Karakteristik Habitat dan Populasi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb. 1787) di Kebun Karet Dusun Pararawen Kalimantan Tengah

KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus Wurmb. 1787) DI KEBUN KARET DUSUN
PARARAWEN KALIMANTAN TENGAH

I NYOMAN RIYAWAN

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Habitat dan
Populasi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb. 1787) di Kebun Karet Dusun
Pararawen Kalimantan Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

I Nyoman Riyawan
NIM E34100053

ABSTRAK
I NYOMAN RIYAWAN. Karakteristik Habitat dan Populasi Bekantan (Nasalis
larvatus Wurmb. 1787) di Kebun Karet Dusun Pararawen Kalimantan Tengah.
Dibimbing oleh ABDUL HARIS MUSTARI.
Bekantan merupakan salah satu satwa endemik Borneo yang dilindungi di
Indonesia. Populasinya semakin menurun akibat banyaknya sebaran populasi yang
kecil dan sebagian besar berada di luar kawasan konservasi. Penelitian ini bertujuan
untuk melakukan kajian mengenai karakteristik habitat, populasi, serta ancaman
bekantan di kebun karet Dusun Pararawen. Data ini penting digunakan sebagai
upaya dalam konservasi bekantan. Pengambilan data dilakukan pada Bulan Maret
2014. Metode yang digunakan untuk memperoleh data habitat adalah dengan
observasi lapang (data aspek fisik habitat dan pakan) dan metode analisis vegetasi

(data vegetasi), serta data populasi diperoleh dengan menggunakan metode
konsentrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bekantan dijumpai pada
ketinggian antara 66 – 256 m dpl. Terdapat 41 jenis tumbuhan dari 21 Famili yang
diperoleh dari hasil analisis vegetasi dan 15 jenis tumbuhan dimanfaatkan sebagai
sumber pakan bekantan serta 1 jenis invertebrata (rayap). Populasi bekantan yang
diperoleh adalah sebanyak 34 ekor yang terdiri dari 5 jantan dewasa, 10 betina
dewasa, 10 remaja, dan 9 anakan yang terbagi kedalam 4 sub kelompok.
Kata kunci: bekantan, habitat, populasi

ABSTRACT
I NYOMAN RIYAWAN. Habitat and Population Characteristics of Proboscis
Monkey (Nasalis larvatus Wurmb. 1787) in Ruber Estate Pararawen Village
Central Kalimantan. Supervised by ABDUL HARIS MUSTARI.
Proboscis monkey is a protected endemic species of Borneo in Indonesia. Its
populations have decreasing because of many isolated populations and most found
outside the conservation areas. This study aims to find out the data and information
about habitat characteristic, population, and threats of proboscis monkey in ruber
estate Pararawen Village Central Kalimantan. These data are important for
conservation efforts of this species. This research had been done on March 2014.
The method used to obtain the data of habitat are direct observation (abiotic habitat

aspect and feed data) and vegetation analysis methods (vegetation data). Population
data obtained by using concentration count method. The research shown that
proboscis monkeys were found in the height of 66 – 256 a sl. There are 41 plants
from 21 families captured from vegetation analysis and there are 15 plants and one
invertebrate species (termite) are utilized as proboscis monkey’s feed. Proboscis
monkeys population recorded during the research were 34 individuals which consist
of 5 adult males, 10 adult females, 10 juveniles, and 9 child and divided into 4 sub
group.
Keywords: habitat, population, proboscis monkeys

KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus Wurmb. 1787) DI KEBUN KARET DUSUN
PARARAWEN KALIMANTAN TENGAH

I NYOMAN RIYAWAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
I NYOMAN
RIYAWAN

Judul Skripsi : Karakteristik Habitat dan Populasi Bekantan (Nasalis larvatus
Wurmb. 1787) di Kebun Karet Dusun Pararawen Kalimantan
Tengah
Nama
: I Nyoman Riyawan
NIM
: E34100053

Disetujui oleh


Dr Ir Abdul Haris Mustari, MScF
Pembimbing I

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
anugerah dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret 2014 ini adalah
mengenai ekologi satwaliar, dengan judul Karakteristik Habitat dan Populasi
Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb. 1787) di Kebun Karet Dusun Pararawen
Kalimantan Tengah.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Abdul Haris Mustari,
MScF selaku pembimbing tugas akhir dan telah banyak memberi saran, serta Ibu
Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc sebagai pembimbing akademik yang telah banyak

memberikan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak
Aurelien BRULE (Chanee) sebagai manager program di Yayasan Kalaweit
Indonesia beserta para staffnya yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda I Nyoman Wanistara,
ibunda Ni Made Karti, kedua kakak Ni Wayan Sumariyani dan Ni Made Ferawati,
adinda Ni Made Mirayani, serta seluruh keluarga besar Nepenthes rafflesiana 47
dan Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) angkatan 47, atas segala doa dan
kasih sayangnya sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat terselesaikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014

I Nyoman Riyawan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR


vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian


2

METODE

2

Tempat dan Waktu

2

Alat dan Bahan

2

Jenis Data

3

Cara Pengumpulan Data


4

Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Habitat

7
7

Populasi

14

Ancaman

16


Upaya Konservasi

17

SIMPULAN DAN SARAN

19

Simpulan

19

Saran

19

DAFTAR PUSTAKA

19


LAMPIRAN

21

DAFTAR TABEL
1 INP tertinggi pada empat tingkat pertumbuhan
2 Jenis pakan bekantan di Dusun Pararawen
3 Populasi bekantan pada setiap sub kelompok

10
11
14

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Kelas umur bekantan
Jalur anaisis vegetasi dengan metode garis berpetak
Kondisi habitat bekantan
Kondisi sumber air pada habitat bekantan
Grafik curah hujan rata-rata bulanan tahun 2003-2013 di lokasi
penelitian
Jumlah keanekaragaman jenis tumbuhan pada setiap famili
Jenis pakan bekantan
Diagram profil pohon pada habitat bekantan
Pemanfaatan strata pohon oleh bekantan
Ancaman dan gangguan bagi bekantan

3
5
8
8
9
9
12
13
14
17

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Peta lokai penelitian
Hasil analisis vegetasi pada tingkat pertumbuhan semai
Hasil analisis vegetasi pada tingkat pertumbuhan pancang
Hasil analisis vegetasi pada tingkat pertumbuhan tiang
Hasil analisis vegetasi pada tingkat pertumbuhan pohon
Data profil pohon pada habitat bekantan

