Karakteristik Habitat Bekantan (Nasalis Larvatus, Wurmb 1787) Di Iuphhk-Ha Pt Indexim Utama, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah

KARAKTERISTIK HABITAT BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb)
DI IUPHHK-HA PT INDEXIM UTAMA KABUPATEN
BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH

MOHAMAD NUGRAHA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Habitat
Bekantan (Nasalis larvatus, Wurmb 1787) di IUPHHK-HA PT Indexim Utama,
Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Mohamad Nugraha
NIM E34090120

ABSTRAK
MOHAMAD NUGRAHA. Karakteristik Habitat Bekantan (Nasalis larvatus,
Wurmb 1787) di IUPHHK-HA PT Indexim Utama, Kabupaten Barito Utara,
Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan DONES
RINALDI.
Bekantan (Nasalis larvatus) merupakan satwa endemik yang hanya hidup di
hutan Kalimantan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik
fisik dan biotik habitat bekantan di kawasan IUPHHK-HA PT Indexim Utama.
Kegiatan pengambilan data dilakukan pada bulan November 2013 hingga Januari
2014. Pengamatan bekantan di lapangan dilakukan dengan metode perjumpaan
langsung (direct encounter) yang dilanjutkan dengan analisis spasial. Pengamatan
lapangan didapatkan sembilan titik perjumpaan bekantan. Jumlah individu
bekantan paling banyak ditemukan berjumlah 16 individu dan paling sedikit
berjumlah 7 individu. Bekantan di areal IUPHHK-HA PT Indexim Utama

ditemukan di ketinggian 100 - 150 mdpl pada kelerengan datar hingga curam
dengan jarak 0 – 20 m dari tepi sungai. Bekantan di kawasan PT Indexim Utama
lebih memilih habitat dengan nilai vegetasi dan kerapatan tajuk sedang, namun
memiliki kerapatan pohon pakan yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan
pakannya yaitu daun.
Kata kunci: Barito Utara, bekantan, IUPHHK, karakteristik habitat

ABSTRACT
MOHAMAD NUGRAHA. Habitat Characteristics of Proboscis Monkey (Nasalis
larvatus, Wurmb 1787) In IUPHHK-HA PT Indexim Utama, Barito Utara
Regency, Central Kalimantan. Supervised by LILIK BUDI PRASETYO dan
DONES RINALDI.
Proboscis monkey (Nasalis larvatus) is an endemic species that only lives
in Borneo forests. This study aims to identify physical and biotic characteristics of
proboscis monkey in the area of IUPHHKHA PT Indexim Utama. Data collection
activities were conducted in November 2013 until January 2014. Field
observations of proboscis monkey were using direct encounter method followed
by spatial analysis. Field observations obtained nine proboscis monkey encounter
points. The largest number of proboscis monkey per group was 16 individual,
meanwhile the least was 7 individual. Proboscis monkey in IUPHHKHA PT

Indexim Utama were found at an altitude of 100-150 meters above sea level on
flat to steep slopes with a distance of 0-20 m from river side. Proboscis monkey in
PT Indexim Utama prefers habitats with moderate vegetation and canopy density
values but has a high density of trees to meet their feed that is leaves as food.
Keywords: Barito Utara, characteristic habitat, IUPHHK, proboscis monkey

KARAKTERISTIK HABITAT BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb
1787) DI IUPHHK-HA PT INDEXIM UTAMA KABUPATEN BARITO
UTARA KALIMANTAN TENGAH

MOHAMAD NUGRAHA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala rahmat dan berkah-Nya
penyusunan Skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian ini berjudul “Karakteristik
Habitat Bekantan (Nasalis larvatus, Wurmb 1787) di IUPHHK-HA PT Indexim
Utama Kabupaten Barito Utara Kalimantan Tengah”. Pengumpulan data dilakukan
pada November 2013 hingga Januari 2014.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc
dan Ir Dones Rinaldi, MScF selaku Pembimbing atas arahan, bimbingan, dan saran
kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada seluruh jajaran PT Indexim Utama atas bantuan yang diberikan
dalam pengambilan data lapangan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
orang tua tercinta, Sonya Dyah Kusuma Dewi, seluruh keluarga Anggrek Hitam 46
dan keluarga besar HIMAKOVA atas seluruh pelajaran, pengalaman, bantuan dan
doa selama ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat.


Bogor, Februari 2015
Mohamad Nugraha

vii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan

1

Manfaat

1

METODE

2

Waktu dan Lokasi Penelitian

2

Metode Pengumpulan Data


2

Pengolahan dan Analisis Data

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

7

Komponen Fisik Habitat Bekantan

9

Komponen Biotik Habitat Bekantan


14

Pengelolaan Habitat Bekantan

18

SIMPULAN DAN SARAN

19

Simpulan

19

Saran

19

DAFTAR PUSTAKA


20

LAMPIRAN

21

viii

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.


Jumlah individu dalam setiap perjumpaan
Kelas kemiringan lereng PT Indexim Utama
Jarak perjumpaan bekantan dari sungai
Jarak perjumpaan bekantan dari jalan
Hubungan antara sistem lahan dan perjumpaan bekantan
Hubungan nilai NDVI dan jumlah bekantan
Perjumpaan bekantan berdasarkan nilai FCD
Nilai kerapatan dan jumlah individu bekantan tiap perjumpaan
Nilai kerapatan pohon pakan dan jumlah individu bekantan tiap
perjumpaan

8
10
11
12
13
15
16
17
17


DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

Peta lokasi penelitian
Desain inventarisasi vegetasi
Diagram alir pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng
Diagram alir pembuatan peta jarak dari sungai dan jalan
Diagram alir pembuatan peta landsystem
Diagram alir pembuatan peta NDVI
Diagram alir pembuatan peta FCD
Peta perjumpaan bekantan di kawasan PT Indexim Utama
Peta perjumpaan bekantan berdasarkan ketinggian
Peta perjumpaan bekantan berdasarkan kelerengan PT Indexim
Utama
Peta jarak posisi bekantan dari sungai
Peta jarak posisi bekantan dari jalan
Peta persebaran bekantan berdasarkan nilai sistem lahan
Peta persebaran bekantan berdasarkan nilai NDVI
Peta persebaran bekantan berdasarkan nilai FCD
Peta pengelolaan habitat bekantan

