Peran aqidah fiqhiyyah tehadap kebijakan pemerintah dalam penetapan 1 (satu) syawal di Indonesia
PERAN QAIDAH FIQHIYYAH TERHADAP KEBIJAKAN
PEMERINTAH DALAM PENETAPAN 1 (SATU) RAMADHAN
DAN 1 (SATU) SYAWAL DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
WAHYU RIDAS PERADA
NIM: 203044101797
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PRODI AKHWAL AL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1428 H/2008 M
PERAN QAIDAH FIQHIYYAH TERHADAP KEBIJAKAN
PEMERINTAH DALAM PENETAPAN 1 (SATU) RAMADHAN
DAN 1 (SATU) SYAWAL DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
WAHYU RIDAS PERADA
NIM: 203044101797
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., MA
Dra. Maskufa, M.Ag.
NIP. 150 169 102
NIP. 150 268 590
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PRODI AKHWAL AL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1428 H/2008 M
!"
)
#
- #.
!#
$"
%
& '" ( !" ) * +
% % ($% "
+ %
! %
%
( ,"
/
0
-1-1(
2
3
+$!
-
( *
324
4
5
24 /
4 /24
!
-
-
% % 1 71
! # +*
! # +*
8#
+ 6
+ 6
% !!
+ %
0
4 /24 '
(%
+
:
4
24
29
(%
%
;
9! 8 %
*
$! % +
+ %
7* *
*
5
:
1;
+ %
4
24 3
$%
+ %
%6
<
71
8#
% !!
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 17 Desember 2007
Wahyu Ridas Prada
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang tiada hentinya penulis sampaikan kepada Allah SWT atas
limpahan rahmat, nikmat, hidayah, dan taufiq-Nya sehingga memberikan
kemampuan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarganya, sahabatnya serta seluruh umatnya hingga akhir zaman. Seorang
teladan yang mesti kita contoh sebagai seorang teladan yang berorientasi kepada
kepentingan umat.
Ungkapan terima kasih yang tiada terkira dari penulis kepada pihak-pihak
yang turut membantu dan sangat berjasa dalam proses pelaksanaan penulisan
skripsi ini. Dengan penuh ikhlas dan hormat, penulis ucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, selaku Ketua Jurusan Peradilan
Agama dan juga sebagai pembimbing penulis dalam menyusun skirpsi.
3. Ibu Dra. Maskufa, M.Ag, Selaku Dosen Pembimbing, yang telah banyak
memberikan pengarahan dan bimbingan yang berharga dalam penyusunan
Skripsi ini.
4. Kedua Orang tua yang wahyu sayangi dan hormati, mereka adalah E.B.
Soeroyo H.P. San., dan Asnibet, yang telah banyak memberikan bimbingan
lahir dan batin kepada penulis, memberikan pencerahan ketika penulis
mendapatkan kesulitan dan memohonkan doa kepada Allah SWT bagi
ketenangan jiwa penulis. Dan kepada kakanda Pireka Plasmawati Bet Nanda
serta Adinda Triana Widiastuty Wulan Ningrum Serta Riri Panca Aulia yang
juga turut membantu memberikan semangat serta doanya. Wahyu rinduuu…
5. Pakwo, Makwo, beserta keluar keluarga yang ada di Ujung Batu, Om Ar dan
Ante sekeluarga di Bengkulu, Pakde dan Bukde di Medan serta Pakle yang
berada di Aceh, serta atuk Ruslan di Pasir Rambah serta K.H. Alwi Arifin di
Bangkinang. Terimakasih atas bantuan moril dan materilnya. Wahyu Mohon
Maaf kalau dalam menyelesaikan kuliah ini banyak merepotkan. Wahyu
hanya bisa memohon kepada Allah, mudah-mudahan itu semua akan
mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah. Amiin…
6. K.H. TG. Drs. Mukhtar Abdul Witri selaku pengasuh PP Dar El Hikmah
Pekanbaru, yang telah banyak memberikan saran-saran, masukan-masukan
kepada penulis.
7. K.H. Arwani Faisal, MA, selaku wakil ketua LBM PBNU Pusat, Bapak
Muhyidin selaku Kasubdit Pemb. Syari’ah dan Hisab Rukyat Departemen
Agama, Bapak Amiruddin selaku pengurus Majlis Tarjih Muhammadiyah,
yang dalam kesibukannya masih bisa meluangkan waktu untuk perihal
wawancara guna melengkapi meteri dari skripsi ini.
8. Rekan-rekan seperjuangan di Serumpun Mahasiswa Riau (SEMARI) dan
IKAPDH, Adi dan Hafiz syukron ya prienternya, Supri thanks ya
komputernya, Do2y yang kocak abis dan temen seangkatan dari DH, Jokef,
Arizan, Sukron serta Nia (berjuang terus yaaa...), terimakasih juga kepada
teman-teman di lokal PA, Ogan, Azil, Asay, Babong, Rusdi, Deo dan
semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu (kapan kita kumpul
lagi). Dan tak lupa penulis ucapkan terimaksih kepada Intan yang juga turut
memberikan motifasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini I Love
You…
Mudah-mudahan apa yang penulis sajikan ini di Ridhoi Allah SWT agar
mendapatkan keberkahan terhadap karya ilmiah ini sehingga karya ini dapat
bermanfaat baik bagi diri penulis, keluarga dan seluruh umat manusia di muka
bumi ini. Amiinn..
Jakarta, 27 Maret
2008
Penulis
WAHYU
RIDAS
PERADA
BAB I
PENDAHULUAN ……………………………………………...
1
A. Latar Belakang Masalah............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.........................................
15
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................
15
D. Metode Penelitian...................................................................... 16
E. Sistematika Penulisan.................................................................
BAB II
18
QAIDAH FIQHIYYAH DAN KEDUDUKANNYA DALAM
HUKUM SYARA’.......................................................................
20
A. Pengertian Qaidah Fiqhiyyah..................................................
20
B. Qaidah Fiqhiyyah Pada Masa Sahabat....................................
24
C. Qaidah Fiqhiyyah Pada Masa Pembukuan, Kematangan,
BAB III
Perkembangan dan Penyempurnaan........................................
29
D. Kedudukan Qaidah Fiqhiyyah Dalam Hukum Syara’.............
32
PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYYAH
BERDASARKAN HISAB RUKYAT.........................................
37
A. Pengertian Hisab dan Rukyat....................................................
37
B. Pandangan Fuqaha Mengenai Penetapan Awal Bulan
BAB IV
Hijriyyah...................................................................................
40
C. Aliran-aliran Hisab Rukyat.......................................................
46
PUTUSAN PEMERINTAH DALAM MENETAPKAN 1
(SATU) RAMADHAN DAN 1 (SATU) SYAWAL
BERDASARKAN QAIDAH FIQHIYYAH..............................
56
A. Upaya Pemerintah Dalam Penyatuan Pendapat Mengenai
56
Penetapan Awal Bulan Hijriyyah.............................................
B. Qaidah-qaidah Fiqhiyyah Yang Berkaitan Dengan Kebijakan
69
Pemerintah...............................................................................
C. Analisa/Kedudukan Putusan Pemerintah Dalam Tinjauan
72
Qaidah Fiqhiyyah.....................................................................
76
BAB V
PENUTUP.....................................................................................
76
A. Kesimpulan...............................................................................
77
B. Saran-saran...............................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN
78
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan oleh Allah SWT
kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Islam
pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang mencakup berbagai aspek
kehidupan umat manusia. Kelengkapan seluruh aspek tersebut dapat dipahami
salah satunya dari ayat al-Qur’an yang terakhir disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW saat haji wada’ (haji perpisahan) beberapa puluh hari sebelum
beliau wafat. Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. Al-Maaidah (5): 3
* )(%&' " # $"! ی
ﻥ
ی
Artinya: “…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agama bagimu…”
Kesempurnaan dan kelengkapan yang mendapat restu Ilahi itu adalah
termasuk hukum yang merupakan bagian tak terpisahkan dari agama secara
keseluruhan. Sungguhpun demikian, manusia dengan
segala kondisinya
senantiasa berubah seiring dengan perkembangan zaman yang terjadi. Dalam hal
seperti ini ajaran Islam termasuk aspek hukum didalamnya tentunya mampu
merespon segala perubahan yang terjadi, karena kesempurnaan agama Islam yang
ditegaskan dalam ayat al-Qur’an tadi menjadikan ajaran Islam dan segala
aspeknya selalu sesuai dengan kondisi zaman dan tempat dimana umat manusia
berada.
Fleksibilitas ajaran Islam terletak pada nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip
umum yang dikandung dalam sumber ajarannya, yaitu al-Qur’an dan Hadits.
Prinsip-prinsip umum tersebut menurut Fathi Osman disediakan untuk cara hidup
perorangan, keluarga, masyarakat, negara dan dunia demi menjamin perdamaian,
stabilitas, keadilan dan hubungan-hubungan yang produktif.1
Menurutnya Islam tidak menguraikan program-program praktis yang terinci,
karena hal-hal yang rinci tersebut mesti mengalami perubahan untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam keadaan lingkungan
manusia dengan waktu dan tempat yang berbeda.2
Islam mengizinkan ruang yang luas bagi kreativitas akal manusia untuk
mencakup perubahan-perubahan yang muncul pada saatnya, karena akal manusia
juga merupakan anugerah dari Tuhan yang harus digunakan dan dikembangkan
secara penuh dan hendaknya tidak dibatasi atau dilumpuhkan oleh anugerah
Tuhan yang lain yang merupakan pesan-Nya yang mengarahkan.3
Sebagaimana diketahui, bahwa tujuan utama pensyari’atan ajaran-ajaran
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah demi kemaslahatan umat
manusia itu sendiri, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Anbiyaa’ (21): 107
1
. Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan, (Jakarta: Yayasan
Paramadina, 2006), Cet. Ke.1, h. 80.
2
. Ibid
3
. Ibid., h. 82-83
*67 56 (2" 3ﻥ4 # 1 "
0 / ".- ,"
"ﻡ
Artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam”.
Menurut Fathurrahman Djamil dalam Metode Ijtihad Majlis Tarjih
Muhammadiyah, dijelaskan bahwa dalam menghadapi persoalan-persoalan fiqh
kontemporer, pengetahuan tentang Maqashid al-Syari'at mutlak diperlukan.4
Karena fungsi dari Maqashid al-Syari'at adalah untuk memelihara kemaslahatan
manusia sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun diakhirat
kelak. 5
Adapun Maqashid al-Syari'at yang digunakan pada masalah penentuan awal
Ramadhan dan awal Syawal ini adalah memelihara agama (Hifzh al-Din). Karena
posisi menjaga agama dalam istilah Maqashid al-Syari'at termasuk posisi yang
sangat penting atau berada pada tingkat daruriyyat. Peringkat daruriyyat yaitu
memelihara
dan
melaksanakan
kewajiban
agama.
Adapun
memelihara
kebersamaan dalam hal ini sangat diperlukan, dan apabila mengabaikannya maka
akan terancamlah ukhuwah Islamiyah.6
Dengan demikian jelas bahwa keseluruhan aspek ajaran Islam termasuk
hukum didalamnya tidak lain diperuntukkan bagi kemaslahatan umat manusia itu
4
. Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos
Publishing House, 1995), h. 5.
5
6
. Ibid., h. 39
. Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah “Menyatukan NU & Muhammadiyah Dalam
Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha”, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 43.
sendiri. Termasuk juga didalamnya hukum ataupun keputusan pemerintah yang
mengatur mengenai masalah ibadah khususnya, dalam hal ini ibadah secara
keseluruhannya diatur dan ditujukan demi kemaslahatan umat manusia.
Sebagaimana telah kita ketahui, salah satu ibadah rutin tahunan umat Islam
ialah melaksanakan ibadah puasa pada bulan Ramadhan dan shalat Idul Fitri dan
Idul Adha. Khususnya di Indonesia, mungkin sudah menjadi hal yang lumrah bagi
sebagian masyarakat Indonesia yang dalam melaksanakan ibadah puasa dan shalat
hari raya, dalam beberapa tahun terakhir ini selalu berbeda dalam hal hari
pelaksanaannya, namun dirasakan resah juga bagi sebagian masyarakat Indonesia
yang lainnya.7
Adanya perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan misalnya, ini
dikarenakan perbedaan orang dalam memahami hadits Nabi yang mengatakan:8
F "ﻥDE =ﺏ9 1 ;
.
