Mikropropagasi Tanaman Stroberi (Fragaria sp.) melalui Induksi Organogenesis.

(1)

i

MIKROPROPAGASI TANAMAN STROBERI

(Fragaria sp.) MELALUI INDUKSI ORGANOGENESIS

SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Udayana

Oleh

I Made Christian Adhi Saputra NIM. 1005105055

KONSENTRASI AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar fustaka. Saya bersedia dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam aturan yang berlaku apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya saya sendiri atau mengandung tindakan plagiarism.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan seperlunya.

Denpasar, 25 April 2016 Yang menyatakan

I Made Christian Adhi Saputra NIM. 1005105055


(3)

iii ABSTRAK

I Made Christian Adhi Saputra. NIM 1005105055. Mikropropagasi Tanaman Stroberi (Fragaria sp.) melalui Induksi Organogenesis. Dibimbing oleh Pembimbing I : Dr. Ir. Rindang Dwiyani, M.Sc. Dan Pembimbing II : Ir. Hestin Yuswanti, M.P.

Permasalahan bagi petani stroberi di Bali adalah sulitnya mendapatkan bibit stroberi yang sehat dengan harga relatif murah. Metode mikropropagasi adalah salah satu cara perbanyakan bibit untuk mengatasi masalah tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi ZPT NAA + BAP untuk organogenesis pada eksplan daun stroberi secara in vitro. Percobaan disusun menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Media dasar yang digunakan adalah media MS dengan penambahan 2 gL-1 arang aktif, dan 0,1 ppm NAA. Sebagai perlakuan adalah BAP dengan konsentrasi 5 ppm, 10 ppm dan 15 ppm dengan 5 kali ulangan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan 0,1 ppm NAA + 15 ppm BAP paling efektif dalam pelengkungan (3,0 HST) dengan persentase 90,00%. Penggunaan 0,1 ppm NAA + 15 ppm BAP juga paling efektif dalam waktu pembengkakan (7,6 HST) dengan persentase 82,95%, sedangkan hanya penggunaan 0,1 ppm NAA + 5 ppm BAP yang mampu memunculkan bakal tunas pada waktu 23 HST.


(4)

iv ABSTRACT

I Made Christian Adhi Saputra . NIM 1005105055. Mikropropagation Plant Strawberries (Fragaria sp.) Through Induction of Organogenesis. Supervisor Supervised by : Dr. Ir. Rindang Dwiyani, M.Sc. And Supervisor II : Ir . Hestin Yuswanti , M.P.

Problems for farmers strawberry in Bali are the difficulty of get healthy strawberries seeds a with prices are relatively cheap. Micropropagation method is ways to multiplay seeds for solving the problem.

Research aims to understand the influence of concentration ZPT NAA + BAP to organogenesis on explant leaves strawberries in vitro. Experiment arranged using a Randomized Block Design (RBD). Medium the base used is MS medium with adding of 2 gL- 1 of activated charcoal, and 0.1 ppm NAA. As the treatment is BAP with concentration of 5 ppm, 10 ppm and 15 ppm with 5 replications.

The results showed that the use of 0,1 ppm NAA + 15 ppm BAP most effective in deflection (3,0 DAP) with the percentage of 90,00%. The use of the NAA 0,1 ppm + 15 ppm BAP also most effective in a time of swelling (7,6 DAP) with the percentage of 82,95 % , while only the use of the NAA 0,1 ppm + 5 ppm BAP that will be capable of eliciting shoots at 23 DAP time.

Keywords : Micropropagation, Strawberries, Organogenesis , Exsplant and in vitro.


(5)

v

RINGKASAN

Stroberi (Fragaria x ananassa Duch) merupakan salah satu jenis buah yang sangat populer di banyak negara dengan budidaya yang komersial dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Stroberi dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik dalam kondisi iklim seperti di Indonesia. Varietas stroberi introduksi yang dapat ditanam di Indonesia salah satunya adalah varietas Rosalinda karena memiliki aroma buah yang kuat. Mendapatkan bibit tanaman stroberi dengan jumlah banyak yang berkualitas dengan waktu yang relatif singkat dibutuhkan upaya dari segi budidaya. Perbanyakan tanaman stroberi secara konvensional dengan runer atau biji mempunyai banyak kelemahan diantaranya menghasilkan bibit dengan waktu yang lama dan bergantung dengan cuaca.

Mengatasi kelemahan tersebut, perbanyakan dapat dilakukan dengan metode mikropropagasi. Mikropropagasi atau perbanyakan secara in vitro merupakan salah satu metode perbanyakan secara vegetatif yang dapat menghasilkan bibit dalam jumlah banyak dalam waktu relatif cepat, memiliki sifat yang sama dengan induknya, dengan proses pembibitan tidak tergantung pada musim. Regenerasi mikropropagasi dapat dilakukan melalui organogenesis dan embriogenesis yang dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh.

Salah satu metode perbanyakan planlet dalam kultur in vitro adalah melalui organogenesis. Organogenesis adalah proses yang menginduksi pembelahan sel, jaringan atau kalus untuk membentuk organ secara in vitro yang dapat diperoleh dari bagian tanaman seperti akar, batang dan daun.

Faktor penentu keberhasilan dalam kultur in vitro salah satunya ditentukan oleh keberadaan ZPT dalam media. ZPT yang umum digunakan dari golongan auksin dan sitokinin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian zat pengatur tumbuh yaitu NAA (Naphatalene Acetic Acid) dan BAP (Benzyl Amino Purine) terhadap induksi organogenesis stroberi dan mengetahui kombinasi terbaik dari zat pengatur tumbuh tersebut.

Penelitian ini dilakukan di Unit Pelaksana Teknik (UPT) Kultur Jaringan Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana pada bulan Januari sampai dengan Mei 2015. Bahan tanam (eksplan) yang digunakan


(6)

vi

dalam penelitian ini adalah daun tanaman stroberi yang belum mengembang sempurna. Media dasar yang digunakan adalah MS (Murashige & Skoog). Bahan tambahan lainnya adalah agar, gula, arang aktif dan air mineral steril (aquades), sedangkan bahan untuk sterilan adalah sunlight (total surfaktan), Dithane M-45 (mankozeb), Bayclin (sodium hipoklorida) dan alkohol. Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah NAA (Naphatalene Acetic Acid) dan BAP (Benzyl Animo Purine). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau, panci, gelas ukur, timbangan analitik, magnetic stirrer, pipet, botol kultur, plastik, karet gelang, sendok, autoklaf, pinset, spatula, petridish, Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), tissue, korek api, pH meter dan lampu bunsen.