2
3
4
4
5
5
6
8
9
10
11
13
14
15
16
18

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bekantan (Nasalis larvatus) merupakan satwa endemik yang hanya hidup
di hutan Kalimantan. Saat ini, populasi bekantan terancam punah di alam dan
dilindungi berdasarkan PP No. 7 tahun 1999 tentang jenis tumbuhan dan satwa
yang dilindungi. Bekantan termasuk Appendix I CITES (Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) dan
dikategorikan terancam (Endangered) menurut IUCN (International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources) tahun 2008. Menurut Atmoko
(2011), keterancaman bekantan disebabkan hutan di daerah Kalimantan telah
banyak di konversi menjadi areal permukiman, perkebunan, maupun areal
tambang.
Pada umumnya habitat bekantan adalah hutan yang berada di lahan basah,
dan sangat tergantung dengan sumber air (Alikodra 1997). Saat ini, habitat
bekantan sebagai satwa yang dilindungi berada baik di dalam kawasan konservasi
maupun di luar kawasan konservasi. Salah satu habitat bekantan di luar kawasan
hutan konservasi yaitu di kawasan hutan IUPHHK-HA PT. Indexim Utama.
Kawasan tersebut terletak di Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan
Tengah dengan luas 52.480 Ha. Tipe hutan yang ada di kawasan PT Indexim
Utama merupakan hutan hujan dataran rendah dengan vegetasi dominan antara
lain meranti (Shorea sp.), keruing (Dipterocarpus sp.), bangkirai (Dryobalanops
sp.), kapur (Dryobalanops sp.) dan balau (Shorea guiso).
Sebagian besar hutan di sekitar sungai di Kalimantan menjadi habitat bagi
bekantan (Bismark 2009). Bekantan menggunakan pohon di tepi sungai untuk
tempat tidurnya sehingga formasi hutan di tepi sungai perlu dilindungi demi
menjaga populasi bekantan. Saat ini, telah banyak penelitian mengenai
karakteristik habitat bekantan yang hidup di hutan dataran basah, namun masih
sedikit penelitian yang membahas karakteristik habitat bekantan di hutan dataran
kering. Salah satu habitat bekantan di hutan dataran kering yaitu kawasan PT
Indexim Utama, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai karakteristik
habitat bekantan yang ada di kawasan PT Indexim Utama.

Tujuan
Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik fisik dan biotik
habitat bekantan di kawasan IUPHHK-HA PT Indexim Utama.

Manfaat
Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan informasi mengenai
karakteristik habitat bekantan sehingga dapat meningkatkan upaya pelestarian
bekantan yang hidup di kawasan IUPHHK-HA PT Indexim Utama.

2

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Kegiatan pengambilan data dilakukan pada bulan November 2013 hingga
Januari 2014 di kawasan IUPHHK-HA PT. Indexim Utama seluas ±52.000 Ha,
Provinsi Kalimantan Tengah. Pengolahan data dilakukan Laboratorium Analisis
Lingkungan dan Pemodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. Lokasi penelitian dapat dilihat pada
Gambar 1.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian

Metode Pengumpulan Data
Jenis data
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data tersebut
kemudian dikelompokkan menjadi data komponen fisik maupun biotik penyusun
habitat bekantan yang ada di kawasan PT. Indexim Utama.
Pengamatan lapang
Pengamatan bekantan di lapangan dilakukan dengan metode perjumpaan
langsung (direct encounter) untuk mengetahui keberadaan bekantan. Titik
perjumpaan dengan bekantan kemudian ditandai dengan menggunakan GPS.
Selain itu, dicatat jumlah individu kelompok pada setiap perjumpaan sehingga
didapatkan ukuran kelompok bekantan.
Komponen fisik habitat
Komponen fisik habitat didapatkan dari hasil pengolahan analisis spasial
dengan menggunakan software ArcGIS 9.3 dan Erdas Imagine 9.1. Peta yang
diolah merupakan peta ketinggian, kelerengan, jarak dari sungai, jarak dari jalan

3

dan peta landsystem. Peta tersebut didapatkan hasil analisis spasial peta ASTER
GDEM dan citra landsat 8.
Komponen biotik habitat
Data komponen biotik habitat yang dibutuhkan yaitu data kerapatan dan
jenis pohon pada plot saat ditemukannya bekantan. Data ini didapatkan melalui
analisis vegetasi dan pendekatan nilai NDVI (Normalize Difference Vegetation
Index) dan FCD (Forest Canopy Density).
Analisis vegetasi dilakukan dengan metode peta ganda sesuai dengan
Gambar 2. Petak contoh analisis vegetasi di tempatkan di lokasi bekantan
beraktivitas. Petak contoh dibuat berukuran 20m x 20m, selanjutnya dibuat sub
petak 5m x 5m untuk pancang, 10m x 10m untuk tiang, dan 20m x 20m untuk
pohon. Pada setiap titik perjumpaan bekantan dibuat dua petak tunggal. Data yang
dicatat pada tingkat pancang hanya jenis dan jumlah individu. Pada tingkat pohon
dan tiang, dicatat jenis dan jumlah individu serta diukur diameter dan tinggi
individu pohon. Pencatatan diameter dan tinggi pada tingkat tiang dan pohon
dimaksudkan untuk mengetahui kerapatan petak yang digunakan bekantan untuk
beraktifitas. Hal ini dikarenakan tingkat pancang tidak digunakan bekantan untuk
beraktifitas maupun mencari makan.