I
$*1 8 8
1 ﺏC & 3 " 8.&/ $AB&3
C =N C K
A& P
@;? ﺏ1& ﺏ. > " ﻡ8.&/ $03 < =ﺏ9 1ﺏ ﺏ ;ﺏ9" 8.&/
; M LK"J I
W VUP F ; PTP R
C =
ی9
%;;یH ﺏ1 G; 4
M- F SP R
ی
1
M-# LK"QP FK O
9
* X ﻡR
#
Artinya: Telah diberitakan Abu Bakar ibn Abi Syaibah. Telah diberitakan
Muhammad ibn Bisyrin ‘Abdiyyu. Telah diberitakan ‘Ubaidullah ibn Umar dari
Abi Zinaadi, dari A’raj, Abi Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW
menuturkan hilal (bulan awal tanggal) lalu bersabda: Apabila kamu melihat hilal
7
. Muhammad Iqbal, “Masihkah Kita Berbeda?”, T.B. Sanggam, 11 September 2007, h. 2.
8
. Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, h. 39.
9
. Al-Imam Abi Husaini Muslim Ibn Hajjaji, Shohih Muslim, (Kairo: Darul Hayaa Al-Kitab
Al-‘Arabiyah, 1236), Juz. II, h. 762.
maka berpuasalah, apabila kamu melihat hilal maka berbukalah dan apabila kamu
melihat hilal tertutup olehmu maka hitunglah tiga puluh hari. (H.R. Muslim).
Dan dalam kitab yang sama juga disebutkan
=ﺏ9 1 F%.; ﻡ1; ﺏ
1 F@1 S/ 1 @Z YP 1& ﺏ. > " ﻡ8.&/ $03 < =ﺏ9 1ﺏ ﺏ ;ﺏ9" 8.&/
L Q ` ﺏK"QP $K O " ی2 ; LK"J 0 [ ﻥ1_3 " ﺏE" ﻥ. P $%;
$K O " ی9 ". ﻥL" QP $@b".3 1 " ﺏQ P LK"J $1
$ cR
ی9 @0
.B9 LK"QP $1
@0
OP F0یeA; R.& ﻡC .V-# LK"J C K
1 ﺏH
" ^; ﺥLK"J $D\; [3
Q ` ﺏK"J $@a 8 1 ﺏH
1 ﺏH L Q ` ﺏK"J $@a 8 1 ﺏH L Q ` ﺏK"QP
.V- L@b".3 1 ﺏK"QP $ d
10
d 0
" J
# $*R
ی9
* X ﻡR
Artinya: Telah diberitakan Abu Bakar ibn Abi Syaibah. Telah diberitakan
Muhammad ibn Fudhail dari Husain, dari ‘Amri ibn Murrah, dari Abul Bakhtari.
Dia berkata: Kami pernah keluar untuk umrah. Ketika kami sampai ke Nahklah,
kami saling melihat bulan. Sebagian orang mengatakan bulan sudah tiga hari,
sebagian yang lain mengatakan, bulan sudah dua hari. Kata Abul Bakhtari:
Kemudian kami menemui Ibnu Abbas dan kami katakan, “kami telah melihat
bulan. Lalu sebagian orang mengatakan bahwa bulan telah tiga hari dan sebagian
yang lain mengatakan bahwa bulan telah dua hari”. Ibnu Abbas bertanya,
“menurut kamu, bulan sudah muncul berapa hari?” kami menjawab sekian dan
sekian”. Maka Ibnu Abbas mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah
bersabda: Sesungguhnya Allah membentangkan bulan untuk dilihat, maka
mulailah hitungan pada malam kamu melihatnya.” (H.R. Muslim).
Namun dalam kitab ringkasan hadist shahih al-Bukhari, diriwayatkan dari
Abdullah bin Umar r.a. dia berkata: saya pernah mendengar Rasulullah SAW
bersabda,
VUP F$$$# LK Q ی.
I
C =N C K
11
10
11
LK"J " O
C =
;
*B "[ ﺏR
# $*I
&J"P
1ﺏ- 1
.W
. Ibid., h. 326.
. Al-Imam Zainudin Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih Al-Bukhari:
At-Tajriid Ash-Shariih li Ahaadits Al-Jaami’ Ash-Shahih. Penerjemah Achmad Zaidun, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2002), h. 423.
Artinya; Dari Ibnu Umar r.a., dia berkata…"maka apabila langit diselimuti
oleh awan (sehingga hilal tidak terlihat), maka genapkan Ramadhan (30 hari)".
(H.R. Bukhari)
Hadits diatas memiliki redaksi matan yang sama dengan riwayat Muslim,
hanya berbeda dalam redaksi yang akhir dari matannya saja.
Dari beberapa sumber yang ada, hadist dari Rasulullah SAW selalu
mengatakan ‘ra aitumuuhu’ yang artinya melihat hilal. Dan menurut beberapa
pendapat, melihat disini harus dengan mata telanjang tanpa menggunakan sebuah
alat. Namun ada juga sebagian pendapat yang mengatakan bolehnya melihat
bulan dengan menggunakan alat. Hal ini sering digunakan terutama oleh ahli
bintang.
Ibnu Bathol mengatakan – yang diramu dalam kitab subulussalam – bahwa
dalam kedua hadist tersebut terkandung makna larangan untuk mengikuti atau
memperhatikan pendapat para ahli bintang.12
Untuk mengakhiri perbantahan hendaklah perkara yang diperbantahkan itu
dikembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Sudah tentu dalam
mengembalikan setiap sesuatu yang sedang diperbantahkan kepada al-Qur’an dan
12
. Abu Bakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam II, (Surabaya, Al-Ikhlas, 1991),
Cet.Ke.1, h. 600.
Sunnah Rasul itu haruslah mempunyai cara yang terkenal dengan qiyas.
Sedangkan qiyas adalah ijtihad, ijtihad adalah alat untuk menggali hukum Islam. 13
Dalam keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama
disebutkan, “masyarakat akhir-akhir ini sering dikacaukan dengan seruan berhari
raya Idul Fitri yang berpedoman kepada hari raya Idul Fitri di Saudi Arabia”.
Baru-baru ini yayasan al-Ihtikam merayakan hari raya Idul Fitri juga mengikuti
Idul Fitri di Saudi Arabia. Kedua cara tersebut bermaksud melegalisir ru’yatul
hilal Negara Saudi Arabia sebagai rukyat internasional.14
Untuk penetapan awal bulan Hijriyyah atau yang dikenal juga dengan nama
tahun Qamariyah, khususnya dalam menetapkan tanggal 1 (satu) Ramadhan dan 1
(satu) Syawal, ialah ditetapkan dengan sistem perhitungan tarikh Hijriyyah yang
didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi yang lamanya 29 hari 12 jam
44 menit 2,8 detik.15 Ketentuan-ketentuan tarikh Hijriyyah didasarkan pada
hitungan rata-rata (hisab urfi) dan bukan hitungan yang sebenarnya (hisab hakiki).
Namun, untuk keperluan pelaksanaan ibadah, ketentuan berdasarkan hisab
urfi ini tidak bisa diberlakukan. Oleh karena itu, dalam menentukan awal
13
. Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan (Masalah Perkawinan), (Jakarta: Firdaus, 2003),
h.17.
14
. Djamaluddin Miri dan Imam Ghazali Said, AHKAMUL FUQAHA, Solusi Problematika
Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-1999),
(Jawa Timur: Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) bekerja sama dengan Diantama Surabaya, 2004),
Cet.Ke.I, h. 541.
15
. Maskufa, “Memahami Tarikh Mesehi dan Hijri: Suatu Perbandingan”, Ahkam, No.1
(Juni 2004): h. 78.
Ramadhan dan awal Syawal misalnya harus dilakukan dengan cara ru’yat atau
dilakukan perhitungan berdasarkan hisab hakiki.16
Abdurrahman al-Jaziri dalam bukunya disebut, bulan Ramadhan dapat
ditetapkan dengan menggunakan salah satu dari dua cara berikut:
Pertama: Dengan melihat Hilal (bulan sabit) Ramadhan (yang dikenal
dengan istilah ‘ru’yatul hilal’), yaitu bila dilangit tidak ada suatu yang dapat
menghalangi ru’yat, seperti awan, asap (kabut), abu atau lainnya.
Kedua: Dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari,
yaitu bila dilangit ada penghalang (untuk dilakukan ru’yat).17
Mengenai penetapan awal Ramadhan dan Syawal dikalangan fuqaha’
terdapat dua aliran, yaitu pertama aliran yang berpegang kepada matla’ (tempat
terbitnya fajar dan terbenamnya matahari). Aliran ini ditokohi oleh Imam Syafi’I
dan aliran yang kedua aliran yang tidak berpegang kepada matla’ (jumhur
fuqaha).18
Untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyyah, Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) mengambil kesimpulan agar dalam penetapan awal Ramadhan
dan awal Syawal berpedoman kepada pendapat jumhur, sehingga rakyat yang
terjadi disuatu negara Islam dapat diberlakukan secara internasional (berlaku bagi
16
. Ibid., h. 80.
17
. Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib Al-Arba'ah. Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah. (Jakarta: Darul Ulum Press, 2002), Cet.Ke.II, h. 16.
18
. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: ttp, 2003), h. 42.
negara-negara Islam yang lainnya). Hal ini memerlukan kesempatan untuk
dipatuhi oleh seluruh negara-negara Islam. Sebelum itu, berlakulah ketetapan
pemerintah masing-masing. Sedangkan untuk masalah penetapan awal dzulhijjah,
dalam hal ini berlaku dengan matla’ masing-masing negara.19
Dari keputusan yang dikeluarkan oleh fatwa MUI tersebut, jelas bahwa
penetapan tanggal 1 (satu) Ramadhan dan hari raya Idul Fitri di Indonesia harus
berdasarkan keputusan pemerintah, yang lebih mengedepankan sifat kebersamaan
demi kemaslahatan. Hal ini juga sejalan dengan sebuah qaidah fiqhiyyah yang
mengatakan:
20
$f [ gP; یh E -
">
/
“Keputusan pemerintah bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan”
Menurut pendapat kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Malikiyah, apabila
ada orang yang adil, akil dan baligh yang melihat atau menyaksikan adanya hilal,
maka mereka diperintahkan untuk memberitahu kepada hakim (pemerintah) atas
kesaksiannya
itu, dan apabila hakim (pemerintah)
menyatakan bahwa
kesaksiannya itu sah, barulah hakim menetapkan bahwa besok hari telah
diwajibkan untuk melaksanakan puasa Ramadhan.21
19
. Ibid
20
. As-Suyuti, Al-Imam Jalaluddin 'Abdur Rahman ibn Abi Bakri. Al-Ashbah wan Nazdahir
fil Furuu'. (Beirut: Dar al-Fikri, t.th.), h. 277.
21
. Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, h. 18-20
Atas dasar inilah setidaknya pemerintah memiliki kewenangan atau turut
campur dalam penerapan masalah fiqh, khususnya di Indonesia.
Fiqh merupakan produk ijtihad yang bersifat individu, namun fiqh
memberikan kesempatan untuk memilih pendapat mana yang paling sesuai
dengan kondisi dan kemaslahatannya. Kenyataan seperti ini diakui sendiri serta
dipegang secara konsisten oleh para imam mujtahid, sehingga muncullah
ungkapan mereka yang sangat popular:
22
$i .S Z > یhT_ ;ﻥ" ﺥW B9
T_[ Z > یhi N " ی9
“Pendapat kami benar namun mengandung unsur salah, dan pendapat selain
kami salah namun mengandung unsur benar”.
Atas dasar demikian, ijtihad yang satu tidak dapat menggugurkan ijtihad
yang lainnya, atau dengan kata lain, fiqh yang satu tidak dapat menggugurkan
fiqh yang lain. Dalam kaitan ini kaidah mengatakan:
23
$ "O ^" "` ﺏQ " " یO ^U
“Ijtihad yang satu tidak dapat menggugurkan ijtihad yang lain”.
