KEKUATAN PUTUSAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DALAM KAITANNYA DENGAN PEMILIHAN GUBERNUR LAMPUNG 2014

(1)

2014 was still a lot of controversy with the process so complicated that ultimately resulted elected leaders, after the long process, sprang DKPP decision relating to election of the Governor of Lampung in 2014. The verdict of DKPP generate convicted and fired Lampung Provincial Election Supervisory Board The purpose of this research was to determine and analyze the strength of the hook with the decision DKPP Lampung gubernatorial election in 2014. In this study the authors discussed the use of theory and concepts; theory of legislation, the concept of the State institutions, the concept of an independent State institution using normative juridical research method, i.e. obtaining secondary data obtained from the study of literature, books and legislation.

Results of research and discussion shows that many violations in the elections in 2014 that resulted in the governor of Lampung in 2014 resulted in the termination of the Election Supervisory Board members Lampung province because it violates the code of ethics. Strength Honor Council Election decision final and binding give lessons to the election organizer Lampung Province.

General Election should be neutral, credible and high dedicated in holding Democratic Party mainly local elections. Strength of DKPP decision which is final and binding is helpful as a reference to the election organizers do their job better.Keywords: Verdict Strength, Honor Council Election, and Election Violations.


(2)

Proses Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Lampung Pada Tahun 2014 banyak mengalami kontroversi dengan proses yang begitu rumit akhirnya menghasilkan pemimpin yang terpilih, proses yang begitu panjang terlahirlah putusan DKPP yang berhubungan dengan pemilihan Gubernur Lampung tahun 2014. Putusan DKPP menghasilkan dinyatakan bersalah dan diberhentikanya Badan Pengawas Pemilu Provinsi Lampung.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis kekuatan putusan DKPP dalam kaitnya dengan pemilihan Gubernur Lampung tahun 2014. Dalam membahas penelitian ini penulis menggunakan teori dan konsep ; teori peraturan perundang-undangan, konsep lembaga Negara, konsep lembaga Negara independen menggunakan metode penelitian yuridis normatif,yaitu memperoleh data sekunder yang didapat dari studi kepustakaan,buku-buku dan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa banyak terjadi pelanggaran di dalam pelaksanaan pemilihan Gubernur Lampung 2014 yang mengakibatkan diberhentikanya anggota Badan Pengawas Pemilu Provinsi Lampung karena terbukti melanggar kode etik. Kekuatan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu final dan mengikat memberi pelajaran kepada penyelenggara pemilu Provinsi Lampung.

Penyelenggara Pemilu sebaiknya lebih netral,kredibel dan berdidekasi tinggi dalam menyelenggarakan pesta demokrasi terutama pemilihan kepala daerah. Kekuatan putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat sangat membantu sebagai acuan untuk para penyelenggara pemilu melaksanakan tugasnya lebih baik.

Kata Kunci : Kekuatan Putusan, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Pelanggaran Pemilu.


(3)

PEMILU DALAM KAITANNYA DENGAN PEMILIHAN GUBERNUR LAMPUNG 2014

OLEH

ARYO FADLIAN

Tesis

Digunakan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Derajat MAGISTER HUKUM

Pada

Jurusan Sub Program Hukum Kenegaraan Program Pascasarjana Magister Hukum

Universitas Lampung

PROGRAM MAGISTER HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

PEMILIHAN UMUM DALAM KAITANNYA DENGAN PEMILIHAN GUBERNUR LAMPUNG 2014

(Tesis)

Oleh Aryo Fadlian

PROGRAM MAGISTER HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(5)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

ABSTRAK ABSTRACT

PERSETUJUAN PEMBIMBING PENGESAHAN TESIS

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH RIWAYAT HIDUP

MOTO

HALAMAN PERSEMBAHAN SAN WACANA

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 8

1. Rumusan Masalah ... 8

2. Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

1. Tujuan Penelitian ... 8

2. Kegunaan Penelitian... 9

D. KerangkaPemikiran ... 10

1. Alur Pikir ... 10

2. Teori-teori dan Konsep-konsep ... 11

E. Metode Penelitian ... 24

1. Pendekatan Masalah ... 24

2. Sumber Data ... 24

3.Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 25


(6)

A Kedudukan DKPP Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia ... 28

1. Lembaga Negara Pembantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia ... 28

2. Kedudukan DKPP Dalam Sistem Penyelenggaraan Pemilu ... 34

3. Lembaga Negara Independen... 42

B. Pemilihan Umum ... 47

C. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum ... 55

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses pelaksanaan pemilihan Gubernur Lampung tahun 2014 jika ditinjau dari putusan DKPP ... 61

B. Kekuatan dan Pelaksanaan Putusan DKPP Terhadap Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu ... 65

1. Subjek dan Objek Perkara Yang Ditanggani DKPP ... 65

2. Sifat Putusan DKPP Final dan Mengikat ... 70

3. Pelaksanaan Putusan DKPP ... 75

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 79


(7)

1. Tim Penguji

KetuaTimPenguji :

Dr.

Yuswants, $.H., M.Hsm.

Sekretaris : Dr, Budiy'+*e, S.If",lX.If,

PengujiUtama

Anggota

Anggota

Pref, Dr. Muhammad Akib, S.H, M.Hum,

:-Dr. HS. Tixnaata, S.H., M.H.

: Dr, Eddy Rifai, S.8., M.H.

eryandi, S.H., M.S. 09 198703

I

003

f,rogram Pascasariana

r,

Sudjarwo, M,S, 9530528 1981S3 1 002


(8)

Dr. Yuswanto, S.H;i

NIP 19620514 198703 I

Dr.

-$P

s.H., M.H.

200501 I 002 LAMPUNG 2OI4

Narna

lvlahesiswa

, Aryo

$adliar

Nomor Pokok Mahasiswa

:

1322011054

Program Kekhususan : Hukum Kenegaraan

Program,Studi

.

: Prcgram Paseasarjana Magis{er Hukum

Fakultas

: Hukum

MENYETUJUI

Dosen Fembirnbing

:

--\

ng Utama, Pembimbing

\---a

M.Hum.

003

/

Budiyo1974101

MENGETAHUI

istfr

llukum Fakultas Flukum tas Lampung,

ir

Anwar, S"fr-,

M.Ifum,

l**1,to* uu

$*o

.c#-#ot p.r.

ffig,

ffi*:

U"-3:r#*;


(9)

Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

l.

Tesis

ini

dengan

judul:

Kekuatan Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam kaitanya dengan Pemilihan Gubernur Lampung 2014 adalah karya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atas penulis karya penulis lain dengan caxa yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut dengan plagiarisme.

2.

Hak intelektual atas karya ilmiah

ini

diserahkan sepenuhnya kepada

Universitas Lampung.

Atas perrnyataan ini apabila dikemudian hari ternyata ditemukan ketidak benaran, saya bersedia menanggung akibat dan saknsi yang diberikan kepada saya. Saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, 15 Oktober 2015

Yanel M$mbuat Pemyataan

Aryo


(10)

Ingatlah bahwa setiap hari dalam sejarah hidupan kita ditulis dengan tinta yang

tak dapat terhapus lagi.

(Thomas Carlyle)

Sukses bukanlah akhir dari segalanya, kegagalan bukanlah sesuatu yang fatal :

namun keberanian untuk meneruskan kehidupanlah yang diperhatikan.

(Sir Winston Churchill)

“Wa man jaahada fa

-

innamaa yujaahidu linafsihi”

:

Barang siapa sungguh

sungguh, sesungguhnya kesungguhanya itu

adalah untuk dirinya sendiri.


(11)

Dengan segala kerendahan hati dan rasa syukur kepada Allah SWT, penulis mempersembahkan tesis ini untuk :

1. Kedua orang tua penulis, ayahanda Drs. Hi Julianto PA SH Msi dan ibunda Hj Dwi Indriastuti yang doanya selalu mengiringi penulis.

2. Adik-adik tercinta, Welisdita Pangesti kha dan Isma Kharos Fadlian yang selalu memberikan semangat untuk segera mungkin menyelesaikan tesis ini. Semoga pada suatu saat nanti tesis ini dapat memberikan inspirasi kepada adik-adik ku agar menuntut ilmu setinggi-tingginya.

3. Rekan-rekan bisnis yang selalu memberikan semangat dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

4. Keluarga, tetangga, sahabat yang berada di Lampung Timur, Metro dan Bandar Lampung yang selalu memberikan dorongan, inspirasi dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini.

5. Wabilkhusus Rekan-rekan Magister Hukun Universitas Lampung angkatan 2013, yang banyak membantu penulis menyelesaikan Tesis ini. 6. Almamamater tercinta Universitas Lampung.


(12)

Penulis bernama lengkap Aryo Fadlian, dilahirkan di Bumiharjo tanggal 12 April 1992 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Drs. Hi Julianto PA SH Msi dan ibu Hj Dwi Indriastuti Pada saat ini Penulis tiggal di Jl. Pramuka No.51 Rt 17 Desa Sumberejo Kec. Kemiling Bandar Lampung.

Penulis menempuh jenjang di TK Pertiwi Balerejo, kemudian dilanjutkan di Sekolah Dasar Negeri 2 Bumiharjo diselesaikan pada tahun 2003, kemudian dilanjutkan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Metro diselesaikan pada tahun 2006, kemudian dilanjutkan di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Metro diselesaikan pada tahun 2009. Penulis melanjutkan kuliah di Universitas Tulang Bawang Fakultas Hukum pada tahun lulus pada tahun 2013.

Kemudian penulis melanjutkan di Program Pasca Sarjana Universitas Lampung Magister Hukum dengan Konsentrasi Hukum Kenegaraan. Penulis bercita – cita menjadi politikus yang handal di Indonesia.


