BAB II DESKRIPSI PROYEK - Redesain Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung
BAB II DESKRIPSI PROYEK
BAB II DESKRIPSI PROYEK
2.1. Tinjauan Umum
2.1.1. Permukiman Desa
a. Pengertian Desa Pengertian desa dan perdesaan sering dikaitkan dengan pengertian village dan rural.
Sering pula dibandingkan dengan kota (town/city) dan perkotaan (urban). Perdesaan (rural)
6
menurut Wojowasito dan Poerwodarminto (1972) diartikan seperti desa atau seperti di
desa dan perkotaan (urban) diartikan seperti kota atau seperti di kota.Berdasarkan batasan tersebut, perdesaan dan perkotaan mengacu kepada
karakteristik masyarakat, sedangkan desa dan kota merujuk pada suatu satuan wilayah
administrasi atau teritorial. Dalam kaitan ini suatu daerah perdesaan dapat mencakup
beberapa desa. Beberapa pandangan dari para ahli sebagaimana yang dikemukakan berikut
ini.
1. Boeke, desa merupakan suatu masyarakat yang religius yang diikat oleh tradisi bersama
para warga penanam bahan makanan yang sedikit banyak mempunyai hubungan
kebangsaan.
2. Soetardjo Kartohadikoesoemo, desa adalah suatu kesatuan hukum di mana bertempat
tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri.
3. E.A. Mokodompit, desa merupakan suatu kesatuan teritorial, kekerabatan, nilai, dan
aktivitas dari beberapa keluarga.
4. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
6 Kamus Lengkap: Inggeris-Indonesia, Indonesia-Inggeris, 1972
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.b. Tipologi Desa Tipologi desa ialah teknik untuk mengenal tipe-tipe desa berdasarkan ciri-ciri
menonjol (tipikal) yang dimiliki dalam kaitan dengan pertumbuhan dan perkembangannya.
Sedangkan klasifikasi tingkat perkembangan desa berdasarkan kesamaan tingkat
perkembangannya yaitu tahapan desa swadaya, desa swakarya dan desa swasembada.- - Desa swadaya (tradisional)
adalah desa yang belum mampu mandiri dalam
penyelenggaraan urusan rumah tangga sendiri, administrasi desa belum terselenggara
dengan baik.- Desa Swakarya (Transisional), adalah desa setingkat lebih tinggi dari desa swadaya.
Pada desa swakarya ini mulai mampu mandiri untuk menyelenggarakan urusan rumah
tangga sendiri, administrasi desa sudah terselenggaranya dengan cukup baik dan LKMD
(Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) cukup berfungsi dalam mengorganisasikan dan
menggerakkan peran serta masyarakat dalam pembangunan secara terpadu.- Desa Swasembada (Berkembang), adalah desa setingkat lebih tinggi dari pada desa
Swakarya. Desa swasembada adalah desa yang telah mampu menyelenggrakan urusan
rumah tangga sendiri, admnistrasi desa sudah terselenggara dengan baik, LKMD telah
berfungsi dalam menorganisasikan dan menggerakkan peran serta masyarakat dalam
pembangunan desa secara terpadu.c. Pola Pemukiman di Pedesaan Soekandar Wiriaatmadja (1972) membagi pola pemukiman di pedesaan ke dalam empat pola, yakni:
1. Pola permukiman menyebar : Rumah-rumah para petani tersebar
berjauhan satu sama lain. Pola ini terjadi karena belum adanya jalan-jalan besar, sedangkan
orang-orang harus mengerjakan tanahnya secara terus menerus. Dengan demikian, orang-
orang tersebut terpaksa harus bertempat tinggal di dalam lahan mereka.2. Pola permukiman memanjang : Bentuk pemukiman yang terlentak di
sepanjang jalan raya atau di sepanjang sungai, sedangkan tanah pertaniannya berada di
belakang rumahnya masing - masing.
3. Pola permukiman berkumpul : Bentuk pemukiman di mana rumah-rumah
penduduk berkumpul dalam sebuah kampung, sedangkan tanah pertaniannya berada di luar
kampung.
4. Pola permukiman melingkar : Bentuk pemukiman di mana rumah-rumah
penduduk melingkar mengikuti tepi jalan, sedangkan tanah pertaniannya berada di
belakangnya.
Gambar 2. 1. Pola Permukiman Desa
Sumber : Sensa, M. S. Djarot, 1987 : 38
2.1.2. Hunian / Rumah
a. Pengertian Rumah
Menurut UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, rumah adalah
bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan
keluarga. Sedangkan m enurut John F.C Turner, “Rumah adalah bagian yang utuh daripermukiman, dan bukan hasil fisik sekali jadi semata, melainkan merupakan
suatu proses yang terus berkembang dan terkait dengan mobilitas sosial ekonomi
penghuninya dalam suatu kurun waktu. Yang terpenting dan rumah adalah dampak
terhadap penghuni, bukan wujud atau standar fisiknya. Selanjutnya dikatakan bahwa
interaksi antara rumah dan penghuni adalah apa yang diberikan rumah kepada penghuni
7 serta apa yang dilakukan penghuni terhadap rumah” .
b. Fungsi Rumah
Menurut Turner (1972:164-167), terdapat tiga fungsi yang terkandung dalam rumah:
1. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga , yang diwujudkan dalam kualitas
hunian atau perlindungan yang diberian rumah. Kebutuhan tempat tinggal dimaksudkan
agar penghuni mempunyai tempat tinggal atau berteduh secukupnya untuk melindungi
keluarga dari iklim setempat.