Disinilah perlunya ijtihad diperankan untuk memilih fiqh mana yang paling
relevan dengan kemaslahatan. Dengan cara seperti ini pula hukum Islam akan
22
23
. Hosen, Fiqh Perbandingan (Masalah Perkawinan), h. 8
. Al-Imam Jalaluddin 'Abdur Rahman ibn Abi Bakri As-Suyuti, Al-Ashbah wan Nazdahir
fil Furuu', (Beirut: Dar al-Fikri,t.th), h. 72.
selalu up to date, cocok dan relevan dengan tuntutan situasi dan kondisi,
sepanjang masa, sejalan dengan ungkapan: “Islam itu rel waktu dan tempat”.24
Seperti telah dijelaskan diatas, bahwasanya fiqh itu bersifat individu (tidak
mengikat), namun khususnya di Indonesia, umat Islam senang ber-taqlid buta
kepada hasil ijtihad sebagian mujtahid. Bahkan para ulama muta’akhkhirin
cenderung mewajibkan kaum Muslimin untuk terikat secara ketat dengan salah
satu mazhab empat. Mereka tidak membenarkan seseorang berpindah mazhab,
bagi yang berpindah mazhab, menurut mereka, harus dijatuhi ta’zir (sanksi).25
Pandangan seperti ini tentunya tidak sejalan dengan Firman Allah yang
menyebutkan. Q.S. An-Nahl 16: 43
k 6 (Z> # V
V ; Dd ZH9 jXP
Artinya: “…Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui”.
26
I lHd"ﻡ= "ﻡ
“orang awam (yang tidak atau belum memenuhi syarat-syarat ijtihad) tidak
mempunyai mazhab”.
Hanya saja dalam rangka untuk mewujudkan kesamaan atau keseragaman
dalam amaliah – terutama yang menyangkut masalah kemasyarakatan
24
. Hosen, Fiqh Perbandingan (Masalah Perkawinan), h. 8
25
. Ibid., h. 10-11.
26
. Ibid
(mu’amalah) dan hal-hal yang tidak diwajibkan atau dilarang oleh Allah dan
Rasul (al-maskut ‘anhu), yaitu hal-hal yang termasuk kategori mubah. Terhadap
hal-hal yang bersifat mubah inilah pemerintah (ulil amri) diberi hak oleh ajaran
Islam untuk dipatuhi oleh umat Islam. Permasalahan fiqh seperti inilah yang
membuat pemerintah setempat sebagai unifying force langsung turun tangan.27
Jika pemerintah memerintahkan atau melarang sesuatu yang mubah, umat
Islam harus (wajib) mematuhinya,28 sepanjang mubah yang dilarang atau
diwajibkan itu menyangkut kemaslahatan masyarakat dan merupakan sesuatu
yang benar-benar mubah bagi masyarakat.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. An-Nisaa’: 41:59
) k (2"X #
ﻡ; ﻡ4 = 9 K .;
m
C
m9
ﻡ9 1یd. "OAیTی
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu…”
Ayat ini sejalan dengan hadits Nabi SAW:
# L.
I
29
C =N C K
*B "[3 R
K"J LK"J FI
# $*h03 ﺏp I 9 .VT FA X3/ h&3
C
@o " ﻡ1 ﺏn ﻥ1
Z
V- F
m
Artinya: Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a., dia berkata, "Rasulullah
SAW pernah bersabda, "dengarkan dan patuhi pemimpin kalian, meskipun kalian
27
. Ibid., h.12-13.
28
. As-Sanhuri, Tasyri’ al-Usrah, (Mesir: al-Jam’iyyah al-Misriyyah li al-Iqtisad as-Siyasi
wa al-Ihsa’ wa at-Tasri’, t.th), h. 566.
29
. Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih Al-Bukhari, h. 1055.
dipimpin oleh seorang budak dari Habasyah/Ethiopia yang rambutnya seperti
kismis". (H.R. Bukhari)
Sungguhpun demikian, umat Islam tidak wajib patuh manakala pendapat
atau ketetapan pemerintah itu membawa pada jalan maksiat atau kekufuran yang
nyata. Nabi juga menegaskan dalam sabdanya:
X
2;
"m r g
=
LK"J Iﻥ9 .
I
C = N D 3 . 1 F" O
P @0 S ﻡ; ﺏ9 VUP F@0 S ﻡ; ﺏq یV9 ".- FR;
C =
;
.l/9 " P F0 "._
30
1ﺏ- 1
g .X
* X ﻡR # $0
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., dari Nabi SAW beliau bersabda: "
Seorang Muslim wajib mematuhi yang dia senangi ataupun tidak (terpaksa),
kecuali jika dia diperintah untuk melakukan maksiat. Apabila diperintah untuk
maksiat, tidak ada kewajiban patuh dan taat”. (H.R. Muslim).
Khalifah pertama Abu Bakar Siddiq r.a., dalam pidatonya beliau pernah
mengatakan: (“Patuhilah saya dalam urusan kalian, selama saya juga patuh
kepada Allah. Bila saya durhaka kepada-Nya, jangan kamu patuhi saya. Bila saya
berbuat baik, dukunglah saya, dan bila saya berbuat buruk, luruskanlah saya”).
Dalam salah satu hadist shahih juga dikatakan, bahwasanya Rasulullah pada
waktu hendak mengutus Mu’az bin Jabal menjadi qadli negeri Yaman, beliau
bersabda:
Artinya; “Apakah yang engkau perbuat manakala keputusanmu dalam
sesuatu perkara? Mu’az menjawab, ‘aku putuskan menurut nash yang ada dalam
30
. Al-Hafizh ‘Abdul ‘Azhim bin ‘Abdul Qawi Zakiyuddin Al-Mundziri, Mukhtashar
Shahih Muslim. Penerjemah Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Cet.II, h. 723.
Kitabullah’, kata Rasulullah, ‘bagaimana jika tidak terdapat didalam Kitabullah’?
Mu’az menjawab, ‘aku putuskan menurut nash yang ada dalam sunnah Rasul’.
Kata Rasul, ‘bagaimana jika itu tidak terdapat didalam sunnah Rasul’? Mu’az
menjawab, ‘aku berijtihad dengan seksama’. Kemudian berkatalah Mu’az, lalu
Rasulullah menepuk dadaku dengan tangannya sambil mengucapkan:
C K
= ; "یC K
K
s.P \d. It & >
“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan
Rasulullah pada jalan yang diridhai oleh Rasulullah”. 31
Mungkin dari contoh sejarah singkat diatas, dapatlah kita ambil kesimpulan,
bahwasanya keputusan qadli (hakim/pemerintah) harus diikuti demi menciptakan
persamaan dan agar tidak terjadi perbedaan, dan Rasul telah nyata mengatakan
pendapat/tindakan Mu’az diatas benar dan tidak menyalahi ajaran Islam.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka penulis merasa sangat perlu untuk
mencoba meneliti bagaimana peran qaidah fiqhiyyah terhadap kebijakan
pemerintah di Indonesia dalam penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Untuk itu
penulis mencoba melakukan penelitian dengan judul: “PERAN QAIDAH
FIQHIYYAH
TERHADAP
KEBIJAKAN
PEMERINTAH
DALAM
PENETAPAN 1 (SATU) RAMADHAN DAN 1 (SATU) SYAWAL/IDUL FITRI
DI INDONESIA”.
31
. Hosen, Fiqh Perbandingan (Masalah Perkawinan), h. 13.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembatasan Masalahnya adalah bagaimana peran qaidah fiqhiyyah dalam
kebijakan pemerintah mengenai penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal di
Indonesia.
Dari latar belakang dan pembatasan masalah diatas, penulis dapat rumuskan
sebagai berikut:
Perbedaan waktu dalam penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal di Indonesia
berjalan tetap, walau masing-masing pihak menggunakan argumentasinya dalam
menentukan kapan jatuhnya tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Walaupun telah
ditempuh langkah oleh pemerintah untuk menyatukannya dengan menggunakan
sistem Imkanu Rukyat (kemungkinan hilal dapat dirukyat), namun tetap tidak
dapat disatukan. Harapan penyatuan secara penuh agaknya mustahil, bila
dihadapkan pada kelompok wujudul hilal, hal ini perlu penelusuran yang lebih
objektif dan komprehensif sehingga tetap dalam koridor kemaslahatan.
Dari rumusan diatas, dapat diajukan beberapa pertanyaan yang akan diteliti,
yaitu:
1. Bagaimana kedudukan qaidah fiqhiyyah dalam hukum Islam?
2. Bagaimana upaya pemerintah dalam penetapan awal bulan Hijriyyah?
3. Bagaimana peran qaidah fiqhiyyah terhadap kebijakan pemerintah dalam
penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui konsep dasar dari qaidah fiqhiyyah, serta fungsinya
dalam penerapan hukum di Indonesia.
b. Untuk lebih mengetahui bagaimana eksistensi qaidah fiqhiyyah terhadap
putusan pemerintah.
c. Untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab sehingga terjadinya
ketidak seragaman waktu/hari dalam melaksanakan puasa Ramadhan dan
shalat Idul Fitri.
2. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a. Agar tidak terjadi perbedaan waktu dalam penetapan awal Ramadhan dan
Idul Fitri, khususnya di Indonesia.
b. Bagi jurusan Ahwal Al Syakhshiyah, hasil penelitian ini dapat menambah
khazanah pemikiran.
c. Bagi dunia pustaka, hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan
koleksi dalam ruang lingkup karya ilmiah.
d. Bagi peneliti, dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam masalah
ini.
e. Bagi masyarakat, sekiranya bisa terciptanya ukhuwah Islamiyyah yang
adil dan benar sesuai dengan syari’at Islam.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian pada skripsi ini adalah penelitian hukum normatif dan studi
kebijakan, dalam arti penelitian yang menelaah permasalahan yang dikaitkan
dengan norma (kaidah) hukum, dalam hal ini qaidah fiqhiyyah, dan kebijakan
yang diambil adalah yang merupakan putusan pemerintah.
2. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu
data yang tidak disuguhkan dalam bentuk angka-angka. Dalam hal ini data
tersebut berupa pemikiran, yaitu kaidah-kaidah hukum Islam dan putusan
pemerintah serta berbagai pendapat dan fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) mengenai konsep penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal serta data-data
lain yang ada relevansinya dengan masalah yang dikaji.
3. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data
Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam skripsi ini adalah studi
dokumentasi, dalam hal ini penelitian kepustakaan (Library Research).
Sedangkan sumber data yang digunakan diantaranya adalah:
a. Sumber Data Primer, antara lain ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-hadits
Nabi yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas. Termasuk sumber
data primer juga adalah keputusan menteri Agama, kitab-kitab ushul fiqh
dan qawaid fiqhiyyah serta berbagai buku mengenai kaidah-kaidah hukum
Islam.
b. Sumber Data Sekunder, antara lain buku tafsir yang digunakan dalam
memahami ayat al-Qur’an yang dikutip dalam tulisan ini, serta beberapa
buku karangan para pakar hukum yang ada kaitannya dengan masalah
yang dikaji.
c. Sumber Data Tersier, yaitu pendapat-pendapat dari kalangan ormas-ormas
yang sesuai dengan masalah yang dikaji. Seperti MUI, Nahdlatul Ulama,
Muhammadiyah dll.
E. Sistematika Penulisan
Adapun mengenai sistematika penulisan, dalam hal ini peneliti membaginya
dalam lima bab yang secara garis besar adalah sebagai berikut:
BAB PERTAMA
Berisi tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian dan sistematika penulisan
BAB KEDUA
Berisi tentang qaidah fiqhiyyah dan kedudukannya dalam hukum syara’
yang meliputi pengertian qaidah fiqhiyyah, qaidah fiqhiyyah pada masa sahabat,
qaidah fiqhiyyah pada masa perkembangan, pembukuan, kematangan dan
penyempurnaan, dan kedudukan qaidah fiqhiyyah dalam hukum Islam.
BAB KETIGA
Berisi tentang penentuan awal bulan hijriyyah berdasarkan hisab ru’yat yang
meliputi pengertian hisab dan ru’yat, pandangan fuqaha mengenai penetapan awal
bulan hijriyyah dan aliran-aliran hisab ru’yat.
BAB KEEMPAT
Berisi tentang putusan pemerintah dalam menetapkan 1 (satu) Ramadhan
dan 1 (satu) Syawal berdasarkan qaidah fiqhiyyah yang meliputi upaya
pemerintah dalam penyatuan pendapat mengenai penetapan awal bulan hijriyyah,
qaidah-qaidah fiqhiyyah yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah dan
analisa/kedudukan putusan pemerintah dalam tinjauan qaidah fiqhiyyah.
BAB KELIMA
Berisi tentang penutup yang meliputi kesimpulan, saran-saran.