Penelitian disusun sebagai rancangan acak kelompok (RAK) yang diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan yang dicobakan adalah M0 = tanpa ZPT, M1 = 0,1 ppm NAA, M2 = 0,1 ppm NAA + 5 ppm BAP, M3 = 0,1 ppm NAA + 10 ppm BAP, M4 = 0,1 ppm NAA + 15 ppm BAP dan setiap unit percobaan ditanam 3 buah eksplan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan 0,1 ppm NAA + 15 ppm BAP paling efektif dalam pelengkungan (3,0 HST) dengan persentase 90,00%. Penggunaan 0,1 ppm NAA + 15 ppm BAP juga paling efektif dalam waktu pembengkakan (7,6 HST) dengan persentase 82,95%, sedangkan hanya penggunaan 0,1 ppm NAA + 5 ppm BAP yang mampu memunculkan bakal tunas pada waktu 23 HST.


(7)

vii

MIKROPROPAGASI TANAMAN STROBERI

(Fragaria sp.) MELALUI INDUKSI ORGANOGENESIS

I Made Christian Adhi Saputra NIM. 1005105055

Menyetujui,

Pembimbing I

Dr. Ir. Rindang Dwiyani, M.Sc. NIP. 19620507 198801 2 001

Pembimbing II

Ir. Hestin Yuswanti, M.P. NIP. 19590315 198703 2 004

Mengesahkan, Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Udayana

Prof. Dr. Ir. I Nyoman Rai, MS NIP : 19630515 198803 1 001


(8)

viii

MIKROPROPAGASI TANAMAN STROBERI

(Fragaria sp.) MELALUI INDUKSI ORGANOGENESIS

Dipersiapkan dan diajukan oleh I Made Christian Adhi Saputra

NIM. 1005105055

Telah diuji dan dinilai oleh Tim Penguji Pada tanggal 25 April 2016

Berdasarkan SK Dekan Fakultas Pertanian Uiversitas Udayana No : 69/UN14.1.23/DL/2016

Tanggal : 25 April 2016 Tim Penguji Skripsi adalah :

Ketua : Dr. Ir. I Dewa Nyoman Nyana, M.Si. Anggota

1. Ir. I Wayan Wiraatmaja, M.P. 2. Ir. I Nyoman Gede Astawa, M.P. 3. Dr. Ir. Rindang Dwiyani, M.Sc. 4. Ir. Hestin Yuswanti, M.P.


(9)

ix

RIWAYAT HIDUP

I Made Christian Adhi Saputra lahir di Tabanan 26 September 1992. Penulis merupakan anak kedua dari pasangan I Ketut Samsuri dengan Ni Made Sujani. Pendidikan dasar ditempuh di SD N 3 Peken (1998-2004). Kemudian melanjutkan ke SMP N 2 Marga (2004-2007). Pendidikan sekolah lanjutan tingkat kejuruan ditempuh di SMK N 1 Denpasar (2007-2010). Penulis, melalui ujian masuk perguruan tinggi negeri tahun 2010 dan diterima di Universitas Udayana Bali melalui jalur Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK) pada Program Studi Agroekoteknologi konsentrasi Agronomi dan Hortikultura, Universitas Udayana. Selama masa kuliah, penulis aktif dalam kegiatan, diantaranya sebagai panitia seminar dan Dies Natalis Universitas Udayana.


(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Mikropropagasi Tanaman Stroberi (Fragaria sp.) melalui Induksi Organogenesis” tepat pada waktunya.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan Skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, perhatian, bantuan dan arahan Pembimbing, Bapak dan Ibu Dosen serta teman-teman yang telah bersedia meluangkan waktunya. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. I Nyoman Rai, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian Udayana Denpasar Bali

2. Prof. Dr. Ir. I Made Sudarma, M.S. selaku Ketua Jurusan/Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana atas segala fasilitas yang diberikan pada penulisan Skripsi ini.

3. Dr. Ir. Rindang Dwiyani, M.Sc. Selaku pembimbing I dan sekaligus kepala Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Kultur Jaringan Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana atas fasilitas yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan percobaan di Laboraturium kultur jaringan ini.

4. Ir. Hestin Yuswanti, M.P. Selaku pembimbing II yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran, serta nasehat selama pelaksanaan penelitian hingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini

5. Prof. Dr. Ir. I Nengah Netera Subadiyasa, M.S. selaku pembimbing akademik atas saran, motivasi, dan dukungan kepada penulis.

6. Keluarga tercinta ayah, ibu, kakak dan sanak saudara yang saya cintai dan banggakan atas dukungan doa dan materiil selama penelitian berlangsung sampai penyelesaian penulisan Skripsi ini.


(11)

xi

7. Kepada sahabat seperjuangan “Geng Rumah Kecil” serta pihak-pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu yang memberi semangat dan telah membantu dalam penyelesaian Skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan Skripsi ini, terdapat kesalahan dan kekurangan yang disebabkan karena keterbatasan kemampuan serta pengalaman penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun demi kesempurnaan Skripsi ini. Akhir kata dengan kerendahan hati penulis berharap semoga Skripsi ini bermanfaat, terutama bagi pembaca yang memerlukan informasi yang berkaitan dengan penelitian ini.

Denpasar, 25 April 2016 Penulis


(12)

xii

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM... i

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

RINGKASAN ... v

HALAMAN PERSETUJUAN ... vii

TIM PENGUJI ... viii

RIWAYAT HIDUP ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 2

1.4 Hipotesis ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Stroberi (Fragaria sp.) ... 4

2.2 Kultur In vitro ... 7

2.3 Media Dasar Muarashige dan Skoog (MS) ... 8


(13)

xiii

2.5 Arang Aktif... 10

2.6 Zat Pengatur Tumbuh ... 11

2.7 Sterilisasi Eksplan ... 13

2.8 Organogenesis ... 14

2.9 Pencoklatan (browning) ... 15

BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu ... 19

3.2 Bahan dan Alat ... 19

3.3 Rancangan Percobaan ... 20

3.4 Pelaksanaan Percobaan ... 21

3.4.1 Perawatan Tanaman Induk ... 21

3.4.2 Pembuatan Media ... 21

3.4.3 Sterilisasi Laminar Air Flow Cabinet ... 21

3.4.4 Sterilisasi Alat ... 22

3.4.5 Sterilisasi Eksplan ... 22

3.4.6 Penanaman ... 23

3.4.7 Variabel Pengamatan ... 24

3.5 Analisis Data ... 25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHAN 4.1 Hasil ... 26


(14)

xiv BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ... 43 5.2 Saran ... 43 DAFTAR PUSTAKA ... 44


