Analisis terhadap Briding Loan dalam Praktik Pengadaan Barang dan Jasa Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Junctis Peraturan Perundang-Undang tentang Pengadaan Barang dan Jasa.

(1)

iv

ANALISIS TERHADAP BRIDGING LOAN DALAM PRAKTIK PENGADAAN BARANG DAN JASA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA KORUPSI dan PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PENGADAAN BARANG DAN JASA

Ahmad Firmansyah 1187080

ABSTRAK

Tujuan negara Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksakanan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk itu,negara berupaya melaksanakan pembangunan di semua sektor maupun sendi-sendi kehidupan lainya. Melalui proses yang disebut dengan tender pengadaan barang atau jasa, Pelaksanaan pembangunan dapat dilakukan oleh perusahaan pemenang tender. Dalam pelaksanaannya Penyediaan Barang dan Jasa untuk kepentingan publik dilakukan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan barang dan Jasa. Untuk itu, perlu adanya dana talangan yang disebut dengan bridging loan agar pembangunan dapat berjalan dengan benar. Namun demikian proses bridging loan selalu dikaitkan dengan tindak pidana korupsi. Hal ini menjadi permasalahan dalam pengadaan barang dan jasa. Sehingga perlu dikaji kedudukan bridging loan dan perlindungan hukum bagi pelaksana tender maupun pemenang tender.

Metode penelitian, yuridis normatif, dengan sifat penelitian deskriptif analitis, dengan menggunakan data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

Bahwa pada dasarnya bridging loan mengacu pada ketentuan dari kaidah hukum kontrak, sebagaimana diatur dalam buku III KUHPerdata bahwa hak dan kewajiban di tuangkan dalam perjanjian bridging loan . Mengingat perjanjian bridging loan didasarkan pada perjanjian maka dapat disimpulkan bahwa hal tersebut masuk ke dalam ranah hukum privat, namun demikian mengingat objek yang di perjanjikan mengandung unsur publik yang menyangkut talangan keuangan Negara dan pengadaan fasilitas umum, maka bridging loan tidak saja mengandung unsur privat saja tetap juga melibatkan unsur publik sehingga terjadi pergeseran dari hukum privat ke hukum publik. Namun demikian,apabila fasilitas bridging loan merugikan keungan Negara,maka dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, disisi lain peraturan perundang-undangan juga memberikan perlindungan secara preventif dan represif, dimana apabila terjadi pelanggaran maupun penyalahgunaan maka pelaksana tender dan pemenang tender akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian adapun terjadi pelanggaran atau penyelewengan, seyogyanya dapat diproses secara perdata maupun pidana dengan penerapan sanksi yang adil.Agar pemerintah membentuk paying hukum terkait dengan praktik bridging loan yang saat ini sangat diperlukan tidak hanya oleh instansi-instansi pemerintah tetapi juga telah merambah kepada masyarakat.


(2)

v KATA KUNCI


(3)

BRIDGING LOAN ANALYSIS IN PRACTICE OF PROCUREMENT OF GOODS AND SERVICES BASED ON LAW NUMBER 20 OF 2001 ON

COMBATING Corruption Juncto REGULATION LEGISLATION ON PROCUREMENT OF GOODS AND SERVICES

Ahmad Firmansyah (1187080) ABSTRACT

Destination country Indonesia as stated in the preamble of the 1945 Constitution, namely a State Government that Indonesia protect the Nations Indonesia and all the spilled blood of Indonesia and to promote the general welfare, the intellectual life of the nation and the world order melaksakanan on the basis of independence, peace and social justice. To that end, the State seeks to carry out development in all sectors as well as other life joints. Through a process called with a tender for the procurement of goods or services, the implementation of the construction can be carried out by the company winning a tender. In practice the provision of goods and services for the benefit of the public is done based on the presidential Regulation No. 54 of 2010 On the procurement of goods and services. To that end, the need for bailouts that called the bridging loan in order that construction can be run correctly. However, the process of bridging loan is always associated with the criminal acts of corruption. This is a problem in the procurement of goods and services. So it needs to be examined the position of bridging loan and legal protection for the executor of the tender or the tender winner.

Methods of juridical research, normatife, with a descriptive research analytical properties, using secondary data, consisting of primary law, secondary, and tertiary. Bridging loan that basically refers to the provisions of the rules of the law of contract, as provided for in Book III KUHPerdata that the rights and obligations in the treaties bridging loan pour in. Given the bridging loan agreement based on the Treaty so it can be inferred that it is entered into the realm of private law, however given the object in enforced by contain elements relating to public bailouts of countries and Finance the procurement of public facilities, then bridging loan does not contain private items only remain also involves an element of so public a shift from private law to public lawservices that it allows the parties to use a bridging loan facility, as well as providing training to the parties who will be doing the tender provided an understanding of the bridging loan facilities not belonging to the public domain i.e. criminal acts of corruptionThe implementation of the procurement of goods and services, on the other hand legislation also provides protection in preventive and repressive, where in case of violation or abuse then executing a tender and the winner of the tender will be penalized in accordance with the legislation in force. However as for the violation or abuses, should be processed in a civil or criminal proceeding with the application of the sanctions fair. In order for the Government to form the umbrella of law related to the bridging loan practices which are currently very necessary not only by establishments-government agencies but also has penetrated to the community


(4)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR PANITIA SIDANG... ii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Permasalahan ...7

C. Tujuan Penulisan ...7

D. Kegunaan Penelitian ...8

E. Kerangka Pemikiran ...9

F. Metode Penelitian ...19

G. Sistematika Penulisan ...22

BAB II ASPEK HUKUM PENGADAAN BARANG DAN JASA DI INDONESIA A. Pengadaan Barang dan Jasa di Indonesia ...25

