pedagang kaki lima di bawah kaki pasar m

BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul Penelitian
Pembelaan Kepada Pedagang Kaki Lima terhadap Dominasi Pemerintah
Kota dan Pasar-pasar Modern : Studi Kritis di Kecamatan Jebres Kota
Surakarta.
B. Latar Belakang
Kuatnya laju pertumbuhan ritel-ritel modern di Indonesia yang tidak
dibarengi dengan perlindungan serius kepada pedagang kaki lima, secara kasat
mata tentu menampakkan ketimpangan persaingan diantara keduanya.
Sehingga menurut Managing Director Econit Advisory Group, yakni Hendri
Saparini (dalam bataviase.co.id: 2010) mengatakan bahwa Indonesia
merupakan salah satu negara dengan bisnis ritel paling liberal. Selain bebas
menentukan lokasi untuk membuka gerai, keberadaan investor asing juga tidak
diatur. Padahal di negara-negara maju yang notabene liberal sejati, seperti
Inggris, Jepang, dan Korea Selatan itu ada pembatasan penguasaan asing di
sektor ritel dengan penguasaan pangsa pasar hanya 1 hingga 3 persen saja,
namun paradok di Indonesia yang mengaku sebagai negara dengan sistem
ekonomi kerakyatan, tetapi penguasaan ritel asing hampir mencapai pangsa
pasar di atas 13 persen.
Perkembangan pesat ritel modern di banyak tempat, sebut saja Hypermart,

Carrefour, Matahari, hingga minimarket seperti Indomaret dan Alfamart yang
jauh masuk ke pelosok-pelosok desa menimbulkan banyak permasalahan besar.
Pasalnya ketika ritel-ritel modern itu berdiri dan mengalami laju pertumbuhan
yang signifikan, justru membuat pedagang kaki lima yang tergusur dan gulung
tikar. Akibatnya, marjinalisasi dan kemiskinan menjadi fenomena yang tak
terbantahkan. Hal ini juga tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang mana
dengan mudah memberikan ijin kepada ritel-ritel modern di Indonesia untuk
mendirikan atau membuka gerai dan juga belum ada pembatasan untuk
investor asing yang juga ingin mendirikan gerai di Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, mungkin juga adanya perubahan masyarakat ke
arah yang liberal dan konsumtif, kini fenomena menjamurnya ritel-ritel modern
yang berdiri berada di pusat jantung kota hingga berekspansi sampai pelosokpelosok desa dan kesemuanya mengalami pertumbuhan yang luar biasa.
Beberapa bentuk ritel-ritel modern itu menurut www.organisasi.org (dalam
Arifardhanin.d., h. 90) diantaranya adalah: (1). Department Stores (contohnya
seperti Matahari, Luwes, Centro, dan sebagainya); (2). Convenience Stores
(contohnya mini market Alfamart dan Indomaret); (3). Supermarket
(Contohnya Giant, Superindo); (9). Hipermarket (contohnya hipermarket Lotte
Mart, Hypermart dan Carrefour). Fenomena merebaknya ritel-ritel modern
sudah menghancurkan toko-toko kelontong atau pasar tradisional di sekitarnya,

yang pada akhirnya menghancurkan perekonomian suatu regional karena uang
tidak berputar di daerah tersebut. Pada kenyataannya, masyarakat sebagai
konsumen lebih milih membelanjakan uang mereka di indomaret atau alfamart
dan supermarket/hypermarket besar karena nyaman dan banyak yang lebih
murah, lagi pula toko dan pasar tradisional biasanya tidak nyaman dan tidak
lengkap. Dan akhirnya pasar dan toko tradisional bakalan mati, sehingga
mematikan perekonomian suatu regional. Efeknya adalah perputaran uang di
kalangan bawah menurun drastis, yang berarti meningkatkan angka kemiskinan
yang berakibat kriminalitas, dan efek negatif lain dari kemiskinan.
Kemudian lebih memfokuskan pembahasan di kota

Surakarta,

menjamurnya pasar modern yang terjadi menjadikan keberadaan pedagang
kaki lima semakin terkikis, sekaligus juga dengan adanya desakan dari
pemerintah kota yang sedikit demi sedikit mengeluarkan kebijakan yang
memarjinalan PKL sebagai suatu badan usaha informal yang tidak memiliki
izin untuk mendirikan bangunan dagangan mereka. Kebijakan tersebut berupa
penggusuran atau relokasi PKL ke wilayah yang sepi penduduknya. Kebijakan
seperti itulah yang mematikan keberadaan PKL di Kota Surakarta. Oleh karena

itu dengan dilakukannya penelitian kritis ini diharapkan mampu menggerakkan
PKL yang ada di Kota Surakarta untuk menuntut hak-hak mereka agar tetap

mampu mendirikan usaha dagang mereka tanpa ada dominasi dari pasar-pasar
modern dan juga desakan-desakan dari Pemerintah Kota Surakarta.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa permasalahan Pedagang Kaki Lima di kecamatan Jebres dalam
kaitannya dengan kebijakan Pemerintah Kota Surakarta ?
2. Apa permasalahan Pedagang Kaki Lima dalam kaitannya dengan
keberadaan pasar-pasar modern di kecamatan Jebres ?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dengan diadakan penelitian ini ialah :
1. Untuk mengetahui permasalahan Pedagang Kaki Lima di kecamatan
Jebres dalam kaitannya dengan kebijakan Pemerintah Kota Surakarta.
2. Untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi Pedagang Kaki Lima
dalam kaitannya dengan keberadaan pasar-pasar modern di kecamatan
Jebres.
E. Manfaat Penelitian

Manfaat dengan dilakukan penelitian ini ialah :
1. Manfaat Teoritis
a. Mengembangkan teori sosiologi terutama teori dari Antonio
Gramsci mengenai teori hegemoni, dalam penelitian ini ialah
Pedagang Kaki Lima di Kecamatan Jebres Kota Surakarta.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pemerintah Kota Surakarta,
Dengan diadakan penelitian ini diharapkan memberikan
kesadaran

kepada

Pemerintah

Kota

Suarakarta

dalam


menentukan kebijakan terkait dengan keberadaan PKL agar
lebih pro aktif kepada Pedagang Kaki Lima. Selain itu agar
Pemerintah Kota Surakarta dapat memberikan batasan
mengenai keberadaan pasar-pasar modern yang berada di Kota
Surakarta.
b. Bagi Pedagang Kaki Lima

Dengan

diadakan

penelitian

ini

diharapkan

dapat

menumbuhkan kesadaran sekaligus memberikan dukungan

kepada Pedagang Kaki Lima yang berada di Kota Surakarta
agar tetap mampu mempertahankan keberadaannya dalam
menghadapi pasar-pasar modern dan juga menuntut hak-hak
mereka untuk tetap mendirikan usaha PKL kepada Pemerintah
Kota Surakarta.
c. Bagi Masyarakat
Dengan

dilakukan

penelitian

ini

diharapkan

dapat

memberikan hasil berupa kesadaran masyarakat mengenai
penggunaan barang dan jasa PKL dalam pemenuhan kebutuhan

sehari-hari dibandingkan denggan penggunaan barang atau jasa
yang disediakan pasar-pasar modern.

