Ekologi Makan dan Perilaku Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Hutan Bakau Taman Nasional Kutai , Kalimantan Timur

I. PENDAHULUAN

Upaya pelestarian satwaliar di habitat hutan hujan tropika dewasa ini sangat
intensif. Hal ini didasarkan pa& kekhawatiran akan semakin menurunnya popubi
satwaliar sebagai dampak pemanfaatan hutan terhadap lingkungan habitatnya. Dari
tahun 1981 sampai tahun 1985, setiap tahunnya 4,4 juta hektar hutan di seluruh dunia

ditebang dan 3,8 juta ha diubah menjadi lahan untuk tujuan bukan hutan, sehingga laju
pengurangan hutan di dunia sekitar 1 persen per tahun dari luas hutan yang tersisa
(WWF, 1990). Hilangnya kawasan hutan berarti berkurangnya habitat serta kemgaman

jenis satwa. Perlindungan satwa dan hutan sebenamya sudah dimulai sejak tahun 252
sebelum masehi, dimana Raja Asoka dari India saat itu mengumumkan perhdwgan
satwa, ikan dan hutan (MacKinnon g &. , 1990).
Perlindungan satwaliar di Indonesia, terutama satwa langka, sudah dimulai sejak
tahun 1931 dengan adanya Peratwan Perlindungan Binatang Liar 1931 (LeNegara 1931 No. 226 jis 1932 No. 28 dan 1935 No. 513). Diantara primata yang
dilindungi adalah bekantan (Nasalis lmancr), semua jenis gibbon (Hybbares spp) dm
orangutan (Pongo pygmaezu).

Upaya peningkatan konservasi satwa juga terus


dilakukan melalui penetapan dan penataan berbagai Kawasan Koaservasi, yang saat ini
sudah mencapai 20,4 persen dari kawasan hutan Indonesia. Kawasan Konsewasi ini

tidak hanya memelihara kelangsungan proses ekologi dan evolusi yang mendukung
keragaman jenis, tetapi juga untuk pelestarian plasma nuekonomis tinggi (MacKinnon g

g.,1990; WWF,

alami yang bernilai

1990). Pembangunan Kawasan

Konservasi ini diperkuat pula dengan dikukuhkannya Undang-Undang tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yaitu U.U. RI. No. 5 Tahun
1990.

Dengan adanya krbagai peruntukan dan kepentingan kawasan hutan maka tidak
semua populasi primata langka dm yang dilindungi tercakup dalam Kawasan
Konservasi. Untuk melindungi satwa yang berada di l w Kawasan Konservasi seperti
di kawasan Hak Pengusalmn Hutan (HPH), tentunya pemanfaatan hutan perlu

memwmbangkan batas toleransi satwa maupun habitatnya terhadap kenrsakan,
disamping mengembangkan Wilayah Konservasi di dalam Kawasan HPH (Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 25UKpts-111193).
Pelestiuian hutan di luar Kawasia Konservasi pentkg artinya bagi kelestarian
hasil hutan dan lingkungan.

Dalam peIestarian hutan tersebut perlu dicari suatu indi-

kator ekologis sebagai penentu terhadap kualitas lingkungan hutan. Kawasan hutan
yang dihuni oleh primata langka yang dilindungi, seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, primata dapat dijadikan sebagai acuan strategi konservasi hutan,
karena primata sangat tergantung pada pohon-pohon dalam melalcukan aktivitas harian
serta pohon sebagai sumber pakan utamanya.

Dalam hal ini pengetahuan tentang

faktor-faktor ekologis yang mempenganihi pola perilaku makan atau ekologi makan
(feeding ecology) dapat menunjang sistem pengelolaan habitat dan populasi satwa di
dalam Kawasan Konservasi maupun di kawasan hutan lainnya.
Di Kalimantan, jenis satwa p r i ~ ~ yang
t a perlu diprioritaskm untuk diteliti

ekologi makannya adalah bekantan (Narolislantancs Wurmb) karena jenis ini tergolmg
langka dan edemik, dengan habitat terhatas pada hutan bakau, hutan di sekitar sungai
dan rawa gambut yang sebagian telab terancam oleh berbagai aktivitas manusia.

Menurut McNeely et

a. (1990),

dari 29.500 km persegi habitat bekantan, sekarang

telah berkurang seluas 40 persen sedangkan yang bentatus Kawasan Konservasi hanya
4,l persen.

Akibatnya populasi bekantan cendemg menurun karena primata ini

kurang toleran terhadap kerusakan habitat (Wilson dan Wilson, 1975; Yeager, 1992).
Nasalis larvutus adalah jenis satwa dengan klasifikasi; Ordo (bangsa) Primata,

famili (suku) Cercaphitecidae, dan sub-famili (anak suku) Colobinae (Jolly, 1972).


nhgan atau tbuabu, kadtmg4xhg odr bi@a yang bemama kuniag kaddatm.

Ak?d~
lbw?fr~
h w t dan
~ Jbdb
~
fhwtus orfcfftolis(Kern, 1964).

.

-.

Informasi mengenai ekologi bekantan masih kurang (Yeager, 1989) demikian
pula tentang perilaku sosialnya (Rajanathan dan Bennett, 1990). Namun Qri berbagai
laporan yang ada, penelitian bekantan sudah mulai berkembaug. Yeager (1989, 1990)
meneliti ekologi dan perilaku sosial bekaatan di habitat hutan rawa gambut, Kalimantan
Tengah (Taman Nasional Tanjung Puting). Bennett dan Sebastian (1988) meneliti
organisasi sosial bekautan di hutan bakau di Sarawak sedangkan Salter et al. (1985)
melaporkan tentang sebaran, habitat dm populasi bekantan di Sarawak. Dalam ha1 ini,

penelitian ekologi yang mendalam terhadap bekantan yang berhtbitat di hutan bakau
belum ada.
Hutan bakau merupakan ekosistem estuaria den-

produktivitas tinggi ter-

utama ekosistem hutan bakau tip "riverinem(Lear dan Turner, 1977; Mitsch dan

Gosselink, 1984). Hutan bakau mempunyai fungsi ekologis dalam pelestarian jaringan
makanan (Dingwall, 1983), seperti di New Guinea terdapat 204 jenis ikan yang sangat
bergantung pada hutan bakau sedangkan di Kalimantan Utara diketahui 40 jenis &lam
33 genus ikan (Collette, 1983).

Selain nilai ekologis tersebut hutan bakau juga

mempunyai nilai dalam pertindungan pantai, habitat satwa, aestetika dan nilai ekonomis
(Dingwall, 1983). Terbatasnya sebaran dan luas hutan bakau serta tingginya nilai
kepentingan ekosistem tersebut maka upaya pelestarian hutan bakau perfu ditingkatkan

terutama sebagai habitat satwaliar.

Mengingat bahwa sangat tebtasnya sebaran dan luas hutan bakau di Kalimantan yaitu 383.450 ha (Darsidi, 1984) atau 13 persen dari seluruh habitat bekaotan,

sebaran populasi bekantan yang tidak merata (Salter g
t aJ., 1985; Yasuma, 1989) daa
sifat bekantan yang kurang toleran terhadap kerusakan habitat (Wilson dan Wilson,
1975) serta meningkatnya kebutuhan lahan untuk pertadan, pemukiman yang
memanfaatkan hutan bakau dan hutan di sepanjang sungai maka dikhawatirkan populasi
bekantan dimasa datang akan lebih terancam. Dengan demikian perlu upaya pelestarian
populasi bekantan dan ekosistem hutan bakau. Dalam program pelestaiian bekantan

tersebut diperlukan informasi tentang perilaku dan faktor lingkungan habitat yang
mendukung terhadap kebutuhan pakannya.
Sumber pakan prirnata dalam habitat menrpakan salah satu faktor ekologis yang
sangat menentukan terhadap kelestarian populasi prirnata. Kualitas dan kuantitas pakan
dapat berpengaruh pada perilaku dan organisasi s o d primata (Jolly, 1972; Raemaker

dan Chivers, 1980), mempengaruhi luas daerah jelajah (Whitten, 1982) dan perilaku
pergerakan primata (Jolly, 1972)- disamping pakan sebagai sumber energi untuk
pertumbuhan dan berkembangbiak. Mengingat besarnya peranan sumber pakan terhadap perilaku dan pelestarian primata, maka pengelolaan populasi dan habitat behntan


untuk pelestariannya @at dianalisis melalui faktor ekologi makan, yaitu hubungan
faktor lingkungan habitat terhadap poia perilaku makan dan aktivitas harian
habitatnya.

dalam

Untuk mengetahui informasi tersebut telah diadakan penelitian ekologi

makan dan perilaku bekantan di hutan bakau Taman Nasional Kutai, Kalimantm Timur
(Gambar 2).