1. Pengadaan Barang dan Jasa Serta Pengaturannya di Indonesia ...25

2. Metode-Metode Pengadaan Barang dan Jasa ...27

a. Metode-Metode Pemilihan Barang dan Jasa ...27

b. Metode Evaluasi Penawaran dalam Pengadaan Barang dan Jasa ...30

c. Hal-hal Lain Berkenaan Dengan Pengadaan Barang dan Jasa ...32

3. Sertifikasi Keahlian Pengadaan Barang dan Jasa ...36

4. Swakelola dalam Pengadaan Barang dan Jasa ...40

a. Pengadaan yang dapat Dilaksanakan Dengan Cara Swakelola ...42


(5)

A. Perbuatan Hukum Pinjam Meminjam di Indonesia ...55

1. Perjanjian Sebagai Dasar dalam Pinjam Meminjam ...55

a. Ketentuan Umum Mengenai Perjanjian ...55

b. Unsur-Unsur Perjanjian ...56

c. Syarat Sahnya Perjanjian dan Akibat Hukumnya ...57

d. Hapusnya Perjanjian ...59

e. Wanprestasi dan Pengaturannya ...60

f. Bentuk-Bentuk Wanprestasi dan Akibat Hukumnya ...62

2. Ketentuan Umum Mengenai Pinjam-Meminjam ...70

a. Pengertian Pinjam-Meminjam ...70

b. Kewajiban-Kewajiban Para Pihak dalam Kegiatan Pinjam-Meminjam ...74

c. Bunga dalam Kegiatan Pinjam-Meminjam ...76

B. Bridging loan dalam Aktifitas Bisnis di Indonesia ...78

1. Sejarah Bridging Loan ...78

2. Pengertian Bridging Loan ...79

3. Jenis-Jenis Bridging Loan ...79

a. Briding loan haji ...79

b. Bridging Loan Personal ...83

c. Bridging Loan Konstruksi ...83

4. Skema Bridging Loan dengan persetujuan Bank ...86

BAB IV ANALISIS TERHADAP BRIDGING LOAN DALAM PRAKTIK PENGADAAN BARANG DAN JASA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Juncto PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PENGADAAN BARANG DAN JASA A. Pergeseran Ruang Lingkup Privat Menjadi Ruang Lingkup Publik dalam Pengadaan Barang dan Jasa...100

1. Ruang Lingkup Publik dari Hukum Indonesia ...100

2. Ruang Lingkup Privat dalam Sistem Hukum di Indonesia ...100

3. Pergeseran Ruang Lingkup Privat Menjadi Ruang Lingkup Publik ...111

B. Kedudukan Bridging Loan dalam Praktek Pengadaan Barang di Tinjau dari Hukum Pidana dan Hukum Bisnis ...116

C. Perlindungan Hukum Bagi Pelaksaan Tender dan Pemenang Tender Atas Pengguna Fasilitas Bridging Loan ...124


(6)

A. Kesimpulan ...133 B. Saran ...135


(7)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan negara Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksakanan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk itu, negara berupaya melaksanakan pembangunan di semua sektor maupun sendi-sendi kehidupan lainya.

Pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara dan

pemerintahanya yang berdaulat, dalam rangka memenuhi hajat hidup orang banyak dan pemenuhan hak asasi manusia, adalah melalui pembangunan di sektor ekonomi, sosial, pendidikan dan lainnya. Salah satu cara guna mewujudkan pembangunan adalah membangun infrastruktur dan mencari

pelaksana pembangunan yang profesionalkredibel, dan akuntabel serta dapat

melaksanakan proyek sesuai dengan waktu yang ditentukan, melalui proses yang disebut dengan tender pengadaan barang atau jasa. Pelaksanaan

pembangunan dapat dilakukan oleh perusahaan pemenang tender, atas


(8)

Pembangunan di berbagai sektor untuk kepentingan masyarakat memerlukan pendanaan yang cukup besar, oleh karena itu dalam hal pendanaan pembangunan, tidak hanya bersumber dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tetapi juga dari alternatif pembiayaan lainya. Pada pelaksanaannya, pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan publik diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang barang dan jasa. Peraturan perundang-undangan tentang Pengadaan Barang dan Jasa telah mengalami perubahan yakni, perubahan pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, Peraturan Presiden nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, dan Peraturan Presiden Nomor 172 tahun 2014 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, serta Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Namun perubahan tersebut tidak menggantikan peraturan yang lama, jadi peraturan yang lama masih berlaku untuk hal-hal tertentu yang tidak diatur dalam Peraturan Presiden yang baru.

Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa menyatakan bahwa ruang lingkup Peraturan Presiden ini meliputi:

a. Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya baik

sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).

b.Pengadaan Barang/Jasa untuk investasi di lingkungan Bank Indonesia,


(9)

Milik Daerah yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD.

Lebih lanjut, Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa Pengadaan Barang/Jasa yang dananya bersumber dari APBN/APBD, mencakup Pengadaan Barang/Jasa yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari pinjaman atau hibah dalam negeri yang diterima oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Sedangkan, Pasal 2 ayat (3) menyebutkan ketentuan Pengadaan Barang/Jasa yang dananya baik sebagian atau seluruhnya berasal dari Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN) berpedoman pada ketentuan Peraturan Presiden ini. Pada Pasal 2 ayat (2) disebutkan, apabila terdapat perbedaan antara Peraturan Presiden ini dengan ketentuan Pengadaan Barang/Jasa yang berlaku bagi pemberi Pinjaman/Hibah Luar Negeri, para

pihak dapat menyepakati tata cara Pengadaan yang akan dipergunakan.1

Pada kenyataanya, kebutuhan masyarakat akan pembangunan cukup mendesak. Namun di sisi lain, anggaran yang dibutuhkan oleh pelaksana pembangunan lambat terealisasi, khususnya terkait pembangunan dan penyediaan sarana dan prasarana. Kondisi ini memaksa peserta tender yakni kontraktor mencoba mencari alternatif pembiayaan dengan berinisiatif mengajukan dana talangan dari pihak ketiga apabila ditunjuk sebagai pemenang tender. Pihak ketiga tersebut biasanya adalah lembaga pembiayaan seperti misalnya bank yang menjadi penyedia Bridging Loan.