(15)

xv

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

4.1 Signifikansi pengaruh perlakuan zat pengatur tumbuh NAA dan BAP terhadap variabel yang diamati ... 26 4.2 Pengaruh perlakuan ZPT NAA dan BAP terhadap variabel saat

eksplan melengkung (HST) dan persentase eksplan melengkung (%) ... 27 4.3 Pengaruh perlakuan ZPT NAA dan BAP terhadap variabel saat

eksplan membengkak (HST) dan persentase eksplan membengkak (%) 28 4.4 Eksplan yang tumbuh menjadi bakal tunas ... 36


(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

3.1 Tata letak pengaturan botol kultur dalam rak penelitian ... 20

4.1 Persentase browning pada semua perlakuan ... 29

4.2 Persentase hidup eksplan daun stroberi pada semua perlakuan ... 30

4.3 Pelengkungan eksplan daun stroberi pada berbagai media perlakuan ... 32

4.4 Pembengkakan eksplan daun stroberi pada berbagai media perlakuan .... 34

4.5 Bakal tunas eksplan daun stroberi ... 36

4.6 Eksplan yang mengalami kontaminasi ... 38

4.7 Eksplan yang mengalami browning ... 40


(17)

1

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Stroberi (Fragaria x ananassa Dush) merupakan salah satu jenis buah yang sangat populer di banyak negara dengan budidaya yang komersial dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi (Biswas, et al., 2007).

Mendapatkan bibit tanaman stroberi dengan jumlah banyak yang berkualitas dengan waktu yang relatif singkat dibutuhkan upaya dari segi budidaya. Perbanyakan tanaman stroberi secara konvensional dengan runer atau biji mempunyai banyak kelemahan diantaranya menghasilkan bibit dengan waktu yang lama dan bergantung dengan cuaca (Dijkstra, 1993; Nehra et al., 1994).

Mengatasi kelemahan tersebut, perbanyakan dapat dilakukan dengan metode mikropropagasi. Mikropropagasi atau perbanyakan secara in vitro merupakan salah satu metode perbanyakan secara vegetatif yang dapat menghasilkan bibit dalam jumlah banyak dalam waktu relatif cepat, memiliki sifat yang sama dengan induknya, dengan proses pembibitan tidak tergantung pada musim (Karhu dan Hakala, 2002; Suryowinoto, 1996). Regenerasi mikropropagasi dapat dilakukan melalui organogenesis dan embriogenesis yang dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh (Dwiyani, 2015). Organogenesis adalah proses yang menginduksi pembelahan sel, jaringan atau kalus untuk membentuk organ secara in vitro yang dapat diperoleh dari bagian tanaman seperti akar, batang dan daun (Sudarmadji, 2003; Moega, 1991).

Organogenesis dipacu oleh adanya keseimbangan antara zat pengatur tumbuh (ZPT) endogen maupun eksogen dalam media (Kartha, 1991). Penelitian ini menggunakan ZPT untuk menginduksi organogenesis secara langung yaitu


(18)

2 dengan menambahkan auksin Naphatalene Acetic Acid (NAA) dan sitokinin Benzyl Amino Purine (BAP) pada media, dengan konsentrasi BAP yang lebih tinggi dibandingkan NAA. Organogenesis dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung melalui kalus.

Kombinasi ZPT NAA dan BAP sudah pernah diteliti untuk induksi organogenesis pada Anthurium andraeanum (Prihatmanti,2002) dan BAP secara tunggal untuk perbanyakan tanaman krisan (Chrysanthemum sp) secara in vitro (Kasli, 2009). Pemanfaatan zat pengatur tumbuh (Naphatalene Acetic Acid) NAA dan (Benzyl Amino Purine) BAP pada organogenesis stroberi belum banyak diteliti sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini.

1.2Rumusan Masalah

1. Apakah pemberian zat pengatur tumbuh NAA dan BAP mampu menginduksi organogenesis stroberi?

2. Kombinasi zat pengatur tumbuh NAA dan BAP yang mana mampu menginduksi organogenesis stroberi?

1.3Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh pemberian zat pengatur tumbuh yaitu NAA dan BAP terhadap induksi organogenesis stroberi?

2. Mengetahui kombinasi terbaik zat pengatur tumbuh NAA dan BAP dalam menginduksi organogenesis stroberi?


(19)

3 1.4Hipotesis

1. Pemberian zat pengatur tumbuh NAA dan BAP mampu menginduksi organogenesis stroberi.

2. Kombinasi tertentu zat pengatur tumbuh NAA dan BAP akan memberikan pertumbuhan terbaik terhadap pembentukan organogenesis stroberi.


(20)

4

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Tanaman Stroberi (Fragaria sp.)

Tanaman stroberi merupakan tanaman buah berupa herba yang ditemukan pertama kali di Chili, Amerika. Salah satu spesies tanaman stroberi yaitu Fragaria choiloensis L. menyebar ke berbagai Negara Amerika, Eropa dan Asia. Selanjutnya spesies lain, yaitu Fragaria vesca L. lebih menyebar luas dibandingkan spesies lainnya. Jenis stroberi ini pula yang pertama kali masuk ke Indonesia. Stroberi yang kita temukan di pasar swalayan adalah hibrida yang dihasilkan dari persilangan Fragaria virgiana L. var Duchesne asal Amerika Utara dengan Fragaria Chiloensis L. var Duchesne asal Chili. Persilangan itu menghasilkan hybrid yang merupakan stroberi modern (komersil) Fragaria x annanassa var Duchesne (Biswas, et al., 2007).

Spesies tanaman stroberi yaitu Fragaria chiloensis L. menyebar ke berbagai Negara di Amerika, Eropa dan Asia. Sementara spesies lainnya yaitu Fragaria vesca L tersebar lebih luas dibandingkan spesies lainnya. Jenis stroberi

Fragaria vesca yang pertama kali masuk di Indonesia (Budiman dan Saraswati,

2008). Morfologi tanaman stroberi terdiri dari akar, batang, daun, bunga, buah dan klasifikasi botani tanaman stroberi menurut Lawrence (1960) adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Rosales

Famili : Rosaideae


(21)

5 Subfamili : Rosaceae

Genus : Fragaria Spesies : Fragaria sp

Stroberi adalah tanaman subtropis yang dapat beradaptasi dengan baik didataran tinggi tropis yang memiliki temperatur 17-20o C dan disertai dengan

curah hujan 600-700 mm/tahun. Stroberi juga membutuhkan kelembaban udara yang baik untuk pertumbuhannya yang berkisar antara 80-90% dan lama penyinaran matahari yang dibutuhkan sekitar 8-10 jam setiap harinya. Struktur akar tanaman stroberi terdiri atas pangkal akar (collum), batang akar (corpus), ujung akar (apex), bulu akar (pilus radicalis), serta tudung akar (calyptra). Tanaman stroberi berakar tunggang (radix primaria) terus tumbuh memanjang dan berukuran besar (Rukmana, 1998).