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka
1. TEORI HEGEMONI ,ANTONIO GRAMCI (1891-1937)
Realitas terstruktur adalah teori yang cukup mengejutkan dari Louis
Althrusser, sekaligus kritik atas Marx, yang menurutnya terlalu terpukau
dengan kaluasul ekonomi sebagai faktor mekanisme terjadinya kekuasaan.
Louis Althusser cukup berhasil menjelaskan bagaimana bentuk-bentuk

ideology (ideology di sini dalam arti negative) disosialisasikan kepada
masyarakat luas. Tapi ada beberapa hal krusial yang membuat bagaimana
mekanisme ideology bisa tersebar luas dengan sangat efektif, yaitu
teori Hegemoni. Istilah Hegemoni asal bahasa Yunani, Hegeishtai
Istilah yang berarti memimpin, kepemimpinan atau Kekuasaan yang
melebihi kekuasaan yang lain. Konsep Hegemoni menjadi nge-trend setelah
digunakan sebagai penyebutan atas pemikiran (Antonio) Gramci, yang

dipahami sebagai ide yang mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu.
Adapun teori Hegemoni yang dicetuskan Gramci adalah:
“.. Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di
dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam
masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi)
mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip
religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial,
khususnya dalam makna intelektual dan moral..”.
Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses
penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif
mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak
dengan

kekerasan,

melainkan melalui

bentuk-bentuk

persetujuan


masyarakat yang dikuasai.
Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat
dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran,kemampuan kritis,
dan kemampuan-kemampuan

afektif

masyarakat melalui konsensus

yang

menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam
pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini
terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok
yang berkuasa. Dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat
dominan dapat

dijelaskan


sebagai

berikut: Kelas

dominan

melakukan

penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi.
Masyarakat Kelas Dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas
bawah sehingga tanpa disadari mereka rela dan mendudukan kekuasaan kelas
dominan. Sebagi contoh dalam situasi kenegaraan, upaya kelas dominan

(pemerintah) untuk merekayasa kesadaran kelas bawah (masyarakat) adalah
dengan melibatkan para intelektual dalam birokrasi pemerintah serta
intervensi melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni.
John Storey menjelaskan konsep hegemoni untuk mengacu kepada
proses sebagai berikut:
“…sebuah kondisi proses di mana kelas dominan tidak hanya
mengatur namun juga mengarahkan masyarakat melalui pemaksaan

“kepemimpinan” moral dan intelektual. Hegemoni terjadi pada suatu
masyarakat di mana terdapat tingkat konsensus yang tinggi dengan
ukuran stabilitas sosial yang besar di mana kelas bawah dengan aktif
mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya
yang mengikat dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang
ada...”
Teori ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana kita bisa merasa
rela saat ada orang lain membeli tanah sawah (tanah resapan), yang akan
dibangun mall atau perumahan elit. Dan kita merasa lumrah sekaligus berkata
demikian: “Ya wajarlah dia punya duit”

Konsep Hegemoni
Istilah hegemoni berasal dari istilah yunani, hegeisthai. Konsep
hegemoni banyak digunakan oleh sosiolog untuk menjelaskan fenomena
terjadinya usaha untuk mempertahankan kekuasaan oleh pihak penguasa.
Penguasa disini memiliki arti luas, tidak hanya terbatas pada penguasa negara
(pemerintah).
Hegemoni bisa didefinisikan sebagai: dominasi oleh satu kelompok
terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga
ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang
didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar (common sense). Lihat juga
definisi dibawah ini:

Hegemony is the dominance of one group over other groups, with or
without the threat of force, to the extent that, for instance, the dominant party
can dictate the terms of trade to its advantage; more broadly, cultural
perspectives become skewed to favor the dominant group. Hegemony controls
the ways that ideas become “naturalized” in a process that informs notions of
common sense (http://en.wikipedia.org/wiki/Hegemony)
“…Dominant groups in society, including fundamentally but not exclusively
the ruling class, maintain their dominance by securing the ‘spontaneous
consent’ of subordinate groups, including the working class, through the
negotiated construction of a political and ideological consensus which
incorporates both dominant and dominated groups.”(Strinati, 1995: 165).
Dapat kita simpulkan bahwa:
Dalam

hegemoni,

kelompok

yang

mendominasi

berhasil

mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai moral,
politik, dan budaya dari kelompok dominan (the ruling party, kelompok yang
berkuasa). Hegemoni diterima sebagai sesuatu yang wajar, sehingga ideologi
kelompok dominan dapat menyebar dan dipraktekkan. Nilai-nilai dan ideologi
hegemoni ini diperjuangkan dan dipertahankan oleh pihak dominan
sedemikian sehingga pihak yang didominasi tetap diam dan taat terhadap
kepemimpinan kelompok penguasa.
Hegemoni bisa dilihat sebagai strategi untuk mempertahankan
kekuasaan
“…the practices of a capitalist class or its representatives to gain state
power and maintain it later.” (Simon, 1982: 23).
Jika dilihat sebagai strategi, maka konsep hegemoni bukanlah strategi
eksklusif milik penguasa. Maksudnya, kelompok manapun bisa menerapkan
konsep hegemoni dan menjadi penguasa. Sebagai contoh hegemoni, adalah
kekuasaan dolar Amerika terhadap ekonomi global. Kebanyakan transaksi
internasional dilakukan dengan dolar Amerika.

Pembentukan Hegemoni
Gramsci (1891-1937) merupakan tokoh yang terkenal dengan analisa
hegemoninya. Analisa Gramsci merupakan usaha perbaikan terhadap konsep
determinisme

ekonomi dan dialektika

sejarah Karl

Marx

(lihat Das

Capital Marx). Dalam dialektika sejarah Marx, sistem kapitalisme akan
menghasilkan kelas buruh dalam jumlah yang besar dan terjadi resesi
ekonomi. Pada akhirnya, akan terjadi revolusi kaum buruh (proletar) yang
akan melahirkan sistem sosialisme. Dengan kata lain, kapitalisme akan
melahirkan sosialisme. Namun, hal ini tidak terjadi.
Gramsci mengeluarkan argumen bahwa kegagalan tersebut disebabkan
oleh ideologi, nilai, kesadaran diri, dan organisasi masyarakat bawah
tenggelam oleh hegemoni kelompok penguasa. Hegemoni ini terjadi melalui
media massa, sekolah-sekolah, bahkan melalui khotbah atau dakwah kaum
religius, yang melakukan indoktrinasi sehingga menimbulkan kesadaran baru
bagi masyarakat bawah. Daripada melakukan revolusi, masyarakat bawah
malah berpikir untuk meningkatkan statusnya ke kelas menengah, mampu
mengikuti budaya populer, dan meniru perilaku atau gaya hidup kelas borjuis.
Ini semua adalah ilusi yang diciptakan kaum penguasa agar kaum yang
didominasi kehilangan ideologi serta jatidiri sebagai manusia merdeka.
Agar masyarakat bawah dapat menciptakan hegemoninya, Gramsci
memberikan 2 cara (Strinati, 1995), yaitu melalui :
1.

“war of position” (perang posisi)

2.