(13)

SAN WACANA

Puji syukur kehadirat Allah swt atas segala berkat dan karunianya, Tesis ini dapat diselesaikan. Tesis dengan judul Kekuatan Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam kaitanya dengan pemilihan Gubernur Lampung 2014 adalah syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Dalam Penyusunan Tesis ini penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi subtansi maupun penulisanya. Penyusunan Tesis ini tidak terlepas dari bantuan pihak-pihak baik secara moril maupun materil, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Yuswanto, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing utama dan Bapak Dr. Budiyono, S.H., M.H., Dosen Pembimbing pendamping penulis yang berkenan membimbing, mengarahkan, dan memberikan pemahaman dalam penyelesaian Tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Akib, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembahas II dan Bapak Dr. Tisnanta., S.H., M.H selaku Dosen Pembahas II yang telah memberikan saran dan kritik dalam penulisan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung.

4. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(14)

Program Pascasarjana Program Magister Hukum Universitas Lampung. 6. Bapak, Ibu Dosen dan staf Program Pascasarjana Magister Hukum

Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Rekan-rekan Magister Hukum Universitas Lampung 2013, banyak cerita disana. Terima kasih.

Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat,meningkatkan wawasan intelektual dan menambah pemahaman dibidang hukum kenegaraan. Terima Kasih.

Bandar Lampung, 15 Oktober 2015

Penulis


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berkembangnya demokrasi di Indonesia dengan mengacu pada negara-negara luar yang semakin berkembang pesat demokrasinya di era reformasi ini para elit politik pejabat-pejabat pemerintah dan didukung oleh rakyat memperbaiki sedikit demi sedikit sistem pemilihan pejabat publik yang kredible, bersih dan berkompeten sesuai dengan keinginan rakyat Indonesia pada umumnya. Pembenahan ini tentunya tidak bisa dilakukan dengan mudah membutuhkan perjuangan yang sangat sulit dan dukungan penuh dari semua penjuru masyakat Indonesia dari berbagai lapisan. Sebagai bentuk Realisai kedaulatan rakyat dalam bingkai demokrasi adalah terselenggaranya Pemilihan Umum secara reguler dengan prinsip yang bebas, langsung, umum dan rahasia. Pemilu merupakan mandat dari konstitusi yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini memastikan dan melindungi pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam menyalurkan hak-hak politiknya dalam Pemilu. Pemilu sebagai salah satu praktek berlangsungnya kekuasaan dan pemerintah harus berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang berkeadilan dan nilai-nilai kemanfaatan. Salah satu prinsip dasar dari negara hukum demokratis adalah adanya jaminan yang berkeadilan bagi rakyat dalam mengekspresikan kedaulatanya.

Pelaksanaan Pemilu merupakan kehendak bangsa Indonesia untuk mengkokohkan dirinya sebagai negara demokratis. Pemilu pertama Tahun 1955 dilaksanakan


(16)

dalam situasi bangsa Indonesia sedang mempertahankan kemerdekaanya. Dalam penilaian umum, Pemilu Tahun 1955 merupakan Pemilu yang ideal karena berlangsung demokratis. Sebaliknya Pemilu yang digelar sepanjang era Orde Baru hanya sekedar seremonial untuk mempertahankan kekuasaan, dengan merekayasa peraturan hukum, sistem, tata cara, dan hasil Pemilu-nya sekaligus. Arus reformasi berhasil mengoreksi praktek-praktek Pemilu yang tidak demokratis tersebut. Pemilu pertama di era reformasi digelar pada Tahun 1999, tidak saja bertujuan untuk membangun Indonesia yang demokratis, namun juga diharapkan mampu meletakan dasar kepemimpinan yang berpihak pada usaha-usaha pencapaian kemakmuran dan keadilan bagi rakyat.

Setiap penyelenggaraan Pemilu seringkali muncul persoalan atau pelanggaran Pemilu. Persoalan-persoalan tersebut muncul karena ketidak puasan terhadap penyelenggara Pemilu dalam hal ini Komisi Penyelernggara Pemilu (KPU), seperti keputusan/kebijakan yang tidak tepat merugikan peserta Pemilu, kekurang cermat dalam penghitungan suara, hingga indikasi keberpihakkan kepada salah satu peserta Pemilu, seperti pemalsuan identitas, intimidasi dan money politik kepada pemilih. Persoalan-persoalan tersebut apabila dibiarkan dan tidak diberikan mekanisme penyelesaianya (mekanisme hukum) yang jelas dan tegas, mengganggu kelancaran/kesuksesan Pemilu dan mengakibatkan rendahnya kredibilitas serta legitimasi Pemilu. Pada giliranya dapat mengancam dan mengabaikan hak-hak konstitusionalisme para peserta Pemilu dan masyarakat pada umumnya.

Setelah Pemilu pada Tahun 1999 Pemilu kedua era reformasi berlangsung Tahun 2004, pada saat itu masih banyak sekali pelanggaran. Meskipun banyak sekali


(17)

pelanggaran peraturan maupun pelanggaran kode etik yang dilakukan KPU tidak begitu responsif menindak lanjuti dan hanya mengandalkan hasil keputusan pengadilan.Pemilu ketiga di era reformasi yaitu pada Tahun 2009 dimaksudkan untuk semakin menyempurnakan dari Pemilu-pemilu sebelumnya,tapi pada Pemilu Tahun 2009 tetap mengalami berbagai pelanggaran.

Setelah Tahun 2009 Pemilu kembali dilaksanakan pada Tahun 2014 khususnya provinsi lampung serempak pelaksanaan Pemilu legislatif dengan dilaksanakan Pemilihan Gubernur Lampung periode 2014-2019.

Pada awalnya Pilgub Lampung pernah mengalami kontroversi yaitu pada saat Tahun 2002 Alzier Dianis Thabrani terpilih menjadi Gubernur Lampung namun karena tersangkut tindak pidana tidak jadi dilantik oleh Mendagri. Setelah itu Hasil rapat paripurna DPRD Prov Lampung Tahun 2004 memenangkan pasangan Sjachroedin ZP - Syamsurya Ryacudu dengan mengalahkan pasangan Oemarsono

– Ibrahim BS, untuk menjabat Gubernur Lampung periode Tahun 2004-2009.1 Pemilihan Gubernur selanjutnya dilaksanakan langsung dipilih oleh rakyat pada Tahun 2008. Sjachroedin ZP mengundurkan diri sebagai Gubernur dan digantikan oleh syamsurya ryacudu yang sebelumnya sebagai Wakil Gubernur Lampung menjadi Gubernur definitif karena Sjachroedin ZP ingin mencalonkan diri kembali pada pertarungan Pemilihan Gubernur Lampung Tahun 2008.

1

http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/286-direktori/2339-terpilih-jadi-gubernur-lampung unduhan 25-2-2015


(18)

Dengan berpasangan dengan MS Joko Umar Said, Sjachroedin ZP memenangkan kembali sebagai Gubernur Lampung periode 2009-2014.2

Perdebatan dan adu arguementasi pada Pemilihan Gubernur Lampung 2014 sangat rumit,sangat berlarutnya polemik Pilgub menjadi preseden buruk yang memalukan daerah,karena sudah berulang kali Lampung mencatatkan sejarah buruk di momentum pesta demokrasi lima tahunan ini. Bermula dari terbitnya SK KPUD Lampung No.75/Kpts?KPU-Prov-008/2012 tertanggal 11 September 2012 tentang hari pemungutan suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2013,yang menegaskan putaran pertama akan dilakukan pada 2 Oktober Putaran kedua disiapkan pada 4 Desember. Gubernur menolak dengan tidak memasukan anggaran Pilkada dalam APBD-P 2013. Dengan begitu, Pilgub diundur hingga Tahun 2015 dengan pertimbangan belum adanya dasar hukum yang kuat. Karena RUU Pemilukada belum disahkan oleh DPR RI. Kementrian Dalam Negri dan DPRD Provinsi pun memilih jalan tengah dan hanya mendapatkan kata sepakat. Gubernur menawarkan akan disediakan pada APBD 2014 dengan dilaksanakan bulan januari Mendagri menawarkan bulan april 2014 pelaksanaan bersamaan dengan Pileg. Bahkan sempat muncul wacana solusi agar ara calon yang sedang menjabat Kepala Daerah untuk sementara urunan Rp 50.000.000.000 dari dana sisa bagi hasil APBD masing-masing. Dengan diperpanjangkanya masa jabatan 5 orang komisioner KPU Lampung hingga pelantikan Gubernur terpilih 2014-2019 melalui SK KPU-RI No.707/Kpts/KPU/Tahun 2013 tertanggal 12 September, dan dengan landasan hukum UU No.32 Tahun 2004, PP No. 6 Tahun 2005 dan Peraturan KPU No. 9 Tahun 2010, maka tahapan yang tertunda patutlah segera

2

http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/08/09/18/3734-kpud-lampung-tetap-gelar-rekapitulasi-suara-pilgub unduhan pada 25-2-2015


(19)

dimulai kembali.semua pihak harus lebih tegas dan proaktif menuntaskan semua persoalan.3

Dalam Pemilihan Gubernur Lampung 2014 yang akhirnya pelaksanaanya membarengi pemilihan legislatif pada tanggal 9 April 2014 diikuti oleh 4 pasang calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur yaitu Nomor urut 1. Berlian Tihang – Mukhlis Basri, Nomor urut 2. Ridho Ficardo - Bachtiar, Nomor urut 3. Herman HN – Zainudin Hasan, Nomor urut 4. Alzier Dianis Thabrani – Lukman Hakim. Dengan Daftar pemilih tetap kurang lebih 5,8 juta jiwa dilaksanakan di 16.497 TPS.