C

B

A
C

B

A

Gambar
2 Desain
Gambar
2Desaininventarisasi
inventarisasivegetasi
vegetasi
Keterangan : A= petak pengamatan untuk tingkat pohon, B= petak pengamatan untuk tingkat
tiang, C= petak pengamatan untuk tingkat pancang

Pengolahan dan Analisis Data
Pengamatan lapang
Pengamatan dilakukan dengan metode langsung. Setiap perjumpaan tiap
kelompok bekantan dicatat jumlah individu dalam kelompok. Setelah diketahui
jumlah individu dalam setiap perjumpaan, dapat diduga ukuran kelompok
individu bekantan di kawasan PT Indexim Utama yang dibagi kedalam tinggi,
sedang, ataupun rendah. Ukuran kelompok dikatakan rendah saat individu yang
teramati berkisar 7 – 10 individu, sedang 11 – 13 individu, dan tinggi 14 – 16
individu.
Komponen fisik habitat
Pengolahan data komponen fisik habitat dilakukan dengan analisis spasial
yang dijabarkan secara deskriptif. Data yang dihasilkan yaitu peta yang meliputi
peta ketinggian, peta kelerengan, peta jarak dari sungai, peta jarak dari jalan

4

utama maupun jalan sarad, dan peta landsystem. Semua data tersebut selanjutnya
ditumpangtindihkan untuk mendapatkan peta keseuaian habitat bekantan.
1. Peta ketinggian dan kelerengan
Peta ketinggian dan kemiringan lereng dibuat dari data ASTER GDEM
yang diolah menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. Proses pembuatan peta
ketinggian dan kemiringan lereng dapat dilihat pada Gambar 3.
ASTER DEM

Peta Ketinggian
surface

slope

Peta Kemiringan Lereng

Gambar 3 Diagram alir pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng
2. Peta jarak dari sungai dan jalan
Peta jarak sungai, jalan, dan blok tebang dibuat dari peta digital jaringan
sungai, jalan utama dan jalan sarad yang dianalisis menggunakan software
ArcGIS 9.3. Proses pembuatannya dapat dilihat pada Gambar 4.
Peta Sungai dan jalan

Spatial analyst

Distance

Euclidean distance

Peta Jarak dari Sungai dan jalan

Gambar 4 Diagram alir pembuatan peta jarak dari sungai dan jalan

5

3. Pembuatan peta Landsystem
Pemerintah Indonesia pada tahun 1984-1989, telah mendefinisikan dan
memetakan sistem lahan di Indonesia melalui proyek RePPProT (Regional
Physical Planning Programme for Transmigration) (Poniman et al.2004). Peta
sistem lahan dari RePPProT akan ditumpang-tindihkan (overlay) dengan peta
batas kawasan. Proses pembuatannya dapat dilihat pada Gambar 5.
Peta batas kawasan

Peta landsystem

Overlay

Clip

Peta landsystem kawasan

Gambar 5 Diagram alir pembuatan peta landsystem
Komponen biotik habitat
1. Pembuatan peta NDVI (Normalize Difference Vegetation Index )
Pembuatan peta NDVI (Normalize Difference Vegetation Index) diperoleh
dari citra landsat yang telah dikoreksi geometris. Nilai NDVI merupakan nilai
tengah dari spektral yang didapat dari gelombang elektromagnetik merah dan
inframerah terdekat. Perhitungan NDVI dengan Erdas Imagine 9.1 dapat dilihat di
Gambar 6 menggunakan rumus: NDVI =
Citra landsat 8

Pemotongan Citra

Koreksi Geometri

Model Maker

NDVI

Gambar 6 Diagram alir pembuatan peta NDVI

6

2. Pembuatan peta FCD (Forest Cover Density)
Proses pembuatan FCD menggunakan software FCD-Mapper Ver 2. Hasil
pengolahan FCD berfungsi untuk menduga kerapatan tajuk berdasarkan empat
kriteria penyusun yaitu Advanced Vegetation Index(AVI), Bare Soil Index (BI),
Shadow Index (SI), dan Thermal Index (TI). Dengan keempat kriteria tersebut,
dihasilkan nilai kerapatan tajuk yang lebih mendekati keadaan nyata di lapangan.
Metode ini juga biasa digunakan untuk pemantauan keadaan sebuah tegakan
secara berkala. Hasil dari penghitungan FCD ditunjukkan dalam bentuk
persentase mulai dari 0% - 100%.
Kriteria yang digunakan dalam menyusun data FCD saling berhubungan
satu sama lain. Indeks vegetasi (VI) menunjukkan nilai vegetasi kawasan mulai
dari tegakan hutan hingga padang rumput. Nilai VI rendah hingga tinggi
mengikuti kondisi lapangan mulai dari padang rumput hingga hutan primer. Nilai
SI akan naik apabila nilai VI naik. Nilai TI akan naik saat nilai VI turun. Nilai BI
akan tinggi saat tidak adanya vegetasi dalam suatu kawasan. Dalam kondisi
tersebut, nilai TI akan meningkat. Proses pembuatan peta FCD disajikan pada
Gambar 7.

Citra Landsat

Pembuatan
Vegetation Index
(VI)

Pembuatan Bare
Soil Index (BI)

Pembuatan
Shadow Index
(SI)

Peta Kerapatan
vegetasi

Pembuatan Thermal
Index (TI)

Scale Shadow
Index

Integrasi Model

Peta Kerapatan Kanopi

Gambar 7 Diagram alir pembuatan peta FCD
3. Analisis komposisi vegetasi
Analisis vegetasi dilakukan di lokasi aktivitas bekantan. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui kerapatan vegetasi. Kerapatan vegetasi yaitu jumlah individu
per unit luas (Indriyanto 2006). Kerapatan pada umumnya dinyatakan dalam

