Buku 5 Tahun DNPI Perubahan Iklim dan Ta

sc dove sekarang lipat

Hal Depan.indd 1

8/2/13 10:46:10 AM

Hal Depan.indd 2

8/2/13 10:46:10 AM

PERUBAHAN IKLIM
DAN
TANTANGAN PERADABAN
BANGSA

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM (DNPI)
Diterbitkan Dalam Rangka Ulang Tahun Ke-5 DNPI, 4 Juli 2013

Hal Depan.indd 3

8/2/13 10:46:16 AM


PERUBAHAN IKLIM DAN TANTANGAN PERADABAN BANGSA
LIMA TAHUN DNPI 2008 – 2013
© 2013 hak cipta pada Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)
ISBN : 978-602-98983-5-4
Diterbitkan sebagai publikasi perubahan iklim bagi masyarakat luas
dalam rangka peringatan lima tahun DNPI
Cetakan pertama
: Juli 2013
TIM PENYUSUN
PENGARAH
PENYELIA
KOORDINATOR PENERBITAN
PERANGKUM
SEKRETARIS REDAKSI
EDITOR
KOORDINATOR FOTO
DESAIN DAN TATA LETAK

: Rachmat Witoelar, Agus Purnomo

: Amanda Katili Niode, Murni Titi Resdiana, Agus Tagor
: Agus Soetomo, Mariza Hamid
: Fachruddin M. Mangunjaya
: Frans Toruan, Jannata Giwangkara
: Yani Saloh
: M. Ridwan Soleh
: Adeca Studio, Gita Fara

KONTRIBUTOR NASKAH (berdasarkan abjad): Agus Supangat ● Amanda Katili Niode ● Ari Muhammad ● Dicky Edwin
Hindarto ● Doddy S. Sukadri ● Farhan Helmy ● Muhammad Farid ● Murni Titi Resdiana ● Moekti H. Soejachmoen ●
Nur R. Fajar ● Suzanty Sitorus ● Widiatmini Sih Winanti ● Yani Saloh
NARASUMBER : Balthasar Kambuaya (Kementerian Lingkungan Hidup), Satya Widya Yudha (DPR), Rachmat Witoelar
(DNPI), Agus Purnomo (DNPI), Endah Murniningtyas (Bappenas), Yetti Rusli (Kementerian Kehutanan), Eddy Pratomo
(Kementerian Luar Negeri), Abetnego Tarigan (Walhi), Jatna Supriatna (UI), Komaruddin Hidayat (Budayawan), Ismid
Hadad (Yayasan Kehati), Aristides Katoppo (Pers).

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM (DNPI)
Gedung Kementerian BUMN Lantai 18
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 13
Jakarta 10110

Telepon : +(6221) 3511400
Faximili
: +(6221) 3511403
e-mail
: info@dnpi.co.id
http
: www.dnpi.go.id
kontak
: Divisi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dipersilakan mengutip dengan menyebutkan sumbernya.

ii

Hal Depan.indd 4

8/2/13 10:46:22 AM

PENGANTAR TIM PENYUSUN
RASA BAHAGIA DAN HARU menyertai puji syukur atas karunia Illahi, yang telah memungkinkan kami

menerbitkan buku ini.
Bagi kami di DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) buku ini mempunyai arti penting karena
mengabadikan sejarah dan kiprah DNPI sejak dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lima tahun
yang lalu, 4 Juli 2008. Namun, bukan makna seremonial yang kami tuju. Bukan pula binar-binar kebanggaan
yang ingin kami tampilkan meskipun DNPI adalah satu-satunya lembaga yang fokus pada soal-soal yang
berhubungan dengan perubahan iklim, dalam skala domestik nasional maupun global internasional. Justru
sebaliknya, kami berharap mampu memberikan sumbangsih berupa informasi, wacana, maupun inspirasi
untuk meningkatkan kepedulian kita semua terhadap sebab-sebab dan dampak perubahan iklim. Buku ini
memang dipersembahkan kepada masyarakat luas, apa pun latar belakangnya.
Secara spesifik kami memaparkan perjalanan lima tahun DNPI (2008 – 2013). Kiprah DNPI sejak masamasa awal yang menyangkut perencanaan, kajian, implementasi, aksi-aksi serta evaluasi, disajikan dengan
bahasa yang diharapkan komunikatif dengan pembaca. Fungsi koordinator dan peran DNPI di bidang
negosiasi, yang sering dinilai oleh beberapa kalangan masyarakat sebagai prestasi luar biasa, pun ditampilkan
secara seimbang.
Riset sederhana dilakukan untuk penyusunan buku, akan tetapi sesungguhnya materi utama yang
digunakan adalah karya/tulisan/pemikiran tim di DNPI baik di sekretariat, divisi maupun pokja (kelompok
kerja). Serangkaian wawancara dengan tokoh-tokoh yang kompeten pun diadakan untuk melengkapi
buku ini, agar dapat menangkap pandangan-pandangan kritis dan pemikiran yang bervariasi. Wawancarawawancara itu pun merupakan upaya mendapatkan masukan yang membangun untuk memperbaiki
diri di kemudian hari. Kepada kontributor dan narasumber kami mengucapkan terima kasih. Dedikasi dan
pengalaman yang mereka sampaikan sangat memperkaya buku. Selain itu, bantuan dan dukungan berbagai
pihak mengalir, memungkinkan pengerjaan buku ini semakin lancar. Pada mereka, yang namanya tidak kami

sebutkan satu persatu karena keterbatasan ruang, terima kasih tulus kami sampaikan.
Meskipun sudah direncanakan sebaik mungkin, buku ini masih jauh dari sempurna. Kritik membangun
dengan senang hati akan kami terima dan dimanfaatkan.
Selanjutnya, kami berharap masyarakat semakin mengenal dan mencintai DNPI, serta mendapatkan
informasi yang mempunyai nilai tambah mengenai perubahan iklim. Sebagaimana dimahfumi, dampak
perubahan iklim yang merugikan bumi dan manusia adalah nyata dan aktual; imbasnya pun multidimensi
di segala sektor kehidupan. Mengabaikan perubahan iklim sama artinya mengkhianati tugas mulia manusia
sebagai khalifah Tuhan untuk memelihara kehidupan. Buku ini ingin menguatkan kesadaran itu.

Jakarta, 4 Juli 2013

iii

Hal Depan.indd 5

8/2/13 10:46:29 AM

Hal Depan.indd 6

8/2/13 10:46:29 AM


DAFTAR ISI
JUDUL
TIM PENYUSUN
PENGANTAR TIM PENYUSUN
DAFTAR ISI
KUTIPAN AMANAT PRESIDEN RI SUSILO BAMBANG YUDHOYONO MENGENAI PERUBAHAN IKLIM
PENGANTAR KETUA HARIAN DNPI RACHMAT WITOELAR
PROLOG: PERUBAHAN IKLIM DAN PEWARISAN LINGKUNGAN YANG BERKELANJUTAN

i
ii
iii
v
vii
ix
xi

BAB I. COP-13 BALI: TONGGAK SEJARAH DNPI


1
4
6
8
13
14
17
18

1. Bermula dari KTT Bumi
● Perjalanan Panjang Menyelamatkan Bumi
2. Dari Bali untuk Bumi
● Bali Action Plan
3. Di Balik Gagasan Pendirian DNPI
● Tujuh Belas Kementerian dan Satu Lembaga Memperkuat DNPI
● Pengembangan Kebijakan dan Kelembagaan Perubahan Iklim

BAB II. TENTANG PERUBAHAN IKLIM
1. Musim yang Semakin Tidak Menentu
● Melaut pun Surut

2. Manusia dan Gas-Gas Rumah Kaca
● Dari mana Gas Rumah Kaca Berasal
3. Benarkah ada Perubahan Iklim?
● Petani Bingung Musim
● Perubahan Iklim adalah Akibat Ulah Manusia
4. Perubahan Iklim di Laut Nusantara

