Manfaat dan hal positif dari Pendidikan Religiositas sebagai alternativ PAK

g. Evaluasi

Evaluasi merupakan muara pertangung jawaban sejauh mana proses pembelajaran ini berhasil dan mengena pada siswa. Evaluasi tidak harus dipandang dengan evaluasi yang sifatnya kuantitatif atau perumusan angka, melainkan juga dilihat sebagai evaluasi yang bersifat kualitatif. Dalam hal ini evaluasi menjadi bagian untuk memtakan sejauh mana refleksi tersebut semakin berkembang, sebagai proses yang harus disadari dan diinternalisasi oleh siswa. Maka evaluasi tidak sekedar bersifat mengukur aspek kognitif semata, melainkan juga mendaptasi upaya pengungkapan refleksi sebagai bagian dari evaluasi.

h. Penutup

Akhir dari proses pembelajaran, bersifat memperteguh proses, atau meperkembangkan pertemuan untuk pertemuan yang belum dapat diproses selama jam pertemuan. Doa penutup Dapat bersifat doa umum atau doa dari kebergaman tradisi religi. Penilaian pendidikan Religiositas dimaksudkan untu k mengukur pencapaian indicator hasil belajar. Selain penilaian tertulis, dapat juga emnggunakan model penilaian berdasarkan perbuatan performance based assessment, penugasan project, produk product, atau portofolio portofolio. Penilaian tersebut harus memperhatikan tiga aspek penting, yaitu aspek kognitif, afeksi, psiko motorik.

