dengan banyaknya item pernyataan, kemudian hasil bagi tersebut dijumlahkan seluruhnya, lalu hasilnya dibagi kembali dengan banyaknya responden.Atau dapat dilihat pada rumus berikut:

=

=

n X X

X item

x

akhir

x = Jumlah item pernyataan tiap pertanyaan penelitian

item = Jumlah rata-rata dari hasil bagi skor total dengan banyaknya item

X = Jumlah responden seluruhnya

n = Nilai rata-rata akhir untuk menjawab pertanyaan penelitian X akhir = Jumlah skor total tiap responden

(Natawidjaya, 1997: 29)

Dengan kriteria penilaian sebagai berikut: 0 s/d 0,49 = Sikap yang sangat buruk 0,50 s/d 1,49 = Sikap yang buruk

1,50 s/d 2,49 = Sikap yang kurang baik 2,50 s/d 3,49 = Sikap yang baik

3,50 s/d 4.00 = Sikap yang sangat baik

Kriteria ini diambil berdasarkan sistem penilaian Skala Sikap.

3. Pengumpulan Data Kualitatif a. Metode

Untuk mendapatkan hasil pada pertanyaan penelitian kedua dan ketiga penulis menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

b. Teknik Pengumpulan Data

Metode penelitian yang dipilih adalah teknik wawancara dengan tujuan agar responden dapat mengungkapkan faktor-faktor yang menjadi latar belakang


(22)

berbagai sikap masyarakat pendidikan dasar terhadap tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif, dan faktor-faktor penghambat tentang pendidikan inklusif. c. Partisipan Wawancara

Yang menjadi partisipan dalam penelitian ini adalah 6 orang kepala sekolah dan 6 orang guru.

c. Teknik Analisis data

Prosedur analisis data atas dasar tiga tahap sesuai dengan saran, Nasution menyebutkan: (1) reduksi data, (2) display data, (3) mengambil kesimpulan dan verifikasi data.

G. Kerangka Berfikir

Pada umumnya sikap merupakan gabungan dari konsep-konsep informasi dan emosi yang akibatnya akan mempengaruhi respon suka atau tidak suka terhadap suatu objek tertentu. Oleh karena itu untuk merubah sikap seseorang perlu diciptakan stimulus atau pendekatan-pendekatan yang memiliki kualitas rangsang yang tinggi. Penciptaan stimulus ini akan berpengaruh terhadap respon yang diberikan seseorang terhadap stimulus yang diterimanya. Bila seseorang telah memberikan respon berupa perilaku yang diinginkan maka akan mudah untuk merubah sikap seseorang terhadap suatu hal.

Dalam proses interaksi, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap suatu objek psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap sebagaimana yang dikemukakan oleh Azwar (1998:30) adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu. Pembentukan dan pengembangan sikap


(23)

juga dipengaruhi oleh beberapa faktor determinan diantaranya adalah kebutuhan-kebutuhan, motif-motif individu, informasi dan afiliasi-afiliasi kelompok (Trisnamansyah dalam Azwar, 1989:28)

Sikap mempunyai pengaruh yang kuat pada tingkah laku manusia karena tingkah laku inilah yang menjembatani seseorang untuk merasakan kehidupannya dalam menempatkan tingkah laku sebagai bagian penting dari kehidupan seseorang. Mengutip kesimpulan dan data-data hasil penelitian para ahli tentang hubungan sikap dengan tingkah laku, Bandura (1969) dalam Tarsidi (2007) mengemukakan “the attitude change approach is selected as a means of influencing behavior when desired behavior cannot be directly elicited and reinforced for practical or other reason.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa pendekatan perubahan sikap dimaksudkan untuk merubah/mempengaruhi tingkah laku seseorang kearah perilaku yang diinginkan.

Demikian pula halnya dengan pembentukan sikap masyarakat pendidikan dasar di Medan, stimulus atau kondisi yang diharapkan dapat membentuk sikap positif terhadap tunanetra, misalnya melalui sosialisasi. Diadakannya sosialisasi tentang ketunanetraan kepada masyarakat pendidikan dasar di Medan diharapkan akan berpengaruh terhadap pembentukan sikap positif masyarakat pendidikan dasar terhadap tunanetra. Oleh karena itu, sosialisasi sangat penting bagi masyarakat pendidikan dasar di Medan. Lingkungan secara timbal balik akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku. Interaksi antara situasi lingkungan dengan sikap dan dengan berbagai faktor di dalam maupun di luar individu akan membentuk suatu proses yang kompleks yang akhirnya menentukan bentuk perilaku seseorang (Azwar 1998:14).


(24)

64 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Hasil akhir dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran sikap masyarakat pendidikan dasar terhadap tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif. Untuk mendapatkan hasil dari penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif.

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang dikemukakan dalam Bab I, sikap masyarakat pendidikan dasar terhadap tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif di Medan. Data yang diperoleh dari pertanyaan penelitian yang pertama merupakan data kuantitatif. Sedangkan pertanyaan penelitian selanjutnya yakni Bagaimana pendapat masyarakat pendidikan dasar terhadap siswa tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif, dan Faktor-faktor apa yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pendidikan inklusif bagi tunanetra. Data yang diperoleh merupakan data kualitatif. Dengan demikian penelitian ini harus memakai dua jenis mengumpulan data yaitu data kuantitatif dan data kualitatif.

Alasan mengapa menggunakan desain metode campuran adalah karena dalam penelitian ini penulis mempunyai data kuantitatif dan data kualitatif. Kedua hasil data tersebut saling melengkapi. Pada data kuantitatif menampilkan hasil berupa angka-angka dan dapat mengukur frekuensi kecenderungan, sedangkan pada data kualitatif adalah melengkapi data kuantitatif yang dilakukan


(25)

melalui wawancara mendalam yang menghasilkan kata-kata secara langsung dari partisipan dalam penelitian ini.

Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data kuantitatif terlebih dahulu, kemudian mengumpulkan data kualitatif. Pengumpulan data ini dilakukan dalam waktu yang berbeda.

B. Strategi Pengumpulan Data

Seperti telah disebutkan di atas data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif dilakukan untuk menjawab pertnyaan penelitian yang pertama, dan data kualitatif dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian kedua dan ketiga. Data kualitatif ini berupa data deskriptif baaimana pendapat kepala sekolah tentang faktor-faktor yang melatar belakangi berbagai sikap masyarakat pendidikan dasar terhadap tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif dan faktor-faktor penghambat pelaksanaan pendidikan inklusif bagi tunanetra, sedangkan data kuantitatif adalah berupa hasil angka-angka yang dirumuskan berdasarkan data kuantitatif.

1. Pengumpulan Data Kuantitatif a. Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskritif dengan pendekatan kuantitatif. Menurut Sukmadinata ( dalam Sugiyono 2005: 54) bahwa: Penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung pada saat ini atau saat yang lampau. Penelitian ini tidak mengadakan manipulasi atau pengubahan pada variabel-variabel bebas, tetapi menggambarkan suatu kondisi apa adanya.


(26)

Atau lebih tepat lagi penelitian ini menggunakan metode stasistik deskriptif, hal ini seperti yang dikemukakan oleh Sugiyono (2004: 21) bahwa:

Statistik deskriptif adalah statistik yang berfungsi mendeskripsikan atau memberikan gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya, tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum.

b. Populasi dan Sampel Penelitian 1) Populasi

Populasi adalah seluruh masyarakat pendidikan dasar di 28 kecamatan yang ada di kota Medan.

2) Sampel

Pemilihan sampel untuk partisipan skala sikap ini dilakukan dengan purposive sampling yakni memilih 3 kecamatan dari 28 kecamatan yang ada di kota Medan untuk dijadikan sampel dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Di kecamatan yang tidak ada SLB dan dan tidak ada sekolah inklusif, sebanyak 2 (dua) sekolah.

2. Di kecamatan yang ada Sekolah Luar Biasa, sebanyak (dua) 2 sekolah. 3. Di kecamatan yang ada Sekolah Inklusif, sebanyak (dua) 2 sekolah.

Kuesioner ini terdiri dari 12 item yang berisi pernyataan untuk mengungkapkan pemahaman tentang tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif. (Instrumen skala sikap terlampir)


(27)

TABEL 3.1 Sampel Penelitian

No. Nama Sekolah Status Jumlah Responden

1. SD N. XY Negeri 18 orang

2. SD N. PG Negeri 17 orang

3. SD N . RS Negeri 19 orang

4. SMP N. MR Negeri 33 orang

5. SMP N. PX Negeri 38 orang

6. SMP N. FG Negeri 35 orang

Total 160 orang

c. Persiapan Pengumpulan Data

Guna mendapatkan data yang akurat dan tepat dalam melakukan penelitian, maka diperlukan sebuah instrumen yang tepat pula. Oleh karena itu, dalam pembuatan instrumen yang berupa skala sikap ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:

Uji coba dilakukan pada 50 orang guru, dengan menggunakan rumus Validitas dan Relabilitas, maka hasilnya dari 12 item pernyataan, yang layak untuk dijadikan instrumen 12 item. Mempersiapkan Instrumen Penelitian dengan cara menguji coba Instrumen untuk menentukan Validitas dan Reliabilitas instrumen.

Adapun cara untuk menentukan Validitas instrumen yaitu dengan mengkorelasikan antara skor item instrumen dengan menggunakan rumus Pearson Product Moment (dalam Riduwan, 2005; 98) adalah sebagai berikut:

(

) ( )( )

( )

{

2 2

}

{

2

( )

2

}

. . . .

− − − = y y n x x n y x xy n rhitung


(28)

Dimana Responden Jumlah n item) (seluruh Skor total Jumlah y Item Skor Jumlah x Kolerasi Koefisien = = = =

hitung r

Selanjutnya dihitung dengan Uji-t dengan rumus:

2 1 2 r n r thitung − − = Dimana Responden jumlah n ) (hasil kolerasi Koefisien hitung t nilai = = = hitung r r t

Mencari ttabel untuk α =0,05 dan derejad kebebasan (dk = n-2) Kaidah Keputusan: Jika

Valid Tidak berarti Valid berarti tabel hitung tabel hitung t t t t < >

Sedangkan untuk menentukan Reliabilitas instrumen mengunakan metode Belah Dua (Split Half Method) ganjil genap atau awal akhir dengan menggunakan rumus Spearman Brown adalah sebagai berikut:

rb rb r + = 1 . 2 11 Dimana akhir) (awal atau genap) (ganjji belahan antara Moment Product Kolerasi item seluruh internal Reliabilts Koefisien 11 = = b r r

(

) ( )( )

( )

{

2 2

}

{

2

( )

2

}

. . . .