Gambar 2.

Lokasi Taman Nasional Kutai.

Dengan keterba-

metode penelitian yang a& terutama yang berfiubungan

dengan kebutuhan pakan dan kebutuhan kalori untuk menunjang aktivitas harian setiap

individu dengan berat badan tertentu, maka dalam penelitian ini dikembangkan metode
penelitian untuk memen*

berat badan dan kelas umur beIrantan di lapangan.

2. Tujnan Penelitian
1. Mengetahui parameter ekologis habitat hutan bakau yang berperan terhdap
kerapatan, sebaran dan keragaman jenis tumbuhan dan sumber pakan bekantan.

2. Mengetahui sistem sosial, populasi dm biomas bekantan di habitat hutan bakau.

3. Mengetahui parameter ekologis yang mempengaruhi aktivitas harian d m perilaku
makan bekantan.

4. Mengetahui pola perilaku makan bekantan di habitat hutan bakau.

3. Kegunaan Penelitian
1. Mendapatkan informasi ilmiah teatang ekologi makan dan perilaku bekantan yang

berhabitat di hutan bakau di Kahmmbn.


2. Untuk m e n i n g k a b upaya konservasi jenis beltantan di habitat hutan bakau baik
di dalam maupun di luar Kawasan Konservasi.

4. Hipotesis
1. Variabel lingkungan fisik dalam habitat hutan bakau berpengaruh pa& komposisi,
sebaran dan dominansi jenis tumbuhan serta sumber pakan bekantan.

2. Pola perilaku makan bekantan Qxngaruhi oleh komposisi, sebaran dan keraptan
pohon sumber pakan serta Witas nutrisinya.

3. Poia periiaku -tan

akan mengarah pada sistem penggunaan energi yang

efesien melalui cam pemanfaatan ruang pengembaraan, pemanhtan strata hutan,
budget aktivitas harian dan strategi dalam mencari dan mengkonsumsi pakan.

5. Kerangka Pemikiran
Ekosistem hutan bakau habitat bekantan (Nasalis larvazus) berbeda dengan hutan

rawa gambut dan hutan tepi sungai lainaya, dimana hutan bakau dipengaruhi deh
pasang surut air laut dengan salinitas tin&.

Keadaan ini berj~ngaruhpada tanah

hutan, sehingga tidak terdapat drainase tanah dan salinitas yang tinggi (Lear dan

Turner, 1977).
Pasang surut air laut juga berperaa sebagai pembawa unsur hara dan nmskibii-

kan salinitas tanah, sehingga tidak terjadi kompetisi tumbuhan bakau dengan tumbuhan
yang tidak toleran terhadap tanah bemahitas tinggi. Selain itu sungai juga berperan
dalam mengatur dinitas dan kondisi fisik dan kimia tanah hutan bakau sehingga ada
perbedaan vegetasi tepi sungai dengan di bagian dalam (Mitsch dan Gosselink, 1984).
Sungai tidak saja berpengaruh pada fisik kimia tanah dan vegetasi, juga sebagai habitat
satwa predator, parasit dan pembawa polutan yang a h berpengaruh terhadap poputasi

bekantan.
Lingkungan fisik hutan bakau di atas akan mempengaruhi produktivitas,
sebaran, kerapatan dan biodiversitas tumbuhan yang akan meaentukan pula tezhadap

kuantitas dan kualitas nutrisi sumber pakan bekantan, yaitu kandungan protein, l e d ,
serat kasar,karbohidrat dan mineral dari daun, bunga dan buah. Kuantitas dan M t a s
sumber pakan tersebut akan membentuk pola perrlaku bekantan. Hubungao f h r
biotik dan fisik habitat hutan bakau yang dapat membentuk pola perilaku maltan dikemukakan sebagaimaua diagram berikut (Gumbar3.)

Gambar 3.

Faktor Lingkungan dalam Ekologi Makan dan Perilah
Bekantan (NusaIis larvaus) di Hutan Bakau.

Ekologi makan adalah interaksi faktor lingkungan habitat terhadap aktivitas dan
perilaku yang membentuk pola peril*

makan.

Aspek yang menentukan terb&p

pola perilaku makan tersebut adalah perilaku sosial individu atau kelompok Mam
mencari makan, aktivitas pergerakan dalam ruang pengembaraan, aktivitas harian dan
budget aktivitas serta perilaku makan yang meliputi jenis pakan, jumlah kalori yang
dikonsumsi dan teknik makan.

Sebagai pembanding, untuk mengetahui kebutuhan

pakan dan kalori bekantan perlu dilakukan penelitian terhadap bekantan yang &tang-

karkan. Kebutuhan tersebut dilihat dari jumlah dan kalori pakm yang dikmsumsi
rnaupun dari jumlah nitrogen urin yang dikeluarkan.

Faktor lingkungan yang mempengaruhi pola perilaku makan sangat berperan
terhadap kelestarian populasi bekantan. Dengan demikian upaya pelestarian populasi
bekantan melalui pengelolaan habitat harus ditinjau dari faktor lingkungan yang berhubungan dengan ekologis makan tersebut.

11. TINJAUAN PUSTAKA

Primata sangat selektif dalam mernilih habitat yang sesuai dengan potensi
sumber pakan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara teori, sumber pakan
merupakan faktor yang paling penting ddam pemilihan habitat tersebut (Clutton-Brock,
1977). Bagaimana satwa melakukan seleksi terhadap habitat yang disukainya dapat
dipandang dari dua segi, Pertama addah secara genetik, dimana setiap individu dapat
bereaksi terhadap keadaan lingkungan sehingga mampu rnelakukan pemilihan habitat
yang sesuai.

Kedua adalah adanya hubungan antar jenis atau kelompok serta proses

belajar sejak dari umur muda atau belajar dari pengalaman yang didapat dari individu
yang lebih tua. Kedua faktor ini dapat terlihat pada pola jelajah dan ruang pengembaraan (home range) primata yang sesugi dengan perilaku sosial dan perilaku makannya
dalam lingkungan habitat (Whitten, 1982).

1 Habitat dan Sumber Pakan
Adanya keragaman jenis dan sbditur fisik hutan sebagai habitat, secara terpisah
atau bersama-sama akan menyedialcan berbagai relung (niche) yang potensial dalam

sebaran satwa. Hal ini dictukung oleb besarnya volume tajuk sebagai penghasil produktivitas primer yang a k a diikuti oleh paoduksivitas sekunder (satwa). Hutan tropika

dataran rendah di Asia, Afrika dan AQaerika, menghasilkan 6 - 7 ton per ha serasah
kering pertahun, di Malayasia sekitar 7,s ton per ha (Reamakers et -.*
a1 1980) dan hutan
bakau dapat menghasiikan 5 ton daun muda per ha per tahun (Clough g

a., 1983).

