BAB VII RENCANA INDUK PENGEMBANGAN EKONOMI KABUPATEN BLITAR - CONTOH ANALISIS SWOT

BAB VII RENCANA INDUK PENGEMBANGAN EKONOMI KABUPATEN BLITAR

  

7.1. Identifikasi Permasalahan dan Strategi Pengembangan Ekonomi

Sektoral

  Berdasarkan hasil wawancara mendalam, dan Focus Group Discussion dengan beberapa stakeholder seperti Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Peternakan, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Badan Pusat Statistik, Dinas Parawisata, Dinas Pekerjaan Umum, dan dinas lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini, dapat diketahui beberapa permasalahan yang bersifat umum maupun khusus beserta strategi alternatif untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Rancangan strategi atas permasalahan pada sektor ekonomi di Kabupaten Blitar akan menentukan rencana pengembangan ekonomi yang akan disusun pada Rencana Induk Pengembangan Ekonomi Kabupaten Blitar. Uraian permasalahan dan strategi alternatif tersebut akan diuraikan per sektor sebagai berikut.

1. SEKTOR PERTANIAN

  Kabupaten Blitar merupakan salah satu lumbung pangan provinsi Jawa Timur, yang memberikan sumbangan yang cukup besar dalam pemenuhan kebutuhan pangan nasional di subsektor tanaman pangan dan hortikultura.

  Dengan potensi sumberdaya lahan yang ada, Kabupaten Blitar mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya (swasembada) dan memberikan kontribusi cukup besar terhadap produksi pangan Jawa Timur seperti beras, jagung dan gula.

  Namun dibalik baiknya pencapaian tersebut, Kabupaten Blitar masih dihadapkan pada persolan mendasar di sektor pertanian, antara lain: meningkatnya jumlah penduduk, terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian (industri, pemukiman, pusat perbelanjaan, perkantoran, dan lain sebagainya). Pesatnya laju pertumbuhan pembangunan di berbagai bidang yang berbasis pada pemanfaatan sumberdaya lahan berimplikasi pada pelanggaran tata ruang dan pemanfaatan lahan untuk ketahanan pangan. Pada kondisi ini, penggunaan lahan untuk pertanian sebagai prioritas terakhir selalu dikorbankan. Konverasi lahan pertanian terutama persawahan produktif dengan sistem irigasi yang baik tidak dapat dihindari. Permasalahan selanjutnya adalah tekanan globalisasi dan liberalisasi pasar, pesatnya kemajuan teknologi dan informasi, perkembangan dinamika sosial budaya masyarakat, kecilnya status dan luas kepemilikan lahan (rata-rata 0,36 hektar), terbatasnya kemampuan pembenihan dan pembibitan nasional, terbatasnya akses petani terhadap permodalan, masih lemahnya kapasitas kelembagaan petani dan penyuluh, masih rawannya ketahanan pangan dan energi, rendahnya nilai tukar petani dan kurang harmonisnya koordinasi kerja antar sektor terkait.

  Secara lebih spesifik berdasarkan hasil wawancara dengan dinas pertanian, dinas perkebunan, dinas perikanan, dan dinas kehutanan terdapat berbagai masalah seperti yang dimuat dalam tabel 7.1.

Tabel 7.1. Permasalahan dan Rancangan Strategi Peningkatan Sektor Pertanian

  No Permasalahan Rancangan Strategi

  Menerapkan kebijakan strategis pengendalian konverasi lahan pertanian produktif,

  Semakin terbatasnya lahan pertanian

  1

  persawahan, dan lain produktif sebagainya, ke arah perlindungan lahan pertanian produktif. Pembangunan pertanian tanaman pangan dan hortikultura untuk semakin

  Rendahnya nilai tukar produk-produk pertanian dan linkages antara sektor mengoptimalkan potensi melalui

  2 pertanian dan industri yang cenderung

  peningkatan produktivitas dan asimetris. efisiensi usaha untuk meningkatkan daya saing dan pendapatan petani.

  Menciptakan kebijakan harga

  Lemahnya tata niaga produk dan

  (pricing policies) atau regulasi

  panjangnya rantai distribusi produk

  perlindungan harga yang 3 pertanian yang menyebabkan proporsional untuk produk-produk

  pemasaran tidak efisien dan

  pertanian khusus dan sistem merugikan petani. pemasarannya.

  Kurang berkembangnya aspek Memperkokoh kelembagaan

  

4 kelembagaan yang mendukung usaha ekonomi produktif di

pengembangan sektor pertanian. pedesaan.

5 Mutu produk pertanian belum Meningkatkan produktivitas dan

  No Permasalahan Rancangan Strategi terstandarisasi dan kemasan produk tidak market friendly. nilai tambah produk pertanian melalui standarisasi dan well packaging

  Mengupayakan agar terjadi keseimbangan antara produksi tembakau dan kebutuhan pabrikan, melalui inventarisasi kebutuhan masing-masing pabrikan

  masyarakat terhadap keberadaan, fungsi, dan peran hutan dalam pembangunan ekonomi, ekologi, dan sosial budaya masyarakat.

  12 Masih beragamnya persepsi

  Mengembangkan tanaman kakao rakyat dengan memberikan bantuan benih, polybag, pupuk, dan obat-obatan dalam areal yang masih terbatas

  menanam komoditas kakao dan potensi lahan untuk pengembangan yang lebih besar masih belum terfasilitasi.

  11 Animo petani yang tinggi untuk

  Pengembangan diversifikasi usaha tani di wilayah yang kurang sesuai dan kurang diminati oleh pabrikan dengan tanaman potensial selain tembakau

  menurunkan harga tembakau yang pada akhirnya akan menurunkan pendapatan petani

  10 Peraturan daerah tentang rokok

  beberapa tahun terakhir berdampak pada turunnya daya serap produksi tembakau petani oleh pabrik rokok

  6 Kurangnya sarana dan prasarana

  9 Menurunnya produksi rokok dalam

  Upaya untuk meminimalkan kehilangan hasil baik melalui pemeliharaan dan penanganan panen dan pascapanen yang baik dan benar

  tinggi (15%) akibat serangan hama dan penyakit, dan penanganan panen dan pasca panen yang kurang baik.