2. Rumah sebagai penunjang kesempatan keluarga untuk berkembang dalam
kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi atau fungsi pengembangan keluarga . Fungsi ini
diwudkan dalam lokasi tempat rumah itu didirikan. Kebutuhan berupa akses ini
diterjemahkan dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan kemudahan ke tempat kerja guna
mendapatkan sumber penghasilan.
3. Rumah sebagai penunjang rasa aman dalam arti terjaminnya kehidupan keluarga di
masa depan setelah mendapatkan rumah, jaminan keamanan lingkungan perumahan yang
ditempati serta jaminan keamanan berupa kepemilikan rumah dan lahan.Namun ada pandangan yang berbeda dari Maslow. Berdasarkan hierarchy of need
(Maslow, 1954:10), kebutuhan akan sebuah rumah dibagi menjadi:
1. Physiological needs (kebutuhan untuk fisik penghuni), merupakan kebutuhan
biologis yang hampir sama untuk setiap orang, yang juga merupakan kebutuhan terpenting
selain rumah, sandang, dan pangan juga termasuk dalam tahap ini.7 John F.C Turner , 1972, dalam bukunya Freedom To Build
2. Safety or security needs (kebutuhan akan keamanan), merupakan tempat berlindung bagi penghuni dari gangguan manusia dan lingkungan yang tidak diinginkan.
3. Social or afiliation needs (kebutuhan berinteraksi), sebagai tempat untuk
berinteraksi dengan keluarga dan teman.4. Self actualiztion needs (kebutuhan akan ekspresi diri), rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi menjadi tempat untuk mengaktualisasikan diri.
c. Elemen dalam Lingkungan Permukiman
Lingkungan permukiman merupakan suatu sistem yang terdiri dari lima elemen
8
yang saling memperngaruhi, yaitu (K. Basset dan John R. Short, 1980, dalam Kurniasih) :
Nature (unsur alami), mencakup sumber-sumber daya alam seperti topografi, hidrologi, tanah, iklim, maupun unsur hayati yaitu vegetasi dan fauna.
Man (manusia sebagai individu), mencakup segala kebutuhan pribadinya seperti biologis, emosional, nilai-nilai moral, perasaan, dan perepsinya.
Society (masyarakat), adanya manusia sebagai kelompok masyarakat.
Shells (tempat), dimana mansia sebagai individu maupun kelompok melangsungkan kegiatan atau melaksanakan kehidupan.
Network (jaringan), merupakan sistem alami maupun buatan manusia, yang menunjang berfungsinya lingkungan permukiman tersebut seperti jalan, air bersih, listrik, dan sebagainya.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada dasarnya suatu permukiman terdiri
dari isi (contents) yaitu manusia, baik secara individual maupun dalam masyarakat dan
wadah yaitu lingkungan fisik permukiman lingkungan fisik permukiman yang merupakan
wadah bagi kehidupan manusia dan merupakan pengejawantahan dari tata nilai, sistem
sosial, dan budaya masyarakat yang membentuk suatu komunitas sebagai bagian dari
lingkungan permukiman tersebut.8 Basset, Keith & Short, John. 1980. Housing and Residential Structure, Alternative Approaches. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
2.1.3. Standar Pelayanan Minimal untuk Permukiman
- Badan Pengelola Kawasan - Rencana Terperinci tata ruang kawasan
- Jumlah ijin lokasi pembanguna n perumahan di luar Kasiba dan Lisib>Lahan minimal untuk 3.000 unit rumah (Kasiba/Lisiba )
- Jaringan primer dan sekunder prasarana sebagai arahan perencanaan kawasan
- Kapling tanah matang 1.00 unit rumah (Lisiba BS)
- Jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan minimal 25% dari Kasiba - Kemudahan Perijinan - Sosialisasi Peraturan - Tersedianya jaringan primer, sekunder, dan sertifikasi terj