Struktur fisik hutan yang terbtmtuk oleh adanya pedmbin tinggi pohm menurut
jenis, umur maupun sifat tumbuhnya.

Keadaan ini membentuk strati-

yang

menciptakan relung ekologi tertentu, seperti adanya perbedaan ketinggian tempat

makan tiap jenis primata simpatrik pa& pohon (Oates, 1977). Disamping ihi akan

memberikan tempat bagi satwa mamalia herbivora lain dan burung untuk mencari

makan.

Satwa tersebut dapat membantu percepatan regenerasi hutan melalui

penyebaran biji tumbuhan sebagai sisa makanan, baik oleh primata atau burung serta
mempercepat proses daur ulang unsur-unsur penting ke lingkungan (Raemakers g g.,
1980). Bekantan (Nasals larvam), dapat meningkatkan biodiversitas tumbuhan di
habitatnya melalui cara makan yang mengurangi jumlah biji tumbuhan dominim,
sehingga memberikan kesempatan h g i biji tumbuhan yang tidak dominan untuk
tumbuh dan berkembang (Yeager dan Bbndal, 1992).
Hutan tropika Malesia me-

keragaman jenis primata yang tinggi, baik

primata pemakan daun (folivorous) mupun pemakan buah (frugivorous). Hal ini
didukung oleh ekologi dari setiap jenis primata dalam memanfaatkan sumber pakan
yang berbeda sesuai dengan jenis paLan yang disukai, penggunaan stratifikasi tajuk
hutan dan pola pergerakannya (Curtin Ban Chivers. 1979). Keragaman jenis tumbuhan
yang tinggi di habitat primata, temtama primata simpatrik akan memungkinkan
tingginya keragaman jenis pakan mermnrt ruang dan waktu. Walaupun di hutan primer
banyak terdapat pohon besar dan tinggi, pada umurnnya kehidupan satwa lebih banyak
berkisar pada ketinggian antara 25-35 m dan 15-30 m kecuali pada habitat tatentu,
seperti di tepi sungai (Curtin clan Chives, 1979).
Sumber pakan prirnata di alam dapat dikelompokkan atas tiga kategori yaitu
bagian vegetatif tumbuhan, bagian mpduktif tumbuhan serta hewan. Dalam hal ini
dapat berupa daun, bunga, buah, telur burung maupun serangga. Selain itu juga bagian
tumbuhan yang berupa umbi dengan nilai nutrisi sama dengan buah yang mengandung
protein, asam amino bebas, vitamin C dan gula yang bermanfaat (Chivers dan Raemakers, 1984). Umumnya bagian vegetatif pohon dan tanaman memanjat dapat dima-

kan primata, termasuk daun muda maupun tua (Chivers dan Raemakers, 1980). Orangutan &pat mernakan kulit kayu (Rijksen, 1978) demikian juga jenis-jenis tupai (Whitten
dan Whitten, 1987). Perilaku Cercocebus albigena yang memakan kulit pohon Celtia

afn'cana merupakan perilaku yang unik karena rasanya tidak manis (Waser, 1977).

Ateles panism,monyet di Suriname memakan kayu lapuk dan akar napas
selain dari bunga, dam, umbi, madu dan serangga. Dari sejumlah 207 jenis tumbuhan
sebagai sumber pakamya, 68,l % adalah jenis pohon, 25,6 % jenis liana, 1 % herbceus dan 5,3% epipit yang kesemuanya tergolong dalam 58 suku. Jenis yang terbanyak
sebagai sumber pakaonya (29 jenis) U a h dari suku Moraceae (Roosmalen, 1980).
Jenis-jenis Moraceae ini merupakan sumber pakan yang penting bagi primata karena
dapat berbuah 2-3 kali setahun (Curtin dan Chivers, 1979). Cendawan juga mempkm
sumber pakan primata (Waser, 1977; Bismark, 1980) dan memakan tanah untuk
memenuhi konsumsi natrium yang kurmg didapat dari tumbuhan (Oates, 1977; Hladik,
1977).
Masalah dalam pakan primata di hutan tropika adalah senyawa fitokimia yang

bersifat toksin, disamping selulosa dan lignin (Oates, 1977, Hoshino, 1985). Jenis
primata pemakan dam terutama dari anak suku Colobinae, dalam mencerna selulosa
bersimbiose dengan mikroba lambung (Bauchop, 1978), tetapi proses ini akan kurang
efektif bila terdapat lradar lignin yang tinggi (Oates, 1977). Senyawa fitokimia yang
terdapat dalam daun (tergolong seqawa sekunder) berpengamh terhadap tingkat
kesukaan mamalia herbivora untuk memakannya. Tumbuhan yang terdapat di hutan
tropika yang miskin nutrisi dan baoyak mengandung senyawa fitokimia sebagai
senyawa untuk pertahanan, sepexti teabdap insekta (Hladik, 1977, Curtin dan Chivers,
1979). Senyawa sekumk tersebut drpat berupa asam amino non protein, alkaloid
dan fen01 yang kesemuanya berpengaruh pada perilaku rnakan satwa (Hladilr, 1978).

Tanin &pat mengkoagulasikan pfotei~dan enzim pencemaan. Pada beberap primata
terlihat tidak ada koretasi yang sangat nyata antara intensitas makan dengan seayawa
sekunder tersebut (Whitten dan Whitten, 1987) namm satwa tetap berupya menghindarkan efek keracunan makanan seminimal mungkin (Oates, 1977).
Jenis pohon sumber pakan primata di hutan tropika yang mengandung senyawa
sekunder

terrnasuk

dalam suku Anacardiaceae,

Apocyanaceae, Burseraceae,

Chrysobalanaceae, Dipterocmpaceae, Ebenaceae, Meliaceae, Moraceae, Myrhbceae,

Myrtaceae, Rubiaceae, Sapindame, Sapotaceae, Strerculiaceae, Xanthqhyllaceae.
Jenis liana; Linaceae dan Combretaceae banyak mengandung tanin. Jenis tumbuhaa
yang mengandung senyawa sekunder, bagian yang dimalran siamang (Symphafangus
syndactylus) adaiah daun muda, sedangkan untuk jenis pakan primer, seperti Sloeria

elongata, Endospermurn malaccense dan Ficus spp. bagiaa yang dimakannya meliputi
buah dan dam muda (Curtin dan Chivers, 1979).

Dalam kaitan dengan senyawa sekunder ini, Cobbus satanas di Gabon memilih
pakan berupa daun yang kaya nutrisi serta mudah dicerna dengan kadar sera dan tanin
yang rendah. Bila pakan tersebut tidak tersedia maka monyet lebih banyak mendm
biji-bijian (Harrison, 1984). Perbedaan komposisi pakan dapat teijadi peda habitat
yang be-,

terutama perbedaan tingkat kesuhuran tanah yang akan mempe!agambi

jenis tumbuhan. Perbedam ini terlihat pada C. sufunus di Gaban dan di Cameroon
(Tabcl I), dalam hal ini tumbuhan dominan di Gabon adalah dari suku Mimosaceae,
Caesalpiniaceae dan Burseraceae, sedangkan di Cameroon E u p h o r b i i , C k d p i niaceae clan Olacaceae (Harrison, 1984).
Tabcl 1. Perbandingan Komposisi Pakan C. satanas pada Dua Habitat
Berbeda (Hanison, 1984).
Tekstur Tanah (%)

Pakan C, satanas

(%)