21
22
23
24
25
27

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb. 1787) merupakan spesies primata
endemik Borneo yang termasuk dalam famili Cercopithecidae, subfamili Colobinae
(Jolly 1972). Ciri khas utama pada bekantan atau bakara (sebutan masyarakat lokal)
yaitu memiliki hidung yang besar pada jantan dewasa yang berfungsi untuk
memberikan daya tarik kepada betinanya. Menurut Suharyo (2002), bekantan
dewasa yang memiliki hidung paling besar berhak dinobatkan sebagai pemimpin
kelompok. Di Indonesia, satwa ini telah dilindungi berdasarkan Peraturan
Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tentang jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang
dilindungi, sedangkan secara internasional telah tergolong dalam daftar Appendix
1 CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora
and Fauna) yang mendapat perhatian sangat tinggi dalam upaya konservasinya dan
dikategorikan endangered species (genting atau terancam) dalam IUCN
(International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) Red Data
Book sejak tahun 2000 yang dapat menghadapi resiko kepunahan tinggi di alam liar
pada waktu yang akan datang.
Habitat bekantan sangat bergantung pada kualitas ekosistem lahan basah dan
hanya terbatas pada hutan rawa gambut, hutan tepi sungai, dan hutan mangrove
(Bismark 1994). Menurut McNelly et al. (1990) diacu dalam Atmoko (2012), luas
kawasan yang menjadi habitat bekantan pada awalnya diperkirakan 29.500 km2,
namun 40% diantaranya sudah berubah fungsi dan hanya 4.1% saja yang berada di
kawasan konservasi. Meijaard dan Nijman (2000) menyatakan bahwa perubahan
fungsi habitat bekantan diakibatkan oleh penebangan hutan, kebakaran hutan,
pertambangan, pertambakan, pemukiman, dan pertanian. Peningkatan pemanfaatan
hutan untuk pembangunan dan kebutuhan lainnya secara langsung telah
mengurangi habitat bekantan sehingga berdampak pada sebarannya yang tidak
merata (Bismark 2009).
Penelitian ini dilakukan di areal perkebunan karet milik masyarakat Dusun
Pararawen yang berada di luar kawasan konservasi. Menurut Hartono (komunikasi
pribadi), kebun karet tersebut dahulunya adalah hutan dataran rendah yang telah
dikonversi oleh masyarakat. Hal ini sangat merugikan bagi bekantan karena tempat
berlindung (cover), bernaung (shelter), dan pohon pakannya semakin berkurang.
Kehidupan bekantan juga semakin terganggu akibat berbagai aktivitas masyarakat
yang dilakukan di sekitar habitatnya. Dengan kondisi habitat yang seperti ini, secara
tidak langsung akan mengancam populasi bekantan karena satwa ini adalah satwa
yang sangat sensitif terhadap kerusakan habitat dan kehadiran manusia.
Saat ini banyak populasi kecil pada habitat bekantan yang terisolasi di luar
kawasan konservasi dan habitatnyapun terpisah jauh antara satu dengan lainnya
(terfragmentasi) sehingga sangat rentan terhadap kerusakan dan ancaman
kepunahan (Atmoko 2012). Bekantan yang berada di luar kawasan konservasi
belum banyak mendapatkan perhatian khusus sehingga program pelestariannya
belum dilakukan. Penelitian mengenai bekantan di areal kebun karet Dusun
Pararawen ini belum pernah dilakukan sebelumnya, sehingga dengan adanya
penelitian ini diharapkan dapat membantu upaya pelestariannya yang didukung

2
penuh oleh Yayasan Kalaweit Indonesia (YKI). Hasil penelitian ini juga diharapkan
dapat dijadikan sebagai bahan dalam penyusunan model pengelolaan bekantan yang
dapat diterapkan di areal kebun karet Dusun Pararawen agar populasinya tetap
terjaga.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian mengenai karakteristik
habitat, populasi, serta ancaman bekantan sehingga dapat dijadikan sebagai data
dasar dalam upaya konservasinya di areal kebun karet Dusun Pararawen,
Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat melalui kebaruan data
dan informasi yang dapat digunakan sebagai masukan dalam penentuan kebijakan
pengelolaan habitat dan populasi bekantan di kebun karet Dusun Pararawen
sehingga mampu mendukung kelestarian populasi bekantan yang merupakan jenis
dilindungi dan terancam punah.

METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di areal kebun karet masyarakat, termasuk
didalamnya lahan milik YKI yang secara administratif termasuk ke dalam wilayah
Dusun Pararawen, Desa Lemo II, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan
Tengah (Lampiran 1). Luas areal penelitian adalah ± 59.9 ha. Pengambilan data
dilakukan pada Bulan Maret 2014, kegiatan identifikasi jenis tumbuhan dan
pengolahan data hasil penelitian dilakukan pada Bulan April 2014.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: binokuler, kompas,
kamera, alat pengukur waktu, pita ukur, walking stick, GPS (Global Psitioning
System) Garmin 62s, laptop, software ArcGis 9.3, software Google Earth, software
Microsoft excel 2013, tally sheet, alat tulis, gunting, koran, dan tali tambang. Bahan
yang digunakan dalam penelitian adalah alkohol 80% untuk pembuatan herbarium
basah dan objek yang diamati adalah bekantan.

3
Jenis Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian yaitu data karakteristik habitat dan
parameter populasi bekantan. Data karakteristik habitat yang dikumpulkan meliputi
data aspek fisik (ketinggian tempat/lokasi penelitian, kebutuhan air, curah hujan,
suhu dan kelembaban di lokasi penelitian), vegetasi (jenis, komposisi, struktur
vegetasi, diagram profil pohon, dan kondisi di sekitar cover), serta ketersediaan
pakan bekantan.
Data parameter populasi yang dikumpulkan adalah jumlah bekantan yang
ditemukan, sex ratio (perbandingan antara jumlah jantan dewasa dengan betina
dewasa), jumlah individu per kelas umur, jumlah kelompok dan sub kelompok
bekantan. Perbedaan antara masing-masing kelas umur disajikan pada Gambar 1.
Klasifikasi kelas umur bekantan dibedakan menjadi jantan dewasa, betina dewasa,
remaja, dengan ciri-ciri sebagai berikut (Yeager 1990):
1.
Jantan dewasa: ukuran tubuh besar (20 – 22 Kg), hidung besar, panjang, dan
melengkung ke bawah, alat kelamin luar tampak jelas, terdapat warna putih
berbentuk segitiga pada bagian pinggul, lapisan-lapisan lemak terlihat jelas
di bagian punggung.
2.
Betina dewasa: bobot badan relatif lebih kecil dibandingkan dengan bobot
jantan dewasa (10 – 12 Kg), puting susu tampak jelas, ukuran hidung lebih
kecil dan runcing.
3.
Remaja: ukuran tubuh setengah atau dua pertiga dari ukuran tubuh betina
dewasa. Sudah dapat berdiri sendiri (dalam berjalan), tetapi masih tidur
dengan induknya.
4.
Anak/bayi: berumur 1.5 tahun atau kurang, bayi yang baru lahir memiliki
warna yang lebih gelap dan muka berwarna gelap tetapi terus memudar,
masih bergantung dengan induknya.

