351
Keterlibatan Mahkamah Konsitusi dalam Poliik Legislasi Nasional Bisariyadi Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Kelsen membedakan fungsi legislasi yang dilakukan oleh parlemen dan pengadilan.
Parlemen merupakan posiive legislators, sebab
parlemen memiliki kewenangan konsitusional untuk membuat hukum berdasarkan dasar
pijakan kebijakannya sendiri. Sedangkan peradilan yang memiliki kewenangan untuk
menguji UU adalah negaive legislators sebab peradilan tersebut menjalankan fungsi legislaif
dalam rangka membatalkan UU. Suatu indakan yang oleh Kelsen dianggap sebagai pembuatan
UU secara negaif.
28
Meskipun demikian, Kelsen sejak awal telah memberikan peringatan bahwa pembedaan
fungsi legislasi parlemen dengan peradilan sebagai
posiive legislators dan negaive legislators
akan menjadi pudar keika peradilan masuk dalam wilayah untuk melindungi hak
konsitusional warga negara. Peradilan keika memeriksa perkara dalam rangka melindungi
hak konsitusional akan mendalami dan mencari ukuran ruang lingkup dari hak-hak konsitusional.
Dalam konteks ini, peradilan akan menjadi omnipotent superlegislators.
29
Prediksi Kelsen ini menjadi kenyataan. Dalam prakteknya,
mahkamah konsitusi diberbagai negara yang bertugas melindungi hak konsitusional warga
negara berubah menjadi
posiive legislators.
2. Konsep Judicialisaion of Poliics
Dengan dibekali kewenangan untuk menguji UU, peradilan terlibat dalam pengubahan
kebijakan yang selama ini menjadi urusan parlemen dan pemerintah. Pengadilan terlibat
dalam penyelesaian persoalan perlindungan hak konsitusional warga negara mengenai
kebebasan berserikat, kebebasan warga negara dalam menyatakan pendapat dan berekspresi,
hak dan kedudukan warga negara yang sama dalam hukum dan pemerintahan, kebebasan
memeluk agama dan kepercayaan, hingga penyelesaian perkara mengenai kebijakan
publik yang menyangkut prosedur dalam hukum acara pidana, perdagangan, sistem
pendidikan,
ketenagakerjaan, kehutanan
sampai dengan persoalan kebijakan mengenai lingkungan hidup. Karenanya Ran Hirschl
mendeinisikan yudisialisasi poliik sebagai“... the ever-acceleraing reliance on courts and
judicial means for addressing core moral predicaments, public policy quesions, and
poliical controversies.”
30
Yudisialisasi poliik telah menjadi suatu konsep ilmiah yang meyakinkan, dimana
banyak ditemukan arikel ilmiah yang mengulas mengenai peran lembaga peradilan dalm
kajian teoriik.
31
Begitu pula kajian-kajian ilmiah dengan melalui pendekatan komparaif
28
Op. Cit., Kelsen, hlm. 327-328.
29
Hans Kelsen, The Jurisdictional Protection of the Constitution , sebagaimana dikutip dalam Alec Stone Sweet, Op.
Cit. hlm. 84.
30
Ran Hirschl, “The New Constitution and the Judicialization of Pure Politics Worldwide”, Fordham Law Review, Vol. 75, Issue 2, 2006, hlm. 721-754.
31
Lihat C. Neal Tate Torbjorn Vallinder eds., The Global Expansion of Judicial Power, New York, London: New York University Press, 1995 ; Martin Shapiro Alec Stone Sweet, On Law, Politics, and Judicialization, Oxford,
2002 ; John Ferejohn, “Judicializing Politics, Politicizing Law”, 65 Law Contemporary Problems, Volume 65 Issue 41, 2002; Ran Hirschl, “Resituating the Judicialization of Politics: Bush v. Gore as a Global Trend”, Canadian
Journal of Law and Jurisprudence, Volume. 15, Issue 2, 2002, hal 191; Richard H. Pildes, “The Supreme Court,
2003 Term: Foreword: The Constitutionalization of Democratic Politics”, Harvard Law Review , Volume. 118, Issue 29, 2004.
Ju rn
al R
ec ht
sV in
d in
g B
PH N
352
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 345-364 Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
32
Rachel Sieder eds., The Judicialization of Politics in Latin America, New York: Palgrave Macmillan, 2005.
33
Bjoern Dressel ed., The Judisialization of Politics in Asia, Routledge Law in Asia, 2012,
34
C. Neal Tate, “The Judicialization of Politics in the Philippines and Southeast Asia,” International Political Science
Review, Volume 15, no. 2, April 1994, hlm. 187-197.
35
Estefânia Maria De Queiroz Barboza dan Katya Kozicki, “Judicialization of Politics and the Judicial Review of Public Policies by the Brazilian Supreme Court”, Revista Direito GV, Volume 8, no. 1, 2012 , hlm. 59-85.
36
Tamir Moustafa, “Law versus the State: The Judicialization of Politics in Egypt”, Law Social Inquiry, Volume 28, Issue 4, 2003, hlm. 883–930.
37
Christine Landfried. “The Judicialization of Politics in Germany,” International Political Science Review, Volume 15, Issue 2, 1994, hlm. 113-124.
38
Martin Edelman, “The Judicialization of Politics in Israel.” International Political Science Review, Volume 15, Issue 2, 1994, hlm. 177-186.
39
Jan Ten Kate, dan Peter J. Van Koppen, “Judicialization of Politics in the Netherlands: Towards a Form of Judicial Review.” International Political Science Review, Volume 15, Issue 2, 1994, hlm. 143-151.
40
Jonghyun Park, “The Judicialization of Politics in Korea,” Asian-Pacific Law Policy Journal, Volume 10, Number
1, 2008, hlm. 62.
41
Bisariyadi, Yudisialisasi Politik dan Sikap Menahan-diri: Peran Mahkamah Konstitusi dalam menguji Undang-
Undang, Jurnal Konstitusi, Volume 12, No. 3, 2015.
misalnya, kajian yudisialisasi poliik di kawasan Amerika Lain,
32
di kawasan Asia,
33
dan di kawasan Asia Tenggara terutama menyoroi
Filipina.
34
Banyak juga kajian yudisialisasi poliik yang terjadi di sebuah negara seperi di Brazil,
35
Mesir,
36
Jerman,
37
Israel,
38
Belanda,
39
Korea Selatan,
40
dan Indonesia.
41
3. Terlibatnya Mahkamah Konsitusi Dalam Fungsi Legislasi