  8 Tingkat kehilangan hasil yang masih

  Membudayakan penggunaan pupuk organik dan kimia secara berimbang untuk memperbaiki dan meningkatkan kesuburan tanah.

  Turunnya tingkat kesuburan dan kandungan bahan organik yang semakin rendah akibat pemakaian pupuk kimia terus-menerus (dan terkadang berlebihan), dan faktor alam yakni ancaman global waming.

  7 Degradasi sumberdaya alam, lahan, air.

  Memperbaiki dan mengembangkan infrastruktur lahan dan air serta pembenihan dan pembibitan. Ketersediaan sarana dan prasarana produksi pertanian (benih, pupuk, pestisida, alsintan).

  wilayah pendukung pengembangan sistem agribisnis.

  Meningkatkan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai keberadaan, fungsi, dan peran hutan dalam pembangunan ekonomi, ekologi, dan sosial budaya.

  No Permasalahan Rancangan Strategi

13 Belum optimalnya pemanfaatan jasa

  16 Minat investasi di bidang kehutanan

  Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia kehutanan dapada sektor pemerintah dan masyarakat. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia kehutanan dapada sektor pemerintah dan masyarakat.

  belum secara optimal menunjang kebutuhan informasi dalam menetapkan kebijakan dan operasionalisasi teknis pengelolaan hutan di lapangan.

  17 Pengembangan iptek kehutanan

  Mewujudkan reformasi birokrasi Kementrian Kehutanan dan Instansi kehutanan pemerintah daerah, sehingga organisasi berjalan efektif dan efisien sesuai dengan tugas dan fungsi yang diembannya.

  yang kurang kondusif karena sering terhambat oleh permasalahan tenurial, tumpang tindih peraturan (Pusat dengan daerah), dan kurangnya insentif permodalan, perpajakan, dan retribusi.

  Meningkatkan penyerapan tenaga kerja pada bidang pemanfaatan hutan, industri pengolahn hasil hutan, konservasi, dan jas lingkungan. Meningkatkan pendapatan ril masyarakat yang berusaha dalam pemanfaatan produk dan jasa hutan dan kehutanan, terutama yang berada di dalam dan sekitar hutan.

  lingkungan dan pariwisata alam guna memenuhi kebutuhan masyarakat.

  produk dari hutan rakyat secara struktural belum secara nyata mendorong pengembangan/pemberdayaan perekonomian masyarakat.

  15 Hasil hutan bukan kayu (HHBK) serta

  Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan secara proporsional. Mengembangkan aneka usaha kehutanan oleh pelaku usaha kecil, menengah, koperasi, dan masyarakat, serta terjalinnya hubungan antara pelaku usaha skala besar, menengah, kecil, koperasi dan masyarakat yang makin integrasi dan harmonis.

  sehingga jangkauan pembangunan kehutanan bagi masyarakat masih terbatas.

  14 Kelembagaan yang belum optimum

  Mewujudkan kawasan hutan yang mantap melalui koordinasi dan sinkronisasi tata ruang, pengukuhan, dan optimalisasi tata guna hutan.

18 Belum terintegrasinya perikanan dan Meningkatkan ekspor produk

  No Permasalahan Rancangan Strategi

  perikanan unggulan dalam rangka pemantapan dan pengembangan kawasan agropolitan. Pembentukan dan pengembangan klaster komoditas perikanan unggulan industri perikanan berpotensi ekspor.

  Meningkatkan kegiatan budidaya perikanan di kawasan agropolitan dengan memberikan fasilitas pengembangan kawasan agropolitan dibidang budidaya ikan.

  Berdasarkan permasalahan umum diatas, secara lebih spesifik permasalahan dan strategi sektor pertanian dalam arti luas adalah sebagai berikut

1.1 Subsektor Peternakan Konsentrasi yang seharusnya dilakukan pemerintah daerah Kab.

  Blitar adalah pada peternakan rakyat. Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa tipikal peternak rakyat adalah bersifat survival yang dihadapkan pada kerentanan. Di satu sisi, posisi pemerintah, khususnya Dinas Peternakan dapat dikatakan lebih baik. Maka, penyelamat tunggal yang diharapkan dari keadaan yang survival dari peternakan rakyat saat ini adalah pemerintah. Hal ini disandingkan dengan kekuatan dan peluang yang ada.

  Dari sini, pemerintah diharapkan mengangkat kelemahan dari peternak rakyat menjadi sesuatu kekuatan. Dari kekuatan ini, langkah berikutnya adalah mendesain agar berdaya saing tinggi hingga mengantarkan pada titik pertumbuhan.

  Dalam hal ini, strategi yang bisa dilakukan sesuai dengan penjelasan sebelumnya adalah: (1) memposisikan ternak sesuai dengan fungsi pemanfaatan dan pengembangan. Posisi ternak dalam buddaya yakni ternak sebagai sumberdaya, ternak sebagai komoditas, dan ternak sebagai produk. (2) pemenuhan kebutuhan dasar ternak, yang dalam hal ini adalah pakan dan ketersediaan air. Pemenuhan pakan dalam hal ini bisa mendorong pada tercapainya industri yang dapat tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Maka, penyediaan pakan bisa dilakukan dengan penyediaan lahan khusus bagi pakan hijauan ternak. Dinas Peternakan bisa menjamin ketersediaan pakan ternak melalui investasi publik sebagaimana pada ketersediaan lahan irigasi dan pupuk pada sektor pertanian. (3) usaha pengendalian penyakit, yakni penyakit dalam hal ini bukan hanya berbahaya bagi keberlangsungan ternak, namun juga manusia itu sendiri. Berbagai elemen yang bisa mengatasinya adalah teknologi, instensitas penyuluhan, serta kapasitas SDM (baik penyuluh maupun peternak). (4) Pengembangan agribisnis peternakan, yang dalam hal ini sebenarnya dibedakan menjadi tiga, yakni: agribisnis usaha rakyat, agribisnis usaha menengah, dan agribisnis usaha besar.

