Perubahan Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi

(1)

PERUBAHAN MAKNA TRADISI PERAYAAN BAKAR TONGKANG PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA BAGANSIAPIAPI

SKRIPSI SARJANA O

L E H

NAMA: ELY SOVITA

NIM: 080710021

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA PROGRAM STUDI SASTRA CINA

MEDAN 2012


(2)

PERUBAHAN MAKNA TRADISI PERAYAAN BAKAR TONGKANG PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA BAGANSIAPIAPI

SKRIPSI SARJANA O

L E H

NAMA: ELY SOVITA

NIM: 080710021

Disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dra.Farida Hanum Ritonga, MSP Chen Shu Shu MTSOL

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA PROGRAM STUDI SASTRA CINA

MEDAN 2012


(3)

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROGRAM STUDI SASTRA CINA KETUA,

Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. NIP.19630109 198803 2 001 Medan, Juni 2012


(4)

(5)

KATA PENGANTAR

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Juni 2012 Penulis,


(6)

(7)

ABSTRACT

This thesis is made to analyze the changing meaning of burning barge ceremony at Tionghoan’s community in Bagansiapiapi. In studying the meaning, the writer uses the semiotic theory by Barthes. In analyzing the changing meaning of burning barge ceremony, the writer uses the social and culture changing theory by Karl Marx. The research method which used is the qualitative research method based on field research, interview, observation, participant observer, and take a key person which considered knows well about this tradition. The scientific findings at this research are:

A. This ceremony done by the Tionghoan’s community of Bagansiapiapi is a form of thanksgiving to the Holy God Kie Ong ya and Tai Sun Ong Ya which is believed that the Gods have protected the ancestors until find Bagansiapiapi

B. Nowadays, the changing meaning of this tradition done tend to inheritable tradition and also as the tourism icon of Bagansiapi-api.

Keywords : Meaning, changing meaning, Burning Barge Ceremony Tradition, Tionghoan


(8)

KATA PENGANTAR

Pertama sekali penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan limpahan berkat dan kekuatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakulta Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara,Medan. Dengan judul skripsi : Perubahan Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi.

Untuk itu pada kesempatan kali ini, penulis hanya bisa mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak dan nama di bawah ini yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, diantaranya kepada :

1. Dr. H. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakulta Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A., selaku ketua Program Studi Sastra China Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Farida Hanum Ritongga, MSP., selaku dosen pembimbing I, yang telah member dukungan, masukan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini serta kesabaran membimbing penulis.

4. Laoshi Chen Shu Shu, MTSOL dan Laoshi Yu Xue Ling, M.A., Selaku dosen dari Jinan University yang selalu mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu staf pengajar Program Studi Sastra China Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengajaran selama penulis mengikuti perkuliahan.

6. Orang tua tercinta, ayahanda A.Siahaan,SH (Alm), dan ibunda N.Hutahaean yang setia mendampingi penulis saat menulis skripsi hingga larut malam, serta dukungan moral, materi, kasih saying dan doa yang selalu dilimpahkan kepada penulis.

7. Kakanda tercinta Arthur Siahaan,Ssi, Rotua Siahaan,AmKeb, Friska Siahaan,SH, yang tak luput memberikan semangat dan nasehat agar tidak pernah menyerah dalam penyusunan skripsi ini.


(9)

8. Sahabat tercinta Reny Syafrida,SS, Yoan silviana,SS, Taufik Akbar,S.Ked, terimakasih atas kebersamaan kita, suka cita yang telah kita lalui bersama dan semua cerita yang telah kita ukir bersama hingga pada saatnya kita semua menyandang gelar sarjana.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun untuk menyempurnakan skripsi ini.

Medan, Juni 2012 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK I

KATA PENGANTAR Ii

DAFTAR ISI Iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah………... 1 1.2 Batasan Masalah………. 6 1.3 Rumusan Masalah………... 7 1.4 Tujuan Penelitian……… 1.5 Manfaat Penelitian……….. 7 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP , LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep………

9 2.1.1. Tradisi Ritual Bakar

Tongkang……….

9 2.1.2. Masyarakat

Tionghoa………..

11 2.2. Landasan

Teori……….

12 2.3. Tinjauan

Pustaka………...

16

BAB III Metode Penelitian 3.1 Metodologi Penelitian………... 17 3.1.1. Pendekatan……….. 17 3.1.2. Teknik Pengumpulan 18


(11)

3.1.3. Teknik Analisis Data……….. 19 3.1.3.1. Wawancara……… 19 3.1.3.2. Observasi………... 20

BAB III METODE PENELITIAN 17

3.1 Metodologi Penelitian……… 17 3.1.1. Pendekatan………... 17 3.1.2. Teknik Pengumpulan

Data………..

18 3.2.3. Teknik Analisis

Data……… 3.2.3.1. Wawancara……….. 19 3.2.3.2. Observasi……… 20 3.2. 3.3. Studi

Kepustakaan……….

20 3.3. Data dan Sumber

Data………

21 3.4. Teknik Analisis

Data……….

22

3.5. Lokasi

Penelitian………..

BAB IV PEMBAHASAN

23

4.1. Masyarakat Tionghoa di Bagansiapiapi………. 24 8.2. Bakar Tongkang………. 4.2.1. Sejarah Bakar

Tongkang……….

26 8.3. Makna Bakar

Tongkang………..

29 4.3.1. Nilai Tradisi Dan Kepercayaan


(12)

Lokal………..

4.3.1.1. Prosesi Ritual Tanki………

30 4.3.1.2. Makna Peran

Tanki……… 34 4.3.2. Perayaan Kehidupan………. 41 8.4. Perubahan Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang

Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi……….

42

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan……… 45 5.2 Saran……….. 48

Daftar Pustaka 49

Buku dan artikel 50

Internet 50


(13)

ABSTRACT

This thesis is made to analyze the changing meaning of burning barge ceremony at Tionghoan’s community in Bagansiapiapi. In studying the meaning, the writer uses the semiotic theory by Barthes. In analyzing the changing meaning of burning barge ceremony, the writer uses the social and culture changing theory by Karl Marx. The research method which used is the qualitative research method based on field research, interview, observation, participant observer, and take a key person which considered knows well about this tradition. The scientific findings at this research are:

A. This ceremony done by the Tionghoan’s community of Bagansiapiapi is a form of thanksgiving to the Holy God Kie Ong ya and Tai Sun Ong Ya which is believed that the Gods have protected the ancestors until find Bagansiapiapi

B. Nowadays, the changing meaning of this tradition done tend to inheritable tradition and also as the tourism icon of Bagansiapi-api.

Keywords : Meaning, changing meaning, Burning Barge Ceremony Tradition, Tionghoan


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Budaya atau kebudayaan berasal daribuddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 1982:9).

Dalamculture, yang berasal dari kat

colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai sebuah system, dimana system itu terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Dan hal ini berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun system tersendiri dalam kumpulan masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat (1987:98),”…kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar.”

Setiap masyarakat memiliki kebudayaan masing-masing. Mayarakat Tionghoa sangat kaya akan kebudayaan tradisi dan kepercayaan. Mereka selalu melestarikan kebudayaan dari leluhur mereka terdahulu hingga saat ini. Apabila


(15)

kita melihat suatu kegiatan budaya di kalangan masyarakat Tionghoa, kita sulit memisahkan dan membedakan dengan jelas apakah itu tradisi atau agama atau kepercayaan.

Dari sekian banyak tradisi yang mereka miliki. Etnis Tionghoa mempunyai berbagai macam tradisi. Hingga saat ini masyarakat Tionghoa masih melestarikan tradisi bakar bakaran. Sama halnya dengan masyarakat Tionghoa baik yang berasal dari kota Bagansiapiapi maupun yang berada diluar kota Bagansiapiapi, sampai saat ini masih melaksanakan tradisi peninggalan leluhur yaitu tradisi ritual bakar Tongkang. Ritual pembakaran replika tongkang di kota Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) telah menjadi perhelatan akbar setiap tahun, diperkirakan ribuan masyarakat Tionghoa dari berbagai daerah datang untuk mengikuti tradisi ritual bakar tongkang ini.

Bagansiapiapi adalah sebuah daerah di Indonesia yang pendudukya mayoritas bersuku China. Hal ini sebenarnya merupakan kenyataan yang cukup mencengangkan bagi masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, karena sebuah wilayah di Indonesia didominasi oleh etnik non-pribumi. Menurut cerita masyarakat Bagansiapiapi dari generasi ke generasi, nama Bagansiapiapi erat kaitannya dengan cerita awal kedatangan orang Tionghoa ke kota itu. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan narasumber yang bernama bapak Khong ci dikatakan bahwa orang Tionghoa yang pertama sekali datang ke Bagansiapiapi berasal dari daerah Songkhla(Thailand). Mereka sebenarnya adalah perantau-perantau Tionghoa yang berasal dari Distrik Tong'an (Tang Ua) di Xiamen, wilayah Provinsi Fujian, Tiongkok Selatan. Terjadi konflik antara


(16)

orang-orang Tionghoa dengan penduduk Songkhla, Thailand dan hal inilah menjadi penyebab terdamparnya mereka di Bagansiapiapi.

Disebutkan bahwa orang-orang Tionghoa melakukan pelarian dengan menggunakan tiga perahu kayu (tongkang). Selama dalam perjalanan ketiga perahu tongkang tersebut banyak mengalami masalah sehingga hanya satu tongkang yang selamat. Tongkang yang selamat adalah tongkang yang dipimpin

oleh Ang Mie Kui bersama 17 orang penumpang lainnya. Tongkang yang selamat

ini kebetulan membawa serta patung Dewa Tai Sun Ong Ya yang diletakkan di bagian haluan dan patung Dewa Kie Ong Ya yang ditempatkan dalam magun/rumah tongkang.

Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi, patung dewa Kie Ong Ya dan Tai Sun Ong Ya ini yang telah memberi keselamatan selama pelayaran itu. Setelah berhari-hari di lautan akhirnya mereka diberikan petunjuk oleh sang dewa, dari kejahuan mereka melihat cahaya api yang berkerlap-kerlip sebagai tanda adanya daratan. Cahaya api itu ternyata berasal dari kunang-kunang (siapiapi) yang bertebaran di antara hutan bakau yang tumbuh subur di tepi pantai. Di daerah tidak bertuan inilah mereka mendarat dan membangun tempat pemukiman baru yang kemudian dikenal dengan nama Bagansiapiapi.

