Fusi Protoplas Intra dan Interspesies pada Tanaman Kentang
I. PENDAHULUAN
Lata r Belakang
Kentang merupakan tanaman pangan utama dunia sesudah padi, gandum dan
jagung.
Di Indonesia kentang lebih banyak dikonsumsi sebagai sayuran dari pada
makanan pokok.
Walaupun demikian tanaman kentang mempakan salah satu
komoditi sayuran yang mendapatkan prioritas untuk diembangkan seIain beberapa
tanaman seperti bawang merah, bawang putih, kacang panjang, tornat dan cabai.
Pada tahun 1998 luas areal pertanaman kentang di Indonesia adalah 55.1 10 hektar,
dengan produksi rata-rata nasional 15,39 ton per hektar (Deptan, 1999). Beberapa'
alasan pengembangan tanaman kentang adalah: ( 1 )
menanam kentang sangat
menguntungkan petani karena selain harganya cukup tinggi, umbi kentang relatif
tidak mudah rusak dan fluktuasi harga umbi di pasar sangat kecil (Wattimena 1993),
(2) dalam rangka diversifikasi pangan, penggunaan umbi kentang lebii dapat
diterima oleh masyarakat luas dibandingkan ubi kayu, ubi jalar maupun jenis umbiumbian yang lain, karena status sosial tidak merasa turun apabila mengkonsumsi
makanan dari kentang (Wattimena, 1994), (3) Nilai gizi kentang cukup tinggi,
dimana
hampir semua asam amino esensial terdapat
pada umbi
kentang,
kekurangannya hanya pada asam amino metionin dan sistein (Bajaj, 1987), dan (4)
kentang me~pztkanbahan baku penting pada industrifrenchfries. chip, pati kentang
d m lain-lain (Wattimena, 1993).
Pengembangan kentang di Indonesia dan daerah tropis pada umurnnya
dibatasi oleh sejumlah kendala antara lain ketersediaan bibit bermutu, keterbatasan
lokasi penanaman dan kendala hama dan penyakit.
Tanaman kentang seperti
tanaman-tanaman lain yang diproduksi dan diperbanyak secara vegetatif, penanaman
umbi bibit dari hasil panen sebelumnya secara t e n s menerus akan mengakumulasi
penyakit sistemik seperti virus dan bakteri. Akumulasi penyakit tersebut akan secara
nyata menurunkan produksi umbi (Suliansyah, 1999). Produksi bibit bermutu di
negara tropis amat sulit dilakukan karena tidak ada musim dan atau daerah yang
bebas penyakit maupun vekior dari penyakit, sehingga bibit bermutu hams selalu
diimpor dari negara lain dengan h g a yang tidak terjangkau oleh petani.
Tidak seperti daerah yang mempunyai empat musim, penanaman kentang di
daerah tropis hanya dapat dilakukan di dataran tinggi sehingga didapatkan suhu yang
cukup rendah.
Penanaman kentang pada suhu yang lebii tinggi atau pada dataran
yang lebii rendah mengakibatkan produksi menurun akibat dari sernakin rendahnya
asimilat yang dapat disirnpan dalam umbi dan serangan penyakit yang lebih banyak.
Tanaman kentang Xne~pZLkantanaman yang mempunyai hama dan penyakit yang
terbanyak.
Tanarnan kentang tercatat mempunyai 266 hama dan penyakit yang
terdiui dari 23 virus, 38 cendawan, 6 b a k t e i 2 rnikoplasrna, 1 viroid, 68 nematoda
dan 128 insekta (Mendoza, 1987).
Tiga penyakit utarna yang sarnpai saat ini sukar dikendaliian adalah penyakit
degenerasi virus, penyakit hawar d a m (Phylophthora infestuns) dan penyakit layu
bakteri (Ralstonia solanacearum).
Penyakit degenerasi virus terutama disebabkan
oIeh virus kentang X (PVX), virus kentang Y (PVY) dan virus kentang penggulung
daun (PLRV).
