ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG MENGAKIBATKAN MATINYA ORANG

(1)

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG

MENGAKIBATKAN MATINYA ORANG DILAKUKAN OLEH ANAK

(Studi Putusan Nomor: 05/Pid/2014/PT.TK.)

Oleh

Andrian Rizki Pratama

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2016


(2)

Halaman

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E.Sistematika Penulisan ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Penegakan Hukum Pidana ... 15

B.Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 19

C.Pengertian Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan ... 24

D.Pengertian Anak ... 31

E.Teori Faktor–faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana ... 32

F. Teori Pemidanaan ... 35

III. METODE PENELITIAN A.Pendekatan Masalah ... 37

B.Sumber dan Jenis Data ... 38

C.Penentuan Narasumber ... 40

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 40


(3)

A. Gambaran Umum Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung

Karang Nomor: 05/Pid/2014/PT.TK tentang Tindak Pidana Pencurian

dengan Kekerasan yang Mengakibatkan Matinya Orang ... 43 B.Penegakan Hukum Pidana terhadap anak pelaku Pencurian Dengan

Kekerasan yang Mengakibatkan Matinya Orang (Studi Putusan

Nomor 05/Pid/2014/PT.TK) ... 47 C. Faktor Penghambat Penegakan Hukum Pidana terhadap anak pelaku

Pencurian dengan Kekerasan yang Mengakibatkan

Matinya Orang ... 64

V PENUTUP

A. Simpulan ... 78 B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA


(4)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan masyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk kemajuan teknologi, dan industrialisasi memunculkan banyak masalah sosial. Usaha adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern sangat kompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi menyebabkan banyak kebingungan, dan konflik, baik konflik eksternal yang terbuka, maupun yang internal dalam batin sendiri yang tersembunyi dan tertutup sifatnya. Sebagai dampaknya orang lalu mengembangkan pola tingkah-laku menyimpang dari norma-norma umum, dengan jalan berbuat semau sendiri demi keuntungan sendiri dan kepentingan pribadi, kemudian mengganggu dan merugikan pihak lain.

Pengaruh budaya di luar sistem masyarakat sangat mempengaruhi perilaku anggota masyarakat itu sendiri, terutama anak-anak, lingkungan, khususnya lingkungan sosial, mempunyai peranan yang sangat besar terhadap pembentukan perilaku anak-anak, termasuk perilaku jahat yang dilakukan oleh anak-anak. Beberapa waktu terakhir ini, kerap kali terjadi tindak pidana di masyarakat. Dari berbagai media massa, baik elektronik maupun cetak, kita selalu mendengar dan mengetahui adanya tindak pidana yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Pelaku tindak pidana atau pelaku perilaku jahat di masyarakat tidak hanya


(5)

dilakukan oleh anggota masyarakat yang sudah dewasa, tetapi juga dilakukan oleh anggota masyarakat yang masih anak-anak atau yang biasa kita sebut sebagai perilaku jahat anak.

Tindak pidana yang dilakukan oleh anak dalam dasawarsa lalu, belum menjadi masalah yang terlalu serius untuk dipikirkan, baik oleh pemerintah, ahli kriminologi, penegak hukum, praktisi sosial maupun masyarakat umumnya. Ketentuan tindak pidana yang dilakukan anak atau disebut delikuensi anak diartikan sebagai bentuk tindak pidana yang dilakukan anak dalam titel-titel khusus dari bagian KUHP dan atau tata peraturan perundang-undangan. Spesifikasi delikuensi anak menjadi masalah sosial dan sekaligus hukum yang telah ada dan tumbuh bersama perkembangan dan peradaban masyarakat agama, sosial, dan hukum. Di Indonesia masalah delikuensi anak belum begitu banyak disoroti oleh sistem peradilan dan penegakan hukum pada masyarakat. Perilaku jahat anak merupakan gejala sakit (pathologis) secara sosial pada anak-anak yang disebabkan oleh salah satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah-laku yang menyimpang. Pengaruh sosial dan kultural memainkan peranan yang besar dalam pembentukan atau pengkondisian tingkah-laku kriminal anak-anak. Perilaku anak-anak ini menunjukkan tanda-tanda kurang atau tidak adanya konformitas terhadap norma-norma sosial.1

Pengaturan mengenai anak pertama kali hanya diatur dalam Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47 KUHP. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan demikian dinyatakan tidak berlaku lagi oleh

1


(6)

Pasal 67 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, yang isinya menyatakan: “Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi”. Oleh karena itu, ketentuan yang mengatur tentang anak yang melakukan tindak pidana harus mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Pengertian anak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak, yaitu : “ Anak adalah orang yang dalam perkara anak

nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18

(delapan belas) tahun, dan belum pernah kawin”.2

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terbaru, Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas), tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Akhir-akhir ini fenomena yang terjadi di masyarakat menunjukkan tindak pidana yang dilakukan oleh anak seringkali terjadi sebagaimana diberitakan baik dalam media cetak maupun media elektronik tentang berbagai peristiwa tindak pidana yang pelakunya adalah anak-anak.

Sebagai contoh kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak yaitu yang terjadi di Kotabumi, anak yang melakukan pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang pada tahun 2014 di Desa Padang Ratu Kecamatan Sungkai Utara Kabupaten Lampung Utara. Kasus ini bermula ketika Terdakwa nonton orgen tunggal bersama korban serta teman-teman lainnya, kemudian

2

Tri Andrisman, Hukum Peradilan Anak, Bandar Lampung: Fakultas Hukum Unila, 2013, hlm.


(7)

terdakwa minta diantarkan oleh korban ke dekat lokasi Koramil yang tidak jauh dari tempat nonton tersebut dengan menggunakan motor milik korban jenis Honda Absolute REVO warna hitam Nopol BE 8022 QE, diawal perjalanan semula yang membawa motor adalah terdakwa sedangkan korban pada posisi dibonceng.

Sebelum sampai ditujuan tepatnya di Desa Padang Ratu Kecamatan Sungkai Utara Kabupaten Lampung Utara terdakwa menghentikan laju motor karena disana ada rumah bibi terdakwa yang bernama Sinar, kemudian terdakwa turun dari motor sedangkan korban masih tetap di atas motor, terdakwa lalu masuk ke rumah bibinya untuk meminjam sebuah golok dan kemudian mengasahnya sebentar lalu terdakwa keluar rumah dan mengajak korban pergi lagi dengan menyuruh korban untuk membawa motor dan terdakwa berganti posisi dengan dibonceng oleh korban. Ketika di perjalanan terjadi percekcokan antara terdakwa dan korban sesaat, setelah itu terdakwa mengeluarkan golok yang telah diselipkan terdakwa dipinggangnya kemudian langsung membacokkannya ke arah kepala korban dan korban pun terjatuh dari motor kemudian korban pun masih sempat untuk berusaha berlari namun terdakwa kembali membacokkan goloknya berkali-kali ke arah tangan dan tubuh korban sampai korban benar-benar terjatuh dan terakhir terdakwa membacokkan goloknya ke arah leher korban hingga tewas.3

Atas Perbuatannya tersebut Terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah karena melanggar Pasal 365 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, melakukan tindak pidana Pencurian dengan kekerasan mengakibatkan mati orang dan Menjatuhkan tindakan terhadap terdakwa berupa

3


(8)

menyerahkan terdakwa tersebut kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan pelatihan pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Kotabumi dengan Putusan No. 400/Pid.B/Anak/2013/PN.KB dan pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dengan putusan No.05/Pid/2014/PT.TK menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun.

Berdasarakan putusan pengadilan di atas terlihat bahwa terdakwa dikenakan Pasal 365 ayat (3) Kitab Undang Hukum Pidana, dan diterapkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Putusan pidana penjara selama 6 (enam) tahun tersebut masih dirasakan tergolong berat, pelaku juga dikategorikan sebagai anak yang masih berumur 15 (lima belas) tahun dan baru pertama kali melakukan tindak pidana tersebut yang diharapkan akan memperbaiki dirinya dan berguna bagi masyarakat. Sementara belum diterapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Terbaru dalam putusan perkara anak ini.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang (Studi Putusan Nomor: 05/Pid/2014/PT.TK.)


(9)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang ?

b. Apakah faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang ?

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan permasalahan diatas perlu diingat ruang lingkup penelitian penulis ini meliputi Substansi ilmu Hukum Pidana, dengan objek penelitian terkait penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang (Studi Putusan Nomor 05/Pid/2014/PT.TK.). dengan lokasi penelitian dipilih di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Tanjung Karang. Sedangkan data tahun penelitian ditentukan tahun 2015.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah diatas maka tujuan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang.


(10)

b. Untuk mengetahui dan memahami faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang.

2. KegunaanPenelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis :

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan hukum khususnya di dalam Hukum Pidana, dalam rangka memberikan penjelasan mengenai penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang dan faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang.

b. Kegunaan Praktis

Kegunaan secara praktis adalah hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat kepada rekan-rekan mahasiswa, para aparat penegak hukum kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat serta masyarakat umum yang mengkaji terkait penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang.


(11)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Setiap penelitian akan ada kerangka teoritis yang menjadi acuan dan bertujuan untuk mengidentifikasi terhadap dimensi sosial yang relevan oleh peneliti.4 Kerangka teoritis merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi acuan, landasan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.5

a. Teori Penegakan Hukum Pidana

Pengertian penegakan hukum adalah:

1. Keseluruhan rangkaian kegiatan penyelenggara/pemeliharaan keseimbangan hak dan kewajiban warga masyarakat sesuai harkat dan martabat manusia serta pertanggungjawaban masing-masing sesuai dengan fungsinya secara adil dan merata dengan aturan hukum, peraturan hukum dan perundang-undangan yang merupakan perwujudan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Keseluruhan kegiatan dari para aparat/pelaksana penegak hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketenteraman dan kepastian hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.6

4

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986, hlm.125.

5

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004,

hlm. 73.

6

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam


(12)

Penegakan hukum pidana apabila dilihat sebagai bagian dari mekanisme penegakan hukum (pidana), maka “pemidanaan” yang biasa juga diartikan

“pemberian pidana” tidak lain merupakan suatu proses kebijakan yang sengaja direncanakan.Artinya pemberian pidana itu untuk benar-benar dapat terwujud direncanakan melalui beberapa tahap yaitu:

1. Tahap Formulsai yaitu tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang; 2. Tahap Aplikasi yaitu pemberian pidana oleh badan yang berwenang; dan

3. Tahap Eksekusi yaitu pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.

Tahap pertama sering juga disebut tahap pemberian pidana “in abstracto”,

sedangkan tahap kedua dan ketiga disebut tahap pemberian pidana“in Concreto”.

Dilihat dari suatu proses mekanisme penegakan hukum pidana, maka ketiga tahapan itu diharapkan merupakan satu jalinan mata rantai yang saling berkaitan dalam satu kebulatan sistem.7

b. Teori Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana

Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak pernah henti-hentinya dibicarakan. Perkataan penegakan hukum mempunyai konotasi menegakkan, melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat, sehingga dalam konteks yang lebih luas penegakan hukum merupakan kelangsungan perwujudan konsep-konsep abstrak yang menjadi kenyataan. Pada proses tersebut hukum tidak mandiri, artinya ada faktor-faktor lain yang erat hubungannya dengan proses penegakan hukum yang harus diikutsertakan, yaitu

7


(13)

masyarakat dan aparat penegak hukum. Untuk itu hukum tidak lebih hanya ide-ide atau konsep-konsep yang mencerminkan didalamnya apa yang disebut keadilan, ketertiban dan kepastian hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencapai tujuan tertentu. Namun demikian tidak berarti pula peraturan-peraturan hukum yang berlaku diartikan telah lengkap dan sempurna melainkan suatu kerangka yang masih memerlukan penyempurnaan. Proses merealisasikan tujuan hukum tersebut, sangat ditentukan dari profesionalisme aparat penegak hukum yang meliputi kemampuan dan keterampilan baik dalam menjabarkan peraturan-peraturan maupun di dalam penerapannya.

Faktor penghambat dan faktor pendukung dalam upaya penanggulangan tindak pidana, maka teori yang digunakan adalah teori yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum sebagaimana yang dikemukakan di atas oleh Soerjono Soekanto yang pada hakekatnya sama meliputi:8

1. Faktor hukumnya itu sendiri.

2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hokum tersebut berlaku atau ditetapkan

5. Faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

8

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, cetakan ke-11,


(14)

Kelima faktor ini saling berkaitan satu dengan yang lain sebagai esensi dari penegakan hukum dan tolok ukur efektivitas penegakan hukum, yang dijelaskan di depan.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian. Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang mempunyai arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti atau diketahui.9

Berdasarkan definisi tersebut, maka konseptualisasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Penegakan Hukum Pidana adalah

Penegakan hukum pidana apabila dilihat sebagai bagian dari mekanisme penegakan hukum (pidana), maka “pemidanaan” yang biasa juga diartikan

“pemberian pidana” tidak lain merupakan suatu proses kebijakan yang sengaja direncanakan.Artinya pemberian pidana itu untuk benar-benar dapat terwujud direncanakan melalui beberapa tahap yaitu:

1. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang; 2. Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang; dan

3. Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.10 b. Pelaku adalah

Pelaku adalah sebagaimana telah dirumuskan dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP, yaitu mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, yang turut serta

9

Soerjono Soekanto, 1986, Op.Cit., hlm.132.

10


(15)

melakukan, dan mereka yang sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.11

c. Tindak Pidana adalah

Tindak pidana adalah sebagai aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa Pidana.12

d. Pencurian dengan mengakibatkan mati orang, Pasal 365 ayat 3 disebutkan jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.13

e. Anak adalah

Anak menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa “Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”14

f. Putusan pengadilan adalah

Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka 11 KUHAP).

11

R.Soesilo, Op Cit., hlm. 72.

12

Sudarto, 1990, Hukum Pidana, Purwokerto, Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman,hlm. 23.

13

R soesilo, Op. Cit., hlm. 254.

14

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum catatan pembahasan Undang-Undang Sistem


(16)

E. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan pendekatan pemikiran mengenai hal-hal apa saja yang menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini penulisan menyusun terdiri dari 5 (lima) BAB, yaitu:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini berisikan tentang pengertian-pengertian dari istilah sebagai latar belakang pembuktian masalah dan dasar hukum dalam membahas hasil penelitian yang terdiri antara lain penegakan hukum, pidana, pengertian anak, teori pemidanaan, teori faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana dan tindak pidana pencurian dengan kekerasan.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini merupakan metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yang berisi pendekatan masalah , sumber dan jenis data, penentuan narasumber, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, dan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan hasil penelitian dan pembahasan yang disertai dengan penerapan kerangka teori dan dasar hukum. Uraiannya membahas jawaban permasalahan yang ada. Oleh karena itu, bab ini berisi penegakan hukum pidana


(17)

terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang dilakukan oleh anak dan faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang dilakukan oleh anak

V. PENUTUP

Bab ini merupakan penutup dari penulisan skripsi yang berisikan simpulan hasil pembahasan dari penelitian dan saran dari peneliti sehubungan dengan masalah yang dibahas.


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum merupakan upaya aparat yang dilakukan untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan dan keserasian antara moralisasi sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradap. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana.1

Secara umum dilihat dari segi fungsional, pengoperasian, dan penegakan sanksi pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan agar benar-benar dapat terwujud harus melalui beberapa tahap, yaitu:

1. Tahap Formulasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yangsesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk perundang-

1

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan

Hukum dalam Batas-batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994,


(19)

undangan untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif.

2. Tahap Aplikasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian hingga Pengadilan. Aparat penegak hukum bertugas menegakan serta menerapkan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegangan teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat disebut sebagai tahap yudikatif.

3. Tahap Eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakan peraturan perundang-undangan pidana yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang- undangan pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna.

Ketiga tahap kebijakan penegakan hukum pidana tersebut terkandung tiga kekuasaan atau kewenangan yaitu, kekuasaan legislatif pada tahap formulasi, yaitu kekuasaan legislatif dalam menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat apa yang dapat dikenakan. Pada tahap ini kebijakan legislatif ditetapkan system pemidanaan, pada hakekatnya


(20)

merupakan sistem kewenangan atau kekuasaan menjatuhkan pidana. Yang kedua adalah kekuasaan yudikatif pada tahap aplikasi dalam menerapkan hukum pidana, dan kekuasaan eksekutif pada tahap eksekusi dalam hal melaksanakan hukum pidana.2

Berdasarkan paparan diatas bahwa penegakan hukum pidana merupakan suatu upaya yang diterapkan guna mencapai tujuan dari hukum itu sendiri. Tujuan pembentukan hukum tidak terlepas dari politik hukum pidana yang terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. Tahap formulasi mengandung arti pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Setelah terbentuknya suatu perundang-undangan yang baik maka akan masuk ke dalam tahap aplikasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakan serta menerapkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna.3

Setelah itu tahap terakhir yaitu, tahap eksekusi artinya penegakan (pelaksanaan) hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat pelaksana pidana bertugas menegakan peraturan perundang-undangan

2

Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum

Pidana, PT. Citra Adtya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 30.

3


(21)

pidana yang telah dibuat pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan.

Faktor/komponen penegakan hukum pidana dalam hal ini dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Faktor Penegak Hukum

Faktor yang menunjukan pada adanya kelembagaan yang mempunyai fungsi-fungsi tersendiri dan bergerak di dalam suatu mekanisme. Adapun faktor-faktor penegak hukum meliputi:

a. Badan pembentuk undang-undang atau lembaga Legislatif.

b. Aparat penegak hukum dalam arti sempit, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Penasihat Hukum, dan Pengadilan.

c. Aparat pelaksana pidana.