(a)

(b)

(c)
(d)
Gambar 1 Kelas umur bekantan: (a) jantan dewasa; (b) betina dewasa; (c) remaja;
dan (d) bayi/anakan

4
Cara Pengumpulan Data
Kegiatan Pendahuluan
Kegiatan pendahuluan meliputi:
a.
Orientasi lapang, bertujuan untuk mencari informasi dan mengenal lokasi
penelitian secara keseluruhan.
b.
Mencari lokasi yang sering dikunjungi bekantan berdasarkan informasi dari
masyarakat dan pihak YKI yang sering beraktivitas di habitatnya.
c.
Menentukan batas-batas wilayah/areal penelitian. Bekantan adalah satwa
arboreal yang sebagian hidupnya bergantung pada tegakan pohon. Bekantan
tidak ditemukan berada pada kebun karet yang berumur 1 – 5 tahun (rata-rata
tingkat pertumbuhan tiang) karena bekantan menyukai kriteria pohon yang
tinggi dengan tutupan tajuk yang rapat. Hal inilah yang mendasari penentuan
batas wilayah penelitian (Lampiran 1).
Karakteristik Habitat
Habitat merupakan kawasan tempat tinggal satwaliar yang didalamnya
terdapat beberapa komponen penyusun dan saling terkait satu sama lainnya
(Alikodra 2002). Habitat bagi satwaliar merupakan daerah dengan berbagai macam
jenis makanan, cover dan faktor-faktor lain yang dibutuhkan oleh suatu jenis
satwaliar untuk kelangsungan hidup dan keberhasilan perkembangbiakannya.
Dilihat dari komposisinya di alam, habitat satwaliar terdiri dari 3 komponen utama,
yaitu: 1) komponen biotik yang meliputi vegetasi, satwaliar, dan organisme mikro;
2) komponen fisik yang meliputi air, tanah, iklim mikro, topografi, dll.; dan 3)
komponen kimia meliputi seluruh unsur kimia yang terkandung dalam komponen
biotik maupun komponen fisik. Habitat memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai
penyedia pakan, air, perlindungan serta sebagai tempat berkembang biak bagi
satwaliar. Pengumpulan data mengenai karakteristik habitat bekantan dilakukan
dengan cara observasi langsung di lapangan.
Data aspek fisik habitat yang diambil meliputi ketinggian tempat, kebutuhan
air bagi bekantan, curah hujan, suhu dan kelembaban di lokasi penelitian. Data
ketinggian tempat diperoleh dengan menggunakan alat bantu GPS dan data
kebutuhan air untuk minum diperoleh dengan cara mengamati langsung pada
lokasi-lokasi sumber air yang sering dikunjungi oleh bekantan. Data curah hujan,
suhu dan kelembaban di lokasi penelitian selama 10 tahun terakhir (2003 – 2013)
diperoleh dari data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun
Meteorologi Beringin Muara Teweh, Kalimantan Tengah. Data aspek fisik ini
digunakan untuk melihat perbandingan kondisi iklim mikro di habitat bekantan
dalam 10 tahun terakhir.
Data komponen biotik (vegetasi) di habitat bekantan diperoleh dengan
melakukan analisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui struktur
dan komposisi jenis tumbuhan sehingga dapat diketahui kondisi vegetasi suatu
habitat. Metode yang digunakan dalam inventarisasi vegetasi adalah metode garis
berpetak dengan ukuran setiap petak contohnya sebesar 20 meter x 20 meter
(Gambar 2).

5

Gambar 2 Jalur analisis vegetasi dengan metode garis berpetak
Terdapat lima jalur dalam pengambilan data vegetasi. Pemilihan jalur ini
ditentukan berdasarkan lokasi yang sering dikunjungi bekantan serta mewakili
ketersediaan fungsi habitat sebagai tempat mencari makan, berlindung, serta tempat
beristirahat. Adapun tingkatan vegetasi yang diamati meliputi:
a.
Petak ukur semai (2 m x 2 m), yaitu anakan dengan tinggi < 1.5 m dan
tumbuhan bawah/semak/herba, termasuk di dalamnya pandan dan palem.
b.
Petak ukur pancang (5 m x 5 m), yaitu anakan dengan tinggi > 1.5 m dan
diameter batangnya < 10 cm.
c.
Petak ukur tiang (10 m x 10 m), yaitu diameter batang antara 10 cm – 19.9
cm.
d.
Petak ukur pohon (20 m x 20 m), yaitu pohon yang diameter batangnya ≥ 20
(Indriyanto 2012).
Data yang dikumpulkan untuk tingkat pertumbuhan pohon dan tiang adalah
jenis pohon, diameter dan tinggi total, sedangkan untuk tingkat pertumbuhan
pancang dan semai data yang diambil meliputi jumlah jenis dan jumlah individu
dalam suatu jenis. Untuk jenis tumbuhan yang belum teridentifikasi, peneliti
membuat herbarium basah dan kemudian diidentifikasi di LIPI Bogor.
Diagram profil pohon merupakan gambaran stratifikasi vertikal dari hutan
dimana di dalam masyarakat hutan terjadi persaingan jenis yang lebih berkuasa.
Data diagram profil pohon digunakan untuk melihat karakteristik pohon
(ketinggian, kerapatan tajuk, dan lebar tajuk) yang digunakan oleh bekantan sebagai
cover dalam melakukan aktivitas hariannya. Cover merupakan komponen habitat
yang mampu memberikan perlindungn dari cuaca, predator dan musuh lainnya
(Bolen dan Robinson 2003).
Diagram profil pohon ditentukan dengan cara mengukur dan mencatat jenis,
diameter, tinggi total pohon, tinggi bebas cabang, lebar tajuk, klasifikasi dan posisi
pohon dalam petak contoh berukuran 40 m x 20 m. Petak contoh dibuat pada lokasi
yang mewakili habitat bekantan. Dari diagaram profil pohon dapat diketahui
stratifikasi vegetasi di habitat bekantan. Menurut Indriyanto 2012, stratifikasi
vegetasi terdiri dari:
a.
Strata A: lapisan teratas, pohon-pohon yang tinggi total > 30 m;
b.
Strata B: pohon-pohon dengan tinggi total 20 – 30 m;
c.
Strata C: pohon-pohon dengan tinggi total 4 – 20 m;
d.
Strata D: lapisan perdu dan semak dengan ketinggian 1 – 4 m; dan
e.
Strata E: lapisan tumbuhan bawah (ground cover), ketinggian 0 – 1 m.
Ketersediaan pakan adalah salah satu faktor pembatas yang sangat penting
bagi kehidupan. Pakan merupakan komponen habitat yang berfungsi sebagai

6
sumber nutrisi dan energi bagi makhluk hidup. Energi dari makanan digunakan
untuk bahan bakar dalam proses metabolisme sedangkan nutrisi digunakan sebagai
pendukung pertumbuhan dan perbaikan tubuh (Bolen dan Robinson 2003).
Sumber pakan primata di alam dapat dikelompokkan atas tiga kategori yaitu
bagian vegetatif tumbuhan, bagian reproduktif tumbuhan serta hewan. Bekantan
termasuk satwa folivore karena menggunakan daun sebagai pakan dengan porsi
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan buah-buahan, yaitu 81%:8% (Bismark
1994). Namun, Yeager (1989) berpendapat bahwa bekantan digolongkan
folivore/frugifores karena proporsi pakan antara daun-daunan dan buah hampir
sama, yaitu sekitar 52%:40%, sedangkan sisanya berasal dari daun tua, bunga, biji,
tangkai buah, kulit kayu, dan serangga.
Data pakan yang diambil adalah jenis pakan, bagian yang dimakan, serta
keterangan pendukungnya. Untuk mengetahui jenis-jenis pakan bekantan di lokasi
penelitian dilakukan dengan cara:
a.
Pengamatan langsung, yaitu dengan melihat jenis tumbuhan maupun satwa
yang dimakan oleh bekantan;
b.
Melihat renggutan atau sisa pakan yang telah dimakan oleh bekantan yang
jatuh ke permukaan tanah; dan
c.
Wawancara dengan masyarakat maupun staff YKI yang sering melakukan
aktivitas di sekitar habitat bekantan. Wawancara dilakukan secara tidak
terstruktur, yaitu informan diberi kebebasan untuk menjawab pertanyaan.
Populasi
Menurut Alikodra (2002), populasi didefinisikan sebagai kelompok
organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu
menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Suatu populasi dapat
menempati wilayah yang sempit sampai luas, tergantung pada spesies dan kondisi
daya dukung habitatnya. Satu kelompok bekantan dapat terdiri dari 3 – 5 sub
kelompok. Anggota suatu sub kelompok terdapat pada pohon yang sama, kadangkadang pada dua atau lebih pohon yang berdekatan (Chivers 1980).
Pengambilan data populasi bekantan di lapangan dilakukan dengan metode
concentration count, yaitu pengamat mengamati bekantan pada lokasi-lokasi yang
sering dikunjungi. Tempat-tempat tersebut biasanya berupa sumber air serta lokasi
yang memiliki ketersediaan pakan yang tinggi. Saat pengambilan data, peneliti juga
melakukan pemberian titik lokasi ditemukannya bekantan dengan menggunakan
GPS sehingga penyebaran bekantan di lokasi penelitian dapat diketahui.