Ketiga virus kentang tersebut (PVX, PVY, dan PLRV) dapat
menurunkan hasil berturut-turut
10-50%, 40-80% dan 80%
(Beemster dan
Rizendd, 1972; Suliansyah, 1999), sedangkan penyakit layu bakteri dan hawar
daun dapat menurunkan produksi sarnpai 80% (Wattimena, 1994).
Salah satu cara untuk rnengatasi masalah &lam pengembangan tanaman
kentang adalah mendapatkan kultivar baru yang berproduksi tinggi, tahan terhadap
beberapa penyakit penting dan produksinya dapat mencapai standar mutu yang
dibutuhkan oleh konsurnen
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mendapatkan kultivar baru, yaitu rnelalui cara penyilangan dengan spesies tertentu,
mutasi buatan, penggunaan metode transforrnasi genetik dan h i protoplas.
Beberapa sifat-sifat tanarnan kentang yang penting sehubungan dengan
metode pemuliaan adalah: (1)Tanaman kentang adalah menyerbuk silang yang
kejaguran tanarnan tergantung dari tingkat heterosigositasnya,
(2) Perbanyakan
kentang dapat dilakukan dengan biji maupun dengan cara klonal melalui umbi biasa,
umbi mini, umbi mikro, stek mini dan stek mikro, (3) Spesies tanaman kentang yang
dibudidayakan dapat terdiri dari diploid (2N=2x=24), triploid
tetraploid (2N=4r48)
dan pentaploid (2N=Sx=60) (Serraf,
(2N=3x=36),
1991). Kentang
komersial umumnya adalah tetraploid sedangkan spesies diploid sering mengandung
sifat-sifat ketahanan penyakit, hama dan cekaman lingkungan (Austin et al., 1985),
(4) Haploidisasi dapat dilakukan dengan cara partenogenesis atau androgenesis
sampai pada tingkat monohaploid (Jacobsen dan Ramanna, 1994), (5) Kemampuan
pembentukan 2n garnet dari kentang monohaploid dan dihaploid, (6) Tanarnan
kentang dapat diregenerasikan dari semua jaringan/organ tanaman secara in vifro
dapat bempa anter, embrio muda, umbi, batang, daun, sel dan protoplas (Bajaj,
1987).
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dalam produksi kultivar baru pada tanaman kentang
dapat dilihat pada Gambar 1. Pemuliaan tanaman kentang pada level tetraploid
merupakan pekerjaan yang sulit, dan lama, terutama disebabkan karakternya yang
diturunkan secara tetrasomik, heterosigositasnya tinggi, adanya self incompatibility
dan mandul jantan pada beberapa kultivar (Wenzel, 1994).
partenogenesis
dapat
menghasilkan
tanaman
dihaploid,
pemuliaan dapat dilakukan pada level dihaploid tersebut.
Kultur anter atau
kemudian
program
Cara ini rnemiliii
beberapa keuntungan, yaitu: (1) efisien dalam menghilangkan gen-gen yang tidak
diiiginkan karena segregasinya lebih sederhana, (2) l e b i efektif mengkombinasikan
karakter-karakter yang diinginkan dari spesies-spesiies liar untuk meningkatan
variabilitas genetiknya (Ross, 1986).
Penggunaan tanaman dihaploid dalarn . program pemuliaan, pada akhirnya
hams dikembalikan pada level tetraploid.
Beberapa cara yang dapat dilakukan
adalah: poliploidisasi dengan perlakuan kolkisin, penyilangan 4x-2x atau 2x-2x,
regenerasi secara in virro dan fisi protoplas (Wenzel 1994). Poliploidisasi dengan
cara penggandaan kromosom akan meningkatkan homosigositas, sehiigga akan
mengurangi produksi dan vigor tanarnan, sedangkan penyilangan 4x-2x atau 2x-2x
membutuhkan
tetua
yang
mampu
memproduksi
diplogamet (2n garnet),
sehingga j u d a h genotipe yang dapat dipakai sangat terbatas (Hermsen, 1994).
