“Pengelolaan biosecurity Indonesia dan tantangannya dalam era otonomi daerah.” Theofransus Litaay.
II. Makna biosecurity atau ketahanan hayati berdasarkan kerangka kebijakan.
Pemaknaan terhadap biosecurity atau ketahanan hayati dapat dipahami dalam kerangka internasional, nasional, dan lokal. Konfigurasi kerangka kebijakan publik yang diacu akan
berpengaruh dengan lapisan yang jamak, baik pada kebijakan lapis internasional, nasional, maupun lokal, sehingga menghadirkan pokok persoalan akan interaksi berbagai lapisan
kebijakan ini bagi efektifitas pengelolaan ketahanan hayati di tingkat lokal. Pembahasan berikut ini akan memotret kebijakan ketahanan hayati pada aras internasional dan nasional, sedangkan
pembahasan pada aras lokal tidak dilakukan mengingat implementasi kebijakan pada tingkat lokal masih sangat dipengaruhi oleh kebijakan nasional.
II.1. Kerangka kebijakan internasional tentang biosecurity.
Ada sejumlah organisasi internaional yang mengadministrasikan dan mempromosikan berbagai instrumen internasional mengenai ketahanan hayati atau biosecurity. Khususnya adalah:
FAO Food and Agriculture Organization dalam sektor pangan dan pertanian,
WHO World Health Organization dalam sektor kesehatan,
UNEP United Nations for Environmental Protection dalam sektor lingkungan hidup,
International Plant Protection Convention IPPC dalam bidang perlindungan tanaman,
World Organization for Animal Health OIE dalam bidang kesehatan hewan,
Codex Alimentarius dalam bidang keamanan pangan,
UN Convention on Biodiversity UN-CBD dalam bidang keanekaragaman hayati atau
biodiversity, dan
Berbagai inisiatif NGO pada aras internasional yang mempengaruhi penyusunan kebijakan dari organisasi internasional.
Food and Agriculture Organisation FAO mendefinisikan ketahanan hayati atau biosecurity sebagai: “a strategic and integrated approach that encompasses the policy and regulatory
frameworks including instruments and activities for analyzing and managing relevant risks to
“Pengelolaan biosecurity Indonesia dan tantangannya dalam era otonomi daerah.” Theofransus Litaay.
human, animal and plant life and health, and associated risks to the environment” FAO 2007. Menurut Goldson et al, definisi ini memperluas cakupan konsep ketahanan hayati untuk
menyertakan “food safety, zoonoses, the introduction of animal and plant diseases and pests, the introduction and release of living modified organisms LMOs e.g., genetically modified
organisms GMOs and their products, and the introduction and management of alien species” Goldson, Frampton, Ridley, 2010, hal. 241- 242.
Di antara berbagai instrumen tersebut, yang terpenting adalah International Plant Protection Convention IPPC untuk ketahanan hayati tanaman, OIE World Organization for Animal
Health untuk ketahanan hayati binatang, dan Codex alimentarius untuk keamanan pangan. Tiga kerangka kebijakan tersebut berfungsi sebagai standar legislasi internasional dalam bidangnya
masing-masing.
Ketahanan hayati juga telah menjadi bagian dari masalah perdagangan, mengingat pengaturannya akan turut mempengaruhi perekonomian negara dan perdagangan internaional.
Oleh sebab itu negara-negara anggota WTO juga menyusun kerangka aturan terkait, khususnya yang berkaitan dengan Sanitary dan Phytosanitary yang tertuang di dalam Sanitary and
Phytosanitary agreement SPS agreement dari WTO. SPS Agreement berkaitan dengan implementasi regulasi dalam menangani masalah phytosanitary, keamanan makanan, dan sanitasi
ternak. Jika pada beberapa waktu lalu pemerintah Australia sempat menghentikan impor sapi ke Indonesia berkaitan dengan cara penyembelihannya, maka hal tersebut terkait dengan
ketentuan hukum di Australia mengenai kesehatan ternak.
Dalam kaitan dengan kesejahteraan rakyat, adalah penting untuk memperhatikan juga instrumen Codex alimentarius yang berisi kumpulan standar, kode perilaku, rekomendasi, dan petunjuk
keamanan makanan global. Menurut FAO dan WTO: “Codex standards have become the benchmarks against which national food measures and regulations are evaluated within the
legal parameters of the Uruguay Round Agreements.” FAO-WTO, Preface
“Pengelolaan biosecurity Indonesia dan tantangannya dalam era otonomi daerah.” Theofransus Litaay.
Berdasarkan SPS Agreement, negara anggota berhak untuk mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menjamin keamanan pangan yang dikonsumsi oleh rakyatnya dan mencegah
penyebaran hama dan penyakit dari makanan ataupun ternak. Regulasi sanitary dan phytosanitary mensyaratkan asal pangan dari daerah yang bebas penyakit, ada pengawasan
produk, membatasi penggunaan pestisida atau zat tambahan lainnya di dalam makanan sebagaimana yang telah diatur oleh WTO. Ketentuan ini terkait dengan Cartagena Protocol on
Biosafety atau Biosafety Protocol yang memberikan legitimasi internasional bagi negara peserta untuk mengatur masalah GMO Nielsen dan Anderson 2000 hal 8. Cartagena Protocol on
Biosafety memberi peluang bagi negara anggota untuk meregulasi ataupun melarang pelepasan GMO untuk mencegah potensi bahaya, meskipun belum ada kepastian secara saintifik Zerbe
2003, hal. 12 footnote no. 19. Pendekatan ini merupakan bentuk “precautionary principle” prinsip kehati-hatian atau yang disebut juga “better safe than sorry” Nielsen dan Anderson
hal. 8 dan menurut Zerbe merupakan oposisi secara langsung terhadap pengaturan WTO yang mengijinkan negara melakukan tindakan berdasarkan bukti-bukti saintifik pada tingkatan yang
beresiko Zerbe, hal. 12 footnote no. 19.