- Transparan - Cepat - Tersedia rumah dalam satu kawasan bagi seluruh lapisan masyarakat
- Sederhana - Adil - Kompetisi Dalam PP 80 tahun 1999 tentang Kasiba dan Lisiba BS disebutkan pola hunian berimbang 1 : 3 : >Harga terkendali
- Koordinasi - Pengawasan dan evaluasi
- Pelayanan administrasi pertanahan
- Pemasaran - Transakasi (Jual Beli)
- Desa/ Kelurahan - Kawasan - Rencana dan program social, ekonomi, budaya
- Prosedur revitalisasi
- Prosedur pelestarian bangunan
- Sosialisasi rencana dan program
- Pedoman dan prosedur pengembangan dan penataan lingkungan permuk
- Fungsional - Aman/Selamat
- Sehat, Serasi dengan lingkungan
- – - Akses kesemua lingkungan
- – 60 meter/ha dengan lebar 2-5m
- Dapat diakses mobil pemadam kebakaran
- Panjang 50
- – 110 m/ha dengan lebar
- – 2 meter rata 5
- – 10 km/jam permukiman
- 50
- Tangki septik dan MCK disesuaikan oleh masyarakat
- Mobil Tinja 4m >BOD < 30mg/liter
- SS < 30mg/l
- SK SNI T-07-1989-F - Kep. Dirjen CK No. 07/KPTS/1999 dengan asumsi : f Produksi lumpur tinja 40m
- – 70% penduduk
- 80
- – 90% penduduk untuk daerah dengan kepadatan >300 jiwa/ha
- – 175 liter/orang//hari
- IPLT sistem kolam dengan debit 50m >Pengosongan lumpur tinja 5 tahun sekali
- Mobil tinja melayani 2 tangki septik setiap hari
- Pemeliharaan saluran drainase
- Penataan prasarana dan sarana lingkungan permuk
- Tinggi genangan < 30 cm
- Lama genangan < 2 jam - Frekuensi genangan maks. 2 kali setahun
- – 80 % daerah genangan tertangani
- Lama genangan
- Tinggi Genangan - Frekuensi Genangan
- Pewadahan : Kantong plastik bekas untuk setiap sumber sampah
- Pengumpulan gerobak sampah 1m
- – 80 % produksi sampah (80
- – 90% komersial dan 50
- – 80% permukiman, 100% untuk permukiman dengan kepadatan 100 jiwa/ha) terlayani dengan asumsi timbulan Sampah 2.5
- Pemindahan : Transfer depo 100
- – 150 m
- – 3.5 liter/orang/h ari, 75% sampah domestic, 25% sampah non domestik
- – 600 meter Pengangkutan : Dump truck 6m
- Tempat
- Penerangan Jalan Umum Lingkungan permukiman terlayani
- Kuat penyinaran
- Kuat penerangan < 500 lux dengan tinggi > 5 meter dari muka tanah
- Jumlah anak usia sekolah yang tertampung
- Sebaran fasilitas pendidikan
- 1 unit TK untuk setiap 1.000 penduduk
- 1 Sekolah Dasar, 3.600 m
- Kelengkapan sarana pendidikan
- 9 SD, 3 SLTP, 1 SMU
- Sebaran fasilitas pelayanan kesehatan/ jangkauan pelayanan kesehatan
- Tingkat harapan hidup
- 1 unit Balai Pengobatan/ Jiwa - 1 unit BKIS/RS Bersalin/10.000
- – 30.000 jiwa
- 1 Unit Puskesmas/ 30.000 jiwa
- Jangkauan dan tingkat pelayanan
- 1 unit Pos pemadam kebakaran
- 1 Unit Kantor Polisi/ 30.000 jiwa
- 1 unit Kantor Pos Pembantu - 1 unit Kantor Bank Cabang Pembantu
- Penduduk terlayani
- Taman Bersih, mudah dicapai, terawatt, indah dan nyaman
- % ruang terbuka hijau dalam suatu kawasan
- %ruang terbuka hijau yang fungsional
- Penyebaran ruang terbuka hijau jumlah penduduk < 30.000 jiwa lingkungan untuk setiap 250
- 0.3 m
- 0.2 m
- Parkir lingkungan 3% dari luas kawasan dengan jumlah 2.500 orang
- 1 unit tempat ibadah (1.2 m
- 1 unit perpustakaan lingkungan
- Penduduk terlayani
- Tingkat debit pelayanan/or ang
- Tingkat kualitas air minum
- 60
- – 220 liter/orang/hari untuk permukiman di kawasan perkotaan
- Standar WHO
- 30
- – 50 liter/orang/hari untuk ligkungan perumahan
- Memenuhi standar air bersih Warna, Bau, dan rasa - Sesuai SK Men Kes No.
- * Hari pertama, cikor-kor,
- * Hari kedua, cikurung, merupakan kegiatan mencari kurung di ladang atau sawah.