BAB III. KIPRAH LIMA TAHUN DNPI (2008 – 2013)
1. MARI BERADAPTASI
● Kegiatan Adaptasi
2. BERFOKUS PADA MITIGASI
● Kurva Biaya Pengurangan Emisi
● Dimensi Mitigasi Perubahan Iklim
● Aksi Mitigasi dalam Bingkai NAMAs
3. MENGGALANG DUKUNGAN DENGAN PENYADARAN DAN PENDIDIKAN
● Tanggapan Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim
● Kegiatan Penyadaran dan Pendidikan
4. KEHUTANAN DAN ALIH GUNA LAHAN LULUCF DARI BALI HINGGA DOHA
● LULUCF di Indonesia
5. ALIH TEKONOLOGI MENANGGULANGI TANTANGAN PERUBAHAN IKLIM

● Kegiatan Utama Alih Teknologi

19
22
25
26
28
34
38
39
40
43
46
48
50
53
54
57
58
62

64
66
68
70
74

v

Hal Depan.indd 7

8/2/13 10:46:30 AM

DAFTAR ISI
6. PENDANAAN UNTUK MITIGASI DAN ADAPTASI
● Dari Mekanisme hingga Perundingan Internasional
7. DNPI DAN PERDAGANGAN KARBON
● Apa yang Dimaksud dengan Perdagangan Karbon?
● Prospek dan Tantangan Pasar karbon dalam Protokol Kyoto Jilid II
8. PERUNDINGAN PERUBAHAN IKLIM
● Bagaimana DNPI Mempersiapkan Perundingan Internasional?

● UKK-PPI dan KaHar DNPI
9. KOORDINASI PENINGKATAN KAPASITAS
● Pekerjaan Rumah Peningkatan Kapasitas

BAB IV. TANTANGAN DAN HARAPAN













Menoreh Sejarah Diplomasi Global perubahan Iklim
Fungsi Koordinasi dan Sinergi
Komunikator dan Campaigner Perubahan Iklim
DNPI Di Mata Mitra Asing
Koordinator Negosiasi Internasional
Peran Unik DNPI
Indonesia Climate Change Center
Kerjasama DNPI-JICA
Kerja Sama DNPI – UNITAR
Penguatan Koordinasi dan Internal
Anggaran Diperbesar
Penguatan Dasar Hukum

76
78
84
88
88
90
94
96
98
100
101
104
106
108
108
110
112
114
115
116
116
116
118

BAB V. EPILOG

119

DAFTAR SINGKATAN
DAFTAR PUSTAKA
PUBLIKASI DNPI 2009-2012
TIM KERJA PENYUSUN BUKU

125
128
130
132

vi

Hal Depan.indd 8

8/2/13 10:46:30 AM

“Kerusakan yang terjadi di dunia ini berawal dari hati dan pikiran kita, hati dan pikiran umat
manusia, the hearts and minds of the people. Kalau hati dan pikiran kita bersih, ingin
menyelamatkan bumi, tidak merusak hutan, hemat dalam penggunaan bahan bakar yang
mendatangkan emisi gas rumah kaca, pandai mengelola sampah yang juga menimbulkan
dampak pada lingkungan yang tidak baik dan sejumlah pikiran-pikiran yang jernih, yang bersih,
insya Allah, kerusakan tidak akan terjadi.”
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Sambutan dalam Side Event UNFCCC-COP 13
Pertemuan Lintas Agama dan Perubahan Iklim, Bali, 11 Desember 2007
vii

Hal Depan.indd 9

8/2/13 10:46:30 AM

Hal Depan.indd 10

8/2/13 10:46:31 AM

PENGANTAR

RACHMAT WITOELAR
KETUA HARIAN DNPI
DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM (DNPI) didirikan secara resmi berdasarkan Peraturan Presiden
No. 46/2008 pada awal Juli 2008. Keberadaan DNPI adalah tepat waktu dalam menjawab tantangan yang
semakin kompleks dalam mengendalikan dan mengatasi perubahan iklim. Semakin luas dan kompleksnya
permasalahan perubahan iklim menuntut adanya koordinasi dan sinergi yang semakin kuat di tingkat
nasional sehingga tidak terjadi diskoneksi antara proses internasional dan implementasi di tingkat nasional.
Penyebarluasan informasi dan peningkatan kesadaran masyarakat serta para pihak lain menjadi salah
satu perhatian DNPI dalam kesehariannya. Hal ini terlihat dengan berbagai kegiatan termasuk pameran serta
seminar dan materi komunikasi lain termasuk film pendek mengenai perubahan iklim. Interaksi dengan
berbagai institusi pendidikan juga menjadi kekuatan yang tidak dapat dipungkiri.
Salah satu tugas utama DNPI adalah mendukung dan memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan
internasional. Hal ini telah diwujudkan dalam bentuk koordinasi dan penyiapan posisi Indonesia serta
Delegasi RI dalam perundingan internasional terkait. Peran ini telah berjalan dengan baik dan mendapatkan
dukungan serta peran aktif dari Kementerian dan Lembaga anggota DNPI maupun lembaga dan organisasi
lain termasuk LSM, sektor swasta dan perguruan tinggi. Sejak DNPI beroperasi pada tahun 2008, Indonesia
semakin aktif berperan di arena perundingan internasional dan turut pula membentuk berbagai keputusan
yang dihasilkan. Hal ini menjadi kekuatan Indonesia yang tidak henti berkiprah sejak menjadi Tuan Rumah
dan Presiden COP-13/CMP-3 di Bali pada akhir 2007.
Oleh karena itu, sudah selayaknya DNPI terus melakukan perannya guna menjawab tantangan yang
semakin besar dan berat, baik di tingkat internasional dalam hal perundingan maupun di tingkat nasional
dan lokal dalam hal implementasi aksi nyata. Keberadaan DNPI dalam lima tahun ini merupakan bukti nyata
pentingnya keberadaan satu lembaga yang terfokus pada pengendalian perubahan iklim serta berperan
dalam koordinasi dan harmonisasi berbagai kepentingan dalam negeri dengan proses yang terjadi di tingkat
internasional.
Mengacu pada perkembangan yang terjadi di dunia internasional, telah semakin banyak negara
yang membentuk kementerian, badan maupun otoritas yang secara khusus menangani perubahan iklim
dan berada langsung di bawah Kepala Pemerintah bersangkutan. Hal ini dipandang penting mengingat
semakin luasnya cakupan perubahan iklim dilihat dari sisi penyebab maupun permasalahan dan ancaman
yang ditimbulkannya. Keberadaan legislasi nasional mengenai pengendalian perubahan iklim juga semakin
menjadi kebutuhan guna memastikan keberlanjutan upaya di dalam negeri yang juga akan berpengaruh
terhadap keberlanjutan upaya global. Pada akhirnya, DNPI akan terus diperlukan dalam kancah negosiasi
iklim yang semakin kompleks di masa yang akan datang.
Jakarta, 4 Juli 2013
ix