+
@artenogenesisf
+
7
Spesies solanurn diploid
berumbi
Tanaman Kentang
dihaploid
+
Diseleksi terhadap
vigor, fertilitas, ketahanan
hama dan penyakif
adaptasi agronomi
Diseleksi terhadap
produksi, morfoIogi
kualitas umbi
I
Penyilangan
Penyilangan
Hibrida dihaploid
Transformasi
kitinase,
hordothionin, dlI)
1
Fusi Intraspesifik
1
Kentang tetraploid
dengan maksimal
heterosigositas
Gambar 1 .
7
Program Pemutiaan
7
Kultivar Baru +--
Kerangka pemikiran untuk mendapatkan kultivar b a r ~pada tanaman
kentang
Penggunaan tanarnan haploid dalam program pemuliaan kentang tidak
sepenuhnya dapat dilakukan penyilangan dengan spesies liar, karena beberapa
spesies liar dengan EBN 1 (Endosperm Balance Number) tidak dapat dilakukan
penyilangan dengan kentang dihaploid yang mempunyai EBN 2.
Penggunaan metode transformasi adalah cara yang ideal untuk mentransfer
gen yang diinginkan secara efisien tanpa ada halangan seksual dan kedekatan
taksonomi (Ramulu ef al., 1996). Akan tetapi penggunaan metode transformasi
hanya dapat dilakukan pada sifat-sifat genetik yang disandi oleh gen tunggal.
Beberapa sifat yang disandi oleh banyak gen yang terletak di satu atau di beberapa
kromosom tanarnan sangat sulit diidentifikasi dan diisolasi, sehingga penggunaan
metode transformasi menjadi sangat sulit untuk diterapkan (Ramulu et al., 1995;
Waara dan Glimelius, 1995; Milam et al., 1995;Ramulu et al., 1996).
Penggunaan rnetode fisi protoplas atau hibridisasi sornatik rnerupakan
alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Selain dapat
mentransfer gen-gen yang belum teridentifikasi, hibridisasi sornatik juga mempakan
suatu metode untuk memodifikasi dan memperbaiki sifat-sifat yang diturunkan
secara poligenik (Milam et a[., 1995; Waara dan Glimelius, 1995). Fusi protoplas
dapat dilakukan dengan cara menggabungkan seluruh genom dari dua jenis protoplas
dari kultivar yang berlainan (intraspecifc),
atau antar spesies dalam genus yang
sama (interspec~jk) atau f k i antar genus dalam satu famili (inter generic)
(Wattimena, 1999).
Fusi intraspesifik bertujuan untuk meresintesis genotipe tetraploid dari galur
tanarnan dihaploid yang telah terseleksi sehingga tanaman tetraploid hasil h s i
mempunyai tingkat heterosgositas yang tinggi.
Penggunaan fisi protoplas
memungkinkan produksi hibrida dengan heterosigositas yang tinggi
hanya dalam
sekali langkah sehingga sangat efisien, walaupun keberhasilannya sangat ditentukan
oleh genotipa (Ross, 1986; Mollers et al., 1992; Waara dan Glimelius, 1995).
Fusi protoplas antar spesies dalam satu genum (interspecific) bertujuan
rnendapatkan sifat-sifat tertenty rnisalnya resistensi terhadap hama dan penyakit.
Sifat-sifat ketahanan banyak terdapat
pada spesies diploid, misalnya- Solanum
phureja (resistensi PVY dan layu bakteri) (Hawkes, 1994), S. breviden (resisten
terhadap PLRV) (Austin et al., 19851, S. demissum (resisten terhadap Phytophthora
infestans) (Haberlach et al., 1985; El-Kharbotly et al., 1996), S. etuberosum (resisten
terhadap fiost), S. pennellii (resisten terhadap Alternaria), S. berthaultii (resisten
terhadap serangga)(Serraf, 1991) dan S. balbocastanum resisten terhadap nematoda
(Brown et al, 1995).
Introgresi sifat-sifat ketahanan juga dapat dilakukan dengan cara fusi
protoplas antara kentang dengan genus lain dalarn Solanaceae atau fusi antar genus
(intergeneric), misalnya untuk mendapatkan ketahanan terhadap hawar daun, layu
bakteri dan kekeringan dilakukan f k i
Solanum tuberosum dengan spesies liar
Lycopersicon pimpinellifolium (Tan, 1987).
