Arsitektur dan Perubahan Iklim

Arsitektur dan Perubahan Iklim; Sebuah
Korelasi
OPINI | 08 April 2013 | 13:27

Dibaca: 131

Komentar: 0

Nihil

Dulu –mungkin sama dengan anak yang lainnya- cita-cita saya bermetamorfosis beberap kali.
Dan sebagai cita-cita yang menduduki nomor wahid, menjadi dokter adalah mimipi awal
yang muncul akibat lingkungan dan dorongan orang tua. Sejalan dengan waktu, dan penyakit
phobia akan makluk berseragam putih itu, cita-citaku tretambat menjadi seorang pengacara.
Tontonan ibuku yang doyan dengan film India dan beberapa film yang menampilkan sosok
lawyer yang begitu hebat dan heroic ikut andil dalam hal ini. Namun cita-cita itupun sirna
oleh pandangan seorang om, yang bersifat sinis dengan profesi lawyer, dan sebagaimana
anak-anak lainnya, saya ikut mengamini. Jadilah cita-cita itu tersimpan di bawah nisan.
Sempat pula terpikir menjadi seorang psikolog karena kekaguman akan sosok K Seto.
Terakhir saya tergoda dengan profesi Arsitek.
Semuanya bermula dari sebuah buku milik om yang berprofesi sebagai guru seni rupa. Boleh

dikatakan om saya itu pecinta seni, dari seni rupa hingga seni bangunan –itulah istilahnya
dalam menyebutkan arsitektur-. Di buku tebal itu, saya dibuat takjub oleh sebuah gambar
kursi yang sangat unik menurut kaca mata saya. Dari om saya, saya tahu kalau kursi itu
adalah karya dari seorang arsitek yang bernama Le Corbuiser. Awalnya, saya berpikir, seorag
arsitek adalah seorang tukang, dan walaupun tidak salah, pengertian saya itu masih
premature. Om sayalah yang menjelaskan tentang dunia-dunia arsitektur. Dan seperti seorang
Alice di dunia Wonderlandnya, saya tiba-tiba merasa Arsitektur seperti dunia wonderland.
Saat itu juga saya memutuskan ingin menjadi seorang arsitek. Sekian lama tersimpan dalam
hati, saat jelang tutup SMA, saya mengutarakan niat saya mendalami arsitektur, dan bapak
pada awalnya menolak, dan menyarankan mengambil Teknik Sipil jika ingin mendalami
teknik. Namun kekerasan kepala saya sudah sangat terkenal sejak kecil. Saya keukeuh seperti
karang, namun sayapun diam mematung tak dapat menjawab pertaanyaan sederhananya,
mengapa memilih arsitektur? Untuk menggambar bangunan, seorang biasa tanpa latar
belakang arsitektur pun mampu melakukannya. Apa kelebihannya?
Retrospeksi
Mungkin kalian bertanya, apa korelasi romantisme kisah awal cita-citaku dengan judul di
atas? Secara langsung memang bias dianggap kisah di atas hanyalah appetizer. Namun secara
tidak langsung ada korelasi di antaranya.
Pertanyaan bapak, bukannya saya lupakan. Tidak. Sama sekali tidak. Saya akhirnya
menemukan benang merahnya, saat seorang professor yang dulunya seorang arsitek dan

sekarang menekuni masalah urban dan transportasi. Dia membuka pemahaman saya akan
arsitektur, kalau seorang arsitek yang membedakannya dengan juru gambar adalah system
berpikirnya. Arsitek bukan hanya mendesain lingkungan buatan (built environment) yang
berpegang pada estetika, dan luas ruang saja. Tapi bagaimana mengkombinasikan dan
memadukan build environment dan natural environment. Memadukan lingkungan buatan
dengan alam. Saya sepakat dengan itu. Dan saat itulah saya merasa mampu

menginterpretasikan pa ayang terjadi. Saya merasa akhirnya menemukan satu puzzle yang
hilang, dan kini pemahaman saya akan arsitektur menjadi puzzle yang lengkap.
Gajah mati meninggaalkan gading, penulis mati meninggalkan buku, arsitek mati
meninggalkan bangunan. Menjadi didingat dan dikenal adalah alas an kebanyakan dari kami
waktu ditanya saat mahasiswa baru alas an memilih arsitektur. Tidak ada yang salah. Sah dan
wajar saja. Bukankah sebuah kebanggaan, jika seorang owner atau pelanggan meminta kita
merancangkan rumahnya di atas tanah berukuran 8 x 10 Meter dengan konsep minimalis
meniru konsep rumah di drama korea Full House? Orang-orang yang lalu lalang di depan
rumah akan berdecak kagum, bertanya kepada siempunya rumah, siapakah arsiteknya. Iya,
memang sebuah kebanggaan, namun apakah si arsiteknya memahami, akibat ulahnya itu,
menyebabkan bertambah lagi penyebab kacaunya iklim yang terjadi? Mungkin di sini kalian
akan mengernyutkan kening. Yang menjadi arsitek mungkin akan marah. Tapi, mari kita tarik
nafas dulu, karena pandangan saya, bukanlah sembarang pandangan. Ada korelasi yang kuat