− − − = y y n x x n y x xy n rb

Mencari rtabel untuk α =0,05 dan derejad kebebasan (dk = n-2) Kaidah Keputusan: Jika

Reliabel Tidak berarti Reliabel berarti 11 11 tabel tabel t r r r < >


(29)

d. Teknik Pengumpulan Data

Sebagaimana telah dikemukakan pada Bab I bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan bagaimana gambaran sikap masyarakat pendidikan dasar terhadap tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif. Maka untuk mendapatkan hasil, peneliti menggunakan Angket skala sikap, yang berupa daftar pertanyaan yang didistribusikan untuk diisi dan dikembalikan atau dapat juga dijawab dibawah pengawasan peneliti. Pemilihan teknik pengumpulan data dengan skala sikap didasarkan atas alasan bahwa: (1) responden memiliki waktu yang cukup untuk menjawab pertanyaan pertanyaan, (2) setiap responden menghadapi susunan dengan cara pengisian yang sama atas pertanyaan yang diajukan, (3) responden mempunyai kebebasan memberikan jawaban, (4) dapat digunakan untuk pengumpulan data atau keterangan dan banyak responden dalam waktu yang tepat. Dengan demikian melalui skala sikap ini akan dikumpulkan data yang berupa jawaban tertulis dari responden atas sejumlah pertanyaan yang diajukan di dalam angket. Indikator-indikator dari variabel Sikap masyarakat pendidik dasar terhadap tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif, merupakan materi pokok yang dibuat menjadi sejumlah pertanyaan dalam angket, sebagai instrumen akan dikembangkan skala sikap.

Jenis skala sikap yang penulis pilih adalah model Likert yang mengharuskan subjek yang disurvai untuk memilih satu diantara 5 pilihan sikap. (Azwar, 1988) yaitu (Sangat setuju – setuju - tidak tahu – tidak setuju – sangat tidak setuju). Dengan skor penilaian sebagai berikut:


(30)

Arah Pertanyan positif diberi skor sbb: SS = Sangat setuju diberi skor : 5 S = Setuju diberi skor : 4 TT = Tidak Tahu diberi skor : 3 TS = Tidak setuju diberi skor : 2 STS = Sangat tidak setuju diberi skor : 1 Arah pertanyaan negatif diberi skor sbb: SS = Sangat setuju diberi skor : 1 S = Setuju diberi skor : 2 TT = Tidak Tahu diberi skor : 3 TS = Tidak setuju diberi skor : 4 STS = Sangat tidak setuju diberi skor : 5

e. Teknik Pengolahan Data

Untuk pengolahan data ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:

1) Mengumpulkan kembali instrumen penelitian yang berupa skala sikap yang telah di isi oleh para responden dalam penelitian ini.

2) Memberi kode pada setiap instrumen yang telah dikembalikan.

3) Menentukan skala penilaian terhadap jawaban yang diberikan responden pada instrumen berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.

4) Skor yang diperoleh tiap responden dijumlahkan, setelah itu jumlah skor tersebut dibagi dengan banyaknya item pernyataan, kemudian hasil bagi tersebut dijumlahkan seluruhnya, lalu hasilnya dibagi kembali dengan banyaknya responden.Atau dapat dilihat pada rumus berikut:

=

=

n X X

X item

x


(31)

x = Jumlah item pernyataan tiap pertanyaan penelitian

item = Jumlah rata-rata dari hasil bagi skor total dengan banyaknya item

X = Jumlah responden seluruhnya

n = Nilai rata-rata akhir untuk menjawab pertanyaan penelitian X akhir = Jumlah skor total tiap responden

(Natawidjaya, 1997: 29)

Dengan kriteria penilaian sebagai berikut: 0 s/d 0,49 = Sikap yang sangat buruk 0,50 s/d 1,49 = Sikap yang buruk

1,50 s/d 2,49 = Sikap yang kurang baik 2,50 s/d 3,49 = Sikap yang baik

3,50 s/d 4.00 = Sikap yang sangat baik

Kriteria ini diambil berdasarkan sistem penilaian Skala Sikap.

2. Pengumpulan Data Kualitatif a. Metode

Untuk mendapatkan hasil pada pertanyaan penelitian kedua dan ketiga penulis menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif sering disebut dengan metode etnografik, fenomenologis atau metode naturalistik. Pendekatan penelitian semacam ini mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1. Peneliti sendiri sebagai instrumen utama untuk mendatangi secara langsung sumber data.

2. Mengimplikasikan data yang dikumpul dalam penelitian ini lebih cenderung dalam bentuk kata-kata.

3. Menjelaskan bahwa hasil penelitian lebih menekankan pada proses, tidak semata-mata kepada hasil.

4. Melalui analisis induktif peneliti mengungkapkan makna dari keadaan yang diamati.

5. Mengungkapkan makna sebagai hasil yang lebih esensial dari pendekatan kualitatif. (Bogdan dan Biklen (1982:3) dalam (Maleong, 2003:3).


(32)

Dengan demikian karakteristik itulah yang dijadikan acuan bagi seluruh proses penelitian ini. Pernyataan di atas didukung oleh Maleong (1990), yang menyatakan: “penelitian kualitatif berakar pada latar belakang alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif, dan mengadakan analisis data secara induktif. Sasaran penelitian diarahkan pada usaha-usaha menemukan teori-teori dasar. Penelitian bersifat deskriptif ini lebih mementingkan proses dari pada hasil, memiliki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan data. Maka dalam penelitian ini peneliti berfungsi sebagai instrumen penelitian dan menfokuskan perhatian dalam memahami sikap, pendapat, persepsi dan sebagainya berdasarkan subjek yang diteliti. Oleh karena itu pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui kontak langsung antara peneliti dan subjek yang diteliti dengan cara mendeskripsikan data-data tentang sikap masyarakat pendidikan dasar terhadap tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif.

b. Teknik Pengumpulan Data

Metode penelitian yang dipilih adalah wawancara dengan tujuan agar responden dapat mengungkapkan faktor-faktor yang menjadi latar belakang berbagai sikap masyarakat pendidikan dasar terhadap tunanetra yang mengikuti

pendidikan inklusif, dan faktor-faktor penghambat tentang pendidikan inklusif. 1) Wawancara

Menurut Susan Stainback yang dikutif Sugiyono (2005:72) mengemukakan bahwa :interviewing provide the researcher a means to gain a deeper understanding of how the participant interpret a situation or phonomenon


(33)

than can be gained through observation alon. Jadi dengan wawancara, maka peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan penomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi. Teknik wawancara yang dipergunakan dalam pengumpulan data ini adalah wawancara semi terstruktur.