Tabel 7.2 Analisis SWOT Subsektor Peternakan

  

FAKTOR EKSTERNAL FAKTOR INTERNAL

PELUANG KEKUATAN

  1. Laju konsumsi hewani yang terus

  1. Keunggulan sebagai penghasil melonjak di pasaran dunia, nasional, komoditas telur hasil produk ternak maupun regional. yang mampu memenuhi 70%

  

2. Banyaknya permintaan produk hasil kebutuhan telur Jawa Timur, dan 30%

ternak, khususnya industri pengolahan kebutuhan nasional.

  produk ternak tingkat lanjut.

  2. Terdapat tiga kawasan yang

  3. Kebijakan pada pengembangan mempunyai keunggulan komparatif

  peternakan nasional, khususnya penghasil ternak unggas, ternak besar regulasi komoditas ternak unggulan. dan kecil (Kec. Srengat, Ponggok, dan

  4. Rangsangan dari investor yang semakin Gandusari).

  banyak, khususnya produk makanan

  3. Meratanya produktivitas komoditas berbahan produk ternak. ternak, khususnya ternak unggas, sapi

  5. Semakin sadarnya masyarakat dan potong, dan ternak nonunggulan.

  pengusaha ternak akan usaha ternak

  4. Budaya masyarakat (sosiokultural) yang yang ramah lingkungan, sehingga resiko menjadikan peternakan sebagai tradisi hambatan eksternal usaha ternak mata pencaharian karena sudah menjadi berkurang (bahkan bisa 0%). tersistem secara turun-temurun.

  5. Kondisi geografis dan topografis yang mendukung usaha peternakan, khususnya dalam kecukupan pakan hijauan ternak dan iklim untuk sapi perah.

  6. Jaringan pemasaran yang sudah terbentuk begitu kuat (khususnya

  interlinkage seperti kemitraan dan rekanan bisnis).

  7. Sudah terbentuknya interlinkage permodalan antara perbankan dan peternak yang dimediasi Dinas Peternakan.

  8. Peran asosiasi pengusaha ternak dalam menularkan informasi input, output, dan pasar.

  9. Penyerapan tenaga kerja sektor peternakan yang selalu mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir.

ANCAMAN KELEMAHAN

  1. Standardisasi global yang cukup sulit

  1. Belum memposisikan ternak sesuai untuk dipenuhi produk peternakan dengan fungsi pemanfaatan dan rakyat sebagai pelaku mayoritas. pengembangannya, seperti antara

  2. Kerentanan harga yang sering jatuh ternak sebagai sumberdaya, sebagai dalam waktu singkat, khususnya komoditas, dan ternak sebagai komoditi ternak sebagai komoditas dan penghasil produk. penghasil produk.

  2. Sifat kemadirian usaha ternak masih

  3. Daerah lain yang mempunyai kesamaan belum terwujud karena belum ada sumberdaya dan sosiokultural model manajemen satu atap masyarakat seputar peternakan akan (aglomerasi) yang memanajemen menjadi pesaing perebutan pasar. sektor hulu hingga hilir.

  4. Sifat dari komoditi ternak yang sangat

  3. RPH (Rumah Pemotongan Hewan) yang rentan terhadap penyakit, khususnya masih minim (belum mencukupi ternak unggas dengan flu burung. standar kebutuhan minimal.

  5. Resiko usaha peternakan yang tinggi

  4. Jumlah UPT (Unit Pelaksana Teknis) dari seperti permodalan, harga, pasar, dan Dinas Peternakan hanya ada di dua penyakit yang bisa mengurangi kecamatan. rangsangan usaha ternak, khususnya

  5. Fasilitas pengembangan seperti peternakan rakyat. pengadaan bibit dan inseminasi ternak masih kurang.

  6. Keterbatasan klasik seputar dana pengembangan yang berimbas pada sarana dan prasarana penunjang performa SKPD Dinas Peternakan.

  7. SDM Peternak kecil (rakyat) yang rata- rata rendah, serta karakter peternak yang masih konvensional.

  8. SDM tenaga penyuluh yang masih kurang.

  9. Pakan ternak masih impor, sedangkan pakan hijauan ternak malah menimbulkan inefisiensi karena tersedot pada pengupahan tenaga kerja pencari pakan yang mahal.

  10.Penerapan teknologi yang konvensional.

  11.Sulitnya pengadaan bibit ternak unggul.

  12.Rendahnya pengolahan tahap lanjut pada komoditas hasil ternak.

  13.Penentu harga masih dipegang oleh peran pedagang Berdasarkan permasalahan dan analisisi SWOT diatas, maka dapat disimpulkan strategi pengembangan sebagai berikut :

Tabel 7.3 Strategi Pengembangan Subsektor Peternakan Faktor Internal Faktor Eksternal Stengths-S

  Weaknesses-W

  1. Belum memposisikan ternak sesuai dengan fungsi pemanfaatan dan pengembangannya, seperti antara ternak sebagai sumberdaya, sebagai komoditas, dan ternak sebagai penghasil produk.

1. Keunggulan sebagai

  3. Meratanya produktivitas

  2. Terdapat tiga kawasan

  12.Rendahnya pengolahan tahap

  11.Sulitnya pengadaan bibit ternak unggul.

  10.Penerapan teknologi yang konvensional.

  9. Pakan ternak masih impor, sedangkan pakan hijauan ternak malah menimbulkan inefisiensi karena tersedot pada pengupahan tenaga kerja pencari pakan yang mahal.

  8. SDM tenaga penyuluh yang masih kurang.

  7. SDM Peternak kecil (rakyat) yang rata-rata rendah, serta karakter peternak yang masih konvensional.

  6. Keterbatasan klasik seputar dana pengembangan yang berimbas pada sarana dan prasarana penunjang performa SKPD Dinas Peternakan.