Analisis Data
Analisis data yang digunakan untuk menjelaskan data aspek fisik habitat,
pakan (pengamatan langsung dan wawancara) dan populasi bekantan yaitu dengan
analisis deskriptif kualitatif yang disajikan dalam bentuk tabel dan gambar,
sedangkan untuk menghitung data vegetasi menggunakan analisis kuantitatif.
Analisis data hasil inventarisasi vegetasi dilakukan untuk memperoleh komposisi
jenis dan dominansinya. Dominansi suatu jenis pohon akan ditunjukkan oleh
besaran Indeks Nilai Penting (INP). Menurut Indriyanto (2012), INP untuk vegetasi
tingkat tiang dan pohon merupakan penjumlahan dari nilai-nilai kerapatan relatif

7
(KR), dominasi relatif (DR), dan frekuensi relatif (FR) atau INP= KR+FR+DR,
sedangkan untuk vegetasi tingkat semai dan pancang, INP= KR+FR. Persamaan
yang digunakan adalah:
Jumlah individu suatu jenis
Kerapatan
=
Luas unit contoh
Kerapatan suatu jenis
Kerapatan Relatif (KR)
=
 100%
Kerapatan seluruh jenis
Luas bidang dasar suatu jenis
Dominansi
=
Luas unit contoh
Dominasi dari suatu jenis
Dominansi Relatif (DR)
=
 100%
Dominasi seluruh jenis
Jumlah plot yang ditemukan suatu jenis
Frekuensi
=
Jumlah seluruh plot dalam unit contoh
Frekuensi dari suatu jenis
Frekuensi Relatif (FR)
=
 100%
Frekuensi seluruh jenis
Luas bidang dasar suatu jenis = ¼ π D2, dengan D adalah diameter setinggi
dada.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Habitat
Pada umumnya, habitat bekantan tersebar di daerah tepi sungai (daerah
riparian). Namun, pada daerah tersebut sangat rentan terhadap kerusakan karena
aksesibilitasnya yang mudah dijangkau oleh manusia dan paling cocok untuk
dijadikan sebagai areal perkebunan dan pemukiman masyarakat. Kebun karet di
Dusun Pararawen adalah milik masyarakat setempat yang telah diusahakan sejak
berpuluh-puluh tahun yang lalu. Sebelum dibuka, kawasan ini merupakan kawasan
hutan dataran rendah yang terletak di sepanjang sempadan Sungai Barito (hutan
riparian) yang didominasi oleh jenis Dillenia excelsa, Artocarpus elasticus, dll.
Bekantan sudah lama hidup di kawasan ini dan telah dapat beradaptasi dengan
kondisi lingkungan yang ada. Bekantan telah belajar memakan jenis pakan yang
berbeda dengan pakan yang ada pada hutan primer (pucuk karet) karena tanaman
karet adalah jenis tanaman yang diusahakan oleh masyarakat dan umumnya tidak
ditemukan pada hutan primer. Perbedaan ini merupakan konsekuensi dari
perubahan kondisi habitat bekantan walaupun habitatnya berada pada tapak lokasi
yang sama dengan tapak lokasi terdahulu.
Meskipun didominasi dengan tanaman karet, pada areal penelitian masih
ditemukan jenis tumbuhan lokal/alami daerah tersebut yang tersebar di sekitar
sempadan anak sungai yang menuju Sungai Barito (Gambar 3). Bekantan dapat
bertahan hidup dengan memanfaatkan tegakan karet dan jenis-jenis tumbuhan
lokal/alami lainnya untuk pemenuhan kebutuhan utama seperti pakan, air, dan
cover.

8

(a)

(b)

Gambar 3 Kondisi habitat bekantan: (a) tegakan di sekitar anak sungai; (b) kebun
karet
Aspek Fisik
Bismark (2009) menyatakan bahwa sebesar 90% lokasi sebaran bekantan
terletak pada ketinggian dibawah 200 m dpl dan tertinggi pernah dilaporkan terletak
pada ketinggian 350 m dpl. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bekantan
dijumpai pada ketinggian antara 66 – 256 m dpl. Sebaran habitat bekantan yaitu
hutan mangrove, hutan dataran rendah, hutan tepi sungai, hutan rawa gambut, dll.
memang berada pada kisaran ketinggian tersebut.
Air dibutuhkan dalam proses metabolisme tubuh satwa. Bekantan merupakan
satwa arboreal, namun kadang-kadang dijumpai di permukaan tanah untuk
melakukan aktivitas makan dan minum. Menurut Matsuda (2008), bekantan
memperoleh air untuk minum yaitu dengan cara turun ke lantai hutan atau
mendapatkannya langsung dari daun-daun yang telah dikonsumsi. Meskipun dekat
dengan sumber air (Sungai Barito), bekantan di lokasi penelitian belum pernah
dijumpai memanfaatkan sungai tersebut sebagai sumber air minum utama,
melainkan lebih memanfaatkan aliran air pada anak sungai yang tersebar di
habitatnya (Gambar 4). Ketika penelitian, tidak semua anak sungai dialiri air karena
dilakukan pada musim kemarau sehinga banyak anak sungai yang kering.

(a)
(b)
Gambar 4 Kondisi sumber air pada habitat bekantan: (a) anak sungai dialiri air;
dan (b) anak sungai yang kering
Data curah hujan di lokasi penelitian dari Stasiun Meteorologi Beringin
Muara Teweh menunjukkan rata-rata curah hujan selama 10 tahun terakhir adalah

9

Curah Hujan (mm)

266.791 mm/tahun. Stasiun Meteorologi Beringin Muara Teweh merupakan stasiun
terdekat dengan lokasi penelitian (± 10 km). Curah hujan tertinggi terjadi pada
bulan Desember (musim hujan) sebesar 127.6 mm/tahun dan terendah terjadi pada
bulam Agustus (musim kemarau) sebesar 415.5 mm/tahun (Gambar 5).
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0

415.5
366.9

333.6 336.5

345.2
296

272.2

164.9

Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

210.3

186.9
127.6 145.9

Jun

Jul

Ags

Sep

Okt

Nov

Des

Bulan

Gambar 5 Grafik curah hujan rata-rata bulanan tahun 2003-2013 di lokasi penelitian
Suhu udara rata-rata tahunan di lokasi penelitian yaitu 26.77oC dan
kelembaban udara rata-rata tiap bulannya berkisar antara 80 – 88% (BMKG 2014).
Suhu udara pada lokasi penelitian ini tidak jauh berbeda dengan suhu udara pada
habitat bekantan di Kuala Samboja yaitu 26.80oC dengan kelembaban udara 82 –
93% (Atmoko 2012). Bekantan lebih banyak beraktivitas pada pagi hari ketika suhu
udara masih rendah. Bila suhu udara mulai meningkat (siang hari), bekantan
cenderung mengalami penurunan akativitas dan lebih sering terlihat beristirahat.