* Hari ketiga, ndurung, merupakan kegiatan mencari nurung, sebutan untuk ikan dari
* Hari keempat, mantem atau motong, merupakan hari menjelang hari perayaan puncak,
dimana penduduk kampung memotong lembu, kerbau, dan babi untuk dijadikan lauk.- * Hari kelima, matana,
* Hari keenam, nimpa, ditandai dengan kegiatan membuat cimpa, makanan khas Karo,
* Hari ketujuh, rebu, merupakan hari terakhir dari serangkaian pesta enam hari
b). Pelestarian lingkungan permukiman tradisional
Pedoman Teknis
3. Prasarana - Kondisi - Panjang 40 - Kecepatan rata
Kondisi Lingkungan
c). Konservasi/ revitalisasi kawasan cagar budaya
Daftar bangunan yang dilindungi dan lingkungan perumahan tradisional (Jati Diri)
Aktivitas kawasan dan kegiatan ekonomi masyarakat
a). Revitalisasi lingkungan perumahan dan permukiman
2 Pengembanga n dan penataan lingkungan permukiman
6 Dasar hukumnya adalah SKB Mendagri, Men.PU, Menpera No. 648.384 tahun 1992, No. 739/KPTS/1992 tentang pedoman Pengembangan Perumahan dan Permukiman dengan Lingkungan Hunian yang Berimbang dengan ketentuan lebih lanjut dari Kepmenpera BKP4N No.04/KPTS/BKP4N/1995
1. Kasiba (Kawasan siap bangun) / Lisiba (Lingkungan siap bangun)
N o Bidang Pelayanan Indikator Standar Pelayanan Keterangan Kuantitas Kualitas Cakupan Tingkat
Pelayanan
9
9 Keputusan Menteri Permukiman Wilayah No.534/KPTS/M/2001
c) Drainase/Peng endalian banjir
3
per 30.000 penduduk terlayani dengan radius 400
2
per 10.000 penduduk
3
60
Persentase produksi sampah terlayani
d) Persampahan
SK SNI T-07-1990-F
50
Persentase daerah genangan
/hari f Produksi air limbah 85
3
/hari
3
digunakan untuk pelayanan maks 120.000 jiwa
3
Persentase penduduk terlayani
b) Air Limbah Air limbah setempat
Prasarana Jalan Perumahan 1998
0.8
a) Jaringan Jalan Jalan Lingkungan Jalan setapak jalan Biaya perawatan
Lingkungan
per 10.000 penduduk
Satuan Lingkungan dengan
e) Sarana Ruang Terbuka (
Minimal tersedia :
Satuan Lingkungan dengan jumlah penduduk < 30.000 jiwa
d) Sarana Pelayanan umum
Lokasi di pusat lingkungan/ kecamatan, bersih, tenang, jauh dari sumber penyakit, sumber bau/ sampah dan pencemaran lainnya
Minimal tersedia :
Satuan lingkungan dengan jumlah penduduk < 30.000 jiwa
c) Sarana Pelayanan kesehatan
Bersih, Mudah dicapai, tidak bising, jauh dari sumber penyakit, sumber bau/ sampah dan pencemaran lainnya
, 6 kelas (6 x 40) untuk penduduk yang <1600 jiwa
2
Satuan Lingkungan dengan jumlah penduduk < 30.000 jiwa
Minimal tersedia :
b) Sarana Pendidikan
20/KPTS//1986-SNI 03- 1733-1989 tentang Tata Cara Perencanaan Kawasan Perumahan Kota
) 1 pasar untuk setiap 30.000 penduduk Mudah diakses - Kepmen PU No.
2
Minimal tersedia 1 warung untuk setiap 250 penduduk (100m
Kelengkapan sarana niaga Satuan Lingkungan dengan jumlah penduduk < 30.000 jiwa
a) Sarana Niaga
4. Sarana Lingkungan
Neufert architect Data
Satuan lingkungan dengan jumlah penduduk < 30.000 jiwa
pembuangan akhir (TPA) : menggunakan sistem controlled landfill pada lokasi yang tidak produktif bagi pertanian, muka air tanah cukup dalam, dan jenis tanah kedap air
Tersedianya :
416/Men/Kes/Per/IX/19
55-75% penduduk terlayani
a) Air bersih
Utilitas umum
/jama’ah)
2
Minimal tersedia :
Jangkauan Pelayanan
Satuan Lingkungan dengan jumlah penduduk < 30.000 jiwa
f) Sarana social / budaya
/penduduk dari luas kawasan (Pemakaman umum)
2
/penduduk dari luas kawan (taman, olah raga, bermain)
2
Taman, pemakaman umum dan parkir)
90
2.2. Tinjauan Khusus
2.2.1. Pengertian dan Penjelasan Singkat Proyek
Dalam proyek ini, penulis mendapat isu proyek yaitu relokasi masyarakat Gunung
Sinabung dimana masyarakat harus direlokasi ke Hutan Siosar yang saat ini permukiman
relokasi tersebut sedang dalam tahap proses konstruksi. Berdasarkan hal tersebut
perancangan ditugaskan untuk mengkaji ulang dan merancang ulang konsep rumah dan
permukiman yang tepat dan kontekstual terhadap permasalahan yang saat ini dihadapi,
sehingga penulis mengangkat judul proyek yaitu “Redesain Permukiman Relokasi
Masyarakat Gunung Sinabung”, yang mempunyai pengertian :10 : Merancang kembali .
Redesain : Lingkungan hidup di luar kawasan lindung, Permukiman baik kawasan perkotaan maupun perkotaan sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
11 penghidupan .