“war of movement” (perang pergerakan).
Perang posisi dilakukan dengan cara memperoleh dukungan melalui

propaganda media massa, membangun aliansi strategis dengan barisan sakit
hati, pendidikan pembebasan melalui sekolah-sekolah yang meningkatkan
kesadaran

diri

dan

sosial.

Karakteristiknya:

Perjuangan

panjang.

Mengutamakan perjuangan dalam system. Perjuangan diarahkan kepada
dominasi budaya dan ideology. Perang pergerakan dilakukan dengan serangan

langsung (frontal), tentunya dengan dukungan massa. Perang pergerakan bisa
dilakukan setelah perang posisi dilakukan, bisa juga tidak.
Meskipun analisa Gramsci berkisar pada perang kelas ekonomi,
konsep hegemoni dapat diperluas ke wilayah sosial dan regional. Misalnya,
undang-undang subversif pada zaman orba. Di kampus, kita bisa lihat
hegemoni KM ITB, hegemoni rektorat.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Paradigma Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma teori kritis, di mana melalui
paradigma ini peneliti berupaya untuk membangkitkan kesadaran dan
pembebasan (emansipasi) yang dihadapi oleh masyarakat. Teori kritis berupaya
untuk memperlihatkan dan membuka ideologi kekuasaan, menunjukkan
kesalahan dalam pandangan yang dimiliki dan bagaimana pandangan itu ikut
melanggengkan tatanan sosial yang tidak adil dan menindas.
Menurut Lubis (2006), teori kritis pertama-tama berupaya untuk
memberikan pencerahan dalam arti menyadarkan masyarakat tentang faktorfaktor yang menghimpit dan menindas mereka, serta mereka harus berupaya
untuk membebaskan diri dari faktor tersebut, sesuai dengan teori.
Ini berarti teori yang digunakan harus dibahasakan secara sederhana, teori
harus mampu berbicara kepada perasaan masyarakat. Oleh karena itu dalam

penelitian ini

peran komunikasi antara peneliti dengan subjek penelitian

menjadi bagian yang sangat penting. Morrow (1994) menegaskan bahwa dalam
teori kritis hubungan antara peneliti dengan tineliti bersifat dialektikal dan
mengakui adanya hubungan hermeunetik peneliti sosial.
Paradigma teori kritis klasik ditentukan oleh dua faham fundamental,
yakni gaya pemikiran historis dan gaya pemikiran materialis (Suseno 2006).
Gaya pemikiran historis ini menyatakan bahwa realitas sosial yang sekarang
hanya bisa dipahami dengan melihatnya sebagai sebuah sejarah penindasan
yang diselubungi secara ideologis oleh ilmu-ilmu positif sehingga realitas saat
ini tampak sebagai obyektivitas yang wajar.
Teori kritis bertugas membuka selubung ideologis tersebut dan membuka
kemungkinan pembebasan dari penghisapan dan penindasan yang diciptakan
manusia.
Gaya pemikiran materialis ini menyatakan bahwa sejarah penindasan
tersebut terwujud dalam bidang produksi prasyarat-prasyarat material hidup
manusia dan dalam bidang ekonomi.
Teori kritis juga memiliki peran edukasi, di mana fungsi penelitian sosial
bukan hanya memberikan pengetahuan tentang fenomena sosial dan
menjelaskan fenomena sosial yang manipulatif, akan tetapi juga menimbulkan
kesadaran kepada para pelaku sosial, sehingga dengan menyadari kondisi dan
situasi sosial yang mereka alami, mereka dapat mengubah sendiri kondisi yang
diinginkan tersebut.
Jadi senantiasa diperlukan dialog antara peneliti dengan masyarakat dalam
rangka pencerahan dan penentuan arah tindakan yang diharapkan dapat
mengubah dan memenuhi tuntutan mereka sendiri. Sejalan dengan pandangan
di atas, Kincheloe dan Mc Laren (2000), menyatakan bahwa melalui penelitian
dengan paradigma teori kritis seorang peneliti bukan hanya mempelajari
tentang kehidupan masyarakat, tetapi juga membantu mereka secara bersama
memecahkan persoalan agar mereka mampu menyusun strategi untuk
memecahkan masalah tersebut. Permasalahan-permasalahan yang dipecahkan
ini terutama berkaitan dengan masalah kekuasaan dan keadilan yang terkait
dengan faktor ekonomi, ras (etnis), kelas sosial, gender, ideologi, pendidikan,

kepercayaan dan institusi sosial lainnya yang berinteraksi dengan dinamika
kebudayaan yang membentuk suatu sistem sosial.
Lebih lanjut juga diungkapkan oleh Lubis (2006), teori kritis
berpandangan bahwa dominasi (dalam masyarakat) bersifat struktural. Artinya
kehidupan masyarakat sehari-hari dipengaruhi oleh institusi sosial yang lebih
besar seperti : politik, ekonomi, budaya, ideologis, diskursus, etnis, ras dan
gender.
Teori sosial kritis berupaya untuk mengungkap struktur yang mendominasi
untuk membantu individu/masyarakat dalam memahami akar global dan
rasional penindasan yang mereka alami.
Penelitian ini juga mencoba untuk melihat bagaimana proses interaksi
antara pengetahuan lokal dengan sains yang dalam perjalan sejarah
modernisasi pertanian sering menciptakan dominasi. Dengan demikian rentetan
waktu menjadi faktor penting dalam penelitian ini. Seperti yang dikemukakan
oleh Tar (1997), bahwa teori kritis mendasarkan kajiannya terhadap masyarakat
dalam konteks proses dan penjalanan sejarah secara keseluruhan.

Melalui

paradigma teori kritis ini maka kegiatan penelitian ini lebih banyak ditujukan
pada kritik, transformasi, pemulihan, dan emansipasi. Sehingga

tujuannya

bukan hanya sekedar pemahaman dan rekonstruksi atau pengembangan
pengetahuan praktis maupun prediksi dan kontrol (Lincoln and Guba 2000).
Secara ontologi, teori kritik mendasarkan pada realisme historis (historical
realism). Realitas yang dapat diamati merupakan realitas semu yang dibentuk
oleh sosial, politik, budaya, ekonomi, etnis dan nilai-nilai gender, dan
mengkristalisasi kedalam serangkaian struktur sebagai kenyataan alami yang
bertahan (bersifat srtruktural). Untuk semua tujuan praktis struktur tersebut
adalah ada secara semu atau kenyataan sejarah. Secara epistemologi, bersifat
transaksionalitas dan subjektif. Peneliti dan tineliti saling berinteraksi dan nilainilai peneliti serta situasi lainnya mempengaruhi penelitian. Hubungan antara
peneliti dan tineliti dijembatani oleh nilai-nilai tetentu (value mediated
findings). Secara metodologi, bersifat dialogis dan dialektik. Penelitian
dibangun melalui dialog antara peneliti dengan tineliti, di mana dialog bersifat

dialektikal secara alamiah untuk merubah ketidaktahuan dan salah pengertian
menjadi kesadaran atau sebagai bentuk transformasi intelektual.
Menurut Morrow (1994), implikasi metodologis teori kritis yang
membedakannya dengan pendekatan empiris antara lain :
1. Pemilihan dan cara menggunakan metode