Jumlah jenis

Komposisi Vegetasi
Sebanyak 41 jenis tumbuhan dari 21 Famili diperoleh dari hasil analisis
vegetasi. Famili yang paling dominan adalah famili Euphorbiaceae yaitu sebanyak
12 jenis tumbuhan (Gambar 6). Jumlah jenis tumbuhan untuk tingkat semai adalah
18 jenis, tingkat pancang 17 jenis, tingkat tiang 19 jenis, dan tingkat pohon 26 jenis.
14
12
10
8
6
4
2
0

12

4

3

2

2

2

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

Famili

Gambar 6 Jumlah keanekaragaman jenis tumbuhan pada setiap famili

1

10
Analisis vegetasi di lokasi penelitian dilakukan untuk mengetahui potensi
habitat dalam mendukung kebutuhan hidup bekantan. Hasil analisis vegetasi
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 INP tertinggi pada empat tingkat pertumbuhan
Tingkat
Pertumbuhan

Famili
Dilleniaceae
Euphorbiaceae
Leeaceae
Myrtaceae
Dilleniaceae
Euphorbiaceae
Rubiaceae
Leeaceae
Dilleniaceae
Euphorbiaceae
Melastomataceae

Nama Ilmiah

Dillenia excelsa
Hevea brasiliensis
Semai
Leea aequata
Syzygium sp.
Dillenia excelsa
Hevea brasiliensis
Pancang
Gardenia tubifera
Leea aequata
Dillenia excelsa
Hevea brasiliensis
Pternandra
Tiang
coerulescens
Myrtaceae
Syzygium
pseudoformosum
Moraceae
Ficus sp.
Dilleniaceae
Dillenia excelsa
Pohon
Euphorbiaceae
Hevea brasiliensis
Melastomataceae
Pternandra
coerulescens
a
KR= Kerapatan Relatif (%); bFR= Frekuensi Relatif (%); cDR=
Nilai Penting (%)

KRa

FRb

DRc

INPd

6.54
6.03
9.86
9.28
5.72
4.92
10.46
12.93
7.11
7.62
6.10

18.64
16.95
6.78
6.78
18.18
16.36
5.45
1.82
14.29
14.29
10.71

8.12
7.17
6.08

25.19
22.98
16.64
16.06
23.91
21.29
15.92
14.75
29.51
29.07
22.90

4.65

12.50

4.51

21.66

3.64
4.65
8.49
4.85

8.00
16.00
10.67
13.33

18.00
5.73
5.79
4.97

29.64
26.37
24.94
23.15

Dominasi Relatif; dINP= Indeks

Tabel 1 menjelaskan bahwa indeks nilai penting (INP) tertinggi pada tingkat
pertumbuhan semai, pancang, dan tiang adalah jenis jemihing (Dillenia excelsa)
yang memiliki nilai berturut-turut sebesar 25.18%, 23.90%, dan 29.51%.
Sedangkan, INP tertinggi pada tingkat pohon adalah jenis Ficus sp. dengan nilai
sebesar 29.63%. Hal ini menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut mendominasi
dalam perebutan unsur hara, cahaya, ruang tempat tumbuh, dan persebarannya pada
tingkat pertumbuhannya masing-masing.
Dominasi suatu jenis dipengaruhi oleh naungan dimana jenis dengan
naungan yang lebih besar lebih dominan terhadap jenis lain dengan naungan yang
lebih kecil. Hal tersebut dikarenakan jenis yang ternaungi akan mendapatkan
intensitas cahaya yang lebih sedikit sementara intensitas cahaya sangat penting bagi
pertumbuhannya. Tingginya nilai angka INP jemihing dan Ficus sp. sangat
berkaitan dengan peranannya dalam mendukung kehidupan bekantan di lokasi
penelitian. Kedua jenis ini merupakan tumbuhan yang secara langsung dibutuhkan
dan dimanfaatkan oleh bekantan sebagai sumber pakan, tempat berlindung, dan
istirahat.
Pakan
Pakan merupakan salah satu faktor pembatas bagi pertumbuhan populasi
satwaliar, termasuk bekantan. Menurut Atmoko (2012) bekantan memakan
beberapa jenis tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya, diantaranya
mineral. Semakin tinggi keanekaragaman jenis vegetasi yang ditemukan di dalam
suatu habitat bekantan, memungkinkan adanya banyak alternatif vegetasi sebagai

11
sumber pakannya. Pada lokasi penelitian, sebanyak 15 jenis tumbuhan dan satu
jenis invertebrata (rayap) teridentifikasi menjadi sumber pakan bekantan yang
dikumpulkan secara langsung dan hasil wawancara dengan masyarakat (Tabel 2).
Tabel 2 Jenis pakan bekantan di Dusun Pararawen
No

Nama Lokal

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Sengkuang
Gandis
Jemihing
Karet
Muhur
Durian
Terap
Beringin
Rambutan
Cempedaka
Tiwadak
Banyua
Labana
Mampata

Anacardiaceae
Clusiaceae
Dilleniaceae
Euphorbiaceae
Lythraceae
Malvaceae
Moraceae
Moraceae
Sapindaceae
Moraceae
Moraceae

Dracontomelon dao
Garcinia parvifolia
Dillenia excelsa
Hevea brasiliensis
Lagerstroemia speciosa
Durio zibethinus
Artocarpus elasticus
Ficus sp.
Nephelium lappaceum
Artocarpus integer
Artocarpus teysmanii

Verbenaceae
Hyperlcaceae

Mahanga
Mampaia
Invertebrata
Rayap

Euphorbiaceae
Caesalpiniaceae

Vitex pubescens
Cartoxylum
cochinchinensis
Macaranga hypoleuca
Crudia teysmannii

11
12
13
14
15
16
a

Famili

Ordo Isoptera

Nama ilmiah

-

Bagian yang
dimanfaatkan
Pucuk/daun, buah
Buah
Pucuk/daun, bunga
Pucuk/daun, biji
Pucuk/daun
Bunga
Buah
Buah
Buah
Pucuk/daun, buah
Pucuk/daun, buah
Pucuk/daun
Pucuk/daun
Pucuk/daun, buah
Pucuk/daun
Semua bagian
tubuh