Berdasarkan hasil quick count SMRC (Saiful Muzani Research Center) pasangan Ridho Ficardo – Bachtiar memperoleh 43,66 % suara dan diikuti oleh Herman HN– Zainudin Hasan memperoleh 32,94 % suara sedangkan Berlian Tihang- Muchlis Basri 15,7 % dan Alzier Dianis Thabrani – Lukman Hakim memperoleh 7,7 % suara. Berbanding terbalik dengan SMRC, real count versi Pussbik Lampung pasangan Herman HN – Zainudin Hasan mengungguli pasangan Ridho

– Bachtiar.4

Hasil rapat pleno KPU Provinsi Lampung tanggal 17 april 2014 yang dibacakan langsung oleh Ketua KPU Provinsi Lampung Nanang Trenggono memenangkan pasangan Ridho – Bachtiar pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung 2014-2019 dengan memperoleh 1.816.533 suara (44,96%).5

3

nyoman adi irawan, Mahasiswa Untuk Demokrasi, 2013, hlm 1 4

http://sidomi.com/280499/hasil-pilgub-lampung-2014-ridho-bakhtiar-menang-versi-quick-count/ unduhan 25-2-2015

5

http://www.saibumi.com/artikel-2622-hasil-final-rekapitulasi-kpu-ridho-ficardo-menangi-pilgub-lampung-dengan-4496-persen.html unduhan 25-2-2015


(20)

Lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu (selanjutnya disingkat UU No. 15 Tahun 2011), mengamanatkan untuk membentuk suatu lembaga negara baru,yaitu Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (selanjutnya disingkat DKPP). DKPP adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi Penyelenggara Pemilu. DKPP memiliki tugas dan wewenang untuk menegakan dan menjaga kemandirian, integritas, dan kredibelitas Penyelenggara Pemilu. Secara lebih spesifik DKPP dibentuk untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota KPU, anggota Bawaslu, dan jajaran di bawahnya.

Pada hari Selasa 12 Juni 2012 Presiden melantik tujuh anggota DKPP periode Tahun 2012-2017 di Istana Negara. Pengurus DKPP dituangkan dalam Keppres Nomor 57 Tahun 2012. Ketujuh anggota DKPP tersebut adalah Ida Budhiarti mewakili unsur KPU, Nelson Simanjuntak mewakili unsur Bawaslu dan lima dari unsur masyarakat yaitu AbdulBari Azed, Valina Singka Subekti, Jimly Asshiddiqie, Saut Hamonangan Sirait serta Nur Hidayat Sardini.

Sejak berdirinya DKPP, sangat produktif menangani perkara pengaduan pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu. Sampai bulan November Tahun 2012, DKPP telah memproses perkara pelanggarana kode etik Penyelenggara Pemilu sejumlah 53 perkara. Namun mengingat dalam penanganan perkara lazim didasarkan pada pihak yang diadukan (teradu).

Begitu besarnya pengaruh DKPP dalam suatu proses Penyelenggara Pemilu dan fenomena kemunculan lembaga negara baru yang membawa perubahan dalam


(21)

struktur ketatanegaraan dan tatanan pemerintah, menjadi suatu hal yang sangat penting dan menarik untuk dibahas lebih lanjut. Kehadiran lembaga DKPP yang berwibawa sebagai pilar demokrasi sangat diperlukan. DKPP tidak hanya diharapkan mampu meneggakan kode etik penyelenggara Pemilu, tetapi juga dapat mengawal independensi dan imparsialitas jajaran KPU dan Bawaslu dari pusat hingga daerah. Selain itu, keberadaan DKPP diharapkan dapat memberikan kepastian dan jaminan bagi Pemilu yang jujur, adil, bebas, rahasia.

Kemenangan Ridho – Bachtiar ternodai oleh banyaknya pelanggaran-pelanggaran pemilu seperti money politik, etika kampanye dan terindikasi mengubah hasil suara di beberapa TPS. Kepustusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu No.25/DKPP-PKE-III/2014 menyimpulkan bahwa Bawaslu Provinsi Lampung melakukan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu, dan memertintahkan kepada Bawaslu pusat untuk menindaklanjuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.6

Dari beberapa uraian dan masalah di atas peneliti menarik kesimpulan dengan

judul KEKUATAN PUTUSAN DKPP DALAM KAITANNYA DENGAN

PEMILIHAN GUBERNUR LAMPUNG 2014.

6

www.langpung.tribunnews.com/2014/6/09/dkpp-putusan-bawaslu-lampung-langgar-kode-etikunduhan 3-3-2015


(22)

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup 1. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas terdapat beberapa permasalahan yang menarik untuk dibahas lebih lanjut dan agar lebih fokus kajian masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana proses pelaksanaan pemilihan Gubernur Lampung 2014 ditinjau berdasarkan putusan DKPP?

2. Sejauh mana kekuatan dan pelaksanaan putusan DKPP terhadap pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu?

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan rumusan masalah, maka ruang lingkup penelitian ini adalah kajian bidang hukum kenegaraan, yang secara khusus meneliti keputusan lembaga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam keabsahan hasil Pemilihan Gubernur Lampung Tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penulisan tesis ini adalah :

a. Mengetahui dan menganalisis proses pemilihan Gubernur Lampung tahun 2014 jika ditinjau dari putusan DKPP.


(23)

b. Mengetahui dan menganalisis kekuatan dan pelaksanaan putusan DKPP terhadap pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu.

2. Kegunaan Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara Teoritis maupun Praktis yaitu :

1). Secara Teoritis

Kegunaan teoritis penelitian ini untuk memberikan masukan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum kenegaraan.

2). Secara Praktis

a. Sumbangan pemikiran kepada stechholder (pejabat dan petinggi negara) dalam hal pembentukan lembaga penyelenggara pemilu yang kredible, berkompeten dan tidak terintervensi oleh pihak manapun. b. Untuk acuan bagi seluruh elemen lembaga Penyelenggara Pemilu agar

lebih independen,profesionalitas, tidak memihak dan lebih mengutamakan demokrasi dalam bekerja sebagai Penyelenggara Pemilu.

c. Dapat dijadikan bahan informasi kepada masyarakat bahwa dalam proses Pemilihan Kepala Daerah harus dapat menghasilkan Kepala


(24)

Daerah yang sesuai dengan kemauan masyarakat, sah sesuai dengan konstitusi dan asas Pemilu.

D. KerangkaPemikiran 1. Alur Pikir

UUD 1945

UU Nomor 32 Tahun 2004 tantang Pemilihan Kepala

Daerah

UU Nomor 15 Tahun 2004 tantang Penyelenggara

Pemilu

Asas-Asas Pemilu

SK KPU-RI No. 707/KPTS/KPU/Tahun 2013 tentang Pemilihan

GubernurLampung

PEMILIHAN

GUBERNUR LAMPUNG

2014

Putusan DKPP

No.25/DKPP-PKE-14/2014 Tentang pelanggaran anggota


(25)

2. Teori-teori dan Konsep-konsep

a. Teori Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan perundang-undangan berasal dari kata Peraturan dan Perundang-undangan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia peraturan adalah tatanan(petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat mengatur, sedangkan perundangan diterjemahkan sebagai yang bertalian dengan undang-undang. Kata undang-undang diartikan ketentuan-ketentuan dan peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah, disahkan oleh parlemen, ditanda tangani oleh kepala negara, dan mempunyai kekuatan mengikat atau aturan yang dibuat oleh orang atau badan yang berkuasa.7

Dalam bahasa Belanda istilah undangan dan peraturan perundang-undangan dari istilah wettelijke regels atau wettelijke regeling. Istilah wet (undang-undang) dalam buku Belanda mempunyai dua pengertian, yaitu wet in fomele zin (undang-undang dalam arti formal). Adalah setiap keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang yang didasarkan kepada bentuk dan cara terbentuknya. Dan wet in materele zin (undang-undang dalam arti materil) yaitu keputusan pemerintah/penguasa yang dilihat berdasarkan kepada isi atau subtansinya mengikat langsung terus penduduk atau suatu daerah tertentu,misalnya:peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri,peraturan daerah dan sebagainya.8

7

Armen Yasir, Hukum Perundang-undangan,Lembaga Penelitian universitas Lampung, Lampung,2008 hlm.. 25

8


(26)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan dalam Pasal 1 angka 2 pengertian

“Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwewenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan”. Menurut Bukhardt Krem,9 Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving atau gezetzgebung) mempunyai 2 (dua) pengertian yang berbeda, yaitu: (1) Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; (2) Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

Bagir Manan10 memberikan pengertian Peraturan perundang undangan sebagai kaidah hukum tertulis yang dibuat pejabat berwewenang atau lingkungan jabatan yang berwewenang yang berisikan aturan tingkah laku yang bersifat abstrak dan bersifat umum. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, Menurut Armen Yasir, ciri atau sifat suatu perundang-undangan adalah:11

1. Peraturan Perundang-undangan berupa keputusan tertulis, jadi mempunyai bentuk dan format tertentu;

2. Dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwewenang, berdasarkan ketentuan yang berlaku;

9

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan pembentukannya,

Kanisius, Jakarta, 1998, hlm. 3

10

Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, 2003,hlm. 216

11


(27)