5. Manfaat dan hal positif dari Pendidikan Religiositas sebagai alternativ PAK

Terminologi pendidikan agama yang digunakan dalam penulisan ini mengandung pengertian segenap proses yang menuntun segala kekuatan kodrati yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya, dengan berdasar pada nilai-nilai dan norma yang diajarkan dalam agama-agama tentang kehidupan manusia kini dan akan datang. Pluralisme menjadi suatu perspektif penting dalam penulisan ini. Dalam melihat kemajemukan agama dalam masyarakat, cara pandang yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan menempatkan agama-agama sebagai sejajar satu dengan yang lain, tidak ada yang superior atas yang lain. Mengkaji masalah pendidikan agama dalam masyarakat multikultur, hal yang penting dilakukan adalah melihat masalah dari beragam sudut pandang.Satu sisi tidak bisa diabaikan adanya kelompok masyarakat yang senantiasa membutuhkan pegangan dalam ketidakpastian hidup yang mereka andaikan bisa terjawab oleh agama. Pengajaran agama oleh kelompok masyakat ini diyakini sebagai cara yang penting untuk membekali generasi muda dengan model hidup yang aman berdasarkan ajaran agama yang dianggap benar secara absolut. Di sisi lain wacana keagamaan yang direproduksi dalam ruang-ruang kelas bagi generasi muda-peserta didik seringkali dirasa membosankan, karena hanya berisi hal-hal yang sudah tertentu dan pasti yang kadang harus dihafal, tetapi tidak menyentuh kegelisahan mereka sehari-hari. Wacana keagamaan yang mengandung pengandaian bahwa masyarakat adalah monokultur juga menghasilkan sikap yang gamang, ambigu bahkan tidak toleran dalam menghadapi perbedaan. Persoalan ideologi dalam pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen di sekolah- sekolah berlebelkan agama yang memiliki siswa yang berlatarbelakang agama yang berbeda menjadi temuan menarik dalam penulisan ini. Ada sekolah Kristen yang tetap mempertahankan eksistensi ideologi dalam pengelolaan pendidikan, namun ada juga sekolah Kristen yang memposisikan ideologi di tengah kebijakan pemerintah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS yang menyatakan bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Tentu saja hal ini problematic selain tak sesuai dengan jiwa dan semangat UU Sisdiknas 2013. Dalam kacamata multkulturalisme, kewajiban bagi setiap siswa untuk mengikuti salah satu dari lima macam pendidikan agama, bagi para penganut agama dan kepecayaan di luar agama resmi adalah memutus generasi penerus penganut agama dan kepercayaan tersebut. Dampak dari pendidikan agama yang dibatasi berdasarkan agama yang dianggap resmi oleh pemerintah ini terasa setelah beberapa generasi. Seperti halnya sekolah-sekolah di bawah naungan Yayasan Kanisius yang berpusat di Semarang, sejak empat tahun terakhir mengenalkan Pendidikan Religiositas sebagai pengganti Pendidikan Agama.Sejak saat itu pula di Yayasan Kanisius tidak ada lagi pendidikan agama Katolik pada umumnya.Para siswa kemudian dibekali pendidikan iman alternatif yang akrab disebut Pendidikan Religiositas. Lantas apa perbedaan dan kesamaan kedua pembelajaran itu? Namun, ada satu perbedaan prinsip yang membedakan kedua pembelajaran itu, yakni pendidikan agama yang dikenal sehari-hari hanya berkutat pada dogma dan nilai-nilai kebenaran agama itu sendiri, sementara Pendidikan Religiositas bicara lebih luas, ingin merangkum kesamaan nilai-nilai universal setiap agama. Prinsip yang dipakai: cintailah Tuhanmu sesuai agamamu. Pada prinsipnya, baik Pendidikan Agama pada umumnya maupun Pendidikan Religiositas sama saja. Kedua pembelajaran itu bertujuan meningkatkan iman dan takwa bagi siswa yang mempelajarinya. Sementara disisi lain Pendidikan Religiositas merupakan suatu pendidikan yang mengajak subyek didik sampai kepada sikap batin yang mendalam mengenai Tuhan dan keterkaitannya tentang kehidupan. Pendidikan Religiositas merupakan pendidikan yang bermaksud mengkontruksi aspek belajar subyek didik untuk sampai kepada nilai-nilai universal kehidupan.Pendidikan Religiositas menjadi media bagi pengembangan pendidikan nilai yang lebih progresif. Dalam Pendidikan Religiositas ini, subyek didik diajak sampai kepada proses eksplorasi yang signifikan dengan pola-pola yang bersifat tidak terbatas pada ruang lingkup ruang kelas, melainkan dimungkinkan sampai pengalaman subyek didik untuk mengenal hidupnya yang dengan sosio religius dan sosio kultural yang konkret dan nyata Dengan adanya Pendidikan Religiositas yang merupakan salah satu bentuk komunikasi iman, baik antarsiswa yang seagama maupun siswa yang berbeda agama dan kepercayaan agar membantu siswa menjadi manusia yang religius, bermoral, terbuka, dan mampu menjadi pelaku perubahan sosial demi terwujudnya masyarakat yang sejahtera lahir dan batin, berdasarkan nilai-nilai universal misalnya kasih, kerukunan, kedamaian, keadilan, kejujuran, pengorbanan, kepedulian, dan persaudaraan. 