Jenis tumbuhan pakan bekantan yang diperoleh dari hasil wawancara

Tabel 2 menjelaskan bahwa dari 15 jenis tumbuhan pakan bekantan, 10 jenis
diantarannya berupa bagian daun yang dimanfaatkan. Bekantan merupakan primata
yang termasuk subfamili Colobinae, pada umumnya adalah golongan primata yang
dominan memakan pucuk/daun (folivorus). Meskipun demikian, bekantan juga
terlihat memanfaatkan bagian lain dari tumbuhan tumbuhan (bunga, buah dan biji)
sebagai sumber pakannya.
Bennet dan Sebastian (1988) menyatakan bahwa bekantan merupakan jenis
primata pemakan daun yang bersifat seperti ruminansia yang membutuhkan pakan
dengan perbandingan protein dan serat kasar yang rendah. Adanya pemilihan jenis
pakan yang dilakukan pada bekantan karena kandungan mineral pada daun di setiap
jenis tumbuhan berbeda-beda. Jenis daun yang paling sering dikonsumsi oleh
bekantan adalah pucuk/daun muda karet (Hevea brasiliensis) karena habitat
bekantan berada pada kebun karet. Pada pagi hari, bekantan lebih sering dijumpai
pada kebun karet karena menyediakan banyak pakan segar yang disukai bekantan.
Bekantan juga sering dijumpai memakan buah terap (Artocarpus elasticus) dan
bunga jemihing (Dillenia excelsa), namun keberadaan jenis-jenis ini sudah semakin
sedikit karena sudah banyak ditebang. Selain tumbuhan, bekantan juga
mengkonsumsi jenis invertebrata (rayap) yang hidup di batang pohon yang lapuk
untuk memenuhi kebutuhan protein hewani (Soendjoto et al. 2006 dan Matsuda
2008). Beberapa jenis pakan bekantan disajikan pada Gambar 7.

12

(a)

(b)

(c)
(d)
Gambar 7 Jenis pakan bekantan: (a) buah terap; (b) biji karet; (c) daun jemihing;
dan (d) rayap
Keanekaragaman jenis pakan yang dimakan bekantan dipengaruhi oleh waktu
(musim) yang erat kaitannya dengan fenologi pohon. Sedikitnya bagian yang
dimakan berupa bunga dan buah disebabkan karena pada saat penelitian bukan
merupakan musim berbunga dan berbuah sehingga ketersediaan bunga dan buah
sedikit. Berbeda dengan daun/pucuk yang selalu tersedia sehingga bekantan lebih
sering dijumpai memakan bagian daun/pucuk.
Cover
Komponen cover merupakan salah satu bagian terpenting dalam kehidupan
bekantan. Salah satu komponen penyusun cover adalah struktur dan penutupan
tajuk vegetasi. Pengaruh penutupan tajuk terhadap bekantan dapat dilihat dari
pemanfaatan tipe habitat dalam pergerakan hariannya. Bekantan lebih banyak
menghabiskan waktu untuk mencari makan, bermain, dan beristirahat pada tegakan
yang memiliki tajuk yang lebar, tinggi dan rapat. Hal ini berkaitan dengan fungsi
cover yaitu sebagai pencegah pengeluaran energi yang berlebihan, melindungi diri
dari cuaca, dan predator (Bolen dan Robinson 2003). Dalam melakukan aktivitas
hariannya, bekantan lebih sering menggunakan pohon strata A dan B. Gambaran
mengenai komposisi vegetasi di habitat bekantan digambarkan dalam bentuk
diagram profil pohon yang disajikan pada Gambar 8.

13

strata A

strata B

Gambar 8 Diagram profil pohon pada habitat bekantan
Gambar 8 menunjukkan perbedaan ketinggian pohon serta lebar tajuk pada
habitat bekantan. Kontinutas tajuk pepohonan di habitat bekantan ini (strata A dan
B) mendukung pergerakan hariannya karena bekantan merupakan salah satu satwa
dengan pola hidup bersifat arboreal dengan memanfaatkan strata pohon tengah dan
atas. Ketinggian pohon berpengaruh terhadap pemilihan lokasi makan dan tidur
bekantan. Bekantan lebih sering ditemukan berada pada ujung cabang atau pangkal
cabang untuk memudahkan ketika mengambil pucuk daun dan memudahkan
pergerakan ketika ada ancaman.
Jenis yang mendominasi pada strata A adalah Ficus sp., sedangkan jenis yang
mendominasi pada starata B adalah Dillenia excelsa, Hevea brasiliensis,
Artocarpus elasticus, dan Pternandra coerulescens. Penggunaan strata A dan B
pada habitat bekantan juga dilaporkan oleh Rachmawan (2006) yang menyatakan
bahwa di daerah Hulu Sungai Kendilo, bekantan lebih memanfaatkan pohon strata
A seperti jenis Shorea leprosula, Pterospermum diversifolium, Dialium sp. dll, dan
strata B seperti Shorea lamellata, Pterospermum javanicum, Vatica rassak, dll.
Penggunaan strata A dan B ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor
ketersediaan pakan dan keselamatan bekantan. Dari segi faktor ketersediaan pakan,
pada umumnya pucuk daun muda lebih banyak tersedia pada strata tersebut
sehingga bekantan sering dijumpai pada tajuk pohon (Gambar 9). Selain itu,
bekantan akan tetap merasa aman dan lebih mudah untuk bersembunyi ketika
mendeteksi adanya gangguan.

14

(a)
(b)
Gambar 9 Pemanfaatan strata pohon oleh bekantan: (a) tajuk pohon Ficus sp.; (b)
ujung cabang
Aktivitas tidur bekantan dilakukan menjelang senja. Pada umumnya, vegetasi
yang dimanfaatkan oleh bekantan sebagai tempat tidurnya adalah tingkat pohon.
Kelompok atau sub kelompok bekantan menempati beberapa pohon yang
berdekatan sebagai pohon tidur. Pohon tidur yang dipilih memiliki diameter besar
dan percabangan yang lebar seperti jenis Ficus sp. (Gambar 9). Hal ini sesuai
dengan fungsi pohon tidur yakni sebagai tempat istirahat, melindungi diri dari
ancaman (manusia), serta dapat juga berfungsi sebagai pohon pakan. Pemilihan
lokasi tidur juga ditentukan oleh jarak pohon tidur dari sungai Barito. Bekantan
tidak ditemukan tidur pada pohon di tepi sungai. Hal ini dilakukan agar bekantan
lebih merasa aman dan jauh dari gangguan aktivitas manusia yang menggunakan
transportasi air sehingga dapat menghindari gangguan kebisingan.