12 Relokasi : Pemindahan tempat .
Masyarakat yang hidup di sekitar Gunung Masyarakat Gunung Sinabung : Sinabung Berdasarkan penelaahan pengertian dari tiap kata-kata pada Judul Proyek tersebut,
penulis menetapkan bahwa Redesain Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung
Sinabung adalah Rancangan ulang permukiman masyarakat yang akan direlokasi dari
Gunung Sinabung.Proyek ini tentunya memiliki fungsi sebagai suatu hunian, baik hunian satuan
(single) hingga berbentuk kawasan permukiman secara luas. Pada tugas ini, lokasi proyek
10 American Heritage Dictionary (2006)
11 Undang-Undang No.4 tahun 1992
12 Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi 1.4. Hak cipta Pusat Bahasa (Pusba). http://kbbi.web.id/
disesuaikan dengan lokasi permukiman relokasi yang sudah dijalankan oleh pemerintah,
yaitu Hutan Siosar, Desa Kacinambun, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Sumatera
Utara. Untuk luasan yang ditetapkan oleh pemerintah adalah sebesar 1120 Ha (penggunaan
lahan skala besar yang ditujukan untuk lahan perkebunan dan proyeksi jangka panjang jika
letusan gunung sinabung semakin parah), namun pada Batasan Proyek, perancangan
menetapkan luasan lahan yang digunakan seminimal dan seefektif mungkin untuk keadaan
saat ini yaitu sebesar 66 Ha. Desa yang akan direlokasi adalah Desa Sukameriah, Desa
Simacem, dan Desa Bekerah. Jumlah Kelompok Keluarga yang akan direlokasi adalah
sebanyak 389 KK, dengan rincian Desa Sukameriah (137 KK), Desa Simacem (137 KK),
Desa Bekerah (115 KK). Dan Site memiliki karakteristik berkontur dimana disekitar site
terdapat banyak pohon pinus yang sudah tua.13
2.2.2. Data-Data Kuantitatif
a. Klasifikasi Desa
Tabel 2. 1. Tabel Klasifikasi Desa
13 Badan Pusat Statistik, Kabupaten Karo
b. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk
Tabel 2. 2. Tabel Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk
c. Perubahan Jumlah Penduduk
Tabel 2. 3. Tabel Perubahan Jumlah Penduduk d. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Tabel 2. 4. Tabel Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin
e. Rata-rata anggota Rumah Tangga
Tabel 2. 5. Tabel Rata-rata anggota Rumah Tangga
f. Jumlah Tenaga Kerja tiap Lapangan Pekerjaan
Tabel 2. 6. Tabel Jumlah Tenaga Kerja tiap Lapangan Pekerjaan g. Jumlah Sekolah, Murid, dan Guru SD
Tabel 2. 7. Tabel Jumlah Sekolah, Murid, dan Guru SD
h. Jumlah Sekolah, Murid, dan Guru SMP
Tabel 2. 8. Tabel Jumlah Sekolah, Murid, dan Guru SMP
i. Jumlah Sekolah, Murid, dan Guru SMA
Tabel 2. 9. Tabel Jumlah Sekolah, Murid, dan Guru SMA j. Jumlah Rumah Menurut Jenisnya
Tabel 2. 10. Tabel Jumlah Rumah Menurut Jenisnya
k. Jumlah Tempat Ibadah
Tabel 2. 11. Tabel Jumlah Tempat Ibadah l. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama yang Dianut
Tabel 2. 12. Tabel Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama yang Dianut m. Luas Panen Tanaman Palawija
Tabel 2. 13. Tabel Luas Panen Tanaman Palawija
n. Luas Panen Tanaman Rakyat
Tabel 2. 14. Tabel Luas Panen Tanaman Rakyat o. Fasilitas Kesehatan Desa
Tabel 2. 15. Tabel Jumlah Fasilitas Kesehatan o. Populasi Ternak Desa
Tabel 2. 16. Tabel Populasi Ternak Desa
p. Populasi Unggas Desa
Tabel 2. 17. Tabel Populasi Unggas Desa q. Jumlah Rumah Tangga Pelanggan Listrik dan PAM
Tabel 2. 18. Tabel Jumlah Rumah Tangga Pelanggan Listrik dan PAM r. Jumlah Kendaraan Bermotor
Tabel 2. 19. Tabel Jumlah Kendaraan Bermotor
2.2.3. Data Kualitatif
a. Kerja Tahun (Merdang Merdem)
Masyarakat Karo adalah masyarakat pedesaan yang sejak dahulu mengandalkan
titik perekonomiannya pada bidang pertanian. Tanaman padi adalah salah satu tanaman
penting, yang selain mengandung makna ekonomi juga memiliki keterkaitan terhadap
unsur religi dan sosial. Selain sebagai bahan pangan pokok, kekuatan ekonomi juga
merupakan lambang prestise bagi masyarakat. Ukuran dan volume lumbung padi
berpengaruh terhadap tolak ukur keberadaan seseorang. Maka agar hasil yang diperoleh
cukup memuaskan, semua proses penanaman dari awal hingga akhir harus diberikan
penghargaan dan disyukuri dengan harapan mencapai hasil yang baik.Pada masa lalu proses penanaman padi dilakukan setahun sekali. Proses awal
hingga akhir membutuhkan upacara agar berhasil dengan baik. Hal ini sesuai dengan magis
animistis pada masyarakat yang menganut ajaran Pemena. Upacara-upacara tersebutlah
yang mendasari terselenggaranya kerja tahun pada masyarakat Karo.Kerja tahun dapat diartikan sebagai pesta yang diselenggarakan masyarakat setahun
sekali. Kata “kerja” bermakna pesta dalam bahasa Karo. Kerja tahun ini berdasarkan pada
kegiatan pertanian tanaman padi. Terdapat perbedaan pelaksanaan pada beberapa daerah,
di mana masing-masing lebih memfokuskan pada fase tertentu dari pertumbuhan padi
untuk merayakannya. Ada yang merayakan di masa awal penanaman, pertengahan
pertumbuhan, ataupun masa panen.