Sifat-sifat yang ditransfer ke dalam tanaman kentang melalui fusi protoplas
baik fusi interspesifik maupun intergenerik sering kali karena alasan inkornpatibilitas
seksuaI.
Hasil dari fusi protoplas tersebut adalah tanaman dengan sifat-sifat
gabungan, termasuk sifat-sifat yang tidak diinginkan yang berasal dari spesies liar.
Menghilangkan sifat-sifat yang tidak diinginkan dalam tanaman hasil fusi biasanya
dilakukan rnelalui cara silang balik (backcross) dengan salah satu tetuanya.
Fusi interspesifik yang hasilnya diharapkan mirip dengan fusi intraspesifik
adalah h i
kentang dihaploid (S. tuberosum) dengan spesies diploid yang juga
dibudidayakan. Spesies diploid yang dibudidayakan antara lain Solanum ajanhuiri,
S. goniocalyx, S. srenoromum dan S. phureja. Spesies diploid S. stenotomum dan S.
phureja selain rnenghasilkan urnbi juga mernbawa sifat-sifat ketahanan.
Menurut
Hawkes (1994), S. stenotomum mengandung gen-gen ketahanan terhadap layu
bakteri (Pseudomonas solanacearum), layu verticillium, PLRV, PVM, PSTV, layu
verticiliurn, ring rot dan root-knot nematode, sedangkan pada S.phureja terhadap
sifat-sifat ketahanan terhadap hawar daun (Phytophthora invesrans), layu bakteri
(Pseudomonas solanacearum). softrot (Erwinia carofovora), PVX dan PVY. Fusi
antara spesies diploid tersebut dengan spesies dihaploid kentang yang telah terseleksi
diharapkan menghasillcan kultivar baru yang unggul.
Fusi Protoplas
Fusi protoplas dapat dilakukan menggunakan cara kirnia atau listrik.
Fusi
protoplas melalui cara kirnia sering kali menggunakan PEG (Polyethelene glicol).
Dalarn proses fusi, PEG selain sebagai bulking agent juga berfungsi sebagai
jernbatan antar protoplas, mirip dengan fungsi plasmodesmata.
Pada kondisi
dernikian, sedikit sekali protoplas yang berfusi Fusi antar protoplas sebagian besar
tejadi pada saat PEG dihilangkan atau dicuci dari protoplas. Keberhasilan fusi akan
sangat ditentukan oleh konsentrasi PEG yang dipakai dan lamanya inkubasi
protoplas dalam PEG.
Keuntungan fusi protoplas dengan PEG antara lain &pat
dilakukan dengan peralatan sederhana, &an
tetapi PEG seringkali toksik terhadap
p r o t o p h sehingga dapat menghambat pertumbuhan clan perkembangan protoplas
setelah hsi.
Fusi melalui cara listrik (electrofusion) dilakukan dengan menggunakan alat
khusus yang terdiri dari generator AC clan DC.
Generator AC berfungsi untuk
membuat protoplas berjajar berantai, k e m u d i fusi dilakukan dengan memberikan
pulsa DC pada tegangan tertentu. Pulsa DC ini akan membuat celah yang dapat
balik sehingga protoplas dapat berfusi (Zimmermann, et al., 1974; Zimrnermann dan
Scheurich. 1981;de Vries clan Templaar, 1987).
Untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi adanya hibrida somatik dapat
dilakukan dengan beberapa cara, antara lain secara visual (Amirato et al., 1983),
melihat kejaguran hibrida dari mikro kalus yang dihasilkan (Debnath clan Wenzel
1987), menggunakan m k a biokimia, seperti mutan defisiensi nitrat reduktase
(Glimelius dan Bonet, 1981), ketahanan asam amino analog (White dan Vasil 1979;
Tan, 1987; de Vries, 1987), auksin autotropik (Carlson ef aZ.,1972),
penghitungan
kromosom dan analisis ploidi denganflow cytornetry ( S i h a c W el al., 1989; Chaput
et al., 1990; Serraf ef al. , 1991; Menke ef al., 1996), menggunakan teknik RFLP
(Kaendler e f al., 1996; Oberwalder et al, 1997), teknik RAPD (Craig et al., 1994;
Millam et al., 1995), juga melihat morfologi tanaman di laboratorium dan di lapang
(Serraf et al., 199; Millam et al., 1995).