Para leluhur orang Tionghoa yang menemukan Bagansiapiapi, bertekad untuk berdiam disitu dan tidak kembali ke tempat asal mereka semula. Untuk itu, tongkang yang mereka pakai hingga bisa mendarat di daerah tersebut, akhirnya dibakar. Dengan demiki


(17)

an, leluhur Tionghoa yang telah berada di Bagansiapiapi, tetap dapat tinggal di daerah tersebut untuk selamanya.

Ritual Bakar Tongkang adalah upacara peringatan atas Dewa Laut Ki Ong Ya dan Tai Su Ong yang merupakan sumber kekuatan atas dua sisi, yakni antara baik dan buruk, suka dan duka, serta rezeki dan malapetaka.Masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi percaya bahwa dewa Ki Ong Ya dan Tai Sun Ong Ya telah membawa para lelulur dengan selamat hingga sampai dan menetap di Kota Bagansiapiapi, setelah akibat terjadinya perang saudara di Tiongkok beberapa ratus tahun lalu.

Acara ritual bakar tongkang sendiri tidak langsung muncul ketika keluarga Ang mendaratkan kakinya di Bagansiapiapi. Acara bakar tongkang diperkirakan baru dikenal pada tahun 1920-an atau sekitar 100 tahun setelah pendaratan pertama. Ketika itu pelabuhan Bagansiapiapi telah menjadi pelabuhan yang sangat terkenal di Selat Malaka. Menurut hasil wawancara penulis dengan nara sumber yang bernama bapak Kong Ci dikatakan bahwa acara bakar tongkang merupakan wujud rasa terima kasih warga Tionghoa perantau untuk rezeki yang berlimpah, terutama kepada Dewa Kie Ong Ya yang telah memberi petunjuk.

Bakar tongkang atau dalam istilah Tionghoa disebut "Go Ge Cap Lak", dapat diartikan dengan tanggal 15-16 bulan 5 tahun Imlek. Atas dasar inilah, tradisi bakar tongkang wajib dan harus dilaksanakan setiap tahunnya.


(18)

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, acara bakar tongkang sempat menghilang. Penguasa Orde Baru kurang suka dengan acara yang dibuat oleh masyarakat yang menganut agama Khonghucu.

Sejak era Presiden Abdurrahman Wahid, tradisi orang Tionghoa dari agama Khonghucu kembali hidup. Bagi warga Tionghoa di kota Bagan Siapi-api, perayaan ritual bakar tongkang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan perayaan Tahun Baru Imlek. Saat perayaan Tahun Baru Imlek banyak perantau Tionghoa yang tidak pulang, tetapi pada saat acara ritual bakar tongkang keinginan mudik jauh lebih besar.

Nilai-nilai luhur dan kearifan sosialnya Go Ge Cap Lak mempererat tali persaudaraan dan kebersamaan serta kepedulian yang terus menyala dan menjadi tradisi pulang kampung untuk memuliakan sanak saudara, kerabat dan handai tolan Go Ge Cap Lak menjadi festival perayaan tradisi dan kepercayaan lokal yang memberi semangat spiritualitas untuk kehidupan bersama yang membentuk kesetiakawanan, peduli kepada sesama. Go Ge Cap Lak dapat dikatakan dapat merangkul leluhur secara spiritual baik berdasarkan pertalian darah maupun berdasarkan hubungan tradisi dan kepercayaan lokal.

Tradisi bakar tongkang yang dilakukan setiap tahun mengalami perkembangan yang begitu pesat, bahkan berdampak pada perubahan makna pada ritual bakar tongkang itu sendiri. Bagi etnis Tionghoa Bagansiapiapi generasi yang sekarang, baik yang masih menetap dikota Bagansiapiapi maupun yang telah merantau keluar kota Bagansiapiapi kini sudah mulai kurang memahami makna sacral dibalik tradisi bakar Tongkang yang setiap tahunnya mereka lakukan. Bagi


(19)

generasi sekarang Tradisi Bakar Tongkang kini hanyalah suatu tradisi yang dilakukan secara turun menurun. Adapun terdapat banyak faktor yang mempengaruhi perubahan makna Tradisi Ritual Bakar Tongkang itu sendiri. Oleh sebab itu untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang perubahan makna tradidi perayaan bakar tongkang pada masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi penulis berniat untuk melakukan suatu penelitian ilmiah yang memfokuskan tulisan ini pada perubahan makna tradisi perayaan bakar tongkang pada masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi sebagai penelitian.

Dengan demikian penulis membuat judul penelitian ini “ Perubahan Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi

1.2. Batasan Masalah

Untuk menghindari batasan yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka penulis mencoba membatasi ruang lingkup penelitian pada kajian mengenai makna tradisi ritual bakar tongkang pada masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau.


(20)

1.3. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana makna tradisi perayaan ritual bakar tongkang pada masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi ?

2. Bagaimana perubahan makna tradisi perayaan ritual bakar tongkang pada generasi sekarang masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi dewasa ini?

1.4. Tujuan Penelitian

Secara khusus penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mendeskripsikan makna tradisi perayaan ritual bakar tongkang bagi masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi.

2. Untuk mengetahui perubahan makna yang terjadi pada tradisi perayaan ritual bakar tongkang bagi generasi muda masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi ataupun memberikan informasi bagi masyarakat secara umum maupun mahasiswa yang berminat terhadap tata cara dan makna dibalik tradisi bakar tongkang pada masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi.


(21)

2. Dengan adanya penelitian ini diharapkan tradisi bakar tongkang dapat semakin dikenal oleh masyarakat luas sehingga membuat masyarakat luas tersebut tertarik untuk datang melihat langsung tradisi bakar tongkang ini sehingga pada akhirnya dapat memajukan pariwisata di kota Bagansiapiapi


(22)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep

Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian (Singarimbun, 1989: 33). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Poerwadarminta sebagai editor (1995:456) dikatakan bahwa, konsep diartikan sebagai rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian kongkret, gambaran mental dari objek apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal hal lain

Dalam hal ini, defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar. Selain itu adalah untuk menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian.

2.1.1. Tradisi Ritual Bakar Tongkang

Tradisi Bakar Tongkang memiliki sejarah panjang, merupakan salah satu unsur tradisi dan kepercayaan lokal yang menjadi suatu kebudayaan daerah dan nasional. Indonesia adalah negara mempunyai tingkat pluralitas yang tinggi terhadap pemahaman tradisi dan kepercayaan lokal yang dianut sebagian elemen masyarakat. Bangsa Indonesia hidup dalam masyarakat plural (majemuk) artinya


(23)

kebudayaannya, ganda dalam prilaku kehidupan kemasyarakatannya, tetapi bersatu dalam satu bangsa dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika menunjukkan ciri keragaman kehidupan Bangsa Indonesia, yang sesungguhnya berbeda-beda tetapi dalam satu kesatuan juga.

Salah satu tradisi dan kepercayaan lokal pada kelompok masyarakat Indonesia Tionghoa Bagansiapiapi di Provinsi Riau, Kabupaten Rokan Hilir telah ada sepanjang abad lamanya yaitu upacara tradisi ritual Bakar Tongkang yang dilakukan secara rutin pada bulan kelima penanggalan Imlek tanggal 16 disebut

Go Ge Cap Lak. Ritual diadakan pada setiap tahun. Ritual hanyalah salah satu sarana menyentuh dan membangun semangat Komunitas Tionghoa di Bagansiapiapi untuk pulang kampung. Perayaan tradisi Ritual Bakar Tongkang merupakan tradisi dan kepercayaan masyarakat Indonesia Tionghoa Bagansiapiapi. Penyelenggaraan tradisi Ritual Bakar Tongkang tiap tahunnya sangatlah semarak. Kekhasan Go Ge Cap Lak terletak pada ritual Bakar Tongkang yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah kehadiran warga Tionghoa di Bagansiapiapi. Ritual ini juga berkaitan dengan kelenteng Ing Hok Kiong

merupakan tempat pemujaan sekaligus penghormatan terhadap Dewa Kie Ong Ya

dan Dewa Tai Sun Ong Ya sebagai manifestasi dewa keselamatan dan kesejahteraan bagi warga Indonesia Tionghoa Bagansiapiapi.


(24)

2.1.2 Masyarakat Tionghoa

Suku bangsa Tionghoa di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang

(Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut

Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人, hanyu pinyin: hanren, "orang Han").

Leluhur orang Tionghoa - Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan - catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan - kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti - dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.

Setelah Negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.


(25)

2.2 Landasan Teori

Teori merupakan yang alat terpenting dari suatu pengalaman. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian didalam ilmu pengetahuan.

Sebagai pedomaan dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan adalah seperti teori yang akan diuraikan sebagai berikut:

Dalam membahas Perubahan Makna Tradisi Bakar Tongkang Pada Mayarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi, secara lebih mendetail, penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Semiotik berasal dari kata Yunani,yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap mewakii sesuatu objek secara respresentative. Istilah semiotic sering digunakan bersama dengan istilah semiologi.Istilah pertama merujuk pada sebuah displin sedangkan istilah kedua merefer pada ilmu tentangnya. Baik semiotic atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung di mana istilah itu popular.(Endaswara,2008:64)

Menurut Barthes dalam (Kusumarini : 2006),”denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan pertanda pada


(26)

pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan pertanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplesit,tidak langsung,dan tidak pasti”.

Barthes adalah penerus pemikiran Saussure.Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna,tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bias saja menyampaikan makna yang berbeda pada oranng yang berbeda situasinya.

Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan cultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman cultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung sausure.

Untuk mengkaji Perubahan Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi penulis juga menggunakan teori perubahan sosial. Teori mengenai perubahan sosial sering mempersoalkan perbedaan antara perubahan sosial dengan perubahan kebudayaan. Kingsley David berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup bagian kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, dan filsafat. Pengertian kebudayaan itu mencakup segenap cara berfikir, tingkah laku yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran atau ide secara simbolis. Jadi


(27)

menurut Kingsley David kebudayaan adalah suatu kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan kesenian, moral, adat-istiadat, dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai masyarakat. Maka perubahan-perubahan kebudayaan adalah setiap dari unsur-unsur tersebut. Perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai suatu aspek yang sama yaitu keduanya bersangkut-paut dengan suatu penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya. Dewasa ini proses-proses pada perubahan sosial dapat diketahui dari adanya cirri-ciri tertentu antara lain tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya, karena setiap masyarakat mengalami perubahan yang terjadi secara lambat atau secara cepat. Secara sosiologis, agar perubahan dapat terjadi, maka harus dipenuhi syarat-syarat tertentu antara lain harus ada keinginan untuk mengadakan suatu perubahan. Di dalam masyarakat harus ada perasaan tidak puas terhadap keadaan, dan harus ada suatu keinginan untuk mencapai perbaikan dengan perubahan keadaan tersebut. Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri. Itu mungkin terjadi karena kebudayaan dari masyarakat lain melancarkan pengaruhnya. Dengan kata lain, hubungan yang dilakukan secara fisik antara dua masyarakat mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan pengaruh timbal-balik. Artinya, masing- masing masyarakat mempengaruhi masyarakat lainnya, tetapi juga menerima pengaruh dari masyarakat yang lain itu. Apabila salah satu dari dua kebudayaan yang bertemu mempunyai taraf teknologi yang lebih tinggi, maka yang terjadi adalah proses imitasi yaitu peniruan terhadap unsur-unsur kebudayaan lain.