Populasi
Populasi bekantan yang ada di lokasi penelitian diketahui berdasarkan
pengamatan langsung. Dari hasil pengamatan, ditemukan sebanyak 1 kelompok
bekantan dengan jumlah individu sebanyak 34 ekor yang terdiri dari 5 jantan
dewasa, 10 betina dewasa, 10 remaja, dan 9 anakan. Kelompok bekantan di lokasi
pengamatan ini terbagi menjadi 4 sub kelompok (Tabel 3).
Tabel 3 Populasi bekantan pada setiap sub kelompok
Kelas Umur
Sub
Kelompok
1
2
3
4
Jumlah
a

Dewasa
Jantan
1
1
2
1
5

Betina
3
2
3
2
10

Remaja

Anak

3
2
3
2
10

2
3
3
1
9

Jumlah

Sex
Ratioa

9
8
11
6
34

1:3
1:2
2:3
1:2
1:2

Sex ratio diperhitungkan dari jumlah jantan dan betina pada kelas umur dewasa

15
Bismark (2009) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi jumlah
individu dalam kelompok dan organisasi sosial primata adalah kepadatan populasi,
sumber pakan, predator serta lingkungan yang memungkinkan untuk memelihara
anak dengan baik. Tabel 3 menjelaskan bahwa jumlah individu pada tiap kelas umur
adalah 9 ekor bayi/anakan (26.47%), 10 ekor remaja (29.41%), 5 jantan dewasa
(14.70%) dan 10 betina dewasa (29.41%). Jumlah individu remaja dan anakan (19
individu) lebih banyak dibandingkan dengan jumlah individu jantan dan betina
dewasa (15 individu) sehingga dapat diindikasikan bahwa regenerasi terhadap
populasi bekantan berjalan dengan baik karena peranan individu dewasa cepat atau
lambat pasti akan digantikan oleh individu muda. Alikodra (1997) menyatakan
bahwa semakin banyaknya jumlah individu pada kelas umur yang lebih muda
menjelaskan bahwa populasi diperkirakan akan meningkat pada tahun-tahun
berikutnya dengan asumsi bahwa kematian pada setiap selang waktu adalah konstan
sehingga dapat menjamin kelestarian. Selain itu, meskipun habitatnya mengalami
berbagai gangguan dan acaman oleh manusia, bekantan masih dapat melahirkan
bayi yang mengindikasikan bahwa habitatnya masih mampu untuk mendukung
kehidupannya.
Sistem sosial bekantan lebih mengarah pada sistem multi-male group, yaitu
dalam suatu kelompok bekantan terdapat lebih dari satu jantan dewasa. Hal ini
terbukti dengan ditemukannya lima individu jantan dewasa di lokasi pengamatan.
Sex ratio bekantan di lokasi penelitian ini adalah 1:2 yang artinya bekantan jantan
dewasa dapat kawin dengan lebih dari satu betina dewasa. Sex ratio kelompok
bekantan di beberapa lokasi lainnya bervariasi. Kelompok bekantan di Sungai
Kuala Samboja memiliki sex ratio sebesar 1:3.9 (Atmoko 2012), TN Tanjung
Puting sebesar 1:4.2 (Yeager 1992), TN Kutai sebesar 1:2.55 (Bismark 1995), dan
di Kabupaten Tabalong sebesar 1:2.83 (Soendjoto 2005).
Jumlah individu dalam kelompok juga mempengaruhi jauhnya pergerakan
harian bekantan, sehingga untuk melakukan aktivitas harian terutama makan,
bekantan berpencar dalam bentuk sub kelompok. Untuk membedakan sub
kelompok bekantan yang satu dengan yang lainnya dapat dilihat dari lokasi
ditemukannya bekantan saat melakukan aktivitas hariannya. Bismark (2009)
menyatakan bahwa sebaran antar sub kelompok bekantan berkisar antara 50 – 150
meter (rata-rata 96 meter). Hal ini berbeda dengan sebaran antar sub kelompok
bekantan di lokasi penelitian yang berjarak 30 – 70 meter (rata-rata 45 meter).
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Ginting (2009) menyatakan bahwa
bekantan di Sungai Lalau membentuk 3 sub kelompok yang berjarak 60 meter.
Terjadinya perbedaan jarak ini dikarenakan kondisi habitat bekantan di lokasi
penelitian telah terisolasi sehingga tempat mencari makan dan untuk berlindung
terbatas dan cenderung hanya menggunakan satu jalur saja untuk pergerakan
hariannya.
Dengan dibentuknya pola sub kelompok, akan memudahkan bekantan untuk
melakukan pengontrolan terhadap wilayah pengembaraan dan memberikan
peringatan kepada anggota kelompok yang lainnya untuk tetap waspada terhadap
ancaman dari luar. Dengan pola arboreal, bekantan akan lebih mudah mendeteksi
kehadiran manusia. Menurut Soendjoto (2005) pembentukan sub kelompok pada
bekantan juga bertujuan untuk mengatasi kompetisi antar individu dalam
persaingan kawin dan pakan.

16
Ancaman
Keberadan habitat dan populasi bekantan di areal kebun karet Dusun
Pararawen saat ini mengalami beberapa masalah yang dapat menyebabkan
terganggunya kelestarian bekantan. Habitat bekantan di kebun karet ini berada ± 1
km dari pemukiman terdekat, yaitu Dusun Pararawen. Sebagian besar penduduk
setempat bermatapencaharian sebagai petani karet. Lahan mereka berada di dalam
maupun di sekitar habitat bekantan. Beberapa permasalahan yang terjadi terhadap
habitat dan populasi bekantan di lokasi penelitian antara lain:
1.

Perubahan kondisi habitat bekantan
Bekantan sangat sensitif terhadap kerusakan habitat (Bismark 2009). Hutan
di tepi sungai yang telah dikonversi oleh masyarakat menjadi kebun karet
menyebabkan kerusakan dan fragmentasi habitat bekantan. Pengalihan fungsi hutan
seperti ini secara langsung menyebabkan berkurangnya luasan habitat bekantan.
Perusakan hutan seperti ini dapat mengurangi pohon yang potensial sebagai pohon
tidur dan sumber pakan bekantan seperti Dillenia excelsa, Ficus sp, dan Artocarpus
elasticus, sehingga bekantan harus beradaptasi dengan kondisi habitat yang baru.
Bekantan harus mencari alternatif pakan baru (pucuk/daun karet) untuk tetap
bertahan hidup dan memanfaatkan jenis tumbuhan pakan yang tersisa di habitatnya.
Fragmentasi habitat bekantan menyebabkan antar kelompok bekantan sulit
untuk bisa berhubungan satu dengan lainnya karena tidak bisa berpindah antar
patch yang ada. Berdasarkan informasi dari masyarakat, sebaran bekantan juga
dapat ditemukan di Cagar Alam Pararawen I dan II yang letaknya berseberangan
dengan habitat bekantan di kebun karet ini. Meskipun bekantan pandai berenang,
bekantan tidak pernah menyeberangi sungai karena padatnya lalu-lintas transportasi
air di Sungai Barito. Hal ini menyebabkan bekantan cenderung hanya menggunakan
habitat di kebun karet (± 59.9 ha) dan tidak berpindah ke lokasi lain, karena di luar
areal penelitian didominasi oleh kebun karet yang baru dibuka sehingga bekantan
tidak memanfaatkannya sebagai bagian dari habitatnya karena bekantan
membutuhkan vegetasi berupa pohon yang menyediakan sumber pakan dan tempat
berlindung.
2.