Hal Depan.indd 11

8/2/13 10:46:37 AM

Hal Depan.indd 12

8/2/13 10:46:37 AM

PROLOG

PERUBAHAN IKLIM
DAN PEWARISAN LINGKUNGAN YANG BERKELANJUTAN
SEBAGAI BAGIAN GLOBAL COMMUNITY, Indonesia ingin secara bersama-sama dengan bangsa
lain menyelamatkan planet tercinta ini, demi anak-cucu dan generasi mendatang. Oleh sebab itulah,
Indonesia menetapkan target pengurangan emisi CO2 sebanyak 26% pada tahun 2020. Target ini merupakan
upaya dan bentuk tanggungjawab dalam berkontribusi untuk perbaikan, juga keselamatan planet bumi,
satu-satunya tempat kita tinggal.
Tanggungjawab dan komitmen tentang pewarisan lingkungan yang lebih baik ini ditegaskan atas niat
baik dan kesadaran yang serius. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan dengan Masyarakat
Indonesia di Berlin sesudah menghadiri Conference of Parties (COP) 15 di Copenhagen, tahun 2009,
mengatakan, “Kalau global warming terus terjadi dan kenaikan suhu lebih dari 2°C, maka bisa dibayangkan
permukaan air laut bisa naik lebih dari 1½ meter setelah tahun 2050. Anak-cucu kita tidak bisa dijamin
keselamatan masa depannya, berapa ribu pulau harus tenggelam dan lenyap dari peta Indonesia.”
Atas kesadaran yang tinggi tentang tanggung jawab masa depan bangsa, maka Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono, pada tanggal 4 Juli 2008 memutuskan untuk mendirikan Dewan Nasional Perubahan
Iklim (DNPI), yang kemudian diketuai sendiri oleh Presiden. Keputusan ini menunjukkan sebuah political will
yang kuat dari Pemerintah untuk menunjukkan keberpihakan kepada kemaslahatan global; kepada seluruh
umat manusia, bukan hanya kepentingan nasional. Prinsip ini tentunya dibekali visi yang jauh ke depan,
sebab masalah perubahan iklim adalah tantangan jangka panjang. Tantangan ini memerlukan keahlian
disertai kesabaran, terlebih ketika berhadapan dengan argumen berbagai bangsa di forum-forum negosiasi
international.
Seperti kita sadari, bahwa akar persoalan perubahan iklim sesungguhnya ada pada manusia.
“Perubahan iklim adalah problem yang dibuat oleh manusia, anthropogenic. Maka, manusia pulalah yang
seharusnya bertanggung jawab untuk menanggulanginya,” demikian kata Rachmat Witoelar, Ketua Harian
Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dalam berbagai kesempatan. Ia memang selalu mengingatkan
pentingnya upaya penanggulangan perubahan iklim sebagai tanggung-jawab bersama umat manusia atas
alam kehidupan ini.
Sebab itulah, Balthasar Kambuaya, Menteri Lingkungan Hidup, berpendapat bahwa, keberhasilan
membawa isu perubahan iklim sebagai arus utama sudah tentu menjadi keharusan, karena perubahan iklim
sudah menjadi masalah umat semua bangsa di dunia. Balthasar Kambuaya menilai sangat penting peran
DNPI dalam negosiasi internasional perubahan iklim yang bergulir dengan cepat.
Dengan kata lain, DNPI menjadi penting dan strategis dalam upaya pengarusutamaan (mainstreaming)
isu perubahan iklim di Indonesia. “Jika dibandingkan sebelum tahun 2007, perubahan iklim kini menjadi
istilah yang sering sekali disebut dan orang jadi akrab dengan kata tersebut. Orang bahkan akrab sekali
dengan kata-kata ‘kita harus menurunkan emisi’,” tutur Agus Purnomo, Kepala Sekretariat DNPI. Menurutnya,
keberhasilan mengubah paradigma dan pemahaman tentang perubahan iklim memang sudah terjadi.
xi

Hal Depan.indd 13

8/2/13 10:46:44 AM

Pewarisan masa depan lingkungan yang lebih baik sesungguhnya bukan hanya merupakan tanggung
jawab sosial, melainkan juga tuntutan agama. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, menjelaskan pentingnya menjaga keharmonisan iklim dan eksistensi manusia. Alam ini, ujarnya,
disebut kosmos. Lawannya chaos. “Alam itu kosmos, artinya indah dan teratur. Kalau toh menjadi chaos,
menurut ajaran agama, itu adalah karena kesalahan manusia.” Manusia harus menjaga harmoni dengan alam
agar kehidupan tertata dengan baik. Berbagai peristiwa kerusakan alam yang terjadi, menurut Komaruddin
Hidayat, merupakan indikasi kita tidak bisa mensyukuri dan mencintai apa yang kita peroleh dari alam. Hutan
contohnya, yang kita wariskan pada anak cucu adalah kerusakan yang menumpuk. Artinya, kita tidak berpikir
panjang. Di mana tanggung jawab kita? Itulah sebabnya ia mengajak kita untuk future oriented, bervisi ke
depan. Visioner, demi anak cucu. Anak cucu siapa? “Anak cucu bangsa!” tegasnya.
Anggota Komisi VII DPR-RI, Satya Widya Yudha, menilai positif komitmen Indonesia terhadap perubahan
iklim, namun komitmen ini harus didukung oleh kebijakan anggaran yang terwujud dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran tidak cukup hanya dilihat di Kementerian Lingkungan
Hidup (KLH) saja, melainkan harus tampak pada seluruh unsur-unsur yang mempunyai kebijakan lingkungan.
Anggaran di KLH dan DNPI saat ini, kata Satya Widya Yudha, “Sangat kecil. Sehingga niatan Pemerintah untuk
memajukan Indonesia untuk aplikasi green economy misalnya, masih jauh.” Keberpihakan anggaran yang
konkret akan mampu mewujudkan kebijakan-kebijakan perubahan iklim, misalnya, upaya mengurangi emisi
gas rumah kaca. “Isu perubahan iklim memang enak didengar dan diperbincangkan, tetapi begitu sampai
masalah anggaran, sulit direalisasikan,” sindir Satya. Bila semua sektor kementerian atau lembaga merasa
memiliki dan ikut peduli dengan tantangan perubahan iklim, maka tandasnya, check point-nya berada pada
Presiden sebagai Ketua DNPI. Presiden tinggal memeriksa berapa anggaran yang sudah dikeluarkan oleh
kementerian-kementerian itu untuk implementasi program-program perubahan iklim.
Peran DNPI sebagai koordinator seperti itu juga disoroti oleh Ketua Pusat Penelitian Perubahan Iklim
Universitas Indonesia, Jatna Supriatna. Ia melihat keberhasilan DNPI sebagai lembaga koordinator dapat
diukur pada keberhasilan pengarusutamaan isu perubahan iklim pada kementerian dan lembaga-lembaga
pemerintah. Masalahnya, kata Jatna Supriatna, “Kata-kata koordinasi itu susah diukur. Keberhasilannya ada di
mana? Keberhasilannya ada di kementerian atau lembaga yang dikoordinir oleh DNPI. Kalau kementeriannya
berhasil, berarti koordinasinya berhasil, artinya fungsi dan peran DNPI sebagai koordinator juga berhasil.”
Oleh karena itu, Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), sependapat
dengan adanya upaya Indonesia – sebagai negara yang berperan penting dalam kancah negosiasi
internasional perubahan iklim – agar memiliki Undang-undang (UU) tentang Perubahan iklim. “UU
perubahan iklim menjadi satu langkah maju karena ada proses politik di dalamnya (eksekutif dan legislatif).
Tidak seperti sekarang, semua masih setengah kamar (eksekutif), artinya ganti presiden, ganti menteri, maka
tinggal menunggu digantinya kebijakan setengah kamar itu.” Kerisauannya beralasan, agar ada ada kepastian
visi, misi, strategi anggaran, dan keberlanjutan eksistensi institusi terutama untuk menjawab tantangan
perubahan iklim ini.
Buku ini mengisahkan ulang dinamika Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang telah mengemban
amanah dan berkiprah selama lima tahun sejak didirikan tahun 2008 hingga tahun 2013 ini. Dalam
pertumbuhan manusia, usia lima tahun sering dipandang sebagai “usia emas”, masa permulaan pertumbuhan
yang penting. Walaupun masih tergolong “balita” (bawah usia lima tahun), namun ternyata DNPI sudah
harus pandai berbagi dan berani mengambil tempat yang “pas” di tengah hiruk-pikuk pembangunan dan
dinamika bangsa di tengah arus globalisasi. Buku ini secara sadar ingin menguatkan pendapat, bahwa
tantangan perubahan iklim merupakan tantangan kita kini, dan tanggung jawab untuk kehidupan masa
depan yang lebih baik. Bagaimanapun, pewarisan iklim dan lingkungan yang baik, merupakan prasayarat
bagi kemakmuran dan pendukung cita-cita dan peradaban kita sebagai bangsa.
Selamat membaca.
xii