(logis

dalam

penggunaannya) tidak dapat dipisahkan dari metode teori informasi
dan klarifikasi permasalahan.
2. Teori kritis bersifat dialektikal dalam hal ini mengakui adanya
hubungan hermeunetik peneliti sosial, oleh karena itu struktur
sosial ditegaskan melalui perantaraan manusia.
3. Aspek metodologi neo-empiris dibentuk oleh

komponen-

komponen eksplisit dari penelitian praktis.
4. Karena penelitian dalam suatu masyarakat yang sudah terbentuk
tidak dapat menggunakan ideologi netral, maka legitimasi untuk
mensahkan

rasionalitas

didefinisikan

dari

bentuk

panduan

penelitian melalui pemikiran kritik-pembebasan.
5. Dimensi metodologi empiris dibedakan menjadi ekstensif dan
intensif, lebih dari sekedar kuantitatif dan kualitatif, dan metode
intensif merupakan pertimbangan utama untuk memahami
pembentukan

teori

sosial

dalam

terminologi

interpretatif

strukturalis.
6. Desain penelitian intensif dan ekstensif dapat dibedakan dari
perhatian terhadap fokus pada level proses sistem integrasi,
integrasi sosial dan mediasi sosial budaya.
B. Jenis penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang
berusaha mendapatkan informasi selengkap mungkin mengenai nasib
Pedagang Kaki Lima yang didominasi oleh Pemerintah Kota dan Pasar-pasar
Modern.
C. Teknik Pengambilan Sampling
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik purposive sampling,
pengambilan jenis teknik sampling ini berdasar atas tujuan dari penelitian,
yang dijadikan sebagai sampel antara lain:

-

Pedagang

Kaki

Lima

yang

pernah

direlokasi

ataupun

baru

mendapatkan sosialisasi mengenai relokasi yang akan dilakukan
-

Pemerintah Kota Surakarta.
Pedagang Kaki Lima yang berdagang di sekitar pasar-pasar modern di
Kecamatan Jebres Kota Surakarta (alfamart, indomaret, dll).

D. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Jebres Kota Surakarta.
2. Waktu Penelitian
Aktivitas penelitian ini secara keseluruhan telah dilaksanakan
selama dua minggu, yaitu 14 November 2013 hingga 28 November 2013.
Tabel 1
No

Tahapan

.

Kegiatan

Waktu Pelaksanaan
14 - 20 21 – 24 25
Nov13

1
2
3

Persiapan
Observasi
Dokumentasi

4
5

Wawancara
Draft Laporan

6

Aksi

7

Laporan

8

Akhir
Konsultasi

Nov13

Nov13

26

27

Nov13 Nov13
( Pagi )

27
Nov13
( Sore )

E. Sumber Data
1. Data Primer
Dalam penelitian ini, data primer diperoleh melalui observasi
lingkungan di Kecamatan Jebres Kota Surakarta Serta wawancara dengan
Pedagang Kaki Lima di Kecamatan Jebres dan tokoh masyarakat Kota
Surakarta yang berkaitan langsung dengan tema penelitian.

2. Data Sekunder
Peneliti mendapatkan data sekunder berupa deskripsi lokasi Kota
Surakarta yang berisi peta wilayah.
Gambar 1. Peta Wilayah Kota Surakarta

(http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/4/49/Peta_Solo_p
er_kecamatan.svg/300px-Peta_Solo_per_kecamatan.svg.png).
B. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah sebagai berikut :
1. Wawancara
Peneliti melakukan wawancara dengan beberapa Pedagang Kaki
Lima yang pernah direlokasi ataupun baru mendapatkan sosialisasi
mengenai relokasi yang akan dilakukan Pemerintah Kota Surakarta.
Dan juga Pedagang Kaki Lima yang berdagang di sekitar pasar-pasar
modern di Kecamatan Jebres Kota Surakarta (alfamart, indomaret, dll).
Sekaligus kepada tokoh masyarakat, dalam penelitian ini ialah
Ketua Paguyuban Pedagang Kaki Lima Kota Surakarta, atau Aliansi
Pedagang Surakarta (APS).

2. Observasi

Observasi dilakukan di daerah Kecamatan Jebres Kota
Surakarta. Hasil observasi berupa gambar atau photo.
Gambar 2. Salah satu pasar modern di Kelurahan Jebres.

Gambar 3. Tulisan larangan untuk mendirikan bangunan ( PKL ) di
tembok belakang UNS.

Gambar 4 dan 5. Keadaan tempat relokasi di Pasar Panggung Rejo

C. Instrument Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi instrumen utama ialah peneliti
sendiri yang terdiri dari mahasiswa Sosiologi B 2011 Fisip UNS.
Serta instrumen tambahan berupa:
-

catatan lapangan (field notes).

-

Recorder Handphone, digunakan untuk merekam wawancara.

-

Kamera, digunakan untuk mengambil gambar.

-

Daftar pertanyaan (Interview guide). Dengan point-point
sebagai berikut:
Untuk PKL:
1. Apa saja syarat untuk mendirikan usaha PKL di sini ?
2. Setelah dibangunnya pasar modern di sekitar tempat anda
berjualan, apakah mempengaruhi penghasilan ?
3. Bagaimana hubungan keseharian anda dengan pasar
modern dan pemerintah kota ?
4. Apa saja kebijakan yang sudah dilakukan pemerintah
kepada PKL ?

5. Apa harapan anda terhadap keberadaan pasar modern
(Alfamart, Indomart, dll) di sekitar anda berdagang ?
6. Apa harapan anda terhadap pemerintah kota Surakarta ?
Untuk Paguyuban PKL :
1. Mengapa dibentuk paguyuban PKL ?
2. Apa saja program kerja dari paguyuban ini ?
3. Apa saja yang telah dilakukan selama ini ?
4. Bagaimana kebijakan Pemkot Surakarta selama ini ?
5. Bagaimana pendapat anda mengenai menjamurnya pasar
modern (alfamart, indomart, dll) ?
Dan apa dampaknya terhadap keberadaan PKL sendiri ?

D. Teknik Analisis Data
Menurut Lincoln dan Guba (2000) secara metodologis teori kritis bersifat
dialogis dan dialiktik, sehingga penelitian dibangun melalui dialog antara
peneliti dengan subjek penelitian. Dialog yang bersifat dialektikal secara
alamiah bertujuan untuk merubah ketidaktahuan dan salah pengertian menjadi
kesadaran atau sebagai bentuk transformasi intelektual.
Pengumpulan data dan analisis data berlangsung secara simultan. Data
dalam penelitian ini merupakan pemahaman bersama antara penelti dengan
tineliti. Oleh karena itu pengetahuan terdiri atas serangkaian pemahaman
struktur/historis yang akan ditransformasikan. Pengetahuan bukan merupakan
akumulasi yang mutlak; melainkan, tumbuh dan berubah melalui suatu proses
dialektikal revisi historis yang secara terus-menerus menghilangkan salah
pengertian dan ketidaktahuan dan memperluas pengertian tentang informasi
yang diberikan secara lebih mendalam.