Masalah Penelitian
Produksi hibrida somatik pada Solanaceae telah banyak dilakukan (Tan,
1987; Sihachakr et al., 1989; Chaput er al., 1990; Serraf et al., 1991; Craig el al.,
1994; Kaendler et al., 1996; Menke e f a/., 1996; Oberwalder et al., 1997) akan tetapi
metode yang dipergunakan sangat bervariasi tergantung dari tetua yang dipakai.
Sampai saat ini belurn ada rnetode h i protoplas yang dapat berlaku umum pada
kombinasi fbsi dalam genus Solanurn. Penelitian-penelitian yang dipublikasi
umumnya hanya melaporkan satu kombinasi fusi antara kultivar dan spesies
tertentu.
Pada penelitian ini dilakukan sepuluh kombinasi fbsi intraspesifik dan
interspesifik, sehingga penapisan beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan
produksi hibrida somatik perlu dilakukan. Keberhasilan produksi hibrida somatik
sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam proses kuitur protoplas dan regenerasinya
menjadi tanaman dari tetua-tetuanya. Oleh karena itu perlu diketahui metode kultur
protoplas, baik mengenai sumber protoplas yang dipergunakan, jenis dan konsentrasi
enzim untuk isolasii komposisi medium penaburan protoplas dan medium regenerasi
mikrokdus menjadi tanaman pada masing-masing tetua yang dipakai.
Klon-klon yang digunakan pada fusi intraspesifik adalah klon dihaploid yang
telah terseleksi dari INRA, Perancis. Resintesis klon-klon tersebut menjadi tanaman
kentang tetraploid dapat dilakukan dengan perlakuan kolkisin atau persilangan 2x-2x
atau 2x-4x (Wenzel,
1994), akan tetapi penggunaan metode tersebut akan
mengurangi hetorosigositasnya clan diperlukan
klon yang dapat memproduksi
diplogmet, dilain pihak penggunaan metode fUsi protoplas dapat memaksimalkan
heterosigositasnya clan dapat dilakukan sekali langkah (Millam e f a / . , 1995).
Spesies-spesies yang digunakan dalarn penelitian ini adalah jenis spesies
solanurn yang berumbi.
Spesies-spesies tersebut selain membawa gen-gen
ketahanan, diantaranya juga merupakan spesies yang dibudidayakan dan berproduksi
tinggi (S.stenotornurn dan S.phureja). Spesies lain seperti S.vernei dan S. berthaultii
sangat sulit disilangkan dengan S.tuberosum walaupun mempunyai EBN=2 (Serraf et
al., 1991). Penggunaan fusi protoplas dapat membantu program pemuliaan tanaman
dalam introgresi gen-gen ketahanan yang dimiliii.
Efisiensi penggunaan metode h s i protoplas sangat dibatasi oleh masalah
Tetua-tetua yang dipakai pada penelit ian ini tidak
identifkasi hibrida somatik.
mempunyai marka morfologi yang dapat mengidentifikasi hibrida somatik yang
dihasilkan secara cepat, sehingga untuk mengidentifikasi hibrida somatik dari
regeneran-regeneran tersebut diperlukan identifikasi yang efisien baii melalui
analisaflow cytometv, isoenzim, RAPD, clan penghitungan kromosom Identifikasi
bertingkat tersebut diperlukan untuk rnendapatkan validitas dalam penentuan hibrida
somatik.
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan mendapatkan hibrida somatik dari
beberapa kombiiasi ksi, baik fbsi intraspesifik maupun fusi interspesifik. Untuk
rnencapai tujuan tersebut pada penelitian ini dilakukan beberapa seri percobaan
seperti terlihat pada Gambar 2.
Sedangkan faktor-faktor yang diteliti pada setiap
percobaan disajikan pada Gambar 3. Fusi intra spesifik terdiri dari BF15
(dihaploid)+Nicola (dihaploid), BFl S+SVP10 (tetraploid),
Cardinal (dihaploid)+
SVPlO (tetraploid), dan Nicola (dihaploid)+ SVPlO (tetraploid), sedangkan h i
interspesifik terdiri dari fusi
Cardinal (dihaploid)+S.vernei (diploid),
BF15
(dihaploid)+S.vernei (diploid) , BF15 (dihaploid)+S.stolon~~erum,
BF15 (dihaploid)+
S.phureja (diploid), BF 15 (dihaploid)+S.berthaulrii (diploid), BF 15 (dihaploid)+
S.s~o/onife'erum(tetaploid),dan SF1 5 (dihaploid)+S.stenotomum (diploid).
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1.
Mempelajari metode isolasi protoplas, kultur protoplas, serta regenerasinya
menjadi tanaman lengkap.
2.
Mendapatkan hibrida somatik kentang intra maupun interspesies melalui fusi
protoplas
3.
Mengkonfumasi dan verifkmi hibrida somatik dengan analisis flow
cyiome&y,
isoenzim, RAPD (Random Arnpl$ed
Polymorphism
DNA),
jumlah kromosom, ukuran seI penjaga dan jumlah kloroplas pada sel penjaga.
4.
Keragaan fenotipik hibrida somatik secara in vitro melalui penanaman tunas
mikro dan produksi umbi in vitro.
5.
Keragaan fenotipik hibrida somatik di lapang melalui penanaman stek mikro
di pot dan di tanah.
Hipotesis
1.
Metode isolasi, jumlah protoplas, pertumbuhan dan perkembangan pada saat
kultur d m regenerasi protoplas menjadi tanaman sangat tergantung dari
material sumber protoplas, enzim yang digunakan, komposisi media tumbuh,
kultivar dan spesies yang digunakan.
2.
Kultur protoplas pasca h s i dan regenerasinya menjadi tanaman sangat
ditentukan oleh kemampuan regenerasi kedua tetuanya
3.
Hibrida somatik akan mempunyai sifat clan morfologi gabungan dari kedua
tetuanya, oleh karena itu hibrida somatik secara tepat dapat diketahui melalui
kombinasi cara-cara analisa morfologi, flaw cytornehy, isozim, RAPD dan
penghitungan kromosom.
4.
Perbedaan keragaan fenotipik tanaman hibrida somatik akan dapat teramati
baik di laboratorium maupun di Iapang.
5.
Beberapa hibrida somatik ynng didapatkan adalah kultivar unggul, tahan
penyakit tertentu dan mempunyai standar mutu yang dibutuhkan oleh
konsumen.
Kegunaan Penelitian
Beberapa kegunaan penelitian ini adalah:
1.
Didapatkannya metode yang terintegrasi dalam elektrofbsi protoplas dari
sumber protoplas yang digunakan,
metode isolasi, kultur dan regenerasi
protoplas menjadi mikro kalus dan regenerasi mikrokalus menjadi tanaman,
akan sangat berguna untuk mendorong penelitian-penelitian yang berbasis
protoplas
2.
Beberapa hibrida sornatik yang dihasilkan berpotensi untuk diiembangkan
menjadi kultivar baru atau dapat dipakai sebagai material dalam program
pemuliaan.
3.
Keahlian yang didapatkan selama penelitian merupakan aset yang sangat
berharga untuk pengembangan institusi.
