melihat apakah selama ini pedagang telah memahami keinginan konsumen
ataukah belum.
Masyarakat sudah terlanjur
mempersepsikan pasar tradisional
berada dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Hal ini ditandai
dengan keadaaan yang becek, kumuh, tidak tertib, banyaknya pedagang kaki
lima yang membuka lapak di luar area resmi. Keadaan ini sangat tidak
menyenangkan bagi kosumen, dan membuat kepuasan konsumen pasar
tradisional menurun dan banyak yang beralih ke pasar modern. Hal lain
yang melekat pada keberadaan pasar tradisional
adalah banyaknya
pedagang kaki lima yang berada di area-area tak resmi dari sebuah
pasar. Pandangan masyarakat tentang keberadaan pedagang kaki
lima yang berada di luar area seringkali mengganggu kenyamanan
pembeli, membuat kemacetan jalan dan kesan kotor yang ditimbulkan
akibat sampah yang ditinggalkan begitu saja.
Pasar-pasar tradisional yang berada di kota Medan, misalnya Pasar
Simpang Limun, Pasar Aksara, Pasar Glugur, Pasar Petisah, dan lainnya,
merupakan bentuk pasar tradisional yang sampai saat ini masih diminati
oleh masyarakat. Masyarakat masih lebih memilih berbelanja di pasar
tradisional karena menawarkan kontak sosial yang lebih intens, tawar
menawar dan harga yang lebih murah. Pada pasar-pasar yang disebutkan di
atas, terbagi menjadi lapak-lapak resmi dan tidak resmi. Lapak resmi diisi
oleh penjual yang membayar retribusi
kepada pemerintah setempat,
sedangkan yang tidak resmi inilah yang disebut dengan pedagang kaki lima,
yang berada di luar area resmi dan tidak membayar restribusi. Tidak
resminya
keberadaan pedagang dikarenakan beberapa hal, misalnya
kurangnya jumlah
lapak yang
disediakan, tidak terjangkaunya biaya retribusi oleh pedagang.
Pada beberapa kota besar di Indonesia, keberadaan pasar dan
pedagang kaki lima dimanfaatkan sebagai salah satu sektor pariwisata.
Misalnya
di Yogyakarta, pasar
Beringharjo merupakan salah satu tujuan wisata, karena menyediakan
berbagai cinderamata dan produk khas daerah tersebut. Kompleks pasar
tersebut sebenarnya juga tak terlepas dari kesan pasar tradisional, namun ada
pembatas yang memisahkan antara pedagang yang menjual kebutuhan
konsumsi dan juga produk lain yang mencirikan daerah Yogyakarta.
Makalah ini bermaksud mengkaji keberadaan pasar dan pedagang kaki
lima yang banyak memenuhi pasar, dan dukungan yang dapat diberikan pada
sektor pariwisata. Sehingga dapat merekomendasikan bagaimana bentuk
pasar tradisional dan pengelolaan pedagang kaki lima yang dapat
mendukung sektor pariwisata nantinya
1.2. Rumusan Masalah
Dalam karya tulis ini, beberapa permasalahan dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana eksistensi pasar tradisional dan pedagang kaki
lima dalam mendukung sektor pariwisata?
2. Bagaimana kekuatan dan kelemahan pasar tradisional dan
pedagang kaki lima dibandingkan dengan pasar modern?
3. Bagaimana perilaku konsumen dari
pasar tradisional
dan pedagang kaki lima?
1.3. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dari penulisan karya ilmiah ini adalah menambahkan
kajian teori tentang eksistensi pasar tradisional dan pedagang kaki lima
dalam mendukung sektor pariwisata. Dalam karya ilmiah ini nantinya akan
muncul beberapa rekomendasi terkait sektor pariwisata yang mendapatkan
dukungan dari pasar tradisional dan pedagang kaki lima yang dikelola
dengan baik. Rekomendasi ini diharapkan dapat dipertimbangkan
sebagai masukan bagi pemerintah kota dalam mewujudkan Medan Berhias
bersih, hijau, asri dan sehat
Sedangkan tujuan umum dari penulisan karya tulis ini adalah untuk
1. Mengkaji eksistensi pasar tradisional dan pedagang kaki
lima dalam mendukung sektor pariwisata hiburan
2. Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan pasar tradisional dan
pedagang kaki lima dibandingkan dengan pasar modern
3. Mengkaji perilaku konsumen dari pasar tradisional dan pedagang kaki
lima
1.4. Kerangka Teori Tinjauan Tentang Pasar Tradisional
Dan Pasar Modern
Nel Arianty
2013 dalam
penelitiannya menemukan perbedaan signifikan antara kualitas pelayanan
pasar tradisional dan pasar modern. Hasil penelitiannya juga menemukan
perbedaan antara pasar modern dan pasar tradisional dari segi tata letak.