(28)

Mula-mula unsur-unsur tersebut ditambahkan pada kebudayaan asli. Akan tetapi lambat-laun unsur-unsur kebudayaan aslinya diubah dan diganti oleh unsur-unsur kebudayaan asing tersebut.

Salah satu faktor yang mendorong jalannya proses perubahan adalah kontak dengan kebudayaan lain. Salah satu proses yang menyangkut hal ini adalah

diffusion atau difusi. Difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu kepada individu lain. Dengan proses tersebut manusia mampu untuk menghimpun penemuan-penemuan baru yang telah diterima oleh masyarakat, dapat diteruskan dan disebarkan pada masyarakat luas sampai umat manusia di dunnia dapat menikmati kegunaannya. Proses tersebut merupakan pendorong pertumbuhan suatu kebudayaan yang baru dan memperkaya kebudayaan-kebudayaan masyarakat manusia. ( Kingsley David dalam Soekanto,1990 ; 337 – 361 )


(29)

2.1.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat, sesudah menyelidiki atau mempelajari (KBBI, 2003:912). Pustaka adalah kitab-kitab; buku; buku primbon (KBBI,2003:912).

Brigjen TNI (Pur) Tedy Jusuf, (2000): Sekilas Budaya Tionghoa Indonesia. Buku ini menjelaskan tentang budaya dan adat istiadat Tionghoa yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.

Sudarno M, (2005): Gema Proklamasi Kemerdekaan RI dalam peristiwa Bagansiapiapi. Dimana dalam buku ini dikatakan Bagansiapiapi adalah sebuah daerah di Indonesia yang penduduknya mayoritas beretnis Tionghoa. Masyarakat Tionghoa pertama kali datang ke Bagansiapiapi pada tahun 1872 dengan menggunakan dua perahu (tongkang),menurut sejarah hanya satu perahu yang akhirnya tiba dan menetap di Bagansiapiapi yaitu perahu yang berisikan 18 orang marga Ang yang memang berada di perahu tersebut. Perahu yang lain kemungkinan besar tenggelam karena perjalanan mereka tertimpa badai.

Rohil (2008) Visit Bagansiapiapi, dimana dalam buku ini dikatakan bahwa tradisi Bakar Tongkang dilakukan untuk menghormati dan mensyukuri kemakmuran dan keselamatan yang mereka peroleh dari hasil laut sebagai mata pencaharian utama masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi, maka mereka membakar wangkang (tongkang) yang dilakukan setiap tahun.


(30)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metodologi Penelitian

3.1.1. Pendekatan

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian perubahan makna tradisi perayaan Bakar Tongkang pada masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi melalui antropologi budaya dengan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif, bertujuan menjelaskan secara tepat sifat sifat individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekwensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala yang lain dalam masyarakat. Dalam hal ini mungkin sudah ada hipotesa-hipotesa, mungkin juga belum, tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah bersangkutan (Koentjaningrat,1991:29).

Sedangkan menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), penelitian yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisa suatu keadaan atau status fenomena secara


(31)

sistematis dan akurat mengenai fakta dari perubahan makna tradisi perayaan Bakar Tongkang.

3.1.2. Tekhnik Pengumpulan Data

Langkah dalam tehnik pengumpulan data ini adalah melalui metode : Wawancara, Observasi Lapangan dan Studi kepustakaan.

Sebelum tehnik wawancara dilakukan, peneliti membuat pedoman wawancara yang sesuai dengan pertanyaan yang diberikan kepada beberapa tokoh masyarakat Tionghoa. Untuk mengumpulkan data pertama penulis menemui informan yaitu seorang tokoh adat Tionghoa. Penulis datang dan bertanya langsung tentang tradisi Bakar Tongkang. Kemudian sang informan menjelaskan secara keseluruhan tentang tradisi Bakar Tongkang. Dari hasil wawancara ini diperoleh keterangan tentang tradisi Bakar Tongkang.

Penulis juga menemui sekelompok anak muda berketurunan Tioghoa. Dimana mereka merupakan masyarakat asli kota Bagansiapiapi yang kini telah merantau keberbagai daerah namun secar khusus datang ke Bagansiapiapi hanya untuk merayakan tradisi ritual Bakar Tongkang yang telah mereka lakukan sejak dahulu secara turun menurun. Secara langsung penulis mengajukan pertanyaan pertanyaan yang sesuai dengan objek penelitian penulis.

Maka untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian skripsi ini penulis mengunjungi kelenteng Ing Hok Kiong di jalan Kelenteng kota Bagansiapiapi. Dimana kelenteng Ing Hok Kiong merupakan kelenteng tertua


(32)

yang didirikan oleh pelayar yang datang ke kota Bagansiapiapi, sebagai wujud syukur dan terimakasih terhadap dewa King Ong Ya dan Tai Sun Ong Ya. Di kelenteng Ing Hok Kiong penulis bertemu dengan Bapak Ahe. Dimana beliau adalah pengurus kelenteng. Dari beliau penulis menemukan bayak informasi mengenai makna tradisi ritual Bakar Tongkang.

3.1.3. Teknik Analisis Data 3.1.3.1 Wawancara

Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah tehnik wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung kepada subjek penelitian. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada pendapat Koentjaraningrat (1981:136) yang mengatakan, “…kegiatan wawancara secara umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: persiapan wawancara, tehnik bertanya dan pencatat data hasil wawancara.”

Dalam studi ini penulis melakukan penelitian terhadap beberapa masyarakat Tionghoa dan pemuka adat masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi. Penulis menggunakan metode wawancara terutama dengan informan kunci yaitu orang yang banyak mengetahui dan mengerti tentang ritual Bakar Tongkang.

Metode wawancara yang penulis gunakan adalah:


(33)

daftar pertanyaan, namun penulis menggunakan suatu pedoman yang berisikan garis besar pokok masalah yang ingin penulis peroleh informasinya.

2. Wawancara sambil lalu atau Casual Interview. Bentuk wawancara ini penulis gunakan juga terhadap beberapa generasi muda berketrunan Tionghoa yang mengikuti tradisi ritual Bakar Tongkang.

3.1.3.2Observasi

Observasi atau pengamatan, dapat berarti setiap kegiatan untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan yang juga berati tidak melakukan pertanyaan-pertanyaan (Soehartono, 1955:69). Dalam mengumpulkan data salah satu tehnik yang cukup baik untuk diterapkan adalah pengamatan secara langsung/observasi terhadap subyek yang akan diteliti.

Dalam penelitian ini penulis hanya mengadakan dua kali pengamatan/observasi langsung ke kota Bagansiapiapi. Dimana pada saat satu bulan sebelum dilaksanakannya ritual Bakar Tongkang dan pada saat tradisi Ritual Bakar Tongkang berlangsung.

3.1.3.3 Studi Kepustakaan

Untuk mencari tulisan-tulisan pendukung, sebagai kerangka landasan berfikir dalam tulisan ini, adapun yang dilakukan adalah studi kepustakaan. Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaan, guna


(34)

hasil wawancara. Sumber bacaan atau literatur ini dapat berasal dari penelitian terdahulu dimana berupa artikel - artikel.

3.2 Data dan Sumber Data

Di dalam setiap penelitian, data menjadi patokan yang sangat penting bagi setiap penulis untuk menganalisis masalah yang dikemukakan. Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data yang dipakai pada perayaan ritual Bakar Tongkang. Data-data yang digunakan diperoleh dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer tersebut adalah sebagai berikut:

Sumber Data Primer : Kong Ci

Profesi : Pengusaha Walet

Alamat : Jln. Sumatera Laut no 88 Bagansiapiapi Kabupaten Rokan Hilir

Sumber Data Primer : Bapak Ahe

Profesi : Pengurus kelenteng

Alamat : Jl. Kelenteng no.42 Bagansiapiapi


(35)

3.3 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk memperdalam atau menginterpretasikan secara spesifik dalam rangka menjawab seluruh pertanyaan.

Adapun proses yang dilakukan adalah:

1. Mewawancarai beberapa masyarakat Tionghoa dan beberapa tokoh masyarakat Tionghoa, untuk memudahkan penulis untuk mengerjakan tulisan ini, serta mendapatkan informasi tentang tradisi perayaan ritual Bakar Tongkang .

2. Mengumpulkan buku-buku atau jurnal-jurnal yang diharapkan dapat mendukung tulisan ini kemudian memilih data yang dianggap paling penting dan penyusunannya secara sistematis.

3. Berdasarkan data-data yang diambil, lalu penulis dapat membuat kesimpulan dari hasil yang diteliti dalam proses jalannya membuat penelitian ini.

3.4.Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di beberapa tempat di Kota Bagansiapiapi khususnya di kelenteng Ing Hok Kiong. Pemilihan lokasi penelitian ini, karena kelenteng Ing Hok Kiong merupakan tempat dimana diadakannya perayaan ritual Bakar Tongkang, sehingga penulis lebih mudah untuk mewawancarai masyarakat Tionghoa.


(36)

Bab IV Pembahasan

4.1. Masyarakat Tionghoa kota Bagansiapiapi

Bagansiapiapi memiliki komunitas masyarakat Tionghoa yang sangat besar. Menurut data yag penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik kota Bagansiapiapi komunitas Tionghoa di Bagansiapiapi sebagian besar merupakan suku Hokkian, di mana leluhurnya sebagian besar berasal dari Distrik Tong'an (Tang Ua) di Xiamen, provinsi Fujian, Tiongkok Selatan. Komunitas Tionghoa lainnya di Bagansiapiapi dengan jumlah cukup signifikan adalah berasal dari suku Tiociu, sedangkan dari suku Khek (Hakka), Hailam (Hainan) dan Konghu dapat dijumpai dalam jumlah yang relatif lebih sedikit.