Glaser dan Strauss (1985) analisis data dilakukan dalam bentuk
pengkodean (coding) yang merupakan proses penguraian data, pengonsepan,
dan penyusunan kembali dengan cara baru. Langkah-langkah dalam analisis ini
diawali dengan pengkodeaan terbuka (open coding) yang terdiri atas pelabelan
fenomena, penemuan dan penamaan kategori, penyusunan kategori. Berikutnya
dilanjutkan dengan pengkodean terporos (axial coding), yakni penempatan data
kembali dengan cara-cara baru dengan membuat kaitan antar kategori. Tahap
selanjutnya adalah pengkodean terpilih (selective coding) yakni memilih
kategorisasi inti dan menghubungkan kategori-kategori lain pada kategori inti.

BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Lokasi
1. Kota Surakarta
Secara geografis Kota Surakarta dan sekitarnya terletak pada posisi
110 45’ 15”-110 45’35” Bujur Timur dan antara 70 31’ 43”- 70 35’28”
Lintang Selatan. Luas daerah administrasi 44,06 km2. Terdiri dari 5
wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Laweyan yang terdiri dari 11
Kelurahan, Kecamatan Serengan yang terdiri dari 7 Kelurahan, Kecamatan
Jebres yang terdiri dari 11 Kelurahan, Kecamatan Pasar Kliwon yang
terdiri dari 9 Kelurahan, Kecamatan Banjarsari yang terdiri dari 13
Kelurahan.
Batas-batas administrasi dari wilayah kota Surakarta dan
sekitarnya adalah sebagai berikut :


Sebelah Utara

: Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali



Sebelah Timur

: Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo



Sebalah Selatan

: Kabupaten Sukoharjo



Sebalah Barat

: Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo

(sumber: www.surakarta.go.id)
2. Kecamatan Jebres
Kecamatan Jebres

mempunyai luas wilayah 12,58 km 2dengan

jumlah penduduk sebanyak 147.258 jiwa per Agustus 2013. Wilayah
Jebres meliputi perempatan panggung ke timur sampai depan Rumah Sakit
Dr. Moewardi, ke selatan berbatasan dengan kampung Ngemingan.

Kecamatan Jebres terdiri dari 11 Kelurahan, yaitu Kelurahan Kepatihan
Kulon, Kelurahan Kepatihan Wetan, Kelurahan Surodiprajan, Kelurahan
Gandekan, Kelurahan Sewu, Kelurahan Pucangsawit, Kelurahan Jagalan,
Kelurahan Purwodiningratan, Kelurahan Tegalharjo, Kelurahan Jebres,
Dan Kelurahan Mojosongo.
Jumlah penduduk di Kecamatan Jebres 147.258 jiwa dengan
jumlah penduduk WNRI sebanyak 147.128 jiwa dan WNA sebanyak 130
jiwa. Jumlah kepala keluarga sebanyak 41.500 jiwa. Jumlah penduduk di
Kelurahan Jagalan sebanyak 12.435 jiwa, Kelurahan Tegalharjo sebanyak
6.130 jiwa, Kelurahan Jebres sebanyak 32.109 jiwa, Kelurahan Mojosongo
49.150 jiwa.
B. Permasalahan Pedagang Kaki Lima di Kecamatan Jebres dalam
Kaitannya dengan Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta.
Sebelum memasuki pembahasan mengenai hasil penelitian berupa
permasalahan yang dihadapi langsung oleh PKL, peneliti akan memaparkan
terlebih dahulu mengenai hasil wawancara peneliti dengan seorang Ketua
Paguyuban PKL Surakarta yang bernama Pak Marbandi, saat diwawancarai
beliau sedang berada di bengkel miliknya. Pak Marbandi merupakan
koordinator APS di Paguyuban Rukun Makmur Solo. Paguyuban PKL Kota
Solo didirikan pertama kali pada tahun 1999 yang diberi nama FORKOP
(Forum Komunikasi Para Pedagang) meski sempat vakum dalam perjalanan
organisasi tersebut, pada tahun 2009 paguyuban PKL ini bergerak kembali dan
berganti nama menjadi APS (Aliansi PKL Surakarta). APS itu sendiri terdiri
dari 23 paguyuban di kota Solo. Paguyuban PKL di Solo ini dibentuk untuk
menghadapi Peraturan daerah mengenai larangan berjualan yang sangat
merugikan para pedagang. Dengan adanya larangan dari peraturan daerah yang
dibuat pemerintah, PKL ini seakan tak mau tinggal diam dengan dibuatnya
peraturan daerah sandingan karena perda yang dibuat oleh pemerintah sangat
merugikan para PKL. Menurut beliau pada tahun 2009-2010 paguyuban
berjalan lancar dan aktif, namun saat masuk tahun 2011 hingga 2013 ini

organisasi ini memudar dan semakin pasif atau bisa dibilang tinggal nama.
Marbandi khawatir dengan keadaan ini, menurutnya PKL akan tersaingi
dengan Indomaret padahal sebenarnya hal tersebut merupakan tantangan
apalagi dengan adanya pemudaran keaktifan para anggota paguyuban saat ini.
Marbandi bercerita sedikit tentang demo yang terjadi pada tahun 2009-2010 di
Gedung Depnaker.
Pak Marbandi mengemukakan perlunya didirikan Paguyuban PKL ini
adalah karena jika tidak dibentuknya paguyuban PKL akan lemah bila
mendapat tekanan dari pemerintah. Paguyuban PKL ini juga didirikan untuk
menyatukan para PKL seluruh Kota Solo agar terjalin kerja sama antar sesama
PKL, dengan adanya penyatuan para PKL, akan tercipta dengan sendirinya
kebersamaan dan mempersatukan nasib antar sesama PKL. Dengan bersatunya
para PKL dalam paguyuban ini, kemungkinan untuk melawan dan menentang
Perda yang melarang PKL untuk berjualan.
Paguyuban PKL ini mempunyai beberapa program kerja yang telah dibuat
oleh para pengurus, diantara lain program kerja yang dibuat adalah
mempersatukan PKL seluruh Surakarta dalam organisasi ini, laluprogram kerja
yang selanutnya adalah mengumpulkan ketua-ketua paguyuban untuk rapat
mengenai masalah-masalah yang dihadapi di setiap wilayah. Setiap bulannya
diadakan pertemuan di YAPHI ketika masih aktif. Penentangan terhadap
peraturan daerah pun tak luput dari program yang mereka canangkan.
Peranan Pemkot dalam masalah paguyuban PKL ini adalah belum
meratanya perhatian pemerintah terhadap seluruh paguyuban dalam arti masih
ada paguyuban di wilayah-wilayah yang belum tersentuh tangan pemerintah
kota untuk disosialisasikan, diarahkan, maupun berita perelokasian tempat
berjualan. Seperti halnya dipaguyuban PKL untuk daerah Kota Barat, Solo.
Marbandi mengutarakan harapannya dengan kondisi seperti ini, beliau
mengharapkan adanya kebebasan dalam bejualan dan tetapi masih mengingat
kenyamanan sekitar dan tidak mengganggu fasilitas umum. Pada kenyataannya
pemkot justru menginginkan adannya relokasi untuk para PKL, misalnya saja
para PKL di sekitaran UNS direlokasi ke Pasar Panggungrejo.

