BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Perubahan Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

  Budaya atau kebudayaan berasal dariyaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal- hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 1982:9). Dalam

  

colere , yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah

  tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

  Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai sebuah system, dimana system itu terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Dan hal ini berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun system tersendiri dalam kumpulan masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat (1987:98),”…kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar.”

  Setiap masyarakat memiliki kebudayaan masing-masing. Mayarakat Tionghoa sangat kaya akan kebudayaan tradisi dan kepercayaan. Mereka selalu melestarikan kebudayaan dari leluhur mereka terdahulu hingga saat ini. Apabila kita melihat suatu kegiatan budaya di kalangan masyarakat Tionghoa, kita sulit memisahkan dan membedakan dengan jelas apakah itu tradisi atau agama atau kepercayaan.

  Dari sekian banyak tradisi yang mereka miliki. Etnis Tionghoa mempunyai berbagai macam tradisi. Hingga saat ini masyarakat Tionghoa masih melestarikan tradisi bakar bakaran. Sama halnya dengan masyarakat Tionghoa baik yang berasal dari kota Bagansiapiapi maupun yang berada diluar kota Bagansiapiapi, sampai saat ini masih melaksanakan tradisi peninggalan leluhur yaitu tradisi ritual bakar Tongkang. Ritual pembakaran replika tongkang di kota Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) telah menjadi perhelatan akbar setiap tahun, diperkirakan ribuan masyarakat Tionghoa dari berbagai daerah datang untuk mengikuti tradisi ritual bakar tongkang ini.

  Bagansiapiapi adalah sebuah daerah di Indonesia yang pendudukya mayoritas bersuku China. Hal ini sebenarnya merupakan kenyataan yang cukup mencengangkan bagi masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, karena sebuah wilayah di Indonesia didominasi oleh etnik non-pribumi. Menurut cerita masyarakat Bagansiapiapi dari generasi ke generasi, nama Bagansiapiapi erat kaitannya dengan cerita awal kedatangan orang Tionghoa ke kota itu.

  Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan narasumber yang bernama bapak Khong ci dikatakan bahwa orang Tionghoa yang pertama sekali datang ke Bagansiapiapi berasal dari daerah Songkhla(Thailand). Mereka sebenarnya adalah perantau-perantau Tionghoa yang berasal dari Distrik Tong'an (Tang Ua) di Xiamen, wilayah Provinsi Fujian, Tiongkok Selatan. Terjadi konflik antara orang-orang Tionghoa dengan penduduk Songkhla, Thailand dan hal inilah menjadi penyebab terdamparnya mereka di Bagansiapiapi.

  Disebutkan bahwa orang-orang Tionghoa melakukan pelarian dengan menggunakan tiga perahu kayu (tongkang). Selama dalam perjalanan ketiga perahu tongkang tersebut banyak mengalami masalah sehingga hanya satu tongkang yang selamat. Tongkang yang selamat adalah tongkang yang dipimpin oleh Ang Mie Kui bersama 17 orang penumpang lainnya. Tongkang yang selamat ini kebetulan membawa serta patung Dewa Tai Sun Ong Ya yang diletakkan di bagian haluan dan patung Dewa Kie Ong Ya yang ditempatkan dalam magun/rumah tongkang.

  Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi, patung dewa Kie Ong Ya dan Tai Sun Ong Ya ini yang telah memberi keselamatan selama pelayaran itu. Setelah berhari-hari di lautan akhirnya mereka diberikan petunjuk oleh sang dewa, dari kejahuan mereka melihat cahaya api yang berkerlap-kerlip sebagai tanda adanya daratan. Cahaya api itu ternyata berasal dari kunang-kunang (siapiapi) yang bertebaran di antara hutan bakau yang tumbuh subur di tepi pantai.

  Di daerah tidak bertuan inilah mereka mendarat dan membangun tempat pemukiman baru yang kemudian dikenal dengan nama Bagansiapiapi.

  Para leluhur orang Tionghoa yang menemukan Bagansiapiapi, bertekad untuk berdiam disitu dan tidak kembali ke tempat asal mereka semula. Untuk itu, tongkang yang mereka pakai hingga bisa mendarat di daerah tersebut, akhirnya dibakar. Dengan demiki an, leluhur Tionghoa yang telah berada di Bagansiapiapi, tetap dapat tinggal di daerah tersebut untuk selamanya.

  Ritual Bakar Tongkang adalah upacara peringatan atas Dewa Laut Ki Ong

  

Ya dan Tai Su Ong yang merupakan sumber kekuatan atas dua sisi, yakni antara

  baik dan buruk, suka dan duka, serta rezeki dan malapetaka.Masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi percaya bahwa dewa Ki Ong Ya dan Tai Sun Ong Ya telah membawa para lelulur dengan selamat hingga sampai dan menetap di Kota Bagansiapiapi, setelah akibat terjadinya perang saudara di Tiongkok beberapa ratus tahun lalu.