7

notasi individu per hektar yang berarti jumlah individu yang hidup dalam satu
hektar (Indriyanto 2006). Dalam hal ini, habitat tumbuhan adalah plot pengamatan
analisis vegetasi, dan luas suatu jenis tumbuhan didapat dari luas bidang dasar
(lbds) suatu jenis. Parameter diatas didapatkan dari persamaan:
Kerapatan (K) = Ʃ individu jenis / luas plot pengamatan (Ind/Ha)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Secara geografis, areal kerja IUPHHK-HA PT Indexim Utama terletak di
antara 01o11’ – 01o26’ LS dan 115o27’ – 115o46’ BT, pada kelompok hutan
Sungai Mea – Sungai Luang, Kecamatan Gunung Purai, Kabupaten Barito Utara,
Provinsi Kalimantan Tengah. Luas areal kerja IUPHHK-HA PT. Indexim Utama
berdasarkan Surat Keputusan Menhutbun No.806/Kpts-VI/1999 tanggal 30
September tahun 1999 adalah 52.480 Ha, yang terdiri dari Hutan Produksi terbatas
(HPT): 45.500 Ha dan Hutan produksi (HP): 6.980 Ha. Keadaan
vegetasi/penutupan lahan areal kerja PT IU, terdiri dari hutan primer seluas
35.220 Ha (67,11%), hutan bekas tebangan seluas 15.756 Ha (30,02%) dan non
vegetasi seluas 1.504 Ha (2,87%).
Berdasarkan pembagian DAS, areal IUPHHK-HA PT Indexim Utama
termasuk dalam DAS (Daerah Aliran Sungai) Teweh yang tersebar pada 4 Sub
DAS yaitu DAS Mea, Sub DAS Teweh Hulu, Sub DAS Teweh Tengah dan Sub
DAS Luang. Jenis tanah yang di areal IUPHHK-HA PT Indexim Utama terdiri
dari tanah podsolik merah kuning (PMK) dan tanah Teriklusi latosol (Tla).Kelas
lereng areal PT IU didominasi kelas kelerengan curam, dengan ketinggian seluruh
areal berkisar antara 50-650 mdpl. curah hujan bulanan rata-rata 252,3 mm
dengan hari hujan rata-rata bulanan 16 hari, temperatur udara rata-rata bulanan
maksimurn ± 28,3°C dan minimum ± 26,4°C dengan kelembaban udara ratarata bulanan 84 % dengan kecepatan angin rata-rata bulanan 4,5 knot. Secara
biogeografis seluruh wilayah IUPHHK-HA PT. IU berada pada sub-biogeografi
Pegunungan Meratus. Pegunungan Meratus merupakan kawasan hutan alami yang
tersisa di Provinsi Kalimantan Selatan, terbentang dari arah tenggara sampai utara
berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur. Pegunungan Meratus berupa
daerah yang berbukit-bukit dengan berbagai formasi ekosistem, sebagian besar
kawasannya masih ditutupi oleh hutan, mulai dari dataran rendah sampai dataran
tinggi yang didominasi oleh formasi hutan dipterocarpaceae dan hutan hujan
pegunungan serta tutupan hutan yang cukup tinggi.
Hasil Pengamatan Lapang
Pengamatan lapangan menunjukkan sembilan titik perjumpaan bekantan.
Jumlah individu bekantan paling banyak ditemukan berjumlah 16 individu dan
paling sedikit berjumlah 7 individu dalam satu kelompok. Ukuran kelompok
bekantan menunjukkan ukuran kelompok secara deskriptif. Skala ukuran

8

kelompok ditentukan dengan cara statistik sederhana dan didapatkan skala ukuran
yaitu 7 – 10 individu dikatakan rendah, 11 – 13 individu dikatakan tinggi, 13 – 17
individu dikatakan inggi. Individu yang ditemukan dalam setiap perjumpaan dapat
dilihat dalam Tabel 1.

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Tabel 1 Jumlah individu dan intensitas kepadatan
Titik
Jumlah bekantan
Ukuran kelompok
perjumpaan
(individu)
B1
12
Sedang
B2
16
Tinggi
B3
8
Rendah
B4
14
Tinggi
B5
7
Rendah
B6
11
Sedang
B7
12
Sedang
B8
7
Rendah
B9
11
Sedang
Total
98

Hasil pengamatan lapang mendapatkan sembilan titik perjumpaan
bekantan. Seluruh kelompok bekantan ditemukan di sekitar sungai yang
menunjukkan habitat bekantan berada di hutan tepi sungai. Lokasi perjumpaan
bekantan dapat dilihat di Gambar 8.

Gambar 8 Peta perjumpaan bekantan di kawasan PT Indexim Utama

9

Komponen Fisik Habitat Bekantan
Setiap komponen fisik habitat bekantan yang teridentifikasi dianalisis
secara deskriptif dan dihubungkan dengan jumlah bekantan yang ditemukan
dalam plot pengamatan.
Ketinggian dan kelerengan
Berdasarkan hasil analisis spasial, kawasan PT Indexim Utama berada di
ketinggian 50 – 650 mdpl. Saat pengamatan dilakukan, bekantan lebih sering
dijumpai pada ketinggian 100 – 150 mdpl, hanya sekali perjumpaan bekantan
pada ketinggian dibawah 100 mdpl. Hal ini sesuai dengan Bismark (2009) yang
mengatakan bahwa bekantan tersebar pada daerah dengan ketinggian tak lebih
dari 200 mdpl. Sebaran bekantan berdasarkan ketinggian dapat dilihat di Gambar
9.

Gambar 9 Peta perjumpaan bekantan berdasarkan ketinggian
Sebagian besar bekantan dijumpai pada ketinggian 100 – 150 mdpl. Hanya
sekali bekantan di temukan di ketinggian 98 mdpl. Seluruh kelas intensitas baik
intensitas rendah, sedang, maupun tinggi dijumpai di ketinggian 100 – 150 mdpl.
Hal ini menunjukkan bahwa bekantan yang ada di kawasan PT Indexim Utama
lebih menyukai daerah dengan ketinggian 100 – 150 mdpl.
Kelerengan atau kemiringan lereng adalah perbandingan antara beda tinggi
lahan dan dengan jarak datarnya (Jaya 2002). Pembagian kelas lereng diatur
dalam SK Menteri Pertanian Nomor 683/Kpts/Um/8/1981 tentang kriteria dan tata

10

cara penetapan hutan produksi. Kelas Kemiringan lereng disajikan dalam Tabel 2
dan peta kemiringan lereng posisi perjumpaan bekantan disajikan pada Gambar 10.

No
1
2
3
4
5

Tabel 2 Kelas kemiringan lereng PT Indexim Utama
Kelas
Persen
Frekuensi
Jumlah individu
kemiringan
kemiringan
perjumpaan
yang ditemukan
Datar
0–8%
3
31
Landai
8 – 15 %
0
0
Agak curam
15 – 25 %
3
33
Curam
25 – 45 %
3
34
Sangat curam
>45 %
0
0

Bekantan di kawasan PT Indexim Utama dijumpai pada kelas kemiringan
datar hingga curam. Perjumpaan pada kelas kemiringan datar sebanyak 31
individu dalam tiga kali frekuensi perjumpaan, pada kelas kemiringan agak curam
dijumpai 33 individu bekantan dalam tiga kali frekuensi perjumpaan dan pada
kelas kemiringan curam dijumpai 34 individu bekantan dalam tiga kali frekuensi
perjumpaan. Dapat disimpulkan bahwa bekantan di areal PT Indexim Utama dapat
dijumpai pada kelas kemiringan datar hingga curam dengan persen kemiringan 0 –
45 %.