3. Peraturan Perundang-undangan berisikan aturan pola perilaku, jadi bersifat mengatur(regulerend);

4. Peraturan Perundang-undangan mengikat secara umum, tidak ditunjukan kepada seseorang atau individu tertentu.

Mengenai jenis dan hirearki peraturan perundang-undangan, Hans Kelsen mengemukakan Teori stufbau des Recht atau The Hirarchy of law12, teori tersebut membahas mengenai jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat

bahwa “norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam

suatu hirarki tata susunan”. Norma hukum mengatur pembentukanya sendiri

karena suatu norma hukum menentukan cara untuk membuat norma hukum lainya,dan juga sampai derajat tertentu menentukan isi dari norma yang lainya itu. Norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi sedangkan norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah norma yang lebih rendah.

b. Konsep Lembaga Negara

Negara sebagai suatu organisasi memiliki alat perlengkapan untuk merealisasikan tujuan dan keinginan-keinginan negara (staatswill).13 Konsep lembaga negara secara terminologis memiliki keberagaman istilah “political

institution”, sedangkan dalam kepustakaan Belanda dikenal dengan istilah

12

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New york, 1061, diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Cetakan I, Penenerbit Nusamedia dan Penenrbit Nuansa, Bandung, September 2006, hlm 179

13

A. Fickar Hadjar ed. Al, Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, KRHN dan Kemitraan, Jakarta, 2003, hlm, 4


(28)

staatorgamen”. Sementara itu, bahasa Indonesia menggunakan istilah

“lembaga negara, badan negara, atau organ negara”.14

Arti kata “lembaga” dalam Kamus besar Bahasa Indonesia yang relevan

digunakan dalam penelitian ini adalah badan atau organisasi yang bertujuan melakukan suatu usaha. Kamus tersebut memberi contoh frase yang

menggunakan kata lembaga, yaitu “lembaga pemerintah” yang diartikan

sebagai badan-badan pemerintah dalam lingkungan eksekutif. Apabila kata

“pemerintah” diganti dengan kata “negara” maka frase “lembaga negara”

diartikan sebagai badan-badan negara di semua lingkungan pemerintah negara (khususnya di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif)15.

Dalam kamus Hukum Belanda-Indonesia kata staatsorgaan diterjemahkan sebagai alat perlengkapan negara. Dalam Kamus Hukum Fockema Andreae, kata ogan juga diartikan sebagai perlengkapan, Hal ini menyebabkan istilah lembaga negara, organ negara, badan negara, dan alat perlengkapan negara seringkali dipertikarkan satu sama lain. Menurut Natabanya, penyususun UUD 1945 sebelum perubahan, cenderung konsisten menggunakan istilah badan negara, bukan lembaga negara atau organ negara, untuk maksud yang sama, Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) tahun 1949 setelah perubahan keempat, melanjutkan kebiasaan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia (MPR RI) sebelum masa reformasi tindak konsisten menggunakan peristilahan

14

Firmansyah Arifin dkk. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara, KHRN bekerjasama dengan MKRI didukung oleh The Asia Foundation dan USAID, Jakarta 2005, hlm. 29

15


(29)

lembaga negara, organ negara dan badan negara. 16 Satu-satunya istilah lembaga negara terdapat dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang

menyebutkan “Mahkamah Konstitusi berwewenang mengadili, memutus sengketa kewenangan lembaga negara”.

Dalam memahami pengertian organ atau lembaga, dapat dilihat dari pandangan Hans Kelsen mengenai the Concept of the State Organdalam bukunya General Theory of Law and State (Teori Umum tentang Hukum Dan Negara).17 Hans

Kelsen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the

legal order is an organ”. Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang

ditentukan oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya, organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Disamping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma dan atau bersifat menjalankan norma.

Menurut Hans Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan lembaga negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum, sama-sama merupakan organ negara dalam arti luas. Pendek kata, dalam pengertian yang luas ini, organ negara identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan tertentu dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang disebut

16

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 28

17

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New york, 1061, diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Cetakan I, Penenerbit Nusamedia dan Penenrbit Nuansa, Bandung, September 2006, hlm. 276-277


(30)

sebagai jabatan publik atau jabatan umum (public offices) dan pejabat publik atau pejabat umum (public officials).18

Di sisi lain Sri Soemantri menyatakan bahwa, lembaga-lembaga negara merupakan lembaga-lembaga yang ditentukan dalam konstitusi. Hal ini mengacu pada pendapat KC. Wheare, bahwa konstitusi digunakan untuk menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara. Lord James Bryce menegaskan bahwa konstitusi merupakan suatu kerangka masyarakat politik yang diatur melalui dan atu dengan hukum. Hukum telah menetapkan secara permanen lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi-fungsi dan hak-hak yang tertentu yang diakui, sedangkan menurut C.F Strong konstitusi adalah kumpulan yang mengatur dan menetapkan kekuasaan pemerintah dan hak-hak yang diperintah, dan hubungan-hubungan diantara keduanya atau antara pemerintah yang diperintah. Hal ini berarti konstitusi sebagai kerangka negara berisi lembaga-lembaga negara. Lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsi yang terpisah dan memiliki sistem checks and balances, antara lain fungsi legislatif,eksekutif,dan peradilan.19

Sri Soemantri mengatakan bahwa diluar konstitusi juga terdapat lembaga-lembaga negara. Terkait hal tersebut beliau membagi dua sistem ketata negaraan Indonesia. Pertama,sistem ketatanegaraan dalam arti sempit,yakni

18

Jimly Asshiddiqie, op.cit, hlm. 32

19Sri Soemantri, “

Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945”, Disampaikan dalam dialog hukum dan non hukum “penataan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan”Departemen Hukum dan HAM RI, Badan

pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya 26-29 Juni 2009


(31)

hanya berkenaan dengan lembaga-lembaga negara yang terdapat di dalam dan diluar Undang-Undang Dasar.20

Menurut Jimly Asshiddiqie terdapat lebih dari 34 organ,jabatan atau lembaga-lembaga yang secara eksplisit disebut dan diatur keberadaanya dalam UUD 1945.21 Organ tersebut dapat dibedakan dari dua kriteria, yaitu (i) kriteria hirarki bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangan, dan (ii) kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara. Dari segi hirarkinya lembaga atau organ negara dapat dibedakan menjadi tiga lapis :

a. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara, yakni : presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, MPR, MA dan BPK. Seluruh lembaga negara tersebut mendapat kewenangan dari UUD 1945.

b. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, yakni : menteri negara, TNI, POLRI, KY, KPU, dan BI. Lembaga-lembaga tersebut ada yang mendapatkan kewenanganya dari UUD, dan ada pula yang mendapatkan kewenanganya dari undang-undang.

c. Organ lapis ketiga adalah lembaga negara yang sumber kewenanganya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undang Misalnya Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional.

20

Sri Soemantri, Ibid.,

21


(32)

Dari segi fungsinya, lembaga atau organ negara dapat dibagi menjadi dua, yaitu ada yang bersifat utama atau primer,dan ada pula yang bersifat skunder atau penunjang (auxiliary).22

Ketentuan dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menentukan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam

undang-undang”. Artinya23

, selain selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, serta Komisi Yudisial dan kepolisian negara yang sudah diatur dalam UUD 1945. Masih ada badan-badan lainya yang jumlahnya lebih dari satu yang mempunyai fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu yang menjalankan fungsi,penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan. Badan atau lembaga lain yang dimaksud itu antara lain adalah Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini, meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, tetapi sama-sama memiliki constitutional

importance24dalam sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945.

Lebih lanjut Jimly25 menjelaskan persoalan konstitusionalitas lembaga negara itu tidak selalu berkaitan dengan darajat hirarkis antara lembaga yang lebih tinggi atau yang lebih rendah kedudukanya secara konstitusional. Persoalan

yang relevan adalah “apa dan bagaimana Undang-Undang Dasar (UUD) mengatur dan menentukan hal-hal yang berkaitan dengan lembaga negara

dimaksud”. Meskipun kedudukanya lebih rendah dari lembaga konstitusional

22

Jimly Asshidiqie. Ibid., hlm. 90

23

Jimly Asshiddiqie. Ibid., hlm. 88

24

Derajat kepentingan suatu lembaga berdasarkan undang-undang dasar dalam sistem negara demokrasi konstitusi. Jimly Ashiddiqie. Ibid., hlm. 89

25


(33)

yang biasa,tetapi selama ketentuan mengenai lembaga yang bersangkutan di atur dalam Undang-Undang Dasar (UUD), berarti lembaga tersebut bersangkutan dengan persoalan konstitusionalitas.

c. Konsep Lembaga Negara Independen

Lembaga negara telah pada saat ini mengalami perekembangan pesat,hal ini disebabkan beberapa hal,antara lain:

a. Negara mengalami perkembangan dimana kehidupan ekonomi dan sosial menjadi sangat kompleks yang mengakibatkan badan eksekutif mengatur hampir seluruh kehidupan masyarakat.

b. Hampir semua negara modern mempunyai tujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya yang berkonsep negara kesejahteraan(Welfare State). Untuk mencapai tujuan tersebut negara dituntut menjalankan fungsi secara tepat, cepat dan komprehensip dari semua lembaga negara.

c. Adanya keadaan dan kebutuhan yang nyata,baik karena faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh globalisme versus lokalisme yang semakin komplek mengakibatkan variasi struktur dan fungsi organisasi dan institusi kenegaraan semakin berkembang.

d. Terjadinya transisi demokrasi, yang mengakibatkan berbagai kesulitan ekonomi, dikarenakan terjadinya aneka perubahan sosial dan ekonomi. Negara yang mengalami perubahan sosial dan ekonomi memaksa banyak


(34)

negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional

experimentation).