Saat adanya Perda, adanya aturan bahwa PKL baru harus meminta izin dan
mendapatkan tempat yang ilegal yang kapan saja bisa diusir. Istilahnya, PKL
lama dipertahankan, sedangkan PKL baru tidak diizinkan dan dipersulit.
Pemerintah ingin PKL di kota Solo ini tidfak berkembang dan tidak boleh
menjamur. Sementara itu, adanya pajak retribusi yang dipungut kepada para
PKL, itupun membuiat para PKL ini resah karena pemerintah tidak transparan
pajak retribusi itu untuk apa.
Menjamurnya pasar modern seperti Alfamart, Indomaret, dll, jug amenjadi
keresahan bagi para PKL khususnya warung kelontong yang sebagian besar
barang-barang yang diperjualkan persis juga diperjualkan di pasar modern
tersebut. Marbandi berpendapat bahwa masyarakat jaman sekarang inginnya
berbelanja di temopat yang bersih, dingin, dan bagus. Indomaret ataupun
Alfamart bersifat kapitalis, Marbandi menambahkan pernyataan tentang
kapitalisme yang terjadi dalam ruang lingkup PKL ini bahwa apapun yang
bersifat kapitalis akan mematikan usaha kecil juga sangat merugikan dan
seharusnya tidak boleh berkembang. Dengan adanya pasar-pasar modern
tersebut pendapatan para PKL menurun drastis, padahal para pengusaha kecil
tersebut harus mencukupi kebutuhan untuk keluarga.
Pak Marbandi mengutarakan beberapa kasus yang telah terjadi, akibat dari
perelokasian para PKL banyak PKL yang berganti profesi seperti beralih
menjadi buruh, tukang batu, dll. Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian yang
telah peneliti lakukan, peneliti menemukan permasalahan yang dihadapi oleh
PKL kecamatan Jebres dalam keterkaitannya dengan kebijakan pemkot
Surakarta, antara lain :
1. Relokasi yang Tidak Tepat.
Mengenai permasalahan relokasi, peneliti memulai penelitian di Pasar
Panggung Rejo kepada beberapa pedagang yang masih bertahan di tempat
relokasi tersebut. Para pedagang menuturkan bahwa banyak dari tetangga
berjualan mereka yang sudah menyerah untuk bertahan menempati pasar
dikarenakan lokasi pasar Panggung Rejo sendiri yang terisolasi atau jauh
dari keramaian masyarakat khususnya mahasiswa yang paling dekat di
lokasi pasar.

Gambar 6. Pasar Panggung Rejo, 7. Banyaknya kios yang tutup.

Selain lokasi pasar yang kurang strategis, para pedagang juga
menuturkan mengenai ketidaktepatan sistem dalam pembagian kios-kios
dagangan, salah satunya seperti yang diutarakan oleh Mbah Minah, beliau
mengkisahkan mengenai seorang tukang tambal ban, yang setelah direlokasi
oleh Pemerintah Kota Surakarta beliau mendapatkan kios di lantai dua di
dalam pasar. Dalam kasus tersebut tukang tambal ban tersebut menolak
langsung, tetapi tidak ada tindak lanjut dari Pemerintah Kota Surakarta,
hingga akhirnya tukang tambal ban tersebut memilih untuk tidak menempati
kiosnya. Selanjutnya selama beberapa tahun berlalu, dari tahun 2007-2008
dimulainya relokasi, situasi di pasar Panggung Rejo dalam keseharianya
nampak begitu sepi, yang terlihat hanya beberapa pedagang yang tetap
berjuang keras dalam usaha berjualan mereka, padahal jumlah kios yang
berada dalam pasar tersebut ialah 160 kios sendiri, dan dari kesemua itu
hanya 30an kios yang nampak dipakai untuk berusaha.
Dalam hal ini nampak Pemerintah Kota Surakarta dalam program
relokasi yang dilakukannya tidak tepat, yang dilakukan hanyalah
penyediaan tempat untuk berjualan, tanpa melihat prospek dari lokasi baru
tersebut apakah tetap dapat memberi penghidupan bagi pedagang yang

berada di pasar Panggung Rejo, tidak ada sosialisasi mengenai keberadaan
Pasar Panggung Rejo sebagai suatu pasar pusat belanja yang di dalamnya
bercampur para pedagang dengan beraneka macam jenis jualannya. Mbak
Minah, usia beliau ialah 56 tahun, beliau merupakan pedagang relokasi di
pasar Panggung Rejo. Sebelum di relokasi oleh Pemerintah Kota beliau
berjualan di seberang gapura kapal ISI, tepatnya di depan PDAM, sebagai
pedagang kelomtong. Walaupun telah mendapatkan tempat usaha dagang
dari Pemerintah Kota berupa pasar relokasi, beliu menuturkan tidak
mungkin akan bertahan hidup jika hanya berjualan di pasar relokasi
tersebut, dikarenakan pasar yang terisolasi dari lalu lintas pembeli karena
jauh dari jalanan, dan sekaligus beliau mendapatkan lokasi dilantai tiga dan
bagian belakang dari Pasar Panggung Rejo, oleh harena itu beliau dalam
kesehariannya harus berdagang secara asongan untuk membawa barang
dagangannya ke jalan dengan cara dibopong agar barang dagangannya
tersebut dapat terjual habis.
“..yen ora mlayu ning ndalan, wetenge kulo luwe mas..”

Gambar 8. Mbah Minah dan kios dagangannya.

Kemudian dijumpai pula keadaan di lapangan, yaitu di jalan Kolonel
Soetarto tepatnya di daerah RSUD Dr Moewardi. Dahulunya di depan

RSUD tersebut banyak PKL yang membuka dagangannya, namun karena
adanya kebijakan pemerintah mengenai RSUD Dr Moewardi sebagai rumah
sakit rujukan daerah provinsi Jawa Tengah dan sebagai citra bahwa RSUD
Dr Moewardi sebgai rumah sakit yang bersih, akhirnya Pemerintah Kota
Surakarta melakukan penertiban kepada PKL yang berjualan tepat di depan
rumah sakit yang mana PKL yang dahulunya mendirikan bangunan
permanen, diubah menjadi bangunan semi permanen dan hanya diizinkan
buka dari sore sampai malam hingga pemerintah mengeluarkan kebijakan
baru yang mana wilayah di depan RSUD Dr Moewardi harus steril dari
adanya PKL. Pada akhirnya, para PKL direlokasi di seberang jalan RSUD
Dr. Moewardi.
Namun seiring berjalannya waktu setelah dilakukannya relokasi, pada
akhir-akhir ini tepat di daerah depan rumah sakit mulai datang pedagangpedagang baru yang menjajakan barang dagangannya, mulai dari
angkringan, warung makan, kelontong, dll. Hal tersebut merupakan
pelanggaran kesepakatan antara Pemerintah Kota Surakarta dengan para
PKL lama yang dulunya telah direlokasi. Tentu ini akan membuat PKL lama
pendapatannya akan berkurang karena pelanggan yang biasanya membeli di
PKL lama akan berpindah pada PKL baru yang berada tepat di depan RSUD
Dr Moewardi yang lebih dekat jaraknya daripada harus menyebrang jalan
untuk membeli di PKL lama.
Gambar 9. Ibu Amijati ketika sedang diwawancarai.