Hal Depan.indd 14

8/2/13 10:46:44 AM

BAB I

COP 13 BALI
TONGGAK SEJARAH DNPI

DNPI 5 TAHUN I

Bab.1 (17 x 25).indd 1

1

8/2/13 10:32:22 AM

Konferensi Tingkat Tinggi Bumi
(earth summit) di Rio Brazil
1992 diikuti oleh 103 kepala
negara. Seluruh pemimpin dunia
sepakat bahwa perubahan iklim
memerlukan penanggulangan
mendesak

Foto: © UN Photo/Michos Tzovaras

2

I DNPI 5 TAHUN

Bab.1 (17 x 25).indd 2

8/2/13 10:32:27 AM

DNPI 5 TAHUN I

Bab.1 (17 x 25).indd 3

3

8/2/13 10:32:31 AM

BERMULA
DARI KTT BUMI
Indonesia meratifikasi Perjanjian UNFCCC pada tanggal 23
Agustus 1994 dan sebagai negara anggota PBB, Indonesia
berperan aktif dalam upaya perbaikan lingkungan global yang
juga berkaitan dengan tantangan lingkungan yang tengah

Sumber : Dokumentasi DNPI

terjadi di dalam negeri.

Keprihatinan dunia: mencairnya es di kutub utara.

DUA PULUH TAHUN yang lalu, kesadaran kolektif
pemimpin dunia tentang terjadinya krisis lingkungan
dan perubahan iklim, telah membawa semua
pemimpin bangsa bahu-membahu membicarakan
planet bumi.
Pertemuan tersebut dikenal dengan Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Bumi atau “Earth Summit”,
membahas Lingkungan dan Pembangunan atau
United Nations Conference on Environment
Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil, Juni
1992.
Pertemuan yang dihadiri 103 kepala negara/
pemerintahan tersebut menghasilkan dokumen tidak
mengikat (legally non–binding), seperti Deklarasi
Rio tentang pembangunan yang mencakup 27
prinsip, termasuk prinsip-prinsip kehutanan, dan
Agenda 21 mengenai pembangunan berkelanjutan
manakala dunia menghadapi abad ke-21. Selain

4

itu — yang sangat penting — pertemuan di Rio juga
mengumumkan kesepakatan tiga dokumen hukum
mengikat (legally binding), yaitu:
● Konvensi PBB untuk Keanekaragaman Hayati
(Convention on Biological Diversity /CBD)

Konvensi PBB untuk Memerangi Penggurunan
United Nations Convention on
Combating
Desertification/UNCCD), dan
● Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan
Iklim (United Nations Framework Convention
on Climate Change), yang lebih dikenal dengan
UNFCCC.
Di antara tiga konvensi tersebut, UNFCCC menjadi
konvensi yang paling sering mengadakan pertemuan
disebabkan perannya yang sangat penting dan
mendesak. Tujuan konvensi yang sangat krusial, yakni
menstabilkan iklim planet bumi, bukanlah merupakan
target yang mudah, melainkan sangat kompleks dan
sulit, sehingga dialog dan kesepakatan harus intensif
untuk dibahas. Pertemuan perwakilan negara-negara
penanda-tangan konvensi yang disebut “Parties”,
dilakukan setiap tahun. Hingga sekarang, Conference
of Parties (COP) telah mencapai fase ke-18, yaitu
COP-18 yang diadakan di Doha, Qatar, tahun 2102. Tahun
ini, 2013, pertemuan COP ke-19, akan diadakan
di Warsawa, Polandia (Lihat Perjalanan Panjang
Menyelamatkan Bumi).

I DNPI 5 TAHUN

Bab.1 (17 x 25).indd 4

8/2/13 10:32:37 AM

Tatapan penuh kepercayaan. Suasana COP13 Bali. Dari kiri ke kanan: Sekjen PBB Ban Ki-Moon, Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono, dan Presiden COP13, Rachmat Witoelar.
Foto: Dokumentasi DNPI

Indonesia meratifikasi Perjanjian UNFCCC pada
tanggal 23 Agustus 1994 dan sebagai negara anggota
PBB, Indonesia berperan aktif dalam upaya perbaikan
lingkungan global yang juga berkaitan dengan
tantangan lingkungan yang tengah terjadi di
dalam negeri.
Sejak UNFCCC memulai persidangan dalam COP 1,
di Berlin, Indonesia telah terlibat aktif dalam
persidangan negosiasi iklim. Kegiatan-kegiatan
tersebut pada awalnya dikoordinasi oleh Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH). Melihat tantangan perubahan
iklim yang kompleks, maka pemerintah Indonesia
manganggap bahwa perubahan iklim bukan hanya
tantangan lingkungan semata, melainkan tantangan
untuk pembangunan Indonesia. Oleh karena itu,
Indonesia selain terlibat dalam berbagai kegiatan upaya
penanggulangan lingkungan di dalam negeri, juga proaktif dalam kepeloporan mencari solusi mengatasi
perubahan iklim global.
Puncak keterlibatan Indonesia sangat nyata
dalam COP 13/CMP 3 di Bali, Desember 2007. Indonesia
bukan hanya menjadi tuan rumah, tetapi mampu
menempatkan diri sebagai pimpinan agar para peserta
COP 13 mampu mengatasi deadlock dan menghasilkan
kesepakatan-kesepakatan bertaraf internasional. Hasil

pertemuan Bali menjadi landasan penting bagi
perundingan-perundingan iklim berikutnya, antara
lain COP14/CMP4 di Poznan, Polandia, pada tahun
2008 dan perundingan di Copenhagen, Denmark,
pada tahun 2009 (COP15 /CMP5).
Conference of the Parties (COP) ke-13 itu juga
berfungsi sebagai Meeting of the Parties (CMP) ke-3,
yang membahas implementasi Protokol Kyoto.
Namun, hasil terpenting adalah dokumen yang
dinamakan Bali Road Map dan Bali Action Plan. Bali
Road Map merupakan dokumen yang menjembatani
proses-proses dan jalur-jalur perundingan untuk
mencapai mufakat-mufakat internasional lebih
lanjut. Bali Road Map juga dimaksudkan sebagai
kesepakatan perjanjian internasional pasca 2012,
di mana pada saat itu periode pertama Protokol
Kyoto berakhir. Adapun Bali Action Plan merangkum
kesepakatan Para Pihak mengenai substansi dan arah
masa depan perundingan perubahan iklim yang telah
diputuskan dalam COP-13 di Bali itu. Tidak kurang 15
dokumen tertuang dalam The Bali Action Plan, namun
secara garis besar dapat dikelompokkan atas empat
bagian besar, yaitu: adaptasi; mitigasi; teknologi
(untuk adaptasi dan mitigasi); serta pendanaan untuk
adaptasi dan mitigasi.

DNPI 5 TAHUN I

Bab.1 (17 x 25).indd 5

5

8/2/13 10:32:44 AM

PERJALANAN PANJANG
MENYELAMATKAN BUMI
1979

1987

1988

Konferensi Iklim Pertama di
Dunia. Pemerintah diminta untuk
mengawasi perubahan iklim
yang berpotensi mengganggu
kesejahteraan manusia.

Brundtland
Commission
Report.

WMO dan UNEP
mendirikan IPCC
(Intergovernmental
Panel on Climate
Change).