Dalam perkembanganya sebagian besar lembaga yang dibentuk tersebut adalah lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi pembantu bukan yang berfungsi utama. Lembaga tersebut disebut Auxiliary States institution, atau Auxiliary States Organ yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti institusi atau organ negara penunjang. Para ahli hukum tata negara Indonesia tidak memiliki padanan kata yang sama untuk menyebut lembaga ini ada yang menyebut lembaga negara pembantu, lembaga negara penunjang, lembaga negara melayani, lembaga negara independen,dan lembaga negara mandiri.

Lembaga Administrasi Negara (LAN) memberikan pengertian “lembaga

independen adalah pemerintah dan non pemerintah yang bebas dari pengendalian pemerintah dan pembuat kebijakan (legislatif), bebas dari pengendalian oleh pemanfaatan kelompok, dan bebas dari kepentingan tertentu serta bersifat netral.

Di negara-negara demokrasi yang telah mapan, pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20, banyak tumbuh lembaga-lembaga negara baru. Lembaga-lembaga baru tersebut umumnyadisebut sebagaistate auxiliary organs , atau auxiliary

institutions sebagai lembaga penunjang. Di antara lemnbaga-lembaga itu

kadang-kadang ada juga yang disebut sebagai self regulatory agencies,

independen supervisory bodies, atau lembaga-lembaga yang menjalankan

fungsi campuran antara fungsi-fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan bersamaan oleh lembaga-lembaga baru tersebut. Lembaga- lembaga seperti ini di amerika


(35)

serikat disebut juga the headless fourth branch of the goverment, sedangkan di Inggris lembaga-lembaga seperti ini biasa disebut quasi autonomus non

govermental organizations atau disingkat quangos.26

Menurut Muchlis Hamdi, hampir semua negara memiliki lembaga yang dapat disebut “auxiliary states bodies”.27 Menurutnya, lembaga ini umumnya berfungsi untuk mendukung lembaga negara utama. Auxiliary states organ dapat dibentuk dari fungsi lembaga negara utama yang secara teori menjalankan tiga fungsi, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pembentukan organisasi pendukung ini dalam rangka efektivitas pelaksanaan kekuasaan yang menjadi tanggung jawabnya. Selain itu terdapat juga lembaga independen yang kewenanganya bersumber dari konstitusi negara atau kebutuhan penyelenggara pemerintah dan umumnya dibentuk berdasarkan undang-undang.28

Alasan utama yang melatarbelakangi munculnya lembaga independen, adalah29 : Pertama, alasan sosiologis yang menyatakan bahwa munculnya lembaga independen disebabkan adanya kegiatan negara (modern) yang semakin kompleks senhingga membutuhkan banyak lembaga atau alata perlengkapan yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas atau fungsi negara. Alat perlengkapan atau lembaga negara yang dihasilkan melalui konstitusi sudah

26

Jimly Asshiddiqie. Op cit., hlm 7-9

27Muchlis Hamdi, “State Auxiliary Bodies di Beberapa Negara”, Disampaikan dalam dialog

hukum dan non hukum “Penataan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan “

Departemen Hukum dan HAM RI Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya 26-29 Juni 2009

28

Muchlis Hamdi, Ibid.,

29Hendra Nurtjahjo, “Lembaga Independen di Indonesia : Kajian Perspektif Yuridis”, Makalah

dalam diskusi terbatas tentang Kelembagaan Independen di Indonesia di pusat kajian Hukum administrasi Negara Jakarta, 2006


(36)

tidak mampu lagi menampung tugas-tugas spesifik yang umumnya membutuhkan independensi dan profesionalitas dalam pelaksanaannya. Konsekuensi yang dituntut adalah membentuk lembaga baru yang merupakan

conditio sine qua non (konsekuensi logis) bagi pertumbuhan dan

perkembangan negara dalam mengakomodasi aspirasi dan dinamika masyarakat modern.

Kedua, alasan administratif yang menyatakan bahwa kemunculan lembaga independen lebih disebabkan adanya tuntutan penyelenggaraan pemerintah yang efektif, effisien dan berkeadilan. Pelaksanaan satu fungsi atau satu tugas tidak selalu harus ditempatkan pada hanya satu organ kelembagaan saja, apalagi bila fungsi yang menjadi tugas suatu lembaga tidak berjalan dengan efektif dan efisien.

Lembaga negara independen secara umum memiliki fungsi utama, yaitu30 :

1. Lembaga independen berfungsi mengakomodasi tuntutan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam proses penyelenggaraan negara yang didasarkan pada paradigma good

govermance, mensyaratkan adanya interaksi yang proporsional antara

ketiga aktor pemerintah, yaitu: pemerintah (goverment), sektor swasta (private sector), dan masyarakat (society).

2. Lembaga independen berfungsi menjadikan penyelenggaraan pemerintah lebih efektif dan effisien.

30


(37)

Secara umum lembaga independen mempunyai peran yang cukup strategis dalam proses penyelenggaraan negara dan pemerintah, yaitu:31

1. Sebagai pengambil dan atau pelaksanaan kebijakan yang efektif, efisien, adil dan akuntabel sesuai tugas yang menjadi tanggung jawabnya;

2. Sebagai penjamin kepastian hukum dan kepastian regulasi (pengaturan) terhadap subyek dan obyek yang menjadi tanggung jawabnya;

3. Sebagai pengantisipasi dominasi dari aktor-aktor yang terkait dengan urusan yang menjadi tanggung jawabnya;

4. Sebagai pencipta harmonisasi dan singkronisasi iklim dari seluruh stakeholders terkait dengan tugas yang menjadi tanggung jawabnya;

5. Sebagai “investigator” terhadap seluruh aktivitas yang menghambat dari pihak-pihak yang terlibat dalam urusan menjadi tanggung jawabnya;

6. Berhak memberikan sanksi (administratif atau hukum)sesuai dengan kewenangan yang dimiliki terkait dengan urusan yang menjadi tanggungjawabnya.

Namun gejala umum yang dihadapi oleh negara-negara yang membentuk lembaga-lembaga independent tersebut adalah personalan mekanisme akuntabilitas, kedudukan dalam struktur ketatanegaraan, dan pola hubungan kerja dengan kekuasaan pemerintah,kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman32. Ketidakjelasan pembentukan tentunya membawa dampak negatif berupa ketidakjelasan kedudukan dan pertanggungjawaban yang pada akhirnya dapat merusak sistem.

31

Istiyadi Insani, Ibid.,

32A.Ahsin Thohari, “Kedudukan Komisi

-Komisi Negara Dalam Struktur Ketatanegaraan


(38)

E. Metode Penelitian

Dalam mengemukakan masalah yang diteliti, digunakan metode-metode tertentu sesuai dengan kebutuhan penelitian. Metode tersebut diperlukan dalam upaya memperoleh data yang benar-benar objektif dan dapat dipertanggungjawabkan kenbenaranya.

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari dan menganalisis teori-teori, konsep-konsep, literatur dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.

2. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan yang berupa dokumen resmi, buku-buku, laporan hasil penelitian dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. Sebagai penelitian hukum, data sekunder dipergunakan terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu ketentuan hukum dan perundang-undangan yang mengikat serta berkaitan dengan penelitian ini.

1. Undang-Undang Dasar 1945

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan


(39)

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemilihan Kepala Daerah

5. Surat Keputusan KPU-RI No.707/Kpts/KPU/Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Lampung 2014

6. Keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu No.25/DKPP-PKE-III/2014

b. Bahan hukum sekunder yaitu, bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang bersumber dari buku, literatur dan hasil karya ilmiah dalam bidang ilmu pengetahuan hukum yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

c. Bahan hukum tersier yaitu, bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus, ensikopedia,surat kabar dan situs internet.

3. Pengumpulan dan Pengolahan Data

a. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kepustakaan yang dilakukan dengan mengadakan penelusuran dan identifikasi data yang diperlukan lalu membaca dan memahami kemudian dilakukan pengutipan dan pembuatan catatan-catatan, yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, dan kamus hukum atau ensiklopedia hukum yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.


(40)

b. Pengolahan Data

Data sekunder berupa bahan hukum yang sudah diperoleh, kemudian diolah sebagai berikut:

1. Pemeriksaan data (editing) guna mengecek jika masih ada kekurangan untuk dilengkapi atau jika ada berlebihan yang tidak perlu untuk dibuang,atau jika ada kesalahan untuk diperbaiki.

2. Penyusunan data secara sistematis berdasarkan pada urutan masalah terdiri dari pokok bahasan dan subpokok bahasan.

c. Analisis Data

Setelah semua data selesai diolah, selanjutnya diadakan analisis data secara kualitatif, yaitu disusun dalam bentuk kalimat yang teratur, logis, sistematis, sehingga mudah dipahami dan diberi makna yang jelas. Secara kualitatif artinya mendeskripsikan secara rinci, lengkap, jelas dan komprehensif data dan informasi hasil penelitian dan pembahasan dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis untuk kemudian ditarik kesimpulan yang tepat.


(41)

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan Tesis ini disajikan dalam beberapa bab yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainya yaitu sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN, Bab ini berisi pendahuluan penyusunan Tesis yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian, serta Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, Bab ini berisi tinjauan pustaka yang meliputi konsep lembaga negara independen, pengertian tentang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum, pengertian tentang Pemilihan Umum, kedudukan DKPP di dalam system ketatanegaraan Indonesia.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, Bab ini berisi penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dari hasil penelitian Kekuatan Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum dalam kaitanya dengan Pemilihan Gubernur Lampung 2014.

BAB IV PENUTUP, Bab ini berisi kesimpulan yang didasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan serta saran direkomendasikan kepada berbagai pihak yang terkait dengan penelitian.