Gambar 2. 2. Pesta Kerja Tahun
Sumber : Karonews.com
Semua acara di atas dilakukan sesuai kepercayaan “pemena” dengan tata cara dan
perlengkapan tertentu yang berbeda di setiap fase dan daerah. Selain hal di atas, kerja
tahun juga memiliki fungsi lain yaitu mempererat ikatan kekerabatan.Sejalan dengan perkembangan waktu, terjadi perubahan di tengah-tengah
masyarakat. Perekonomian masyarakat yang bersifat pertanian subsistensi bergeser kepada
tanaman yang berorientasi pada kebutuhan pasar. Tanaman padi sudah mulai jarang
ditanam, digantikan dengan tanaman lain yang dianggap lebih menguntungkan. Selain itu
terjadi sikap yang lebih rasional atas konsep-konsep yang bersifat supranatural. Hal ini
dipengaruhi oleh penyebaran agama, pendidikan serta perkembangan teknologi di tengah
kehidupan masyarakat. Kontak dengan masyarakat lain, seperti pendatang yang bermukim
ke daerah-daerah komunitas Karo, maupun transformasi masyarakat Karo menuju luar
daerahnya turut mempengaruhi hal tersebut, namun tradisi kerja tahun tetap berjalan. Pesta
Kerja Tahun ini dirayakan sampai enam hari dimana setiap hari mempunyai makna yang
berbeda.merupakan kegiatan dimana penduduk pergi ke ladang untuk
mencari kor-kor, sejenis serangga yang biasanya ada di dalam tanah, untuk dijadikan lauk
makanan pada hari itu.
Kurung adalah binatang yang hidup di tanah basah atau sawah, yang biasa dijadikan lauk
oleh masyarakat Karo.
sawah atau sungai. Pada hari itu penduduk satu kampung makan dengan lauk ikan tersebut
Matana artinya hari puncak perayaan, dimana semua penduduk
saling mengunjungi kerabatnya. Setiap kali berkunjung semua menu yang sudah
dikumpulkan semenjak hari cikor-kor, cikurung, ndurung, dan mantem dihidangkan. Pada
saat tersebut semua penduduk bergembira.Panen sudah berjalan dengan baik dan kegiatan menanam padi juga telah selesai
dilaksanakan. Pusat perayaan biasanya di alun-alun atau biasa disebut los, semacam balai
tempat perayaan pesta. Acara dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron dimana muda-
mudi yang sudah dihias dengan pakaian adat melakukan tari tradisional.
dengan bahan dasar tepung terigu, gula merah, dan kelapa parut. Cimpa tesebut biasanya
dihidangan sebagai tambahan setelah makan.
sebelumnya dan seperti halnya arti rebu itu sendiri yang artinya tidak saling menegur, hari
itu adalah hari penenangan diri setelah selama enam hari berpesta. Beragam kesan tinggal
melekat dalam hati masing-masing penduduk kampung.b. Guru (Tabib) dalam Masyarakat Karo
Guru adalah terminologi umum bagi orang Karo untuk menyebut seseorang yang
berperan sebagai tabib (dukun). Guru ini sangat berperan dalam ritual-ritual keagamaan
atau upacara-upacara tradisional bagi orang Karo.Bagi orang Karo, guru adalah sebutan untuk orang-orang tertentu yang dianggap
memiliki keahlian melakukan berbagai praktek dan kepercayaan tradisional, seperti:
meramal, membuat upacara ritual, berhubungan dengan roh atau mahluk gaib, perawatan
serta penyembuhan kesehatan dan lain-lain. Guru dianggap memiliki pengetahuan yang
mendetail mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan.Menurut keyakinan orang Karo hanya orang-orang pilihan saja yang dapat menjadi
seorang guru. Peran sebagai guru dianggap telah ditentukan dari sejak lahirnya seseorang
dengan memiliki tanda-tanda kelahiran tertentu. Bahkan peran sebagai guru telah dianggap
dimiliki seseorang sejak dia berada dalam kandungan Ibunya berdasarkan kata Dibata si
mada tenuang atau kehendak dari Tuhan sang pencipta. Dalam hal ini, peran sebagai guru
sudah merupakan suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Pendapat umum termasuk para
guru mengatakan bahwa seseorang jika proses kelahirannya tidak istimewa, tidak lain dari
pada yang lain ataupun tidak memiliki ciri fisik tertetu, tidak akan dapat menjadi guru jenis
apa pun juga.c. Pola Hidup Masyarakat di Desa Eksisting
Secara budaya tradisional, masyarakat di beberapa esa terkait sebenarnya sudah
banyak meninggalkan budaya-budaya tradisional karo, kecuali pesta Kerja Tahun yang
masih tetap bertahan, hal ini semakin diperkuat oleh status desa dimana desa terkait
merupakan desa Swakarya dan Swasembada (desa yang sedang meninggalkan adat istiadat
dan sudah meninggalkan adat istiadat).Untuk pola hidup sehari-hari, masyarakat di desa eksisting sama halnya dengan
masyarakat yang bekerja sebagai petani kebun, sangat sensitif dan intuitif terhadap
perubahan musim tanam. Sifat seperti ini bahkan turun temurun terhadap anak-anak
mereka, dimana mereka juga sejak kecil diajarkan untuk bercocok tanam di kebun dan
membantu orang tua seusai sekolah. Anak laki-laki dan perempuan umumnya sama-sama
membantu orang tua dalam bercocok tanam.Selain bercocok tanam, masyarakat di desa eksisting juga memiliki ternak seperti sapi, kerbau, kambing, babi, ayam dan lainnya.