Lokasi

Lope, Gabon
Dona la-Eder Cameroon

Pasir Debu L i a t

pH

B i ji

21
6

4,5
3,9

60
53

51
86

28
8

Perbedaan perilaku makan juga terlihat pa&

Daun Muda Daun Tua
23
20

3
20

bekantan yang berbeda lokasi

habitat seperti di hutan bakau Taman Nasional Bako dan di Suaka Matgasatwa
Samunsam, Sarawak, dimana pada Taman Nasional Bako aktivitas makan bekantan

sejumlah 63,2 persen, sedangk. di hutan bakau Suaka Macgasatwa Samunsan 13,l
persen (Salter

gal., 1985). Bekantan sebagai primata pemakan daun yang bersifat

seperti ruminansia (Hladik, 1978) butuh pakan yang perbandingan protein dengan serat
kasamya rendah (Bennett dan Sebastb, 1988). Di hutan Di-eae,

dengan

tanah miskin hara menghasilkan daun dengan rasio protein dan serat yang reidah pula,
sehingga bekantan tidak dapat menempati habitat yang &milch (Bennett dm
-Sebastian, 1988).
Hutan bakau yang menerima m;rsukaa unsur hara dari sungai dan dari pasang air
laut, melalui endapan dan proses dekomposisi oleh jasat renik (Lear dan Turaer, 19n)
menyebabkan tanah hutan bakau kaya unsur hara, seperti unsur N yang berperaa daiam
peningkatan produktivitas daun bakau (Clough g gj., 1983). Disamping itu daun bakau
lebih banyak mengandung mineral yang sangat dibutuhkan oleh satwa nrmiraaasia.
Dalam habitat hutan, pakan primata taxbar secara vertikal dan horizontal.
Dengan demikian primata akan bergerak secara vertikal maupun horiuMtal urituk
mencari makan sesuai dengan tingkat kesukaan terhadap suatu jenis pakan, tenrCama
kaitannya dengan kadar nutrisi (RoosmaIen, 1980) dan habitat (Harrison, 1984).
Keterbatasan sebaran pakan utama menyebabkan pimata mempertabankan
home range (daerah jelajah) tertentu dengan pemanfaatan yang efesien meIal~pola
pergerakan (Leighton dan Whitten, 1984). C. satanas dengan komposisi pakan didominasi oleh biji-bijian mempunyai d a d jelajah rnencapai 184 ha, dalam 5 hari dapat
menjelajahi areal seluas 84 ha, sAa@aa pada C. satunus dengan pakan yang di
dominasi daun daerah jelajahnya 69 ha dimana dalam waktu 5 hari &pat menjelajahi

areal seluas 60 ha (Harrison, 1984).

Setiap jenis primata menunjukkan pola aktivitas harian m t u . MacKinnon
clan MacKinnon (1980) mencontohkan bahwa Hylobazes lar lebih banyak makin dan

berjalan dengan waktu istirahat yang sedikit sekali hingga pukul 16.00 kemudian siap
menuju pohon tempat tidur. Berlainan dengan Presbytis rnelalophos, jenis ini mempunyai waktu istirahat yang banyak dan belum beristirahat untuk tidur hingga pukul
19.00.

Perbandingan penggunaan waktu dalam aktivitas utama, yaitu makan (feed),

berjalan (travel), istirahat (rest) dan bersuara (call) untuk beberapa jenis primata terlihat
pada Gambar 4.
Banyak peneliti mengkaitkan pola pengerakan atau bagaimana pola primata
menggunakan home rangenya (ruang pengembaraan) dengan sebaran dan jumlah
sumber pakan.

Selain itu ada pula kaitannya dengan sebaran pohon tempat tidur,

sumber air atau kebutuhan untuk mempertahankan teritori serta interaksi sosial dan
upaya menghindarkamya dalam kelompok (Bennett, 1983).

Gambar 4.

Perbandingan Aktivitas Makan, Jalan, Istirahat dan Bersuara dari
Jenis Primata (MacKinnon dan MacKinnon, 1980).

Bennett (1983) dalam laporannya telah membandingkan berbagai faktor yang
berpengaruh pada pergerakan jenis-jenis Colobinae. Dalam waktu singkat Presbytis
rnelalophos dapat bergerak jauh bila makanan yang disukai tersebar, demikian pula
dengan Colobus baditcs. Tetapi Presbytis entellus, dan C. satanas kurang aktif mela-

kukan pergerakan (jalan) saat makanan banyak. Suguinus aedipus dapat berjalan jauh

bahkan seminomadik saat makanan kurang. Berlainan dengan C. satanus di habitat
yang daun tumbuhannya banyak rnengadung senyawa sekunder, monyet tidak banyak
melakukan seleksi terhadap pakan sehingga saat makanao kurangpun tidak berjalan jauh
untuk mendapatkan makanan. Dari sini Bennett (1983) berkesimpulan bahwa @sku
pergerakan primata teradaptasi &lam upaya mencari makan secara efisien. Roosmalen
(1980), meneliti bahwa sebaran dan kepadatan sumber pakan utama serta s e b m jenis
pohon tempat tidur adalah dua faktor dominan yang mempengaruhi poki pergerakan
A. paniscus.

Pergerakan harian siamang yang dilaporkan Chivers (1974) berbeda saat musirn
hujan dan musirn kering, pada musim kering pergerakannya mencapai 1.358 m perhari

dan musim hujan 725 m perhari. Perbedaan habitat, juga menunjukkan pedAaan
dalam pergerakan P. mehlophos (614-766 m per hari). Nylobates klossii melahukan
perjalanan sejauh 1508 m setiap hari untuk melakukan pengonbrolan di wilayah
teritorial, mencari variasi dan jumlah makanan yang cukup dan pengaruh cuaca kurang
terlihat dalam perbedaan jarak yang ditempub setiap hari (Whit&en, 1982).

3. Perilaku makan
Primata mempunyai komposisi pakan tertentu, sesuai dengan kondisi habitat dan
musim (Curtin dan Chivers, 1979; Iwmoto, 1982; Harrison, 1984) sehingga keadaan
ini dapat menunjukkan perbedaan pola perilaku makan.

selain itu perilaku makan

primata berkaitan erat dengan kualitas mmber pakan seperti tingghya kadar selulosa
yang tidak dapat dicerna serta adanya senyawa sekunder yang bersifat toksin dalam

pakan (Oates, 1977), sehingga kedua faktor ini merupakan faktor utama ciatam ekologi

makan (feeding ecology) primata (Harrison, 1984).
Richard (1977) menelaah tentang teknik makan, tempat dan ketinggian, pola
aktivitas, komposisi pakan, bagian yang dimakan, variasi pakan dan jumlahnya serta
pola pergerakan sebagai parameter pola perilaku makan.
Menurut jumlah clan jenis malranannya, primata digolongkan pada dua tip,
yaitu frugivorous lebih dominan memakan buah dan folivorous lebih dominan medaun. Jenis dari suku Hylobatidae termasuk tipe fiugivorous, seclangkan jenis dari anak
suku Colobinae (Prebytis spp clan Nmalis

b l a r v a n c ~ )tergolong dalam tip folivomus.

Prirnata dari anak suku Colobinae memgunyai sistem pencemaan mirip
ruminansia. Sistem pencemaan rurninansia sudah banyak diteliti, namun pada jenisjenis Colobinae belum.

Sistem pencemaan tersebut dikenal dengan polygastric,

diantaranya terdapat organ 'fore-stomach',

tempt terjadinya proses fematasi

makanan oleh bekteri (Bauchop, 1978; Hladik, 1978). Dari proses fermentasi tersebut
didapatkan hasil sebagi berikut (Bennet, 1983);

1. Bakteri menghasilkan vitamin, dengan demikian satwa tidak terlalu tergantung pa&
vitamin yang dikandung makanan, kecuali vitamin A dan D.
2. Bakteri dapat menggunakan Nitrogen non protein untuk tumbuh. Urea yang terjadi
akibat katabolisme protein dapat dirubah balcteri menjadi protein. Bakteri dapat
1010s dari lambung ke usus halus sehingga satwa mendapat tambah protein yang
berkualitas tinggi.