(42)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kedudukan DKPP Dalam System Ketatanegaraan Indonesia

1. Lembaga Negara Pembantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Sistem ketatanegaraan atau sistem pemerintahan dalam arti luas adalah pembagian dan pemisahan kekuasaan serta hubungan lembaga-lembaga negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya demi kesejahteraan rakyat. Terdapat tiga sistem pemerintahan yang lazim digunakan banyak negara yaitu : sistem pemerintahan presidensial, sistem parlementer, dan sistem pemerintahan campuran.

Sebelum amandemen UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem pemerintahan campuran yang cenderung lebih menguatkan pada sistem presidensil dengan ciri : (a) presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan (b) kepastian masa jabatan presiden lima tahun; (c) presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR; dan (d) presiden tidak dapat membubarkan DPR. Sementara itu ciri parlementer terlihat pada : (a) presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu tetapi dipilih oleh DPR; dan (b) presiden bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan rakyat yang dalam hal ini MPR. Perubahan terhadap UUD 1945 dari sudut pandang hukum tata negara merupakan

condition sine qua non bagi penataan ulang sistem pemerintahan dan sistem


(43)

atau kedaulatan rakyat yang berorientasi pada tegakannya rule of law, pengendalian kekuasaan, otonomi daerah, civil society dan check and balances.1

Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia pasca perubahan UUD 1945 adalah sebagai berikut :

1. Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi.

2. Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan presidensial.

3. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket.

4. Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.

5. Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.

6. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan hasil perubahan UUD 1945 kekuasaan negara dibagi kepada tujuh Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar yang sering disebut

1


(44)

lembaga tinggi negara, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu terdapat juga lembaga-lembaga negara lain yang ditentukan dalam UUD 1945.

Setelah beberapa kali perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan dari yang sebelumnya menerapkan pembagian kekuasaan (distribution of power) menjadi pemisahan kekuasaan (separation of

power) dengan prinsip check and balances. Kekuasaan negara dipisah-pisahkan

menurut fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif pada lembaga yang berbeda-beda. Perubahan ini ditandai dengan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara tetapi sederajat dengan lembaga negara lain.

Checks and balances pertama kali dimunculkan oleh Montesquieu dari gagasan

tentang pemisahan kekuasaan (separation of power). Berdasarkan ide ini, suatu negara dikatakan memiliki sistem checks and balances yang efektif jika tidak ada satupun cabang pemerintahan yang memiliki kekuasaan dominan, serta dapat dipengaruhi oleh cabang lainnya (A government is said to have an effective system of checks and balances if no one branch of government holds total power,

and canbe overridden by another).2

Secara konseptual, prinsip check and balances dimaksudkan agar tidak terjadi

overlapping atau tumpang tindih antara kewenangan lembaga negara sehingga

hlm.173

2

http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/11/menyimak-kembali-checks-and-balances.html, diunduh tanggal 27 Agustus 2015


(45)

kekuasaan dalam negara haruslah diatur dengan seksama. Kamus hukum mendefinisikan prinsip check and balances sebagai sebuah sistem aturan yang menegaskan adanya mekanisme saling kontrol di antara cabang kekuasaan baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang didesain untuk mencegah terkonsentrasinya kekuasaan dalam satu cabang sehingga mendominasi cabang kekuasaan yang lain.3

Amandemen UUD 1945, telah merubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara mendasar. Jimly Asshiddiqie4 mengkategorikan perubahan atas UUD 1945 menjadi enam bagian, yaitu: (1) Pembaharuan struktur UUD; (2) Pembaharuan mengenai sendi-sendi bernegara; (3) Pembaharuan bentuk susunan negara; (4) Pembaharuan kelembagaan atau alat kelengkapan negara; (5) Pembaharuan yang terkait masalah penduduk dan kewarganegaraan; dan (6) Pembaharuan yang bersangkutan dengan identitas negara. Kategori yang memiliki relevansi paling kuat dengan penelitian ini adalah pembaharuan mengenai kelembagaan atau kelengkapan negara.

Perubahan UUD 1945 telah menjadikan seluruh lembaga negara setara/sederajat dan saling terkait serta memiliki mekanisme kontrol antara satu dan yang lain, yang dikenal dengan istilah check and balence. Kehadiran lembaga negara pembantu yang disebut states auxiliary agencies sesungguhnya untuk memperkuat prinsip check and balance tersebut dalam penyelenggaraan pemerintah. Lembaga

3

http://masnurmarzuki.blogspot.com/2011/12/pemisahan-kekuasaan-dan-prinsip-checks.html, diunduh tanggal 27 Agustus 2015

4

Jimly Asshiddiqie (d), Bagir Manan, dkk., Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan


(46)

negara pembantu memiliki peran strategis yang salah satunya adalah mencipta harmonisasi dan sinkronisasi seluruh lembaga negara yang terkait dengan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

Lahirnya lembaga negara pembantu merupakan perkembangan baru dalam sistem pemerintahan. Lembaga negara tersebut mempunyai dasar hukum dan latar belakang yang berbeda-beda serta tugas dan wewenangnya. Salah satu sifat lembaga negara pembantu atau organ penujang (auxiliary states organ) ini adalah independen, yang sering disebut dengan istilah lembaga negara indpenden atau komisi negara independen. lembaga negara indpenden adalah organ negara (state

organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada diluar kekuasaan

eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Pengertian dasar dari independen adalah adanya kebebasan, kemerdekaan, kemandirian, otonom (otonomi), tidak dalam dominasi personal maupun

institusional, sehingga pelaksanaan kehendak yang bebas (free will) dapat terwujud

tanpa ada pengaruh yang secara signifikan merubah pendiriannya untuk membuat keputusan atau kebijakan. Oleh karen itu, lembaga negara independen berbeda dengan lembaga negara biasa.

Lembaga negara pembantu merupakan instusi yang membantu lembaga negara pokok/utama yang telah ada dan selama ini dikenal baik dalam teori maupun praktik ketatanegaraan. Sesuai dengan teori trias politika-nya Montesquieu yang membagi kekuasaan pemerintahan kedalam tiga cabang yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Keberadaan lembaga negara pembantu apalagi lembaga negara


(47)

utama jelas terkait dan tak terpisahkan dengan negara sebagai sebuah organisasi dan manajemen kenegaraan.

Terhadap keberadaan lembaga negara pembantu (auxiliary states organ) sebagai lembaga negara, dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 tentang perkara permohonan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; yang menyatakan bahwa5“Dalam sebuah negara demokrasi modern memang akan lahir banyak sekali institusi-institusi demokratis dan lembaga-lembaga negara yang kemudian memunculkan beragam penamaan, seperti Komisi Hak Asasi Manusia dan Komisi-Komisi lainnya. Komisi Independen yang lahir ini memang merupakan sebuah konsekwensi logis dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna menjalankan prinsip check and balances untuk kepentingan publik yang lebih besar”.

Pada bagian lain dari keputusan ini, “Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia istilah lembaga negara tidak selalu dimaksudkan sebagai lembaga negara yang disebutkan dalam UUD yang keberadaannya atas dasar perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara yang dibentuk atas perintah UU dan bahkan ada lembaga negara yang dibentuk atas dasar Keppres. KPI yang oleh UU Penyiaran disebut lembaga negara tidak menyalahi dan tidak bertentangan dengan UUD 19456.

5

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id “Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003, hlm.21-22” diunduh tanggal 18 Juni 2015

6


(48)

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, kehadiran lembaga negara pembantu dalam sistem ketatanegaraan pada negara demokrasi modern seperti di Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Lembaga negara pembantu tersebut dibentuk dalam rangka menciptakan sistem pemerintahan yang lebih baik dengan prinsip check and balences. Lembaga-lembaga negara pembantu dengan fungsi dan kewenanggan yang dimilikinya telah menjadi bagian yang takterpisahkan dari struktur ketatanegaraan Indonesia.

2. Kedudukan DKPP Dalam Sistem Penyelenggaraan Pemilu

Dalam rangka mewujudkan visi pembangunan bangsa melalui peningkatan kualitas demokrasi maka diperlukan institusi-institusi negara untuk mengawal proses penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) di seluruh Indonesia. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia atau disingkat DKPP RI merupakan lembaga yang dibentuk dalam praktek demokrasi modern di Indonesia. DKPP merupakan produk wacana perbaikan kualitas demokrasi khususnya penyelenggaraan Pemilu.

Apabila seluruh penyelenggara Pemilu di semua tingkatan pada proses Pemilu berpegang dengan asas penyelenggaraan Pemilu, maka DKPP tidak perlu hadir. Kehadiran DKPP bukan sebuah kebanggaan, tetapi sebuah keprihatinan atas praktik dan perilaku penyelenggara Pemilu yang tidak bermartabat. Pemilu seakan-akan menjadi beban sejarah politik tersendiri bagi perubahan, bahkan begitu berharganya Pemilu dibutuhkan lembaga khusus yang permanen untuk melakukan


(49)

penegakan kode etik guna menghasilkan Pemilu yang tidak saja luber jurdil tapi mewujudkan proses dan hasil pemimpin yang betul-betul bermartabat.

Salah satu faktor penting bagi keberhasilan penyelenggaraan Pemilu terletak pada kesiapan dan profesionalitas penyelenggara Pemilu itu sendiri, yaitu Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. Ketiga institusi ini telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum untuk menyelenggarakan Pemilu menurut fungsi, tugas dan kewenangannya masing-masing. Pasal 1 angka 22 UU No.15 Tahun 2011 menjelaskan bahwa “Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, selanjutnya disingkat DKPP, adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu”. Pasal tersebut jelas menerangkan bahwa DKPP sebagai lembaga kode etik yang tugas dan wewenangnya merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. Dengan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, DKPP berfungsi menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas penyelenggara Pemilu. DKPP bukanlah sebagai penyelenggara pemilu, karena penyelenggara pemilu adalah KPU sebagai pelaksana Pemilu dan Bawaslu sebagai pengawas Pemilu.