Wawancara semi terstruktur digunakan dengan tujuan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya (Sugiyono, 2005:73). Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian ini, yakni untuk mendapat hasil bagaimana pendapat kepala sekolah tentang pendidikan inklusif dan tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif. Oleh karena itu wawancara semi terstruktr ini dilakukan terhadap 6 orang kepala sekolah dan 6 orang guru yang menjadi informan utama. Dengan teknik ini peneliti menggunakan pedoman wawancara dalam bentuk terbuka, yaitu yang terdiri dari sederetan pertanyaan yang berkaitan dengan pertanyaan penelitianyang kedua dan ketiga.

Sedangkan pelaksanaan teknik wawancara dilakukan berdasarkan kesepakatan antara peneliti dan informan yang berkenaan dengan hari, waktu dan tempatnya. Kesepakan ini perlu disepakati agar tidak terjadi kendala yang berarti demi lancarnya wawancara. Oleh karena itu, dalam beberapa kali wawancara waktu tidak selalu sama tergantung kesediaan kepala sekolah. Yang paling penting adalah bahwa wawancara dilakukan secara individu untuk menghindari adanya intervensi atau peniruan jawaban yang diberikan informan. Dengan cara ini diharapkan informan dapat memberikan informasi dengan tenang dan terbuka


(34)

dalam mengemukakan pendapatnya. Wawancara dilakukan berdasarkan pedoman wawancara yang telah disediakan penulis terlebih dahulu yang dikembangkan dari pedoman instrumen wawancara.

Nasution (1998:54) menjelaskan, “dalam wawancara kita dihadapkan dalam dua hal, kita harus secara nyata mengadakan interaksi dengan responden, kedua kita dihadapi kenyataan adanya pandangan orang lain yang mungkin berbeda dengan pandangan kita sendiri”. Patton (1980) dalam Maleong (1988:199-120) mengelompokkan enam jenis pertanyaan yang diajukan akan terkait dengan pertanyaan lainnya. Keenam jenis pertanyaan itu adalah:

a. Pertanyaan yang terkait dengan pengalaman atau prilaku b. Pertanyaan yang terkait dengan pendapat

c. Pertanyan yang terkait dengan perasaan d. Pertanyaan yang terkait dengan pengetahuan e. Pertanyaan yang terkait dengan indra.

f. Pertanyaan yang terkait dengan latar belakang atau demografi.

Sebelum instrumen wawancara dibawa ke lapangan terlebih dahulu dilakukan pengujian validitas instrumen. Pengujian validitas wawancara dilakukan dengan cara:

a. Mengecek kembali antara kesesuaian topik wawancara dengan kisi-kisi penelitian yang telah disusun sebelumnya.

b. Dengan melihat keterbacaan dan kridibilitas dari instrumen wawancara sehingga realibilitas di lapangan dapat terjaga.

c. Partisipan Wawancara

Yang menjadi partisipan dalam penelitian ini adalah 6 orang kepala sekolah dan 6 orang guru. Dimana tempat bertugas kepala sekolah tersebut sekolahnya telah dijadikan sebagai sampel penelitian. Pemilihan 6 kepala sekolah


(35)

dan 6 guru adalah karena kepala sekolah dan guru sudah dapat mewakili pendapat dari guru-guru. Adapun partisipan untuk wawancara adalah:

TABEL 3.2 Partisipan Wawancara No. Nama Jenis

kelamin

Lamanya Menjadi Kepsek

Tempat

Tinggal Pendidikan

1. TS L 7 tahun Medan S1

2. HP P 8 Tahun Medan S1

3. AP P 9 tahun Medan S1

4. HS L 8 Tahun Medan S1

5. SE L 7 tahun Medan S1

6. LL P 8 tahun Medan S-2

7 LH P 10 thn (guru) Medan S1

8 TO P 11 thn (guru) Medan D3

9 RT P 20 thn (guru) Medan SPG

10 LS P 10 thn (guru Medan S1

11 BA L 12 thn (guru) Medan S1

12 ST P 8 thn (guru Medan S1

d. Teknik Analisis data

Data kualitatif diperoleh melalui teknik wawancara. Maleong (1998) menyatakan bahwa proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari hasil analisis kuesioner, wawancara, observasi dan pengamatan yang ditulis dalam catatan lapangan. Data yang diperoleh pada tahap kedua dianalisis dengan menggunakan prosedur analisis data atas dasar tiga tahap sesuai dengan saran, Nasution menyebutkan: (1) reduksi data, (2) display data, (3) mengambil kesimpulan dan verifikasi data.

Reduksi data adalah dilakukan dengan cara meringkas data dalam bentuk laporan yang lebih sistematis, menonjolkan pokok-pokok penting, sehingga lebih mudah dikendalikan. Data yang direduksi memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan juga mempermudah untuk mencari kembali data yang


(36)

diperoleh bila diperlukan. Dalam reduksi data ini peneliti akan dipandu oleh tujuan yang akan dicapai. Tujuan utama dari penelitian kualitatif ini adalah temuan, dalam penelitian ini penulis ingin menemukan bagaimana sikap masyarakat pendidikan dasar terhadap tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif.