2. Faktor Nilai

Faktor nilai merupakan sumber dari segala aktifitas dalam penegakan hukum pidana. Jika nilainya baik, maka akan baik pula penegakan hukum pidana, demikian pula sebaliknya. Hal ini menunjukan betapa pentingnya kedudukan nilai dalam penegakan hukum pidana yang baik.4

3. Faktor Substansi Hukum

Faktor substansi hukum ini merupakan hasil aktual (output) yang sekaligus merupakan dasar bagi bekerjanya sistem hukum dalam kenyataan. Baik buruknya suatu substansi hukum tergantung kepada baik buruknya sikap para penegak hukum tergantung kepada baik buruknya nilai-nilai yang diterima dan dipahami

4Ibid,


(22)

oleh para penegak hukum. Dengan demikian, baik buruknya substansi hukum pada hakikatnya sangat ditentukan oleh baik buruknya nilai yang diterima dan dipahami oleh para penegak hukum.5

Penegakan hukum di Indonesia dilakukan secara preventif dan represif, yaitu : 1. Non Penal

Diadakan untuk mencegah agar tidak dilakukan pelanggaran hukum oleh masyarakat dan tugas ini pada umumnya diberikan pada badan eksekutif dan kepolisian.

2. Penal

Dilakukan apabila usaha preventif telah dilakukan tetapi masih juga terdapat pelanggaran hukum. Dalam hal ini, upaya yang dilakukan adalah secara represif oleh aparat penegak hukum yang diberi tugas yustisionil. Penegakan hukum represif pada tingkat operasional didukung dan melalui berbagai lembaga yang secara organisatoris terpisah satu dengan yang lainnya, namun tetap berada dalam kerangka penegakan hukum.6

B. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

1. Istilah Tindak Pidana

Pada dasarnya semua istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa

Belanda : „Strafbaar Feit’, sebagai berikut:7

5Ibid,

hlm.13-14.

6

Barda Nawawi Arif, Op.Cit., hlm.22.

7

Tri Andrisman, Hukum Pidana Asas- Asas Dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia,


(23)

a. Delik (delict). b. Peristiwa pidana. c. Perbuatan pidana.

d. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum. e. Hal yang diancam dengan hukum.

f. Perbuatan yang diancam dengan hukum

g. Tindak Pidana (Sudarto dan diikuti oleh pembentuk undang-undang sampai sekarang).

Tindak Pidana sebagai terjemahan dari “Strafbaar feit” merupakan perbuatan

yang dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan pidana.

2. Pengertian Tindak Pidana

Menurut Sudradjat Bassar, mempergunakan istilah “tindak pidana” sebagai istilah

yang paling tepat untuk menterjemahkan “strafbaar feit”, dengan mengemukakan alasan “istilah tersebut selain mengandung pengertian yang tepat dan jelas sebagai istilah hukum, juga sangat praktis diucapkan. Di samping itu pemerintah di dalam kebanyakan peraturan perundang-undangan memakai istilah tindak pidana, umpamanya di dalam peraturan-peraturan pidana khusus.8

Mengenai beberapa pengertian tindak pidana (strafbaar feit) beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda sebagai berikut :

a. Pompe

Memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu:

8


(24)

1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan kesejahteraan umum.

2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feityang oleh peraturan undang- undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Dapatlah disimpulkan pengertian tindak pidana menurut Pompe adalah sebagai berikut:

a) Suatu kelakuan yang bertentangan dengan (melawan hukum) (onrechtmatig atau wederrechtelijk);

b) Suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah (aan schuld

(van de overtreder) te wijten);

c) Suatu kelakuan yang dapat dihukum (stafbaar).9

b. Utrecht

Menurut Utrecht, pengertian tindak pidana yaitu meliputi perbuatan atau suatu melalaikan maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu) "peristiwa pidana" adalah akibat yang diatur oleh hukum.10

c. Vos

Menurut Vos peristiwa pidana, yaitu adalah suatu kelakuan. Dalam definisi Vos dapat dilihat anasir-anasir sebagai berikut:

1. Suatu kelakuan manusia;

2. Akibat anasir ini ialah hal peristiwa dan pembuat tidak dapat dipisahkan satu dengan lain;

9

Utrecht, Hukum Pidana, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986, hlm. 252.

10Ibid


(25)

3. Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 1 Ayat 1 KUHP) dilarang umum dan diancam dengan hukuman. Kelakuan yang bersangkutan harus dilarang dan diancam dengan hukuman, tidak semua kelakuan manusia yang melanggar ketertiban hukum adalah suatu peristiwa pidana.11

d. Wirjono Prodjodikoro

Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana dapat digolongkan 2 (dua) bagian, yaitu:12

1) Tindak pidana materiil.

Pengertian tindak pidana materil adalah apabila tindak pidana yang dimaksud dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa merumuskan wujud dari perbuatan itu.

2) Tindak pidana formil.

Pengertian tindak pidana formil yaitu apabila tindak pidana yang dimaksud, dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu.

3. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menurut Simons, seorang penganut aliran monistis dalam merumuskan pengertian tindak pidana, ia memberikan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:13

a. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);

b. Diancam dengan pidana; c. Melawan hukum;

d. Dilakukan dengan kesalahan;

11Ibid. 12

Wiryono Prodjodikoro, Tindakan-Tindakan pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Erosco,

hlm. 55-57.

13


(26)

5. Orang yang mampu bertanggungjawab.

Menurut aliran monistis, apabila ada orang yang melakukan tindak pidana, maka sudah dapat dipidana. Sedangkan menurut aliran dualistis, belum tentu karena harus dilihat dan dibuktikan dulu pelaku/orangnya itu, dapat dipidana atau tidak. Aliran dualistis dalam memberikan pengertian tindak pidana memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Sehingga berpengaruh dalam merumuskan unsur-unsur tindak pidana. Penganut pandangan/aliran dualistis adalah H.B vos, WPJ. Pompe, dan Moeljatno.14

Sudarto merumuskan unsur-unsur perbuatan pidana/tindak pidana sebagai berikut: 1. Perbuatan (manusia);

2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil); dan

3. Bersifat melawan hukum ( ini merupakan syarat materiil).15

Sedangkan untuk dapat dipidana, maka orang yang melakukan tindak pidana (yang memenuhi unsur-unsur tersebut diatas) harus dapat dipertanggungjawaban pidana ini melekat pada orang/pelaku tindak pidana, menurut Moeljatno unsur-unsur pertanggungjawaban pidana meliputi :

1. Kesalahan.

2. Kemampuan bertanggungjawaab. 3. Tidak ada alasan pemaaf.16

14

Tri Andrisman,Op. Cit., hlm. 72.

15

Sudarto, Op. Cit., hlm. 43.

16Ibid


(27)

C. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan

Pencurian (diefsal) diatur dalam BAB XXII dari Pasal 362 sampai dengan Pasal 367 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam tindak pidana pencurian terdapat unsur-unsur objektif dan subjektif. Berikut merupakan penjabaran unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 362-367 KUHP :

Pasal 362 KUHP :

Barang siapa yang mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau

pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.Pencurian dalam bentuk

pokok ini mengadung unsur objektif dan subjektif.

Pasal 363 KUHP :

“ (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun : ke-1 pencurian ternak;

ke-2 pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan banjir, gempabumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang;

ke-3 pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukanoleh orang yang adanya di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;

ke-4 pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; ke-5 pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak,


(28)

memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu. perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah satu tersebut ke-4 dan 5, maka dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 364 KUHP :

“Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal 363 ke-4, begitupun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 365 ke-5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, dikenai, karena pencurian ringan, pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah.”

Pasal 365 KUHP :

“Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya.”

(2) “ Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :

ke-1 jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;

Ke-2 ke-2 jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;


(29)

Ke-3 ke-3 jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu;

ke-4 jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

(3) (3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(4) (4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no.1 dan 3.

Pasal 366 KUHP :

“ Dalam pemidanaan karena salah satu perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362, Pasal 363 dan Pasal 365 dapat dijatuhkan pencabutan hak tersebut dalam Pasal 35 no 1-4.”

Pasal 367 KUHP :

Bunyi Pasal : (1) “ Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah suami (istri) dari orang yang terkena kejahatan, dan tidak terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu, tidak mungkin diadakan tuntutan pidana.

(2) “Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan, atau jika dia keluarga sedarah atau semenda, baik


(30)

dalam garis lurus, maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan, jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.

(3) “Jika menurut lembaga matriarkhal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain dari pada bapak kandungnya, maka aturan tersebut ayat di atas berlaku juga bagi orang itu.

Unsur-unsur yang terdapat pada pasal-pasal tersebut antara lain : a. Unsur Objektif

1. Unsur Perbuatan Mengambil (wegnemen)

Adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukkan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formil. Mengambil adalah suatu tingkah laku positif/perbuatan materiil, yang dilakukan dengan gerakan - gerakan otot yang disengaja yang pada umumnya dengan menggunakan jari - jari dan tangan yang kemudian diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya, memegangnya, dan mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ke tempat lain atau ke dalam kekuasaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaannya secara nyata dan mutlak (Lamintang, 1979:79-80).

Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu pencurian secara sempurna.Sebagai ternyata dari


(31)

"perbuatan mengambil telah selesai, jika benda berada pada pelaku, sekalipun ia kemudian melepaskannya karena diketahui".

2. Unsur Benda

Pada mulanya benda - benda yang menjadi objek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan Pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda - benda bergerak (roerend goed). Benda - benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak, misalnya sebatang pohon yang telah ditebang atau daun pintu rumah yang telah terlepas/dilepas.

Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan mengambil. Benda yang kekuasaannya dapat dipindahkan secara mutlak dan nyata adalah terhadap benda yang bergerak dan berwujud saja. Benda bergerak adalah setiap benda yang menurut sifatnya dapat berpindah sendiri atau dapat dipindahkan (Pasal 509 KUHPerdata). Sedangkan benda yang tidak bergerak adalah benda - benda yang karena sifatnya tidak dapat berpindah atau dipindahkan, suatu pengertian lawan dari benda bergerak.

3. Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain

Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain , cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik petindak itu sendiri. Seperti sebuah sepeda milik A dan B, yang kemudian A mengambilnya dari kekuasaan B lalu menjualnya. Akan tetapi bila semula sepeda tersebut telah berada dalam kekuasaannya kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang terjadi melainkan penggelapan (Pasal 372). Siapakah yang diartikan dengan orang lain dalam unsur


(32)

sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Orang lain ini harus diartikan sebagai bukan si petindak. Dengan demikian maka pencurian dapat pula terjadi terhadap benda - benda milik suatu badan misalnya milik negara.Jadi benda yang dapat menjadi objek pencurian ini haruslah benda - benda yang ada pemiliknya. Benda - benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian.

b. Unsur Subjektif

1. Maksud Untuk Memiliki

Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni pertama unsur maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memiliki.Dua unsur itu dapat dibedakan dan tidak terpisahkan. Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya. Dari gabungan dua unsur itulah yang menunjukkan bahwa dalam tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mensyaratkan beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan petindak, dengan alasan, pertama tidak dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang melanggar hukum, dan kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya (subjektif) saja. Sebagai suatu unsur subjektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan sebagai barang miliknya. Apabila dihubung kan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan per buatan mengambil dalam diri petindak sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya.

2. Melawan hukum


(33)

pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain (dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum. Berhubung dengan alasan inilah, maka unsur melawan hukum dalam pencurian digolongkan ke dalam unsur melawan hukum subjektif.

BAB XIX Kejahatan Terhadap Nyawa

Pasal 338 :

Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 339 :

Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Pasal 340 :

Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.