Pada Pasal 109 ayat (1) UU No.15 Tahun 2011 menyatakan bahwa “DKPP bersifat tetap dan berkedudukan di ibu kota negara”. DKPP bisa disebut sebagai lembaga/organ negara karena DKPP menjalankan fungsinya yang menciptakan hukum (law•creating function) atau fungsi yang menerapkan hukum


(50)

kode etik penyelenggara Pemilu dan satu kesatuan fungsi dalam penyelenggaraan Pemilu. Selain itu anggota DKPP dipilih, diangkat dan menjalankan tugas sebagai pejabat negara berdasarkan undang-undang. Ini sesuai dengan konsep organ negara (theConcept of the State Organ) yang diungkapkan oleh Hans Kelsen7.

Sebagai lembaga negara baru yang dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemilu, kedudukan DKPP dalam sistem ketatanegaraan indonesia dapat dilihat dari 4 (empat) hal yaitu : (1) sumber hukum pembentukannya, (2) pemilihan dan pengangkatan anggotanya, (3) pertanggungjawaban dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya; (4) sumber anggaran yang digunakan.

Sumber hukum pembentukan DKPP adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Secara khusus DKPP diatur dalam bab V Pasal 109 sampai dengan Pasal 115. DKPP dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam sistem ketatanegaraan mempunyai kedudukan yang kuat, karena selain dibentuk berdasarkan undang-undang, DKPP mempunyai

constitutional importance secara langsung dengan UUD 1945 Pasal 22E ayat (5).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 dan Nomor 81/PUU- IX/2011 menjelaskan bahwa KPU, Bawaslu, dan DKPP adalah bagian dari komisi pemilihan umum yang dimaksud oleh Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang memiliki sifat mandiri.

Pemilihan dan pengangkatan anggota DKPP diatur dalam Pasal 109 UU No.15 Tahun 2011. Sebelum DKPP terbentuk, terhadap undang-undang

7

Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, Russell & Russell, New York, 1961, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara,


(51)

penyelenggara pemilu telah mengalami judicial review berdasarkan putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-IX/2011. Salah satu putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menghapus ketentuan komposisi keanggotaan DKPP dari unsur partai politik dan pemerintah yang diatur dalam Pasal 109 ayat (4) huruf c dan d serta sebagian dari ayat (5). Pasal 109 ayat (6) menyebutkan bahwa anggota DKPP yang berasal dari unsur masyarakat, Presiden berhak mengusulkan 2 (dua) orang dan DPR mengusulkan 3 (tiga) orang. Seluruh usulan calon anggota DKPP dari semua unsur disampaikan kepada Presiden untuk dilantik dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Secara umum pertanggungjawaban lembaga/komisi negara pembantu/penujang dalam pelaksanaan Pertanggungjawaban tugas dan kewenangannya ada yang kepada publik, presiden, dan DPR. DKPP dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya tidak diatur secara jelas dan tegas dalam UU No.15 Tahun 2011. Namun jika dilihat dari pengangkatan anggota dan sumber anggaran DKPP, maka pertanggungjawabannya dilakukan kepada presiden dan DPR. Mengenai sumber anggaran yang digunakan oleh DKPP telah diatur dalam Pasal 116 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2011, yang menyebutkan“Anggaran belanja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, DKPP, Sekretariat Jenderal KPU, sekretariat KPU Provinsi, sekretariat KPU Kabupaten/Kota, Sekretariat Jenderal Bawaslu, dan sekretariat Bawaslu Provinsi bersumber dari APBN”. Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 118 menegenai kedudukan keuangan DKPP diatur lebih lanjut dengan peraturan presiden. Namun sayang dalam melaksanakan tugasnya, DKPP tidak dibantu oleh Sekretariat tersendiri, tetapi oleh sekretariat yang melekat pada Sekretariat


(52)

Jenderal Bawaslu.

Selanjutnya mengenai keberadaan DKPP ini juga dijelaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-IX/20118 tentang perkara Pengujian Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar; yang menyatakan bahwa“Mahkamah berpendapat bahwa dewan kehormatan yang menangani perilaku penyelenggara pemilu merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. “Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, selanjutnya disingkat DKPP, adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu.” Sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum, maka menurut Mahkamah sifat mandiri yang dinyatakan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 harus juga mendasari pembentukan dewan kehormatan”.

DKPP sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri atau independen. Walaupun tidak dinyatakan secara tegas dalam undang-undang, sifat independen dari DKPP dapat dilihat dari komposisi anggotanya dan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya sebagai lembaga yang menangani pelanggaran kode etik oleh penyelenggara Pemilu.

Anggota DKPP terdiri dari masing-masing 1 (satu) orang unsur KPU dan Bawaslu serta 5 (lima) orang dari unsur masyarakat/ahli. Sebagai lembaga kode etik penyelenggara Pemilu, DKPP mempunyai tugas dan wewenang


(53)

menegakkan kode etik secara mandiri. Etika adalah konsep moral yang dimiliki individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Kode etik yang dibuat akan menjaga kehormatan dan nama baik penyelenggara Pemilu, meningkatkan kredibilitas serta menjadi panduan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Mengenai kemandirian atau independensi DKPP sudah sangat jelas diungkapkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-IX/2011 yang menegaskan kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 tentang perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang menyatakan bahwa “Komisi Pemilihan Umum (dengan huruf besar), Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, menurut Mahkamah, adalah bagian dari komisi pemilihan umum (dengan huruf kecil) yang dimaksud oleh Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 memiliki sifat mandiri, sebagaimana juga telah diuraikan dalam Putusan Nomor 11/PUU- VIII/2010 bertanggal 18 Maret 2010, pada paragraf [3.18] poin 5, yang menyatakan:

“Bahwa untuk menjamin terselenggaranya pemilihan umum yang luber dan jurdil, Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menentukan bahwa, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap

dan mandiri”. Kalimat “suatu komisi pemilihan umum” dalam

UUD 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dengan demikian, menurut Mahkamah, fungsi penyelenggaraan pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi termasuk juga lembaga

8

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id “Putusan Mahkamah Konstitusi 81/PUU-IX/2011 hlm. 59, diunduh tanggal 18 Juni 2015


(54)

pengawas pemilihan umum dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Pengertian ini lebih memenuhi ketentuan UUD 1945 yang mengamanatkan adanya penyelenggara pemilihan umum yang bersifat mandiri untuk dapat terlaksananya pemilihan umum yang memenuhi prinsip-prinsip luber dan jurdil. Penyelenggaraan pemilihan umum tanpa pengawasan oleh lembaga independen, akan mengancam prinsip-prinsip luber dan jurdil dalam pelaksanaan Pemilu. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 70 sampai dengan Pasal 109 UU 22/2007, harus diartikan sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan umum, sehingga fungsi penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh unsur penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan unsur pengawas Pemilu, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Bahkan, Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu pun harus diartikan sebagai lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum. Dengan demikian, jaminan kemandirian penyelenggara pemilu menjadi nyata dan jelas”.

Sebagai contonya adalah kasus Putusan DKPP Nomor 23-25/DKPP-PKE-I/2012, yang pada point ketiga putusannya “memerintahkan kepada KPU agar 18 (delapan belas) partai politik calon peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi administrasi untuk diikutsertakan dalam verifikasi faktual”. Putusan DKPP ini jelas telah melanggar kewenangan DKPP yang sebatas hanya menangani pelanggaran kode etik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 22 dan Pasal 109 ayat (2) UU No.15

Tahun 2011. Verifikasi partai politik merupakan ranah teknis penyelenggaraan tahapan Pemilu yang menjadi kewenangan KPU RI. Putusan DKPP yang


(55)

memerintahkan KPU untuk melakukan verifikasi faktual atas 18 parpol, dapat dianggap telah bertindak sebagai pemutus sengketa Pemilu yang menjadi kewenangan dari Bawaslu dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 259 dan 268 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

DKPP sebagai lembaga kode etik Pemilu kedepannya harus lebih banyak mengambil peran pada upaya persuasif pencegahan terjadinya pelanggaran kode etik. Langkah yang dapat dilakukan oleh DKPP adalah dengan terlibat secara aktif dalam rekrutmen anggota KPU dan Bawaslu sehingga diperoleh penyelenggara Pemilu yang memiliki kredibilatas dan integritas. Selain itu DKPP harus meningkatkan sosialisasi tentang kode etik penyelenggara Pemilu kepala seluruh pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu termasuk masyarakat luas.

Penyelenggaraan Pemilu akan berjalan dengan baik dan demokratis bila dilakukan dengan prinsip-prinsip hukum dan mekanisme check and balances diantara lembaga-lembaga yang terkait dengan penyelenggaraan Pemilu. Dengan adanya check and balances antar lembaga penyelenggara Pemilu maka kekuasaan/ kewenangan KPU, Bawaslu dan juga DKPP dapat dibatasi dan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan dan dominasi kekuasaan oleh lembaga/pejabat yang terlibat dalam penyelenggara Pemilu dapat dicegah.

Dari uraian diatas, Penulis berpendapat kedudukan DKPP dalam sistem ketatanegaraan indonesia dapat dikategorikan sebagai lembaga negara pembantu


(56)

atau lembaga negara penujang yang bersifat independent. DKPP adalah lembaga penegak kode etik penyelenggara Pemilu yang dibentuk sebagai penyeimbang dan pengawas bagi KPU dan Bawaslu. Hubungan antara DKPP dengan KPU dan Bawaslu secara struktural adalah sederajat saling terkait dan masing-masing bersifat independen (check and balances) dalam penyelenggaraan Pemilu, namun secara fungsional peran DKPP bersifat penujang dalam penyelenggaraan Pemilu.