3. Penggunaan urea dalam sintesa protein oleh mikro flora menyebabkan purunan
jurnlah urea sehingga menghemat pengeluaran air dalam bentuk win.
4. Bakteri dapat menetralisir pengaruh toksin yang berasal dari tumbuhgn yang
dimakan satwa.

5. Besarnya jumlah bakteri dan perkembangbiakan yang cepat menyebabkan laju
fermentasi cepat pula sehingga membuat toksin pada rnakanan baru tidak aktif.

disamping itu terjadi pula degadasi karbohidrat menjadi asam lemak mudab
menguap.
Primata monogastric seperti Hylobates spp lebih banyak memakan makanan
yang mudah dicerna, banyak mengandung gula serta tidak mengandung alkoloid.
Perbedaan lain antara primata monogastrik dengan jenis Colobinae adalah dalam
menenuhi kebutuhan nutrisi tetenttu, primata monogastrik memakan pakan berkadar
nutrisi rendah dalam jumlah besat karena laju pengolahan makanan lebih cepat,
sedangkan Colobinae akan memakan tumbuhan yang mempunyai kadar nutrisi yang
tinggi (Bennett, 1983).

Menurut Milton (1981) perilaku memilih pakan pada primata berkaitan dengan

ukuran tubuh dan anatomi pencemaan. Dalam hubungan dengan anatomi pemmaan,
volume saluran pencernaan -tan

lebih besar diantara jenis Colobinae lain

(Takl2).

Tabel 2.

Perbandingan Volume Pencernaan dari Beberapa Jenis Colobinae
(Bennett, 1983).

p en is

Volume
Saluran
Pencernaan
(cm3)

Alouatta palliata
Alouatta seniculus
~resbytismelalophos
~resbytisrubicunda
~resbytisobscura
Nasalis larvatus
Colobus pol ykomos

1598
1368
3168
3113
3805
8371
2523

Perbandingan
Volume Saluran
Pencernaan (cm3 )
dengan
Panjang Badan (cm)
31,l
22,4
64,9
55,6
74,6
130,8
44,3

Perbedaan waktu (musim) yang erat kaitannya dengan fenologi pobm akan
berpengamh pada komposisi jenis pakan primata.

Curtin dm Chivers (1979)

membandingkan proporsi komposisi

pakan S y m p h h g u s syndaczylus (siamang)

dengan Presbytis obscwa di Malaya pada @ode

Januari - April dan Mei sampai

Agustus (Tabef 3). Macaca jkcata, pada musim semi makanannya terdiri dari 90
persen buah dan 8 persen hewan invertebrata, sedangkan pada musim dingin terdiri 70
persen daun (Iwamoto, 1982).

TabGJ 3. Komposisi Pakan Siamang dan P. obscura dari Januari-April (A)
dan Mei-Agustus (B) (% hjungan), (Curtin dm Chivers, 1979).
-

-

Siamang

P. obscura

Makanan
A

B

A

B

Daun Muda
Buah
Bunga
Serangga

Bekantan makan bunga, buah, daun dan biji tumbuhan. Pakan -tan

di

Sarawak terdiri dari 90 jenis tumbuhan yang termasuk &lam 39 suku. Tumbuhan dari
suku Dipterocarpaceae, Shizophoaceae dan Sapotaceae merupakan pakan yang disukai.
Di hutan bakau, 10,6 persen waktu makannya untuk memakan Sonneraria &, 7,6
persen untuk Avicennia &a dan hanya 0,8 persen untuk Rhizophora spp (Salter g
t @. ,
1985). Menurut Bennett dan Sebastian (1988) pakan bekantan terdiri dari dam tua 3
persen, daun muda 38 persen, bunga 3 persen, buah 35 persen, tangkai buah 6 persen
dan biji 15 persen. Angka tersebut adalah berdasarkan frekuensi makan yang diamati

di lapangan. Selain itukkantan juga memakan cendawan (Bismark, 1980).

Berdasarkan frekuensi pengambdan sumber pakan dan berat setiap unit yang
dikonsumsi, Whitten (1982) telah menaksir jumlah pakan yang dikonsumsi oleh
Hylobates Wossii ( T a w 4).

Pakan seberat 1.648 g mempunyai volume &tar

815cm3. Jenis pakan yang dimakan msebut mempunyai pol*, dimana serangga, pucuk

daun dan buah palm dimakan sesudah pukul 11 dan buah-buahan dimakan menjelang
sore hingga mendekati malam (Whitten, 1982). Pakan prirnata juga meliputi kayu
lapuk (Roosmalen, 1980; Whitten, 1982) dan tanah liat (Hladik, 1977; Oates, 1977).

Tabel 4.

Perkiraan Berat Pcakan

Hybbaes Wossii (Whitten, 1982).
-

Makan

Berat Basah
(9)

Jumlah

Berat T o t a l

Dimakan

(9)

Buah Knema conferta
Buah Age1 aea macrophyl7a
Buah A7angium ridleyi
Buah Rotan
Buah Pometia pinnata
Serangga
Pucuk daun
Buah lainnya
Total

Presbytis dilaporkan memakan sarang rayap (Oates, 1978) dan tanah (bennett,

1983) untuk memenuhi kebutuhan mineral. Kebutuhan m i n d pa& primata telah
diteliti pa& pakan Macaca mulatta sebagaimana pada Tabel 5. Selain untuk memenuhi kebutuhan mineral guna proses fisiologi tubuh, mineral juga berguna dalam
menetralisir efek keracunan dari tumbuhan yang dimakan dan untuk mempertahankan

pH lambung (Oates, 1978; Bennett, 1983). Untuk memenuhi kebutuhan Na, monyet
Colobus memakan tumbuhan rawa sedangkan untuk memenuhi kebutuhan asam amino
primata &pat memalran serangga (Oates, 1977).

Tobcl5. Kebutuhan Mineral M. mulatta (mgfkg berat badadhari) (Oates,
1978).

1 Tahun

89 114 152 11,l 44 119 1,9 0,11 0,20 1,4 0,02
- 0,06
Dewasa (Jantan) 170 115 153 10 130 230 5
0,48 1,6

Dalam beberapa kasus, jenis-jenis primata simpatrik dengan ruang pengembaraan yang tumpang tiadih memakan jenis tumbuhan yang sama, tetapi terdapat
perbedaan dalam ketinggian tempat makan. Keadaan ini menmjuklran adanya relung
ekologi dari jenis primata simpattik. Pehedaan pakan, seperti pucuk, tangkai daun,
bunga, buah dan kemarnpuan primata untuk makan tumbuhan yang sama dalam tingkat
pertumbuhan yang ber'beda serta perbedaan waktu makan merupakan pemisah ekologi
diantara jenis yang simpatrik (Glutton-Brock, 1977; MacKinnon clan MacKinnon,
1980). Ketinggian tempat makan dapat berkaitan dengan berat badan, seperti perbe-

daan berat antara individu betina dan jantan serta dari kemungkinan resiko terhadap
predator. Perbandingan aktivitas 7 jenis primata menurut ketinggian dapat dilihat pada

Gambar 5 (MacKinnon dan MacKinnon, 1980).
Selain sumber pakan yang berasal diui twnbuhan dan hewan, air meqdcan

falrtor penting dalam pakan primata, sehingga penyebaran sumber air, curah hujan dan
jumlah hari hujan bqengaruh pada aktivitas pergerakan primata di daerah savana
(Linburg, 1977). Di hutan tropika, jenis Hylobmes wnumnya mendapatkan air dari
daging buah dan daun yang dimakamya disamping dapat pula meminum air hujan yang

tergenang dilekukan diantara cabang pohon, pa& ketinggian 10

-

18 m.

Siamang

minum dengan cara merendam tangannya dalam genangan air atau menyapu embun
pada pohon yang licin dan menuangkannya ke mulut, mengisap atau menjilat air yang

m e d bulu tangannya (Chivers, 1974).