MENDAPATKAN SUMBER PROTOPLAS
YANG TEPAT
+
ISOLASI, KULTUR DAN REGENERAS1 PROTOPLAS
MENJADI TANAMAN PADA SEMUA KLON YANG DIPAKAI
i
MENDAPATKAN PARAME
R ELEKTROFUSI YANG TEPAT
FUSI PROTOPLAS
(2n=2x=24) berumbi
Kultivar tetraploid (2n=4r48)
('SVPIO')
Fusi Intraspesifii
I
IDENTIFIKASI HIBRIDA SOMATIK
4
KERAGAAN HIBRIDA SOMATIK SECARA IN VITRO DAN IN VZVO
HIBRIDA SOMATIK POTENSIAL
Gambar 2. Kerangka penelitian yang dilakukan
Mendapatkan Metode Perbanyakan
Sumber Protoplas yang menghasilkan
Protoplas deogan Rendamen dan
Viabilitas yang tinggi
(faktor aerasi udara, letak, intensitas dan lama penyinaran,
suhu, retardan, dan konsentrasi media dasar MS)
Percobaan 1
++
Mendapatkan metode isolasi, kultur dan
regenerasi protoplas yang dapat digunakan
uotuk semua kultivar d a n spesies sola~zumyang dipakai
(faktor jenis clan konsentrasi enzim, zat pengatur tumbuh
dalam medium penaburan protoplas dan
komposisi media untuk regenerasi tunas)
Percobaan 2
Mendapatkan parameter listrik yang dapat mengbasilkan
fusi biner d a n beterofusi yang tinggi
1. Faktor besamya tegangan, fkekuensi dan lama aplikasi arus AC
yang dapat menghasilkan rantai protoplas maksirnum
2. Faktor besarnya tegangan, jumlah pulsa, lama aplikasi pulsa yang
menghasilkan fkekuensi h s i biner yang tinggi
7
1
3
+
Percobaan 4
Fusi protoplas dan regenerasinya menjadi tanaman
(Menggunakan metode isolasi, hsi, kultur protoplas dan
medium regenerasi yang terbaik)
+
F
Meogidentifikasi hibrida somatik
melalui isoenzim, RAPD,flow cylomejry
d a n pengbituogan kromosoom
+
Karakterisasi dan keragaan hibrida somatik yang dihasilkan melalui
1. Penghitungan kloroplas dalam sel penjaga d m ukuran sel penjaga
2. Pertumbuhan tanaman secara in vitro dan pembentukan umbi in vitro
3. Penanaman hibrida somatik di pot dan di lapang
4. Pengarnatan serangan l a p bakteri dan hawar d a m
5 . Analisa kandungan pati dan gula reduksi
Hibrida somatik potensial
Gambar 3.
Percobaan-percobaan yang dilakukan untuk mendapatkan hibrida
sornatik.
Daftar Pustaka
Ammirato, P.V., D.A. Evan, W.R. Sharp, Y. Yamada. 1983. Handbook of Plant Cell
Culture. Vol 1. MacMillan Publ. Co. New York, London.
Austin, S., M.A. Baer, M.K. Ahlenfeldt, P.J. Kazmierczak, and P.J. Helgelson. 1985.
Interspecific fusion in Solanurn tuberosum. Theor. Appl. Genet. 7 1 :172-175.
Bajaj, Y.P.S. 1987. Biotechnology and 21st century potato. In: Y.P.S. Bajaj (ed.).
Biotechnology of Plant Improvement, Vol.111, Potato. pp.3-19. Springer,
Berlin Heidelberg, New York.
Beemster, A.B.R and A. Rozendaal. 1972. Potato viruses: properties and symptoms.
In.: de Bokx (ed.). Viruses of Potato and Seed-Potato Production. pp.119-155
Cent. Agric. Publ.Doc. Wageningen.
Brown C.R., H. Mojtahedi and G.S. Santo. 1995. Introgression of resistance of
Colombia and Northern root-knot nematodes fi-om Solanurn bulbocastanum
into cultivated potato. Euphytica 83:71-78.
Carlson, P.S., H.H. Smith and R D . Dearing. 1972. Parasexual interspecific plant
hybridization. Proc.Natl.Acad. Sci. USA. 69:2292-2294.
Chaput, M.H., D. Sihachakr, G. Ducreux, D. Marie and N. Barghi. 1990. Somatic
hybrid plants produce by electrofusion between dihaploid potatoes: BF15
(HI), Aminca (H6) and Cardinal (H3). Plant Cell Rep. 9:411-414.
Craig, L., I. Monison, E. Baird, R. Waugh, M. Coleman, P. Davie and W. Powel.
1994. Expression of reducing sugar accumulation in interspecific somatic
hybrid of potato. Plant Cell Rep. 13:401-405.
de Vries, S and M.J. Tempelam. 1987.