1


(10)

Dana Talangan/Bridging Loan yang diberikan setelah pemenang tender/

Peminjam/Debitur mendapatkan persetujuan bank mengenai dana

talangan/Bridging Loan dengan jangka waktu maksimal sebagaimana diperjanjikan pada waktu awal peminjaman. Adapun prosedur persetujuan Bank untuk menggunakan fasilitas Bridging Loan yaitu antara lain:

1. Debitur telah memegang persetujuan/dari Bank;

2. Debitur masih membutuhkan dana cepat/dana talangan;

3. Pihak Funder (Penyedia dana) akan memberikan kebutuhan dana dengan

persyaratan tercantum di atas dengna diskonto 10% (sepuluh persen);

4. Pihak Peminjam (Debitur) membuat Standing Instruction yang

menyatakan bahwa jika sudah menerima dana dari Bank penerbit OL/Persetujuan Kredit akan membayarkan sesuai kesepakatan ke rekening yang ditunjuk oleh pihak funder;

5. Minimal pembiayaan/plafond Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah);

6. Proses 1 hari kerja.2

Salah satu pemenang tender yang menggunakan fasilitas Bridging Loan adalah pemenang tender untuk melaksanakan proyek di PT. Garuda

Indonesia3.Permasalahan yang muncul kemudian adalah terkait penggunaan

dana talangan oleh pemenang tender dengan pelaksana tender tidak jarang

dikaitkan dengan tindak pidana dan korupsi, sehingga perludikaji kedudukan

2

http://www.finansialplus.com/danatalanganbridging, diakses pada tanggal 19 april 2015

3http://www.ift.co.id/posts/garuda-peroleh-fasilitas-bridging-loan-us-400-juta,diakses pada tanggal 05 mei 2015


(11)

Bridging Loan dalam proyek pengadaan barang dan jasa dikaji secara

komperhensif tentang bagaimana perlindungan hukum bagi pelaksana tender

dan pemenang tender dalam pengadaan barang dan jasa.4

Selain PT. Garuda Indonesia, Institusi/Departemen Pemerintah yang melakukan mekanisme Bridging Loan antara lain adalah Universitas Indonesia, di mana proyek Universitas Indonesia ini bernilai Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Namun demikian, atas proyek tersebut diduga telah terjadi penggelembungan dana pemerintah sebesar Rp 21.000.000.000.00 (dua puluh satu miliar rupiah) hingga tahun 2010 akhir. Pada Tahun 2010 pihak Universitas Indonesia melakukan peminjaman kepada PT. Makara Mas sebagai pihak ketiga senilai Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dikarenakan dana pembangunan dari pemerintah belum juga turun menyebabkan terhentinya proses pembangunan infrastruktur perpustakaan Universitas Indonesia.

Sebagaimana halnya proyek pengadaan barang dan jasa yang bersumber dari APBN, proyek fasilitas perpustakaan tersebut harus segera dimasukan ke dalam Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) sebelum dilakukan audit oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) dan Inspektorat Jendral Kementerian Pendidikan Nasional, tetapi Gumilar Rusliwa Soemantri selaku Rektor Universitas Indonesia saat itu, tidak pernah memasukan proyek Instalasi IT perpustakaan pusat tersebut ke dalam RKAT. Pada saat ada pemeriksaan

dari BPK dan ltjen Kemendiknas, Tafsir selaku Wakil Rektor pada saat itu

mengatakan agar semua instansi dibereskan untuk pemeriksaan. Donanta

4

http://edukasi.kompas.com/read/2014/08/13/14233791/Kasus.Perpustakaan.Mantan.Warek.UI.Me ngaku.Sudah.Kembalikan.Desktop.dan.iPad, di akses pada tanggal19 april 2015 pukul 20.43 wib


(12)

selaku Direktur Umum dan Fasilitas Universitas Indonesia mengaku dibuat kerepotan karena akan dilakukannya audit terhadap proyek tersebut. Donanta berdalih mengambil jalan pintas agar proyek IT bisa masuk dalam RKAT, yakni dengan membuat dokumen bertanggal mundur karena proyek fasilitas perpustakaan tersebut tidak ada di direktorat manapun. Donanta kemudian memanipulasi tanggal persetujuan proyek tersebut dengan cara membuat surat

back dated pada bulan November yang dijatuhkan pada bulan Juli, karena di

bulan Juli adalah waktu di mana RKAT masih dapat direvisi.5

Sepanjang penelusuran yang dilakukan penulis, tidak ditemukan karya ilmiah yang sama dengan judul karya ilmiah maupun pembahasan yang sedang penulis susun. Namun demikian, terdapat beberapa tulisan yang relevan atau berkenaan dengan tulisan ini, salah satunya adalah tulisan dengan judul :

Analisis Hukum Terhadap Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatra Utara, yang disusun oleh Kiki Fitri M.Manurung dari

Fakultas Hukum Sumatra Utara Tahun 2010”.

Berdasarkan uraian di atas, penulis melakukan suatu penelitian yang berjudul : Bridging Loan dalam praktik pengadaan barang dan jasa dikaitkan dengan tindak pidana korupsi ditinjau dari Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junctis Peraturan Perundang-undangan Tentang Pengadaan Barang dan Jasa.

5 http://liputan6.com/news/read/2103630/saksi-sebut-anak-buah-gumilar-manipulasi-proyek-it-di-ui, di akses pada tanggal 06 mei 2015, pukul 20.32 wib


(13)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penulisan yang telah diuraikan di atas maka dapat merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pergeseran ruang lingkup privat menjadi ruang lingkup publik

dalam pengadaan barang dan jasa ?

2. Bagaimanakah kedudukan Bridging Loan dalam praktek pengadaan

barang ditinjau dari hukum pidana dan hukum bisnis terkait tindak pidana korupsi ?