Pada umumnya kepuasan konsumen terhadap kualitas pelayanan pasar
tradisional dikategorikan cukup baik. Secara umum, harapan konsumen
terhadap kualitas pelayanan pasar tradisional tidak terlalu tinggi karena
keadaan ini sudah berlangsung sekian lama, sehingga bagi konsumen akan
sulit untuk diperbaiki. Konsumen lebih mementingkan segi harga yang
bisa
ditawar daripada kualitas
pelayanan. Woro Kristiningtyas, 2012, dalam
penelitiannya menemukan bahwa konsep geografi
menunjukkan penempatan pasar berorientasi pada
daerah pemasaran dekat penduduk dengan nilai keterjangkauan tinggi.
Fokus interaksi menunjukkan interaksi antar pelaku perdagangan, pemasok,
pembeli yang saling percaya untuk mencapai tujuan yaitu perolehan
keuntungan dari aktivitas jual beli yang dilakukan. Perilaku produsen memilih
produk barang yang dijual, penetapan harga melalui proses tawar menawar,
kegiatan promosi, dan pemilihan
tempat strategis bernilai ekonomis. Perilaku pembeli dipengaruhi oleh
ekstern, intern dan proses pengambilan keputusan untuk membeli di pasar
desa. Kesimpulan penelitian adalah eksistensi pasar tradisional desa
dipengaruhi kondisi geografi, perilaku pedagang dan pembeli.
Penelitian Damasus Ottis
Widiandra dan Hadi Sasana, 2013, menemukan
bahwa pengaruh
kenyamanan terhadap keuntungan usaha tidak
signifikan, artinya bahwa rendahnya tingkat kenyamanan
pasar tidak mempengaruhi keuntungan usaha pedagang pasar tradisional.
Pengaruh jarak terhadap keuntungan usaha adalah signifikan positif,
artinya apabila jarak pasar lebih strategis maka keuntungan usaha akan
meningkat. Pengaruh diversifikasi produk terhadap keuntungan usaha
adalah signifikan positif, artinya apabila diversifikasi produk lebih
beragam maka keuntungan usaha akan meningkat. Pengaruh harga terhadap
keuntungan usaha
adalah tidak
signifikan positif, artinya apabila harga pasar relatif lebih terjangkau maka
tidak mempengaruhi keuntungan
usaha.
Dyah Arum Istiningtyas, 2008,
dalam penelitiannya menemukan bahwa kriteria-kriteria yang penting
dalam aspek
manajemen yaitu
penataan dan pembinaan
PKL, meningkatkan manajemen pengelolaan
pasar tradisional secara profesional, meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat dan membentuk pasar
tradisional menjadi
usaha yang
efisien. Kriteria-kriteria yang penting dalam
aspek social yaitu terciptanya kondisi pasar yang aman, nyaman dan bersih
bagi konsumen, menciptakan pasar yang berdaya saing sehingga lebih
kompetitif dan mengurangi potensi konflik dengan masyarakat. Kriteria-
kriteria yang penting dalam aspek teknis yaitu peningkatan sarana dan
prasarana pasar dan kondisi fisik pasar yang lebih bersih dan rapi. Prioritas
alternatif strategi dalam pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor yaitu
pembentukan PD. Pasar, pemberdayaan pedagang
dan pengelola pasar,
pendistribusian PKL ke pasar-pasar yang telah dibangun, pembangunan
pasar lingkungan, menjalin kemitraan dengan UKM dan koperasi, pemberian
bantuan kredit dan pembentukan forum komunikasi.
Noor Kholis, Alifah Ratnawati, Sitty Yuwalliatin,
2011, dalam
penelitiannya mengemukakan bahwa terdapat lima belas faktor yang
dipertimbangkan konsumen untuk
memutuskan berbelanja di pasar tradisional menurut persepsi pedagang.