BAB II
SEJARAH SINGKAT QAIDAH FIQHIYYAH DAN KEDUDUKANNYA DALAM
HUKUM SYARA'
A. Pengertian dan Sejarah Singkat Qaidah Fiqhiyyah
Qa'idah secara etimologi ialah asas atau dasar.32 Ada juga sebagian ahli
fiqh yang mengartikan qaidah dengan aturan-aturan atau patokan-patokan. Bentuk
jamak dari qaidah ialah qawa’id, yaitu beberapa asas atau beberapa dasar dari
segala sesuatu, baik yang bersifat abstrak maupun yang bersifat konkrit. Atau
qaidah juga bisa disebut sebagai sesuatu yang bersifat umum yang mencakup
bagian-bagiannya. Kata qa'idah juga dapat kita temukan dalam QS Al-Baqarah
(2): 127
(%;Q3 #
g .X
ﻥo." ﻥ. ﻡZ.3Q " . ﺏZ " -
3 1& ﻡ
Q
H ;ﺏ- gP; یM*65u 5
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasardasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah
daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar
lagi Maha Mengetahui".
Arti fiqhiyyah yang diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan huruf “ya
nisbah” yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Fiqh sendiri
secara bahasa berarti suatu pemahaman yang sangat tajam atau mendalam.
32
. Ahmad Sudirman Abbas. Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
2004), Cet.Ke.I, h. 55.
Adapun fiqh secara istilah ialah mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat
amaliyah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.33
Dari pengertian singkat diatas dapatlah kita ambil beberapa kesimpulan
bahwasanya:
1. Menurut Imam Tajjudin as-Subki qaidah fiqhiyyah yaitu suatu perkara yang
kulli yang bersesuaian dengan juz’iyyah yang banyak dari padanya diketahui
hukum-hukum juz’iyyah itu.34
2. Qaidah fiqhiyyah ialah sesuatu yang merupakan kumpulan hukum yang
serupa, dimana antara satu hukum dengan hukum lainnya dipertemukan oleh
satu illat.35
3. Qaidah fiqhiyyah ialah qaidah yang memuat beberapa hukum syara’ dari
beberapa bab yang berbeda-beda sehingga bagian-bagiannya memiliki
hubungan yang erat kaitannya dengan qaidah itu.36
Sudah tentu masih sangat banyak lagi defenisi-defenisi yang lain tentang
pengertian
fiqh
maupun
qaidah fiqhiyyah.
Para ulama berbeda dalam
menakrifkannya karena berbeda didalam memahami ruang lingkup fiqh dan dari
33
. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 2-3.
34
. Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah & Fiqhiyyah “Pedoman Dasar Dalam
Istimbath Hukum Islam”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 97-98.
35
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 86.
36
. Ibid, h. 61
sisi mana mereka melihat
fiqh.37 Walaupun demikian, tampaknya ada
kecenderungan bersama bahwa fiqh adalah satu sistem hukum yang sangat erat
kaitannya dengan agama Islam.
Bila dicermati dua defenisi tersebut atau bahkan didefenisi-defenisi lain
yang dikemukakan oleh para fuqaha, maka makna fiqh dapat kita simpulkan pada
beberapa pokok, yaitu:
1. Sumbernya dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
2. Fiqh merupakan bagian dari syari’ah.
3. Membahas hukum yang bersifat amali.
4. Obyeknya terhadap orang mukallaf.38
5. Dilakukan dengan jalan istimbath atau ijtihad.
Proses pengambilan atau pembentukan kaidah fiqhiyyah dapat dirumuskan
sebagai berikut: Al-Qur’an/Al-Sunnah – Ushul Al-Fiqh – Fiqh – Qaidah
Fiqhiyyah.39 Maksudnya ialah al-Qur’an atau Sunnah merupakan produk utama
dalam pembentukan qaidah fiqhiyyah, ushul fiqh yaitu pengetahuan tentang
kaidah-kaidah yang dijadikan cara/metode untuk menetapkan fiqh atau bisa juga
disebut dengan metodologi hukum Islam,40 fiqh merupakan produk pemahaman
37
. Ahmad Djazuli, Ilmu Fiqh (Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam),
(Jakarta: Kencana, 2005), h. 6.
38
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 85.
39
. Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah Asasi), (Jakarta: PT. Raja Grafindo,
2002) Cet. Pertama, h. 160.
40
. Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 8-9.
para ulama terhadap al-Qur’an dan Sunnah, dan fiqh yang begitu luas diambil
prinsip-prinsip umumnya oleh ulama yang kemudian disebut qaidah fiqhiyyah.
Contoh:
41
"H&N "Q ﺏ
"ﻡ
Segala sesuatu tergantung kepada niatnya
Dasar pengambilan dari kaidah ini ialah ayat al-Qur’an surat al-Imran ayat
145:
6k)
(V ;
K # "O ﻡI q ﻥ%;ﺥT i 8 ; ی1" ﻡO ﻡI q&ﻥ "ﻥA i 8 ; ی1ﻡ
Artinya: Barang siapa menghendaki dunia niscaya kami berikan kepadanya
pahala dunia dan barang siapa menghendaki akhirat niscaya kami berikan
kepadanya pahala dunia.
Dan al-Qur’an surat al-Bayyinah ayat 5:
(0 3 # 2"v / 1یD& I 1 S [ ﻡC
&3
".- ;ﻡ9 "ﻡ
Artinya: Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan kepadanya dalam agama yang lurus.
Adapun hadits Nabi Muhammad SAW adalah
42
w".D " ﺏK " r " .ﻥ-
Semua amal perbuatan itu tergantung kepada niat pelakunya
41
42
. Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyyah, h. 39-40.
. Al-Imam Zainudin Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih Al-Bukhari:
“At-Tajriid Ash-Shariih li Ahaadits Al-Jaami’ Ash-Shahih: terjemah Achmad Zaidun, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2002), h. 31.
Qaidah fiqhiyyah disebut juga sebagai qaidah syari’iyyah43, bagi seorang
mujtahid untuk memudahkan dalam mengistimbathkan hukum yang sesuai
dengan tujuan dari syari’at dan untuk kemaslahatan manusia.
B. Qaidah Fiqhiyyah Pada Masa Sahabat
Sebelum kita membahas sejarah singkat qaidah fiqhiyyah pada masa
sahabat,
maka
alangkah
baiknya
kalau
dilihat
bagaimana
sejarah
pembentukan/munculnya qaidah fiqhiyyah yaitu yang dimulai pada masa
Rasulullah SAW. Berbicara masalah qaidah fiqhiyyah, berarti juga membahas
tentang ilmu fiqh. Karena ilmu fiqh merupakan induk dari tempat lahirnya qaidah
fiqhiyyah itu sendiri.44 Dengan melihat histori dari pembentukan fiqh ini,
hendaknya dapat memperoleh pandangan sekitar latar belakang dan situasi yang
melingkupi serta turut menyertai kelahirannya.
Posisi fiqh lebih berada pada wilayah praktis dari pada teoritis. Para sahabat
akan menanyakan persoalan baru kepada Nabi setelah persoalan itu terjadi. Tidak
ada usaha untuk membuat kerangka teori dalam berfikir untuk kedepan.45
Disamping itu Nabi tidak mewariskan ilmu fiqh dalam bentuk buku, beliau hanya
meninggalkan prinsip-prinsip hukum yang universal, qaidah-qaidah umum, dan
beberapa hukum-hukum parsial tertentu yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an
43
. Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah & Fiqhiyyah”, h. 97-98.
44
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 1
45
. Mustafa Ahmad Al-Zarqa', Al-Madkhal al-Fiqh Al-'Ami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1967), Juz.
I, h. 149.
dan al-Hadits. Qaidah-qaidah umum itu dapat dijadikan sebagai kerangka berfikir
untuk memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat parsial.46
Jadi dengan qaidah itu, fiqh akan tetap dinamis, fleksibel dan tetap akan
memiliki cakupan wilayah yang luas.
Sebenarnya al-Qur'an dan Hadits banyak mengandung ayat-ayat dan
penjelasan yang artinya sangat umum dan menjadi landasan bagi persoalanpersoalan yang bersifat parsial seperti:
a. Al-Qur'an
C".tﻥ- K& "ﺏ
> V9 b". 1 ﺏ
/ M- "O H9 = -
*)yLk (2"X # !; S!" ﺏ
ﻡT
A q V9
V" C .V- I ﺏx " ی. ﻥ
; ﻡT یC .VArtinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha Melihat”.
*6)L6u (Z ' ; -# !r
z 3= ﻥ./ 1 ﺏDd " ﻡ. "ﺥ;\ ﻡ9 p h% p
E " $$$
Artinya: “…dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain,
dan kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang Rasul”
*|}L)|# ( { # =
"" ﻡ.- 1XﻥU n V9
Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa
yang telah diusahakannya”.
46
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 2-3.
b. Al-Hadist
47
; "
; "
"Tidak boleh berbuat dlarar kepada diri sendiri dan orang lain"
48
w" D " ﺏK " 4 " .ﻥ-
"Perbuatan itu tergantung kepada niatnya"
49
Om ;< = V
X
"Orang Islam tergantung pada syaratnya"
Menurut ajaran Islam, yang memiliki otoritas tertinggi dalam penetapan
hukum adalah Allah SWT. Sedangkan Nabi Muhammad SAW ialah utusan Allah
yang bertugas untuk menyampaikan dan melaksanakan perintah-perintah yang
diberikan oleh Allah. Dengan demikian, segala sesuatu yang bersumber dari
Allah, yang disampaikan melalui wahyu-wahyu-Nya, yang berfungsi sebagai
peraturan-peraturan yang bersifat mengikat dan harus dilaksanakan. Fungsi dan
tugas Nabi Muhammad SAW tersebut ditegaskan Allah dalam firman-Nya QS.
Al-Hasyr (59): 7
(;?> # i"Q
& ﻡ% "
"Adat dapat dijadikan hukum"
Diperkirakan bahwa Imam al-Karhi (340 H), (teman abu Thahir),
mengambil sebagian qaidah yang telah dikumpulkan oleh Abu Thahir lalu
diintegralkan dalam risalahnya sehingga jumlahnya mencapai 30 qaidah.66
59
. Mubarok, Kaidah Fiqh, h. 63-65.
60
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 34.
61
. Ibid., 35
62
. Ibid
63
. Ibid
64
. Mubarok, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah Asasi), h. 65.
65
. Ibid
Pada abad ke 5 H, Imam Abu Zaid al-Dabbusi menambah jumlah qaidah
Imam Karhi. Pada abad ke 6 H muncul satu kitab yang ditulis oleh Ala'uddin
Muhammad bin Ahmad al-Samarqandi dengan judul Idhah al-Qaidah. Pada abad
ke 7 H, qaidah fiqhiyyah mengalami perkembangan yang sangat signifikan
walaupun terlalu dini untuk dikatakan matang. Diantara ulama yang menulis kitab
qaidah pada masa ini adalah al-'Allamah Muhammad bin Ibrahim al-Jurjani alSahlaki, ia menulis dengan judul Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam yang
sempat menjadi kitab yang terkenal.67
Karya-karya para Imam-imam diatas menunjukkan bahwa qaidah fiqhiyyah
mulai berkembang dengan pesat pada abad ke 7 H. qaidah fiqhiyyah pada abad ini
tampak tertutup namun sedikit demi sedikit mulai meluas.68
Adapun pembukuan tentang kitab qaidah fiqhiyyah ini mencapai puncaknya
yaitu pada abad ke 10 H, yaitu ketika masa al-Suyuthi (w. 910 H) dalam kitabnya
Al-Aysbah wa al-Nazair, ia mencoba menyederhanakan qaidah-qaidah penting
yang ada dalam kitab milik al-'Alai, al-Subki yaitu kitab-kitab yang membahas
tentang qaidah namun masih tercampur dengan qaidah ushul fiqh.69
Setelah beberapa abad qaidah fiqhiyyah ini berkembang dikalangan para
imam mazhab,
maka mereka juga berupaya untuk
66
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 35
67
. Ibid., h. 36
68
. Ibid., h. 37
69
. Ibid., h. 39
memberikan suatu
penyempurnaan yang pada masa sebelumnya mengalami sedikit kekurangan
seperti berbentuk korpus yang tercecer dan lain-lain. Kematangan qaidah
mencapai puncaknya setelah muncul majallah al-Ahkam al-Adliyyah yang
dikerjakan oleh tim ahli fiqh pada masa pemerintahan Sultan Al-Ghazi Abdul
Aziz Khan Al-Ustmani pada akhir abad ke 13 H.70 Pada masa ini qaidah
fiqhiyyah juga dijadikan sebagai acuan dalam menetapkan hukum dibeberapa
Mahkamah.