  5. Fasilitas pengembangan seperti pengadaan bibit dan inseminasi ternak masih kurang.

  4. Jumlah UPT (Unit Pelaksana Teknis) dari Dinas Peternakan hanya ada di dua kecamatan.

  3. RPH (Rumah Pemotongan Hewan) yang masih minim (belum mencukupi standar kebutuhan minimal.

  2. Sifat kemandirian usaha ternak masih belum terwujud karena belum ada model manajemen satu atap (aglomerasi) yang memanajemen sektor hulu hingga hilir.

  yang mempunyai keunggulan komparatif penghasil ternak unggas, ternak besar dan kecil (Kec. Srengat, Ponggok, dan Gandusari).

  komoditas ternak, khususnya ternak unggas, sapi potong, dan ternak nonunggulan.

  ternak dalam menularkan

  penghasil komoditas telur hasil produk ternak yang mampu memenuhi 70% kebutuhan telur Jawa Timur, dan 30% kebutuhan nasional.

  antara perbankan dan peternak yang dimediasi Dinas Peternakan.

  7. Sudah terbentuknya interlinkage permodalan

  kemitraan dan rekanan bisnis).

  interlinkage seperti

  sudah terbentuk begitu kuat (khususnya

  6. Jaringan pemasaran yang

  topografis yang mendukung usaha peternakan, khususnya dalam kecukupan pakan hijauan ternak dan iklim untuk sapi perah.

  5. Kondisi geografis dan

  (sosiokultural) yang menjadikan peternakan sebagai tradisi mata pencaharian karena sudah tersistem secara turun-temurun.

  4. Budaya masyarakat

  8. Peran asosiasi pengusaha informasi input, output, dan pasar.

  9. tenaga kerja sektor

  4. Mentransformasikan asosiasi atau kelompok usaha ternak menjadi kelembagaan formal berbadan hukum.

  5. Intensitas sosialisasi usaha peternakan ramah lingkungan dari Dinas Peternakan.

  4. Capacity Building pada aparatur, khususnya penyuluh lapang.

  3. Prioritas alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur, teknologi, pengadaan sarana dan prasarana peternakan.

  2. Pemenuhan kebutuhan dasar ternak, yakni penyediaan lahan pakan hijauan ternak dan ketersediaan air dengan dukungan investasi publik.

  1. Pengadaan UPT (unit pelaksana teknis) di setiap kecamatan .

  9. Melakukan promosi sektor peternakan dari Dinas Peternakan dalam berbagai ajang dalam rangka menarik minat investor. Strategi WO

  8. Pembentukan konsultasi usaha ternak di Dinas Peternakan.

  7. Penguatan jaringan pemasaran dengan Dinas Peternakan sebagai pusat informasi dan fasilitator, maupun mediator.

  6. Penguatan konsolidasi kelembagaan di tingkat petani.

  5. Penguatan model kontrak farming antara peternak dan perusahaan swasta/negara.

  3. Pengembangan dan penguatan model kemitraan kelompok peternak dengan pengusaha.

  peternakan yang selalu mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir. lanjut pada komoditas hasil ternak.

  2. Pembentukan koperasi peternak usaha rakyat, khususnya di pedesaan.

  1. Penguatan mediasi dari Dinas Peternakan kepada peternakan rakyat dan pihak permodalan seperti perbankan.

  Strategi SO

  5. Semakin sadarnya masyarakat dan pengusaha ternak akan usaha ternak yang ramah lingkungan, sehingga resiko hambatan eksternal usaha ternak menjadi berkurang (bahkan bisa 0%).

  4. Rangsangan dari investor yang semakin banyak, khususnya produk makanan berbahan produk ternak.

  3. Kebijakan pada pengembangan peternakan nasional, khususnya regulasi komoditas ternak unggulan.

  2. Banyaknya permintaan produk hasil ternak, khususnya industri pengolahan produk ternak tingkat lanjut.

  1. Laju konsumsi hewani yang terus melonjak di pasaran dunia, nasional, maupun regional.

  Opportunities-O

  13.Penentu harga masih dipegang oleh peran pedagang

  

Treaths-T Strategi ST Strategi WT

  1. Standardisasi global yang cukup sulit untuk dipenuhi produk peternakan rakyat sebagai pelaku mayoritas.

  4. Penerapan model manajemen satu atap yang mengatur dari sektor hulu hingga hilir.

  yang habis terbagi dalam 22 kecamatan, 248 desa/kelurahan atau lebih tepatnya 28 kelurahan dan 220 desa. Kabupaten Blitar merupakan daerah dataran tinggi dengan ketinggian rata-rata diatas 100 meter di atas permukaan air laut. Dan sekitar 6 daerah di pegunungan

  2

  Sektor kehutanan dan perkebunan tak bisa dipisahkan dari gambaran geografis maupun topografis dari suatu wilayah. Luas Kabupaten Blitar sendiri mencapai 1.588,79 km

  7. Penguatan aspek permodalan, kelembagaan peternak, harga, pemasaran, dan informasi pasar dalam bentuk regulasi dan eksekusi.

  6. Mengusulkan penyediaan alokasi anggaran DIPA-APBN dalam perbaikan dan peningkatan jumlah RPH (Rumah Pemotongan Hewan).

  5. Menciptakan kebijakan dan perlindungan harga pada produk-produk peternakan.

  3. Usaha pengendalian penyakit secara intens melalui teknologi, intensitas penyuluhan, dan pembangunan kapasitas SDM penyuluh dan peternak.

  2. Kerentanan harga yang sering jatuh dalam waktu singkat, khususnya komoditi ternak sebagai komoditas dan penghasil produk.

  2. Memposisikan ternak sesuai dengan fungsi pemanfaatan dan pengembangan, yakni ternak sebagai sumberdaya, komoditas, dan penghasil produk.

  1. Diperlukan pembangunan RPH (Rumah Pemotongan Hewan) dan rehabilitasi berstandar SNI dan bersertifikasi halal dalam rangka memenuhi lonjakan permintaan pasar.