3. Bagaimana perlindungan hukum bagi pelaksana tender dan pemenang

tender yang menggunakan fasilitas Bridging Loan dalam pengadaan barang dan jasa ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan identifikasi permasalahan sebagaimana dikemukakan di atas maka tujuan Penelitian adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengkaji dan memahami pergeseran ruang lingkup privat menjadi

ruang lingkup publik dalam pengadaan barang dan jasa;

2. Untuk mengkaji dan memahami kedudukan Bridging Loan dalam praktek

pengadaan barang dan jasa di dalam ruang lingkup hukum pidana dan hukum bisnis terkait tindak pidana korupsi;


(14)

3. Mengkaji dan memahami perlindungan hukum bagi pelaksana tender dan pemenang tender yang menggunakan fasilitas Bridging Loan dalam pengadaan barang dan jasa.

D. Kegunaan Penelitian

Dari tujuan-tujuan tersebut di atas, maka diharapkan penelitian dan pembahasan penulisan hukum ini dapat memberikan kegunaan atau manfaat baik secara teoritis maupun praktis sebagai bagian yang tak terpisahkan, yaitu:

1. Kegunaan Teoritis

a. Dari segi teoritis, penulisan ini diharapkan berguna bagi

pengembangan ilmu hukum, penajaman dan aktualisasi ilmu hukum terkait praktik Bridging Loan dalam pengadaan barang dan jasa dikaitkan dengan aspek pidana dan bisnis;

b. Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis

khususnya dan mahasiswa fakultas hukum pada umumnya tentang pelaksanaan Bridging Loan dalam pengadaan barang dan jasa.

2. Kegunaan Praktis

a. Secara praktis, penulis berharap penulisan ini dapat memberikan

masukan yang berarti bagi praktisi dalam menghadapi kasus-kasus terkait praktik Bridging Loan dan tindak pidana korupsi;

b. Memberikan masukan dan gambaran terkait kedudukan Bridging Loan


(15)

E. Kerangka Pemikiran

Tujuan negara yang selama ini dicita-citakan oleh masyarakat adalah terciptanya suatu kesejahteraan, ketertiban, dan keadilan bagi segenap bangsa Indonesia. Tujuan Negara tersebut termaktub di dalam aline ke 4 (empat) Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Maka, dibentuklah suatu organ pemerintah untuk mewujudkan tujuan tersebut yang mampu melaksanakan fungsi Pemerintah. Hal itu telah secara jelas dicantumkan di dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Guna mewujudkan tujuan negara terkait pembangunan infrastruktur termasuk sarana dan prasarana, Pemerintah dapat melakukan kegiatan pengadaan barang dan jasa melalui institusi atau departemen (pelaksana tender). Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik yang

dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa.6 Dalam

penyediaan barang dan jasa harus memuat asas-asas akuntabilitas,

transparansi, dan prudensial.Asas-asas tersebut dapat dirumuskan sebagai

berikut :

6

Soeharyo Salamoen dan Nasri Effendy, Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negera Kesatuan


(16)

a) Asas Akuntabilitas

Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b) Asas Transparansi

Asas transparansi adalah pemberian informasi yang lengkap kepada peserta yang disampaikan melalui media informasi yang dapat menjangkau seluas-luasnya dunia usaha yang diperkirakan akan ikut dalam proses pengadaan barang/jasa. Setelah informasi didapatkan oleh seluruh calon peserta, harus diberikan waktu yang cukup untuk mempersiapkan respon pengumuman tersebut.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan supaya Pengadaan Barang/Jasa memenuhi prinsip tranparansi adalah:

1) semua peraturan/kebijakan/aturan administrasi/prosedur dan praktek yang

dilakukan (termasuk pemilihan metoda pengadaan) harus transparan kepada seluruh calon peserta;

2) peluang dan kesempatan untuk ikut serta dalam proses pengadaan

barang/jasa harus transparan;

3) seluruh persyaratan yang diperlukan oleh calon peserta untuk


(17)

4) kriteria dan tata cara evaluasi, tata cara penentuan pemenang harus transparan kepada seluruh calon peserta.

Transparansi dalam pengadaan barang dan jasa dapat ditunjukan melalui kegiatan-kegitan sebagai berikut:

1) pengumuman yang luas dan terbuka;

2) memberikan waktu yang cukup untuk mempersiapkan

proposal/penawaran;

3) menginformasikan secara terbuka seluruh persyaratan yang harus

dipenuhi;

4) memberikan informasi yang lengkap tentang tata cara penilaian

penawaran.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa asas transparansi mewajibkan semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa termasuk syarat teknis/administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa bersifat terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta masyarakat luas pada umumnya.

C Asas Prudensial

Asas Prudensial adalah suatu asas yang menegaskan bahwa Instansi

Pemerintah dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam

penghimpunan terutama dalam penyaluran dana kepada anggota pengadaan barang dan jasa harus sangat berhati-hati. Tujuan dilakukannya prinsip kehati-hatian ini agar Instansi Pemerintah selalu


(18)

dalam keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku di dunia perbankan. Prinsip kehati-hatian tertera dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan;

Pada praktiknya, pengadaan barang dan jasa membutuhkan fasilitas-fasilitas yang dapat dijadikan alternatif dalam hal pembiayaan. Oleh karena pembayaran dari Negara/Pemerintah tidak selalu tepat waktu yang menyebabkan terkendalanya proses pembangunan, dan salah satu fasilitas yang dikenal adalah Bridging Loan. Bridging Loan Loan pada prakteknya didasarkan pada suatu perjanjian.

Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia). Oleh karenanya, perjanjian itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Adapun beberapa prinsip hukum perjanjian yang sangat mendukung eksistensi suatu perjanjian baku, yaitu prinsip-prinsip hukum sebagai berikut:


(19)

1. Prinsip Kesepakatan

Meskipun dalam suatu kontrak baku disangsikan adanya kesepakatan kehendak yang benar-benar seperti diinginkan oleh para pihak, tetapi kedua belah pihak akhirnya juga menandatangani kedua kontrak tersebut. Dengan penandatanganan tersebut, maka dapat diasumsi bahwa kedua belah pihak telah menyetujui isi kontrak tersebut, sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kata sepakat telah terjadi.