Display data adalah penyusunan secara sistematis hasil reduksi data agar diketahui gambaran keseluruhan data atau bagian-bagian tertentu dari penelitian itu dengan membuat charts. Dengan demikian peneliti dapat menguasai data dan tidak tenggelam dalam tumpukan data. Dalam penelitian kualitatif penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori. Dalam hal ini Miles and Huberman (1984) dalam Sugiyono menyatakan “the most frequent form of display data for qualitative reseach data in the past has been narrative text”. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.

Kesimpulan dan verifikasi data, kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti ke lapangan untuk mengumpulkan data maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

Dengan demikian kesimpulan dalam penelitan kualitatif mungkin dapat menjawab pertanyaan penelitian yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena rumusan masalah dalam penelitian masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti berada di lapangan. Kesimpulan ditarik dari


(37)

display data sehingga data dan informasi lebih bermakna. Sedang verifikasi dilakukan dengan maksud untuk menjamin suatu tingkat kepercayaan hasil penelitiaan.

e. Pengujian Kredibilitas Data

Pengujian kredibilitas data dilakukan untuk meningkatkan akurasi data sehingga data penelitian itu dapat dipercaya. Dalam penelitian ini pengujian kredibilitas data penelitian dilakukan dengan cara:

1) Perpanjangan pengamatan

Perpanjangan pengamatan berarti peneliti kembali ke lapangan, melakukan pengamatan, wawancara dengan nara sumber yang sama. Dalam perpanjangan pengamatan ini antara penulis dengan nara sumber sudah lebih akrab karena sebelumnya penulis sudah pernah bertemu pada waktu menyebarkan angket skala sikap. Terlihat suasana sudah lebih akrab, lebih terbuka, saling mempercayai sehingga diharapkan tidak ada informasi yang disembunyikan lagi.

Dalam perpanjangan pengamatan ini penulis sudah melakukannya, setelah penulis memberikan angket untuk diisi, penulis kembali ke lapangan untuk mengadakan sosialisasi dan wawancara dengan kepala sekolah.

2) Meningkatkan ketekunan

Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Maka dengan cara tersebut, maka kepastian data dan urutan peristiwa akan dapt direkam secara pasti. Untuk mengetahui kekurangan dan kesalahan, maka peneliti membaca dan mengkaji referensi buku dan hasil penelitian yang berkaitan dengan yang sedang diteliti.


(38)

f. Analisis Kasus Negatif

Teknik kredibilitas analisis kasus negatif dalam penelitian ini tidak dilakukan, karena peneliti menemukan data yang berbeda. Semua data atau informasi yang diperoleh menunjukkan kesamaan.

g. Member Check

Member check adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data. Tujuannya adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Dalam penelitian ini penulis dengan nara sumber berdiskusi dan sepertinya tidak ada yang menyanggah tetapi ada yang menambah data.


(39)

163 BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Pada bagian ini akan dikemukakan kesimpulan singkat dari hasil penelitian yang telah dipaparkan dalam bab IV tentang sikap masyarakat pendidikan dasar terhadap tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Sikap masyarakat pendidikan dasar terhadap tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif, ditinjau dari jenjang tempat bekerja, pendidikan terakhir, jabatan, masa kerja jabatan, status kepegawaian, dan keikut sertaan pelatihan, secara keseluruhan sudah baik. Secara umum sikap masyarakat pendidikan dasar terhadap tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif sudah baik, tidak terdapat perbedaan yang signifikan jika ditinjau dari jenjang tempat bekerja, pendidikan terakhir, jabatan, status kepegawaian, masa kerja jabatan dan keikut sertaan pelatihan, terdapat perbedaan jika ditinjau dari yang sudah pernah pelatihan, jabatan, dan jenjang pendidikan.

2. Pendapat masyarakat Pendidikan dasar tentang pendidikan inklusif. Banyak alasan yang ditemukan, namun yang ditemukan secara umum adalah masih minimnya pengetahuan guru dan kepala sekolah tentang pendidikan inklusif. Namun dari sisi positifnya penulis melihat responden sangat antusias untuk mempelajari lebih dalam, hal ini terlihat pada saat penulis melakukan wawancara dengan kepala sekolah. Kemudian yang penting juga para


(40)

birokrat pendidikan mengenai pendidikan khusus ini. Kita tahu bahwa selama ini pendidikan khusus ini ditangani oleh dinas pendidikan propinsi sedangkan pendidikan umum masih dikelola oleh dinas kabupaten. Hal ini perlu adanya komunikasi yang lebih fokus antara sub dinas pendidikan luar biasa dengan dinas pendidikan kabupaten tentang program inklusi ini. Para penglola inklusi diharapkan untuk terjun langsung ke bawah sehingga pengelola pendidikan umum akan lebih mengerti. Kalau sosialisainya masih hanya sebatas kepada guru-guru PLB, penulis merasa ini tidak akan epektif. Keberhasilah program inklusi tentunya memerlukan pengertian dari para pengelola pendidikan umum. Kalau yang disentuh hanya praktisi PLB saja tentunya keberhasilan program ini akan terhambat. Karena kita tahu bahwa yang mengelola

pendidikan ini

adalah praktisi pendidikan umum. Tetapi pemerintah juga harus tetap memperhatikan jalannya program ini. Artinya hubungan antara praktisi umum dan PLB perlu dijalin kembali, sehingga kedua lembaga ini akan ada saling pengertiannya. Tentunya dengan adanya kerjasama yang baik akan menghasilkan hal yang baik juga.