Akar serabut stroberi didalam tanah tumbuh dangkal dan menyebar secara horizontal sepanjang 30 cm dan secara vertikal dapat mencapai kedalaman 40 cm. Akar muncul dari batang yang pendek dan tebal berbentuk rumpun. Dari rumpun tersebut dapat muncul tunas yang akan menjadi crown baru, sulur dan bunga. Secara botani sulur merupakan batang ramping yang tumbuh keluar dari ketiak daun pada dasar rumpun dan menjalar sepanjang permukaan tanah. Sulur dapat digunakan sebagai ‘alat’ untuk menghasilkan tanaman baru (Soemadi, 1997).

Batang utama tanaman ini sangat pendek. Daun-daun terbentuk pada buku dan ketiak setiap daun terdapat pucuk aksilar. Internode sangat pendek sehingga jarak daun yang satu dengan yang lainnya sangat kecil dan memberi penampakan seperti rumpun tanpa batang. Batang utama dan daun yang tersusun rapat ini disebut crown. Ukuran crown berbeda-beda menurut umur, tingkat perkembangan


(22)

6 tanaman, kultivar dan kondisi lingkungan pertumbuhan (Budiman dan Saraswati, 2008).

Daun tumbuh melingkar rumpun, berbulu lebat sampai jarang (tergantung varietas), terdiri atas tiga anakan daun (daun majemuk), dengan tepi bergerigi. Daun disangga oleh tangkai yang panjang (Soemadi, 1997).

Bunga stroberi mempunyai 10 kelopak yang berwarna hijau, 5 mahkota berwarna putih, 60 sampai 600 putik dan 20 sampai 35 benang sari yang tersusun sekitar stigma di atas dasar bunga. Penyerbukan stroberi terjadi secara silang dengan bantuan angin, serangga (kupu-kupu, lebah) maupun manusia.

Bunga berbentuk tandan yang terdiri atas beberapa tangkai utama yang masing-masing ujungnya terdapat satu bunga yang disebut bunga primer, dan dua tangkai serta bunga-bunga dibawahnya yang disebut bunga sekunder. Dibawah bunga sekunder terdapat bunga tersier dan kuartener. Ukuran tangkai bunga selalu lebih panjang dari pada daun. Pemunculan rangkaian dan mekarnya bunga terjadi secara berurutan, dan berlangsung selama empat minggu. Biasanya sebanyak 6 sampai 8 bunga pertama pada setiap tangkai akan mekar lebih awal, yang selanjutnya diikuti oleh bunga di bawahnya (Setiani, 2007).

Biji stroberi berukuran kecil, pada setiap buah menghasilkan banyak biji. Biji berukuran kecil terletak di antara daging buah. Pada skala penelitian atau pemuliaan tanaman biji merupakan alat perbanyakan tanaman secara generatif (Rukmana, 1998).

Tanaman stroberi yang tumbuh terlalu rimbun, mempunyai banyak daun dan sulur sehingga akan menjadi kurang produktif berbunga dan berbuah. Pemangkasan daun dan sulur dilakukan secara teratur terutama membuang daun


(23)

7 tua dan daun rusak yang disebabkan oleh serangan hama dan penyakit. Pemangkasan umumnya dilakukan pada bunga pertama dan stadium pentil yang tumbuh berlebihan. Pemangkasan bunga pertama bertujuan untuk mendewasakan tanaman ke fase generatif dan tumbuh kuat, sedangkan tujuan dari pemangkasan bunga stadium pentil yaitu pada tanaman yang telah berumur 3-4 hari sejak berbunga, dimaksudkan agar dapat memperoleh buah stroberi yang berukuran besar dan memiliki kualitas bagus (Rukmana, 1998).

2.2 Kultur In vitro

Kultur in vitro merupakan budidaya tanaman dalam botol di suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik (Santoso dan Nursandi, 2003). Kultur in vitro sangat efektif untuk menghasilkan bibit stroberi dalam jumlah banyak, seragam, dan dapat menghasilkan tanaman yang bersifat sama dengan induknya serta bebas dari virus dan bakteri.

Menurut Yusnita (2003) kultur jaringan in vitro merupakan teknik menumbuhkan bagian tanaman seperti sel, jaringan dan organ. Semua alat dan media yang di gunakan harus dalam kondisi steril. Dalam teknik kultur in vitro lingkungan harus terkendali, menggunakan media modifikasi dengan kandungan nutrisi, zat pengatur tumbuh, dan suhu yang terkontrol. Teknik ini memberikan keuntungan yang lebih dari pada perbanyakan secara konvensional karena waktu yang digunakan lebih singkat, pengerjaannya di labolatorium tidak memerlukan tempat yang luas, dan perbanyakan tidak tergantung musim.

Santoso dan Nursandi (2003) mengungkapkan tentang keuntungan dalam

penggunaan teknik kultur jaringan in vitro adalah (1) Tanaman yang


(24)

8 memperbanyak tanaman yang sulit membentuk biji; (3) Mempersingkat waktu perbanyakan; (4) Memperbanyak tanaman hibrida unik atau steril; (5) Mendapatkan tanaman yang sifatnya sama dengan induknya dan bebas dari virus dan bakteri.

Kelemahan dari perbanyakan dengan kultur jaringan in vitro menurut Yusnita (2003) adalah (1) Memerlukan biaya awal yang tinggi untuk labolatorium, peralatan dan bahan kimia; (2) Pengerjaannya memerlukan orang yang ahli di bidang kultur jaringan in vitro; (3) Menghasilkan tanaman yang berukuran kecil dan terbiasa pada lingkungan yang aseptik sehingga perlu aklimatisasi untuk menyesuaikan diri di lingkungan eksternal.

Lingkungan tumbuh padat mempengaruhi regenerasi tanaman secara in vitro meliputi suhu, pH media dan kelembaban ruangan. Hendrayono dan Wijayani (2001) menyatakan sel tanaman yang telah melewati masa kultur in vitro mempunyai tolerani pH yang relatif sempit antara pH 5,0 – 6,0. Sterilisasi dapat merubah nilai pH media. Perubahan nilai pH mempengaruhi kemampuan sel untuk menyerap nutrisi dalam media.