2. Prinsip Asumsi Risiko

Dalam suatu kontrak setiap pihak tidak dilarang untuk melakukan asumsi risiko. Artinya bahwa jika ada risiko ada risiko tertentu yang mungkin terbit dari suatu kontrak tetapi salah satu pihak bersedia menanggung risiko tersebut sebagai hasil dari tawar menawarnya, maka jika memang jika risiko tersebut benar-benar terjadi, pihak yang mengasumsi risiko tersebutlah yang harus menagunggung risikonya. Dalam hubungan dengan kontrak baku, maka dengan menandatangani kontrak yang bersangkutan, berart segala risiko apapun bentuknyaakan ditanggung oleh pihak yang menandatanganinya sesuai isi dari kontrak tersebut.

3. Prinsip Kewajiban Membaca

Sebenarnya, dalam ilmu hukum kontrak diajarkan bahwa ada kewajiban membaca duty to read bagi setiap pihak yang akan menandatangani kontrak. Dengan demikian, jika dia telah menandatangani kontrak yang bersangkutan, hukum mengasumsikanbahwa dia telah membacanyadan menyetujui apa yang telah dibacanya.


(20)

4. Prinsip Kontrak Mengikuti Kebiasaan

Memang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari bahwa banyak kontrak dibuat secara baku. Karena kontrak baku tersebut menjadi terikat, antara lain juga karena keterikatan suatu kontrak tidak hanya terhadap kata-kata yang ada dalam kontrak tersebut, tapi juga terhadap hal-hal yang bersifat kebiasaan. Lihat Pasal 1339 KUHPerdata Indonesia. Dan kontrak baku merupakan suatu kebiasaan sehari-hari dalam lalu lintas perdagangan dan sudah merupakan suatu kebutuhan masyarakat, sehingga eksistensinya

mestinya tidak perlu dipersoalkan lagi.7

Adapun asas-asas dari perjanjian antara lain yaitu :

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Dalam Pasal 1338 ayat 1 BW menegaskan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian/ pelaksanaan dan persyaratannya, menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan. Asas kebebasan berkontrak merupakan sifat atau ciri khas dari Buku III BW, yang hanya mengatur para pihak, sehingga para pihak dapat saja mengenyampingkannya, kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.

7

Fuady, Munir, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis,), Jakarta:Citra Aditya, 2007 hlm. 50


(21)

2. Asas Kekuatan Mengikat Perjanjian

Asas yang menyatakan bahwa para pihak harus memenuhi apa yang mereka sepakati dalam perjanjian yang mereka buat. Terikatnya para pihak dalam suatu perjanjian tidak semata- mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain yang dikehendaki oleh asas-asas moral, kepatutan dan kebiasaan. Dari ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa kekuatan mengikat dari suatu perjanjian itu baru ada, bila perjanjian yang dibuat menurut hukum. Dengan menekankan „secara sah‟ berarti bahwa perjanjian yang dibuat tersebut harus memenuhi persyaratan yang ditentukan, yaitu ketentuan Pasal 1320 KUH Perrdata.

3. Asas Konsensualisme

asas yang menyatakan bahwa terbentuknya suatu perjanjian dikarenakan adanya perjumpaan kehendak ( consensus) dari pihak- pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka.

Ruang lingkup Bridging Loan tidak hanya mencakup aspek privat saja, tetapi juga aspek publik, mengingat fasilitas Bridging Loan merupakan dana pinjaman sebagai dana talangan bagi APBN. Pada praktiknya, penggunaan fasilitas Bridging Loan dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, khususnya

terkait penyuapan/gratifikasi yang menimbulkan kerugian Negara


(22)

korupsi. Tindak Pidana Korupsi adalah adalah suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat ilegal dimana dilakukan secara fisik dengan terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari pembayaran atau pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapatkan bisnis atau keuntungan pribadi. Tindak Pidana Korupsi dapat didefiniskan ke dalam 4 jenis yaitu :

1. Discritionery Corruption adalah korupsi yang dilakukan karena adanya

kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.

2. Illegal Corruption merupakan jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.

3. Mercenry Corruption adalah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud

untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

4. Ideological Corruption yaitu suatu jenis korupsi illegal maupun discretionery yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.

Oleh karena hukum dibentuk yaitu dengan tujuan agar terciptanya keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum, ketertiban, kesejahteraan, di dalam kehidupan masyarakat. R.Soeroso berpendapat tentang fungsi hukum dalam perkembangan masyarakat, yaitu terdiri dari:


(23)

“1. Sebagai alat pengaturan tata tertib hubungan masyarakat: dalam arti, hukum befungsi menunjang manusia mana yang baik, dan mana yang buruk, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan teratur;

2. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin: dihukum dapat memberi keadilan, dalam arti dapat menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar, dapat memaksa agar peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya;

3. Sebagai sarana penggerak pembangunan: daya mengikat dan memaksa dari pembangunan. Di sini hukum dijadikan alat untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju;

4. Sebagai penentuan alokasi wewenang secara terperinci siapa yang boleh melakukan pelaksanaan (penegak) hukum, siapa yang harus menaatinya, siapa yang memilih sanksi yang tepat dan adil;

5. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat.”8

Oleh karena fasilitas Bridging Loan selalu dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, maka pemenang tender harus mampu membuktikan bahwa mekanisme Bridging Loan yang telah sesuai dengan mekanisme Bridging

Loan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pembuktian adalah

ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa.9 Bila melihat pengertian pembuktian yang

dikemukakan oleh Andi Hamzah adalah hanya tentang tata cara untuk membuktikan seseorang bersalah atau tidak, sedangkan yang sebenarnya bahwa pembuktian merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menyatakan seseorang bersalah atau tidak. Pembuktian merupakan hal yang

sangat penting dalam membenarkan guna menghindari dugaan

penyalahgunaan fasilitas Bridging Loan sebagai modus Tindak Pidana

8 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 53 9


(24)

Korupsi, pemenang tender harus mampu membuktikan sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku pada saat itu.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penulis menggunakan penelitian yuridis normatif, penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang mengacu pada studi kepustakaan yang ada ataupun terhadap data sekunder yang digunakan. Sedangkan bersifat normatif maksudnya penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam prakteknya.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif analitis, yaitu menjelaskan suatu gejala, peristiwa yang sedang diteliti dan berkaitan dengan kejadian sekarang. Pada penelitian ini penulis mencoba menjelaskan bagaimana fasilitas Bridging Loan dalam praktik pengadaan barang dan jasa ditinjau dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junctis peraturan-perundang-undangan tantang pengadaan barang dan jasa.