3. Faktor penghambat pelaksanan pendidikan inklusif terhadap tunanetra. Hasil temuan di lapangan ternyata menunjukkan hasil yang baik. Hanya kepala sekolah belum banyak mengerti tentang pendidikan inkusif, sehingga belum melaksanakan pendidikan inklusif disekolahnya. Hal itu disebabkan minimnya dukungan kesiapan sumber daya manusia (SDM), dan sarana prasarana. Kedua kendala tersebut menyebabkan kesempatan untuk menerima tunanetra


(41)

belum terpenuhi secara menyeluruh. Karena menurut kepala sekolah pelajaran-pelajaran khusus yang diberikan kepada tunanetra belum ada kesiapan SDM, seperti pada mata pelajaran khusus yang dibutuhkan tunanetra. Misalnya, keterampilan orentasi dan mobilitas untuk tunanetra. “Jika tidak ada guru khusus, kebutuhan itu tidak bisa terpenuhi. Inilah adalah salah satu faktor penghambat. Di sekolah inklusi, kebutuhan tunanetra malah tidak terpenuhi.” Konsep pendidikan inklusif menghargai semua siswa dengan keunikan mereka masing-masing, termasuk mengakomodasi kebutuhan tunanetra dalam kegiatan belajar-mengajar bersama siswa biasa lainnya. Hanya, konsep ini masih belum banyak dipahami dan dijalankan oleh pemerintah maupun sekolah. Guru pendamping dibutuhkan saat anak tidak dapat mengikuti suatu mata pelajaran. Misalnya pada kegiatan menggambar di kelas, anak tunanetra dapat dibimbing guru pendamping mempelajari hal lain di ruang khusus. Dengan setting pendidikan inklusif ini, masa depan tunanetra yang pada awalnya terus menerus termarginalkan dan terabaikan dari lingkungan masyarakat dan pergaulan dengan teman-temannya, diharapkan mampu bangkit dari diskriminasi dan tindakan sewenang-wenang orang-orang yang tidak memiliki kesadaran.

4. Hasil temuan angket menunjukkan sikap positif, sedangkan hasil temuan wawancara menunjukkan hasil yang masih negatif. Sikap negatif ini terjadi karena belum ada pemahaman. Guna meningkatkan pemahaman masyarakat pendidikan dasar tentang pendidikan inklusif maka perlu dilakukan pelatihan tentang pendidikan Inklusif.


(42)

B. Rekomendasi

Berkenaan dengan hasil temuan di atas, maka perlu dilakukan upaya-upaya penanganannya agar pemasalahan yang dihadapi sekolah-sekolah inklusi dan sekolah yang menjadi sekolah inklusi dapat diatasi. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya menciptakan sekolah yang ramah, yaitu:

1. Berkaitan dengan pemahaman masyarakat pendidikan dasar terhadap pendidikan inklusif. Kepada pemerintah harus serius dalam melaksanakan program pendidikan inklusi, maka yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan-tahapan pelaksanaan pendidikan inklusi secara konsisten mulai dari sosialisasi hingga evaluasi pelaksanaannya.

2. Kepada guru dan kepala sekolah yang langsung dapat dilakukan oleh para guru untuk mewujudkan pendidikan inklusif adalah dengan menciptakan suasana belajar yang saling mempertumbuhkan (cooperative learning). Cooperative Learning akan mengajarkan para siswa untuk dapat saling memahami (mutual understanding) kekurangan masing-masing temannya dan peduli (care) terhadap kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian maka sistem belajar ini akan menggeser sistem belajar persaingan (competitive learning) yang selama ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam waktu yang bersamaan competitive learning dapat menjadi solusi efektif bagi persoalan yang dihadapi oleh para guru dalam menjalankan pendidikan inklusi. Pada akhirnya suasana belajar cooperative ini diharapkan bukan hanya menciptakan kecerdasan otak secara individual, namun juga mengasah kecerdasan dan kepekaan sosial para siswa.


(43)

3. Kepada sekolah-sekolah reguler, dengan adanya program pendidikan inklusif ini diharapkan semua sekolah dapat membuka diri untuk menerima tunanetra bersekolah dengan tetap memperhatikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan khusus tunanetra, sehingga tidak ada lagi tunanetra usia sekolah yang tidak mendapat pendidikan.

4. Kepada sekolah-sekolah yang sudah melaksanakan inkusi di Medan agar selalu berusaha meningkatkan pelayanan khususnya kepada tunanetra sehingga semua kebutuhan tunanetra dapat tepenuhi. Demikian juga kepada guru-guru dan kepala sekolah agar terus meningkatkan SDM-nya, sehingga pendidikan inklusif di Medan dapat semakin lebih baik.

5. Kepada para peneliti lainnya yang lebih kompeten untuk dapat dijadikan sebagai bahan kajian untuk melakukan penelitian yang lebih luas dan mendalam tentang sikap masyarakat pendidikan dasar terhadap tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif.

6. Membuat program sosialisasi pendidikan inklusif kepada masyarakat pendidikan dasar di 6 sekolah yang menjadi sampel penelitian.


(44)

163

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, M. (2002). Landasan Pendidikan Inklusif dalam Penyelenggaraan Lembaga Pendidikan, Tenaga Kependidikan. Depdiknas.

Afrini. (2009). Gerakan Pendidikan Inklusif Untuk Semua, http://www.ypmi.org/

indeks.php.23 Maret 2009

Azwar, S (2004). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Alimin, Z (2008) Pemahaman Konsep Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Anak Berkebutuhan Khusus. [online]. Tersedia; http://z-

alimin.blogspot.com/2008/03/pemahaman-konsep-pendidikan-kebutuhan.html [15

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1997). Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Jakarta: Depdikbud.

Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Direktorat PLB. (2004). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu/Inklusi (Buku 1 Mengenal Pendidikan Terpadu). Jakarta: Depdiknas.

Direktorat PLB. (2004). Menciptakan Kelas Inklusif, Ramah Terhadap Peserta Didik. Jakarta: UNESCO.

Geruangan, W.A (2004). Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. Hosni, I. (1996). Orientasi dan Mobilitas. Jakarta: Dirjen Dikti.

Hallahan, Kauffman, (2005), Special Education , Pierson Education,inc

Johnsen, B.H. & Skjorten, M.D. (2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus-Sebuah Pengantar (Terjemahan). Bandung: Pascasarjana UPI.

Kingsley, M. (1999). ”The Effects of a Visual Loss” (diterjemahkan Didi Tarsidi) dalam Mason, H & McCall, S. (Eds). (1999, pp.23-30). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers.


(45)

Koentjaraningrat. (1989). Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.

Kountur Rony. (2005). Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis. Jakarta: CV. Teruna Grafika.

Majelis Permusyawaratan Rakyat. (2002). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen). Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.

Mar’at. (182). Sikap Manusia: Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Mason, H. (1999). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People ”Assesment of Vision” (diterjemahkan oleh Didi Tarsidi) dalam Mason, H. & McCall, S (Eds). (1999, pp.51-64). London: David Fulton Publishers.

Mason, H. & McCall, S. (1997). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. (diterjemahkan oleh Didi Tarsidi). London: David Fulton Publishers.

Moleong, L. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nasution. (2000). Didakdik Azas-azas Mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Natawidjaja, R. (1997). Pengembangan Instrumen Penelitian. Bandung: IKIP

Bandung.

Rosyada, D. (2004). Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Prenada Media. Ridwan (2005). Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan, dan Peneliti

Pemula. Bandung: Alfabeta.

Rini, JN (2002). Memupuk rasa Percaya Diri [online]. Tersedia; http://www.e-psikologi.com/dewasa/161002.htm [ 23 Juni 2008].

Sanafiah, F. (1981). Dasar-dasar Teknik Menyusun Angket. Surabaya: Usaha Nasional.

Sax, (1980), Principles of Educational and Psychological Measurement and Educational,


(46)

Sobur, A. (2003). Psikologi Umum. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Sugyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sugyono. (2004). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sunanto, J. (2005). Mengembangkan Potensi Anak Berkelainan Penglihatan. Jakarta: Dikti.

Stubbs, S (2002) Inclusive Education Where There Are Few Resources. UK: The Atlas Alliance (Pendidikan Inklusif ketika hanya ada sedikit sumber) alih bahasa Susi Septaviana R. Diedit oleh Didi Tarsidi, Jurusan Pendidikan Luar Biasa, UPI.

Sudrajat. A (2008). Kompetensi Guru. [online]. Tersedia; http://akhmadsudrajat.wordpress.com/all-about-education/kompetensi-guru.htm/ [23 Maret 2008].

Sunardi. (1996). Kecenderungan Dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Dirjen Dikti

Tarsidi, D. (1998). Peraturan Standar Tentang Persamaan Kesempatan Bagi Penyandang Cacat. (Resolusi PBB No. 48/96). Jakarta: Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia.

Tarsidi. (2007). Memahami Perkembangan Kepribadian Tunanetra Melalui Teori Social Learning Bandura dari Bandura. http://d-tarsidi.blogspot.com. 23 Maret 2009.

Tarsidi. (2007). Konseling untuk Penyesuaian Psikologis Terhadap Kehilangan Penglihatan pada Individu Tunanetra Dewasa.

http://d-tarsidi.blogspot.com. 19 April 2009.

Tatak, P. (2005). Reformasi Pendidikan di Indonesia.

www.theindonesianinstitute.com 20 Oktober 2009.

Troy Hayden. (2004). Mengakomodasi Anak Berkebutuhan Khusus.

www.torey-hayden.com. 20 Maret 2009.

Wikipedia Bahasa Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan#materi


(47)

! " # $ %&


(1)

B. Rekomendasi

Berkenaan dengan hasil temuan di atas, maka perlu dilakukan upaya-upaya penanganannya agar pemasalahan yang dihadapi sekolah-sekolah inklusi dan sekolah yang menjadi sekolah inklusi dapat diatasi. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya menciptakan sekolah yang ramah, yaitu:

1. Berkaitan dengan pemahaman masyarakat pendidikan dasar terhadap pendidikan inklusif. Kepada pemerintah harus serius dalam melaksanakan program pendidikan inklusi, maka yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan-tahapan pelaksanaan pendidikan inklusi secara konsisten mulai dari sosialisasi hingga evaluasi pelaksanaannya.

2. Kepada guru dan kepala sekolah yang langsung dapat dilakukan oleh para guru untuk mewujudkan pendidikan inklusif adalah dengan menciptakan suasana belajar yang saling mempertumbuhkan (cooperative learning). Cooperative Learning akan mengajarkan para siswa untuk dapat saling memahami (mutual understanding) kekurangan masing-masing temannya dan peduli (care) terhadap kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian maka sistem belajar ini akan menggeser sistem belajar persaingan (competitive learning) yang selama ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam waktu yang bersamaan competitive learning dapat menjadi solusi efektif bagi persoalan yang dihadapi oleh para guru dalam menjalankan pendidikan inklusi. Pada akhirnya suasana belajar cooperative ini diharapkan bukan hanya menciptakan kecerdasan otak secara individual, namun juga mengasah kecerdasan dan kepekaan sosial para siswa.