3. Lembaga Negara Independen

Lembaga negara telah pada saat ini mengalami perkembangan pesat, hal ini disebabkan beberapa hal, antara lain:9

a. Negara mengalami perkembangan di mana kehidupan ekonomi dan sosial menjadi sangat kompleks yang mengakibatkan badan eksekutif mengatur hampir seluruh kehidupan masyarakat.

b. Hampir semua negara modern mempunyai tujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya yang berkonsep negara kesejahteraan (Welfare State). Untuk mencapai tujuan tersebut negara dituntut menjalankan fungsi secara tepat, cepat dan komprehensip dari semua lembaga negara.

c. Adanya keadaan dan kebutuhan yang nyata, baik karena faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh

9


(57)

globalisme versus lokalisme yang semakin komplek mengakibatkan variasi struktur dan fungsi organisasi dan institusi-institusi

kenegaraan semakin berkembang.

d. Terjadinya transisi demokrasi, yang mengakibatkan berbagai kesulitan ekonomi, dikarenakan terjadinya aneka perubahan sosial dan ekonomi. Negara yang mengalami perubahan sosial dan ekonomi memaksa banyak negara melakukan eksperimentasi kelembagaan

(institutional experimentation).

Dalam perkembangannya sebagian besar lembaga yang dibentuk tersebut adalah lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi pembantu bukan yang berfungsi utama. Lembaga tersebut disebut Auxiliary State`s institutions, atau Auxiliary

State`s Organ yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti

institusi atau organ negara penunjang. Para ahli hukum tata negara Indonesia tidak memiliki padanan kata yang sama untuk menyebut lembaga ini ada yang menyebut lembaga negara pembantu, lembaga negara penunjang, lembaga Negara melayani, lembaga negara independen dan lembaga negara mandiri.10 Lembaga

Administrasi Negara (LAN) memberi pengertian “lembaga independen adalah lembaga pemerintah dan non pemerintah yang bebas dari pengendalian oleh pemerintah dan pembuat kebijakan (legislatif), bebas dari pengendalian oleh pemanfaatan kelompok, dan bebas dari kepentingan tertentu serta bersifat netral.11

10

http://ilhamendra.wordpress.com/2009/02/19/1konsep-tentang-lembaga-negara-penunjang/, diunduh tanggal 14 April 2015

11


(1)

Pemilu sesuai pedoman beracara kode etik penyelenggara pemilu meliputi, sebagai berikut :

1. Verifikasi Administrasi. DKPP menerima pengaduan dan/atau laporan tertulis untuk dikaji terlebih dahulu oleh sekretariat DKPP mengenai kelengkapan administrasi pengaduan yang meliputi: identitas pengadu dan teradu, uraian alasan pengaduan, serta permintaan untuk memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran kode etik.

2. Verifikasi Materiel dan Registrasi Perkara. Pengaduan yang telah lolos verifikasi administrasi akan dilakukan verifikasi materiel untuk menentukan apakah pengaduan tersebut memenuhi unsur pelanggaran kode etik. Kemudian pengaduan yang telah memenuhi. Pengaduan yang telah memenuhi verifikasi administrasi dan verifikasi materiel akan dicatat dalam buku registrasi perkara dan ditetapkan jadwal sidangnya.

3. Persidangan. Dalam persidangan DKPP, Pelapor menyampaikan pokok laporannya, kemudian Terlapor menyampaikan pembelaan terhadap tuduhan yang disampaikan Pelapor. Apabila diperlukan, baik Pelapor maupun Terlapor dapat menghadirkan saksi-saksi termasuk keterangan ahli di bawah sumpah serta keterangan pihak terkait lainnya.

4. Pleno Penetapan Putusan. Majelis Sidang DKPP akan menilai duduk perkara yang sebenarnya, merumuskan dan menyimpulkannya, hingga akhirnya memberi Putusan.


(2)

dengan memanggil pihak Terlapor dan Pelapor.

DKPP bersidang untuk melakukan pemeriksaan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan KPU, Bawaslu, dan jajarannya. Dugaan Pelanggaran kode etik tersebut diproses sebagaimana sebuah peradilan, dengan menempatkan Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP No.13 Tahun 2012, No.11 Tahun 2012, dan No.1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagai "hukum materil"-nya, dan Peraturan DKPP No.2 Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagai "hukum formil"-nya.


(3)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari Hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

a. Pemilihan Gubernur Lampung pada tahun 2014 oleh masyarakat tidak begitu memuaskan atau mengalamikrisis, dikarenakan terdapat pelanggaran – pelanggaran pemilu yang ditemukandisana. Setelah munculnya Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu No.25/DKPP-PKE-III/2014 menyimpulkan bahwa Bawaslu Provinsi Lampung melakukan pelanggaran kode etik dalam melaksanakan Pemilihan Gubernur Lampung Tahun 2014. b. Subjek yang dapat diperkarakan selaku pihak teradu/terlapor di DKPP dalam

peraturan dibatasi hanya penyelenggara Pemilu tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pusat. Objek pelanggaran etika yang dapat diperkarakan menyangkut sikap dan perbuatan pribadi penyelenggara Pemilu yang mengandung unsur jahat dan melanggar hukum. Waktu pengajuan perkara suatu pelanggaran kode etik tidak tergantung kapan suatu perbuatan tersebut terjadi, namun dalam suatu penyelenggaraan Pemilu dibatasi pengajuan gugatan pelanggaran kode etik sesuai dengan tahapan pelaksanaan Pemilu. Undang-undang Penyelenggara Pemilu dan Peraturan DKPP menyatakan


(4)

dengan tegas bahwa Putusan DKPP bersifat final dan mengikat (final and binding) serta penyelenggara Pemilu wajib melaksanakan putusan DKPP. B. Saran

Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan diatas, maka peneliti memberikan saran sebagaiberikut, :

a. Dengan Putusan DKPP yang ke sekian kali nya ini Para penyelenggara Pemilu baik di tingkat provinsi, daerah sampai tingkat desa harus benar – benar netral dan menjalankan tugasnya dengan baik, agar pemimpin yang terpilih yang akan mempimpin di daerah tersebut berlegitimasi dengan baik.

b. DKPP sebaiknya tidak membuat sebuah Putusan, melainkan sebaiknya Rekomendasi. Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat khusus untuk sanksi pemberhentian tetap, diubah menjadi rekomendasi kepada lembaga penyelenggara pemilu sesuai dengan hirarkinya. Percuma jika penyelenggara Pemilu jika melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku hanya di hukum diberhentikan, jarang dilimpahkan sebagai pelanggaran pidana nya, jika hanya diberhentikan maka tidak membuat para penyelenggara pemilu jera.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Sinar Grafika, Jakarta, 2010

Asshidiqie, Jimly Bagir Manan, dkk. Gagasan amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung, cet. Ke-2, Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta 2006.

Arifin Firmansyah dkk. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara, KHRN bekerjasama dengan MKRI didukung oleh The Asia Foundation dan USAID, Jakarta 2005, hlm. 29

Derajat kepentingan suatu lembaga berdasarkan undang-undang dasar dalam sistem negara demokrasi konstitusi. Jimly

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New york, 1061, diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Cetakan I, Penenerbit Nusamedia dan Penenrbit Nuansa, Bandung, September 2006

Hamdi, Muchlis “State Auxiliary Bodies di Beberapa Negara”, Disampaikan

dalam dialog hukum dan non hukum “Penataan State Auxiliary Bodies

dalam Sistem Ketatanegaraan “ Departemen Hukum dan HAM RI Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya 26-29 Juni 2009

Hendra Nurtjahjo, “Lembaga Independen di Indonesia : Kajian Perspektif Yuridis”, Makalah dalam diskusi terbatas tentang Kelembagaan Independen di Indonesia di pusat kajian Hukum administrasi Negara Jakarta, 2006

Hadjar Al Fickar, Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, KRHN dan Kemitraan, Jakarta, 2003

Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislatif: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.

Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia, Ed. Revisi, Cet.2. Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

Manan, Bagir. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Mandar Maju, Bandung, 1995.

Soemantri Sri, “Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem

Ketatanegaraan Menurut UUD 1945”, Disampaikan dalam dialog hukum dan non hukum “penataan State Auxiliary Bodies dalam Sistem


(6)

Airlangga, Surabaya 26-29 Juni 2009

Soeprapto, Farida Maria Indrati, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan pembentukannya, Kanisius, Jakarta, 1998,

Thohari, A.Ahsin, “Kedudukan Komisi-Komisi Negara Dalam Struktur

Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum Jantera, Edisi 12 Tahun III, April 2006,

Yasir, Armen. Hukum Perundang-undangan, Lembaga Penelitian Universitas Lampung, 2008.

http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/286-direktori/2339-terpilih-jadi gubernur-lampung unduhan 25-2-2015

http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/08/09/18/3734-kpud-lampung-tetap-gelar-rekapitulasi-suara-pilgub unduhan pada 25-2-2015 Nyoman adi irawan, Mahasiswa Untuk Demokrasi, 2013,

http://sidomi.com/280499/hasil-pilgub-lampung-2014-ridho-bakhtiar-menang-versi-quick-count/ unduhan 25-2-2015

http://www.saibumi.com/artikel-2622-hasil-final-rekapitulasi-kpu-ridho-ficardo-menangi-pilgub-lampung-dengan-4496-persen.html unduhan 25-2-2015