II.2.Instrumen Nasional mengenai ketahanan hayati atau biosecurity.
Dalam konteks kebijakan nasional, perlu dipahami bahwa berdasarkan berbagai referensi yang tersedia, pengelolaan ketahanan hayati dimaksudkan untuk melindungi tanaman, ternak, manusia
dan lingkungan hidup di dalam suatu wilayah dari gangguan hama, penyakit, spesies invasif maupun organisme lain yang berasal dari luar wilayah tersebut bandingkan: Oszaer 2010 hal. 3-
5. Dalam pemahaman demikian, konteks perbatasan menjadi penting sehingga ada suatu proses berlanjut biosecurity continuum yang berlaku di sini yaitu Pre-border biosecurity penelitian
dan identifikasi, Border biosecurity pengawasan dan penindakan, dan Post-Border biosecurity deteksi dan pengendalian lihat: Oszaer 2010 hal. 8-10.
Penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan, bahwa di Indonesia pengelolaan ketahanan hayati sering dimengerti hanya sebagai pengendalian hama dan penyakit tanaman atau juga
dipahami sebagai pengendalian hama terpadu. Akibatnya keseluruhan biosecurity continuum
“Pengelolaan biosecurity Indonesia dan tantangannya dalam era otonomi daerah.” Theofransus Litaay.
menjadi terabaikan dan masyarakat yang menjadi korban akibat kualitas hidup yang mengalami degradasi. Bagian berikut ini akan berisi tinjauan untuk menunjukkan bahwa sebenarnya ada
kerangka kebijakan ketahanan hayati di Indonesia, namun kurang diinformasikan secara integratif kepada masyarakat dan lebih sering didekati secara parsial.
Masalah lain yang dihadapi Indonesia, adalah belum adanya satu definisi yang otoritatif mengenai ketahanan hayati atau biosecurity di Indonesia. Pemahaman mengenai biosecurity
pada tingkat nasional mencakup pengertian yang luas dan meliputi bidang-bidang sebagai berikut Iwantoro 2007 hal. 3. Ini adalah suatu interpretasi yang berlaku di lingkungan badan
karantina pertanian:
Hama dan penyakit karantina.
Serangan spesies asing atau Invasive Alien Species IAS;
Bioterorisme;
Genetically Modified Organisms GMOs atau Living Modified Organisms LMOs;
Penyelundupan sumberdaya genetik.
Beberapa kebijakan kunci terkait dapat dijelaskan berikut ini: a. Sanitary Ternak dan produk dari ternak.
Legislasi untuk sektor ini adalah UU No 16 tahun 1992 tentang Karantina tanaman, ikan, dan binatang yang dikoordinir pelaksanaannya oleh Badan Karantina Pertanian Indonesia dan Komisi
Perlindungan Tanaman. Ini merupakan pelaksanaan dari International Plant Protection Convention IPPC.
b. Phytosanitary Tanaman dan produk tanaman. Legislasi terkait dalam bidang ini adalah juga UU No 16 tahun 1992 tentang Karantina tanaman,
ikan, dan binatang, selain itu berkaitan pula dengan UU no 12 tahun 1992 tentang Sistem budidaya pertanian.
c. Codex Alimentarius Keamanan makanan.
“Pengelolaan biosecurity Indonesia dan tantangannya dalam era otonomi daerah.” Theofransus Litaay.
Pelaksanaan standar keamanan makanan ini bersumber dari UU no 7 tahun 1996 tentang Pangan yang menyediakan kebijakan nasional bagi keamanan makanan. Legislasi ini melarang peredaran
makanan yang mengandung bahan berbahaya atau beracun, termasuk bahan makanan terpolusi Wawancara, 2008. Berbagai peraturan teknis kemudian dibuat oleh lembaga terkait untuk
melaksanakan peraturan ini termasuk ketentuan sertifikasi.
Pelaksanaan berbagai ketentuan perundang-undangan di atas sebagian besar dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pada tingkat pusatkementerian. Hal ini sendiri telah melahirkan masalah
koordinasi, termasuk kepentingan yang saling bersaing sehingga bisa melahirkan stagnasi dalam penyusunan dan implementasi kebijakan wawancara, 2009.
d. Genetically modified organism GMO. Kebijakan yang relevan dengan produk GMO lintas batas negara adalah Untung 2007 hal. 24
UU no 5 tahun 1994 tentang Ratifikasi UN Convention on Biodiversity, UU no 21 tahun 2004 tentang Ratifikasi Cartagena Protocol on Biosafety on the Convention on Biological Diversity,
dan Peraturan pemerintah tentang produk GMO.
Pelaksanaan dari ketentuan ini masih menjadi perdebatan publik ketika produk GMO diperkenalkan di Indonesia, sehingga produk GMO sempat dihentikan oleh kementerian
pertanian akibat tekanan publik, namun pada saat ini kembali berjalan melalui operasi perusahaan multinasional yang bekerjasama dengan perusahaan lokal wawancara 2009-2010.
e. Sistem budidaya pertanian. Kebijakan lain yang masih memiliki hubungan dengan biosecurity adalah budidaya pertanian.
Landasan pengaturannya adalah pada UU no 12 tahun 1992, berdasarkan ketentuan ini maka kebijakan teknis perlindungan tanaman diatur selanjutnya.
II. 3. Tantangan bagi pelaksanaan kebijakan ketahanan hayati di Indonesia.