TRAVEL

Gambar 5.

Aktivitas Makan dan Pergerakan FWxmta pada Berbagai Strata Tajuk
Hutan ( MacKinnon dan MacKinnon, 1980).

Lemur catta dan Lemurfilvus men-

air dengan cara menjilat daundaun

di pagi hari, melalui daun dan buah yang dimakannya, minum pada air yang tergenang
di lekukan pohon dan kadang-kadang langsung minum di sungai (Sussman, 1977).
Bagi bekantan, sumber air berupa sungai, penting sebagai sarana aktivitas berenang
(Bennett dan kbastian, 1988) dan berkomunikasi (Yeager, 1991).

Alouatta palliata rninum pada genangan air yang ada diantara percabaqan

besar. Dari penelitian Glander (1978), fiekuensi miwm A. palliuta lebih tin& pada
musim hujan dibadingkan dengan musim kemarau. Pada musim hujan monyet tersebut
makan daun tua lebih banyak dari pada di musim kemarau. !kringnya monyet minum
pada musim hujan, erat hubungannya dengan usaha melarutkan dan mengurangi
kemungkinan adanya pengaruh toksin daun tua yang dimakan.

4. Kebutuhan Pakan dan Kalori
Penelitian kebutuhan pakan bagi primata dalarn penangkaran sudah banyak,
diantaranya Sacoglottis gabonensis. Untuk berat badan 2,5 kg jenis ini membutubkan
129 g makanan (basah) dalam satu hari. Kelompok monyet Mudrillus sphinx yang
terdiri dari 15 individu dengan komposisi 1 jantan dewasa (berat badan 25 kg), 6 betina
dewasa (berat badan 11 kg) dan 8 individu remaja (2,5 kg) kebutuhannya tehdap
buah-buahan minimum adalah 3,l kg (berat basah) dan untuk kelompok dengan judah

90 individu butuh 18,6 kg buah (berat basah) (Hoshino, 1985).

Whitten (1982)

memperkirakan kebutuhan pakan H. Wossii yang hidup liar sebesar 1648 g berat basah
perhari ( T a k l 4), sedangkan M. Jhsc~~a
membutuhkan makanan 300 g berat kering
perhari (Iwamoto, 1982).
Kebutuhan pakan bagi primata erat kaitannya dengan penggunaan energi setiap
hari.

Wheatley (1982) melaporkan bahwa kebutuhan energi orangutan (Pongo

pygmaeus) dengan berat badan 55 kg adalah 2333 kcal perhari sedangkau untuk
Macaca fascicularis dengan berat badan 5 kg butuh energi 855 kcal perhari. Penentuan

kebutuhan kalori yang dilaporkan WheatIey (1982) adalah didasarkan atas persamaan
yang dikemukakan Moen (1973). Dalam ha1 hi kebutuhan ~
(kcal) per jam adalah B.M = 70 (w'.~~)/%, Wrahat

=

70

g metabolisme
i
basal

f15) (1,1)124; berlari

= 70 (@s73 (8,124; berjalan 1 km = (0,59) (W) (Dkm); pergerakan v

0,l km = (6,45) (W) (Hkm) mencari makan (foraging)
70.~ . 0 - ~ ~ ( 3 )dimana
/24 W

=

=

m untuk

(0,54) (W) dan berm*

=

berat b a h dalam Kg, D = jarak dalam km; H = jarak

vertikal sebagai persentase dalam level (lrm). Jumlah kebutuhan kalori orangutan dan
monyet ekor panjang yang dikemukakan adalah atas dasar budget aktivitas sebagai
berikut (Tabcl6).

Tubel 6. Budget Aktivitas Orangutan Jantan Dewasa dan Monyet Jantan
Dewasa Rata- r a t . dalam 3 Hari (Wheatley, 1982).

Aktivitas (Jan/Hari)

P . pygmaeus

H. fascicu7aris

- -

Makan
Ber ja 1an
Istirahat
Total

Penelitian Iwamoto (1982) terhadap M. ficrcata di dam, yang didasarkan pada
pengamatan aktivitas makan yaitu bagian yang dimakan (daun, buah biji), lamanya

waktu makan, jumlah pakan yang dikonsumsi (g) per menit dapat mengetahui jumlah
dan komposisi paltan yang dikomsumsi setiap hari. Dimping itu &pat pula diketahui
energi yang dikandung oleh masing-masing jenis pakan untuk satuan beratnya (g). Dari
penelitiamya diketahui bahwa kebutuban pakan bagi seekor M.firpcuta betina rata-rata
perhari adalah 254 g berat kering dimana terdiri dari, protein kasar 26,6 g; lemak
19,9 g; serat kasar 56,l g; karbhidrat 134,3 g; kadar serat dan abu 28,8 persen
dengan total kalori 1.051) kcal per hari.

Protein penting dalam peme-

proses fisiologis, seperti pembentukan

enzim dan penggantian jaringan tubuh yang rusak. Dengan demikian protein penting
keberadaannya dalam pakan. Sehubungan dengan ini seleksi pakan yang dilakukan oleh
primata erat kaitannya dengan kadar protein yang tinggi dan kadar toksin yang rendah
(Iwamoto, 1982, Bennett, 1983; Hoshino, 1985) namun indek seleksi palran oleh
primata yang efektif adalah perbandingan antara kadar protein dan serat (Iwamoto,
1982).

. .

Kebutuhan protein bagi satwa dapat dilihat dari nitrogen yang drhasllkan dalam

urin, dalam ha1 ini nitrogen pada urin merupakan hasil dari proses katabolisme
dalam jaringan tubuh (Moen, 1973). Dalam metabolisme basal, perbadhgan N (mg)
yang terdapat dalam urin (Endogenous Urine Nitrogen, EUN) dengan kebutuhan energi
dalam kcal adalah 2 atau setiap 1000 kalori yang dig&

oleh proses fisiologi bbuh

satwa akan menghasillcan 2 mg N daIam urimya. Banyahya EUN (Qeun) setiap hari
(g) dalam keadaan metabolisme basal adalah :

2 x 70 ( W kg0975 )
Qeun =
lo00

Persamaan ini dibuat her- penelitian pada sapi dan biri-biri, namun dapat
dipakai sebagai dasar untuk mendugaan pada satwa liar rurninansia. Seperti rumus
pendugaan kebutuhan energi yang dikemukakan Moen (1973) telah ditexapkan
Wheatley (1982) untuk menaksir kebutuhan energi orangutan clan monyet ekor
panjang, tentunya rumus penentuan EUN dapat pula dipakai untuk menatukan
kebutuhan kalori bagi primata yang bersifat ruminant melalui analisis N ddam urin.
Penerapan metode analisis EUN dalam menduga daya dukung habitat juga telah
diterapkan pa& banteng di Ujungkulon (Alikodra, 1983).

.

5. Perilaku Sosial
Faktor yang mempengaruhi jumlah individu dalam kelompok dan organisasi
sosial primata adalah kepadatan populasi, suplai pakan, predator dan lingkungan yang
memungkinkan untuk memelihara anak dengan baik. Faktor yang sangat ber-pengaruh
diantara faktor di atas juga tergantung pada jenis satwanya. Selain itu juga dipengaruhi
oleh phylogenetik satwa dalam berperilaku (Raemaekers dan Chivers, 1980) maupun
jenis kelamin, seperti perilaku betina sangat tergantung pada sumber makanan dibandingkan &ngan jantan (Bennett, 1983). Model dari faktor yang dapat mempengamhi
organisasi sosial primata dapat dilihat pada Gambar 6.
Raemaekers dan Chivers (1980) mengatakan bahwa permasalahan utama dalam
perilaku sosial primata adalah seleksi pakan dan kecenderungan dari mamalie untuk
menganut polygyni.