  Bakar tongkang atau dalam istilah Tionghoa disebut "Go Ge Cap Lak", dapat diartikan dengan tanggal 15-16 bulan 5 tahun Imlek. Atas dasar inilah, tradisi bakar tongkang wajib dan harus dilaksanakan setiap tahunnya.

  Acara ritual bakar tongkang sendiri tidak langsung muncul ketika keluarga Ang mendaratkan kakinya di Bagansiapiapi. Acara bakar tongkang diperkirakan baru dikenal pada tahun 1920-an atau sekitar 100 tahun setelah pendaratan pertama. Ketika itu pelabuhan Bagansiapiapi telah menjadi pelabuhan yang sangat terkenal di Selat Malaka. Menurut hasil wawancara penulis dengan nara sumber yang bernama bapak Kong Ci dikatakan bahwa acara bakar tongkang merupakan wujud rasa terima kasih warga Tionghoa perantau untuk rezeki yang berlimpah, terutama kepada Dewa Kie Ong Ya yang telah memberi petunjuk.

  Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, acara bakar tongkang sempat menghilang. Penguasa Orde Baru kurang suka dengan acara yang dibuat oleh masyarakat yang menganut agama Khonghucu.

  Sejak era Presiden Abdurrahman Wahid, tradisi orang Tionghoa dari agama Khonghucu kembali hidup. Bagi warga Tionghoa di kota Bagan Siapi-api, perayaan ritual bakar tongkang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan perayaan Tahun Baru Imlek. Saat perayaan Tahun Baru Imlek banyak perantau Tionghoa yang tidak pulang, tetapi pada saat acara ritual bakar tongkang keinginan mudik jauh lebih besar.

  Nilai-nilai luhur dan kearifan sosialnya Go Ge Cap Lak mempererat tali persaudaraan dan kebersamaan serta kepedulian yang terus menyala dan menjadi tradisi pulang kampung untuk memuliakan sanak saudara, kerabat dan handai tolan Go Ge Cap Lak menjadi festival perayaan tradisi dan kepercayaan lokal yang memberi semangat spiritualitas untuk kehidupan bersama yang membentuk kesetiakawanan, peduli kepada sesama. Go Ge Cap Lak dapat dikatakan dapat merangkul leluhur secara spiritual baik berdasarkan pertalian darah maupun berdasarkan hubungan tradisi dan kepercayaan lokal.

  Tradisi bakar tongkang yang dilakukan setiap tahun mengalami perkembangan yang begitu pesat, bahkan berdampak pada perubahan makna pada ritual bakar tongkang itu sendiri. Bagi etnis Tionghoa Bagansiapiapi generasi yang sekarang, baik yang masih menetap dikota Bagansiapiapi maupun yang telah merantau keluar kota Bagansiapiapi kini sudah mulai kurang memahami makna sacral dibalik tradisi bakar Tongkang yang setiap tahunnya mereka lakukan. Bagi generasi sekarang Tradisi Bakar Tongkang kini hanyalah suatu tradisi yang dilakukan secara turun menurun. Adapun terdapat banyak faktor yang mempengaruhi perubahan makna Tradisi Ritual Bakar Tongkang itu sendiri. Oleh sebab itu untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang perubahan makna tradidi perayaan bakar tongkang pada masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi penulis berniat untuk melakukan suatu penelitian ilmiah yang memfokuskan tulisan ini pada perubahan makna tradisi perayaan bakar tongkang pada masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi sebagai penelitian.

  Dengan demikian penulis membuat judul penelitian ini “ Perubahan

  

Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang Pada Masyarakat Tionghoa Di

Kota Bagansiapiapi

1.2. Batasan Masalah

  Untuk menghindari batasan yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka penulis mencoba membatasi ruang lingkup penelitian pada kajian mengenai makna tradisi ritual bakar tongkang pada masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau.

  1.3. Rumusan Masalah

  Dari latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

  1. Bagaimana makna tradisi perayaan ritual bakar tongkang pada masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi ?

  2. Bagaimana perubahan makna tradisi perayaan ritual bakar tongkang pada generasi sekarang masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi dewasa ini?

  1.4. Tujuan Penelitian

  Secara khusus penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mendeskripsikan makna tradisi perayaan ritual bakar tongkang bagi masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi.

  2. Untuk mengetahui perubahan makna yang terjadi pada tradisi perayaan ritual bakar tongkang bagi generasi muda masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi.

  1.5. Manfaat Penelitian 1.

  Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi ataupun memberikan informasi bagi masyarakat secara umum maupun mahasiswa yang berminat terhadap tata cara dan makna dibalik tradisi bakar tongkang pada masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi.

  2. Dengan adanya penelitian ini diharapkan tradisi bakar tongkang dapat semakin dikenal oleh masyarakat luas sehingga membuat masyarakat luas tersebut tertarik untuk datang melihat langsung tradisi bakar tongkang ini sehingga pada akhirnya dapat memajukan pariwisata di kota Bagansiapiapi