2007
COP-13/ CMP-3, Bali. Menghasilkan
Bali Road Map untuk rencana Kyoto
Protocol Pasca 2012.

2006

2008

2012
COP-18/ CMP-8 Doha. Menghasilkan
Doha Gateway, Komitmen Periode II Kyoto
Protocol.

COP-14/ CMP-4 Poznan.
Dewan Nasional
Perubahan Iklim (DNPI)
dibentuk.

2009
COP-15/ CMP-5.
Copenhagen Accord.

COP-12/ CMP-2 Nairobi
Adopsi rencana aksi 5 tahun untuk
mendukung adaptasi perubahan
iklim di negara berkembang, serta
bersepakat untuk modalitas dan
prosedur pendanaan adaptasi.

2005
COP-11, diadakan di Montreal, Canada.
Protocol Kyoto mempunyai kekuatan
hukum 16 Februari 2005, pertama
kali Meeting of Parties to the Kyoto
Protocol (COP/CMP-1).

2004
COP-10 dilaksanakan di Buenos Aires,
Argentina, Para pihak bersepakat
untuk menyelesaikan COP-9.

2003
2010
2011
COP-17/ CMP-9 Durban
menghasilkan Durban Platform.

6

COP-16/ CMP-8, Cancun
menghasilkan Cancun
Agreement.

COP-9 di Milan, Italia. Para pihak
menyetujui tentang peran dan
prosedur untuk CDM.

2002
COP-8 diadakan di New Delhi, India
menghasilkan Deklarasi New Delhi.

I DNPI 5 TAHUN

Bab.1 (17 x 25).indd 6

8/2/13 10:32:58 AM

1989

1990

1991

Resolusi Majelis Umum PBB
mengumumkan untuk KTT
yang membahas tentang
pembangunan dan lingkungan.

Hasil kajian pertama laporan
IPCC dipublikasikan.

Perwakilan dari 160 negara dan bangsa bernegosiasi
tentang isu-isu kunci: berkomitmen untuk target emisi.
Akan memberikan bantuan teknologi tranfer dan
pendanaan pada negara berkembang.

1995

1994

Konferensi Para Pihak yang Pertama
(COP-1) di Berlin, mengadopsi
Mandat Berlin. Putaran negosiasi
baru yang mendorong adanya
sebuah protokol dan instrumen legal
lainnya.

UNFCCC berkekuatan hukum
pada 21 Maret 1994, pada tahun
2013 penanda tangan UNFCCC
menjadi 195 negara anggota.

1995
IPCC menyetujui Laporan Kajian
Kedua. Mengemukakan tentang
pentingnya kebijakan dan aksi
yang kuat.

1992
UNFCCC dibuka untuk
ditanda tangani pada
KTT Bumi (Rio Earth
Summit)

1996
COP-2 di Jenewa mengeluarkan Deklarasi Para Menteri, yang menganjurkan suatu
langkah untuk melakukan negosiasi. Langkah mengikat secara hukum untuk
menurunkan emisi, akan dibahas pada COP berikutnya.

1997
2001
COP-6 part II (atau COP-6b) di Bonn. Para
pihak mengadosi perintah Bonn (Plann
Agreements), mendaftarkan konsensus
politik atau isu-isu kunci di bawah
Buenos Aires Plan of Action. Para pihak
juga menyelesaikan sejumlah keputusan
yang detail namun masih menyisakan
beberapa sisa kesepakatan.

2001

COP-3 di Kyoto mengadopsi Kyoto
Protocol sebagai sebuah protokol
untuk UNFCCC.

1998
COP-4 pertemuan di Buenos Aires
mengadopsi Buenos Aires Plan
of Action yang dirancang untuk
program mengoperasikan secara
detail Protokol Kyoto.

COP-7 Marrakesh memfinalkan
dan mengadopsi hasil
keputusan COP-6b disebut
Marrakesh Accords.

1999
2000
COP-6 di Den Haag gagal bersepakat
mengambil keputusan di bawah Rencana
Aksi Buenos Aires (Buenos Aires Plan
of Action).

COP-5 di Bonn menargetkan
pencapaian terukur sesuai mandat
COP-6 agar Kyoto Protocol
berkekuatan hukum (entry into
force).

DNPI 5 TAHUN I

Bab.1 (17 x 25).indd 7

7

8/2/13 10:33:01 AM

DARI BALI
UNTUK BUMI
BALI, 15 DESEMBER 2007
Tepuk tangan membahana di ruang sidang COP 13/CMP-3,
di Hotel Westin Bali. Wajah-wajah ceria dan penuh kepuasan
tergambar pada para delegasi yang berunding secara maraton
selama hampir dua minggu, karena alot dan rumitnya
perundingan tersebut.

Plenary Hall UNFCCC COP 13 Bali. Foto: Dokumentas DNPI

PERHELATAN AKBAR tentang iklim yang dihadiri dan
disaksikan oleh 15 ribu peserta dari 190 negara itu,
membawa makna mendalam atas prestasi kepedulian
Indonesia pada perubahan iklim. Persidangan
berakhir dengan diketuk palu dan diluncurkannya
‘Bali Roadmap’ atau Peta jalan Bali dan Bali Action Plan,
yang terkenal itu.
Rachmat Witoelar selaku Presiden COP 13/
CMP 3, menyampaikan pidato penutup, “We have a
Roadmap! I am delighted to say that we have finally

8

achieved the breakthrough the world has been waiting
for: the Bali Roadmap!” katanya mengawali pidato
penutupan. Rachmat kemudian mengucapkan terima
kasih atas keberhasilan sidang perundingan. Ia juga
menyampaikan penghargaan atas upaya keras para
delegasi, terutama Delegasi Republik Indonesia (DELRI),
para pihak yang intensif terlibat terutama Menteri
Luar Negeri Indonesia Dr. Nur Hassan Wirayuda, juga
perhatian khusus dari Sekjen PBB Ban Ki Moon, dan
tentu saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
memberikan perhatian penuh selama persidangan, dari
awal sampai akhir.
Tentu saja, di pihak penyelenggara — tuan
rumah Indonesia — wajah-wajah lelah tergambar
sangat jelas. Begitu pula gambaran keletihan tampak
pada anggota DELRI. Kerut di dahi bertambah terlipat.
Letih dan agak pucat karena kurang tidur, sudah pasti.
Namun, perjalanan penyelenggaraan Bali COP 13/CMP
3, membawa kepuasan dan kenangan tersendiri.
Usai sidang yang gegap gempita itu, Rachmat
Witoelar dan Agus Purnomo, segera naik ke lantai lima
Hotel Westin, Bali, melapor kepada Presiden. Laporan
disampaikan dengan penuh kegembiraan dan diterima

I DNPI 5 TAHUN

Bab.1 (17 x 25).indd 8

8/2/13 10:33:14 AM

Liputan harian Nusa Bali tentang keberhasilan COP 13. Presiden menyalami Sekjen PBB Ban Ki-Moon, disaksikan Rachmat
Witoelar, Agus Purnomo, dan Amanda Katili. Sumber: Dokumentasi DNPI

oleh Presiden dengan baik. Presiden pun memberi
sejumlah petunjuk arahan. Menutup pembicaraan,
Presiden SBY menyampaikan kata-kata penting yang
akan menjadi embrio berdirinya DNPI, “Saya akan
bentuk suatu komisi atau dewan tentang perubahan
iklim untuk mengawal hasil–hasil konferensi ini.”
Dari sanalah DNPI kemudian dibentuk, tepatnya
4 Juli 2008. Tak bisa dipungkiri keputusan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mendirikan dan memimpin
DNPI menunjukkan perhatian beliau yang begitu besar
dan serius dalam upaya penanggulangan perubahan
iklim.
Untuk menyelenggarakan roda organisasi, DNPI
dijalankan oleh seorang Ketua Harian, yaitu Rachmat
Witoelar yang waktu itu juga menjabat sebagai Menteri

Lingkungan Hidup. Suatu kekhasan tersendiri bagi
DNPI, dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 46/2008
tentang pembentukan DNPI, nama Rachmat Witoelar
disebutkan sebagai Ketua Harian. Uniknya lagi, dalam
DNPI, Menteri Lingkungan Hidup duduk sebagai
anggota, bersama dengan menteri-menteri anggota
yang lainnya.
Keunikan ini mungkin dapat juga disetarakan
dengan portofolio negara lain yang memberikan
perhatian dan porsi besar dengan membentuk
kelembagaan tentang iklim. Australia, misalnya,
mengangkat menteri khusus untuk perubahan iklim,
selain menteri lingkungan. Demikian pula Denmark,
menteri lingkungannya diberi jabatan baru sebagai
menteri perubahan iklim dan energi.