2. Menjamurnya Pasar-pasar Modern

Pemerintah Kota Surakarta nampaknya tengah gencar untuk
menawarkan daerah dalam kotanya sebagai tujuan-tujuan investor. Hal ini
terasa dengan begitu banyak dan menjamurnya pasar-pasar modern, sejenis
Indomaret dan Alfamart—terkhusus untuk kecamatan Jebres.
Indomaret adalah toko mini yang menjual bahan pokok kebutuhan
sehari-hari dengan kualiatas tinggi dan terjangkau untuk semua kalangan
sehingga jaringannya pun luas ke seluruh Indonesia bahkan beberapa ada
yang masuk hingga pedesaan. Indomaret didirikan pada tahun 1988 dengan
nama Indomart (Indonesia Marketing Retail) namun pada saat itu
pemerintah orde baru mewajibkan nama semua produk menggunakan
bahasa Indoensia yang benar (EYD) sehingga namanya diubah menjadi
Indomaret. Saat ini Indomaret dikelola oleh PT Indomarco Primastama.
Sedangkan Alfamaret didirikan pada 27 juni 1999 oleh PT Alfa Mitramart
Utama. Namun sekarang alfamart dikelola oleh PT Sumber Alfaria Trijaya.
Gambar 10. Indomaret dan Alfamart di Jagalan yang lokasinya hanya
saling berseberangan jalan.

Salah satu indomaret ialah di sebelah timur RSUD Dr Moewardi,
tepatnya jarak 50 hingga 100 meter. Selain indomaret di sekitar RSUD Dr
Moewardi, indomaret atau alfamart yang lainnya adalah di daerah
Kelurahan Jagalan yang mana indomaret dan alfamart berada berseberangan
atau berhadap-hadapan. Ada juga alfamart yang berada di depan Rumah
Sakit Dr. Oen. Dalam keseharian tanpa disadari, keberadaan pasar modern
tersebut merupakan masalah tersendiri bagi pedagang kaki lima (PKL) yang
berada di Kecamatan Jebres.
“.Indomaret di samping RSUD Dr Moewardi yang menyerap banyank pembeli
untuk belanja di sana, penghasilan kami harus turun drastis dan kesedot oleh
Indomaret..”

C. Permasalahan Pedagang Kaki Lima dalam kaitannya dengan keberadaan
pasar-pasar modern di kecamatan Jebres
Indomaret yang berada di sekitar RSUD Dr. Moewardi berdiri baru saja,
kurang dari satu tahun yang lalu tetapi memberikan dampak yang begitu
signifikan bagi menurunnya jumlah konsumen dan pendapatan PKL dan yang
berada di sekitar RSUD Dr Moewardi.
Seperti yang dikemukakan oleh salah satu PKL kelontong yaitu Mbak
Asih:
“Ya dulu pas belum ada indomart itu pampers seminggu habis 1 pak, sekarang 1 pak 2
atau 3 minggu baru habis. Dulu aqua kartonan 2 hari habis, sekarang seminggu baru
habis.”

Selain itu indomaret yang berada disana baru-baru ini melanggar perda
yang telah dibuat oleh pemerintah Kota Surakarta yang mana telah di tetapkan
dalam Perda no.5 tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern. Salah satunya pengaturan jam kerja diatur
pada pasal 13 yaitu: jam kerja hypermarket, department store dan supermarket
pada hari senin-jumat pukul 10.00-22.00 dan pada hari weekend pukul 10.00-

23.00 dan jam kerja minimarket pukul 10.00-24.00. Diluar jam tersebut atau
jika terjadi penyimpangan, dapat dilakukan dengan izin Walikota.
Namun pada kenyataannya indomaret yang berada di RSUD Dr
Moewardi ini melanggar jam buka karena indomaret tersebut buka 24 jam
padahal dalam Perda jelas sudah diatur bahwa minimarket hanya boleh buka
sampai pukul 24.00. Hal ini tentu tidak sesuai dengan tujuan diberlalukannya
jam operasional pasar modern sesuai Perda nomor 5 tahun 2011 yaitu agar
pasar tradisional tidak pudar akibat kehilangan konsumen yang beralih
berbelanja ke pasar modern seperti minimarket. Seperti yang diketahui bahwa
kota Solo merupakan kota yang menjunjung tinggi nilai-nilai lokalitas dan
kebudayaan. Pasar tradisional harus mempunyai eksistensinya sebagai
komoditas dalam pola jual-beli.

BAB V
ANALISIS TEORI HEGEMONI TERHADAP PERMASALAHAN PKL DI
KECAMATAN JEBRES KOTA SURAKARTA

A. Analisis Permasalahan PKL di Kecamatan Jebres terhadap Teori
Hegemoni Antonio Gramsci
Dalam penelitian ini, dominasi dari pihak Pemerintah Kota Surakarta yang
mengeluarkan beragam kebijakan yang menindas pedagang kaki lima (PKL)
sebagai masyarakat kelas bawah merupakan bentuk hegemoni yang nyata,
dimana hegemoni yang terjadi dalam Realitas terstruktur adalah teori yang
cukup mengejutkan dari Louis Althrusser, sekaligus kritik atas Marx, yang
menurutnya terlalu terpukau dengan ekonomi sebagai faktor mekanisme
terjadinya kekuasaan.
Dalam pemahaman Gramsci, hegemoni yang terjadi merupakan suatu
proses penguasaan kelas dominan (dalam penelitian ini ialah Pemerintah Kota
Surakarta) terhadap kelas bawah, yaitu pedagang kaki lima, dan kelas bawah
juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Penguasaan yang dilakukan oleh
Pemerintah Kota tidak melalui kekrasan, melainkan melalui bentuk-bentuk
persetujuan masyarakat yang dikuasai.
Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat
dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran,kemampuan kritis,
dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui consensus (kebijakan
pemerintah

kota

Surakarta)

yang

menggiring

kesadaran

masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang
ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya
usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa.
Masyarakat Kelas Dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas
bawah sehingga tanpa disadari mereka rela dan mendudukan kekuasaan kelas
dominan. Dalam permasalahan ini ialah ketika Pemerintah Kota Surakarta
mengeluarkan suatu kebijakan yang bertujuan untuk menaikkan citra RSUD