Pada bunmg, sistem monogami benar-benar berperan karena

jantan akan melakukan apa saja terutama saat b e t h bertelur

(Glutton-Brwk dan

Harvey, 1977; Raemakers dan Chivers, 1980).
Kelompok primata dalam jumlah kecil dengan teritorial sempit, jarang berpencar dalam mencari makan sehingga memaksa kelompok ini membentuk sistem sosial
monogami (kelompok 2-6 individu) terutama jantan, karena yang betina tidak dapat
mempertaha&mteritorial sendiri. Perilaku menjaga teritorial ini akan memununtuk menjamin analmya agar dapat berkembang (Raemaekers dan Chivers, 1980).
Presbytis yang berkelompok dalam jumlah relatif besar (5

-

19 individu) meacd

makanan di dalam ruang pengembaraan (home range) secara berpencar dengan
membentuk anak kelompok sebagai adaptasi terhadap keterbatasan dan tersebamya
sumber pakan (Curtin, 1980).

MihSe ktif
Y P \ l e k t i f

\

Gambar 6.

1

Faktor yang Berpenganrh pada Orgaaisasi Sosial Primata (P =
Dasar Kecenderungan Polygini) (Raemakers dan Chivers, 1980).

Predator juga mempengaruhi pedaku sosial, dimana primata yang berkelompok

besar akan lebih baik dalam berkomumikasi untuk mengetahui predator clan sumber

pakan sehingga meningkatkan upaya penyelamatannya terhadap ancaman predator
(Sussman, 1977). Hal ini akan lebih penting pada habitat yang stmktur fisiknya sudah
terganggu. Habitat yang terganggu, &pat mempengaruhi perubahan komposisi dan
jumlah individu dalam kelompok bekantan (Yeager, 1991).

1. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di hutan bakau Kompleks hutan Sangkimah Taman
Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Areal yang ditetapkan sebagai areal penelith
adalah hutan bakau yang berada sepanjang 1300 m di alur mgai Sangkimah. Lams

areal penelitan adrlah 100 ha butan bervegetasi bakau (Gmnhr 7).

Lokasi Penelitian di Kompleks Hutan Sangkimah, Taman N a s i d
Kutai.
Vegetasi hutan bakau areal penelitian didominasi oleh Rhkophora upimbta,
disamping itu Bmguiera gymnonhiza dm Bmguiera pammra, Avicennia oflcinalis
bersama Nipofnuicam tumbuh di tepi sungai. Sekitar 1,5 ha dari areal penelitian ke
hulu sungai terdapat Kampung Sanglnmah berpenduduk 589 jiwa dengan luas lahan
pemukiman 149,6 ha.

Di tepi sungai Sangkimah yang termasuk &lam areal penelitian terdapat I I
rumah penduduk yang membuat tambak di kawasan tersebut. Luas tambak yang tercatat 12,5 ha, namun pembukaan hutan masih terus berlangsung untuk perluasan
tambak. Kondisi fisik areal penelitian (di luar yang bervegetasi seluas 100 ha) terlihat
&lam G&r

8.

Gambar 8.

Kondisi Fisik dan Vegetasi Hutan Bakau Areal Penelitian

Keterangan :

a=

Tambak

@ =

Hutan Bakau

a=

Laut

f~

=

Sungai Sangkimah

I

Alat transportasi penduduk desa Sangkimah adalah motor air dengan lebar badan
1,s m dan panjang sekitar 6 m serta perahu bermotor 16 PK. Fungsi sungai Sangkimah
disini selain sebagai sarana transportasi juga sumber air untuk rninum, mencuci dan
untuk membuang kotoran.
Dalam pengamatan sebaran bekantan dalam habitat, maupun sebaran jenis
pohon di areal penelitian, areal penelitian dibagi dalam blok-blok % ha (50 x 50 m2).
Setiap jalur sebagai batas dari blok ditandai dengan huruf dan mmor pada plat

alumunium berukuran 3 x 7 cm yang dicat dengan warna orange. Penomm ini
dimulai dari tepi sungai, kemudian ditemskan ke dalam hutan dengan arah utara ke
selatan. Lokasi penelitian ini dipetakan dalarn skala 1 : 2.500 sebagai peta dasar dalam
pemetaan pergerakan harian bekantan, lokasi tempt tidur maupun untuk pemetaan

mnasi jenis tumbuhan yang dominan.

2. Waktu Penelitian
Peninjaun lapangan untuk menentukan areal penelitian dilakukan pada bulan
Desember 1992. Kemudian dilanjutkan dengan pemetaan lokasi analisis vegetasi dan
pengambilan contoh daun pakan bekantan clan pengamatan perilah pada bulan mei
1993 dan berlangsung hingga bulan Februari 1994.

.
3.1.

3, Metode Penelitian

Habitat

Data vegetasi yang diukur adalah tinggi pohon, diameter pohon pada pangkal

akar jangkar setiap pohon dalam petak ukur, luas proyeksi tajuk dan diagram profil.

Pengamatan parameter vegetasi dilakukan dalam petak kontinue berupa jalur selebar
20x11 sepanjang 500 m, jalur ini dibuat sebanyak 4 buah dengan jarak 300 m satu sama
lain, yaitu jalur E, K, Q dan W (Gumbar 9).

Gambar 9.

Penempatan Jalur Analisis Vegetasi pada Areal Penelitian.

Dalam setiap jalur dibuat petak kontinue 20 m x 20 m untuk pengamatan tinggi,
diameter dan jumlah pohon yang berdiameter > 35 cm.

Sedangkan untuk tiang,

dengan diameter 10 cm - 35 cm dalam petak 10m x 10 m, serta untuk tingkat pancang,
berdiameter ,< 10 cm dalam petak 5m x 5 m.

Anakan pohon (diameter < 2 cm)

dihitung jumlah dan jenisnya dalam petak 2m x 2 m. Sistem peletakan petak 10m x
10m, 5m x 5m dan 2m x 2m dalam jaiur
(Soerianegara dan Indrawan, 1978).

sellebar 20 m, sebagaimana Gambar 10

Jumlah seluruh petak dengan masing-masing

ukuran dalam empat jalur (Gumbar 9) adalah 100.

A = 2 m x 2m; B = 5mxSm; C = 10mx 10m; D = 20mx20rn

Gambar 10. Sistem Jalur Petak Kontinu dalam Analisis Vegetasi,
Diagram profil dibuat berdasatkan pengamatan dalam jalur 10m x 100 m di
jalur K2 - K4 dan I2 - K2 ( G m h r 9). Parameter yang diukur untuk menggambarkan
diagram profil ini adalah tinggi pohon, tinggi tajuk, lebar tajuk terpanjang dan terpendek, pola perakaran dan sebaran pancang, tiang dan pohon dalam jalur.

3.1.2.

Produktivitas Serasah
Serasah ditampung dengan karung plastik @talc) berukuran 0,7 m x 1 m

sebanyak 7 buah. Petak ini diletakkiin pada jalur K2, K3 dan K4. Serasah dikoleksi
tiap bulan, selama 4 bulan. Serasah masing-masing petak (TDl sampai TD7) dipisah

dan dikeringkan pada panas matahari. Di laboratorium kembali dikeringkan dengan
oven pa& teperatur 6 0 ' ~selama 5 biiri, kemudian ditimbang. k

t contoh serasah

dirata-ratakan sehingga didapat berat kering serasah dalam g/m2/hari.

Contoh tanah diambil dalam jaiur pengamatan vegetasi, yaitu jalur E, K, Q dan
W. Contoh tanah diambil dalam setiap jarak 100 m, sehingga dalam satu jalur diambil

5 contoh tanah, kese1wuha.n contoh berjumlah 20 buah. Petak yang menjadi contoh

pengambilan tanah ini adalah E2, E4, Eg, Eg, E10; K3, Kg, K7, Kg, K11;

43,

Q5,

Q7, Q9, Q11; W5, W7, W9,W11, W13 (G-19).
Contoh tanah diambil dengan menggunakan tabung paralon 3 inci, kemudian
dibenamkan sampai kedalaman 20 cm.