(25)

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian skirpsi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

perundang-undang (statue approach) dan Pendekatan Konseptual

(conseptual approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah undang-undang regulasi yang bersangkut paut dengan isi hukum yang sedang dihadapi.

Pendekatan Konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan, doktrin-doktrin didalam ilmu hukum, akan menghasilkan pengertian hukum, konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan.

4. Jenis Data

Jenis Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder yang terdiri dari 10:

a.Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,

terdiri dari beberapa peraturan perundang-undangan yang relevan dengan penulisan ini seperti peraturan-peraturan tentang pengadan barang dan jasa, kasus-kasus tentang fasilitas Bridging Loan dengan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP);

10


(26)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer, berupa buku-buku yang ada hubungannya dengan penulisan ini;

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap badan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum.

5) Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penulisan ini meliputi data sekunder yang diperoleh dari studi pustaka, adapun data-data tersebut diperoleh melalui : Studi kepustakaan (Library Research), yaitu melalui penelaahan data yang diperoleh dalam perauran perundang-undangan, buku, teks, jurnal, dan lain-lain melalui inventaris data secara sistematis dan terarah, sehingga diperoleh gambaran apakah yang terdapat dalam suatu penulisan, apakah suatu aturan bertentangan dengan aturan yang lain atau tidak, sehingga data yang akan diperoleh lebih akurat. Lebih lanjut digunakan metode pendekatan Yuridis-Normatif, yaitu menitikberatkan pada penggunaan data kepustakaan atau data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang ditunjang oleh data primer.

6) Teknik Analisis Data

Penulisan sebagai instrumen utama dalam pengumpulan data kepustakaan dengan menggunakan alat tulis untuk mecatat bahan-bahan yang diperlukan ke dalam buku catatan, kemudian alat elektronik (Komputer) untuk


(27)

mengetik dan menyusun bahan-bahan yang telah diperoleh. Guna menarik kesimpulan penulis menggunakan metode analisis Yuridis-Kualitatif, dengan melakukan analisis terhadap data yang diperoleh dengan menekankan pada tinjauan normatif terhadap objek penulisan dan peraturan-peraturan yang ada sebagai hukum positif.

G. Sistematis Penulisan

Untuk mengetahui keseluruhan isi dari penulisan ini, maka dibuat suatu sistemaika secara garis besar yang terdiri dari 5 (lima) bab.

BAB I : PENDAHULUAN

Bab pertama ini membahas mengenai Latar Belakang Penulisan, Identifikasi Masalah, Tujuan Penulisan, Kegunaan Penulisan, Kerangka Pemikiran, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : ASPEK HUKUM PENGADAAN BARANG DAN JASA DI INDONESIA

Bab kedua membahas tentang Dasar Hukum Pengadaan Barang dan Jasa, Mekanisme Pengadaan Barang dan Jasa, Metode-Metode Pengadaan Barang dan Jasa, Sertifikasi Keahlian Pengadaan Barang dan Jasa, Swakelola Dalam Pengadaan Barang dan Jasa.


(28)

BAB III : ASPEK HUKUM BRIDGING LOAN DALAM PRAKTIK PENGADAAN BARANG DAN JASA DIKAITKAN

DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM

SISTEM HUKUM INDONESIA

Bab ketiga membahas tentang Perbuatan Hukum Pinjam Meminjam di Indonesia, Perjanjian Sebagai Dasar Dalam Pinjam Meminjam, Ketentuan Umum Mengenai Perjanjian, Unsur-Unsur Perjanjian, Syarat Sahnya Perjanjian dan Akibat

Hukumnya, Hapusnya Perjanjian, Wanprestasi dan

Pengaturanya, Bentuk-Bentuk Wanprestasi dan Akibat

Hukumnya, Pengertian Pinjam Meminjam, Kewajiban-Kewajiban Para Pihak Dalam Kegiatan Pinjam-Meminjam, Bunga Dalam Kegiatan Pinjam-Meminjam. Bagian Kedua Membahas Tentang Bridging Loan Dalam Aktifitas Bisnis di Indonesia, Sejarah Bridging Loan, Pengertian Bridging Loan, Jenis-Jenis Bridging Loan, Skema Bridging Loan di Indonesia Dengan Persetujuan Bank.

BAB IV : ANALISIS TERHADAP BRIDGING LOAN DALAM

PRAKTIK PENGADAAN BARANG DAN JASA

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Junctis PERATURAN


(29)

PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PENGADAAN BARANG DAN JASA

Bab keempat ini membahas Pergeseran Ruang lingkup privat menjadi ruang lingkup publik dalam pengadaan barang dan jasa, ruang lingkup publik ditinjau dari hukum Indonesia, ruang lingkup privat dalam system hukum di Indonesia, pergeseran ruang lingkup privat menjadi lingkup publik, bagian kedua membahas tentang kedudukan Bridging Loan dalam praktek pengadaan barang ditinjau dari hukum pidana dan hukum bisnis, bagian ketiga membahas tentang perlindungan hukum pelaksaan tender dan pemenang tender atas pengguna fasilitas Bridging Loan.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab kelima ini membahas tentang kesimpulan dan


(30)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan latar belakang penulisan yang telah diuraikan di atas maka dapat merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bahwa pada dasarnya Bridging Loan mengacu pada ketentuan dari

kaidah hukum kontrak, sebagaimana diatur dalam buku III KUHPerdata bahwa hak dan kewajiban dituangkan dalam perjanjian

Bridging Loan. Mengingat perjanjian Bridging Loan didasarkan pada

perjanjian maka dapat disumpulkan bahwa hal tersebut masuk ke dalam ranah hukum privat, namun demikian mengingat objek yang diperjanjikan mengandung unsur publik yang menyangkut talangan keuanganan Negara dan pengadaan fasilitas umum, maka Bridging