Dr Moewardi sebagai rumah sakit daerah pusat provinsi Jawa Tengah maka
harus bersih dari PKL, upaya kelas dominan (pemerintah) untuk merekayasa
kesadaran kelas bawah (masyarakat) adalah dengan melibatkan para
intelektual dalam birokrasi pemerintah serta intervensi melalui lembagalembaga lainnya.
Teori ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana kita bisa merasa
rela ataupun tidak rela ketika Pemerintah melakukan relokasi kepada PKL,
yang akan dibangun pasar-pasar modern atau untuk alasan tertentu dari
Pemerintah Kota Surakarta agar program kerjanya dapat dianggap berhasil,
padahal dalam kenyataannya kebijakan-kebijakan dari pemerintah tidak 100
persen berhasil, terkhusus pada wilayah Jebres lebih tepatnya strategi
pemerintah kota malah gagal.
Kemudian lebih parahnya lagi ketika Pemerintah Kota Surakarta malah
lebih mengutamakan kepentingan kapitalis-kapitalis pasar modern untuk
menanamkan modal mereka di lahan yang seharusnya diusahakan oleh rakyat
kelas bawah, yaitu pedagang kaki lima. Dapat secara frontal dikatakan
pemerintah disini melakukan pembunuhan secara perlahan kepada PKL
dengan cara direlokasikan di daerah yang ridak strategis dan dengan cara atau
sistem yang tidak tepat. Kemudian daerah kota yang strategis akan dibangun
pasar-pasar modern sejenis indomart ataupun alfamart yang hanya
mengutamakan kepentingan kelompok tertentu yaitu kaum kapitalis.
Dalam permasalahan ini begitu jelas bahwa pemerintah Kota Surakarta
juga melakukan penanaman ideologi kepada masyarakat secara luas yang
sebagai konsumen baik dari barang ataupun jasa agar mengkonsumsi produkproduk kapitalis.
Agar masyarakat bawah dapat menciptakan hegemoninya, Gramsci
memberikan 2 cara (Strinati, 1995), yaitu melalui :
1.

“war of position” (perang posisi)

2.

“war of movement” (perang pergerakan).
Perang posisi dilakukan dengan cara memperoleh dukungan melalui

propaganda media massa, membangun aliansi strategis dengan barisan sakit

hati, pendidikan pembebasan melalui sekolah-sekolah yang meningkatkan
kesadaran

diri

dan

sosial.

Karakteristiknya:

Perjuangan

panjang.

Mengutamakan perjuangan dalam system. Perjuangan diarahkan kepada
dominasi budaya dan ideology. Perang pergerakan dilakukan dengan serangan
langsung (frontal), tentunya dengan dukungan massa. Perang pergerakan bisa
dilakukan setelah perang posisi dilakukan, bisa juga tidak.
Yang selanjutnya dari hasil penelitian kritis ini peneliti melakukan aksi
berupa penyadaran dan penanaman jiwa solidaritas para Pedagang Kaki Lima
agar mereka mampu bersatu dan memperjuangkan hak-hak mereka untuk
memenuhi kebutuhan mereka dengan kebebasan berjualan tanpa adanya
hegemoni dari Pemerintah Kota Surakarta ataupun dari Pasar-pasar modern.
Aksi yang dilakukan masih pada tahap war position (perang posisi),
Perang posisi dilakukan dengan cara memperoleh dukungan melalui
propaganda media massa, membangun aliansi strategis dengan barisan sakit
hati, pendidikan pembebasan melalui sekolah-sekolah yang meningkatkan
kesadaran

diri

dan

sosial.

Karakteristiknya:

Perjuangan

panjang.

Mengutamakan perjuangan dalam system. Perjuangan diarahkan kepada
dominasi budaya dan ideology. Dalam aksi peneliti, dibuat suatu pendekatan
yang dapat menampung suara PKL, yaitu melalui penampungan suara aspirasi
PKL yang berisi mengenai permasalahan dan harapan mereka di dalam
melakukan aktifitas berjualan sehari-hari.
Nantinya dari suara-suara tersebut akan ditampung dan dibicarakan
bersama dan kemudian diajukan kepada pihak terkait, yang pertama ialah
Paguyuban Pedagang Kaki Lima se-Surakarta, dan selanjutnya akan
disuarakan kepada Pemerintah Kota Surakarta. Aksi yang dilakukan diberi
nama : “KUMPUL REMBUK AGAWE SANTOSO”. Yang berarti
mengumpulkan suara-suara aspirasi pedagang kaki lima agar dapat diproses
kepada pihak terkait sehingga nantinya akan menghasilkan suatu kebijakan
yang menjadikan kaum PKL menjadi sentosa.
BAB VI
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Permasalahan Pedagang Kaki Lima di Kecamatan Jebres dalam Kaitannya
dengan Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta.
- Ralokasi yang tidak tepat.
- Menjamurnya pasar-pasar modern (alfamart, indomaret).
2. Permasalahan Pedagang Kaki Lima dalam kaitannya dengan keberadaan
pasar-pasar modern di kecamatan Jebres.
Menjamurnya pasar modern seperti Alfamart, Indomaret, dll, juga
amenjadi keresahan bagi para PKL khususnya warung kelontong yang
sebagian besar barang-barang yang diperjualkan persis juga diperjualkan
di pasar modern tersebut. Marbandi berpendapat bahwa masyarakat jaman
sekarang inginnya berbelanja di tempat yang bersih, dingin, dan bagus.
Indomaret ataupun Alfamart bersifat kapitalis, Marbandi menambahkan
pernyataan tentang kapitalisme yang terjadi dalam ruang lingkup PKL ini
bahwa apapun yang bersifat kapitalis akan mematikan usaha kecil juga
sangat merugikan dan seharusnya tidak boleh berkembang. Dengan adanya
pasar-pasar modern tersebut pendapatan para PKL menurun drastis,
padahal para pengusaha kecil tersebut harus mencukupi kebutuhan untuk
keluarga.
Beberapa kasus yang telah terjadi, akibat dari perelokasian para
PKL banyak PKL yang berganti profesi seperti beralih menjadi buruh,
tukang batu, dll.

B. SARAN
Harapan dari PKL agar Pemerintah Kota Surakarta mempersulit izin untuk
menjamurnya Indomaret ataupun Alfamart, karena usaha seperti itu membunuh
PKL, yang kebanyakan dari PKL itu menambatkan kehidupan sehari-harinya
dari hasil usaha mereka berdagang.

Selain itu juga seyogyanya Pemerintah Kota Surakarta mampu untuk
memberikan batasan dalam kaitannya mengenai jam operasional pasar-pasar
modern.
Dan juga keinginan nyata dari para PKL ialah untuk dapat betjualan
dengan tenang tanpa ada penggusuran dari Pemerintah Kota Surakarta, dan
apabila memang harus dilakukan relokasi, diharapkan agar lokasi relokasi yang
strategis dan juga Pemerintah Kota Surakarta ada tindak lanjut lagi mengenai
adanya suatu tempat baru (hasil relokasi) untuk disosialisasikan kepada
masyarakat umum sebagai konsumen.
Karena dari menjadi PKL itulah masyarakat kelas bawah dapat terpenuhi
kebutuhan sehari-harinya, Pemerintah seharusnya lebih mampu untuk pro-aktif
kepada Pedagang Kaki Lima dari pada mengutamakan keuntungan bagi
kelompok kapitalis semata.

Daftar Pustaka

Gitlin, Todd (1979), ‘Prime time ideology: the hegemonic process in
television entertainment’, in Newcomb, Horace, ed. (1994), Television: the
critical view – Fifth Edition, Oxford University Press, New York.

Simon, Roger (1991), Gramsci’s Political Thought: An introduction,
Lawrence and Wishart, London.Strinati, Dominic (1995), An Introduction to
Theories of Popular Culture, Routledge, London.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi : Dari Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan

Terakhir Postmodernisme Edisi Kedelapan. Yogyakarta :

PUSTAKA PELAJAR.
Media :
http://upload.wikimedia.org/w