(34)

D. Pengertian Anak

Pengertian anak dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa, orang yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur atau kerap juga disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali.17 Berdasarkan Undang-Undang Pengadilan Anak. Anak dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 tercantum dalam Pasal 1 Ayat (2) yang berbunyi: “ Anak adalah orang

dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 Ayat (3) menyebutkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Walaupun begitu istilah ini juga sering merujuk pada perkembangan mental seseorang, walaupun usianya secara biologis dan kronologi seseorang telah sudah termasuk dewasa namun apabila perkembangan mentalnya ataukah urutan umurnya maka seseorang dapat saja diasosiasikan dengan istilah anak. Pengaturan batas usia anak dalam beberapa ketentuan perundang-undangan, antara lain sebagai berikut:18

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), KUHP tidak memberikan rumusan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi pembatasan usia anak dapat dijumpai antara lain pada Pasal 45 dan Pasal 72 yang memakai batasan usia 16 tahun.

17

LiLik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia( Teori Praktek dan permasalahannya), Bandung:

CV. Mandar Maju, 2005, hlm. 3-4.

18


(35)

2. KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), tidak secara eksplisit mengatur batas usia pengertian anak, namun dalam Pasal 153 Ayat (5) memberi wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17 tahun untuk mengahdiri sidang.

3. Menurut Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

E. Teori Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang menghambat antara lain :19

1. Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum.

Maka pada hakekatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencangkup law enforcement saja, akan tetapi jua peace maintenance, karena penyelengaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai dan kaidah-kaidah serta pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.

19


(36)

Demikian tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan oleh hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara ketentuan untuk menerapkan peraturan dengan perilaku yang mendukung.

2. Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat serta harus diaktualisasikan.

3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranannya sebagaimana mestinya.

4. Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum. Sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak


(37)

hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.

Adanya kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum, menurut Baharudin Lopa seseorang baru dapat dikatakan mempunyai kesadaran hukum, apabila memenuhi hukum karena keikhlasannya, karena merasakan bahwa hukum itu berguna dan mengayominya. Dengan kata lain, hukum dipatuhi karena merasakan bahwa hukum itu berasal dari hati nurani.

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegak hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya. Sebaliknya, apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum tersebut.


(38)

E. Teori Pemidanaan

Teori-teori pemidanaan pada dasarnya merupakan perumusan dasar-dasar pembenaran dan tujuan pidana. Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam tiga kelompok teori, yaitu :

1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Penganut dari teori ini ialah Immanuel Kant dan Leo Polak. Teori ini mengatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana dan yang membenarkan pidana dijatuhkan. Kant mengatakan bahwa konsekuensi tersebut adalah suatu akibat logis yang menyusul tiap kejahatan. Menurut rasio praktis, maka tiap kejahatan harus disusul oleh suatu pidana. Oleh karena menjatuhkan pidana itu sesuatu yang menurut rasio praktis,dengan sendirinya menyusul suatu kejahatan yang terlebih dahulu dilakukan, maka menjatuhkan pidana tersebut adalah sesuatu yang dituntut oleh keadilan etis.20 Menjatuhkan pidana itu suatu syarat etika, sehingga teori Kant menggambarkan pidana sebagai suatu pembalasan subjektif belaka.

2. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Menurut teori ini, maka dasar pemidanaan adalah pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu, tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari pemidanaan ialah prevensi umum dan prevensi khusus.

20

Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana


(39)

3. Teori Gabungan ini dibagi dalam tiga golongan, yaitu :

a. Teori gabungan yang menitikberatkan pembalasan, tetapi membalas tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat. Pendukung teori ini adalah Pompe. b. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat daripada suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Menurut pendukung teori ini, Thomas Aquino, yang menjadi dasar pidana itu ialah kesejahteraan umum.

c. Teori gabungan yang menganggap kedua asas tersebut harus dititikberatkan sama. Penganutnya adalah De Pinto. Selanjutnya oleh Vos diterangkan, karena pada umumnya suatu pidana harus memuaskan masyarakat maka hukum pidana harus disusun sedemikian rupa sebagai suatu hukum pidana yang adil, dengan ide pembalasannya yang tidak mungkin diabaikan baik secara negatif maupun secara positif.21

21Ibid


(40)

III. METODE PENELITIAN

Metode artinya cara melakukan sesuatu dengan teratur (sistematis). Metode penelitian merupakan suatu cara yang digunakan dalam mengumpulkan data penelitian dan membandingkan dengan standar ukuran yang telah ditentukan.1

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara mempelajari teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah. Pendekatan normatif atau pendekatan kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.2

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang digunakan untuk memperoleh data primer yang digunakan dengan wawancara dengan narasumber yaitu petugas

1

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta,

2002, hlm. 126.

2

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo


(41)

yang berwenang dengan masalah yang akan diteliti untuk mendapatkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan atau lokasi penelitian.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dilihat dari sudut sumbernya, dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan dari bahan kepustakaan.3

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data Primer

Data primer adalah Data primer adalah data yang didapat secara langsung dari sumber pertama.4 Dengan demikian data primer yang diperoleh langsung dari obyek penelitian di lapangan yang tentunya berkaitan dengan pokok penelitian. Penulis akan mengakaji dan meneliti sumber data yang diperoleh dari hasil wawancara narasumber, dalam hal ini adalah pihak-pihak yang terkait dalam perkara tindak pidana pencurian dengan kekerasan mengakibatkan mati orang yang dilakukan oleh anak.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dengan cara melakukan studi kepustakaan, yakni melakukan studi dokumen, arsip dan literatur-literatur dengan mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis, konsep-konsep, pandangan-pandangan, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok penulisan, serta ilmu pengetahuan hukum mengikat yang terdiri dari bahan hukum antara lain :

3

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, 2007, hlm. 11.

4


(42)

a. Bahan hukum primer yaitu data yang diambil dari sumber aslinya yang berupa undang-undang yang memiliki otoritas tinggi yang bersifat mengikat untuk penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat.5 Dalam penelitian ini bahan hukum primer terdiri dari:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak sebagiamana telah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 5. Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

b. Bahan hukum sekunder yaitu merupakan bahan hukum yang memberikan keterangan terhadap bahan hukum primer dan diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya atau dengan kata lain dikumpulkan oleh pihak lain.6 Dapat berupa PP dan Putusan Pengadilan.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang lebih dikenal dengan nama acuan bidang hukum, misal

5

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2005, hlm. 142.

6Ibid


(43)

kamus hukum, indeks majalah hukum, jurnal penelitian hukum dan penelitian yang berwujud laporan dan buku-buku hukum.7

C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah seseorang yang memberikan pendapat atas objek yang diteliti.8 Narasumber ditentukan secara purposive yaitu penunjukan langsung dengan narasumber yang ditunjuk menguasai permasalahan dalam penelitian ini.9 Narasumber tersebut adalah:

1. Hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang : 1 orang 2. Dosen Bagian Hukum Pidana FH Universitas Lampung : 2 orang +

Jumlah : 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan dua cara yaitu:

a. Studi Kepustakaan (library research)

Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat, mengutip dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan, buku-buku, media masa dan bahan ahukum tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

7

Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 12.

8

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 175.

9

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989, hlm.


(44)

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara

(interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yang diperoleh baik dari hasil studi kepustakaan dan wawancara selanjutnya diolah dengan tahap-tahap sebagai berikut:

a. Identifikasi

Identifikasi data yaitu mencari dan menetapkan data yang diperlukan dalam penelitian ini.

b. Editing

Editing yaitu memeriksa data yang diperoleh untuk segera mengetahui apakah data yang diperoleh itu relevan dan sesuai dengan masalah. Selanjutnya apabila ada data yang salah akan dilakukan perbaikan dan terhadap data yang kurang lengkap akan diadakan penambahan.

c. Klasifikasi Data

Klasifikasi data yaitu menyusun data yang diperoleh menurut kelompok yang telah ditentukan secara sistematis sehingga data tersebut siap untuk dianalisis. d. Sistematika data

Sistematika data yaitu penyusunan data berdasarkan urutan data ditentukan dan sesuai dengan pokok bahasan secara sistematis.


(45)

E. Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu menguraikan data dalam bentuk kalimat yang disusun secara sistematik kemudian diinterpretasikan dengan bentuk kalimat yang disusun secara sistematik, kemudian diinterpretasikan dengan melandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti sehingga akan mendapatkan gambaran yang jelas dan terang dalam pokok bahasan sehingga akhirnya akan menuju pada suatu kesimpulan. Kesimpulan akan ditarik dengan menggunakan metode deduktif yaitu suatu cara penarikan kesimpulan dari hal yang khusus ke hal yang umum.


(46)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Setelah melakukan pembahasan terhadap data yang diperoleh dalam penelitian, maka sebagaimana penutupan dari pembahasan atas permasalahan dalam skripsi ini, penulis menarik simpulan:

1. Penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang dapat diketahui melihat teori penegakan hukum pidana yaitu pada tahap formulasi, aplikasi dan eksekusi yang menjadi persoalan paling relevan yaitu pada tahap formulasi atau Undang-Undang sebab dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dapat dikatakan lebih mengedepankan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman. Selain itu juga pengaturan mengenai penahanan yang menempatkan anak di Rumah Tahanan dirasa kurang memberikan perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang telah mengatur mengenai lembaga penempatan khusus anak, serta belum mengaturnya keadilan restoratif dan diversi. Selain itu juga aparat penegak hukum yang kurang memahami persoalan anak dengan mengikuti pendidikan pengadilan anak.


(47)

2. Faktor Penghambat penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang yang paling dominan adalah faktor penegak hukum yaitu sikap profesionalisme aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing dalam sistem peradilan pidana terpadu yang kurang memahami persoalan anak dengan mengikuti pendidikan pengadilan anak, selain itu faktor undang-undang, dimana belum mengatur sepenuhnya mengenai hak-hak anak, proses penahanan yang ditempatkan di Rumah Tahanan, serta penjatuhan pidana yang masih mengedapankan bersifat penghukuman semata.

B. Saran

1. Aparat penegak hukum harus bersikap profesionlisme dalam menangani anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang dengan memperhatikan hak-hak anak baik dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan.

2. Asas, prinsip, konsep dan pemikiran yang termuat dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak harus segera

diimplementasikan. Sosialisasi dan pendidikan terkait diversi harus dilakukan kepada polisi, penyidik, jaksa, hakim, masyarakat dan pihak terkait agar upaya perlindungan anak terutama anak pelaku tindak pidana dapat terlaksana. Selain itu, pemerintah harus segera membangun fasilitas dan sarana sebagaimana yang diamanatkan dalam RancanganUndang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak agar anak (pelaku, korban atau saksi) mendapatkan pembinaan, pemulihan, pengamanan dan pelatihan demi mewujudkan restorative justice


(48)

3. Penerapan pidana terhadap pelaku anak sebaiknya menjadi pilihan atau obat terakhir (ultimum remedium) dan hakim hendaknya memandang terdakwa atau pelaku yang masih dikategorikan sebagai anak yang perkembangan jiwa dan masa depannya harus dipertimbangkan, bukan sebagai penjahat yang harus dijatuhi pidana untuk menimbulkan efek jera. Hal-hal yang bersifat non- penal harus pula diperhatikan. Meskipun harus dijatuhi penerapan hukum pidana terhadap pelaku anak, penjatuhan pidana tersebut harus bertujuan merehabilitasi anak kearah yang lebih baik.


(49)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku/Literatur :

Andrisman, Tri. 2011. Hukum Pidana Asas- Asas Dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

---. 2013. Hukum Peradilan Anak. Bandar Lampung: Fakultas Hukum Unila.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta.

Bassar , 1999. Tindak-tindak Pidana Tertentu. Bandung: Ghalian.

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mahmud Marzuki, Peter. 2005. Penelitian Hukum.Jakarta: Kencana Prenada Group.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Mulyadi, Lilik. 2005 Pengadilan Anak di Indonesia( Teori Praktek dan permasalahannya), Bandung: CV. Mandar Maju,

Muladi dan Barda Nawawi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni.

Nasir Djamil, M. 2013.Anak Bukan Untuk Dihukum catatan pembahasan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA),Jakarta: Sinar Grafika.

Nawawi Arief, Barda.2005. .Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Adtya Bakti.