Contoh diambil sebanyak 5 tabung cialam

radius 5 m untuk setiap petak di atas. Kelima contoh di atas diaduk rata di atas karung
plastik dan kemudian diambil seberat 1,5 kg untuk dikeringkao. Cara ini dikdnhn
sama sehingga didapat 20 contoh tanah. Contoh pakan bekantan niandisis dengan cata
proksimat dan tanah dianalisis secara lengicap di Laboratorium Balai Tanaman Pangan,
Bogor.

Iklim mikro yang di catat a-

suhu harian, termasuk suhu maximum dan

minimum. Pencatatan dilakukan ditajuk pohon dengan ketinggian 17,5 m dan 20,5 m
masing-masing 15 m dan 100 m dari tepi sungai @a& jalur K). Pencatatan ini dilaku-

kan pada bulan Agustus dan September 1993, selama 2 minggu tiap bulannya.
Pencatatan suhu harian dan kelembaban selama 24 jam penuh dicatat sehma
bulan November dengan termohigrograph.

Alat ini diletakkan pa& tajuk pohon

Rhizophora apiculata, 4 m dari lantai hutan. Lokasi peletakan termohigrograph ini
adalah pada jalur K. Alat diletakkan pada landasan yang datar dan diberi atap daun
agar tidak terkena hujan maupun cahaya matahari langsung yang menembus tajuk hutan

(Gumbar 11).
Data suhu, kelembaban dan curah hujan dari tahun 1990 - 1993 didapat dari
hasil pencatatan PT. Pupuk Kaltim di Lok Tuan (daerah pantai), f 20 km dari areal
penelitian.

t'hdkzr 11. Cara MdeWkm Alat Pencatat Suhu dan Kekmbabm
Udam pada CkbPng R. tqnwam.

L

.

~~didpepditiandi~drrijumlrhindividudmjumlah

kelo~.Untukinca~uijmabLk~~~~lhtnrnLelOmpO
bekantaa yaag bersdr di rreal
S a n m sepaajang 2 km.

dilaktbn deqm c m scnsus mdahd syngai

Peagrnrrtan dilalollran saat individu berada di kdrssi tidur

di tepi sungai, yaitn antara pukulM.00 - 07.00 pagi dan antam pukul 16.30 - 18.30

sore. Pengomatan dilahrhn baubag kali sehingga jumhh individu yang tcrcatat

Dalam pengamatan populasi ini jumlah individu kelompok dibedakan dalam
seks dan kelas umur, terutama untuk mendapatkan seks rasio jantan dewasa dan betina
dewasa setiap kelompok. Parameter kelas umur untuk bekantan ini telah dilaporkan
oleh Bennett dan Sebastian (1988) sehgai berikut :
Jantan dewasa

: UkUrpg tubuh sudah penuh, terdapat bulu lebih panjang

(maoe) disepanjang pmggungJantan setengah
dewasa

=

Betina dewasa

: Ukuran tubuh lebih dari 314 ukuran dewasa, hidung

belum berkembang baik dan talc terdapat bulu (mane)
di punggung: U
h tubuh sudah penuh.

Betina setengah dewasa : U
Remaja

h tubuh lebih dari 314 dewasa.

: Warn bulu pada muka dan tubuh sudah sama dengan

dewam tetapi u)ruran tub&

belum mencapai 314

dewasa.
Bayi (infant 2)

: Wama bulu kepala dan badan coklat dan masih terdapat

warn hitam pada muka.
Bayi (infant 1)

: Warm bulu coklat gelap atau terdapat bulu kehi-

taman pada tubuh, atau bulu kepala dan muka gelap.

Pengertian biomas bekantan adalah jumlah total berat hidup populasi bekantan

di dalam satuan luas tertentu. Data berat bekantan untuk jenis kelamin dan kelas umur
diperoleh dari catatan spesimen -tan

di Musium Zoologi Bogor, penimbangan

satwa yang dipelihara masyarakat di Balikpapan dm yang di tangkarkan oleh UPPT
Pupuk Kaltim. Data berat bekantan dari lapangan di dapat dengan cara mengukur daya
elastisitas pohon atau cabang berdianreter 8-10 cm yang digunakan bekantan untuk
berjalan dengan cara quadrupedal (Gihmbar 12) dan dengan cara menghitung melalui
parameter geometri tubuh, seperti tin& bekantan saat duduk.

Dalam penelitian ini kelas umur hanya dikelompokkan atas jantan dewasa,
betina dewasa, setengah dewasa, rernaja dan bayi. Dengan mengetahui jumlah individu

dm berat rata-rata dari tiap kelas m u r maka dapat diketahui (dihitung) biomas
bekantan &lam satuan luas habitat tertartu, biasanya biomas kg/km2.

Per

Gambar 12. Telrnik Pengukuran Berat Badan Bekantan di Lapangan
Dengan Tehnik Pengukuran Elastisitas Pohon.

Ukuran dan bentuk bagian tubuh satwa akan menunjukkan pola yang dikenal
dengan geometri tubuh, salah satu parameternya adalah luas permukaan tubuh. Luas

permukaan tubuh satwa berkorelasi dengan berat badan dan berat badan ini rnenentukan
pula terhadap kebutuhan kalori metabolismenya (Moen, 1973; Montheit dan Unsworth,
1990).

Di lapangan, parameter untuk menduga luas permukaan tubuh yang mudah
diamati adalah tinggi duduk yaitu panjang badan dan kepala dalam posisi duduk, serta
lebar bahu, yaitu jarak antara dua sisi lengan atas. Dalam penelitian ini, parameter
tersebut akan dianalisis agar dapat digunakan untuk menduga kelas umur dari bekantan
di lapangan.
Data yang digunakan dalam analisis geometri tubuh bekantan adalah hasil
pengukuran 21 spesimen kulit bekantan di Museum Zoologi, Balai Penelitian dan
Pengembangan (Balitbang) Zoologi, Bogor. Spesimen terdiri dari 10 jantan dewasa,
empat betina dewasa, tiga janttln setengah dewasa, dua jantan remaja dan satu bayi
jantan. Selain itu diukur pula satu jautan setengah dewasa yang dipelihara masyarakat
di Balikpapan. Satu betina dewasa, satu jantan setengah dewasa clan satu jantan remaja
yang dipelihara di Unit Pertanian dan Petemakan Terpadu (UPPT) Pupuk Kaitim di
Bontang. Data dari lapangan (hidup liar di habitat) hanya dapat mengetahui tinggi
duduk (satu individu jantan), berat satu individu betina dan 3 individu jantan dewasa.
Untuk mengetahui luas permukaan tubuh bekantan digunakan modifikasi metode
dan parameter yang dikemukakan Moen (1973) dengan penambahan cara pengukuran
bagian-bagian tubuh bekantan yang belum ada dalam rumusan tersebut, seperti ekor,
telapak tangan dm kaki serta jari (Tabel7). Dalam M ini pengukuran dapat berupa
panjang (L) maupun lebar (W).
keliling bagian tubuh yang diukur (0,
Parameter geometri bekantan,&ain luas permukaan tubuh (kulit) adalab tinggi
duduk yaitu, panjang badan dari pan@

ekor hingga kepala, lebar bahu, panjang ekor,

perbandingan panjang ekor dengan tinggi duduk dan perbandingan tinggi duduk dengan
lebar bahu. Parameler tersebut diasumsikan dapat membedakan geometri antara jantan
dewasa dengan betina dewasa maupun antara setengah dewasa dengan remaja dan bayi.

37

TabGl7.
No.

Metode Pengukuran Luas Pmukaau Tubuh Bekantan.

C. hid