DNPI 5 TAHUN I

Bab.1 (17 x 25).indd 9

9

8/2/13 10:33:34 AM

Gembira bercampur lega, COP 13 Bali berlangsung sukses:
Rachmat Witoelar disalami oleh Emil Salim

untuk perubahan iklim sejak tahun 2008, karena isu
perubahan iklim merupakan tantangan multisektoral
yang dapat melibatkan berbagai kementerian dan
lembaga, misalnya Kementerian ESDM, Kementerian
Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Luar
Negeri dan kementerian serta lembaga terkait lain.
Oleh karenanya, peran DNPI dalam koordinasi dan
menjembatani isu perubahan iklim, adalah sangat
penting dilakukan. Selain itu, dalam pasar karbon,
DNPI bertindak sebagai administratur yang bertugas
mendukung, memfasilitasi dan mengatur berbagai
inisiatif, termasuk ketika pasar karbon diprediksi sangat
lesu pada periode Kyoto Protocol Kedua. Disebabkan

Foto: Dokumentasi DNPI

Terkait kiprah utamanya, sesuai dengan mandat
Peraturan Presiden No. 46/2008, tugas umum DNPI
adalah:
a. Merumuskan kebijakan nasional, strategi, program
dan kegiatan pengendalian perubahan iklim;
b. Mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan
tugas pengendalian perubahan iklim yang
meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi
dan pendanaan;
c. Merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme
dan tata cara perdagangan karbon;
d. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi
implementasi kebijakan tentang pengendalian
perubahan iklim;
e. Memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong
negara-negara maju untuk lebih bertanggung
jawab dalam pengendalian perubahan iklim.
Dengan wewenang itulah, DNPI memainkan
peran penting selama lima tahun dari sejak berdirinya
2008 hingga 2013. Niat Presiden SBY untuk tetap
mengawal hasil-hasil negosiasi sejak dari COP 13 Bali
tahun 2007, mendorong Indonesia, melalui DNPI, selalu
terlibat aktif dalam upaya menanggulangi tantangan
perubahan iklim. Lambat laun keberadaan DNPI
sangat dirasakan sebab peran dan keberhasilannya
dalam menjembatani, mengkoordinasikan dan
membantu kapasitas perubahan iklim di berbagai
sektor, serta perannya sebagai koordinator nasional
dalam menghadapi perundingan internasional
perubahan iklim, kian meningkat.
Tercatat pula dalam prakteknya, DNPI berperan
antara lain menjadi national focal point UNFCCC

10

Keramahan dan kehangatan khas Indonesia: Presiden
Yudhoyono menuangkan air minum untuk Sekjen PBB Ban
Ki-Moon dalam sidang COP 13 Bali. Foto: Dokumentasi DNPI

pasar melemah, maka DNPI dapat melakukan insiatif
problem solving, misalnya menerobos kerja sama
bilateral (Lihat Prospek Pasar Karbon dalam Protokol
Kyoto Jilid II).

Perhatian Presiden SBY
Kesadaran penuh untuk menurunkan emisi
gas-gas rumah kaca di atmosfer mengharuskan
keterlibatan seluruh sektor terkait dari kementerian
maupun lembaga. Oleh karena itu, keterwakilan
Indonesia dalam forum perubahan iklim perlu
melibatkan kementerian/lembaga terkait. Indonesia,
sebelumnya memang cukup diperhitungkan dalam
kancah dialog dan kepemimpinan dalam bidang
lingkungan. Menteri Lingkungan Hidup Kabinet
Pembangunan Bersatu Jilid I periode 2004-2009,

I DNPI 5 TAHUN

Bab.1 (17 x 25).indd 10

8/2/13 10:33:42 AM

Dari tigabelas hari persidangan, Presiden berada di Bali selama
sepuluh hari. Beliau memindahkan kantor
ke Bali dan hampir seluruh menteri kabinet memberikan
dukungan, turut berada di Pulau Dewata tersebut

Rachmat Witoelar, bahkan sempat ditunjuk sebagai
President Governing Council United Nations Environment
Programme (UNEP) yang berbasis di Nairobi. Posisi ini
pernah dijabat oleh Prof. Emil Salim, salah seorang mantan
Menteri Lingkungan Hidup RI, yang juga pernah menjadi
President Governing Council (GC) - UNEP di samping
menjadi anggota World Comission on Environment
(1985-1987). Terpilihnya Indonesia sebagai Presiden GCUNEP memberikan beberapa keuntungan, antara lain
kemudahan Indonesia mendapatkan berbagai dukungan
internasional berupa pendanaan, pengembangan
sumber daya manusia, maupun teknologi pelestarian
lingkungan hidup, serta terbukanya sejumlah kerja sama
dan koordinasi yang sangat dibutuhkan sejalan dengan
berlaku efektifnya Protokol Kyoto.

Menonjolnya kepemimpinan Indonesia di
bidang lingkungan tersebut, menyebabkan negara ini
kemudian diminta untuk menjadi tuan rumah COP-13,
Bali. Peristiwa penting konferensi iklim yang dihadiri
oleh lebih dari 15.000 peserta dan peninjau dari
berbagai negara tersebut, telah membawa Indonesia
pada kancah perundingan iklim secara intensif.
Bagi Indonesia, pertimbangan untuk menjadi
tuan rumah pun tidak mudah. Keberhasilan penyelenggaraan konferensi Iklim ini akan membawa nama
baik Indonesia jika berhasil, tetapi sebaliknya apabila
gagal. Tak urung pertimbangan untuk mengemban
posisi tuan rumah pun melibatkan proses di dalam
negeri yang cukup panjang.
Karena hal ini menyangkut Indonesia di mata
dunia, maka Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono
pun mulai terlibat. Agus Purnomo, ketua organizing
committee COP 13 tahun 2007 yang kini menjabat Staf
Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, menuturkan,
penyelenggaraan KTT iklim di Bali, mempunyai makna
strategis. Pertama, tentang keseriusan Indonesia
terlibat aktif dalam upaya penyelamatan lingkungan.
Dalam upaya ini, Indonesia dipastikan mempunyai

Indonesia dipastikan
mempunyai kesempatan
untuk menjadi negara pelopor
yang pada gilirannya dapat
mengangkat nama baik dan
“Saya akan bentuk suatu komisi atau dewan tentang
perubahan iklim untuk mengawal hasil–hasil konferensi
ini.” Foto: Dokumentasi DNPI

harkat bangsa.