2.3 Media Dasar Muarashige dan Skoog (MS)

Media dasar sebagai tempat tumbuhnya planlet yang mengandung hara essensial (makro dan mikro), sumber energi dan vitamin. Jenis-jenis media dasar yang dipergunakan untuk kultur in vitro adalah media dasar Vacin dan Went, Knudson C dan Murashige dan Skoog (MS). Media dasar MS biasanya digunakan dalam kultur in vitro di labolatorium karena cocok diberikan pada banyak spesies tanaman (Gunawan, 1992). Penggunaan MS sering kali dikurangi menjadi


(25)

9 setengah atau seperempat karena tidak semua tanaman memerlukan konsentrasi MS yang sama.

Garam-garam anorganik dalam MS bila dilarutkan dalam air akan membentuk ion yang berperan aktif pada media. Satu jenis ion bisa dikontribusi oleh lebih dari satu jenis senyawa (Bhojwani dan Razdan, 1983). Sukrosa adalah bahan baku yang mengahasilkan energi dalam respirasi dan pembentukan sel-sel baru (Widiastoety, 1995). Sukrosa sebagai sumber energi sering ditambahkan pada media, karena tanaman yang dikembangkan secara in vitro mempunyai laju fotosintesis yang rendah, sedangkan vitamin dibutuhkan dalam jumlah kecil sebagai katalisator pada proses metabolisme sel (Hendaryono dan Wijayani, 2001).

2.4 Eksplan

Eksplan adalah jaringan tanaman yang digunakan sebagai bahan tanam di dalam botol. Eksplan dipilih dari jaringan yang masih muda karena jaringan tersebut tersusun atas sel-sel yang masih muda dan selalu membelah, sehingga nantinya diharapkan bisa menghasilkan tanaman yang sempurna sebagai eksplan (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Pengambilan eksplan dilakukan pada bagian tanaman yang banyak mengandung jaringan meristem. Pada jaringan meristem akan terjadi pertambahan volume sel, diferensiasi sel, dan penambahan jumlah sel. Pengambilan eksplan dari jaringan dewasa, dalam waktu lama tidak akan terbentuk kalus karena kemampuan untuk membentuk jaringan tidak ada (Sandra, 2013).


(26)

10 Ukuran eksplan juga menentukan keberhasilan kultur jaringan. Eksplan yang berukuran besar sangat dikhawatirkan banyak mengandung kontaminan, tetapi ukuran eksplan yang terlalu kecil dianggap kurang efektif karena kemampuan perkembangannya dalam media sangat lambat. Ukuran eksplan yang paling baik adalah 0,5-1 cm, namun ukuran ini dapat bervariasi tergantung material tanaman yang dipakai dan jenis tanamannya (Gunawan, 1995).

2.5 Arang Aktif

Arang aktif mempunyai sifat adsorptif yang kuat terhadap koloid, benda padat, gas dan uap air. Arang aktif cenderung mengadsorpsi zat aromatik seperti fenol, auksin dan sitokinin. Zat terlarut dalam larutan atau media yang terkena kontak dengan arang aktif akan teradsorpsi. Adsorpsi akan terus berlanjut sampai terjadi keseimbangan. Kapasitas daya serap arang aktif tergantung pada kepadatan media, kemurnian arang aktif dan pH serta dipengaruhi oleh spesies yang dikultur (Pan, 1998).

Arang aktif pada kultur in vitro secara umum dapat menghalangi cahaya pada permukaan media, sehingga cahaya tidak dapat tembus sampai dibawah media. Cahaya yang dihalangi oleh arang aktif tidak akan dapat menstimulasi enzim yang dapat mengoksidasi fenol, zat yang dihasilkan oleh arang aktif dapat meningkatkan pertumbuhan dan menyebabkan media lebih asam (Pan, 1998).


(27)

11

2.6 Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik bukan nutrisi yang penting dalam pembuatan media kultur in vitro tetapi pemberian zat pengatur tumbuh perlu disesuaikan, tergantung pada jenis tanaman yang akan dikultur. Ada dua golongan zat pengatur tumbuh dalam kultur in vitro yang sangat penting yaitu auksin dan sitokinin (Gunawan, 1988).

Auksin sintetik yang terdiri dari IAA, IBA, NAA, dan 2,4-D memiliki peran yang penting dalam pertumbuhan kalus, suspense sel, dan pertumbuhan akar. Auksin berperan pada pertumbuhan dan perkembangan antara lain pembelahan sel, pertumbuhan ujung akar, dan aktivitas pada kambium (Wattimena, 1988).

Sitokinin adalah hormon yang berpengaruh terhadap fisiologis tanaman. Sitokinin berhubungan dengan pembelahan sel, modifikasi apikal dominan dan pembentukan tunas. Dalam kultur jaringan, sitokinin sangat berperan dalam diferensiasi kalus menjadi bakal tunas. Pembelahan sel pada jaringan yang ditumbuhkan pada media buatan juga dipengaruhi oleh sitokinin (Rahardjo, 1989). Jenis sitokinin sintetik yang digunakan dalam kultur in vitro adalah zaetin, Bensil Adenin (BA), 2-iP, BAP dan kinetin (Wattimena, 1991).

Auksin dan sitokinin yang diaplikasikan pada waktu yang bersamaan akan berdampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan jaringan. Media dasar perlu ditambahkan auksin dan sitokinin untuk mengatur tumbuh dan perkembangan organ pada eksplan (Wattimena, 1988).


(28)

12 Benzyl Amino Purine (BAP) adalah zat pengatur tumbuh sitokinin yang dapat mendorong pembelahan sel pada tumbuhan. Sitokinin dihasilkan pada jaringan aktif pada akar, embrio dan buah. Selanjutnya akan diproduksi di akar yang akan diangkut oleh xilem menuju sel-sel pada batang. BAP ini mempengaruhi segala proses fisiologis didalam tanaman, selain itu BAP berpengaruh dalam perkembangan embrio, menghambat proses penghancuran butir-bitir klorofil pada daun-daun yang terlepas pada tanaman, serta memperlambat proses senescence pada daun, buah dan organ-organ lainnya (Wattimena. 1987).

Naphthalene Acetic Acid (NAA) adalah zat pengatur tumbuh auksin yang mendorong pemanjangan sel, diferensiasi jaringan xilem dan floem serta pembentukan akar. Penambahan NAA dalam kultur jaringan berfungsi untuk merangsang pertumbuhan kalus, akar, pembelahan dan pemanjangan sel dan organ serta memacu dominansi apikal pada jaringan meristem (Rukmana, 2009).