Etnis china di Bagansiapiapi terkenal sebagai suku yang gigih, pekerja keras, ulet, penemu resep makanan yang lezat, suka berjudi, namun hemat dan lebih mengedepankan hubungan kerja. Mereka mengingatkan kita pada kebesaran Jengis Khan dan Timur Leng, namun mereka mempunyai selera kuliner yang tinggi, kehalusan budaya dan kepatuhan pada peraturan. Banyak tokoh informal China yang lahir dan besar di kota Bagansiapiapi. Mereka dapat menjadi contoh bagi kita dalam membentuk rasa persaudaraan yang kental dan kesetiakawanan. Kemampuan mereka dalam mengolah bahan baku menjadi produk bernilai tinggi seharusnya menjadi acuan kita dalam membangun negeri ini. Syukurlah, bahwa etnis China di Bagansiapiapi ini adalah bagian dari bangsa kita. Tidak sulit untuk belajar pada mereka bagaimana membangun negara ini dengan kegigihan dan kerja keras, asal kita menempatkan mereka berdiri sejajar, mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tidak dikurangi atau dilebihkan. Rentang waktu, akan terbukti bahwa etnik China di Bagansiapiapi akan menjadi aset berharga yang mengharumkan nama bangsa. (Sudarno M; 2005, 12)


(37)

perkumpulan marga Tionghoa, lengkap dengan kelentengnya masing - masing, di mana dari perkumpulan - perkumpulan marga inilah kebudayaan Tionghoa tetap terpelihara di Bagansiapiapi meskipun dibatasi pada masa rezim Orde Baru.

Perkumpulan-perkumpulan marga tersebut di antaranya adalah Perkumpulan Marga Ang Liok Kui Tong / Yayasan Sosial Marga Sad Eka (六桂堂), Perkumpulan Marga Ng Kang Ha Tong / Yayasan Samvara Dharma Wijaya (江夏堂/黃氏宗親會), Perkumpulan Marga Tan Ying Chuan Tong

(陳氏穎川堂), Perkumpulan Marga Lim Kiu Ling Tong (九龍堂), Perkumpulan

Marga Coa Cei Yong Tong (濟陽堂), Perkumpulan Marga Gui, Perkumpulan Marga Kho / Yayasan Panca Bina Dharma Citra, Perkumpulan Marga Li, Perkumpulan Marga Yeo, Perkumpulan Suku Tiociu Han Kang/Yayasan Mulia Dharma Abadi (韓江公會), dan sebagainya.

Jumlah masyarakat Tionghoa dikota Bagansiapiapi setiap tahunnya mengalami perubahan, dikarenakan kebiasaan dari masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi dimana setelah lulus Sekolah Menengah Atas mereka akan merantau disuatu tempat dan mencoba peruntungan dikota tersebut, setelah merasa berhasil masyarakat Tionghoa perantauan akan membawa keluarga yang masih berdomisili di kota Bagansiapiapi untuk hijrah ke perantauan begitu juga sebaliknya. Dimana masyarakat Tionghoa dari kota lain juga banyak yang memilih untukberdomisili di kota Bagansiapiapi membawa serta seluruh keluarganya.

Disini penulis melampirkan jumlah penduduk masyarakat Tionghoa dikota Bagansiapiapi yang penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik kota Bagansiapiapi berupa hasil sensus pendudu pada Tahun 2010.


(38)

Di Kecamatan Bangko

Etnis Tiong Hoa

Kelurahan

Jenis Kelamin

Jumlah

L P

Bagan Hulu 330 267 597 Bagan Timur 575 539 1,114 Bagan Kota 1,696 1,566 3,262 Bagan Barat 1,953 1,888 3,841 Bagan Jawa 215 193 408 Jumlah 4,769 4,453 9,222 Sumber : Sensus Penduduk 2010

4.2. Bakar Tongkang

4.2.1. Sejarah Bakar Tongkang

Menurut data yang penulis peroleh dari Humas Pemkab Rokan Hilir, dikatakan bahwa Bakar Tongkang diperkirakan sudah dilaksanakan sejak tahun 1820 lalu. Bagi masyarakat Bagansiapiapi,Rokan Hilir, terutama bagi masyarakat Tionghoa, Bakar Tongkang mempunyai nilai sejarah yang tak akan lekang dimakan waktu. Karena itu tradisi ini terus dipelihara dari generasi ke generasi.

Menurut penuturan staf Humas Pemkab Rohil bapak Syahdan, dikatakan Ritual Bakar Tongkang tidak dapat dipisahkan dari kehadiran masyarakat Tionghoa dari provinsi Fujian – China. Menggunakan tiga kapal kayu yang disebut wang kang atau tongkang. Mereka orang Tiongkok yang migrasi ke Desa Songkla di Thailand pada tahun 1825. Masa migrasi di Thailand tidak berlangsung lama. Orang Tiongkok pendatang dimusuhi penduduk asli hingga terjadi kerusuhan. Karena sadar keberadaan mereka membawa pertikaian, mereka pun pergi. Kemudian mereka berlayar menggunakan tiga kapal mencari tempat


(39)

Saat dalam kebimbangan dan kehilangan arah, mereka berdoa kepada

Dewa Kie Ong Ya yang saat itu berada di kapal tersebut agar dapat memberikan penuntun arah menuju daratan. Tidak lama, pada keheningan malam tiba – tiba mereka melihat cahaya samar – samar . Mereka yakin dimana ada cahaya, disitulah ada daratan. Mereka mengikuti arah cahaya, hingga sampai di daratan Selat Malaka.

Pejuang masyarakat Tionghoa yang merantau sebanyak 18 orang yaitu Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bun Ping, An Un Siong, Ang Sien In, Ang Se Jian dan Ang Tjie Tui. Mereka inilah kemudian dianggap sebagai leluhur di Bagansiapiapi.

Keesokan harinya, mereka melihat di sungai banyak ikan, begitu juga dilaut. Dengan penuh sukacita mereka menangkap ikan untuk kebutuhan hidup. Mulailah mereka bertahan hidup di tanah Bagansiapiapi. Bagi mereka yang menemukan daerah tempat tinggal yang lebih baik, segera mengajak keluarga dari negeri tirai bambu datang ke Bagansiapiapi. Sehingga jumlah masyarakat Tionghoa kian banyak.

Keahlian menangkap ikan yang dimiliki nelayan mendorong penangkapan hasil laut semakin berlimpah. Hasil laut yang berlimpah diekspor ke berbagai benua, hingga menjadi terkenal. Bahkan Bagansiapiapi diklaim sebagai penghasil ikan laut terbesar kedua di dunia, Setelah Norwegia.

Setelah sekian lama menetap di Bagansiapiapi, masyarakat Tionghoa di sana membangun sebuah kelenteng pada 1875, diberi nama Kelenteng IN Hok Kiong. Pada 1982 kelenteng ini dibuat secara permanen. Di sinilah Dewa Kie Ong Ya disembahyangkan secara utuh, asli saat leluhur pertama kali menginjak kaki di tanah Bagansiapiapi.

Menurut hasil wawancara penulis dengan beberapa masyarakat Tionghoa kota Bagansiapiapi dan beberapa pemuka adat Tionghoa di kota Bagansiapiapi, terdapat beberapa versi dari asal usul kata Bagansiapiapi. Ada yang menyerbutkan asal – usul kata Bagansiapiapi dari asal petunjuk api yang secara mistis oleh Dewa Kie Ong Ya, saat para leluhur meminta petunjuk. Versi lain mengatakan cahaya terang yang dilihat oleh para leluhur waktu kehilangan arah adalah cahaya yang dihasilkan oleh kunang – kunang. Alasan ini,karena dulu masih mudah ditemukan kunang – kunang di Bagansiapiapi.


(40)

Ada juga versi lain yang jarang dibicarakan orang yaitu Bagan adalah istilah tempat atau alat penangkapan ikan model kuno dan kata api, nama sejenis pohon di rawa – rawa yang biasanya disebut pohon api – api. Dikarenakn pada saat dulu di perairan Bagansiapiapi banyak sekali ditemukan tempat atau alat penangkapan ikan dan rawa – rawa yang ditumbuhi oleh pohon api – api.

Ritual Bakar Tongkang merupakan kisah pelayaran masyarakat keturunan Tionghoa yang melarikan diri dari ancaman penguasa Silam. Kapal yang dipimpin

Ang Mei Kui, terdapat patung Dewa King Ong Ya dan lima dewa, dimana

panglimanya disebut Tai Sun Ong Ya. Patung – patung ini para pelayar bawa dari tanah Tiongkok. Menurut keyakinan para pelayar, dewa ini akan memberikan keselamatan selama dalam pelayaran, hingga akhirnya para pelayar menetap di kota Bagansiapiapi.

Sebagai menghormati dan mensyukuri kemakmuran dan keselamatan yang mereka peroleh dari hasil laut sebagai mata pencaharian utama masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi, mereka membakar wangkang ( tongkang ) yang dilakukan setiap tahun. Menurut hasil wawancara penulis terhadap beberapa masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi, terdapat beberapa sumber yang menyebutkan, ritual Bakar Tongkang adalah ritual pemujaan untuk memperingati hari ulang tahun Dewa Kie Ong Ya ( dewa Laut ) yang memiliki cirri khas tersendiri dan tidak ditemui ditempat lain di Indonesia.

4.3. Makna Ritual Bakar Tongkang

Bakar Tongkang atau yang biasa disebut dengan Go Ge Cap Lak menjadi salah satu unsur tradisi dan kepercayaan lokal yang menjadi suatu kebudayaan daerah dan nasional. Indonesia adalah Negara mempunyai tingkat pluralitas yang tinggi terhadap pemahaman tradisi dan kepercayaan lokal yang dianut sebagian elemen masyarakat. Bangsa Indonesia hidup dalam masyarakat plural (majemuk) artinya masyarakat serba ganda dalam kepercayaannya, ganda dalam ragam kebudayaannya, ganda dalam prilaku kehidupan kemasyarakatannya, tetapi bersatu dalam satu Bangsa dengan Semboyan Bhineka Tunggal Ika menunjukkan ciri keragaman kehidupan Bangsa Indonesia, yang sesungguhnya berbeda-beda tetapi dalam satu kesatuan juga.


(41)

Didalam masyarakat plural muncul berbagai tradisi dan kepercayaan lokal menjadi salah satu keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Kebudayaan tidak sebatas kesatuan berupa tarian-tarian, lukisan, teater atau film. Salah satu tradisi dan kepercayaan lokal pada kelompok masyarakat Indonesia Tionghoa Bagansiapiapi di Provinsi Riau, Kabupaten Rokan Hilir telah eksis sepanjang abad lamanya yaitu Upacara prosesi Ritual Bakar Tongkang yang dilakukan secara rutin pada bulan kelima penanggalan Imlek tanggal 16 disebut Go GeCap Lak. Ritual diadakan pada setiap tahun. Ritual hanyalah salah satu sarana menyentuh dan membangun semangat Komunitas Bagan Siapi-api untuk pulang kampung. Dan pada tahun ini tradisi ritual bakar tongkang jatuh pada tanggal 4 di bulan july kalender masehi.