Gambar 10

Peta perjumpaan bekantan berdasarkan kelerengan PT Indexim
Utama

11

Jarak dari sungai
Bekantan merupakan satwa yang menyukai habitat di dekat sumber air,
seperti hutan sekitar sungai, hutan bakau dan hutan rawa gambut (Bismark 2009).
Bekantan dapat dijumpai di dua sungai dari tiga sungai yang ada di kawasan PT
Indexim Utama, yaitu sungai Mea dan sungai Luang. Pada sungai Mea, bekantan
hanya ditemukan diluar kawasan PT IU, sedangkan di sungai Luang, bekantan
ditemukan di dalam kawasan PT IU. Jarak perjumpaan bekantan dari sungai
disajikan pada Tabel 3.

No
1
2
3
4
5

Tabel 3 Jarak perjumpaan bekantan dari sungai
Jarak dari sungai
Frekuensi perjumpaan Jumlah individu ditemukan
0 – 10 m
5
50
10 – 20 m
4
48
20 – 30 m
0
0
30 – 40 m
0
0
>40 m
0
0

Dapat dilihat di Gambar 11, bekantan hanya ditemukan pada jarak 0 – 20 m
dari sungai. Pada jarak 0 – 10 m dijumpai bekantan dengan jumlah 50 individu
dalam lima kali frekuensi perjumpaan dan pada jarak 10 – 20 m bekantan
dijumpai 48 individu dalam empat kali frekuensi perjumpaan. Melalui hasil
analisis dapat dilihat bahwa bekantan sangat menyukai habitat di sekitar sumber
air, dimana dalam hal ini sumber air adalah sungai. Menurut Bismark (2009),
bekantan memilih pohon tidur di tepi sungai untuk menjaga keamanan
kelompoknya dan untuk memudahkan komunikasi.

Gambar 11 Peta jarak posisi bekantan dari sungai

12

Habitat bekantan di tepi sungai menjadi terancam mengingat masyarakat
sekitar mengandalkan sungai sebagai sarana transportasi. Selain itu, masyarakat
lebih memilih membuat pemukiman ataupun ladang di sekitar sungai. Hal ini
mengingat bahwa masyarakat membawa hasil ladang maupun keperluan melalui
sungai dan akan mencari lahan yang lebih dekat dengan sungai. Semakin dekat
lahan yang dimiliki oleh masyarakat dari sungai semakin mudah akses masyarakat.
Perusahaan sendiri saat ini tidak menjadikan hutan tepi sungai sebagai plot tebang
sehingga masyarkat menjadi ancaman utama bagi habitat bekantan di tepi sungai.
Jarak dari jalan
Kawasan PT Indexim Utama memiliki jalan perusahaan yang dibuat untuk
memudahkan pengangkutan kayu hasil penebangan. Di sisi lain, pembuatan jalan
ini dapat menimbulkan dampak buruk bagi keanekaragaman hayati yang ada. Hal
ini disebabkan pembuatan jalan dapat menyebabkan terfragmentasinya habitat
mahluk hidup. Fragmentasi habitat adalah pemecahan habitat asal organisme
menjadi kantong-kantong habitat yang berakibat organisme kesulitan bergerak
menuju kantong habitat satu menuju kantong habitat lainnya (Gunawan dan
Prasetyo 2013). Jarak perjumpaan bekantan dari jalan pengangkutan kayu
disajikan dalam Tabel 4.

No
1
2
3
4
5

Tabel 4 Jarak perjumpaan bekantan dari jalan
Jarak dari jalan
Frekuensi perjumpaan
Jumlah individu
0 – 500 m
0
0
500 – 1000 m
1
12
1000 – 1500 m
1
12
1500 – 2000 m
2
21
>2000 m
5
53

Hasil dari analisis diketahui bahwa bekantan di kawasan PT IU ditemukan
dengan jarak 500 meter hingga lebih dari 2000 meter dari jalan pengangkutan
kayu. Bekantan tidak ditemukan pada jarak kurang dari 500 meter. Hasil analisis
menunjukkan bahwa bekantan lebih menyukai habitat yang jauh dari jalan
pengangkutan. Hal ini dibuktikan oleh hasil analisis dimana frekuensi perjumpaan
bekantan semakin tinggi saat berada jauh dari jalan pengangkutan. Satwa liar
lebih menyukai daerah atau kawasan yang jauh dari aktivitas manusia. Jalan
pengangkutan kayu yang dibuat oleh perusahaan merupakan jalur yang sering
dilalui oleh manusia. Hal tersebut yang menyebabkan bekantan menjauhi areal
jalan pengangkutan kayu. Peta jarak posisi bekantan dari jalan dapat dilihat pada
Gambar 12.
Dapat disimpulkan bahwa bekantan di PT Indexim Utama menghindari
pusat aktifitas manusia. Hal ini terlihat dari titik perjumpaan bekantan yang lebih
banyak terlihat jauh dari jalan yang digunakan oleh perusahaan dalam
mengangkut kayu. Walaupun bekantan memiliki habitat di tepi sungai, bekantan
tidak terlihat di tepi sungai yang dekat dengan sungai. Berbeda dengan kelompok
bekantan yang ada di kuala semboja hasil penelitian Alikodra (1997) yang dapat
beradaptasi dengan keberadaan masyarakat di sekitarnya, bekantan di kawasan PT
Indexim Utama cenderung menjauhi pusat aktifitas masyarakat.

13

Gambar 12 Peta jarak posisi bekantan dari jalan
Sistem lahan
Berdasarkan hasil analisis, bekantan memilih sistem lahan maput dan teweh
sebagai habitat di kawasan PT Indexim Utama. Menurut Chrisitan dan Stewart
(1968) diacu dalam Suharta (2007) peta landsystem berfungsi untuk mengetahui
sistem lahan berdasarkan prinsip ekologi dimana adanya hubungan yang erat
antara tipe batuan, hidroklimat, landform, tanah dan organisme. Berikut adalah
tabel hubungan sistem lahan dan statusnya berdasarkan panduan identifikasi
kawasan bernilai konservasi tinggi di Indonesia (2008):
Tabel 5 Hubungan antara sistem lahan dan perjumpaan bekantan (HCV Toolkit
Indonesia 2008)
Status berdasarkan
Jumlah
pendekatan kehatiSistem
Frekuensi
individu
Tipe ekosistem
hatian
Lahan
perjumpaan
yang
ditemukan
Langka Terancam
Hutan dataran rendah
Ya
Teweh
atas batu pasir
Tidak (terutama <
4
49
(dataran)
300 m)
Hutan dataran rendah
Ya
Maput
atas batu pasir
Tidak (terutama <
5
49
(perbukitan)
300 m)

14

Sistem lahan dimana ditemukannya bekantan disajikan dalam Gambar 13.
Bekantan ditemukan pada sistem lahan teweh dan maput. Kedua sistem lahan
tersebut memiliki status terancam namun tidak langka.