Pemakaian auksin dan sitokinin dalam media lebih banyak diperlukan untuk mengatur pertumbuhan dan pembentukan organ. Auksin dan sitokinin yang diberikan pada waktu bersamaan akan menimbulkan pengaruh kerjasama yang berdampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan jaringan. Namun belum diketahui perbandingan antara auksin dan sitokinin yang bagaimana untuk merangsang atau menghambat pembelahan sel (Wattimena, 1987).

Selain penambahan ZPT pada media kultur jaringan dapat juga di tambahkan arang aktif atau karbon yang berfungsi menyerap senyawa racun dalam media atau menyerap senyawa inhibitor yang disekresikan oleh planlet, selain itu juga dapat mestabilkan pH media, merangsang pertumbuhan akar


(29)

13 dengan mengurangi jumlah cahaya yang masuk ke dalam media, dan merangsang morfogenesis. Arang aktif dapat mengurangi terjadinya pencoklatan media akibat pemanasan tinggi selama proses sterilisasi (Madhusudhanan & Rohiman, 2000).

2.7 Sterilisasi Eksplan

Eksplan adalah bagian kecil dari tanaman baik itu sel, jaringan atau organ yang digunakan untuk memulai suatu kultur. Sel yang bersifat meristematik akan membelah, walaupun selnya kecil tetapi inti selnya relatif besar. Bagian dari tanaman yang bersifat meristematik adalah ujung, batang dan akar (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Eksplan diambil dari lingkungan non aseptik maka bagian tanaman yang akan dikultur sering kali terkontaminasi oleh bakteri, jamur dan spora-spora. Kultur jaringan harus dalam keadaan aseptik, jika sumber kontaminan tidak dibersihkan maka pada media yang sudah diberi nutrisi akan muncul mikroba kontaminan. Penting terhadap sterilisasi perlu diperhatikan bahwa eksplan dan mikroba kontaminan adalah jasad hidup, kontaminan harus dihilangkan tanpa merusak eksplan (Indrianto, 2002).

Sterilisasi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan sumber kontaminasi yang ada pada permukaan eksplan. Sterilisasi eksplan hanya membersihkan mikroorganisme yang menempel dipermukaan eksplan atau disenfestasi (menghilangkan infestasi kontaminan) dan jika mikroorganisme berada di dalam eksplan itu sendiri atau disenfeksi (menghilangkan infeksi kontaminan dalam eksplan) akan sulit untuk di sterilisasi (Yusnita, 2003).


(30)

14 Bahan yang biasanya digunakan untuk sterilisasi eksplan adalah kalcium hypochlorite (bahan pemutih pakaian), sodium hypochlorite, sublimate/mercury chloride (HgCl2) dan alkohol. Konsentrasi dan lama waktu sterilisasi tergantung

dari jenis eksplan dan tempat tumbuhnya. Metode sterilisasi setiap eksplan berbeda, tergantung pada jenis tanamannya, bagian tanaman yang digunakan, morfologi permukaannya, umur tanamannnya, kondisi tanamannnya (sakit atau sehat pada saat pengambilan), musim saat pengambilan, dan lingkungan tumbuhnya. Sterilisasi eksplan adalah mensterilkan dari kontaminasi mikroorganisme, tanpa mematikan eksplannya (Sandra, 2013).

Untuk menekan tingkat kontaminasi dan mendapat pertumbuhan eksplan yang baik, perlakuan pada tanaman induk perlu dilakukan agar tanaman induk dalam kondisi higienis bisa juga dengan ditumbuhkan di paranet atau green house dengan perlakuan untuk menghindari serangan dari hama dan penyakit. Perlakuan ini terbukti pada tanaman induk yang tampilannya tidak ada cacad dan bebas dari penyakit terutama yang disebabkan oleh cendawan.

2.8Organogenesis

Organogenesis adalah proses perkembangan pucuk atau akar adventif dari massa sel-sel kalus. Proses tersebut terjadi setelah periode istirahat pada pertumbuhan kalus, antara saat pengkulturan eksplan dengan terjadinya induksi (Zulkarnain, 2009).

Proses organogenesis dimulai dengan perubahan sel parenkim tunggal atau sekelompok kecil sel yang membelah yang menghasilkan massa sel globuler yang bersifat kenyal dan berkembang menjadi pirmordium pucuk atau akar. Organogenesis dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Pembentukan


(31)

15 tunas secara langsung tergantung pada bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan dan jenis tanaman yang dikultur. Organogenesis secara tidak langsung dengan inisiasi kalus pada media tumbuh. Tunas adventif dan akar yang akan terbentuk diawali dengan terbentuknya kalus. Perbanyakan tanaman melalui kalus akan menghasilkan tanaman dengan genetik yang tidak bervariasi (Nugrahani, 2011).

2.9 Pencoklatan (browning)

Pada kultur jaringan eksplan seringkali berubah menjadi coklat (browning) sesaat setelah isolasi yang selanjutnya dapat menghambat pertumbuhan dan akhirnya menyebabkan kematian jaringan. Browning sangat umum terjadi pada spesies tanaman berkayu, terutama bila eksplan diambil dari pohon dewasa. Penghambatan pertumbuhan biasanya sangat kuat pada beberapa spesies yang umumnya mengandung senyawa tanin atau hidroksifenol dengan konsentrasi tinggi. Browning pada jaringan muda lebih sedikit dibandingkan dengan jaringan yang tua (George dan Sherrington 1984). Tang dan Newton (2004) juga melaporkan bahwa browning jaringan sangat menurunkan regenerasi secara in vitro dari kultur kalus pada beberapa tanaman berkayu, khususnya regenerasi tanaman melalui jalur organogenesis. Meskipun sebagian besar kultur kalus berubah menjadi browning, ada sebagian kecil tidak browning selama proses regenerasi in vitro pada Virginiapine (Pinus virginiana Mill.). Kultur dari tunas pucuk Scots pine (Pinus silvestris L.) juga ditandai dengan browning secara cepat dan ketidakmampuan beregenerasi (Laukkanen et al. 1999). Browning pada eksplan kalus tua pistachio dan kultur media di sekitar kalus menjadi masalah pada fase inisiasi (Azghandi et al., 2002)


(32)