Setelah selesai kegiatan berkebun, umumnya para bapak-bapak akan berkumpul
untuk istirahat dan bercengkrama dengan petani lainnya di balai masyarakat. Setelah itu
pulang ke rumah untuk istirahat, santai dengan keluarga, makan malam dan lainnya.Untuk memanen, biasanya masyarakat memanen pada pagi atau siang hari. Hasil
panen terkadang untuk konsumsi keluarga dan juga di jual. Untuk pendistribusian panen
umumnya langsung ke pengumpul sayur yang akan didistribusikan ke kota Medan,
biasanya dilakukan pada pukul 03.00 pagi.2.2.4. Tinjauan Lokasi
Pada tahap ini perancang mencoba untuk mengidentidikasi lokasi perancangan
dengan peta digital yang kemudian akan ditetapkan lokasi untuk survey lokasi. Selain itu,
peta digital ini nantinya diukur luasan yang dibutuhkan, kontur lahan, konteks di sekitar
site, jarak terhadap Gunung Sinabung, jarak terhadap Kabanjahe, arah mata angin, dan
lainnya.Lokasi perancangan yang dipilih adalah Hutan Siosar yang merupakan lokasi resmi
dari pemerintah untuk merelokasi masyarakat Gunung Sinabung, lahan yang letaknya
sangat terpencil ini sudah mendapat izin secara resmi dan merupakan satu-satunya
alternatif lokasi perancangan untuk permukiman relokasi masyarakat Gunung Sinabung.Secara geografis Hutan Siosar terletak di 02°58′56.9″LU dan 98°30′18.5″BT,
dengan jarak terhadap Gunung Sinabung yaitu sekitar 23,7 Km, dan jarak terhadap
Kabanjahe yaitu sekitar 6 Km. Hutan Siosar memiliki batas-batas wilayah, dari Utara yaitu
Kec. Tigapanah, sebelah Selatan yaitu Kec. Merek, sebelah Timur yaitu Hutan Pinus, dan sebelah Barat yaitu Hutan Lindung. Peta Lokasi Proyek.
Gambar 2. 3. Peta Lokasi Perancangan - Hutan Siosar
Sumber : Google Maps
1. Kondisi Aksesibilitas
Setelah perancang melakukan kegiatan survey langsung ke Hutan Siosar, hanya
terdapat satu jalur, yakni jalur masuk dari Kabanjahe dengan jarak tempuh 5 Km. Kondisi
site yang berkontur mengakibatkan jalan sedikit meliuk-liuk sebagai respon terhadap lahan
berkontur. Kondisi Fisik jalan menurut perancangan masih dalam tahap pengerjaan dan
memasuki tahap finishing perkerasan, karena berdasarkan pengamatan perancang, jalur
aksesibilitas masih berupa tanah keras yang sudah dilapisi oleh agregat kasar, yang dimana
karakteristik dari agregat kasar ini merupakan komposisi dari jalan Aspal. Hal ini diperkuat
oleh hasil wawancara dengan anggota TNI yang akan mengerjakan perkerasan jalan
tersebut.
Gambar 2. 4. Kondisi Fisik permukaan jalan menuju hutan siosar
Sumber : Data Penulis
Gambar 2. 5. Kondisi jalan yang berliku-liku dan naik turun
Sumber : Data Penulis
2. Kondisi Lingkungan
Setelah perancang tiba pada lokasi site, kesan yang muncul dari perancang adalah
site ini memiliki ketenangan dan kedamaian yang luar biasa, sangat cocok untuk
pemulihan psikologi dari korban bencana Gunung Sinabung. Udara Segar, terik yang tidak
menusuk tajam, jauh dari hiruk pikuk kota, kebisingan, kemacetan, serta kehijauan yang
sangat kontras menjadikan tempat ini layak dari segi kualitas hidup. Namun faktor itu saja
tidak cukup menjadikan site ini sangat layak untuk dijadikan tempat hidup masyarakat
secara permanen, melainkan ada faktor lainnya seperti pengadaan fasilitas umum, fasilitas
sosial, dan yang terpenting adalah ketersediaan lahan perkebunan yang merupakan mata
pencaharian utama masyarakat Gunung Sinabung.
Gambar 2. 6. Signage Entrance Perkampungan Siosar
Sumber : Data Penulis
Gambar 2. 7. Kondisi Lingkungan Perkampungan Siosar dalam tahap konstruksi
Sumber : Data Penulis
Gambar 2. 8. Hunian yang sedang dalam tahap konstruksi
Sumber : Data Penulis
Kondisi lingkungan binaan di hutan siosar pada saat ini masih belum dapat
ditemukan dikarenakan pada saat ini lokasi hutan siosar masih dalam tahap pengerjaan.
Perancang hanya dapat memastikan kondisi fisik hunian dan sirkulasi, namun penempatan
fasilitas tidak dapat sepenuhnya diidentifikasi, namun berdasarkan wawancara pada area
tengah perkampungan akan dibuat taman dan juga beberapa fasilitas umum.
Gambar 2. 9. Area tengah yang akan dijadikan daerah taman dan fasilitas umum
Sumber : Data Penulis
Pada sekitar site terdapat hutan pinus milik pemerintah, sehingga pohon pinus yang
ditebang untuk pelebaran lahan, sepenuhnya milik pemerintah. Dalam hal ini, kayu pinus
hasil tebangan digunakan untuk material proses kontruksi, seperti bekisting, papan
jembatan sementara, bedeng material, dan sisanya diperuntukkan bagi pemerintah. Oleh
karena itu pohon pinus menurut perancang bukan sebuah potensi yang harus diolah dan
digunakan pada perancangan permukiman ini, dikarenakan kepemilikan kayu tebangan
yang dimiliki oleh pemerintah.
Gambar 2. 10. Hutan Pinus disekitar kawasan permukiman
Sumber : Data Penulis
Gambar 2. 11. Papan Pinus yang digunakan untuk membantu proses konstruksi
Sumber : Data Penulis
3. Kondisi Fisik Hunian
Dari hasil survey yang kami lakukan di Perkampungan Siosar, dapat dilihat bahwa
kondisi fisik rumah yang dibangun pada Perkampungan Siosar ini sangat baik, baik dari
segi tampilan dan juga struktur rumah. Tipologi rumah yang dibangun di Perkampungan
Siosar ini seperti tipologi rumah di perumahan yaitu memiliki orientasi rumah yang jelas,
pola rumah secara grid, dan lainnya. Selain itu, rumah ini memiliki struktur dan konstruksi
rumah yang konvensional seperti penggunaan batu bata, beton bertulang, pondasi batu kali,
dan lainnya dengan mengacu aspek konstruksi yang aman.Berdasarkan hasil pengamatan, perancang banyak mendapat pemikiran serta
pertanyaan mendasar mengenai hunian yang sudah mulai dibangun di Perkampungan
Siosar ini, mulai dari karakteristik fisik rumah yang tidak sama dengan rumah mereka di
desa mereka yang lama, pola permukiman yang sangat berbeda, material rumah yang
berbeda, karakteristik ruang, dan lainnya. Perbedaan yang mencolok inilah yang nantinya
akan menjadi permasalahan kedepannya kelak, yaitu akan terjadinya pergeseran psikologis
masyarakat sehingga masyarakat akan merasa tidak nyaman untuk tinggal di permukiman
baru, bahkan yang lebih buruknya adalah meninggalkan permukiman Siosar tersebut.Oleh karena itu, perlu adanya kajian terhadap tipologi hunian awal, orientasi
permukiman, material terdahulu, karakateristik ruang, dan aspek-aspek rumah lainnya yang
ada di ketiga desa.
Gambar 2. 12. Bentuk Hunian masyarakat Korban Gunung Sinabung
Sumber : Data Penulis
Gambar 2. 13. Hunian bagi masyarakat korban bencana Gunung Sinabung
Sumber : Data Penulis
Gambar 2. 14. Proses Konstruksi Perkampungan Siosar
Sumber : Data Penulis
2.2.5. Tinjauan 3 Desa Eksisting
Peninjauan Desa Bekerah, Desa Simacem, dan Desa Sukameriah tidak dilakukan
secara peninjauan langsung, hal ini dikarenakan 3 desa tersebut sedang dalam zona merah
yaitu zona yang tidak aman dan harus steril dari aktivitas manusia. Oleh karena itu,
perancang melakukan peninjauan dari berbagai sumber media internet berupa peninjauan
berita-berita online serta peninjauan media cetak berupa buku, koran, dan majalah.Peninjauan Desa Bekerah, Desa Simacem, dan Desa Sukameriah dilakukan karena
ada banyak aspek-aspek yang harus tetap dituangkan kedalam desain permukiman yang
baru, sehingga masyarakat tidak perlu merasakan adaptasi yang mendalam pada
permukiman yang baru.1. Jenis Desa
Tabel 2. 20. Tabel Klasifikasi Desa
sumber : BPS Kab. Karo
Mengetahui jenis desa pada Desa Bekerah, Desa Simacem, dan Desa Sukameriah
merupakan hal yang sangat penting, dimana dengan mengetahui jenis desa, perancang
mampu mengetahui karakteristik desa, seperti ekonomi masyarakat, kepengurusan dari
desa, sistem kepercayaan masyarakat, dan lainnya.Berdasarkan Data Statistik Kab. Karo, dapat dilihat bahwa Desa Bekerah dan Desa
Simacem merupakan desa swakarya sedangkan Desa Sukameriah adalah desa
swasembada.2. Kondisi Permukiman
Saat ini kondisi permukiman di tiga desa sangat parah dikarenakan tertimbun oleh
abu vulkanik, sehingga kondisi fisik permukiman pada ketiga desa sudah tidak
memungkinkan lagi untuk dihuni kembali.
Gambar 2. 15. Kondisi Permukiman Desa Bekerah
sumber : Merdeka.com
Namun untuk konteks kondisi permukiman, perancang tidak hanya menjelaskan
kondisi pada saat ini, namun juga aspek-aspek fisik permukiman, seperti pola permukiman,
dan orientasi rumah.