dari sebuah karya arsitektur dengan perubahan iklim yang terjadi yang memicu anomaly
iklim yang ektrim akhir-akhir ini. Bahkan Prof Susan Roaf dalam buku terbarunya Adapting
Buildings and Cities for Climate Change, mengutip pernyataan Sir David King, Kepala
Penasihat Perdana Menteri Inggris bidang Sains mengatakan bahwa Climate change is now a
greater threat to humanity than terrorism. Perubahan iklim (akibat pemanasan Bumi) jauh
lebih berbahaya daripada terorisme.
Climate Change
Climate change atau perubahan iklim bukanlah kata-kata baru beberapa tahun belakangan ini.
Kata ini cukup popular, dan sering disandingkan dengan kata GRK (gas rumah kaca atau
GHG green houses gases), global warming, intruisi air laut, anomaly cuaca, hingga
gelombang la nina dan el nino. Bahkan saking seksinya, masalah climate change menjadi
prioritas untuk beasiswa-beasiswa favorit ke luar negeri. Lalu apa sebenarnya climate change
itu? Mengapa frase itu menjadi begitu disorotnya.

Menurut United Nations Framework Convention on Climate Change, Perubahan iklim
menunjuk pada adanya perubahan pada iklim yang disebabkan secara langsung maupun tidak
langsung oleh kegiatan manusia yang mengubah komposisi atmosfer global dan juga
terhadap variabilitas iklim alami yang diamati selama periode waktu tertentu. Jadi, secara

struktur, lapisan bumi diselimuti oleh lapisan yang disebut GHG (green houses gases atau

yang biasa disebut GRK). Selubung GRK ini secara alami ada di bagian atmosfer, dan
memiliki fungsi vital terhadap pola iklim di bumi. Secara alami pun GRK ini bergungsi
menghalangi pantulan sinar matahari di bumi dalam bentuk gelombang inframerah untuk
kembali ke angkasa, dan terperangkap di lapisan atmosfer. Akibat aktifitas manusia dalam hal
ini penggunaan emisi GRK (bahan bakar fosil), terlebih sejak dimulainya revolusi industry
(Konsentrasi CO2 meningkat 25 persen setelah Revolusi Industri. Pusat pemantauan cuaca
Amerika di Mauna Loa, Hawaii, memperlihatkan kenaikan CO2 18 persen dari tahun 1958
hingga 2002 dan menaikkan suhu dari 0,5 hingga 2 derajat Celsius), selubung GRK
mengalami penebalan yang cukup signifikan. Hal inilah yang memicu pemanasan global
(global warming) dan berafiliasi negative pada perubahan pola iklim bumi. Dan bukti
nyatanya dapat kita lihat sekarang, terjadi kekacauan iklim, meningkatnya permukaan air laut
akibat mencairnya beberapa gletser di antartika, intruisi air laut, banjir, taufan siklon hingga
gelombang besar, teerjadinya penyebaran penyakit yang tidak dapat diprediksi sebelumnya,
deforestasi dan hujan asam hingga kekeringan. Dan semua itu membahayakan kehidupan di
bumi, jadi sangat wajar jika kemudia isu ini menjadi prioritas dan seksi di semua lini ilmu
pengetahuan.
Arsitektur dan energy

Gambar 1 di atas adalah proyeksi emisi CO2 berdasarkan beberapa sector di Indonesia. Dan
ternyata table di atas memperlihatakan kecendrungan peningkatan emisi CO2 pada barangbarang elektrikal, industry dan transportasi di masa dating. Sedangkan gambar kedua

memperlihatkan Perkiraan penggunaan energi yang terus meningkat dalam skala nasional.
Sejalan dengan itu berdasarkan data dari IPCC, Fourth Assessment Report on Climate
Change 2007, menunjukkan bahwa saat ini bangunan gedung menggunakan 40% dari total
energi global, 12 % dari total persediaan air bersih, dan menghasilkan 40% dari total emisi
greenhouse gas (GHG), Sehingga diprediksi untuk tahun 2030 nanti, sekitar 1/3 dari total
emisi CO2 berasal dari bangunan gedung, dan penyumbang terbesar adalah negara-negara
berkembang dari Asia.
Emisi GRK terdiri atas beberapa unsur, dan secara umum sumber-sumber dari emisi GRK ini
bersumber dari bahan bakar fosil. Sumber-sumber itu terdiri atas CO2 (yang merupakan emisi
GRK terbesar dan bersumber dari proses pembakaran energy fosil menjadi listrik), CH4
(emisi kotoran hewan), CFC, N2O, PFCs dan HFCs. Kemudian dikomparasikan dengan data
di atas, dapat dilihat efek domino yang ditimbulkan dari sebuah gedung jika dirancang tidak
mengindahkan lingkungan. Sebagai contoh, dalam desain sebuah bangunan, karena alas an
suhu udara ekstrem saat musim dingin, negara maju menggunakan energi untuk pemanas
ruang. Namun di sisi lain. Di Jakrta misalnya, dengan suhu udara tidak ekstrem, masih berada
di sekitar ambang kenyamanan, lebih dari 90 persen bangunan kantor di Jakarta bergantung
pada AC yang konsumtif terhadap energi dan melepaskan jutaan ton CO2. Terlalu banyak
energi dibuang untuk pendingin ruangan yang semestinya tidak perlu jika arsitek menguasai
perancangan bangunan hemat energi sesuai dengan iklim setempat. Di Indonesia, sebagai
Negara tropis kaya akan sinar matahari, air dan angin. Adalah sebuah kegagalan dalam

desain, jika seorang arsitek merancang sebuah bangunan yang dalam system pencahayaannya
tidak mampu memaksimalkan pencahayaan alami, begitu pun memaksimalkan pengahwaan
alami lewat cross ventilation. Faktanya, banyak bangunan mulai dari rumah hingga bangunan

komersial menggunakan pencahayaan buatan padahal matahari bersinar dengan terangnya.
Hal ini saja, cukup memicu tingginya konsumsi energy listrik di sector bangunan
Arsitektur dan Lingkungan
Kecendrungan mengikuti trend terkadang menajadi simalakam bagi arsitektur. Bagi sang
arsitek dibutuhkan pemahaman yang komprehensif dalam menjelaskan kepada owner tentang
sebuah konsep. Seperti kecendrungan beberapa tahun belakang ini akan konsep minimalis,
bukanlah hal yang haram untuk dilakukan. Hanya saja, butuh adaptasi konsep itu dengan
iklim tropis, karena konsep ini lahir di daerah beriklim empat musim. Penggunaan fasade
kaca, selain sebagai unsure estetika, dari segi fungsi, diadakan untuk memanaskan bangunan
mereka. Sebaliknya jika di bawa ke Indonesia, harus disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Pada dasarnya, menggunakan material local dan konsep arsitektur vernacular (tradisional)
secara historis telah terbukti survive di iklim tropis dan kini terbukti sangat pro terhadap
lingkungan, sehingga adalah keniscayaan jika mampu menerapkan konsep itu. Namun sekali
lagi mengadopsi konsep lain, tetap dapat dilakukan sepanjang disesuaiakan dengan iklim
yang ada. Dalam masalah RTH atau Koefisien Dasar Bangunan/Building Coverage Ratio
(KDB/BCR) dan Koefisien Dasar Hijau (KDH) yang seharusnya bcrkisar 40-70% ruang

terbangun berbanding 30-60% untuk ruang terbuka yang bisa dimanfaatkan ruang hijau untuk
bernafas dan menyerap air kini sudah mulai ditinggalkan. Fenomena membangun 100% lahan
tanah tanpa menyisahkan sedikit pun ruang untuk tanah bernafas dan bercengkrama dengan
air banyak kita saksikan. Jikapun terdapat pekarangan, pekarangan yang ada, jika bukan
dibeton maka dilapisi keramik. Jadinya saat siang si empunya rumah akan merasa kepanasan,
karena panas matahri dipantulkan oleh tutupan di tanah, beda halnya jika tanah tetap
dibiarkan terbuka atau ditutupi dengan kerikil/koral atau rumput, niscaya cahaya matahari
yang jatuh sebagaian akan diserap ke bumi, sebagian lagi akan dipantulkan dan suhunya akan
tereduksi oleh rumput yang ada. Keberadaan RTH (baik itu dalam skala local rumah hingga
skala kota) bukan hanya karena aturan, tapi juga menyangkut masalah keberlangsungan air
dan siklus hidrology.
Perubahan iklim yang terjadi telah menyebabkan mencairnya gletser di Greenland dan
Antartika akibat pemanasan global. Dampaknya, permukaan air laut menjadi naik, yang
menyebabkan terjadinya intruisi air laut. Secara teknis masalah ini dapat menjadi anacaman
serius bagi bangunan juga manusia. Saat kurangnya bukaan pada suatu tempat, hal itu makin
memperparah keadaan dari air tanah yang merupakan pengisi tanah. Adanya tutupan yang
bersifat massif di tanah (beton, semen plesteran hingga keramik) menghalangi kembalinya air
hujan ke tanah sesuai siklus hidrologinya, dan lagi-lagi, pemahaman konfrehensif seorang
arsitek menjadi taruhannya dalam hal ini, mengapa membangun tanpa memperhatikan RTH.
Mengapa mendesain tanpa memperhatikan lingkungan?

Green Arsitektur, sebuah adaptasi dalam ranah arsitektur akan mitigasi perubahan iklim

Gambar. Salah satu rumah hemat energi karya Yu Sing
Geliat go green yang kini marak didengungkan juga mengahmpiri dunia arsitektur. Sebuah
genre yng merupakan jawaban arsitektur akan kepeduliannya terhadap lingkungan
bermunculan. Dari green architecture, eco architecture, hingga dalam skala kecil beruapa
rumah hemat energy. Semuanya bermuara dari permasalahan yang sama, kepedulian akan
lingkungan dan nasib bumi.
Pada dasarnya ada dua hal yang dapat dilakukan manusia menghadapi perubahan iklim. Yang
pertama adalah adaptasi terhadap perubahan iklim, yaitu bagaimana manusia menyesuaikan
diri terhadap perubahan iklim yang terjadi. Yang kedua adalah mitigasi perubahan iklim,
dengan cara pengurangan emisi penyebab perubahan iklim, dalam hal ini menstabilkan GRK
yang berada di lapisan atmosfer. Untuk itu, salah satu bentuk konsep yang dikembangkan
arsitektur adalah konsep yang pro lingkungan.

Gambar. Proses reduksi panas ke bangunan lewat penerapan konsep green architecture
Green architecture adalah praktek mendisain, konstruksi dan pengoperasian bangunan
berdasarkan prinsip ekologi dan penggunaan material yang efisien. Konsep ini difokuskan
pada promosi dan praktek dari pengembangan site yang berkelanjutan, penggunaan energy


dan air yang efisien, pengembangan kualitas dalam ruangan (pencahayaan dan penghawaan),
dan penggunaan material yang pro lingkungan dan berkelanjutan.

Gambar. Rumah menggunakan solar sel

Gambar. Aplikasi green roof

Aplikasi roof garden Sumber:Green Roof Specifications and Standards

Gambar. Green Wall Sumber:Dictionary Of Eco Design (Ken Yeang &Lilian Woo)
Dalam tataran aplikasi, konsep ini menggunakan clean technology (teknologi ramah
lingkungan) berupa penerapan sel surya pada selubung bangunan (atap, dinding, kolom),
sebagai media sumber energy surya (energy terbarukan yang menggantikan energy fosil).
Kendalanya terletak pada mahalnya panel sel surya ini, sehingga dalam aplikasinya akan
sangat terbatas. Konsep ini juga menggunakan rekayasa bentuk, massa bangunan, tapak dan
denah dalam emaksimalkan pengkondisian udara dalam ruangan yang nyaman dengan

pencahayaan alami (yang digunakan adalah cahaya pantulan guna mengurangi panasnya),
dan ventilasi silang (penghawaan alami). Selain itu dalam tataran material, digunakan
material local yang pro lingkungan dan berkelanjutan. Untuk memaksimalkan penghawaan

dalam ruangan, pengaturan tapak dilakukan, juga aplikasi dari green roof (sistem atap yang
permukaannya ditutupi oleh rumput atau jenis vegetasi lainnya. fungsinya untuk konservasi
energi) dan roof garden (sistem atap yang digunakan sbg taman di atap, bedanya tanamannya
menggunakan wadah seperti pot, juga dpt dilengkapi dgn fasiliatas taman lainnya (gazebo, air
mancur))serta green wall (aplikasi vegetasi secara horizontal pada selubung bangunan
/dinding, media tanaman yang digunakan adalah tanaman hidroponik. fungsinya untuk
konservasi energi juga pereduksi suara)
Akhirnya
Menjadi arsitek sama halnya dengan profesi lainnya, adalah pilihan. Begitu pun menjadi
arsitek yang peduli akan lingkungan, atau hanya mengejar kepentingan karya dan nilai tanpa
peduli akan lingkungan.
NB.
Tulisan ini diambil dari tulisan penulis sendiri di media bloger