Perayaan prosesi Ritual Bakar Tongkang merupakan tradisi dan kepercayaan masyarakat Indonesia Tionghoa Bagansiapiapi. Penyelenggaraan prosesi Ritual Bakar Tongkang tahun ini sama halnya perayaan beberapa tahun terakhir, sangat semarak dibandingkan dengan perayaan Tahun Baru Imlek. Kekhasan Go Ge Cap Lak terletak pada Ritual Bakar Tongkang yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah kehadiran warga Tionghoa di Bagan Siapi-api. Ritual ini juga berkaitan dengan Kelenteng Ing Hok Kiong merupakan tempat pemujaan sekaligus penghormatan terhadap Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun Ong Ya. Dimana menurut kepercayaan lokal masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi dewa Kie Ong Ya dan Tai Sun Ong Ya merupakan dewa keselamatan dan dewa pembawa rejeki serta kesejahteraan bagi masyarakat kota Bagansiapiapi.


(42)

4.3.1. Nilai Tradisi Dan Kepercayaan Lokal 4.3.1.1 Prosesi Ritual Tan Ki

Tradisi dan kepercayaan lokal atas prosesi Ritual Bakar Tongkang dipercaya masyarakat Indonesia Tionghoa Bagansiapiapi menjadi bagian momentum perayaan Ulang Tahun Dewa Kie Ong Ya, terutama upacara prosesi Ritual Bakar Tongkang berkaitan dengan kepercayaan arah pencarian rezeki ; Perayaan Ritual Bakar Tongkang ini untuk memperingati Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Shun Ong Ya yang memberi pencerahan keselamatan dan kesejahteraan. Keyakinan kosmologis ini masih sangat kental dipercaya dengan melakukan prosesi Ritual Bakar Tongkang setiap tahun. Tradisi dan kepercayaan lokal ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari kisah perjalanan dan pembangunan Kota Bagansiapiapi oleh Perantau Tionghoa pada Era 1820-an.

Berawal dari pelayaran dengan Kapal Tongkang yang selamat telah menciptakan inspirasi dan kreasi budaya oleh warga Indonesia Tionghoa Bagansiapiapi untuk memperingati keselamatan mereka menggunakan Kapal Tongkang secara kebetulan membawa patung Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun Ong Ya, telah menjadi penyelamat sehingga dalam memperingati keselamatan tersebut perlu dilakukan prosesi Ritual dengan cara membakar Replika Kapal Tongkang sebagai manifestasi keselamatan, kemakmuran dan kejayaan yang dibimbing oleh kepercayaan Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun Ong Ya. Konon tradisi prosesi Ritual Bakar Tongkang di mulai pada tahun 1920-an

Menjelang perayaan Ritual Bakar Tongkang dibentuk panitia untuk membuat replika Kapal Tongkang dan meletakkannya di kelentengIng Hok Kiong. Replika kapal Tongkang dipersiapkan pembuatannya sebulan sebelumnya, dengan ukuran replika Tongkang sepanjang 9,2 Meter, lebar 2 Meter, dan tiang tinggi 2,7 Meter dengan bobot 400 Kilogram. Sehari menjelang puncak kegiatan acara prosesi Ritual sudah dimulai pada pukul 00.00 tanggal 15 bulan kelima


(43)

Imlek yang jatuh pada tanggal 03 july 2012. Kelenteng itu dikhususkan bagi penghormatan dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya. Pada tanggal 16 bulan kelima Imlek yang jatuh pada tanggal 04 july Juni 2012 dimulai Upacara Spiritualitas dengan mempersembahkan benda-benda yang memiliki makna masing-masing seperti berbagai ragam buah-buahan melambangkan buah pencapaian spiritual yang membawa masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi menuju buah akhir yaitu penerangan sempurna sedangkan simbol kembang bunga yang segar dan indah yang segera akan menjadi layu, tidak lagi wangi dan pudar warnanya mengingatkan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi pada ketidak kekalan semua benda, termasuk kehidupan manusia. Adapun makna tersirat dari simbol kembang bunga yang segar dan indah yang segera akan menjadi layu, tidak wangi dan pudar warnanya adalah untuk menghargai setiap momen kehidupan kita dan tidak terikat pada setiap proses kehidupan manusia.

Berbagai rupa kue, beras, air putih beserta berbagai makanan dan minuman khusus untuk sembahyang disertai berbagai lilin besar dan tinggi bercahaya memilii makna bahwa pancaran sinar kebijaksanaan yang menghalangi kegelapan dunia untuk mencapai penerangan sempurna, serta dupa (Hio) yang yang ragam wanginya dimeja altar sembahyang dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya.

Selama kurang lebih seminggu lamanya Kelenteng penuh dikunjungi umat dengan nyala lilin dan dupa wangi dibakar yang keharumannya memenuhi udara menyebarkan efek kesucian dan melambangkan jasa kebijakan, mendorong aura spiritual untuk melawan semua godaan setan dan membangkitkan hal-hal yang baik dan perbuatan yang tulus. Memberi persembahan merupakan salah satu cara membentuk potensi aura positif dalam diri masyarakat Tionghoa Bagansispispi dan mengembangkan kebersihan batin dan pikiran manusia. Persembahan dalam upacara sembahyang dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya sebagai wujud memberi doa dan sekaligus mengakumulasikan kebajikan dan didedikasikan untuk kebaikan semua makhluk.


(44)

Semua umat yang hadir sembahyang memohon doa umur panjang, rezeki, keselamatan, kesejahteraan, menghilangkan halangan-halangan dalam jalan kehidupan, pada saat itulah permintaan tersebut diucapkan. Pada tanggal 17 bulan lima kalender imlek seluruh rombongan suhu spiritual yang disebut Tan Ki yang berasal dari berbagai kelenteng di kota Bagansiapiapi hadir silih berganti memberi penghormatan spiritual kepada dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya. Setiap Tan Ki berpakaian khas tradisional yang mewakili dewa - dewi yang menjadi bagian spiritualitas Tan Ki (suhu spiritual) contohnya Tan Kie dari kelenteng Dewi Kwan Im akan mengenakan pakaian putih - putih dengan memegang cawan dan kuas. Para Tang Ki bersujud berhadapan dewa - dewi memberi ungkapan rasa hormat yang mendalam, kemudian mengelilingi meja altar sembahyang untuk membangkitkan kualitas aura spiritual.

Para Tan Ki yang berprosesi pada ritual di Kelenteng Ing Hok Kiong diberi kesempatan menunjukkan kebolehan di depan meja altar persembahan. Suasana mistis menjadi sangat kental. Tan Ki yang membawa pedang membacokan senjata itu ketubuhnya. Tan Ki yang membawa bola duri secara atraktif memukulkan bola duri ke sekujur tubuh dan kepalanya. Darah segar mengalir dari kepala dan badan tanpa membahayakan jiwa. Ada juga para Tan Ki yang menusuk pipinya dengan kawat tajam sehingga tembus dari pipi kiri ke pipi kanan. Sejumlah orang-orang yang membawa tandu yang telah terisi dengan kekuatan spiritualitas pun bergerak dengan kekuatan dan kecepatan tinggi membuat sejumlah orang pembawa tandu terhujung-hujung, beragam adegan doa dan upacara. Hadirnya Tan Ki dari berbagai kelenteng dengan mengenakan kostum pakaian, aneka macam simbol dan aksesoris budaya yang khas dalam puncak upacara sembahyang di kelenteng Ing Hok Kiong memberi warna kehidmatan dan aura energi kedamaian, menyucikan dan menumbuhkan sifat-sifat positif dalam pikiran.

Dalam prosesi ritual Bakar Tongkang tercatat satu momen penting yang menjadi essensi kepercayaan seabad lamanya yaitu menyaksikan kemana arah


(45)

kepercayaan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi sebagai kekuatan mukjizat yang memberi petunjuk keselamatan dan peruntungan usaha (rezeki) serta mata pencaharian bagi masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi. Dimana jika tiang layar utama Kapal Tongkang yang dibakar itu jatuh kearah laut maka dipercaya sebagai kekuatan mukjizat yang memberi arah petunjuk peruntungan usaha dalam mata pencaharian akan lebih banyak datangnya dari hasil laut. Dan sebaliknya jika tiang layar utama Kapal Tongkang jatuh kearah darat maka kekuatan mukjizat peruntungan usaha dan mata pencaharian akan lebih banyak datangnya dari hasil darat.

Menurut kepercayaan lokal masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi ritual Bakar Tongkang mengandung mukjizat yang telah ditafsirkan sebagai petunjuk arah mukjizat keberuntungan usaha dan mata pencaharian oleh masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi, pengalaman ritual Bakar Tongkang yang di pandang memiliki suatu kekuatan mukjizat keberuntungan yang selalu berelasi hubungan dengan arah jatuh tiang layar utama Kapal Tongkang menjadi salah satu hal unik dan menarik dari ritual Bakar Tongkang. Fenomena super normal yang sangat dipercayai ada kebenarannya dengan kekuatan - kekuatan Ilahiah yang bersemayam pada masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi. Namun kekuatan dan kepercayaan tersebut sulit dijelaskan secara rasional kebenarannya tetapi telah menjadi akumulasi kepercayaan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi.

4.3.1.2 Makna Peran Tan Ki

Setiap Tan Ki yang berasal berbagai kelenteng-kelenteng dari masing-masing tradisi dan aliran dengan kemampuan spiritual masing-masing-masing-masing membaca mantra yang menjadi media berkomunikasi dengan Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun Ong Ya serta Dewa-Dewi Kelenteng di Ing Hok Kiong mereka mengucapkan mantra berulang-ulang, memohon sesuatu kepada Dewa-Dewi di Kelenteng Ing Hok Kiong. Boleh dikatakan mantra adalah dialog jiwa spiritual


(46)

mengandung pesan dan Roh yang khusus. Setiap umat yang berminat dan berkepentingan untuk mendapatkan berkah senantiasa melalui media kemampuan spiritual Tan Ki untuk mendapatkan berkah dari Dewa-Dewi, pesan dan kekuatan Roh yang khusus datang masuk kejiwa spiritual Tan Ki yang secara spiritual khusus memberkahi permintaan untuk penyembuhan dan pemberkatan keselamatan, keberuntungan, jodoh, menghilangkan bala atau musibah dan lainnya. Setiap prosesi Upacara Sembahyang diiringi dengan tetabuhan yang dipukul terus menerus dengan irama nada yang bergelombang naik turun seperti memberi kekuatan semangat dan aura spiritual para Tan Ki.