DNPI 5 TAHUN I

Bab.1 (17 x 25).indd 11

11

8/2/13 10:33:48 AM

Presiden Yudhoyono mempertimbangkan tentang peran
penting Indonesia dalam kepeloporan untuk penanggulangan
tantangan iklim

kesempatan untuk menjadi negara pelopor yang pada
gilirannya dapat mengangkat nama baik dan harkat
bangsa. Kedua, karena diadakan di Bali, diharapkan
akan membantu peningkatan promosi dan citra wisata
di Pulau Dewata tersebut, terutama karena Bali pada
saat itu baru kena imbas Bom Bali.
Kehadiran KTT Iklim COP 13, menjadikan Bali
sebagai headline yang disiarkan CNN setiap jam untuk
meliput perjalanan sidang. “Jadi UNFCCC COP-13 juga
menjadi obat bagi industri pariwisata Indonesia,” tutur
Agus Purnomo. Demikian pentingnya acara ini, Presiden
SBY berkenan mengikuti perkembangan persidangan
dari dekat, sehingga Presiden berkantor di Bali. Dari

tigabelas hari persidangan, Presiden berada di Bali
selama sepuluh hari. Beliau memindahkan kantor ke
Bali dan hampir seluruh menteri kabinet memberikan
dukungan, turut berada di Pulau Dewata tersebut.
Persidangan COP 13, menghasilkan beberapa
kesepakatan penting antara lain yang disebut dengan
Bali Action Plan. Kesepakatan Bali ini sangat penting
sehingga proses negosiasi tentang perubahan iklim
berikutnya selalu merujuk pada butir-butir Bali
Action Plan tersebut. Melihat hal ini, Presiden SBY
mempertimbangkan tentang peran penting Indonesia
dalam kepeloporan untuk penanggulangan tantangan
iklim.

Di sela-sela kesibukan COP 13 Bali, Presiden SBY dan Ibu Ani menyempatkan menerima rombongan Bicycle for Earth Goes to
Bali. Mereka bersepeda selama 21 hari (11 November – 27 Desember 2007) menempuh 1.447 km dari Jakarta ke Bali, dalam
rangka sosialisasi COP 13 ke tengah-tengah masyarakat. Foto: Dokumentasi DNPI

12

I DNPI 5 TAHUN

Bab.1 (17 x 25).indd 12

8/2/13 10:33:52 AM

BALI ACTION PLAN
ali Action Plan merupakan tonggak
sejarah penting proses negosiasi dalam
upaya penanggulangan perubahan iklim.
Hasil yang dibahas dalam negosiasi tersebut
mencakup beberapa tema, yaitu:

B

A. VISI BERSAMA UNTUK AKSI TINDAK LANJUT
DALAM KERJA SAMA JANGKA PANJANG
Rencana ini antara lain mengetengahkan visi
bersama untuk tujuan jangka panjang global dalam
upaya mengurangi emisi gas rumah kaca guna
mencapai tujuan utama konvensi. Adapun tujuan ini
harus mempertimbangkan dan memperhitungkan
prinsip tanggung jawab bersama dan kewajiban
yang berbeda (common but differentiated
responsibilities), serta kemampuan negara masingmasing.

miskin atau Least Developed Countries (LDCs), dan
negara kepulauan kecil atau Small Island Developing
States (SIDS), serta negara-negara negara Afrika.
Mitigasi:
Para pihak telah menyepakati untuk
mempertimbangkan elemen-elemen berikut:
● komitmen aksi mitigasi yang memadai atau
tindakan aksi, termasuk penghitungan batasan
emisi GRK (Gas Rumah Kaca) dan usaha yang
bertujuan untuk menurunkan emisi yang harus
dilakukan oleh seluruh negara maju; dan
● aksi-aksi mitigasi oleh negara negara berkembang
yang tergabung sebagai Para Pihak yang
didukung dan dimungkinkan oleh teknologi,
sumber pendanaan dan pembangunan kapasitas.

B. EMPAT ‘BUILDING BLOCK’ PENTING DALAM
BALI ACTION PLAN
Bali Action Plan menancapkan tonggak
penting yang dikenal sebagai ‘building block’, yaitu:
adaptasi, mitigasi, transfer teknologi dan pendanaan,
termasuk juga shared vision (visi bersama) dalam
upaya menurunkan emisi global.

Transfer Teknologi:
Mekanisme yang efektif alih teknologi dari
negara maju ke negara berkembang, serta
upaya meningkatkan sumber daya yang mampu
mengurangi hambatan ketersediaan pendanaan
untuk mendorong agar negara-negara berkembang
dapat mengakses teknologi ramah lingkungan
dengan harga terjangkau.

Adaptasi:
Melibatkan kerja sama internasional dalam
menguji dan mendukung aneka tindakan adaptasi,
mengingat kebutuhan yang mendesak dari negara
berkembang terutama sekali untuk negara-negara

Pendanaan:
Bantuan pendanaan sangat diperlukan dalam
upaya mengurangi gas rumah kaca dan membantu
negara berkembang untuk beradaptasi menghindari
dampak perubahan iklim.

DNPI 5 TAHUN I

Bab.1 (17 x 25).indd 13

13

8/2/13 10:34:00 AM

DI BALIK GAGASAN

PENDIRIAN
DNPI

Melihat keberhasilan COP 13, dan kepemimpinan Indonesia
yang menemukan momentum positif dalam negosiasi perubahan
iklim, maka muncul pertanyaan, “Mungkinkah Indonesia di
tingkat Internasional dapat memimpin isu climate change ini?”

Bali COP 13 memperkuat posisi Indonesia dalam
negosiasi iklim internasional. Foto: Dokuementasi DNPI

PERTIMBANGAN YANG STRATEGIS inilah yang
kemudian mendorong Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono untuk membuat lembaga khusus yang
menangani perubahan iklim. Belum hilang rasa lelah,
setelah berhasil menyelenggarakan COP 13, Presiden,
sebagaimana dituturkan oleh Agus Purnomo,

14

memberikan arahan, “Bikin lembaga perubahan iklim
dan akan dipimpin sendiri oleh Presiden.” Lembaga itu
tentu unik, pertama karena “mengurusi iklim”, dan kedua
akan dipimpin langsung oleh Presiden. Dibuatlah proses
pembahasan untuk merealisasikannya.
Serangkaian proses administrasi dan yuridis
pun dipersiapkan. Kontak antara tokoh-tokoh COP
13, tokoh KLH, dan Sekretariat Negara berlangsung
intensif. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan
turut ambil bagian mencoret dan mengoreksi sendiri
rancangan perpres (Peraturan Presiden) untuk
diperbaiki, disempurnakan dan akhirnya Presiden pun
tanda tangan.
Hasilnya adalah sebuah Peraturan Presiden
(Perpres) No. 46/2008, tentang Pendirian DNPI. Dewan

I DNPI 5 TAHUN

Bab.1 (17 x 25).indd 14

8/2/13 10:34:05 AM

Presiden Yudhoyono mempimpin rapat DNPI di istana, 30 September 2011

ini Ketuanya adalah Presiden Republik Indonesia
dengan dua Wakil Ketua, yakni Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian. Di samping itu, keanggotaan
DNPI juga diperkuat oleh 17 Menteri terkait dan satu
kepala Badan yang duduk sebagai anggota.
Jika ditilik dari alasan strategis, setidaknya ada
alasan kuat mengapa Presiden melihat DNPI penting
untuk didirikan. Pertama, Presiden melihat berdirinya
DNPI merupakan satu dari sedikit kemungkinan
Indonesia bisa mengambil peran di dunia Internasional.
Dan langkah ini tepat, disebabkan track record

Foto: Dokumentasi DNPI

Indonesia dalam kepeloporan kepemimpinan
perubahan iklim tingkat dunia, termasuk dalam
penanganan REDD dan isu iklim yang lainnya, tak
diragukan lagi. Kepercayaan itu terus berlanjut.
Terbukti, tahun 2013 ini Presiden SBY kembali
dipercaya menjadi ketua bersama panel tingkat
tinggi PBB untuk Millenium Development Goals
(MDGs). Ketua Bersama adalah sebuah panel kolektif,
dalam hal ini Presiden SBY berada di jajaran penting
dalam forum MDGs bersama dengan Presiden Liberia
Ellen Johnson Sirleaf dan Perdana Menteri Inggris
David Cameron.