16 Browning pada jaringan terjadi karena aktivitas enzim oksidase yang mengandung tembaga seperti polifenol oksidase dan tirosinase yang dilepaskan atau disintesis dan tersedia pada kondisi oksidatif ketika jaringan dilukai. Substrat untuk enzim ini ada bermacam-macam pada jaringan yang berbeda, yang umum adalah tirosinatau o-hidroksifenol seperti asam klorogenik (Lerch 1981). Enzim dan substrat dalam keadaan normal akan tertahan dalam ruang berbeda di dalam sel dan akan keluar bersama-sama pada saat sel dilukai atau hamper mati. Fenol mempunyai fungsi alami penting dalam mengatur oksidasi IAA. Apabila fenol yang terlarut dalam air digunakan pada eksplan jambu biji maka pertumbuhan tunas dan kalus akan terpacu (kemungkinan melalui sinergisme dengan auksin), dan akan menjadi racun apabila konsentrasinya meningkat (Cassman et al. 1978). Toksisitas fenol kemungkinan disebabkan oleh ikatan reversibel antara hidrogen dan protein. Penghambatan pertumbuhan yang tidak dapat diperbaiki terjadi ketika fenol teroksidasi menjadi senyawa aktif quinon yang tinggi yang kemudian memutar, memolimerase dan/atau mengoksidasi protein menjadi senyawa melanat yang makin meningkat.

Juma et al. (1994) meneliti kultur jaringan tanaman kopi dan menemukan bahwa tingkat oksidasi fenol tergantung pada sumber potongan ruas batang sebagai eksplan dan spesies tanaman. Kopi robusta cenderung lebih bermasalah dengan browning dibandingkan dengan kopi arabica. Ozyigit et al. (2007) melaporkan bahwa terbentuknya senyawa fenol dipengaruhi oleh struktur kimianya, spesies tanaman, proses biologi (organogenesis atau somatik embriogenesis), dan tahap perkembangannya. Metabolis mefenol mempengaruhi sistem kultur jaringan secara positif dengan metabolisme auksin (kecepatan


(33)

17 pembelahan sel dan sintesis dinding sel serta senyawa-senyawa lain yang berhubungan), tetapi oksidasi fenol yang berubah menjadi quinon dan senyawa lain (polimerasenya) yang sangat beracun menyebabkan rusaknya medium dan kematian eksplan.

Tang dan Newton (2004) membandingkan kalus yang mengalami browning dan yang tidak pada Virginia pine. Peningkatan lipid peroksida dan polifenol oksidase serta penurunan enzim anti oksidan askorbat peroksidase (APOX), glutation reduktase (GR), dan superoksida dismutase (SOD) diamati pada kedua macam kalus tersebut. Aktivitas enzimanti oksidan menurun secara cepat sesaat setelah pengkulturan dimulai, khususnya pada 3-4 minggu periode kultur. Konsentrasi asam amino yang mudah larut berbeda. Putresin menurun

63,8-71,5% pada jaringan yang mengalami browning. Spermidin

menurun47-65,6%, dan spermin menurun 62,3-74,5%. Disimpulkan bahwa browning jaringan berhubungan dengan akumulasi polifenol oksidase dan penurunan putresin, spermidin, dan spermin yang menghambat pertumbuhan kalus, diferensiasi tunas dan perakaran.

Andersone dan Levinsh (2002) juga melaporkan bahwa penurunan aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase berhubungan dengan peningkatan kemampuan jaringan untuk mulai tumbuh secara in vitro. Tabiyeh et al. (2006)

mengemukakan bahwa browning dalam kultur jaringan disebabkan karena

meningkatnya produksi senyawa fenolat yang diikuti oksidasioleh aktivitas enzim oksidase (PPO) dan polimerasinya. Fenilalanin amonia liase (PAL) adalah salah satu enzim dalam fenilpropanoid yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya


(34)

18 browning. Salah satu penyebab utama browning dalam kultur in vitro adalah luka karena pemotongan pada jaringan.


(1)

dengan mengurangi jumlah cahaya yang masuk ke dalam media, dan merangsang morfogenesis. Arang aktif dapat mengurangi terjadinya pencoklatan media akibat pemanasan tinggi selama proses sterilisasi (Madhusudhanan & Rohiman, 2000).

2.7 Sterilisasi Eksplan

Eksplan adalah bagian kecil dari tanaman baik itu sel, jaringan atau organ yang digunakan untuk memulai suatu kultur. Sel yang bersifat meristematik akan membelah, walaupun selnya kecil tetapi inti selnya relatif besar. Bagian dari tanaman yang bersifat meristematik adalah ujung, batang dan akar (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Eksplan diambil dari lingkungan non aseptik maka bagian tanaman yang akan dikultur sering kali terkontaminasi oleh bakteri, jamur dan spora-spora. Kultur jaringan harus dalam keadaan aseptik, jika sumber kontaminan tidak dibersihkan maka pada media yang sudah diberi nutrisi akan muncul mikroba kontaminan. Penting terhadap sterilisasi perlu diperhatikan bahwa eksplan dan mikroba kontaminan adalah jasad hidup, kontaminan harus dihilangkan tanpa merusak eksplan (Indrianto, 2002).

Sterilisasi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan sumber kontaminasi yang ada pada permukaan eksplan. Sterilisasi eksplan hanya membersihkan mikroorganisme yang menempel dipermukaan eksplan atau disenfestasi (menghilangkan infestasi kontaminan) dan jika mikroorganisme berada di dalam eksplan itu sendiri atau disenfeksi (menghilangkan infeksi kontaminan dalam eksplan) akan sulit untuk di sterilisasi (Yusnita, 2003).


(2)

Bahan yang biasanya digunakan untuk sterilisasi eksplan adalah kalcium hypochlorite (bahan pemutih pakaian), sodium hypochlorite, sublimate/mercury chloride (HgCl2) dan alkohol. Konsentrasi dan lama waktu sterilisasi tergantung dari jenis eksplan dan tempat tumbuhnya. Metode sterilisasi setiap eksplan berbeda, tergantung pada jenis tanamannya, bagian tanaman yang digunakan, morfologi permukaannya, umur tanamannnya, kondisi tanamannnya (sakit atau sehat pada saat pengambilan), musim saat pengambilan, dan lingkungan tumbuhnya. Sterilisasi eksplan adalah mensterilkan dari kontaminasi mikroorganisme, tanpa mematikan eksplannya (Sandra, 2013).

Untuk menekan tingkat kontaminasi dan mendapat pertumbuhan eksplan yang baik, perlakuan pada tanaman induk perlu dilakukan agar tanaman induk dalam kondisi higienis bisa juga dengan ditumbuhkan di paranet atau green house dengan perlakuan untuk menghindari serangan dari hama dan penyakit. Perlakuan ini terbukti pada tanaman induk yang tampilannya tidak ada cacad dan bebas dari penyakit terutama yang disebabkan oleh cendawan.