Tan Ki memiliki kemampuan spiritual dengan mantra menjadi media komunikasi menyampaikan pesan khusus yang diciptakan oleh orang yang istimewa. Mantra digunakan untuk berkomunikasi dan berbicara dengan akrab dengan berbagai Dewa-Dewi untuk memberi penyembuhan bagi yang sakit atau memberi dukungan pemberkatan. Setiap Tan Ki menjadi praktisi pembaca mantra mengetahui kebutuhan Rohani, jiwa keinginan dan bantuan dibutuhkan oleh umat yang mengajukan permohonan atas berbagai penyelesaian masalah dan pemberkatan kehidupan yang dihadapi.

Setiap Tan Ki dengan kemampuan spiritual mantra memiliki pesannya sendiri-sendiri, mempunyai pesan khusus yang diterima dari komunikasi dengan Dewa-Dewi umntuk memenuhi permohonan umat yang bermaksud untuk memperoleh penyembuhan atau pemberkatan atau memberi perlindungan


(47)

keselamatan hidup, atau meningkatkan kualitas spiritual bagi umat yang belajar meditasi.

Tan Ki inilah yang menjadi Ikon Upacara prosesi Ritual Bakar Tongkang, setelah melakukan persembahan dan dialog selesai, para Tan Ki segera melanjutkan aktivitas dengan atraksi-atraksi kemudian keluar dari Kelenteng Ing Hok Kiong, para Tan Ki sudah dalam kondisi jiwa raga seperti keadaan tidak sadarkan diri pandangan dan tatapan matanya seperti kosong dan kepala terus bergerak mengikuti iringan suara gemuruh tabuhan. Suara gemuruh tabuhan merupakan manifestasi penguatan spiritual dalam bentuk yang menyentuh, membangkitkan kekuatan spiritual para Tan Ki. Mendengarkan bunyi gemuruh tabuhan adalah salah satu cara yang indah untuk membangkitkan energi kedamaiaan, energi kesadaran dan energi-energi lain yang menjaga dan melawan energi negatif.

4.3.2.

Pada tanggal 04 Juli 2012 (GO Ge Cap Lak) yaitu pada tanggal 16 bulan kelima Imlek. Kira-kira berdasarkan kebiasaan beberapa kali Ritual Bakar Tongkang akan bergerak kurang lebih pada pukul 16.00 Replika Kapal Tongkang di arak keluar dari Kelenteng Ing Hok Kiong, Replika Kapal Tongkang seberat kurang lebih 400 Kilogram itu digotong oleh puluhan orang utusan dari seluruh kelenteng-kelenteng yang mewakili masing-masing Kelenteng seluruh Kota Bagansiapiapi. Perayaan arak-arakan diselenggarakan tepat pada bulan kelima tanggal 16 penanggalan Imlek. Jarak arak-arakan dari Kelenteng Ing Hok Kiong


(48)

sampai ketempat upacara Ritual Bakar Tongkang mencapai kurang lebih 2 Kilometer melintasi jalan-jalan di tengah Kota Bagansiapiapi.

Memerlukan waktu kurang lebih satu jam arak-arakan Replika Kapal Tongkang sampai ke lapangan kompleks lokasi pembakaran yang pada sisi pintu masuk sebelah kanan terdapat sebuah Kelenteng yang dikhususkan bagi penghormatan Dewa Thong Chi Ya, disisi kiri lokasi terdapat sebuah bangunan megah tempat para tamu dan undangan berkumpul. Selanjutnya replika kapal Tongkang digiring ke sudut kanan dan ditempatkan dibawah tumpukan kertas sembahyang disusul dengan pemasangan tiang layar utama kapal Tongkang. Dalam prosesi Ritual Bakar Tongkang tercatat satu momen penting yang menjadi essensi kepercayaan Seabad lamanya yaitu menyaksikan kemana arah jatuhnya tiang layar utama kapal Tongkang yang dibakar itu, semula dipercaya sebagai kekuatan mukjizat yang memberi petunjuk keselamatan dan peruntungan usaha (rezeki) serta mata pencaharian bagi etnis Tinghoa di kota Bagansiapiapi. Maksudnya jika tiang layar utama kapal Tongkang yang dibakar itu jatuh kearah laut maka dipercaya sebagai kekuatan mukjizat yang memberi arah petunjuk peruntungan usaha dalam mata pencaharian akan lebih banyak datangnya dari hasil laut. Dan sebaliknya jika tiang layar utama kapal Tongkang jatuh kearah darat maka kekuatan mukjizat peruntungan usaha dan mata pencaharian akan lebih banyak datangnya dari hasil darat.

Selama beribu tahun, agama-agama didunia telah dihubungkan dengan mukjizat, yang dipandang sebagai contoh pertalian hukum-hukum alam dalam


(49)

hubungannya dengan kekuasaan Tuhan. Misalnya Krisna dipercaya telah melakukan banyak hal, mulai dari menyedot suatu kebakaran hutan sampai mengangkat sebuah bukit. Sang Buddha menghentikan seekor gajah yang sedang murka dan membuatnya ketakutan. Ular musa memakan ular-ular Imam-Imam Mesir. Kristus menyediakan cukup ikan dan roti untuk memberi makan orang banyak yang sedang berkumpul. Namun, kemampuan membuat mukjizat ini secara langsung maupun tidak langsung selalu dalam hubungannya dengan kekuasaan Tuhan, merupakan usaha setiap agama untuk mendemonstrasi kekuasaan dan kedaulatan Tuhan yang diidealkannya.

Dengan penafsiran peristiwa-peristiwa sebagai mukjizat tersebut, sama halnya Ritual Bakar Tongkang juga dipercaya mengandung mukjizat yang telah ditafsirkan sebagai petunjuk arah mukjizat keberuntungan usaha dan mata pencaharian oleh masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi, pengalaman Ritual Bakar Tongkang yang di pandang memiliki suatu kekuatan mukjizat keberuntungan yang selalu berelasi hubungan dengan arah jatuh tiang layar utama kapal Tongkang menjadi salah satu hal unik dan menarik dari ritual ini.

Fenomena super normal yang sangat dipercayai ada kebenarannya dengan kekuatan-kekuatan Ilahiah yang bersemayam pada masyarakat etnis Tionghoa di kota bagansiapiapi. Namun kekuatan dan kepercayaan tersebut sulit dijelaskan secara rasional kebenarannya tetapi telah menjadi akumulasi kepercayaan yang dianut masyarakat etnis Tionghoa di kota bagansiapiapi. Jatuhnya tiang layar utama kapal Tongkang dipercaya memberi mukjizat arah sektor kegiatan usaha


(50)

perdagangan yang memberi keberuntungan (Hokki) untuk menjalankan kegiatan usaha mereka lakukan pada tahun depan berikutnya. Kepercayaan jatuhnya arah tiang layar utama kapal Tongkang tidak berhubungan dengan klaim-klaim agama, juga tidak dapat menyesatkan kekuasaan Tuhan. Satu-satunya yang mereka lakukan adalah membenarkan dan menegaskan kepercayaan yang telah berjalan seabad lamanya Ritual Bakar Tongkang sudah menjadi tradisi dan kepercayaan. Mukjizat dari jatuhnya tiang layar utama kapal Tongkang telah dipercayai masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi, dan kepercayaan ini terbangun dari pengalaman Ritual Bakar Tongkang seabad lamanya telah memberi rasa aman dalam kehidupan ekonomi masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi.

Kepercayaan ini menyimbolkan keberadaan kepercayaan lokal mereka dalam kelompok masyarakat etnis Tionghoa di kota bagansiapiapi tersebut telah dikomunikasikan dan dipraktekan terus menerus melalui akumulasi kepercayaan Ritual Bakar Tongkang tersebut. Dalam konteks asosiasi Ritual harus dilihat dalam konteks kepercayaan lokal sudah turut mengisi atau membentuk eksistensinya secara konkrit di alam raya yang sudah tentu berbeda dengan kepercayaan berdasarkan tatanan Religi atau Agama, karenanya kepercayaan lokal tersebut mungkin tampak sukar diterima dari segi pandangan Religi atau Agama atau Rasionalitas, karena fondasi moral kepercayaan lokal telah diterima pemikirannya dalam kehidupan alam semesta, sekaligus sanggup mentransendensi pada bukti empiris keberhasilan material dan sosial ekonomi masyarakat etnis


(51)

Detik-detik Bakar Tongkang pun cenderung kearah Ritual dengan dikelilingi para Tan Ki (Suhu Spiritual) memperagakan dan mengerahkan seluruh kekuatan spiritual serta kebolehannya di pertontonkan dengan berlari-lari disertai gerakan silat spiritual memutari replika Kapal Tongkang yang mulai disulut api yang pelan-pelan berkobar dahsyat, dan seluruh tamu dengan hikmat memberi penghormatan sembahyang baik dengan memegang Hio (Dupa) maupun tanpa Hio berdoa sesuai dengan kepercayaan agama masing-masing.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa essensi Ritual puncak Bakar Tongkang adalah melihat kearah mana tiang layar utama akan terjatuh, yang dipercaya masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi sangat menentukan kiblat rezeki mereka selama setahun kedepan. Mukjizat keberuntungan dari arah jatuhnya tiang layar utama kapal Tongkang telah menjadi pengalaman spiritualitas yang dialami dan dikomunikasikan berdasarkan kepercayaan-kepercayaan lokal yang sudah diterima. Ketika menafsirkan kejadian arah jatuhnya tiang layar utama kapal Tongkang tersebut sebagai mukjizat arah rejeki, dan jelas tafsiran spiritualitas yang menjadi kepercayaan lokal telah terjadi dan tidak dapat disangkal selama seabad lamanya, telah menyingkap hubungan mendalam antara kepercayaan spiritual manusia dengan keyakinan pengalaman immaterial Ritual Bakar Tongkang tersebut berelasi dengan essensi kekuatan kepercayaan itu sendiri bersifat Ilahiah, Supra Human dan Supra Natural.