(2)

167

3. Kepada sekolah-sekolah reguler, dengan adanya program pendidikan inklusif ini diharapkan semua sekolah dapat membuka diri untuk menerima tunanetra bersekolah dengan tetap memperhatikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan khusus tunanetra, sehingga tidak ada lagi tunanetra usia sekolah yang tidak mendapat pendidikan.

4. Kepada sekolah-sekolah yang sudah melaksanakan inkusi di Medan agar selalu berusaha meningkatkan pelayanan khususnya kepada tunanetra sehingga semua kebutuhan tunanetra dapat tepenuhi. Demikian juga kepada guru-guru dan kepala sekolah agar terus meningkatkan SDM-nya, sehingga pendidikan inklusif di Medan dapat semakin lebih baik.

5. Kepada para peneliti lainnya yang lebih kompeten untuk dapat dijadikan sebagai bahan kajian untuk melakukan penelitian yang lebih luas dan mendalam tentang sikap masyarakat pendidikan dasar terhadap tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusif.

6. Membuat program sosialisasi pendidikan inklusif kepada masyarakat pendidikan dasar di 6 sekolah yang menjadi sampel penelitian.


(3)

163

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, M. (2002). Landasan Pendidikan Inklusif dalam Penyelenggaraan Lembaga Pendidikan, Tenaga Kependidikan. Depdiknas.

Afrini. (2009). Gerakan Pendidikan Inklusif Untuk Semua, http://www.ypmi.org/

indeks.php.23 Maret 2009

Azwar, S (2004). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Alimin, Z (2008) Pemahaman Konsep Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Anak

Berkebutuhan Khusus. [online]. Tersedia;

http://z- alimin.blogspot.com/2008/03/pemahaman-konsep-pendidikan-kebutuhan.html [15

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1997). Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Jakarta: Depdikbud.

Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Direktorat PLB. (2004). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu/Inklusi (Buku 1 Mengenal Pendidikan Terpadu). Jakarta: Depdiknas.

Direktorat PLB. (2004). Menciptakan Kelas Inklusif, Ramah Terhadap Peserta Didik. Jakarta: UNESCO.

Geruangan, W.A (2004). Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. Hosni, I. (1996). Orientasi dan Mobilitas. Jakarta: Dirjen Dikti.

Hallahan, Kauffman, (2005), Special Education , Pierson Education,inc

Johnsen, B.H. & Skjorten, M.D. (2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus-Sebuah Pengantar (Terjemahan). Bandung: Pascasarjana UPI.

Kingsley, M. (1999). ”The Effects of a Visual Loss” (diterjemahkan Didi Tarsidi) dalam Mason, H & McCall, S. (Eds). (1999, pp.23-30). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers.


(4)

164

Koentjaraningrat. (1989). Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.

Kountur Rony. (2005). Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis. Jakarta: CV. Teruna Grafika.

Majelis Permusyawaratan Rakyat. (2002). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen). Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.

Mar’at. (182). Sikap Manusia: Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Mason, H. (1999). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People ”Assesment of Vision” (diterjemahkan oleh Didi Tarsidi) dalam Mason, H. & McCall, S (Eds). (1999, pp.51-64). London: David Fulton Publishers.

Mason, H. & McCall, S. (1997). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. (diterjemahkan oleh Didi Tarsidi). London: David Fulton Publishers.

Moleong, L. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nasution. (2000). Didakdik Azas-azas Mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Natawidjaja, R. (1997). Pengembangan Instrumen Penelitian. Bandung: IKIP

Bandung.

Rosyada, D. (2004). Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Prenada Media. Ridwan (2005). Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan, dan Peneliti

Pemula. Bandung: Alfabeta.

Rini, JN (2002). Memupuk rasa Percaya Diri [online]. Tersedia; http://www.e-psikologi.com/dewasa/161002.htm [ 23 Juni 2008].

Sanafiah, F. (1981). Dasar-dasar Teknik Menyusun Angket. Surabaya: Usaha Nasional.

Sax, (1980), Principles of Educational and Psychological Measurement and Educational,


(5)

Sobur, A. (2003). Psikologi Umum. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Sugyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sugyono. (2004). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sunanto, J. (2005). Mengembangkan Potensi Anak Berkelainan Penglihatan. Jakarta: Dikti.

Stubbs, S (2002) Inclusive Education Where There Are Few Resources. UK: The Atlas Alliance (Pendidikan Inklusif ketika hanya ada sedikit sumber) alih bahasa Susi Septaviana R. Diedit oleh Didi Tarsidi, Jurusan Pendidikan Luar Biasa, UPI.

Sudrajat. A (2008). Kompetensi Guru. [online]. Tersedia; http://akhmadsudrajat.wordpress.com/all-about-education/kompetensi-guru.htm/ [23 Maret 2008].

Sunardi. (1996). Kecenderungan Dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Dirjen Dikti

Tarsidi, D. (1998). Peraturan Standar Tentang Persamaan Kesempatan Bagi Penyandang Cacat. (Resolusi PBB No. 48/96). Jakarta: Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia.

Tarsidi. (2007). Memahami Perkembangan Kepribadian Tunanetra Melalui Teori Social Learning Bandura dari Bandura. http://d-tarsidi.blogspot.com. 23 Maret 2009.

Tarsidi. (2007). Konseling untuk Penyesuaian Psikologis Terhadap Kehilangan Penglihatan pada Individu Tunanetra Dewasa.

http://d-tarsidi.blogspot.com. 19 April 2009.

Tatak, P. (2005). Reformasi Pendidikan di Indonesia.

www.theindonesianinstitute.com 20 Oktober 2009.

Troy Hayden. (2004). Mengakomodasi Anak Berkebutuhan Khusus.

www.torey-hayden.com. 20 Maret 2009.

Wikipedia Bahasa Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan#materi


(6)

166

! " # $ %&