Loan tidak saja mengandung unsur privat saja tetapi juga memuat

unsur publik sehingga terjadi pergeseran dari hukum privat ke hukum publik;

2. Pada dasarnya perjanjian Bridging Loan adalah suatu ikatan antara

pihak dengan pihak yang menggunakan fasilitas Bridging Loan, murni sebagai suatu pinjaman yang didasarkan pada perjanjian, sehingga kedudukan Bridging Loan berada dalam lingkup privat, namun jika


(31)

proyek pemerintah guna kepentingan umum, maka hal ini akan berurusan dengan unsur publik. Bahkan kedudukan Bridging Loan akan menjadi urusan pidana apabila dalam hal pembiayaan melalui Bridging Loan menimbulkan kerugian keuangan negara;

3. Bagi pelaksanaan tender sebagai penjamin maupun pemenang tender

sebagai pengguna fasilitas Bridging Loan, perlu diberikan adanya perlindungan hukum sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan, dimana peraturan perundang-undangan memberikan pedoman bagi pelaksanan pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa, disisi lain peraturan perundang-undangan juga memberikan perlindungan secara preventif dan represif, dimana apabila terjadi pelanggaran maupun penyalahgunaan maka pelaksana tender dan pemenang tender akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian halnya dalam pelaksaan pengadaan barang dan jasa yang menggunakan fasilitas Bridging Loan tidak selalu dikaitkan dengan tindak pidana korupsi selama dilakukan dengan prosedur yang benar dan tidak merugikan keungan Negara. Namun demikian adapun terjadi pelanggaran atau penyelewengan, seyogyanya dapat diproses secara perdata maupu pidana dengan penerapan sanksi yang adil.


(32)

B. Saran

1. Agar Pemerintah membentuk payung hukum terkait dengan praktik

Bridging Loan yang saat ini sangat diperlukan tidak hanya oleh instansti-instansi pemerintah saja tetapi juga sudah merabah kepada masyarakat yang membutuhkan dana, dan melakukan revisi peraturan-peraturan pemerintah tentang pengadaan barang dan jasa bahwa di dalamnya memperbolehkan para pihak untuk menggunakan fasilitas Bridging Loan.

2. Serta memberikan pelatihan kepada pihak-pihak yang akan melakukan

tender agar diberikan pemahaman tentang fasilitas Bridging Loan agar tidak masuk kedalam ranah publik yaiti tindak pidana korupsi.


(33)

DAFTAR PUSTAKA A. BUKU

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang & Jasa dan berbagai permasalahannya, Jakarta: Sinar Grafika

Adrian Sutedi, Hukum Perbankan , Jakarta: Sinar Grafika, 2008

Agus Kuncoro, langkah-langkah melaksanakan Pengadaan Barang /Jasa Pemerintah, Jakarta: Guskun, 2011

Albert Ryan, Buku Pegangan Pengadaan Barang dan Jasa, Jakarta: Gradien Mediatama

Amik Tri Istiami, Peraturan pengadaan barang dan jasa pemerintah, PERPRES 54, 35, 70 dan 172, Jakarta: Prima Print, 2010

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Graika, 2001

Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990

Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Menyelesaikan Masalah di Luar Pengadilan, Semarang: Pustaka Magister, 2008

Daud Busroh, Ilmu Negara, Cetakan Keenam, Jakarta: Bumu Akasara, 2009 Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum


(34)

Gunawan widjaja, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994

Haill, Types of bridging loan and how they compare to alternatives, Butterwoths: FT Adviser, 2013

Haill, Types of bridging loan and how they compare to alternatives, Butterwoths: FT Adviser, 2013

Hari Supriyanto, Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2008

Heldi Yudiatna, Cara Mudah Membaca Peraturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Jakarta: Gramedia, 2012

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Mandar Maju, 2004

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Mandar Maju, 2004

Kartini, Muljadi, Gunawan widjaja, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994

M. Abdul Kholiq, Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2002

M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986 Mudji Santosa, Kontrak Pengadaan Pemerintah , Jakarta: Prima Print, 2013 Mudjisantosa, Mudah memahami Pengadaan Barang dan Jasa Pemrintah,


(35)

Mudjisantosa, Pengadaan barang dan jasa di Indonesia, Jakarta:Citra Adytia Bakti, 2010

Philipus M. Hadjon , Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987

R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2004 R. Subekti, Aneka jaminan, Bandung: Citra Aditya Bakti , 1995 R.soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 R.Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1987

Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007

Samsul Ramli & Fahrurrazi, Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Jakarta: Visi Media Pustaka

Samsul Ramli, Bacaan Wajib Para Praktisi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Jakarta: Visi media, 2013

Samsul ramli, Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Jakarta, 2013

Samsul Ramli, Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Jakarta:Visi Media, 2011

Soeharyo Salamoen dan Nasri Effendy,Sistem Penyelenggaraan

Pemerintahan Negera Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta: Gramedia


(36)

Soerjono Soekanto, Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tindakan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, 1995

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 2007 Sugiyono, Metode Penlitian Bisnis, Bandung: Alfabeta, 2000

Suharnoko, Hukum perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Kencana, 2007

Suharnoko, Hukum perjanjian, Jakarta: Kencana, 2007 Suharnoko, Hukum Perjanjian, Jakarta: Kencana, 2009

Uti Ilmu Royen, Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/ Buruh Outsourcing, Bandung: Unpad, 2009

Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986 Yahya Harahap, Segi-segi hukum perjanjian, Bandung: Alumni, 1986

B. PERUNDANG-UNDANGAN

Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang-Undang Nomor 20 Tahun Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana

Korupsi

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi

Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Dasar 1945


(37)