Kelimabelas factor ini adalah komitmen konsumen,
keluhan konsumen, lokasi dan harga, factor
yang berasal dari individu konsumen, penanganan keluhan atas barang yang
dijual, produk, prestise dan budaya, tidak dijual di pasar modern, konsumen
belanja
sesuai rencana,
jumlah pembelian tidak dibatasi, parkir,
terpengaruh pembicaraan orang lain, terpengaruh keluarga dan teman, serta
kelompok referensi. Selanjutnya
terdapat tujuh belas faktor yang dipertimbangkan konsumen untuk
memutuskan berbelanja di pasar tradisional
menurut persepsi
konsumen. Ketujuh belas factor tersebut adalah keluhan akan kondisi
pasar, produk, perilaku konsumen, komitmen konsumen, kelompok
reference, keluhan akan lorong pasar dan sarana parkir, tidak dibohongi,
lokasi, budaya dan kepuasan, harga, hidup dan ramai, jam buka, penataan
barang, kejelasan harga, berbelanja sambil mencari hiburan, pendidikan,
pendapatan dan berharap ada fasilitas pembayaran.
Istijabatul Aliyah,
Tri Joko
Daryanto, Murtanti jani Rahayu, 2007, merumuskan strategi pengembangan
Pasar tradisional di Kota Surakarta, hal yang harus diperhatikan adalah
jenis barang dagangan yang menjadi kekhasan lokal kota Surakarta yang
meliputi komoditas local berupa batik, dan cindera mata berupa barang antik,
model perbelanjaan yang masih tradisional
dengan pola tawar
menawar dan kontak langsung dengan penjual atau bahkan pengrajin, akan
menambah kepuasan para wisatawan dalam berbelanja, model penataan
ruang atau ruang yang tidak formal atau kaku, sehingga para wisatawan
dapat berlama-lama tanpa merasa sungkan dengan pelayanan yang
ramah dan sabar dari penjual. Fasilitas pendukung dan fasilitas
umum yang memadai sehingga para wisatawan dapat nyaman berbelanja
serta adanya pusat informasi yang lengkap dan jelas bagi produk- produk
khas lokal dan cinderamata
Pasar Tradisional, Pedagang Kaki Lima, Perilaku Konsumen
Pasar tradisional merupakan bentuk pasar yang paling tua yang berkembang
di Indonesia. Pasar ini mewakili proses transaki jual beli yang sesungguhnya
yang melibatkan pedagang dan pembeli. Proses transaksi yang
dilakukan transparan, melalui tahapan tawar menawar dan berakhir pada
sebuah kesepakatan jual dan beli. Pasar ini merupakan pertemuan dan
interaksi yang sesungguhnya antara penjual dan pembeli. Penggunaan
istilah pasar tradisional dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai
tempat bertemunya pedagang eceran dan pembeli
untuk melakukan
tranksaksi barang kebutuhan sehari- hari dengan organisasi pasar yang ada
masih sangat sederhana, tingkat efisiensi dan spesialisasi yang rendah,
serta pola bangunan yang apa adanya sempit sebagaimana disediakan oleh
pemerintah daerah setempat.
Pelaku utama yang terlibat dalam aktivitas sehari-hari dalam pasar
tradisional, yaitu : penjual, pembeli dan pegawaipejabat dinas pasar
Riasto Widiatmono, 2006. Selain 3 pelaku utama tersebut terdapat pelaku
yang lain, yaitu buruh panggul, petugas parkir, petugas kebersihan, preman dan
copet. Ciri pasar tradisional meliputi: 1. Dalam pasar tradisional tidak
berlaku fungsi-fungsi manajemen : Planning , Organizing, Actuating,
Controlling.