D. Kedudukan Qaidah Fiqhiyyah Dalam Hukum Syara'
Kedudukan qaidah fiqhiyah dalam upaya untuk menentukan ukhuwah
Islamiyah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: dalil pelengkap dan dalil
PEMERINTAH DALAM PENETAPAN 1 (SATU) RAMADHAN
DAN 1 (SATU) SYAWAL DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
WAHYU RIDAS PERADA
NIM: 203044101797
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PRODI AKHWAL AL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1428 H/2008 M
PERAN QAIDAH FIQHIYYAH TERHADAP KEBIJAKAN
PEMERINTAH DALAM PENETAPAN 1 (SATU) RAMADHAN
DAN 1 (SATU) SYAWAL DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
WAHYU RIDAS PERADA
NIM: 203044101797
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., MA
Dra. Maskufa, M.Ag.
NIP. 150 169 102
NIP. 150 268 590
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PRODI AKHWAL AL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1428 H/2008 M
!"
)
#
- #.
!#
$"
%
& '" ( !" ) * +
% % ($% "
+ %
! %
%
( ,"
/
0
-1-1(
2
3
+$!
-
( *
324
4
5
24 /
4 /24
!
-
-
% % 1 71
! # +*
! # +*
8#
+ 6
+ 6
% !!
+ %
0
4 /24 '
(%
+
:
4
24
29
(%
%
;
9! 8 %
*
$! % +
+ %
7* *
*
5
:
1;
+ %
4
24 3
$%
+ %
%6
<
71
8#
% !!
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 17 Desember 2007
Wahyu Ridas Prada
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang tiada hentinya penulis sampaikan kepada Allah SWT atas
limpahan rahmat, nikmat, hidayah, dan taufiq-Nya sehingga memberikan
kemampuan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarganya, sahabatnya serta seluruh umatnya hingga akhir zaman. Seorang
teladan yang mesti kita contoh sebagai seorang teladan yang berorientasi kepada
kepentingan umat.
Ungkapan terima kasih yang tiada terkira dari penulis kepada pihak-pihak
yang turut membantu dan sangat berjasa dalam proses pelaksanaan penulisan
skripsi ini. Dengan penuh ikhlas dan hormat, penulis ucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, selaku Ketua Jurusan Peradilan
Agama dan juga sebagai pembimbing penulis dalam menyusun skirpsi.
3. Ibu Dra. Maskufa, M.Ag, Selaku Dosen Pembimbing, yang telah banyak
memberikan pengarahan dan bimbingan yang berharga dalam penyusunan
Skripsi ini.
4. Kedua Orang tua yang wahyu sayangi dan hormati, mereka adalah E.B.
Soeroyo H.P. San., dan Asnibet, yang telah banyak memberikan bimbingan
lahir dan batin kepada penulis, memberikan pencerahan ketika penulis
mendapatkan kesulitan dan memohonkan doa kepada Allah SWT bagi
ketenangan jiwa penulis. Dan kepada kakanda Pireka Plasmawati Bet Nanda
serta Adinda Triana Widiastuty Wulan Ningrum Serta Riri Panca Aulia yang
juga turut membantu memberikan semangat serta doanya. Wahyu rinduuu…
5. Pakwo, Makwo, beserta keluar keluarga yang ada di Ujung Batu, Om Ar dan
Ante sekeluarga di Bengkulu, Pakde dan Bukde di Medan serta Pakle yang
berada di Aceh, serta atuk Ruslan di Pasir Rambah serta K.H. Alwi Arifin di
Bangkinang. Terimakasih atas bantuan moril dan materilnya. Wahyu Mohon
Maaf kalau dalam menyelesaikan kuliah ini banyak merepotkan. Wahyu
hanya bisa memohon kepada Allah, mudah-mudahan itu semua akan
mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah. Amiin…
6. K.H. TG. Drs. Mukhtar Abdul Witri selaku pengasuh PP Dar El Hikmah
Pekanbaru, yang telah banyak memberikan saran-saran, masukan-masukan
kepada penulis.
7. K.H. Arwani Faisal, MA, selaku wakil ketua LBM PBNU Pusat, Bapak
Muhyidin selaku Kasubdit Pemb. Syari’ah dan Hisab Rukyat Departemen
Agama, Bapak Amiruddin selaku pengurus Majlis Tarjih Muhammadiyah,
yang dalam kesibukannya masih bisa meluangkan waktu untuk perihal
wawancara guna melengkapi meteri dari skripsi ini.
8. Rekan-rekan seperjuangan di Serumpun Mahasiswa Riau (SEMARI) dan
IKAPDH, Adi dan Hafiz syukron ya prienternya, Supri thanks ya
komputernya, Do2y yang kocak abis dan temen seangkatan dari DH, Jokef,
Arizan, Sukron serta Nia (berjuang terus yaaa...), terimakasih juga kepada
teman-teman di lokal PA, Ogan, Azil, Asay, Babong, Rusdi, Deo dan
semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu (kapan kita kumpul
lagi). Dan tak lupa penulis ucapkan terimaksih kepada Intan yang juga turut
memberikan motifasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini I Love
You…
Mudah-mudahan apa yang penulis sajikan ini di Ridhoi Allah SWT agar
mendapatkan keberkahan terhadap karya ilmiah ini sehingga karya ini dapat
bermanfaat baik bagi diri penulis, keluarga dan seluruh umat manusia di muka
bumi ini. Amiinn..
Jakarta, 27 Maret
2008
Penulis
WAHYU
RIDAS
PERADA
BAB I
PENDAHULUAN ……………………………………………...
1
A. Latar Belakang Masalah............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.........................................
15
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................
15
D. Metode Penelitian...................................................................... 16
E. Sistematika Penulisan.................................................................
BAB II
18
QAIDAH FIQHIYYAH DAN KEDUDUKANNYA DALAM
HUKUM SYARA’.......................................................................
20
A. Pengertian Qaidah Fiqhiyyah..................................................
20
B. Qaidah Fiqhiyyah Pada Masa Sahabat....................................
24
C. Qaidah Fiqhiyyah Pada Masa Pembukuan, Kematangan,
BAB III
Perkembangan dan Penyempurnaan........................................
29
D. Kedudukan Qaidah Fiqhiyyah Dalam Hukum Syara’.............
32
PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYYAH
BERDASARKAN HISAB RUKYAT.........................................
37
A. Pengertian Hisab dan Rukyat....................................................
37
B. Pandangan Fuqaha Mengenai Penetapan Awal Bulan
BAB IV
Hijriyyah...................................................................................
40
C. Aliran-aliran Hisab Rukyat.......................................................
46
PUTUSAN PEMERINTAH DALAM MENETAPKAN 1
(SATU) RAMADHAN DAN 1 (SATU) SYAWAL
BERDASARKAN QAIDAH FIQHIYYAH..............................
56
A. Upaya Pemerintah Dalam Penyatuan Pendapat Mengenai
56
Penetapan Awal Bulan Hijriyyah.............................................
B. Qaidah-qaidah Fiqhiyyah Yang Berkaitan Dengan Kebijakan
69
Pemerintah...............................................................................
C. Analisa/Kedudukan Putusan Pemerintah Dalam Tinjauan
72
Qaidah Fiqhiyyah.....................................................................
76
BAB V
PENUTUP.....................................................................................
76
A. Kesimpulan...............................................................................
77
B. Saran-saran...............................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN
78
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan oleh Allah SWT
kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Islam
pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang mencakup berbagai aspek
kehidupan umat manusia. Kelengkapan seluruh aspek tersebut dapat dipahami
salah satunya dari ayat al-Qur’an yang terakhir disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW saat haji wada’ (haji perpisahan) beberapa puluh hari sebelum
beliau wafat. Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. Al-Maaidah (5): 3
* )(%&' " # $"! ی
ﻥ
ی
Artinya: “…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agama bagimu…”
Kesempurnaan dan kelengkapan yang mendapat restu Ilahi itu adalah
termasuk hukum yang merupakan bagian tak terpisahkan dari agama secara
keseluruhan. Sungguhpun demikian, manusia dengan
segala kondisinya
senantiasa berubah seiring dengan perkembangan zaman yang terjadi. Dalam hal
seperti ini ajaran Islam termasuk aspek hukum didalamnya tentunya mampu
merespon segala perubahan yang terjadi, karena kesempurnaan agama Islam yang
ditegaskan dalam ayat al-Qur’an tadi menjadikan ajaran Islam dan segala
aspeknya selalu sesuai dengan kondisi zaman dan tempat dimana umat manusia
berada.
Fleksibilitas ajaran Islam terletak pada nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip
umum yang dikandung dalam sumber ajarannya, yaitu al-Qur’an dan Hadits.
Prinsip-prinsip umum tersebut menurut Fathi Osman disediakan untuk cara hidup
perorangan, keluarga, masyarakat, negara dan dunia demi menjamin perdamaian,
stabilitas, keadilan dan hubungan-hubungan yang produktif.1
Menurutnya Islam tidak menguraikan program-program praktis yang terinci,
karena hal-hal yang rinci tersebut mesti mengalami perubahan untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam keadaan lingkungan
manusia dengan waktu dan tempat yang berbeda.2
Islam mengizinkan ruang yang luas bagi kreativitas akal manusia untuk
mencakup perubahan-perubahan yang muncul pada saatnya, karena akal manusia
juga merupakan anugerah dari Tuhan yang harus digunakan dan dikembangkan
secara penuh dan hendaknya tidak dibatasi atau dilumpuhkan oleh anugerah
Tuhan yang lain yang merupakan pesan-Nya yang mengarahkan.3
Sebagaimana diketahui, bahwa tujuan utama pensyari’atan ajaran-ajaran
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah demi kemaslahatan umat
manusia itu sendiri, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Anbiyaa’ (21): 107
1
. Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan, (Jakarta: Yayasan
Paramadina, 2006), Cet. Ke.1, h. 80.
2
. Ibid
3
. Ibid., h. 82-83
*67 56 (2" 3ﻥ4 # 1 "
0 / ".- ,"
"ﻡ
Artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam”.
Menurut Fathurrahman Djamil dalam Metode Ijtihad Majlis Tarjih
Muhammadiyah, dijelaskan bahwa dalam menghadapi persoalan-persoalan fiqh
kontemporer, pengetahuan tentang Maqashid al-Syari'at mutlak diperlukan.4
Karena fungsi dari Maqashid al-Syari'at adalah untuk memelihara kemaslahatan
manusia sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun diakhirat
kelak. 5
Adapun Maqashid al-Syari'at yang digunakan pada masalah penentuan awal
Ramadhan dan awal Syawal ini adalah memelihara agama (Hifzh al-Din). Karena
posisi menjaga agama dalam istilah Maqashid al-Syari'at termasuk posisi yang
sangat penting atau berada pada tingkat daruriyyat. Peringkat daruriyyat yaitu
memelihara
dan
melaksanakan
kewajiban
agama.
Adapun
memelihara
kebersamaan dalam hal ini sangat diperlukan, dan apabila mengabaikannya maka
akan terancamlah ukhuwah Islamiyah.6
Dengan demikian jelas bahwa keseluruhan aspek ajaran Islam termasuk
hukum didalamnya tidak lain diperuntukkan bagi kemaslahatan umat manusia itu
4
. Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos
Publishing House, 1995), h. 5.
5
6
. Ibid., h. 39
. Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah “Menyatukan NU & Muhammadiyah Dalam
Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha”, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 43.
sendiri. Termasuk juga didalamnya hukum ataupun keputusan pemerintah yang
mengatur mengenai masalah ibadah khususnya, dalam hal ini ibadah secara
keseluruhannya diatur dan ditujukan demi kemaslahatan umat manusia.
Sebagaimana telah kita ketahui, salah satu ibadah rutin tahunan umat Islam
ialah melaksanakan ibadah puasa pada bulan Ramadhan dan shalat Idul Fitri dan
Idul Adha. Khususnya di Indonesia, mungkin sudah menjadi hal yang lumrah bagi
sebagian masyarakat Indonesia yang dalam melaksanakan ibadah puasa dan shalat
hari raya, dalam beberapa tahun terakhir ini selalu berbeda dalam hal hari
pelaksanaannya, namun dirasakan resah juga bagi sebagian masyarakat Indonesia
yang lainnya.7
Adanya perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan misalnya, ini
dikarenakan perbedaan orang dalam memahami hadits Nabi yang mengatakan:8
F "ﻥDE =ﺏ9 1 ;
.