C. LAMAN

http://edukasi.kompas.com/read/2014/08/13/14233791/Kasus.Perpustakaan.M antan.Warek.UI.Mengaku.Sudah.Kembalikan.Desktop.dan.iPad, di akses pada tanggal19 april 2015 pukul 20.43 wib

http://liputan6.com/news/read/2103630/saksi-sebut-anak-buah-gumilar-manipulasi-proyek-it-di-ui, di akses pada tanggal 06 mei 2015, pukul 20.32 wib

http://www.finansialplus.com/danatalanganbridging, diakses pada tanggal19 april 2015

http://www.ift.co.id/posts/garuda-peroleh-fasilitas-bridging-loan-us-400-juta,diakses pada tanggal 05 mei 2015


(1)

135

B. Saran

1. Agar Pemerintah membentuk payung hukum terkait dengan praktik Bridging Loan yang saat ini sangat diperlukan tidak hanya oleh instansti-instansi pemerintah saja tetapi juga sudah merabah kepada masyarakat yang membutuhkan dana, dan melakukan revisi peraturan-peraturan pemerintah tentang pengadaan barang dan jasa bahwa di dalamnya memperbolehkan para pihak untuk menggunakan fasilitas Bridging Loan.

2. Serta memberikan pelatihan kepada pihak-pihak yang akan melakukan tender agar diberikan pemahaman tentang fasilitas Bridging Loan agar tidak masuk kedalam ranah publik yaiti tindak pidana korupsi.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang & Jasa dan berbagai permasalahannya, Jakarta: Sinar Grafika

Adrian Sutedi, Hukum Perbankan , Jakarta: Sinar Grafika, 2008

Agus Kuncoro, langkah-langkah melaksanakan Pengadaan Barang /Jasa Pemerintah, Jakarta: Guskun, 2011

Albert Ryan, Buku Pegangan Pengadaan Barang dan Jasa, Jakarta: Gradien Mediatama

Amik Tri Istiami, Peraturan pengadaan barang dan jasa pemerintah, PERPRES 54, 35, 70 dan 172, Jakarta: Prima Print, 2010

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Graika, 2001

Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990

Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Menyelesaikan Masalah di Luar Pengadilan, Semarang: Pustaka Magister, 2008

Daud Busroh, Ilmu Negara, Cetakan Keenam, Jakarta: Bumu Akasara, 2009 Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum


(3)

Gunawan widjaja, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994

Haill, Types of bridging loan and how they compare to alternatives, Butterwoths: FT Adviser, 2013

Haill, Types of bridging loan and how they compare to alternatives, Butterwoths: FT Adviser, 2013

Hari Supriyanto, Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2008

Heldi Yudiatna, Cara Mudah Membaca Peraturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Jakarta: Gramedia, 2012

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Mandar Maju, 2004

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Mandar Maju, 2004

Kartini, Muljadi, Gunawan widjaja, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994

M. Abdul Kholiq, Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2002

M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986 Mudji Santosa, Kontrak Pengadaan Pemerintah , Jakarta: Prima Print, 2013 Mudjisantosa, Mudah memahami Pengadaan Barang dan Jasa Pemrintah,


(4)

Mudjisantosa, Pengadaan barang dan jasa di Indonesia, Jakarta:Citra Adytia Bakti, 2010

Philipus M. Hadjon , Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987

R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2004 R. Subekti, Aneka jaminan, Bandung: Citra Aditya Bakti , 1995 R.soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 R.Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1987

Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007

Samsul Ramli & Fahrurrazi, Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Jakarta: Visi Media Pustaka

Samsul Ramli, Bacaan Wajib Para Praktisi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Jakarta: Visi media, 2013

Samsul ramli, Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Jakarta, 2013

Samsul Ramli, Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Jakarta:Visi Media, 2011

Soeharyo Salamoen dan Nasri Effendy,Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negera Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta: Gramedia


(5)

Soerjono Soekanto, Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tindakan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, 1995

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 2007 Sugiyono, Metode Penlitian Bisnis, Bandung: Alfabeta, 2000

Suharnoko, Hukum perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Kencana, 2007

Suharnoko, Hukum perjanjian, Jakarta: Kencana, 2007 Suharnoko, Hukum Perjanjian, Jakarta: Kencana, 2009

Uti Ilmu Royen, Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/ Buruh Outsourcing, Bandung: Unpad, 2009

Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986 Yahya Harahap, Segi-segi hukum perjanjian, Bandung: Alumni, 1986

B. PERUNDANG-UNDANGAN

Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang-Undang Nomor 20 Tahun Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana

Korupsi

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi

Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Dasar 1945


(6)

C. LAMAN

http://edukasi.kompas.com/read/2014/08/13/14233791/Kasus.Perpustakaan.M antan.Warek.UI.Mengaku.Sudah.Kembalikan.Desktop.dan.iPad, di akses pada tanggal19 april 2015 pukul 20.43 wib

http://liputan6.com/news/read/2103630/saksi-sebut-anak-buah-gumilar-manipulasi-proyek-it-di-ui, di akses pada tanggal 06 mei 2015, pukul 20.32 wib

http://www.finansialplus.com/danatalanganbridging, diakses pada tanggal19 april 2015

http://www.ift.co.id/posts/garuda-peroleh-fasilitas-bridging-loan-us-400-juta,diakses pada tanggal 05 mei 2015


Dokumen yang terkait

Praktek Persekongkolan Tidak Sehat Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Dikaitkan Dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pembeantasan Tindak Pidana Korupsi

4 90 101

Analisis Hukum Terhadap Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Oleh Jaksa Penuntut Umum (Putusan Mahkamah Agung No.2642 K/Pid/2006)

0 37 127

GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 3 18

GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 4 15

Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Pengembalian Keuangan Negara Atas Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 6 42

PENEGAKAN...HUKUM....PIDANA…TERHADAP ..TINDAK.. .PIDANA GRATIFIKASI. MENURUT. UNDANG.UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG .UNDANG .NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 5 21

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PEMBERIAN SANKSI DI PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI MEDAN.

0 4 25

Putusan Bebas Terhadap UDdalam Kasus Tindak Pidana Korupsi Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi - Ubaya Repository

0 0 9

Pembuktian Terbalik Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 0 14

Praktek Persekongkolan Tidak Sehat Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Dikaitkan Dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pembeantasan Tindak Pidana Korupsi

0 0 35