Gangguan aktivitas manusia
Bekantan sangat sensitif terhadap gangguan dan memiliki respon negatif
terhadap kehadiran manusia, sehingga segala aktivitas manusia yang dilakukan di
habitat bekantan secara langsung maupun tidak langsung dapat mengganggu
kehidupan bekantan. Aktivitas masyarakat yang mengambil getah karet di
kebunnya dapat mengganggu keberadaan bekantan dan menyebabkan perubahan
perilakunya sehingga bekantan akan menghindari kontak langsung dengan manusia
dengan cara bersembunyi atau berpindah tempat ke pohon lainnya. Demi
mendapatkan hasil yang maksimal, pemilik kebun karet melakukan perawatan
terhadap kebunnya dengan cara melakukan kegiatan penebangan dan penebasan
tumbuhan selain karet (Gambar 10).
Aktivitas penebangan dan penebasan ini dilakukan oleh pemilik kebun karet
agar persaingan unsur hara antara tanaman karet dengan tumbuhan liar lainnya
dapat dikurangi sehingga tanaman karetnya dapat tumbuh dengan baik. Dengan
adanya penebasan, pemilik kebun karet akan diuntungkan karena dapat

17
mempercepat pertumbuhan karet muda dan meningkatkan produksi getah karet.
Namun, hal ini berdampak buruk bagi bekantan karena penebasan dapat
mengurangi keanekaragaman spesies tumbuhan yang ada. Penebangan dan
penebasan juga menjadi masalah utama pada habitat bekantan di hutan karet
Kabupaten Tabalong (Soendjoto et al 2005).

(a)

(b)

Gambar 10 Ancaman dan gangguan bagi bekantan: (a) transportasi air; (b)
penebangan pohon
3.

Transportasi air
Suara mesin transportasi air yang lalu-lalang setiap harinya di Sungai Barito
(Gambar 10) dapat mengganggu aktivitas bekantan. Suara mesin transportasi air,
misalnya kapal tongkang pengangkut batubara dan kayu menimbulkan suara yang
bising sehingga dapat menyebabkan polusi suara. Tingginya aktivitas manusia yang
memanfaatkan sungai sebagai jalur transportasi utama dapat menyebabkan
bekantan menjadi stress sehingga dapat memberikan ancaman terhadap penurunan
populasi. Yeager (1990) diacu dalam Bismark (2009) melaporkan bahwa
meningkatnya lalu lintas transportasi air di TN Tanjung Puting menyebabkan
penurunan populasi bekantan sebesar 6% per tahunnya.

Upaya Konservasi
Secara umum, meskipun berada pada areal kebun karet, kondisi habitat dan
populasi bekantan relatif masih baik. Kondisi ini ditinjau dari ketersediaan pohon
pakan dan pohon tidur dalam jumlah yang memadai, artinya masih ditemukan jenis
selain karet di habitatnya yang secara langsung dimanfaatkan oleh bekantan.
Kontinutas tajuk pepohonan (strata A dan B) mendukung pergerakan harian di
habitatnya sehingga sampai saat ini bekantan masih dapat hidup dan beradaptasi
dengan kondisi lingkungan yang ada. Selain itu, populasi bekantan di masa yang
akan datang diharapkan tetap lestari yang ditandai dengan individu betina dewasa
masih mampu melahirkan anak walaupun kondisi lingkungan telah berubah,
dengan asumsi apabila permasalahan-permasalahan yang terjadi di sekitar
habitatnya mampu diatasi.
Pengelolaan terhadap habitat dan populasi bekantan di Dusun Pararawen
belum pernah dilakukan sebelumnya. Adanya aktivitas manusia di habitat bekantan
menyebabkan satwa ini merasa terganggu dan semakin terancam keberadaanya

18
karena luasan habitatnya semakin berkurang. Habitat bekantan yang berada di luar
kawasan konservasi sangat perlu perhatian khusus dalam upaya konservasinya
sehingga satwa ini dapat terbebas dari ancaman kepunahan. Berdasarkan hasil
penelitian, beberapa tindakan perlu dilakukan dalam upaya konservasi bekantan di
Dusun Pararawen, antara lain:
1.

Pengamanan kawasan.
Saat ini, daerah sempadan sungai di sekitar habitat bekantan telah banyak
dibuka oleh masyarakat untuk lahan perkebunan. Hal ini berdampak buruk bagi
bekantan karena luasan habitatnya semakin berkurang sehingga perlu adanya
pengamanan kawasan. Pihak YKI berencana untuk membeli lahan pada habitat
bekantan sehingga kegiatan penabangan, penebasan, dan pembukaan lahan di
sekitar habitatnya dapat dikurangi. Selain itu, upaya ini akan mempermudah
pengelola dalam melakukan tindakan konservasi lainnya.
2.

Pembinaan habitat.
Pembinaan habitat bekantan sangat perlu dilakukan melalui kegiatan
rehabilitasi lahan. Habitat bekantan telah beralih fungsi menjadi kebun karet
sehingga secara langsung telah mengurangi tumbuhan lokal yang memiliki peranan
penting bagi bekantan baik sebagai pohon pakan, pohon tidur, maupun tempat
untuk beristirahat. Bentuk kegiatan rehabilitasi yaitu dapat dilakukan yaitu dengan
penanaman jenis tumbuhan lokal seperti jenis Dillenia excelsa, Ficus sp., dan
Artocarpus elasticus yang selalu dimanfaatkan dan berperan penting bagi bekantan
dalam aktivitas hariannya sehingga jenis-jenis tersebut jumlahnya semakin
bertambah.
3.

Monitoring.
Kegiatan monitoring dilakukan untuk mengetahui perkembangan jumlah
populasi, keberadaan kelompok, sebaran bekantan, sebaran sumber pakan,
permasalahan yang ada di sekitar habitat, dsb. Kegiatan monitoring ini melibatkan
pihak BKSDA Kalimantan Tengah dan masyarakat desa setempat. Monitoring
dapat dilakukan secara rutin setiap bulan sehingga dapat diketahui perbedaan data
pada tiap bulannya. Data hasil monitoring ini dapat dijadikan sebagai data dasar
dalam pengelolaan selanjutnya.
4.

Penyuluhan.
Secara umum masyarakat Dusun Pararawen harus ikut dilibatkan dalam
upaya konservasi bekantan karena masyarakat lebih sering berinteraksi dengan
bekantan. Kegiatan penyuluhan kepada masyarakat mengenai kondisi
keanekaragaman hayati terutama bekantan dan habitatnya sangat perlu dilakukan.
Materi penyuluhan dapat berupa penjelasan mengenai bekantan adalah satwa yang
endemik dan dilindungi, penyebab dan dampak dari kerusakan habitat bekantan,
hingga tindakan yang perlu dilakukan dalam upaya konservasinya. Dengan
demikian, masyarakat akan semakin sadar terhadap pentingnya menjaga satwa

19
endemik Borneo ini sehingga dapat meningkatkan tingkat kepedulian masyarakat
dalam program konservasi bekantan.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1.

2.

3.

Habitat bekantan berada pada ketinggian 66 – 256 m dpl, rata-rata curah hujan
selama 10 tahun terakhir adalah 266.791 mm/tahun, suhu udara rata-rata
tahunan di lokasi penelitian yaitu 26.77oC dan kelembaban udara rata-rata
tiap bulannya berkisar antara 80 – 88%. Hasil analisis vegetasi menunjukkan
bahwa pada habitat ini terdapat 41 jenis tumbuhan dari 21 famili. INP
tertinggi pada tingkat semai, pancang, dan tiang adalah jenis jemihing
(Dillenia excelsa), sedangkan pada tingkat pohon adalah jenis Ficus sp.
Terdapat 15 jenis tumbuhan dan 1 jenis invertebrata (rayap) yang
dimanfaatkan bekantan sebagai sumber pakan. Bekantan lebih banyak
menghabiskan waktu untuk mencari makan, bermain, dan beristirah