I
$*1 8 8
1 ﺏC & 3 " 8.&/ $AB&3
C =N C K
A& P
@;? ﺏ1& ﺏ. > " ﻡ8.&/ $03 < =ﺏ9 1ﺏ ﺏ ;ﺏ9" 8.&/
; M LK"J I
W VUP F ; PTP R
C =
ی9
%;;یH ﺏ1 G; 4
M- F SP R
ی
1
M-# LK"QP FK O
9
* X ﻡR
#
Artinya: Telah diberitakan Abu Bakar ibn Abi Syaibah. Telah diberitakan
Muhammad ibn Bisyrin ‘Abdiyyu. Telah diberitakan ‘Ubaidullah ibn Umar dari
Abi Zinaadi, dari A’raj, Abi Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW
menuturkan hilal (bulan awal tanggal) lalu bersabda: Apabila kamu melihat hilal
7
. Muhammad Iqbal, “Masihkah Kita Berbeda?”, T.B. Sanggam, 11 September 2007, h. 2.
8
. Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, h. 39.
9
. Al-Imam Abi Husaini Muslim Ibn Hajjaji, Shohih Muslim, (Kairo: Darul Hayaa Al-Kitab
Al-‘Arabiyah, 1236), Juz. II, h. 762.
maka berpuasalah, apabila kamu melihat hilal maka berbukalah dan apabila kamu
melihat hilal tertutup olehmu maka hitunglah tiga puluh hari. (H.R. Muslim).
Dan dalam kitab yang sama juga disebutkan
=ﺏ9 1 F%.; ﻡ1; ﺏ
1 F@1 S/ 1 @Z YP 1& ﺏ. > " ﻡ8.&/ $03 < =ﺏ9 1ﺏ ﺏ ;ﺏ9" 8.&/
L Q ` ﺏK"QP $K O " ی2 ; LK"J 0 [ ﻥ1_3 " ﺏE" ﻥ. P $%;
$K O " ی9 ". ﻥL" QP $@b".3 1 " ﺏQ P LK"J $1
$ cR
ی9 @0
.B9 LK"QP $1
@0
OP F0یeA; R.& ﻡC .V-# LK"J C K
1 ﺏH
" ^; ﺥLK"J $D\; [3
Q ` ﺏK"J $@a 8 1 ﺏH
1 ﺏH L Q ` ﺏK"J $@a 8 1 ﺏH L Q ` ﺏK"QP
.V- L@b".3 1 ﺏK"QP $ d
10
d 0
" J
# $*R
ی9
* X ﻡR
Artinya: Telah diberitakan Abu Bakar ibn Abi Syaibah. Telah diberitakan
Muhammad ibn Fudhail dari Husain, dari ‘Amri ibn Murrah, dari Abul Bakhtari.
Dia berkata: Kami pernah keluar untuk umrah. Ketika kami sampai ke Nahklah,
kami saling melihat bulan. Sebagian orang mengatakan bulan sudah tiga hari,
sebagian yang lain mengatakan, bulan sudah dua hari. Kata Abul Bakhtari:
Kemudian kami menemui Ibnu Abbas dan kami katakan, “kami telah melihat
bulan. Lalu sebagian orang mengatakan bahwa bulan telah tiga hari dan sebagian
yang lain mengatakan bahwa bulan telah dua hari”. Ibnu Abbas bertanya,
“menurut kamu, bulan sudah muncul berapa hari?” kami menjawab sekian dan
sekian”. Maka Ibnu Abbas mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah
bersabda: Sesungguhnya Allah membentangkan bulan untuk dilihat, maka
mulailah hitungan pada malam kamu melihatnya.” (H.R. Muslim).
Namun dalam kitab ringkasan hadist shahih al-Bukhari, diriwayatkan dari
Abdullah bin Umar r.a. dia berkata: saya pernah mendengar Rasulullah SAW
bersabda,
VUP F$$$# LK Q ی.
I
C =N C K
11
10
11
LK"J " O
C =
;
*B "[ ﺏR
# $*I
&J"P
1ﺏ- 1
.W
. Ibid., h. 326.
. Al-Imam Zainudin Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih Al-Bukhari:
At-Tajriid Ash-Shariih li Ahaadits Al-Jaami’ Ash-Shahih. Penerjemah Achmad Zaidun, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2002), h. 423.
Artinya; Dari Ibnu Umar r.a., dia berkata…"maka apabila langit diselimuti
oleh awan (sehingga hilal tidak terlihat), maka genapkan Ramadhan (30 hari)".
(H.R. Bukhari)
Hadits diatas memiliki redaksi matan yang sama dengan riwayat Muslim,
hanya berbeda dalam redaksi yang akhir dari matannya saja.
Dari beberapa sumber yang ada, hadist dari Rasulullah SAW selalu
mengatakan ‘ra aitumuuhu’ yang artinya melihat hilal. Dan menurut beberapa
pendapat, melihat disini harus dengan mata telanjang tanpa menggunakan sebuah
alat. Namun ada juga sebagian pendapat yang mengatakan bolehnya melihat
bulan dengan menggunakan alat. Hal ini sering digunakan terutama oleh ahli
bintang.
Ibnu Bathol mengatakan – yang diramu dalam kitab subulussalam – bahwa
dalam kedua hadist tersebut terkandung makna larangan untuk mengikuti atau
memperhatikan pendapat para ahli bintang.12
Untuk mengakhiri perbantahan hendaklah perkara yang diperbantahkan itu
dikembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Sudah tentu dalam
mengembalikan setiap sesuatu yang sedang diperbantahkan kepada al-Qur’an dan
12
. Abu Bakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam II, (Surabaya, Al-Ikhlas, 1991),
Cet.Ke.1, h. 600.
Sunnah Rasul itu haruslah mempunyai cara yang terkenal dengan qiyas.
Sedangkan qiyas adalah ijtihad, ijtihad adalah alat untuk menggali hukum Islam. 13
Dalam keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama
disebutkan, “masyarakat akhir-akhir ini sering dikacaukan dengan seruan berhari
raya Idul Fitri yang berpedoman kepada hari raya Idul Fitri di Saudi Arabia”.
Baru-baru ini yayasan al-Ihtikam merayakan hari raya Idul Fitri juga mengikuti
Idul Fitri di Saudi Arabia. Kedua cara tersebut bermaksud melegalisir ru’yatul
hilal Negara Saudi Arabia sebagai rukyat internasional.14
Untuk penetapan awal bulan Hijriyyah atau yang dikenal juga dengan nama
tahun Qamariyah, khususnya dalam menetapkan tanggal 1 (satu) Ramadhan dan 1
(satu) Syawal, ialah ditetapkan dengan sistem perhitungan tarikh Hijriyyah yang
didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi yang lamanya 29 hari 12 jam
44 menit 2,8 detik.15 Ketentuan-ketentuan tarikh Hijriyyah didasarkan pada
hitungan rata-rata (hisab urfi) dan bukan hitungan yang sebenarnya (hisab hakiki).
Namun, untuk keperluan pelaksanaan ibadah, ketentuan berdasarkan hisab
urfi ini tidak bisa diberlakukan. Oleh karena itu, dalam menentukan awal
13
. Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan (Masalah Perkawinan), (Jakarta: Firdaus, 2003),
h.17.
14
. Djamaluddin Miri dan Imam Ghazali Said, AHKAMUL FUQAHA, Solusi Problematika
Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-1999),
(Jawa Timur: Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) bekerja sama dengan Diantama Surabaya, 2004),
Cet.Ke.I, h. 541.
15
. Maskufa, “Memahami Tarikh Mesehi dan Hijri: Suatu Perbandingan”, Ahkam, No.1
(Juni 2004): h. 78.
Ramadhan dan awal Syawal misalnya harus dilakukan dengan cara ru’yat atau
dilakukan perhitungan berdasarkan hisab hakiki.16
Abdurrahman al-Jaziri dalam bukunya disebut, bulan Ramadhan dapat
ditetapkan dengan menggunakan salah satu dari dua cara berikut:
Pertama: Dengan melihat Hilal (bulan sabit) Ramadhan (yang dikenal
dengan istilah ‘ru’yatul hilal’), yaitu bila dilangit tidak ada suatu yang dapat
menghalangi ru’yat, seperti awan, asap (kabut), abu atau lainnya.
Kedua: Dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari,
yaitu bila dilangit ada penghalang (untuk dilakukan ru’yat).17
Mengenai penetapan awal Ramadhan dan Syawal dikalangan fuqaha’
terdapat dua aliran, yaitu pertama aliran yang berpegang kepada matla’ (tempat
terbitnya fajar dan terbenamnya matahari). Aliran ini ditokohi oleh Imam Syafi’I
dan aliran yang kedua aliran yang tidak berpegang kepada matla’ (jumhur
fuqaha).18
Untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyyah, Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) mengambil kesimpulan agar dalam penetapan awal Ramadhan
dan awal Syawal berpedoman kepada pendapat jumhur, sehingga rakyat yang
terjadi disuatu negara Islam dapat diberlakukan secara internasional (berlaku bagi
16
. Ibid., h. 80.
17
. Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib Al-Arba'ah. Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah. (Jakarta: Darul Ulum Press, 2002), Cet.Ke.II, h. 16.
18
. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: ttp, 2003), h. 42.
negara-negara Islam yang lainnya). Hal ini memerlukan kesempatan untuk
dipatuhi oleh seluruh negara-negara Islam. Sebelum itu, berlakulah ketetapan
pemerintah masing-masing. Sedangkan untuk masalah penetapan awal dzulhijjah,
dalam hal ini berlaku dengan matla’ masing-masing negara.19
Dari keputusan yang dikeluarkan oleh fatwa MUI tersebut, jelas bahwa
penetapan tanggal 1 (satu) Ramadhan dan hari raya Idul Fitri di Indonesia harus
berdasarkan keputusan pemerintah, yang lebih mengedepankan sifat kebersamaan
demi kemaslahatan. Hal ini juga sejalan dengan sebuah qaidah fiqhiyyah yang
mengatakan:
20
$f [ gP; یh E -
">
/
“Keputusan pemerintah bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan”
Menurut pendapat kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Malikiyah, apabila
ada orang yang adil, akil dan baligh yang melihat atau menyaksikan adanya hilal,
maka mereka diperintahkan untuk memberitahu kepada hakim (pemerintah) atas
kesaksiannya
itu, dan apabila hakim (pemerintah)
menyatakan bahwa
kesaksiannya itu sah, barulah hakim menetapkan bahwa besok hari telah
diwajibkan untuk melaksanakan puasa Ramadhan.21
19
. Ibid
20
. As-Suyuti, Al-Imam Jalaluddin 'Abdur Rahman ibn Abi Bakri. Al-Ashbah wan Nazdahir
fil Furuu'. (Beirut: Dar al-Fikri, t.th.), h. 277.
21
. Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, h. 18-20
Atas dasar inilah setidaknya pemerintah memiliki kewenangan atau turut
campur dalam penerapan masalah fiqh, khususnya di Indonesia.
Fiqh merupakan produk ijtihad yang bersifat individu, namun fiqh
memberikan kesempatan untuk memilih pendapat mana yang paling sesuai
dengan kondisi dan kemaslahatannya. Kenyataan seperti ini diakui sendiri serta
dipegang secara konsisten oleh para imam mujtahid, sehingga muncullah
ungkapan mereka yang sangat popular:
22
$i .S Z > یhT_ ;ﻥ" ﺥW B9
T_[ Z > یhi N " ی9
“Pendapat kami benar namun mengandung unsur salah, dan pendapat selain
kami salah namun mengandung unsur benar”.
Atas dasar demikian, ijtihad yang satu tidak dapat menggugurkan ijtihad
yang lainnya, atau dengan kata lain, fiqh yang satu tidak dapat menggugurkan
fiqh yang lain. Dalam kaitan ini kaidah mengatakan:
23
$ "O ^" "` ﺏQ " " یO ^U
“Ijtihad yang satu tidak dapat menggugurkan ijtihad yang lain”.