2. Tidak ada konsep marketing, yang menyatakan pembeli adalah raja,
pelayanan penjualan, penentuan harga berdasarkan perhitungan
harga pokok ditambah keuntungan tertentu, produk berkwalitas,
tempat penjualan yang nyaman bagi pembeli, dan lainnya
Sedangkan penjual pasar tradisional biasanya mempunyai ciri :
1. Tempat berjualannya kumuh,
sempit, tidak nyaman, gelap, kotor 2. Penampilan penjualnya
tidak menarik
3. Cara menempatkan barang dagangan tanpa konsep marketing.
Adapun pembeli pasar tradisional mempunyai cirri :
1. Rela berdesak-desakan di tempat
yang kumuh dan tidak nyaman 2. Tidak peduli dengan lalu-lalang
pembeli lainnya 3. Pembeli pasar tradisional biasanya
menguasai dan mengenal pasar tersebut utamanya masalah harga,
karena bila tidak tahu, harga komoditas bisa dua atau tiga
kali lipat. Hampir seluruh pasar tradisional di
Indonesia masih bergelut dengan masalah
internal pasar
seperti buruknya manajemen pasar, sarana dan
prasarana pasar yang sangat minim, sedangkan
pasar tradisional
merupakan sapi perah untuk
penerimaan retribusi, menjamurnya pedagang kaki lima PKL yang
mengurangi pelanggan pedagang pasar,
dan minimnya
bantuan permodalan yang tersedia bagi
pedagang tradisional. Keadaan ini secara
tidak langsung
menguntungkan pasar modern Poesoro, 2007, karena
keberadaan pasar modern jauh lebih bersih dan nyaman, sehingga kalangan
menengah ke atas lebih memilih berbelanja pasar modern.
Mangkunegara 2002 menyatakan bahwa perilaku konsumen adalah
tindakan yang dilakukan individu, kelompok, atau organisasi yang
berhubungan
dengan proses
pengambilan keputusan dalam mendapatkan, menggunakan barang-
barang atau jasa ekonomis yang dapat di pengaruhi lingkungan. Sedangkan
menurut Lamb, Hair, Daniel 2001 perilaku kunsumen adalah suatu proses
ekonomi pelanggan dalam membuat keputusan
membeli, juga
untuk menggunakan dan membuang barang-
barang dan jasa yang dibeli. Juga termasuk
faktor-faktor yang
mempengaruhi keputusan pembelian dan penggunaan produk. Perilaku
konsumen dipengaruhi oleh factor pribadi, factor social, factor budaya
dan factor psikologis.
Kecenderungan PKL adalah tidak terlepas dari eksistensi sektor formal di
daerah tersebut, dan dalam hal ini pemerintah pada umumnya hanya
melakukan kegiatan sporadis dengan membebaskan jalanan dari kegiatan
perdagangan liar, dimana hasilnya justru menciptakan masalah baru dan
kebijakan yang lahir bukan untuk menyelesaikan akar masalah yang
sebenarnya. Hal itu terjadi karena Pemerintah
Kota tidak
pernah menyediakan ruang bagi PKL dalam
Rencana Tata Ruang Kota terutama di
ruang-ruang fungsional kota dimana memiliki
potensi untuk
berkembangnya PKL. Kadir, 2010 Berdasarkan hasil studi yang
dilakukan oleh Joedo dalam Widjajanti 2000:35, penentuan lokasi yang
diminati sektor informal adalah sebagai berikut: 1 Terdapat akumulasi orang
yang melakukan kegiatan bersama- sama pada waktu yang relatif sama,
sepanjang hari. 2 Berada pada kawasan tertentu yang merupakan
pusat kegiatan perekonomian kota dan pusat non ekonomi perkotaan, tetapi
sering dikunjungi dalam jumlah besar. 3 Memiliki kemudahan untuk
terjadinya hubungan antara PKL dengan calon pembeli. 4 tidak
membutuhkan ktersediaan fasilitas dan
utilitas pelayanan umum. Kadir, 2010 Untuk faktor keindahan
aesthetics dapat digolongkan menjadi tiga kategori Eckbo, 1964, yaitu : a
Sensory aesthetics, yaitu suatu keindahan yang berkaitan dengan
sensasi menyenangkan dalam lingkungan, meliputi suara, warna,
tekstur dan bau. b Formal aesthetics, keindahan dan memperhatikan
apresiasi dari bentuk, ritme, komplesitas dan hal-hal yang
berkaitan dengan sekuens visual. Dalam menilai suatu karya arsitektur
lebih banyak berbicara mengenai
formal aesthetics. c Symbolic
aesthetics, meliputi apresiasi meaning dari suatu lingkungan
yang membuat perasaan nyaman. Eckbo, 1964
1.5. Metode Penulisan