  2. Sebaiknya mengadakan regulasi penerapan pilihan komoditas atau kelompok komoditas disesuaikan dengan potensi dan keunggulan komparatif wilayah.

  1. Pengembangan agribisnis peternakan dalam sektor agribisnis usaha rakyat, agribisnis usaha menengah, dan agribisnis usaha besar.

  5. Resiko usaha peternakan yang tinggi seperti permodalan, harga, pasar, dan penyakit yang bisa mengurangi rangsangan usaha ternak, khususnya peternakan rakyat.

  4. Sifat dari komoditi ternak yang sangat rentan terhadap penyakit, khususnya ternak unggas dengan flu burungnya.

  3. Daerah lain yang mempunyai kesamaan sumberdaya dan sosiokultural masyarakat seputar peternakan akan menjadi pesaing perebutan pasar.

1.2 Subsektor Kehutanan dan Perkebunan

  yang mempunyai ketinggian wilayah diatas 300 meter di atas permukaan laut, yakni: Kecamatan Wates, Wonotirto, Doko, Gandusari, Nglegok, dan Kecamatan Panggungrejo. Sedangkan kecamatan yang mempunyai luas

  2

  wilayah diatas 100 km adalah Kecamatan Wonotirto, Kecamatan Panggungrejo, Bakung, Kademangan, serta Kecamatan Ponggok. Dari data

  2

  ini, dengan demikian yang mempunyai luas wilayah diatas 100 km dan dengan ketinggian diatas 300 meter adalah Kecamatan Wonotirto dan Kecamatan Panggungrejo.

  Sedangkan daerah pegunungan adalah bagian sebelah selatan hingga ke timur. Di bagian selatan Kabupaten Blitar juga terbentang daerah pantai. Sedangkan gunung yang tidak aktif dan dapat dijadikan lahan hutan rakyat atau konservasi adalah Gunung Betet, Klitik, Gunung Gede, serta Gunung Pegat. Sedangkan gunung yang aktif adalah Gunung Kelud. Sungai yang membentang mendapatkan Kabupaten Blitar terbagi menjadi dua bagian, yakni utara dan selatan. Bagian utara mempunyai struktur tanah yang lebih subur dibandingkan dengan wilayah bagian selatan.

  Sedangkan luas lahan berdasarkan tata guna hutan yakni digolongkan atas hutan tetap dan hutan yang dikonfersikan. Hutan tetap menurut fungsinya dibedakan menjadi empat kategori, yakni hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, serta hutan produksi tetap. Sedangkan perkebunan digolongkan kedalam dua kategori, yakni jenis perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Perkebunan besar terdiri dari perkebunan milik pemerintah dan perkebunan swasta.

  Luas hutan secara umum di Kabupaten Blitar dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Terkecuali untuk tahun 2006 mengalami peningkatan menjadi 43.968,9 Ha yang sebelumnya tahun 2005 masih 34.969,6 Ha. Untuk tahun selanjutnya, yakni 2007 hingga tahun 2009 terus mengalami penurunan hingga menjadi 27.312,2 Ha yang sebelumnya di tahun 2006 sebesar 43.968,9. Dapat dikatakan, selama kurun waktu empat tahun luas hutan mengalami degradasi lahan hingga mencapai 16.656,7 Ha.

  Komoditas unggulan untuk kehutanan sendiri di Kabupaten Blitar meliputi komoditas sengon, jabon, dan jati. Sedangkan komoditas perkebunan meliputi kakao, kelapa, kopi, cengkeh, tebu, dan tembakau. Bila dihubungkan dengan luas lahan yang semakin berkurang, akan berdampak pada produktivitas komoditas unggulan kehutanan dan perkebunan dalam jangka panjangnya.

  Tanaman semusim dibedakan menjadi komoditas tebu, tembakau lokal, dan tembakau virginia. Dimana luas areal terbanyak adalah komoditas tebu yang mencapai 6.715,00 Ha. Sedangkan untuk tanaman tahunan yang mempunyai luas lahan terbanyak adalah kakao dengan total luas lahan 2.263,20 Ha, dimana terdiri dari tanaman yang sudah tua (tidak lagi produktif) sebesar 53,75 Ha (proporsi 2,4%), kemudian tanaman yang sudah menghasilkan (produktif) seluas 1.173,25 Ha (proporsi 51,8%), dan sisanya adalah tanaman yang belum menghasilkan (bakal produktif) seluas 1.036,20 Ha atau dengan proporsi 45,8%. Dapat dikatakan, komoditas kakao di Kabupaten Blitar mayoritas lahan masih produktif dengan regenerasi yang cukup baik, begitu juga untuk komoditas unggulan lain untuk tanaman tahunan seperti kopi, kelapa, cengkeh. Bila dilihat, untuk tanaman semusim juga demikian, dimana untuk komoditas tebu mempunyai cakupan lahan yang luas, terkecuali untuk tembakau yang mungkin karena sifatnya pada pergantian pola tanam.

  Pada tabel diatas, komoditas subsektor kehutanan yang mempunyai produksi terbanyak adalah komoditas sengon dengan produktivitas yang terus menunjukkan peningkatan dalam tiga tahun terakhir. Sedangkan subsektor perkebunan yang mempunyai produksi terbanyak adalah komoditas tebu, dimana di tahun 2010 mencapai 499.712,85 ton dengan produktivitas mencapai 78.600 kg/ha. Komoditas sengon dan jabon bila dapat dikembangkan lagi akan berdampak posistif dalam pengembangan ekonomi rakyat. Hal ini disebabkan permintaan kedua komoditas tersebut untuk bahan baku industri, khususnya sebagai bahan kayu plafon dan sekat rumah, maupun furniture. Apalagi data dari sebuah penelitian menyebutkan

  Indonesia masih kekurangan sekitar 9 juta m3 kayu per tahun. Sehingga menyebabkan terus naiknya harga kayu. Dari data di lapangan tercatat dalam 9 tahun terakhir kenaikan harga kayu mencapai 300% atau sekitar naik 30% per tahun.

