Ijtihad Muhammadiyah Vs Tradisi

Saya melihat ijtihad dalam bidang aqidah yang dilakukan Muhammadiyah adalah aqidah yang memiliki keterkaitan dengan aspek sosial kemasyarakatan budaya, bukan aqidah mahdlah ibadah murni. Karena ijtihad dalam bidang ibadah murni seperti shalat, puasa, dan haji, dalam pandangan Syaikh Muhammad Al-Ghazali 1996: 129 sebaiknya ditutup untuk mengurangi perpecahan di kalangan umat Islam. Dan kenyataannya Muhammadiyah mendasarkan gerakan purifikasinya pada pemikiran madzhab fiqih yang sudah ada, disamping dicari rujukannya langsung pada Al-Qur’an dan Hadits. Ijtihad dalam bidang aqidah yang berkaitan dengan aspek budaya ini memang penuh resiko karena pembicaraan mengenai iman lebih luas dari aqidah merupakan pembicaraan yang sangat luas. Iman menempati segala sesuatu. Iman memiliki sifat-sifat dan karakter tertentu, tetapi secara praktis tidak berbentuk tertentu. Ia teoritis dan konseptual. Sebagaimana disebutkan dalam QS Ali Imran 193 ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan yang menyeru kepada iman, yaitu, “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu.” Maka kami pun beriman.’ Ghazali, 1996: 129. Iman tidak bisa dibatasi pada masalah aqidah saja maka pelaksanaan purifikasi di lapangan mengalami kesulitan karena bid’ah yang dianggap dalam wilayah aqidah bercampur aduk dengan bid’ah dalam wilayah budaya. Jika memang begitu yang terjadi, maka pecoretan tradisi, budaya, adat istiadat perlu dilakukan dengan penuh kehati-hatian, lantaran apa yang disebut budaya dan tradisi sesungguhnya jauh lebih luas daripada aqidah Abdullah, 2000: 11.

B. Ijtihad Muhammadiyah Vs Tradisi

Pembaharuan Muhammadiyah yang beranjak dari latar belakang sosio-historis masyarakat kota itu, tidak dapat diterima dan menuai reaksi negatif dari kalangan umat Islam di daerah pedesaan yang masih mempertahankan tradisi. Seperti dijelaskan di atas, iman itu suatu konseptual, dan konsep yang ditawarkan Muhammadiyah tersebut tidak sesuai dengan realitas kontekstual masyarakat desa yang memegang teguh tradisi. Bagi Muslim di pedesaan, tradisi ini sangat penting karena telah memberi makna dan identitas bagi kehidupannya. Bahkan kedalam tradisi ini telah diinfuskan nilai-nilai Islam. Karena itu tuduhan sebagai penyebar penyakit TBC Tahayyul, Bid’ah, da Churafat sangat menyakitkan. 5 Kita bisa mengatakan pembaharuan Muhammadiyah itu masih bersifat realitas parsial, karena hanya berangkat dari latarbelakang masyarakat perkotaan; dan karenanya menuai reaksi negatif dari komunitas Islam di daerah pedesaan. Ini sangat disayangkan karena Muhammadiyah juga berkepentingan untuk melakukan dinamisasi melalui program modernisasi dalam bidang muammallah. Sebenarnya reaksi negatif ini dapat diminimalkan menjadi sikap saling menghormati satu-sama lain, atau kalau mungkin dikembangkan sikap kerjasama satu sama lain bila umat Islam Indonesia telah berhasil mengembangkan kegiatan intelektual yang baik. Tentunya kegiatan intelektual waktu itu masih terbatas, karena kita masih di bawah belenggu penjajah Belanda. Situasi sekarang saja belum ada usaha yang serius dari seluruh komponen bangsa, terutama pemerintah dan ormas Islam, untuk mengembangkan kajian Islam dari berbagai disiplin ilmu, sebagai bahan referensi untuk merumuskan pembaharuan Islam dengan daya jangkau yang lebih luas lagi. Memang perlu disadari sejak awal kalau pembaharuan itu masih bersifat parsialis agar ada kesadaran untuk melakukan pembaharuan yang terus-menerus. Karena pembaharuan Islam memang bukan paket sekali jadi. Memang untuk merumuskan pembaharuan Islam yang memiliki kemampuan sinergis dengan managerial global membutuhkan waktu dalam proses sejarah yang lama dan kadang tidak mulus. Adalah sulit untuk sejak dini merumuskan pembaharuan yang memiliki daya jangkauan global bila kita belum memiliki informasi yang lengkap mengenai realitas sosiologis-historis semua komunitas Islam. Karena masing-masing komunitas Islam tersebut memiliki keunikan budaya yang harus diperlakukan secara khusus pula. Yang perlu diperhatikan, setiap melakukan pembaharuan harus mengakui realitas sosiologis-historis suatu komunitas Islam terlebih dahulu. Kemudian baru dilakukan modifikasi terhadap suatu tradisi agar dapat menjawab tuntutan zaman. Caranya dengan melakukan pemurnian alam pemikiran Islam yang masih terpengaruh oleh lapisan tipis tradisi Hindu-Budha maupun nenek moyang, dengan tidak menghilangkan tradisi tersebut yang merupakan konvensi atas keberterimaannya terhadap Islam. Pembaharuan diarahkan untuk mendekati perintah yang tercantum di dalam Quran maupun Hadits, sebagai idealisasinya. 6 Variasi budaya berimplikasi pada variasi pembaharuan Islam. Memang disadari atau tidak pembaruan selalu berangkat dari realitas sosiologis-historis suatu budaya. Karena itu pembaharuan Islam seringkali dipandang penuh curiga oleh komunitas Islam lainnya yang memiliki realitas sosiologis-historis yang berlainan. Memang ini wajar setiap memulai pembaharuan dan kita dituntut bersikap dewasa terhadap mereka yang masih sangsi terhadap komitment pembaharuan ini. Kita hendaknya mampu meyakinkan pembaharuan ini juga sangat diperlukan dan selanjutnya berusaha menjalin kerjasama dengan berbagai kelompok lain. Toleransi yang tulus di antara berbagai organisasi Islam di Indonesia ini merupakan prasyarat bagi terciptanya budaya Islam Indonesianis. Perlu diketahui, sepanjang sejarah Islam kita mendapatkan suatu fakta bahwa sesama organisasi Islam sangat sulit mewujudkan suatu sikap toleransi. Konflik antara Kekhalifahan Abbasiyah di Bangdad dengan Kekhalifahan Muawiyah di Spanyol tidaklah karena perbedaan teologisideologis, tetapi mereka berebut klaim sebagai satu-satunya penegak kebenaran yang sah. Demi menghancurkan lawannya, Kekhalifahan Abbasiyah menjalin kerjasama dengan kerajaan-kerajaan Kristen seperti Kerajaan Perancis. Pertentangan sesama umat itu melemahkan umat Islam sendiri, bahkan akhirnya Islam harus tunduk pada peradaban Barat. Pada sisi lain, sejarah Islam mencatat dengan tinta emas sikap toleransi umat Islam terhadap penganut beragama lain. Mereka menghargai keyakinan agama lain, apalagi agama Kristen, yang tergolong kedalam golongan ahli kitab ahlul kitab yang diakui keberadaannya oleh al-Qur’an. Dalam situasi seperti itu umat Kristen belajar dari kesalahan masa lalunya, dan mereka mengadopsi peradaban Islam yang lebih maju pada masanya. Pada abad ke-12-14, Barat masih ketinggalan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun kemudian mereka berhasil membidani kelahiran modern science karena telah berhasil mengembangkan suasana free and open discourse. Hal inilah yang menjadi starting point Toby E. Huff untuk menulis bukunya The Rise of Early Modern Science. Dia benar ketika mengatakan ‘The path to modern science is the path to free and open discourse….’ Huff, 1998: 46. Tidak lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern dari dunia Islam bukan karena Islam tidak cocok dengan ide-ide modern, tetapi karena umat Islam gagal dalam 7 mengembangkan free and open discourse. Karena hanya dengan toleransi dan kebebasan memungkinkan kita mengadopsi unsur-unsur peradaban lain yang positif bagi upaya mengembangkan peradaban Islam sendiri dan memang kegiatan budaya dan intelektual bersifat lintas budaya. Sebenarnya permasalahan umat Islam tidak bersifat filosofis karena al-Qur’an tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern. Persoalannya terkait dengan permasalahan “sosia-kultural”, berkaitan dengan hasil interpretasi terhadap al-Qur’an, yang seharusnya bersifat relatif karena sebagai hasil pemikiran manusia yang terikat oleh ruang dan waktu; namun pemikiran keagamaan itu dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak yang tidak boleh dikritik karena diyakininya sebagai teologi. Dengan demikian suatu persoalan sosio- kultural telah diganti peran sebagai persoalan teologi, sehingga persoalan itu menjadi sulit untuk diurai benang kusutnya. Contohnya, sampai awal abad ke-19 Kekhalifahan Turki melarang penggunaan mesin print untuk menulis huruf Arab yang dianggapnya sebagai bahasa Tuhan, namun bisa digunakan untuk mencetak huruf dari bahasa lainnya. Hal ini berakibat pada mandegnya intelektual Islam, dan sebaliknya huruf Latin menjadi berkembang pesat Huff, 1998: 46. C. Tradisi Muhammadiyah?