Gambar 13 Peta persebaran bekantan berdasarkan nilai sistem lahan
Sistem lahan merupakan kombinasi berbagai faktor yang menyusun suatu
lahan dan dapat menentukan ekosistem apa yang ada di lahan tersebut. Penentuan
status langka dan terancam ditentukan oleh perbandingan kondisi dan luasan
ekosistem pada masa lampau, masa sekarang, dan masa depan. Sebuah ekosistem
dikatakan terancam apabila suatu ekosistem sudah mengalami kehilangan 50%
atau lebih dari luas semulanya. Selain itu, dapat pula karena suatu ekosistem akan
mengalami 75% atau lebih dari luas semulanya berdasarkan asumsi semua
kawasan konversi dalam tata ruang yang berlaku dapat dikonversikan. Ekosistem
dikatakan langka apabila ekosistem alami mencakup kurang dari 5% luas areal
total suatu unit bio-geografis akibat faktor alami ataupun manusia (Konsorsium
Revisi HCV Toolkit Indonesia 2008).

Komponen Biotik Habitat Bekantan
NDVI (Normalize Difference Vegetation Index)
Indeks Vegetasi (VI) didefinisikan sebagai kombinasi aritmatika dua band
atau lebih dengan karakteristik spektral vegetasi. Saat ini, VI telah banyak
digunakan dalam klasifikasi vegetasi dan parameter struktur vegetasi. Diantara
banyak metode VI, Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) adalah

15

metode yang paling sering digunakan karena nilai vegetasi yang dihasilkan tidak
terpengaruh oleh arah matahari, topografi, awan ataupun bayangannya dan kondisi
atmosfer sehingga memiliki nilai yang mendekati dengan karakteristik vegetasi
(Matsushita et al. 2007). Hasil analisis menunjukkan bahwa areal PT Indexim
Utama memiliki nilai NDVI 0 – 0.637 dan dibagi menjadi 4 selang yang disajikan
dalam Tabel 6.

No
1
2
3
4
5

Tabel 6 Hubungan nilai NDVI dan jumlah bekantan
NDVI
Frekuensi perjumpaan
Jumlah individu
0 – 0,3
0
0
0.3 – 0,4
1
11
0,4 – 0,5
6
62
0,5 – 0,6
2
25
>0,6
0
0

Tingkat perjumpaan tertinggi bekantan berdasarkan nilai NDVI yaitu pada
kelas 0.4 – 0.5. Hal ini menandakan bahwa bekantan lebih memilih habitat dengan
nilai vegetasi yang sedang hingga tinggi. Pada habitat dengan nilai vegetasi yang
tinggi bekantan dengan mudah mendapatkan makanannya yaitu daun-daunan
(Bismark 1994). Peta persebaran bekantan berdasarkan nilai NDVI disajikan
dalam Gambar 14.

Gambar 14 Peta persebaran bekantan berdasarkan nilai NDVI

16

Forest Cover Density (FCD)
Forest Cover Density (FCD) merupakan model yang dapat menduga
kerapatan hutan secara kuantitatif. Nilai FCD dinyatakan dalam persentasi dari
0% hingga 100% (Rikimaru et al. 2002). Perjumpaan bekantan berdasarkan nilai
FCD dapat dilihat pada Tabel 7.

No
1
2
3
4
5

Tabel 7 Perjumpaan bekantan berdasarkan nilai FCD
FCD
Frekuensi perjumpaan
Jumlah individu
0% (no data)
3
39
1 – 30%
0
0
31 – 40%
2
20
41 – 50%
4
39
>50%
0
0

Pixel dengan informasi berupa awan, bayangan awan dan badan air akan
dieliminasi saat melakukan pengolahan data FCD. Hal ini dikarenakan informasi
tersebut tidak dibutuhkan dalam proses FCD. Pixel tersebut tidak memiliki nilai
FCD sehingga dimasukkan ke dalam kelas no data. Beberapa titik perjumpaan
bekantan berada di tajuk yang melintang diatas sungai sehingga dimasukkan
dalam kelas no data.

Gambar 15 Peta persebaran bekantan berdasarkan nilai FCD
Peta persebaran bekantan berdasarkan nilai FCD disajikan dalam Gambar
15. Perjumpaan bekantan paling tinggi berada di kelas FCD 41 – 50 %. Sementara
bekantan tidak ditemukan pada kelas FCD 51 – 100%. Berdasarkan data tersebut