Disinilah perlunya ijtihad diperankan untuk memilih fiqh mana yang paling
relevan dengan kemaslahatan. Dengan cara seperti ini pula hukum Islam akan
22
23
. Hosen, Fiqh Perbandingan (Masalah Perkawinan), h. 8
. Al-Imam Jalaluddin 'Abdur Rahman ibn Abi Bakri As-Suyuti, Al-Ashbah wan Nazdahir
fil Furuu', (Beirut: Dar al-Fikri,t.th), h. 72.
selalu up to date, cocok dan relevan dengan tuntutan situasi dan kondisi,
sepanjang masa, sejalan dengan ungkapan: “Islam itu rel waktu dan tempat”.24
Seperti telah dijelaskan diatas, bahwasanya fiqh itu bersifat individu (tidak
mengikat), namun khususnya di Indonesia, umat Islam senang ber-taqlid buta
kepada hasil ijtihad sebagian mujtahid. Bahkan para ulama muta’akhkhirin
cenderung mewajibkan kaum Muslimin untuk terikat secara ketat dengan salah
satu mazhab empat. Mereka tidak membenarkan seseorang berpindah mazhab,
bagi yang berpindah mazhab, menurut mereka, harus dijatuhi ta’zir (sanksi).25
Pandangan seperti ini tentunya tidak sejalan dengan Firman Allah yang
menyebutkan. Q.S. An-Nahl 16: 43
k 6 (Z> # V
V ; Dd ZH9 jXP
Artinya: “…Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui”.
26
I lHd"ﻡ= "ﻡ
“orang awam (yang tidak atau belum memenuhi syarat-syarat ijtihad) tidak
mempunyai mazhab”.
Hanya saja dalam rangka untuk mewujudkan kesamaan atau keseragaman
dalam amaliah – terutama yang menyangkut masalah kemasyarakatan
24
. Hosen, Fiqh Perbandingan (Masalah Perkawinan), h. 8
25
. Ibid., h. 10-11.
26
. Ibid
(mu’amalah) dan hal-hal yang tidak diwajibkan atau dilarang oleh Allah dan
Rasul (al-maskut ‘anhu), yaitu hal-hal yang termasuk kategori mubah. Terhadap
hal-hal yang bersifat mubah inilah pemerintah (ulil amri) diberi hak oleh ajaran
Islam untuk dipatuhi oleh umat Islam. Permasalahan fiqh seperti inilah yang
membuat pemerintah setempat sebagai unifying force langsung turun tangan.27
Jika pemerintah memerintahkan atau melarang sesuatu yang mubah, umat
Islam harus (wajib) mematuhinya,28 sepanjang mubah yang dilarang atau
diwajibkan itu menyangkut kemaslahatan masyarakat dan merupakan sesuatu
yang benar-benar mubah bagi masyarakat.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. An-Nisaa’: 41:59
) k (2"X #
ﻡ; ﻡ4 = 9 K .;
m
C
m9
ﻡ9 1یd. "OAیTی
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu…”
Ayat ini sejalan dengan hadits Nabi SAW:
# L.
I
29
C =N C K
*B "[3 R
K"J LK"J FI
# $*h03 ﺏp I 9 .VT FA X3/ h&3
C
@o " ﻡ1 ﺏn ﻥ1
Z
V- F
m
Artinya: Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a., dia berkata, "Rasulullah
SAW pernah bersabda, "dengarkan dan patuhi pemimpin kalian, meskipun kalian
27
. Ibid., h.12-13.
28
. As-Sanhuri, Tasyri’ al-Usrah, (Mesir: al-Jam’iyyah al-Misriyyah li al-Iqtisad as-Siyasi
wa al-Ihsa’ wa at-Tasri’, t.th), h. 566.
29
. Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih Al-Bukhari, h. 1055.
dipimpin oleh seorang budak dari Habasyah/Ethiopia yang rambutnya seperti
kismis". (H.R. Bukhari)
Sungguhpun demikian, umat Islam tidak wajib patuh manakala pendapat
atau ketetapan pemerintah itu membawa pada jalan maksiat atau kekufuran yang
nyata. Nabi juga menegaskan dalam sabdanya:
X
2;
"m r g
=
LK"J Iﻥ9 .
I
C = N D 3 . 1 F" O
P @0 S ﻡ; ﺏ9 VUP F@0 S ﻡ; ﺏq یV9 ".- FR;
C =
;
.l/9 " P F0 "._
30
1ﺏ- 1
g .X
* X ﻡR # $0
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., dari Nabi SAW beliau bersabda: "
Seorang Muslim wajib mematuhi yang dia senangi ataupun tidak (terpaksa),
kecuali jika dia diperintah untuk melakukan maksiat. Apabila diperintah untuk
maksiat, tidak ada kewajiban patuh dan taat”. (H.R. Muslim).
Khalifah pertama Abu Bakar Siddiq r.a., dalam pidatonya beliau pernah
mengatakan: (“Patuhilah saya dalam urusan kalian, selama saya juga patuh
kepada Allah. Bila saya durhaka kepada-Nya, jangan kamu patuhi saya. Bila saya
berbuat baik, dukunglah saya, dan bila saya berbuat buruk, luruskanlah saya”).
Dalam salah satu hadist shahih juga dikatakan, bahwasanya Rasulullah pada
waktu hendak mengutus Mu’az bin Jabal menjadi qadli negeri Yaman, beliau
bersabda:
Artinya; “Apakah yang engkau perbuat manakala keputusanmu dalam
sesuatu perkara? Mu’az menjawab, ‘aku putuskan menurut nash yang ada dalam
30
. Al-Hafizh ‘Abdul ‘Azhim bin ‘Abdul Qawi Zakiyuddin Al-Mundziri, Mukhtashar
Shahih Muslim. Penerjemah Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Cet.II, h. 723.
Kitabullah’, kata Rasulullah, ‘bagaimana jika tidak terdapat didalam Kitabullah’?
Mu’az menjawab, ‘aku putuskan menurut nash yang ada dalam sunnah Rasul’.
Kata Rasul, ‘bagaimana jika itu tidak terdapat didalam sunnah Rasul’? Mu’az
menjawab, ‘aku berijtihad dengan seksama’. Kemudian berkatalah Mu’az, lalu
Rasulullah menepuk dadaku dengan tangannya sambil mengucapkan:
C K
= ; "یC K
K
s.P \d. It & >
“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan
Rasulullah pada jalan yang diridhai oleh Rasulullah”. 31
Mungkin dari contoh sejarah singkat diatas, dapatlah kita ambil kesimpulan,
bahwasanya keputusan qadli (hakim/pemerintah) harus diikuti demi menciptakan
persamaan dan agar tidak terjadi perbedaan, dan Rasul telah nyata mengatakan
pendapat/tindakan Mu’az diatas benar dan tidak menyalahi ajaran Islam.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka penulis merasa sangat perlu untuk
mencoba meneliti bagaimana peran qaidah fiqhiyyah terhadap kebijakan
pemerintah di Indonesia dalam penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Untuk itu
penulis mencoba melakukan penelitian dengan judul: “PERAN QAIDAH
FIQHIYYAH
TERHADAP
KEBIJAKAN
PEMERINTAH
DALAM
PENETAPAN 1 (SATU) RAMADHAN DAN 1 (SATU) SYAWAL/IDUL FITRI
DI INDONESIA”.
31
. Hosen, Fiqh Perbandingan (Masalah Perkawinan), h. 13.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembatasan Masalahnya adalah bagaimana peran qaidah fiqhiyyah dalam
kebijakan pemerintah mengenai penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal di
Indonesia.
Dari latar belakang dan pembatasan masalah diatas, penulis dapat rumuskan
sebagai berikut:
Perbedaan waktu dalam penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal di Indonesia
berjalan tetap, walau masing-masing pihak menggunakan argumentasinya dalam
menentukan kapan jatuhnya tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Walaupun telah
ditempuh langkah oleh pemerintah untuk menyatukannya dengan menggunakan
sistem Imkanu Rukyat (kemungkinan hilal dapat dirukyat), namun tetap tidak
dapat disatukan. Harapan penyatuan secara penuh agaknya mustahil, bila
dihadapkan pada kelompok wujudul hilal, hal ini perlu penelusuran yang lebih
objektif dan komprehensif sehingga tetap dalam koridor kemaslahatan.
Dari rumusan diatas, dapat diajukan beberapa pertanyaan yang akan diteliti,
yaitu:
1. Bagaimana kedudukan qaidah fiqhiyyah dalam hukum Islam?
2. Bagaimana upaya pemerintah dalam penetapan awal bulan Hijriyyah?
3. Bagaimana peran qaidah fiqhiyyah terhadap kebijakan pemerintah dalam
penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui konsep dasar dari qaidah fiqhiyyah, serta fungsinya
dalam penerapan hukum di Indonesia.
b. Untuk lebih mengetahui bagaimana eksistensi qaidah fiqhiyyah terhadap
putusan pemerintah.
c. Untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab sehingga terjadinya
ketidak seragaman waktu/hari dalam melaksanakan puasa Ramadhan dan
shalat Idul Fitri.
2. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a. Agar tidak terjadi perbedaan waktu dalam penetapan awal Ramadhan dan
Idul Fitri, khususnya di Indonesia.
b. Bagi jurusan Ahwal Al Syakhshiyah, hasil penelitian ini dapat menambah
khazanah pemikiran.
c. Bagi dunia pustaka, hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan
koleksi dalam ruang lingkup karya ilmiah.
d. Bagi peneliti, dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam masalah
ini.
e. Bagi masyarakat, sekiranya bisa terciptanya ukhuwah Islamiyyah yang
adil dan benar sesuai dengan syari’at Islam.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian pada skripsi ini adalah penelitian hukum normatif dan studi
kebijakan, dalam arti penelitian yang menelaah permasalahan yang dikaitkan
dengan norma (kaidah) hukum, dalam hal ini qaidah fiqhiyyah, dan kebijakan
yang diambil adalah yang merupakan putusan pemerintah.
2. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu
data yang tidak disuguhkan dalam bentuk angka-angka. Dalam hal ini data
tersebut berupa pemikiran, yaitu kaidah-kaidah hukum Islam dan putusan
pemerintah serta berbagai pendapat dan fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) mengenai konsep penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal serta data-data
lain yang ada relevansinya dengan masalah yang dikaji.
3. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data
Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam skripsi ini adalah studi
dokumentasi, dalam hal ini penelitian kepustakaan (Library Research).
Sedangkan sumber data yang digunakan diantaranya adalah:
a. Sumber Data Primer, antara lain ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-hadits
Nabi yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas. Termasuk sumber
data primer juga adalah keputusan menteri Agama, kitab-kitab ushul fiqh
dan qawaid fiqhiyyah serta berbagai buku mengenai kaidah-kaidah hukum
Islam.
b. Sumber Data Sekunder, antara lain buku tafsir yang digunakan dalam
memahami ayat al-Qur’an yang dikutip dalam tulisan ini, serta beberapa
buku karangan para pakar hukum yang ada kaitannya dengan masalah
yang dikaji.
c. Sumber Data Tersier, yaitu pendapat-pendapat dari kalangan ormas-ormas
yang sesuai dengan masalah yang dikaji. Seperti MUI, Nahdlatul Ulama,
Muhammadiyah dll.
E. Sistematika Penulisan
Adapun mengenai sistematika penulisan, dalam hal ini peneliti membaginya
dalam lima bab yang secara garis besar adalah sebagai berikut:
BAB PERTAMA
Berisi tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian dan sistematika penulisan
BAB KEDUA
Berisi tentang qaidah fiqhiyyah dan kedudukannya dalam hukum syara’
yang meliputi pengertian qaidah fiqhiyyah, qaidah fiqhiyyah pada masa sahabat,
qaidah fiqhiyyah pada masa perkembangan, pembukuan, kematangan dan
penyempurnaan, dan kedudukan qaidah fiqhiyyah dalam hukum Islam.
BAB KETIGA
Berisi tentang penentuan awal bulan hijriyyah berdasarkan hisab ru’yat yang
meliputi pengertian hisab dan ru’yat, pandangan fuqaha mengenai penetapan awal
bulan hijriyyah dan aliran-aliran hisab ru’yat.
BAB KEEMPAT
Berisi tentang putusan pemerintah dalam menetapkan 1 (satu) Ramadhan
dan 1 (satu) Syawal berdasarkan qaidah fiqhiyyah yang meliputi upaya
pemerintah dalam penyatuan pendapat mengenai penetapan awal bulan hijriyyah,
qaidah-qaidah fiqhiyyah yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah dan
analisa/kedudukan putusan pemerintah dalam tinjauan qaidah fiqhiyyah.
BAB KELIMA
Berisi tentang penutup yang meliputi kesimpulan, saran-saran.