Menurut hasil wawancara penulis dengan masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi kesakralan Ritual Bakar Tongkang ini tercatat selama seabad


(52)

dalam sejarah telah terbukti memberi manfaat bekah rezeki sesuai dengan petunjuk jatuh tiang utama layar kapal Tongkang tersebut. Terdapat nilai dan keyakinan berbaur dengan dimensi-dimensi spiritual dan kultural. Penyaklaran Ritual Bakar Tongkang yang berjalan seabad lamanya telah menjadikan suatu idiom asal-usul yang telah mendapat sebuah pengakuan terhadap kondisi kesejarahan masyarakat etnis Tionghoa di kota bagansiapiapi. Sejarah pada saat yang sama adalah suatu kenyataan yang telah terjadi dan juga merupakan sesuatu proses yang sedang berlangsung. Bahkan sakralisasi itu sendiri adalah suatu kenyataan yang telah terjadi dan juga merupakan suatu proses yang sedang berlangsung. Dunia Ritual Bakar Tongkang tersebut merupakan sebuah dunia yang telah terbentuk dan dipercaya sejak masa lalu sampai saat ini masih tetap dipercaya dan diyakini oleh masyarakat etnis Tionghoa di kota bagansiapiapi dan akan berkembang terus sampai kemasa depan. Sejarah Ritual Bakar Tongkang adalah sebuah warisan budaya lokal dan sejarah bersama masyarakat Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.

4.3.2. Perayaan Kehidupan

Go Ge Cap Lak dengan upacara ritual Bakar Tongkang bagi Masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi selalu menjadi momentum sosiologis perayaan puncak kebajikan dan amal, pelaksanaan kebajikan dengan memberi sumbangan dana atau benda yang diserahkan pada panitia atau pengurus kelenteng Ing Hok Kiong untuk lancarnya prosesi ritual Bakar Tongkang. Buah perayaan Go Ge Cap Lak secara kultural bagi masyarat Tionghoa Bagansiapiapi di seluruh Nusantara dan Mancanegara menjadi ajang pulang kampung mengunjungi keluarga, saudara, teman, kerabat lainnya dan sekaligus reuni yang mengharu birukan perasaan


(53)

Go Ge Cap Lak bagaikan sebuah Momentum Hari Raya lokal yang mengundang naluri alami yang paling dalam untuk pulang kampung bagaikan burung-burung urban yang dari segala pelosok dunia menuju sarang sosial dan kulturalnya, tampak menakjubkan bukan saja karena Ritual Bakar Tongkang yang sakral tetapi juga makna eksistensial kemanusiaannya di dalam silahturahmi kehangatan sanak saudara, kerabat, dan handai tolan. Bagi masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi yang telah merantau ke berbagai tempat, kelelahan rutinitas kehidupan sepanjang tahun terobati dan serasa ringan jiwa raga mengunjungi sanak saudara, kerabat dan handai tolan dikampung halaman Bagansiapiapi, setiap orang menemukan qase atau danau pencerahan sekaligus kehangatan rasa persaudaraan dan kekerabatan. Itulah salah satu hal yang indah mengenai Go Ge Cap Lak, setiap orang terdorong untuk kembali pulang kampung.

Berdasarkan hasil wawancara penulis degan beberapa masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi yang telah merantau ke berbagai daerah memaknai Go Ge Cap Lak sebagai manifestasi untuk merayakan peran sosial yang dimilikinya berikut narasi kesuksesan dibuktikan. Selain ikatan emosional para perantau warga Bagansiapiapi dengan kota asalnya Bagansiapiapi, tradisi pulang kampung juga tidak kalah bernilainya sebagai momentum terbaik untuk kembalinya para perantau ke Bagansiapiapi guna memperkuat tali silahturahmi dengan sanak saudara, kerabat dan handai tolan.

Nilai - nilai luhur dan kearifan sosialnya Go Ge Cap Lak mempererat tali persaudaraan dan kebersamaan serta kepedulian terus menyala menjadi tradisi pulang kampung untuk memuliakan sanak saudara, kerabat dan handai tolan. Go Ge Cap Lak menjadi festival perayaan tradisi dan kepercayaan lokal yang memberi semangat spiritualitas untuk kehidupan bersama yang bersetia kawan, peduli kepada sesame.Go Ge Cap Lak dapat dikatakan merangkul leluhur spiritual kita baik berdasarkan pertalian darah maupun juga memiliki leluhur berdasarkan hubungan tradisi dan kepercayaan lokal. Praktik pulang kampung dan praktik bersentuhan dengan leluhur tersebut adalah essensi dari makna yang ingin


(54)

4.4 . Perubahan Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa generasi muda masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi Go Ge Cap Lak dengan ritual Bakar Tongkang berkembang dan bergerak dari sakralitas kemudian cenderung bersifat profan, tidak lagi berhubungan dengan tradisi dan kepercayaan local masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi, sebagian generasi muda tidak lagi memahami Go Ge Cap Lak sebagai bagian dari upacara ritual Bakar Tongkang dan penghormatan terhadap dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya yang sakral. Generasi muda masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi hanya melihat dari sisi sebuah Ikon wisata Kabupaten Rokan Hilir-Provinsi Riau. Kesakralan Bakar Tongkang pada Go Ge Cap Lak bagi generasi tua adalah manifestasi bentuk kegeniusan nenek moyang yang menjadi bagian identitas mereka. Meski terjadi pergeseran nilai-nilai sakral telah cenderung terdesak yang profane. Perubahan ini adalah bagian perjalanan tradisi dan kepercayaan Go Ge Cap Lak itu sendiri.

Dalam tradisi dan kepercayaan GO Ge Cap Lak ini terjadi perubahan sakralitas dan profanitas yang saling menyatu, antara sakralitas nilai-nilai tradisi kepercayaan dan budaya dengan nilai semata hiburan profan yang saling mengisi. Melalui wadah budaya nilai-nilai sakralitas diekspresikan dan dilambangkan dalam perayaan prosesi Ritual Bakar Tongkang tersebut mengalami proses tantangan realitas yang mengiring sakralitas menjadi bagian profanitas dari Ikon hiburan pariwisata Rohil. Dan juga generasi muda memaknai ritual Bakar Tongkang hanya sebagai tradisi yang dilakukan turun temurun dan telah menjadi suatu kewajiban tuk mengikuti ritual Bakar Tongkang tanpa memahami arti sebenarnya dari ritual Bakar Tongkang itu dsendiri. Dengan konsekwensi semakin menurunnya pemahaman generasi muda masyarakat Tionghoa terhadap Go Ge Cap Lak karena mereka memandang sebagai bagian tradisi kepercayaan leluhur / nenek moyang mereka.


(55)

Menurut hasil wawancara penulis dengan generasi sekarang masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi adapun beberapa faktor yang mempengarui perubahan sakralitas makna ritual Bakar Tongkang itu sendiri, dikarenakan perkembangan teknologi, dikarenakan generasi muda sekarang lebih tertarik disuguhkan dengan segala sesuatu hal yang bersifat duniawi dan kegemerlapan dibandingkan hal – hal yang bersifat sejarah. Sebagian besar generasi sekarang perantauan yang mengikuti ritual Bakar tongkang cenderung lebih melihat sisi hiburan yang diadakan pada ritual Bakar Tongkang itu sendiri. Generasi sekarang lebih menikmati penyuguhan artis – artis ternama yang langsung di datangkan dari Taiwan dibandingkan datang ke kelenteng Ing Hok King untuk bersembayang.

Adapun faktor lain perubahan makna dibalik tradisi ritual Bakar Tongkang yang penulis peroleh dari hasil wawancara penulis dengan beberapa masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi, dikarenakan meskipun ritual Bakar Tongkang merupakan suatu wujud apresiasi untuk mengenang perjuangan para leluhur didalam pelayarannya,namun tradsisi Bakar Tongkang tidak terlepas dari nilai spiritual. Dikarenakan pelaksanaan Bakar Tongkang dilakukan berdasarkan salah satu ajaran aliran kepercayaan yaitu aliran kepercayaan Konghucu, sedangkan pada generasi sekarang masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi kini telah banyak menganut agama kepercayaan yang diakui secara universal yang menyebabkan generasi muda tidak melakukan ritual yang ada tetapi lebih melihat sisi pariwisata dari ritual Bakar Tongkang itu sendiri. Bagi generasi muda masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi pengaruh agama juga memberikan factor yang cukup besar terhadap perubahan makna ritual Bakar Tongkang.


(56)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Setelah dikemukakan mengenai makna dibalik ritual Bakar Tongkang, bahwa ritual Bakar Tongkang masih dilakukan hingga saat ini dan mengalami perkembangan yang sangat pesat dari tahun ke tahun.

Permasalahan yang menjadi perhatian penulis adalah makna tradisi Ritual bakar Tongkang dan perubahan makna yang terjadi pada generasi sekarang masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagasiapiapi. Dari hasil pengamatan penulis, tradisi dan kepercayaan prosesi Ritual Bakar Tongkang(Go Ge Cap Lak) mengalami perkembangan yang sangat pesat. Campur tangan pemerintah daerah Rokan Hilir juga memberikan dampak pada perubahan makna Tradisi Ritual Bakar Tongkang itu sendiri. Pada akhirnya penulis dapat mengambil kesimpulan Ritual Bakar Tongkang dewasa ini mengandung beberapa makna sebagaimana dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Spritual untuk mengenang dan memperkenalkan sejarah tradisi kepercayaan lokal yang telah menempuh proses sejarah yang panjang hingga saat ini Ritual Bakar Tongkang menjadi jembatan pemahaman yang bertalian dengan asal usul kelenteng Ing Hok Kiong dengan penghormatan kepada dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya sekaligus menjadi hari perayaan ulang tahun dewa Kie Ong Ya.


(57)

2. Membangkitkan kembali nilai-nilai dan semangat spiritualitas suatu satuan tradisional dan kepercayaan, praktek-praktek ritual yang menyatukan kesatuan moral masyarakat etnis Tionghoa di kota bagansiapiapi dengan seluruh lapisan masyarakat setempat, sistem adat istiadat dan kekuatan ikatan rasa identitas komunitas berbaur dan berinteraksi sosial dengan berbagai elemen masyarakat yang Plural dan heterogen.

3. Membangun kohesi dan solidaritas sesama untuk pulang kampung berkumpul ditengah sanak saudara , kerabat dan handai tolan di kampung halaman.

4. Mengamalkan kebajikan hasil karya setahun suntuk diamalkan dengan membagi kasih dengan wujud pemberian sumbangan benda-benda untuk ibadah sebagai perayaan hasil jerih payah di rantau merayakan Upacara Ritual prosesi Bakar Tongkang dapat memberikan kesungguhan berwujud ekspresi hubungan perasaan kepedulian, setia kawan dan kasih kepada sanak saudara, kerabat dan handai tolan atau sesama.

5. Mengandung bauran sifat spiritual dan Profan yaitu menjadi hiburan agar kehidupan tercerahkan kembali dengan mengikuti seremoni prosesi Ritual Bakar Tongkang yang bernuansa wisata kebudayaan yang mengembirakan.