17

bekantan di areal PT Indexim Utama memilih habitat dengan kerapatan sedang.
Hal ini diduga karena bekantan lebih memilih hutan di tepi sungai walaupun
dengan kerapatan sedang.
Analisis komposisi vegetasi
Berdasarkan hasil analisis vegetasi, ditemukan 38 jenis pohon dari 18 famili.
Jenis teridentifikasi sebanyak 28 jenis dan sisanya tidak teridentifikasi. Sebanyak
11 jenis pohon yang ditemukan termasuk dalam pohon pakan bekantan. Nilai
kerapatan pohon dan pohon pakan berdasarkan perhitungan data analisis vegetasi
disajikan dalam Tabel 8 dan Tabel 9.
Tabel 8 Nilai kerapatan (Individu/Ha) dan jumlah individu bekantan tiap
perjumpaan
Tingkat Pertumbuhan
Jumlah
Lokasi
Bekantan
Pancang
Tiang
Pohon
(Individu)
(Individu/Ha)
(Individu/Ha)
(Individu/Ha)
B1
12
1800
700
162,5
B2
16
2400
1400
162,5
B3
8
200
800
137,5
B4
14
1000
550
262.5
B5
7
1200
500
125
B6
11
800
1350
112,5
B7
12
2600
900
162,5
B8
7
400
450
150
B9
11
2200
1050
125
Nilai kerapatan tingkat pancang dan tiang tertinggi berada di plot B2 dengan
nilai kerapatan masing-masing 2400 dan 1400 individu per hektar dan jumlah
individu bekantan yang dijumpai sebanyak 16 individu. Nilai kerapatan tertinggi
pada tingkat pohon berada di plot B4 dengan nilai kerapatan 262,5 individu per
hektar dan jumlah individu yang dijumpai sebanyak 14 individu. Hal ini dapat
disebabkan lokasi dengan kerapatan pohon yang tinggi memudahkan perpindahan
bekantan saat mencari makan ataupun beristirahat.
Tabel 9 Nilai kerapatan pohon pakan (Individu/Ha) berdasarkan tingkat
pertumbuhan dan jumlah individu bekantan tiap perjumpaan
Tingkat Pertumbuhan
Jumlah
Lokasi
Bekantan
Pancang
Tiang
Pohon
(Individu)
(Individu/Ha)
(Individu/Ha)
(Individu/Ha)
B1
12
200
250
75
B2
16
1200
600
100
B3
8
200
300
87,5
B4
14
400
250
37,5
B5
7
600
300
50
B6
11
200
450
112,5
B7
12
800
600
112,5
B8
7
200
150
37,5
B9
11
1400
650
75

18

Nilai kerapatan pohon pakan tingkat pancang dan tiang tertinggi berada di
plot B9 dengan nilai kerapatan 1400 dan 650 individu per hektar. Bekantan yang
dijumpai pada plot B9 sebanyak 11 individu. Nilai kerapatan pohon pakan
tertinggi pada tingkat pohon berada di plot B6 dan B7 dengan nilai kerapatan
112.5 individu per hektar. Jumlah individu bekantan di plot B6 dan B7 berturutturut sebanyak 11 dan 12 individu.
Pengelolaan Habitat Bekantan
Rencana pengelolaan yang tepat sangat dibutuhkan untuk mendukung usaha
konservasi bekantan. Hal ini dirasa penting agar kegiatan perusahaan dapat
berjalan harmonis dengan kelangsungan hidup bekantan. Berdasarkan data yang
diperoleh mengenai komponen fisik dan biotik habitat bekantan di PT Indexim
Utama, didapatkan daerah yang sesuai sebagai habitat bekantan dan diharapkan
dapat dikelola secara intensif oleh perusahaan. Setelah diketahui habitat yang
cocok untuk bekantan, dibuat daerah penyangga (buffer zone) dengan jarak 500 m.
Daerah penyangga dibuat agar bekantan dapat memenuhi daerah jelajahnya untuk
memenuhi kebutuhan makan dan istirahat. Selain itu, wilayah tersebut menjadi
daerah pengelolaan habitat bekantan dengan tujuan memudahkan perusahaan
dalam mendukung usaha konservasi bekantan. Hal ini sesuai dengan Bismark
(1994), yang menyatakan bahwa wilayah tepi sungai sejauh 500 m di setiap
sisinya perlu dijadikan wilayah pengelolaan habitat bekantan. Wilayah
pengelolaan bekantan disajikan dalam Gambar 16.

Gambar 16 Peta pengelolaan habitat bekantan

19

Salah satu usaha perusahaan dalam mengelola habitat bekantan yaitu dengan
penanaman pohon pakan dan pohon tidur bekantan. Selain itu, perusahaan
diharapkan dapat meminimalisir kegiatan penebangan di kawasan pengelolaan
bekantan dengan cara tidak menempatkan blok tebang di wilayah pengelolaan
bekantan. Selain melindungi habitat bekantan, cara tersebut dapat pula menjaga
keberlangsungan hidup satwa liar lain yang ada di kawasan tersebut. Monitoring
berkala dapat dilakukan agar perusahaan mengetahui kondisi populasi bekantan
yang ada di kawasan PT Indexim Utama.
Hal lain yang dapat dilakukan oleh perusahaan yaitu dengan menjadikan
kawasan pengelolaan habitat bekantan sebagai kawasan wisata pendidikan dan
penelitian. Selain dapat mendukung usaha konservasi bekantan, masyarakat
sekitar dapat ikut dilibatkan dalam kegiatan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar
pihak perusahaan dan masyarakat di sekitar wilayah kerja perusahaan memahami
nilai penting dari bekantan dan habitatnya sehingga dapat ikut bersama menjaga
kelestarian bekantan dan habitatnya.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Bekantan di areal IUPHHK-HA PT Indexim Utama ditemukan di
ketinggian 100 - 150 mdpl pada kelerengan datar hingga curam. Habitat tepi
sungai lebih disukai oleh bekantan, hal ini dibuktikan dengan perjumpaan
bekantan hanya di jarak 0 – 20m dari sungai. Bekantan di areal PT Indexim
Utama cenderung menjauhi aktifitas perusahaan dibuktikan dengan jarak
ditemukannya bekantan dari jalan yang cukup jauh. Berdasarkan sistem lahan,
bekantan memilh habitat dengan sistem lahan maput dan teweh dimana banyak
ditumbuhi oleh pohon dari famili dipterokarpa.Sistem lahan ini tidak termasuk
kedalam kategori langka, namun memiliki potensi keterancaman yang cukup
tinggi mengingat pohon dari famili dipterokarpa memiliki nilai ekonomi cukup
tinggi. Bekantan di kawasan PT Indexim Utama lebih memilih habitat dengan
nilai vegetasi dan kerapatan tajuk sedang, namun memiliki kerapatan pohon pakan
yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan pakannya yaitu daun.

Saran
Kawasan pengelolaan bekantan perlu dikelola lebih baik untuk terus
menjaga kelangsungan hidup bekantan. Penanaman pohon pakan di kawasan
pengelolaan bekantan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pakan di kawasan PT
Indexim Utama. Selain itu, perlindungan jenis flora dan fauna di daerah
pengelolaan bekantan dibutuhkan agar kondisi habitat bekantan tetap terjaga
sesuai dengan habitat alaminya.