(50)

---. 2008.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana.

Prodjodikoro, Wiryono. Tindakan-Tindakan pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Erosco.

Prakoso, Djoko dan Nurwachid. 1984. Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi. Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum.

Shafrudin, 1998. Politik Hukum Pidana. B.Lampung: Universitas Lampung. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta:

LP3ES.

Soekanto, Soerjono. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press. ---. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia. ---. 2009. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

---. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, cetakan ke-11. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Sudarto. 1990. Hukum Pidana, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

---. Hukum Pidana I, 1990. Semarang: Yayasan Sudarto.

Soetodjo, Wagiati. 2010. Hukum Pidana Anak. Bandung: PT refika Aditama. Utrecht, 1986. Hukum Pidana, Surabaya: Pustaka Tinta Mas.


(51)

B. Peraturan Perundang-Undangan :

Tim Redaksi. 2011. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Akasara.

Tim Redaksi. 2009. UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Bandung: Fokus Media.

Tim Redaksi. 2012. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Jakarta: Sinar Grafika.

Tim Redaksi. 2013. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bandung. Fokus Media.

Tim Redaksi.2009. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Jakarta: Sinar Grafika.


(1)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Setelah melakukan pembahasan terhadap data yang diperoleh dalam penelitian, maka sebagaimana penutupan dari pembahasan atas permasalahan dalam skripsi ini, penulis menarik simpulan:

1. Penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang dapat diketahui melihat teori penegakan hukum pidana yaitu pada tahap formulasi, aplikasi dan eksekusi yang menjadi persoalan paling relevan yaitu pada tahap formulasi atau Undang-Undang sebab dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dapat dikatakan lebih mengedepankan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman. Selain itu juga pengaturan mengenai penahanan yang menempatkan anak di Rumah Tahanan dirasa kurang memberikan perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang telah mengatur mengenai lembaga penempatan khusus anak, serta belum mengaturnya keadilan restoratif dan diversi. Selain itu juga aparat penegak hukum yang kurang memahami persoalan anak dengan mengikuti pendidikan pengadilan anak.


(2)

2. Faktor Penghambat penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang yang paling dominan adalah faktor penegak hukum yaitu sikap profesionalisme aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing dalam sistem peradilan pidana terpadu yang kurang memahami persoalan anak dengan mengikuti pendidikan pengadilan anak, selain itu faktor undang-undang, dimana belum mengatur sepenuhnya mengenai hak-hak anak, proses penahanan yang ditempatkan di Rumah Tahanan, serta penjatuhan pidana yang masih mengedapankan bersifat penghukuman semata.

B. Saran

1. Aparat penegak hukum harus bersikap profesionlisme dalam menangani anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang dengan memperhatikan hak-hak anak baik dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan.

2. Asas, prinsip, konsep dan pemikiran yang termuat dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak harus segera

diimplementasikan. Sosialisasi dan pendidikan terkait diversi harus dilakukan kepada polisi, penyidik, jaksa, hakim, masyarakat dan pihak terkait agar upaya perlindungan anak terutama anak pelaku tindak pidana dapat terlaksana. Selain itu, pemerintah harus segera membangun fasilitas dan sarana sebagaimana yang diamanatkan dalam RancanganUndang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak agar anak (pelaku, korban atau saksi) mendapatkan pembinaan, pemulihan, pengamanan dan pelatihan demi mewujudkan restorative justice


(3)

80

3. Penerapan pidana terhadap pelaku anak sebaiknya menjadi pilihan atau obat terakhir (ultimum remedium) dan hakim hendaknya memandang terdakwa atau pelaku yang masih dikategorikan sebagai anak yang perkembangan jiwa dan masa depannya harus dipertimbangkan, bukan sebagai penjahat yang harus dijatuhi pidana untuk menimbulkan efek jera. Hal-hal yang bersifat non- penal harus pula diperhatikan. Meskipun harus dijatuhi penerapan hukum pidana terhadap pelaku anak, penjatuhan pidana tersebut harus bertujuan merehabilitasi anak kearah yang lebih baik.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku/Literatur :

Andrisman, Tri. 2011. Hukum Pidana Asas- Asas Dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

---. 2013. Hukum Peradilan Anak. Bandar Lampung: Fakultas Hukum Unila.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta.

Bassar , 1999. Tindak-tindak Pidana Tertentu. Bandung: Ghalian.

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mahmud Marzuki, Peter. 2005. Penelitian Hukum.Jakarta: Kencana Prenada Group.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Mulyadi, Lilik. 2005 Pengadilan Anak di Indonesia( Teori Praktek dan permasalahannya), Bandung: CV. Mandar Maju,

Muladi dan Barda Nawawi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni.

Nasir Djamil, M. 2013.Anak Bukan Untuk Dihukum catatan pembahasan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA),Jakarta: Sinar Grafika.

Nawawi Arief, Barda.2005. .Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Adtya Bakti.


(5)

82

---. 2008.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana.

Prodjodikoro, Wiryono. Tindakan-Tindakan pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Erosco.

Prakoso, Djoko dan Nurwachid. 1984. Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi. Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum.

Shafrudin, 1998. Politik Hukum Pidana. B.Lampung: Universitas Lampung. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta:

LP3ES.

Soekanto, Soerjono. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press. ---. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia. ---. 2009. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

---. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, cetakan ke-11. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Sudarto. 1990. Hukum Pidana, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

---. Hukum Pidana I, 1990. Semarang: Yayasan Sudarto.

Soetodjo, Wagiati. 2010. Hukum Pidana Anak. Bandung: PT refika Aditama. Utrecht, 1986. Hukum Pidana, Surabaya: Pustaka Tinta Mas.


(6)

B. Peraturan Perundang-Undangan :

Tim Redaksi. 2011. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Akasara.

Tim Redaksi. 2009. UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Bandung: Fokus Media.

Tim Redaksi. 2012. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Jakarta: Sinar Grafika.

Tim Redaksi. 2013. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bandung. Fokus Media.

Tim Redaksi.2009. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Jakarta: Sinar Grafika.