Dewan ini Ketuanya adalah Presiden Republik Indonesia dengan
Dua Wakil Ketua, yakni Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) dan Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian.
Di samping itu, keanggotaan DNPI juga diperkuat oleh
17 Menteri terkait dan satu kepala Badan yang duduk
sebagai anggota.

DNPI 5 TAHUN I

Bab.1 (17 x 25).indd 15

15

8/2/13 10:34:06 AM

Jadi, pendirian DNPI merupakan gambaran serius
niat pemerintah dalam upaya menanggulangi perubahan iklim

Dapat disimpulkan, gagasan Presiden SBY
bahwa Indonesia harus memimpin dalam perubahan
iklim itu merupakan keputusan strategis yang tepat,
jikapun tidak bisa dikatakan genius, yang membawa
bangsa Indonesia berperan besar dan penting dalam
kancah kepemimpinan perubahan iklim di tingkat
internasional.
Selain itu, alasan kedua, sejak tahun 2008,
DNPI pula yang menjadi katalisator antarsektor
yang melibatkan sektor dari kementerian lain dalam

upaya-upaya negosiasi perubahan iklim.
Jadi,
pendirian
DNPI merupakan gambaran serius
niat pemerintah dalam upaya menanggulangi
perubahan iklim, baik dalam skala nasional maupun
global. Karena kompleksitas masalah dan tantangan
iklim melibatkan berbagai sektor yang berbeda,
maka diperlukan sebuah tim yang kuat dalam upaya
melaksanakan tugasnya menjadi penanggungjawab
sekaligus koordinator penanggulangan perubahan
iklim secara nasional.

Track record Indonesia dalam kepelopran kepemimpinan perubahan iklim tingkat dunia, tak diragukan lagi:
Presiden Yudhoyono dalam COP 15 Copenhagen tahun 2009. Foto: Dokumentasi DNPI

16

I DNPI 5 TAHUN

Bab.1 (17 x 25).indd 16

8/2/13 10:34:08 AM

TUJUH BELAS KEMENTERIAN
DAN SATU LEMBAGA MEMPERKUAT DNPI
ompleksitas dan tantangan perubahan iklim, menjadikan DNPI sebuah lembaga yang
mempunyai mandat koordinasi lintas sektoral. Dalam Perpres nomor 46 tahun 2008 diatur
mengenai Struktur DNPI, diketuai oleh Presiden RI dengan Wakil Ketua 1 Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Wakil Ketua 2 Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Adapun
anggota-anggota DNPI, Menteri dari 17 Kementerian dan satu Kepala BMKG, sebagai berikut: :

K
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.

Menteri Sekretaris Negara
Menteri Sekretaris Kabinet
Menteri Negara Lingkungan Hidup
Menteri Keuangan
Menteri Dalam Negeri
Menteri Luar Negeri
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Menteri Kehutanan
Menteri Pertanian
Menteri Perindustrian
Menteri Pekerjaan Umum
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS
Menteri Kelautan dan Perikanan
Menteri Perdagangan
Menteri Negara Riset dan Teknologi
Menteri Perhubungan
Menteri Kesehatan
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)

Dalam melaksanakan tugasnya DNPI dipimpin oleh Ketua Harian merangkap anggota, Rachmat
Witoelar. Perpres 46 tahun 2008 mengatur adanya enam Kelompok Kerja (Pokja) dan Sekretariat,
yaitu sebagai berikut:
1. Kelompok Kerja Adaptasi
2. Kelompok Kerja Mitigasi
3. Kelompok Kerja Alih Teknologi
4. Kelompok Kerja Pendanaan
5. Kelompok Kerja Post Kyoto 2012
6. Kelompok Kerja Kehutanan dan Alih Guna Lahan.
Sekretariat DNPI dipimpin oleh seorang Kepala Sekretariat. Untuk mendukung tugas pokok DNPI,
maka Sekretariat DNPI didukung oleh beberapa Divisi sebagai berikut:
1. Divisi Administrasi Umum
2. Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon
3. Divisi Komunikasi, Informasi, Edukasi
4. Divisi Pengembangan Kapasitas dan Riset
5. Divisi Monitoring dan Evaluasi
DNPI dalam melaksanakan kegiatannya mendapatkan dukungan pendanaan negara melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Dalam administrasi
anggaran, DNPI merupakan salah satu Satuan Kerja (Satker) di dalam KLH.

DNPI 5 TAHUN I

Bab.1 (17 x 25).indd 17

17

8/2/13 10:34:10 AM

PENGEMBANGAN KEBIJAKAN
DAN KELEMBAGAN PERUBAHAN IKLIM
1994

2009

Undang-undang No. 6/1994,
Ratifikasi Konvensi PBB untuk
Perubahan Iklim (UNFCCC)

Masuk dalam Rencana Program
Jangka Menengah 2009-2014
(RPJM 2009-2014), Bappenas.

1997

2008

2010

Revisi Undang-undang
23/1997 menjadi
Undang-undang 32/2009
yang memasukkan isu
perubahan iklim dalam
pengelolaan lingkungan

Peraturan Presiden No
46/2008, tentang Dewan
Nasional Perubahan Iklim
(DNPI)

Keputusan Presiden tentang
Satgas Persiapan Pembentukan
kelembagaanREDD+

2010
Pengiriman Komunikasi
Nasional ke Dua, oleh KLH.

1999
Komunikasi Nasional Pertama
(National Communication)
yang dikeluarkan oleh
Kementerian Lingkungan
Hidup

2004
Undang-undang no. 17/2004,
ratifikasi Kyoto Protocol

2011
Dikeluarkan Perpres No.
61 Tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi GRK
(RAN - GRK).

2011
Dikeluarkan Perpres No. 71
Tentang Penyelenggaraan
GRK Inventarisasi Nasional.

2005
Surat Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup nomor
206/2005, tentang Komisi
Nasional Mekanisme
Pembangunan
Bersih (PNPB)

2007
Penerbitan Rencana Aksi
Nasional untuk Perubahan
Iklim (RAN – PI), oleh KLH

18

I DNPI 5 TAHUN

Bab.1 (17 x 25).indd 18

8/2/13 10:34:18 AM

BAB II

tentang
perubahan iklim

DNPI 5 TAHUN I

Bab.2 (17 x 25).indd 19

19

8/2/13 10:39:54 AM

Foto: DNPI

20

I DNPI 5 TAHUN

Bab.2 (17 x 25).indd 20

8/2/13 10:39:57 AM

Tiada badai,
tiada topan kau temui...
Ikan dan udang
menghampiri dirimu...
Koes Plus, 1973
“Bila ingin mengenang bagaimana bumi yang
stabil, barangkali masa yang paling ideal kondisi
bumi adalah seperti digambarkan oleh Koes Plus
pada masa tahun 1970 atau 80-an.
”Tiada badai, tiada topan kau temui...”

DNPI 5 TAHUN I

Bab.2 (17 x 25).indd 21

21

8/2/13 10:40:00 AM

MUSIM YANG SEMAKIN
TAK MENENTU

Foto: Dokumentasi DNPI

“Bogor sudah jarang hujan dan udaranya pun seringkali panas
terik. Walau di malam hari angin berhembus sedikit sejuk,
tetapi tidak seperti dahulu. Bogor tidak sejuk lagi.”

Rekahan tanah sawah yang retak

KALAU DITANYAKAN kepada orang tua dahulu,
mereka akan bernostalgia dan bertutur, jika anda
ke Bogor atau Bandung di tahun 1970an niscaya
harus menggunakan baju tebal atau sweater, dari
pagi hingga menjelang tengah hari. Sebab udara
sangat sejuk, apalagi kawasan sekitar Puncak, menuju
Bandung, di kiri-kanan, hutannya masih lebat.

22

Hujan turun di Bogor hampir setiap hari, karena
itu Bogor disebut kota hujan. Pemerintah Kolonial
Bela