2.8Organogenesis

Organogenesis adalah proses perkembangan pucuk atau akar adventif dari massa sel-sel kalus. Proses tersebut terjadi setelah periode istirahat pada pertumbuhan kalus, antara saat pengkulturan eksplan dengan terjadinya induksi (Zulkarnain, 2009).

Proses organogenesis dimulai dengan perubahan sel parenkim tunggal atau sekelompok kecil sel yang membelah yang menghasilkan massa sel globuler yang bersifat kenyal dan berkembang menjadi pirmordium pucuk atau akar. Organogenesis dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Pembentukan


(3)

tunas secara langsung tergantung pada bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan dan jenis tanaman yang dikultur. Organogenesis secara tidak langsung dengan inisiasi kalus pada media tumbuh. Tunas adventif dan akar yang akan terbentuk diawali dengan terbentuknya kalus. Perbanyakan tanaman melalui kalus akan menghasilkan tanaman dengan genetik yang tidak bervariasi (Nugrahani, 2011).

2.9 Pencoklatan (browning)

Pada kultur jaringan eksplan seringkali berubah menjadi coklat (browning) sesaat setelah isolasi yang selanjutnya dapat menghambat pertumbuhan dan akhirnya menyebabkan kematian jaringan. Browning sangat umum terjadi pada spesies tanaman berkayu, terutama bila eksplan diambil dari pohon dewasa. Penghambatan pertumbuhan biasanya sangat kuat pada beberapa spesies yang umumnya mengandung senyawa tanin atau hidroksifenol dengan konsentrasi tinggi. Browning pada jaringan muda lebih sedikit dibandingkan dengan jaringan yang tua (George dan Sherrington 1984). Tang dan Newton (2004) juga melaporkan bahwa browning jaringan sangat menurunkan regenerasi secara in vitro dari kultur kalus pada beberapa tanaman berkayu, khususnya regenerasi tanaman melalui jalur organogenesis. Meskipun sebagian besar kultur kalus berubah menjadi browning, ada sebagian kecil tidak browning selama proses regenerasi in vitro pada Virginiapine (Pinus virginiana Mill.). Kultur dari tunas pucuk Scots pine (Pinus silvestris L.) juga ditandai dengan browning secara cepat dan ketidakmampuan beregenerasi (Laukkanen et al. 1999). Browning pada eksplan kalus tua pistachio dan kultur media di sekitar kalus menjadi masalah pada fase inisiasi (Azghandi et al., 2002)


(4)

Browning pada jaringan terjadi karena aktivitas enzim oksidase yang mengandung tembaga seperti polifenol oksidase dan tirosinase yang dilepaskan atau disintesis dan tersedia pada kondisi oksidatif ketika jaringan dilukai. Substrat untuk enzim ini ada bermacam-macam pada jaringan yang berbeda, yang umum adalah tirosinatau o-hidroksifenol seperti asam klorogenik (Lerch 1981). Enzim dan substrat dalam keadaan normal akan tertahan dalam ruang berbeda di dalam sel dan akan keluar bersama-sama pada saat sel dilukai atau hamper mati. Fenol mempunyai fungsi alami penting dalam mengatur oksidasi IAA. Apabila fenol yang terlarut dalam air digunakan pada eksplan jambu biji maka pertumbuhan tunas dan kalus akan terpacu (kemungkinan melalui sinergisme dengan auksin), dan akan menjadi racun apabila konsentrasinya meningkat (Cassman et al. 1978). Toksisitas fenol kemungkinan disebabkan oleh ikatan reversibel antara hidrogen dan protein. Penghambatan pertumbuhan yang tidak dapat diperbaiki terjadi ketika fenol teroksidasi menjadi senyawa aktif quinon yang tinggi yang kemudian memutar, memolimerase dan/atau mengoksidasi protein menjadi senyawa melanat yang makin meningkat.

Juma et al. (1994) meneliti kultur jaringan tanaman kopi dan menemukan bahwa tingkat oksidasi fenol tergantung pada sumber potongan ruas batang sebagai eksplan dan spesies tanaman. Kopi robusta cenderung lebih bermasalah dengan browning dibandingkan dengan kopi arabica. Ozyigit et al. (2007) melaporkan bahwa terbentuknya senyawa fenol dipengaruhi oleh struktur kimianya, spesies tanaman, proses biologi (organogenesis atau somatik embriogenesis), dan tahap perkembangannya. Metabolis mefenol mempengaruhi sistem kultur jaringan secara positif dengan metabolisme auksin (kecepatan


(5)

pembelahan sel dan sintesis dinding sel serta senyawa-senyawa lain yang berhubungan), tetapi oksidasi fenol yang berubah menjadi quinon dan senyawa lain (polimerasenya) yang sangat beracun menyebabkan rusaknya medium dan kematian eksplan.

Tang dan Newton (2004) membandingkan kalus yang mengalami browning dan yang tidak pada Virginia pine. Peningkatan lipid peroksida dan polifenol oksidase serta penurunan enzim anti oksidan askorbat peroksidase (APOX), glutation reduktase (GR), dan superoksida dismutase (SOD) diamati pada kedua macam kalus tersebut. Aktivitas enzimanti oksidan menurun secara cepat sesaat setelah pengkulturan dimulai, khususnya pada 3-4 minggu periode kultur. Konsentrasi asam amino yang mudah larut berbeda. Putresin menurun 63,8-71,5% pada jaringan yang mengalami browning. Spermidin menurun47-65,6%, dan spermin menurun 62,3-74,5%. Disimpulkan bahwa browning jaringan berhubungan dengan akumulasi polifenol oksidase dan penurunan putresin, spermidin, dan spermin yang menghambat pertumbuhan kalus, diferensiasi tunas dan perakaran.

Andersone dan Levinsh (2002) juga melaporkan bahwa penurunan aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase berhubungan dengan peningkatan kemampuan jaringan untuk mulai tumbuh secara in vitro. Tabiyeh et al. (2006) mengemukakan bahwa browning dalam kultur jaringan disebabkan karena meningkatnya produksi senyawa fenolat yang diikuti oksidasioleh aktivitas enzim oksidase (PPO) dan polimerasinya. Fenilalanin amonia liase (PAL) adalah salah satu enzim dalam fenilpropanoid yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya


(6)

browning. Salah satu penyebab utama browning dalam kultur in vitro adalah luka karena pemotongan pada jaringan.