23 Mangunwijaya mengemukakan pendapatnya bahwa agama dan Religiositas merupakan dua hal yang berbeda, tetapi keduanya tidak dipisahkan karena saling melengkapi dan saling mendukung.Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan, kebaktian kepada Tuhan atau dunia atas dalam aspeknya resmi, yuridis, peraturan- peraturan dan sebagainya yang meliputi segi-segi kemasyarakatan. Sedangkan religiositas lebih melihat aspek-aspek yang ada dalam lubuk hati, sikap personal yang sedikit lebih banyak misteri bagi orang lain karena menafaskan intimitas jiwa yakni 23 Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung Semarang, Silabus Pendidikan Religiositas SMASMK, Jokjakarta: Kanisus, 2005,hal 8 cita rasa yang mencakup totalitas kedalam pribadi manusia. 24 Pendidikan religiositas menjadi salah satu opsi dalam praktek pendidikan agama di sekolah berafiliasi agama.Guru agama tidak bisa bersikap eksklusif dan menutup mata atas perbedaan agama para siswa. Bagi saya diskusi terbuka mengenai nilai-nilai keagamaan dengan menarik satu benang merah dan tidak justru saling menjatuhkan juga menjadi satu jenis pekabaran Injil, serta membuktikan bahwa Kekristenan tidak sekedar dogma tetapi melalui teladan Yesus, Kekristenan sangat terbuka terhadap hidup dalam perbedaan. Bagaimanapun, manusia hidup di dunia ini karena berkat dan rahmat Tuhan yang sama. Tidak boleh satu agama pun mengklaim diri sebagai pihak yang paling benar.Pendidikan Religiositas mengajarkan kesamaan pandangan antar-agama.Inilah mengapa saya menyebutkan betapa pentingnya Pendidikan Religiositas pada pendidikan menengah bila dibandingkan Pendidikan Agama.Hal ini dikarena Pendidikan Religiositas memandang suatu permasalahan, suatu topik pokok kehidupan, dari segala macam agama. Melalui materi-materi dalam pendidikan religiositas, siswa-siswi diajak untuk melihat dan belajar bagaimana setiap agama atau kepercayaan memaknai kehidupan.Agama atau kepercayaan bukan sekedar pengetahuan, tetapi sungguh masuk dalam hidup mereka.Dengan mengenal teman-teman lain yang berbeda agama atau kepercayaan, mereka diajak untuk semakin dapat menerima kenyataan hidup agama atau kepercayaan yang plural-majemuk.Dengan demikian, mereka dapat saling memberi dan menerima kekayaan hidup beragama atau bekepercayaan masing- masing secara utuh.Akhirnya, mereka dapat melihat dan menemukan kebaikan Tuhan di dalam dirinya sendiri, dalam diri sesama dan dalam lingkungan hidupnya. Belajar agama atau kepercayaan dalam pendidikan religiositas bukan sekedar mencari nilai raport, tetapi lebih pada mengangkat dan merefleksikan pengalaman hidup beragama atau berkepercayaan siswa-siswi yang sedang bertumbuh kembang. Nilai-nilai dan semangat yang sejati dalam hidup beragama atau bekepercayaan akandikaji, direfleksi dan diolah bersama. Keagamaan atau kepercayaan seseorang tidak cukup diungkap dengan mengikuti upacara ritual keagamaan atau kepercayaannya saja. Dimensi hati atau batin, yang menyadari relasinya dengan Tuhan, inilah yang akan menjadi bahan pengolahan dan refleksi oleh semua orang 24 Y.B. Mangunwijaya. Menumbuhkan Sikap Religiusitas anak-anak.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991,hal 4 beriman, khususnya siswa-siswi sekolah menengah. Melalui pendidikan religiositas para siswa dapat mendalami suatu topik dari perspektif agamanya sendiri-sendiri dan dengan demikian para siswa yang berbeda agama dapat juga belajar perspektif agama lain, dan mengambil apa yang dapat memperkaya imannya sendiri, dan belajar menghargai perbedaan sehingga tercipta hubungan yang harmonis antar siswa dengan latar belakang agama yang berbeda sementara mereka tetap memperdalam iman dan identitasnya sendiri. Tentu saja hal ini tak cukup, akan tetapi Pendidikan Agama Kristen tetap diberikan kepada mereka yang memeluk agama Kristen pada jam tambahan secara terpisah. Bagaimanapun, manusia hidup di dunia ini karena berkat dan rahmat Tuhan yang sama. Tidak boleh satu agama pun mengklaim diri sebagai pihak yang paling benar.Pendidikan Religiositas mengajarkan kesamaan pandangan antar-agama.Inilah mengapa saya menyebutkan betapa pentingnya Pendidikan Religiositas pada pendidikan menengah bila dibandingkan Pendidikan Agama.Hal ini karena Pendidikan Religiositas memandang suatu permasalahan, suatu topik pokok kehidupan, dari segala macam agama.Ada memang beberapa sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang sudah menerapkan Pendidikan Religiositas dalam kurikulumnya.

6. Kesimpulan dan Saran