6. Mengikuti ritual sembahyang di kelenteng Ing Hok Kiong untuk mendapat perlindungan keselamatan, kesejahteraan, rejeki dan kemakmuran,


(58)

sekaligus memperoleh penerangan kebijaksanaan mewujudkan kesempurnaan.

7. Merayakan kehidupan sebagai ekspresi rasa syukur kepada dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya di peringati dengan penuh hikmat, merupakan perayaan untuk kegembiraan dan kebijakan bagi semua.

8. Menjalankan dan melaksanakan kebajikan dan amal yang telah berlangsung berabad, dan kesempatan untuk melihat kembali Perkembangan Spiritual dan Ritual Bakar Tongkang.

9. Melestarikan dan mewariskan tradisi dan kepercayaan dari generasi ke generasi.

Hubungan Relasional acara perayaa Ritual Bakar Tongkang dari masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi benar-benar telah menjadi tradisi dan kepercayaan sekaligus Ritual budaya. Semua ini tentu saja memperkaya tradisi dan kepercayaan lokal sebagai bagian dari khasanah kebudayaan Nasional, sekaligus merupakan aset bagi pengembangan pariwisata dan tujuan wisata karena keunikan dan perbedaan dengan daerah lainnya.


(59)

5.2. Saran

Dari hasil mengenai Perubahan Mana Tradisi Perayaan Bakar Tongkang Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi, penulis melihat ada beberapa hal yang harus diperhatikan demi kelestarian budaya ini sebagai wujud kepedulian kita terhadap khasanah Budaya Tradisional Tionghoa.

Penulis berharap, khususnya terhadap masyarakat Etnis Tionghoa agar tetap melestarikan tradisi budaya mereka demi eksistensi pemeliharaannya yang menjadi bagian dari kekayaan budaya nasional.

Khususnya bagi generasi sekarang etnis Tionghoa, diharapkan agar turut melestarikan tradisi budaya mereka agar keberadaannya tetap terjaga dan terpelihara. Skripsi ini kiranya juga menjadi rujukan bagi mahasiswa-mahasiswa yang ingin melanjutkan penelitian tentang upacara-upacara tradisional budaya etnis Tionghoa.

Akhir kata, penulis menyadari, bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya dengan segala kerendahan hati penulis akan menerima dengan tangan terbuka segala kritikan maupun saran demi kesempurnaan skripsi ini.


(60)

DAFTAR PUSTAKA

Departermen Pendidikan Dan Kebudayaan.1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra.Yogyakarta : Media Presindo

Jusuf. 2000. Sekilas Budaya Tionghoa di Indonesia. Jakarta : Universitas Indonesia (UI- Pers)

Koentjaraningrat (ed.), 1980. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat, 1987. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Universitas Indonesi (UI – Pers )

Koentjaraningrat, 1991.Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Universitas Indonesia ( UI- Pers )

Koentjaningrat. 1982. Masyarakat Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).

Rohil,2008 : Visit Bagansiapiapi. Bagansiapiapi : Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir

Soekanto, Soeryono.1990. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Gramedia

Sudarno , 2005: Gema Proklamasi Kemerdekaan RI. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa


(1)

Menurut hasil wawancara penulis dengan generasi sekarang masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi adapun beberapa faktor yang mempengarui perubahan sakralitas makna ritual Bakar Tongkang itu sendiri, dikarenakan perkembangan teknologi, dikarenakan generasi muda sekarang lebih tertarik disuguhkan dengan segala sesuatu hal yang bersifat duniawi dan kegemerlapan dibandingkan hal – hal yang bersifat sejarah. Sebagian besar generasi sekarang perantauan yang mengikuti ritual Bakar tongkang cenderung lebih melihat sisi hiburan yang diadakan pada ritual Bakar Tongkang itu sendiri. Generasi sekarang lebih menikmati penyuguhan artis – artis ternama yang langsung di datangkan dari Taiwan dibandingkan datang ke kelenteng Ing Hok King untuk bersembayang.

Adapun faktor lain perubahan makna dibalik tradisi ritual Bakar Tongkang yang penulis peroleh dari hasil wawancara penulis dengan beberapa masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi, dikarenakan meskipun ritual Bakar Tongkang merupakan suatu wujud apresiasi untuk mengenang perjuangan para leluhur didalam pelayarannya,namun tradsisi Bakar Tongkang tidak terlepas dari nilai spiritual. Dikarenakan pelaksanaan Bakar Tongkang dilakukan berdasarkan salah satu ajaran aliran kepercayaan yaitu aliran kepercayaan Konghucu, sedangkan pada generasi sekarang masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi kini telah banyak menganut agama kepercayaan yang diakui secara universal yang menyebabkan generasi muda tidak melakukan ritual yang ada tetapi lebih melihat sisi pariwisata dari ritual Bakar Tongkang itu sendiri. Bagi generasi muda masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi pengaruh agama juga memberikan factor yang cukup besar terhadap perubahan makna ritual Bakar Tongkang.


(2)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Setelah dikemukakan mengenai makna dibalik ritual Bakar Tongkang, bahwa ritual Bakar Tongkang masih dilakukan hingga saat ini dan mengalami perkembangan yang sangat pesat dari tahun ke tahun.

Permasalahan yang menjadi perhatian penulis adalah makna tradisi Ritual bakar Tongkang dan perubahan makna yang terjadi pada generasi sekarang masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagasiapiapi. Dari hasil pengamatan penulis, tradisi dan kepercayaan prosesi Ritual Bakar Tongkang(Go Ge Cap Lak) mengalami perkembangan yang sangat pesat. Campur tangan pemerintah daerah Rokan Hilir juga memberikan dampak pada perubahan makna Tradisi Ritual Bakar Tongkang itu sendiri. Pada akhirnya penulis dapat mengambil kesimpulan Ritual Bakar Tongkang dewasa ini mengandung beberapa makna sebagaimana dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Spritual untuk mengenang dan memperkenalkan sejarah tradisi kepercayaan lokal yang telah menempuh proses sejarah yang panjang hingga saat ini Ritual Bakar Tongkang menjadi jembatan pemahaman yang bertalian dengan asal usul kelenteng Ing Hok Kiong dengan penghormatan kepada dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya sekaligus menjadi hari perayaan ulang tahun dewa Kie Ong Ya.


(3)

2. Membangkitkan kembali nilai-nilai dan semangat spiritualitas suatu satuan tradisional dan kepercayaan, praktek-praktek ritual yang menyatukan kesatuan moral masyarakat etnis Tionghoa di kota bagansiapiapi dengan seluruh lapisan masyarakat setempat, sistem adat istiadat dan kekuatan ikatan rasa identitas komunitas berbaur dan berinteraksi sosial dengan berbagai elemen masyarakat yang Plural dan heterogen.

3. Membangun kohesi dan solidaritas sesama untuk pulang kampung berkumpul ditengah sanak saudara , kerabat dan handai tolan di kampung halaman.

4. Mengamalkan kebajikan hasil karya setahun suntuk diamalkan dengan membagi kasih dengan wujud pemberian sumbangan benda-benda untuk ibadah sebagai perayaan hasil jerih payah di rantau merayakan Upacara Ritual prosesi Bakar Tongkang dapat memberikan kesungguhan berwujud ekspresi hubungan perasaan kepedulian, setia kawan dan kasih kepada sanak saudara, kerabat dan handai tolan atau sesama.

5. Mengandung bauran sifat spiritual dan Profan yaitu menjadi hiburan agar kehidupan tercerahkan kembali dengan mengikuti seremoni prosesi Ritual Bakar Tongkang yang bernuansa wisata kebudayaan yang mengembirakan.

6. Mengikuti ritual sembahyang di kelenteng Ing Hok Kiong untuk mendapat perlindungan keselamatan, kesejahteraan, rejeki dan kemakmuran,


(4)

sekaligus memperoleh penerangan kebijaksanaan mewujudkan kesempurnaan.

7. Merayakan kehidupan sebagai ekspresi rasa syukur kepada dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya di peringati dengan penuh hikmat, merupakan perayaan untuk kegembiraan dan kebijakan bagi semua.

8. Menjalankan dan melaksanakan kebajikan dan amal yang telah berlangsung berabad, dan kesempatan untuk melihat kembali Perkembangan Spiritual dan Ritual Bakar Tongkang.

9. Melestarikan dan mewariskan tradisi dan kepercayaan dari generasi ke generasi.

Hubungan Relasional acara perayaa Ritual Bakar Tongkang dari masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi benar-benar telah menjadi tradisi dan kepercayaan sekaligus Ritual budaya. Semua ini tentu saja memperkaya tradisi dan kepercayaan lokal sebagai bagian dari khasanah kebudayaan Nasional, sekaligus merupakan aset bagi pengembangan pariwisata dan tujuan wisata karena keunikan dan perbedaan dengan daerah lainnya.


(5)

5.2. Saran

Dari hasil mengenai Perubahan Mana Tradisi Perayaan Bakar Tongkang Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi, penulis melihat ada beberapa hal yang harus diperhatikan demi kelestarian budaya ini sebagai wujud kepedulian kita terhadap khasanah Budaya Tradisional Tionghoa.

Penulis berharap, khususnya terhadap masyarakat Etnis Tionghoa agar tetap melestarikan tradisi budaya mereka demi eksistensi pemeliharaannya yang menjadi bagian dari kekayaan budaya nasional.

Khususnya bagi generasi sekarang etnis Tionghoa, diharapkan agar turut melestarikan tradisi budaya mereka agar keberadaannya tetap terjaga dan terpelihara. Skripsi ini kiranya juga menjadi rujukan bagi mahasiswa-mahasiswa yang ingin melanjutkan penelitian tentang upacara-upacara tradisional budaya etnis Tionghoa.

Akhir kata, penulis menyadari, bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya dengan segala kerendahan hati penulis akan menerima dengan tangan terbuka segala kritikan maupun saran demi kesempurnaan skripsi ini.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Departermen Pendidikan Dan Kebudayaan.1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra.Yogyakarta : Media Presindo

Jusuf. 2000. Sekilas Budaya Tionghoa di Indonesia. Jakarta : Universitas Indonesia (UI- Pers)

Koentjaraningrat (ed.), 1980. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat, 1987. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Universitas Indonesi (UI – Pers )

Koentjaraningrat, 1991.Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Universitas Indonesia ( UI- Pers )

Koentjaningrat. 1982. Masyarakat Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).

Rohil,2008 : Visit Bagansiapiapi. Bagansiapiapi : Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir

Soekanto, Soeryono.1990. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Gramedia

Sudarno , 2005: Gema Proklamasi Kemerdekaan RI. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa