Kultur Media Dasar TINJAUAN PUSTAKA

berbunga, dimaksudkan agar dapat memperoleh buah stroberi yang berukuran besar dan memiliki kualitas bagus Rukmana, 1998.

2.2 Kultur

In Vitro Menurut Santoso dan Nursadi 2003 kultur in vitro merupakan budidaya tanaman dalam botol ataupun teknik budidaya sel, jaringan, dan organ tanaman dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik atau bebas mikroorganisme. Teknik ini dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan lengkap dan ZPT zat pengatur tumbuh, serta kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol. Semua peralatan dan media yang di gunakan harus dalam keadaan steril dan tidak terkontaminasi bakteri dan jamur Yustina, 2003. Lebih lanjut menurut Yustina 2003, penggunaan teknik kultur jaringan untuk pembiakan tanaman mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan dibandingkan dengan perbanyakan tanaman secara konvensional. Kelebihan tersebut adalah memberikan peluang lebih untuk menghasilkan jumlah bibit tanaman dalam waktu relatif singkat sehingga lebih ekonomis, tidak memerlukan tempat yang luas, tidak tergantung musim sehingga dapat dilakukan sepanjang tahun, bibit yang dihasilkan lebih sehat memungkinkan dilakukannya manipulasi genetik. Kelemahan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan adalah sebagai berikut ; membutuhkan biaya awal yang relatif tinggi untuk laboratorium, peralatan dan bahan kimia, membutuhkan keahlian khusus untuk pelaksanaannya, tanaman yang dihasilkan berukuran kecil, aseptik dan terbiasa hidup di tempat yang berkelembaban tinggi sehingga memerlukan aklimatisasi ke lingkungan eksternal.

2.3 Media Dasar

Murashige dan Skoog MS dan Arang Aktif Media dasar merupakan kombinasi zat yang mengandung hara essensial makro dan mikro, sumber energi dan vitamin. Banyak jenis media dasar yang dapat dipergunakan untuk kultur in vitro, di antaranya media dasar Vacin dan Went, Knudson C dan Murashige dan Skoog MS. Media dasar MS dikenal paling luas penggunaannya dalam kultur in vitro di laboratorium, karena diketahui dapat diaplikasikan untuk banyak spesies tanaman Gunawan, 1992. Meskipun demikian kadang kala konsentrasi garam-garaman organik pada media MS terlalu tinggi untuk beberapa spesies tanaman, sehingga dalam penggunaan sering kali dikurangi menjadi setengah atau seperempatnya dan terbukti hasilnya lebih baik Bhojwani dan Razdan, 1983. Tanaman membutuhkan hara essensial pada perbanyakan secara in vitro diberikan dalam bentuk garam-garam anorganik Gunawan, 1992. Garam anorganik bila dilarutkan dalam air akan membentuk ion. Satu jenis ion bias dikontribusi oleh lebih dari satu jenis senyawa Bhojwani dan Razdan, 1983. Sukrosa sering ditambahkan pada media kultur in vitro sebagai sumber energi, karena eksplan yang dibudidayakan secara in vitro tidak bersifat autotrof dan mempunyai laju fotosintesis yang rendah Hendaryono dan Wijayanti, 2001. Menurut Widias dan Farid 1995 sukrosa merupakan bahan baku mengasilkan energi dalam respirasi dan pembentukan sel-sel. Arang aktif mempunyai sifat adsorptif yang kuat terhadap koloid, benda padat, gas, dan uap air. Arang aktif cenderung mengadsorbsi zat aromatik seperti fenol, auksin, dan sitokinin. Zat terlarut dalam larutan atau media yang terkena kontak dengan arang aktif akan teradsorbsi. Adsorbsi akan terus berlanjut sampai terjadi keseimbangan. Kapasitas daya serap arang aktif tergantung pada kepadatan media, kemurnian arang aktif dan pH. Selain itu, penggunaan arang aktif pada kultur in vitro dipengaruhi oleh spesies yang dikultur Pan dan Fan Staden, 1998. Secara umum, efek arang aktif pada kultur in vitro dapat menyerap cahaya pada permukaan media sehingga tidak tembus sampai bawah media. Oleh karena itu, cahaya tidak dapat menstimulasi enzim yang dapat mengoksidasi fenol, zat yang dihasilkan oleh arang aktif dapat meningkatkan pertumbuhan, serta menyebabkan media lebih asam Pan dan Fan Staden, 1998.

2.4 Zat Pengatur Tumbuh