20

DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 1997. Populasi dan Perilaku Bekantan (Nasalis larvatus) di Samboja
Koala, Kalimantan Timur. Media Konservasi, 5(2): 67-62.
Atmoko T, Ma’ruf A, Rinaldi SE, Sitepu BS. 2011. Penyebaran Bekantan
(Nasalis larvatus Wurmb.) di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur.
Seminar Hasil-hasil Penelitian BPTKSDA Samboja. Kuala Samboja,
Indonesia. Kuala Samboja (ID): BPTKSDA Kuala Samboja hlm. 71-83.
Bismark M. 1994. Ekologi makan dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus
Wurmb, 1781) di Hutan Bakau Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur
[Disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Bismark M. 2009. Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus). Bogor (ID):
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Christian CS, Stewart CA. 1968. Methodology of integrated survey. In. Aerial
Surveys Integrated Studies. Proc. UNESCO Conference on Principles and
Methods of Integrating Aerial Surveys of Natural Resources for
Development. 21-25 September 1964. Toulouse Perancis. P. 233-280.
Gunawan H, Prasetyo LB. 2013. Fragmentasi Hutan : Teori yang Mendasari
Penataan Ruang Hutan Menuju Pembangunan Berkelanjutan. Bogor (ID):
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Lampung:Bumi Aksara.
Jaya INS. 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Kehutanan, Panduan
Praktis Menggunakan ArcInfo dan ArcView. Bogor (ID): Fakultas
Kehutanan IPB.
Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia. 2008. Panduan Identifikasi Kawasan
Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia. Balikpapan (ID): Tropenbos
International Indonesia Programme.
Matsushita B, Yang W, Chen J, Onda Y, Qiu G. 2007. Sensivity of the Enhanced
Vegetation Index (EVI) and Normalized Difference Vegetation Index
(NDVI) to Topographic Effects: A Case Study in High-Density Cypress
Forest. Basel (CH): Sensors.
Poniman A, Nurwadjedi, Lumban-Tobing P. 2004. Developing the National Land
Resource
Database
for
Supporting
Spatial
Land
Use
Planning.3rdInternational Federation of Surveyors Regional Conference; 37 Oct 2004; Jakarta, Indonesia.Jakarta (ID): FIG. hlm 1-11.
Rikimaru A, Roy PS, Miyatake S. 2002. Tropical forest cover density mapping.
Tropical Ecology 43(1): 39-47.
Suharta N. 2007. Sistem Lahan barongtongkok di Kalimantan: Potensi, kendala,
dan pengembangannya untuk pertanian lahan kering. Jurnal Litbang
Pertanian, 26(1): 1-8.

21

Lampiran 1 Daftar jenis vegetasi pada lokasi penelitian
No
Famili
Nama Ilmiah
Polyalthia glauca
1 Annonaceae
2 Dilleniaceae
Dillenia suffruticosa
3 Dipterocarpaceae Shorea spp.
4 Dipterocarpaceae Dipterocarpus spp.
5 Ebenaceae
Diospyros areolata
6 Euphorbiaceae
Hevea brasiliensis
Macaranga spp.
7 Euphorbiaceae
8 Euphorbiaceae
Aleurites moluccana
Elateriospermum tapos
9 Euphorbiaceae
10 Fabaceae
Tamarindus indica
11 Fabaceae
Dialium indum
12 Lauraceae
Actinodaphne
13 Meliaceae
Aglaia argentea
14 Meliaceae
Melia azedarach
15 Moraceae
Ficus racemosa L.
16 Moraceae
Artocarpus elasticus
17 Myristicaceae
Myristica spp.
18 Myrtaceae
Syzygium oleana
19 Myrtaceae
Syzygium spp.
Scorodocarpus borneensis
20 Olacaceaea
21 Malvaceae
Pentace spp.
22 Sapindaceae
Naphelium mutabile
23 Sapindaceae
Nephelium ramboutan-ake
Palaquium spp.
24 Sapotaceae
25 Sterculiaceae
Pterospermum spp.
26 Sterculiaceae
Heritiera javanica
27 Tetramelaceae
Octomeles sumatrana
28 Verbenaceae
Peronema canescens
Vitex spp
29 Verbenaceae
30 31 32 33 34 35 36 37 38 -

Nama Lokal
Banitan
Sempur
Meranti
Keruing
Arang
Karet
Mahang
Kemiri
Wayan
Asam
Keranji
Madang
Langsat
Minda
Ara
Tarap
Mendarahan
Jambu/pucuk merah
Kalat
Biwan
Kayu pinang
Rambutan
Kapulasan
Nyatoh
Bayur
Palapi
Binuang
Sungkai
Laban
Gasing
Laja
Lewowot
Limau
Rahwana
Tabuluh
Tawuluh
Tinuk
Walur

22

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 30 Juni 1991 sebagai anak
keempat dari empat bersaudara pasangan Bapak Ir Endin Nurdin, MSc dan Ibu
Mimin Aminah. Pendidikan formal yang ditempuh penulis yaitu Pendidikan TK
Tunas Rimba lulus tahun 1997, SDN Pengadilan 3 Bogor lulus tahun 2003,
SMPN 2 Bogor lulus tahun 2006, SMAN 7 Bogor lulus tahun 2009 dan pada
tahun 2009 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Penulis memilih jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan,
Himpunan Profesi Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
(HIMAKOVA) sebagai pengurus tahun 2010 - 2012. Penulis tergabung dalam
Kelompok Pemerhati Ekowisata (KPE) dan tergabung dalam Biro Sosial
Lingkungan.
Praktek lapang profesi yang telah dilakukan penulis diantaranya Group
Project di Kampus IPB Darmaga, Eksplorasi Fauna Flora Dan Ekowisata
Indonesia (RAFFLESIA) Taman Nasional Gunung Halimun Salak tahun 2011
dan CA Sukawayana dan Tangkuban Perahu pada tahun 2012, Studi Konservasi
Lingkungan (SURILI) di Taman Nasional Kerinci Seblat tahun 2011, Praktek
Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Sancang Barat - Kamojang, Jawa Barat
tahun 2011, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung
Walat, Sukabumi (2012), dan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru, Malang tahun 2013. Untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan di IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul
“Karakteristik Habitat Bekantan (Nasalis larvatus, Wurmb) di IUPHHK HA PT
Indexim Utama Kabupaten Barito Utara Kalimantan Tengah” dibawah bimbingan
Bapak Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc dan Ir Dones Rinaldi MScF.