BAB II
SEJARAH SINGKAT QAIDAH FIQHIYYAH DAN KEDUDUKANNYA DALAM
HUKUM SYARA'
A. Pengertian dan Sejarah Singkat Qaidah Fiqhiyyah
Qa'idah secara etimologi ialah asas atau dasar.32 Ada juga sebagian ahli
fiqh yang mengartikan qaidah dengan aturan-aturan atau patokan-patokan. Bentuk
jamak dari qaidah ialah qawa’id, yaitu beberapa asas atau beberapa dasar dari
segala sesuatu, baik yang bersifat abstrak maupun yang bersifat konkrit. Atau
qaidah juga bisa disebut sebagai sesuatu yang bersifat umum yang mencakup
bagian-bagiannya. Kata qa'idah juga dapat kita temukan dalam QS Al-Baqarah
(2): 127
(%;Q3 #
g .X
ﻥo." ﻥ. ﻡZ.3Q " . ﺏZ " -
3 1& ﻡ
Q
H ;ﺏ- gP; یM*65u 5
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasardasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah
daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar
lagi Maha Mengetahui".
Arti fiqhiyyah yang diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan huruf “ya
nisbah” yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Fiqh sendiri
secara bahasa berarti suatu pemahaman yang sangat tajam atau mendalam.
32
. Ahmad Sudirman Abbas. Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
2004), Cet.Ke.I, h. 55.
Adapun fiqh secara istilah ialah mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat
amaliyah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.33
Dari pengertian singkat diatas dapatlah kita ambil beberapa kesimpulan
bahwasanya:
1. Menurut Imam Tajjudin as-Subki qaidah fiqhiyyah yaitu suatu perkara yang
kulli yang bersesuaian dengan juz’iyyah yang banyak dari padanya diketahui
hukum-hukum juz’iyyah itu.34
2. Qaidah fiqhiyyah ialah sesuatu yang merupakan kumpulan hukum yang
serupa, dimana antara satu hukum dengan hukum lainnya dipertemukan oleh
satu illat.35
3. Qaidah fiqhiyyah ialah qaidah yang memuat beberapa hukum syara’ dari
beberapa bab yang berbeda-beda sehingga bagian-bagiannya memiliki
hubungan yang erat kaitannya dengan qaidah itu.36
Sudah tentu masih sangat banyak lagi defenisi-defenisi yang lain tentang
pengertian
fiqh
maupun
qaidah fiqhiyyah.
Para ulama berbeda dalam
menakrifkannya karena berbeda didalam memahami ruang lingkup fiqh dan dari
33
. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 2-3.
34
. Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah & Fiqhiyyah “Pedoman Dasar Dalam
Istimbath Hukum Islam”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 97-98.
35
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 86.
36
. Ibid, h. 61
sisi mana mereka melihat
fiqh.37 Walaupun demikian, tampaknya ada
kecenderungan bersama bahwa fiqh adalah satu sistem hukum yang sangat erat
kaitannya dengan agama Islam.
Bila dicermati dua defenisi tersebut atau bahkan didefenisi-defenisi lain
yang dikemukakan oleh para fuqaha, maka makna fiqh dapat kita simpulkan pada
beberapa pokok, yaitu:
1. Sumbernya dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
2. Fiqh merupakan bagian dari syari’ah.
3. Membahas hukum yang bersifat amali.
4. Obyeknya terhadap orang mukallaf.38
5. Dilakukan dengan jalan istimbath atau ijtihad.
Proses pengambilan atau pembentukan kaidah fiqhiyyah dapat dirumuskan
sebagai berikut: Al-Qur’an/Al-Sunnah – Ushul Al-Fiqh – Fiqh – Qaidah
Fiqhiyyah.39 Maksudnya ialah al-Qur’an atau Sunnah merupakan produk utama
dalam pembentukan qaidah fiqhiyyah, ushul fiqh yaitu pengetahuan tentang
kaidah-kaidah yang dijadikan cara/metode untuk menetapkan fiqh atau bisa juga
disebut dengan metodologi hukum Islam,40 fiqh merupakan produk pemahaman
37
. Ahmad Djazuli, Ilmu Fiqh (Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam),
(Jakarta: Kencana, 2005), h. 6.
38
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 85.
39
. Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah Asasi), (Jakarta: PT. Raja Grafindo,
2002) Cet. Pertama, h. 160.
40
. Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 8-9.
para ulama terhadap al-Qur’an dan Sunnah, dan fiqh yang begitu luas diambil
prinsip-prinsip umumnya oleh ulama yang kemudian disebut qaidah fiqhiyyah.
Contoh:
41
"H&N "Q ﺏ
"ﻡ
Segala sesuatu tergantung kepada niatnya
Dasar pengambilan dari kaidah ini ialah ayat al-Qur’an surat al-Imran ayat
145:
6k)
(V ;
K # "O ﻡI q ﻥ%;ﺥT i 8 ; ی1" ﻡO ﻡI q&ﻥ "ﻥA i 8 ; ی1ﻡ
Artinya: Barang siapa menghendaki dunia niscaya kami berikan kepadanya
pahala dunia dan barang siapa menghendaki akhirat niscaya kami berikan
kepadanya pahala dunia.
Dan al-Qur’an surat al-Bayyinah ayat 5:
(0 3 # 2"v / 1یD& I 1 S [ ﻡC
&3
".- ;ﻡ9 "ﻡ
Artinya: Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan kepadanya dalam agama yang lurus.
Adapun hadits Nabi Muhammad SAW adalah
42
w".D " ﺏK " r " .ﻥ-
Semua amal perbuatan itu tergantung kepada niat pelakunya
41
42
. Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyyah, h. 39-40.
. Al-Imam Zainudin Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih Al-Bukhari:
“At-Tajriid Ash-Shariih li Ahaadits Al-Jaami’ Ash-Shahih: terjemah Achmad Zaidun, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2002), h. 31.
Qaidah fiqhiyyah disebut juga sebagai qaidah syari’iyyah43, bagi seorang
mujtahid untuk memudahkan dalam mengistimbathkan hukum yang sesuai
dengan tujuan dari syari’at dan untuk kemaslahatan manusia.
B. Qaidah Fiqhiyyah Pada Masa Sahabat
Sebelum kita membahas sejarah singkat qaidah fiqhiyyah pada masa
sahabat,
maka
alangkah
baiknya
kalau
dilihat
bagaimana
sejarah
pembentukan/munculnya qaidah fiqhiyyah yaitu yang dimulai pada masa
Rasulullah SAW. Berbicara masalah qaidah fiqhiyyah, berarti juga membahas
tentang ilmu fiqh. Karena ilmu fiqh merupakan induk dari tempat lahirnya qaidah
fiqhiyyah itu sendiri.44 Dengan melihat histori dari pembentukan fiqh ini,
hendaknya dapat memperoleh pandangan sekitar latar belakang dan situasi yang
melingkupi serta turut menyertai kelahirannya.
Posisi fiqh lebih berada pada wilayah praktis dari pada teoritis. Para sahabat
akan menanyakan persoalan baru kepada Nabi setelah persoalan itu terjadi. Tidak
ada usaha untuk membuat kerangka teori dalam berfikir untuk kedepan.45
Disamping itu Nabi tidak mewariskan ilmu fiqh dalam bentuk buku, beliau hanya
meninggalkan prinsip-prinsip hukum yang universal, qaidah-qaidah umum, dan
beberapa hukum-hukum parsial tertentu yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an
43
. Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah & Fiqhiyyah”, h. 97-98.
44
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 1
45
. Mustafa Ahmad Al-Zarqa', Al-Madkhal al-Fiqh Al-'Ami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1967), Juz.
I, h. 149.
dan al-Hadits. Qaidah-qaidah umum itu dapat dijadikan sebagai kerangka berfikir
untuk memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat parsial.46
Jadi dengan qaidah itu, fiqh akan tetap dinamis, fleksibel dan tetap akan
memiliki cakupan wilayah yang luas.
Sebenarnya al-Qur'an dan Hadits banyak mengandung ayat-ayat dan
penjelasan yang artinya sangat umum dan menjadi landasan bagi persoalanpersoalan yang bersifat parsial seperti:
a. Al-Qur'an
C".tﻥ- K& "ﺏ
> V9 b". 1 ﺏ
/ M- "O H9 = -
*)yLk (2"X # !; S!" ﺏ
ﻡT
A q V9
V" C .V- I ﺏx " ی. ﻥ
; ﻡT یC .VArtinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha Melihat”.
*6)L6u (Z ' ; -# !r
z 3= ﻥ./ 1 ﺏDd " ﻡ. "ﺥ;\ ﻡ9 p h% p
E " $$$
Artinya: “…dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain,
dan kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang Rasul”
*|}L)|# ( { # =
"" ﻡ.- 1XﻥU n V9
Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa
yang telah diusahakannya”.
46
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 2-3.
b. Al-Hadist
47
; "
; "
"Tidak boleh berbuat dlarar kepada diri sendiri dan orang lain"
48
w" D " ﺏK " 4 " .ﻥ-
"Perbuatan itu tergantung kepada niatnya"
49
Om ;< = V
X
"Orang Islam tergantung pada syaratnya"
Menurut ajaran Islam, yang memiliki otoritas tertinggi dalam penetapan
hukum adalah Allah SWT. Sedangkan Nabi Muhammad SAW ialah utusan Allah
yang bertugas untuk menyampaikan dan melaksanakan perintah-perintah yang
diberikan oleh Allah. Dengan demikian, segala sesuatu yang bersumber dari
Allah, yang disampaikan melalui wahyu-wahyu-Nya, yang berfungsi sebagai
peraturan-peraturan yang bersifat mengikat dan harus dilaksanakan. Fungsi dan
tugas Nabi Muhammad SAW tersebut ditegaskan Allah dalam firman-Nya QS.
Al-Hasyr (59): 7
(;?> # i"Q
& ﻡ% "
"Adat dapat dijadikan hukum"
Diperkirakan bahwa Imam al-Karhi (340 H), (teman abu Thahir),
mengambil sebagian qaidah yang telah dikumpulkan oleh Abu Thahir lalu
diintegralkan dalam risalahnya sehingga jumlahnya mencapai 30 qaidah.66
59
. Mubarok, Kaidah Fiqh, h. 63-65.
60
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 34.
61
. Ibid., 35
62
. Ibid
63
. Ibid
64
. Mubarok, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah Asasi), h. 65.
65
. Ibid
Pada abad ke 5 H, Imam Abu Zaid al-Dabbusi menambah jumlah qaidah
Imam Karhi. Pada abad ke 6 H muncul satu kitab yang ditulis oleh Ala'uddin
Muhammad bin Ahmad al-Samarqandi dengan judul Idhah al-Qaidah. Pada abad
ke 7 H, qaidah fiqhiyyah mengalami perkembangan yang sangat signifikan
walaupun terlalu dini untuk dikatakan matang. Diantara ulama yang menulis kitab
qaidah pada masa ini adalah al-'Allamah Muhammad bin Ibrahim al-Jurjani alSahlaki, ia menulis dengan judul Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam yang
sempat menjadi kitab yang terkenal.67
Karya-karya para Imam-imam diatas menunjukkan bahwa qaidah fiqhiyyah
mulai berkembang dengan pesat pada abad ke 7 H. qaidah fiqhiyyah pada abad ini
tampak tertutup namun sedikit demi sedikit mulai meluas.68
Adapun pembukuan tentang kitab qaidah fiqhiyyah ini mencapai puncaknya
yaitu pada abad ke 10 H, yaitu ketika masa al-Suyuthi (w. 910 H) dalam kitabnya
Al-Aysbah wa al-Nazair, ia mencoba menyederhanakan qaidah-qaidah penting
yang ada dalam kitab milik al-'Alai, al-Subki yaitu kitab-kitab yang membahas
tentang qaidah namun masih tercampur dengan qaidah ushul fiqh.69
Setelah beberapa abad qaidah fiqhiyyah ini berkembang dikalangan para
imam mazhab,
maka mereka juga berupaya untuk
66
. Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, h. 35
67
. Ibid., h. 36
68
. Ibid., h. 37
69
. Ibid., h. 39
memberikan suatu
penyempurnaan yang pada masa sebelumnya mengalami sedikit kekurangan
seperti berbentuk korpus yang tercecer dan lain-lain. Kematangan qaidah
mencapai puncaknya setelah muncul majallah al-Ahkam al-Adliyyah yang
dikerjakan oleh tim ahli fiqh pada masa pemerintahan Sultan Al-Ghazi Abdul
Aziz Khan Al-Ustmani pada akhir abad ke 13 H.70 Pada masa ini qaidah
fiqhiyyah juga dijadikan sebagai acuan dalam menetapkan hukum dibeberapa
Mahkamah.
D. Kedudukan Qaidah Fiqhiyyah Dalam Hukum Syara'
Kedudukan qaidah fiqhiyah dalam upaya untuk menentukan ukhuwah
Islamiyah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: dalil pelengkap dan dalil