  Namun demikian, yang sebenarnya juga mempunyai nilai jual tinggi adalah seperti komoditas kakao, kopi, tembakau, dan cengkeh, namun selama ini belum menunjukkan produktivitas yang maksimal. Maka, peningkatan produktivitas pada komoditas ini perlu dilakukan. Hasil olahan ini harus disyaratkan adanya teknologi pengolahan dan tempat penjualan yang berprinsip pada aglomerasi berdasarkan keunggulan spasial. Bila hal ini tidak memungkinkan karena keterbatasan anggaran, yang perlu dilakukan adalah optimalisasi peran kelompok tani, seperti gapoktan tanaman kakao, dan sejenisnya. Bila belum terdapat kelompok asosiasi, yang perlu dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan adalah membentuk wadah sebagai media orientasi pemasaran, pengolahan, dan pembinaan. Hal ini bisa dikonsentrasikan pada masing-masing daerah yang notabene mempunyai keunggulan per komoditas.

  Namun demikian, produksi dan produktivitas pada komoditas kehutanan dan perkebunan di Kabupaten Blitar belum diimbangi dengan hasil olahan yang terintegrasi yang juga tinggi. Pada tabel diatas, wujud produksi yang mempunyai produksi tinggi adalah tanaman tebu yang mencapai 527.127,50 ton, kemudian diikuti kelapa sebesar 22.062,23 ton. Begitupun dengan produktivitas, komoditas tebu masih menempati peringkat pertama sebesar 78.500,00 kg/ha/thn. Sedangkan komoditas yang mempunyai jumlah petani terbanyak adalah kelapa dengan jumlah 33.713 petani, diikuti kakao sejumlah 3.466, dan kemudian sebesar tebu 3.415.

  Selain olahan komoditas utama kehutanan dan perkebunan, yang perlu untuk dilihat adalah potensi berbagai produk hutan yang bisa dikembangkan karena mempunyai nilai ekonomi tinggi, serta diharapkan dapat mereduksi tekanan pengangguran dan kontribusinya terhadap pembangunan daerah.

  Selain itu, jumlah hutan lindung dan produksi pada tiap BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) juga begitu beragam. Dengan total luas lahan untuk kedua jenis hutan tersebut di Kabupaten Blitar mencapai 57.327,1 Ha, BKPH terbesar adalah Wlingi dengan total 12.380,1 Ha (atau sebesar 21,5%), diikuti Campurdarat sebesar 10.381,6 Ha atau sebesar 18,1%, kemudian yang terbesar ketiga adalah BKPH LodoyoBarat dengan angka 7.983,8 Ha.

  Sedangkan luas tanah kosong (Ha) di KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) di tahun 2009 mencapai 1.106,4 Ha. Namun angka ini sudah menurun drastis dibanding tahun 2008 yang masih 10.703,9 Ha. Dengan demikian dapat dikatakan selama satu tahun dari 2008 ke 2009 telah terjadi pemanfaatan lahan kosong di KPH Blitar mencapai 9.597,5 Ha. Angka di tahun 2009 untuk lahan kosong dimana kecamatan penyumbang terbesar adalah BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) LodoyoBarat sebesar 340,4 Ha, kemudian Kalidawir (274,8 Ha), dan Kesamben (258,4 Ha).

  Dari uraian penjelasan berbagai data diatas, sebenarnya beberapa tujuan dalam arah strategi pengembangan sektor kehutanan dan perkebunan adalah mewujudkan fungsi dan manfaat hutan yang optimal dan berkelanjutan, meningkatkan produksi, produktivitas, nilai tambah, dan daya saing, serta meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan pendapatan asli daerah. Strategi yang apat diusulkan dari berbagai pernyataan dari uraian data kehutanan dan perkebunan Kabupaten Blitar dengan demikian adalah mengupayakan rehabilitasi hutan dan lahan kritis atau kosong, pemntapan kawasan hutan, tertib dalam pengelolaan dan pengusahaan hutan, serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan.

  Selain itu, menyangkut permasalahan klasik seputar kehutanan dan perkebunan adalah sarana dan prasarana yang masih sangat kurang. Ditunjang dengan terbatasanya anggaran dalam pengembangan komoditi hasil hutan dan perkebunan yang ada di Kabupaten Blitar.

Tabel 7.4 Analisis SWOT Subsektor Kehutanan dan Perkebunan

  2. Ancaman terhadap produktivitas berbagai komoditas unggulan kehutanan dan perkebunan seiring dengan ancaman degradasi lahan.

  6. Teknik bercocok tanam masyarakat yang sudah mumpuni.

  7. Luasnya lahan perkebunan di Kabupaten Blitar.

  8. Terus menyusutnya lahan kritis di

  berbagai KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan).

  9. Potensi penghasil atsiri yang bernilai ekonomi tinggi di Kab. Blitar. ANCAMAN

  1. Ancaman degradasi lahan hutan yang terus menurun dalam tahun-tahun mendatang. Dalam kurun empat tahun terakhir sudah mencapai 16.656,7 Ha.

  3. Penebangan dan pembalakan hutan yang sulit dikontrol.

  perkebunan yang berperan signifikan dalam kesejahteraan anggota.

  4. Lemahnya penegakan peraturan seputar kehutanan yang dapat mengancam produktivitas dan

  KELEMAHAN

  1. Masih rendahnya produktivitas komoditas yang sebenarnya mempunyai potensial value added dan harga mentah yang tinggi.

  2. Rendahnya hasil pengolahan produk kehutanan dan perkebunan.

  3. Minimnya sentuhan teknologi pengolahan pasca produksi (hasil tebangan dan panen).

  4. Belum optimalnya bantuan (seperti saprodi komoditi perkebunan) dari Pemerintah Daerah Tingkat II.

  5. Potensi komoditas hutan nonkayu yang bernilai ekonomi tinggi.

  4. Tingginya swadaya kelompok tani

  

FAKTOR EKSTERNAL FAKTOR INTERNAL

PELUANG

  6. Potensi kawasan perkebunan sebagai konsep kawasan agrowisata perkebunan.

  1. Peluang aspek politis berupa UU No. 22 Tahun 1999 sebagai landasan kemandirian daerah, termasuk pengelolaan sektor kehutanan dan perkebunan.

  2. Banyaknya permintaan pasar hasil kayu.

  Dimana market potensial lebih mendominasi karena demand yang belum diimbangi dengan supply hasil kayu.

  3. Terus meroketnya harga kayu di pasaran hingga 30%/tahun dapat mengotimalkan profit dari hasil hutan.

  4. Pengaruh sosiokultur dan semakin tertariknya masyarakat dengan komoditas perkebunan, khususnya kakao.

  5. Pengembangan hutan lindung sebagai kawasan hutan wisata.

  7. Potensi lahan kawasan selatan Kab.

  perkebunan yang mempunyai demand market yang tinggi.

  Blitar yang cocok dengan komoditas kelapa sawit.

  KEKUATAN

  1. Faktor wilayah geografis yang

  mendukung, seperti terdapatnya enam (6) pegunungan yang dapat menjadi hutan rakyat atau konversi.

  2. Lahan luas yang mayoritas masih

  produktif dengan regenerasi yang cukup/sangat baik, sangat potensial untuk spasial pengembangan komoditas unggulan, khususnya perkebunan

  3. Banyaknya varian jenis komoditas

  5. Pola pembinaan yang tidak intensif dari kelestarian hutan. Pemerintah Daerah Tingkat II.

  5. Peningkatan emisi global yang tinggi

  6. Rendahnya kondisi sarana dan dan kerentanan perubahan iklim prasarana penunjang kinerja dari Dinas mengancam keberlangsungan sektor Kehutanan dan Perkebunan. Juga kehutanan dan perkebunan. kondisi sarana dan prasarana yang dimiliki petani.

  7. Keterbatasan dana berimbas pada target kinerja yang sulit untuk tercapai.

  Seperti program rehabilitasi hutan dan lahan, serta program peningkatan produk perkebunan.

  8. Rendahnya asosiasi kelompok penghasil komoditas kehutanan dan perkebunan (saat ini hanya asosiasi tembakau, tebu, dan kakao).

  9. Lemahnya peraturan dan eksekusi penebangan hutan ilegal.

  10.Sinergisitas yang masih rendah antara kehutanan, perkebunan dan pariwisata.

  11.Masih rendahnya produksi hutan nonkayu yang sebenarnya potensial dalam segi harga dan pasar.

  12.Pelaksanaan pembangunan kehutanan masih kurang memperhatikan kaitan antar sektor dan subsektor untuk keberhasilan seluruh sistem.

  Berdasarkan pemaparan dan analisis SWOT diatas, maka dapat disimpulkan strategi pengembangan sebagai berikut :

Tabel 7.5 Startegi Pengembangan Subsektor Kehutanan dan Perkebunan Stengths-S Weaknesses-W Faktor Internal

  1. Faktor wilayah geografis

  1. Masih rendahnya produktivitas yang mendukung, seperti komoditas yang sebenarnya terdapatnya enam (6) mempunyai potensial value pegunungan yang dapat added dan harga mentah yang menjadi hutan rakyat atau tinggi. konversi.

  2. Rendahnya hasil pengolahan

  Faktor Eksternal

  2. Lahan luas yang mayoritas produk kehutanan dan masih produktif dengan perkebunan. regenerasi yang

  3. Minimnya sentuhan teknologi cukup/sangat baik, sangat pengolahan pasca produksi potensial untuk spasial (hasil tebangan dan panen). pengembangan

  4. Belum optimalnya bantuan komoditas unggulan, (seperti saprodi komoditi khususnya perkebunan. perkebunan) dari Pemerintah 3. Banyaknya varian jenis Daerah Tingkat II. komoditas perkebunan

  5. Pola pembinaan yang tidak yang mempunyai intensif dari Pemerintah Daerah

  demand market yang Tingkat II.

  tinggi.

  6. Rendahnya kondisi sarana dan

  4. Tingginya swadaya pada prasarana penunjang kinerja kelompok tani yang ada dari Dinas Kehutanan dan yang berperan signifikan Perkebunan. Juga kondisi dalam kesejahteraan sarana dan prasarana yang anggota. dimiliki petani.

  5. Potensi komoditas hutan

  7. Keterbatasan dana berimbas nonkayu yang bernilai pada target kinerja yang sulit ekonomi tinggi. untuk tercapai. Seperti program

  6. Teknik bercocok tanam rehabilitasi hutan dan lahan, masyarakat yang sudah serta program peningkatan mumpuni. produk perkebunan.

  7. Luasnya lahan

  8. Rendahnya asosiasi kelompok perkebunan di Kabupaten penghasil komoditas kehutanan Blitar. dan perkebunan (saat ini hanya

  8. Terus menyusutnya lahan asosiasi tembakau, tebu, dan kritis di berbagai KPH kakao).

  (Kesatuan Pemangkuan

  9. Lemahnya peraturan dan Hutan). eksekusi penebangan hutan 9. Potensi penghasil atsiri ilegal. yang bernilai ekonomi

  10.Sinergisitas yang masih rendah tinggi di Kab. Blitar. antara kehutanan, perkebunan dan pariwisata.

  11.Masih rendahnya produksi hutan nonkayu yang sebenarnya potensial dalam segi harga dan pasar.

  12.Pelaksanaan pembangunan kehutanan masih kurang memperhatikan kaitan antar sektor dan subsektor untuk keberhasilan seluruh sistem.

  Opportunities-O

  4. Menciptakan jaringan kelembagaan agribisnis perkebunan serta klinik konsultasi oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan.

  7. Pemantapan, pembentukan dan Pengembangan kawasan perkebunan (agro) wisata dan hutan wisata (hutan lindung).

  6. Pembentukan asosiasi pada masing-masing komoditas oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang bersifat bottom up dalam rangka penguatan kelembagaan (saat ini masih asosiasi tebu, kakao, dan tembakau).

  5. Bantuan teknologi sederhana tepat guna pada petani yang tidak memerlukan biaya tinggi.

  4. Membangun kemitraan dengan perusahaan pengolah komoditas yang ada (konsep agroforestry).

  3. Pemantapan kawasan hutan dalam efisiensi produksi komoditas kehutanan dan perkebunan di Kab. Blitar.

  2. Pengintegrasian program pembangunan hutan rakyat dengan berbagai program pembangunan hutan yang ada (PHBM, GNRHL, PBSN, dll).

  1. Peningkatan produktivitas petani melalui penguatan kelembagaan kelompok tani, manajemen teknis lapangan (penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan), serta pola pembinaan yang bottom up dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan.

  8. Rehabilitasi lahan kritis melalui kegiatan penghijauan dan pengembangan hutan rakyat. Strategi WO

  7. Pemantapan kawasan- kawasan sentra produksi komoditas unggulan pada wilayah potensial.

  6. Pembangunan dan pengembangan kapasitas SDM petani melalui pendidikan formal maupun informal.

  5. Mentransformasikan asosiasi atau kelompok usaha perkebunan menjadi kelembagaan formal berbadan hukum.

  3. Pembentukan atau pengembangan kawasan industri masyarakat perkebunan di tiap-tiap kecamatan penghasil komoditi mayoritas.

  1. Peluang politis berupa UU No. 22 Tahun 1999 sebagai landasan kemandirian daerah, termasuk sektor kehutanan dan perkebunan.

  2. Diberlakukan diversifikasi pola tanam (sistem wanatani) dalam menurunkan resiko usaha petani.

  1. Penegasan program pembangunan hutan rakyat sebagai program prioritas.

  Strategi SO

  7. Potensi lahan kawasan selatan Kab. Blitar yang cocok dengan komoditas kelapa sawit.

  6. Potensi kawasan perkebunan sebagai konsep kawasan agrowisata perkebunan.

  5. Pengembangan hutan lindung sebagai kawasan hutan wisata.

  4. Pengaruh sosiokultur dan semakin tertariknya masyarakat dengan komoditas perkebunan, khususnya kakao.

  3. Terus meroketnya harga kayu di pasaran hingga 30%/tahun dapat mengotimalkan profit dari hasil hutan.

  diimbangi dengan supply hasil kayu.

  demand yang belum

  Dimana market potensial lebih mendominasi karena

  2. Banyaknya permintaan pasar hasil kayu.

  8. Pengembangan joint research domestik, regional, dan internasional secara multisektor untuk pengembangan teknologi tepat

  dan berdaya guna. Treaths-T

  5. Meningkatkan produk peraturan dalam pengelolaan dan fungsi DAS (Daerah Aliran Sungai), khususnya pembentukan unit pengelolaan.

  Dikatakan prioritas karena sumbangan terhadap PDRB begitu besar dibandingkan dengan sektor lain mengingat kultur dan kondisi geografi di Kabupaten Blitar sangat mendukung perkembangan sektor pertanian. Sedangkan kajian menarik dari sektor pertanian adalah ketersediaan lahan. Dalam hal ini, di Kabupaten Blitar tanah atau lahan menurut

  5. Peningkatan pasar domestik/ekspor hasil hutan melalui promosi, kerjasama pemasaran, dan misi dagang (harus dibentuk unit pengelolaan).

  4. Pengembangan hasil hutan nonkayu dengan upaya perbanyakan vegetatif.

  3. Monitoring dan evaluasi yang bersifat multipihak terhadap program kegiatan kehutanan dan perkebunan yang berkelanjutan.

  2. Meningkatkan peran serta masyarakat dan ruang kelola dalam pengelolaan hutan (konsep masyarakat sekitar hutan).

  1. Tertib adminsitrasi dalam pengelolaan dan pengusahaan program kehutanan dan perkebunan.

  6. Menyediakan eks kawasan hutan yang tidak berhutan untuk usaha pertanian tanaman pangan/komoditi hasil hutan nonhutan. Strategi WT

  4. Mengintensifkan kerjasama dan koordinasi dengan aparat penegak hukum (TNI-Polisi) dalam penanganan perlindungan dan pencurian hutan (khususnya illegal logging dan illegal trade).

  1. Ancaman degradasi lahan hutan yang terus menurun dalam tahun- tahun mendatang. Dalam kurun empat tahun terakhir sudah mencapai 16.656,7 Ha.

  3. Produksi peratuan dalam mendorong iklim usaha di bidang kehutanan secara sah dan benar.

  2. Pengembangan Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) di seluruh fungsi kawasan hutan.

  1. Prioritas pengupayaan rehabilitasi hutan dan lahan kritis.

  Strategi ST

  6. Peningkatan emisi global yang tinggi dan kerentanan perubahan iklim mengancam keberlangsungan sektor kehutanan dan perkebunan.

  4. Lemahnya penegakan peraturan seputar kehutanan yang dapat mengancam produktivitas dan kelestarian hutan.

  3. Penebangan dan pembalakan hutan yang sulit dikontrol.

  2. Ancaman terhadap produktivitas berbagai komoditas unggulan kehutanan dan perkebunan seiring dengan ancaman degradasi lahan.

1.3 Subsektor Pertanian Sektor pertanian di Kabupaten Blitar merupakan prioritas.

  penggunaannya dapat dibedakan menjadi dua bagian, yakni tanah sawah dan tanah bukan sawah. Penggunaan tanah sawah menurut jenis pengairannya terdiri dari sawah dengan pengairan teknis dan pengairan sederhana. Sedangkan tanah nonsawah terdiri atas pekarangan dan halaman, tegalan/kebun/juma, padang rumput, tambak, kolam, dan hutan.

  Kabupaten Blitar sendiri mempunyai luas lahan sebesar 158.879 Ha yang terbagi menjadi lahan sawah dan nonsawah. Untuk lahan sawah sebesar 19,98%, dan selebihnya sebesar 80,02 adalah lahan nonsawah.