Electrofusion and analysis o f somatic
hybrids. In: Y.P.S. Bajaj (ed.). Biotechnology of Plant Improvement, Vol.111,
Potato. pp. 21 1-222. Springer, Berlin Heidelberg, New York.
de Vries, S. 1987. Somatic cell genetics of the potato (Solanurn fuberosum). Intra
and interspecific somatic hybridization. Disertation, Groningen.
Debnath, S. C. and G. Wenzel. 1987. Selection of somatic ksion products in potato
by hybrid vigor. Potato Res. 30: 371-380.
Deptan. 1999. Statistik produksi sayuran di Indonesia. Jakarta.
El-Kharbotly, A., A. Pereira, W.J. Stiekema and E. Jawbsen. 1996. Race specific
resistance against Phytophfhora infestans in potato is controlled by more
genetic factors than onIy R-genes. Euphytica 90:33 1-336.
Glirnelius, K and H.T. B 0 ~ e t t . 1981. Somatic hybridization in Nicotiana:
Restoration of photoautotrophy to an albino mutant with defective plastids.
Planta 153:497-503.
Haberlach, G. T., B. A. Cohen, N. A. Reichert, M. A. Bear, L.E. Towill, and J. P.
Helgeson. 1985. Isolation, culture and regeneration of protoplasts fiorn
potato and several related solanum species. Plant Sci. 39:67-74.
Hawkes, J.G. 1994. Origin of cultivated potatoes and species relationships. In:J.E.
Bradshaw and G.R. Mackay (eds.). Potato Genetic. pp.3-42. CAB
International.
Hermsen, J.G.Th. 1994. Introgression of genes fiorn wild species, including
molecular and cellular approach. In: J.E. Bradshaw and G.R. Mackay (eds.).
Potato Genetic. pp. 5 15-538. CAB International.
Jacobsen, E. and M.S. Ramana. 1994. Production of monohaploids of Solanurn
tuberosurn L. and their use in genetic, molecular biology and breeding. In:
J.E. Bradshaw and G.R. Mackay (eds.). Potato Genetic.pp.155-172. CAB
International.
Kaendler, C., M. Fladung, H. Uhrig. 1996. Production and identification of somatic
hybrids between Solanurn tuberosurn and S.papita using the rolC gene as a
morfological selectable marker. Theor. Appl. Genet. 92:455-462.
Mendoza, H.A. 1987. Advance in population breeding and its potential impact on the
efficiency of breeding potatoes for developing countries. &I: G.J. Jeelis and
D.E Richardson (eds.). The Production of New Potato Varieties Technology
Advances. pp.234-246. Cambridge Univ. Press, Cambridge.
Menke, U., L. Schilde-Rentschler, 3. Ruoss, C. Zanke, V. Hemleben, and H.
Nimernann. 1996. Somatic hybrids between the cultivated potato Solanurn
tuberosum L. and 1 EBN wild species Solanurn pinnutisecturn Dun.:
morfological and molecular characterization. Theor. Appl. Genet. 92:6 17626.
Millam, S., L.A. Payne and G.R. Mackay. 1995. The integration of protoplast
fusion-derived material into a potato breeding programme: a review of
progress and problems. Euphytica 85:45 1-455.
Mollers, C., S. Zhang, and G. Wenzel. 1992. The influence of silver thiosulfate on
potato protoplast culture. Plant Breeding. 108:12-18.
Oberwalder, B., B. Rous, L. Schilde-Rentschler, V. Hemleben, and H. N i ~ e m a ~ .
1997. Asymetric fusion between wild and cultivated species of potato
(Solanurn spp.): detection of asymetric hybrids and genome elimination.
Theor. Appl. Genet. 94: 1104-1 112.
Ramulu, K.S., P. Dijkhuis, E. Rutgers, J. Blaas, F.A. Krens, W.H.J. Verbeek, C.M.
Colijn-Hooymans and H.A. Verhoeven. 1996. Intergeneric transfer of a
partial genome and direct production of monosomic addition plants by
microprotoplast fusion. Theor. Appl. Genet. 92:3 16-325.
Ross, H. 1986. Potato breeding: problem and perspective. Adv. Plant Breed. 13:l132.
Serraf, I. 1991.
Evaluation des Combinations Genomiques Obtenues par
Hybridation Sornatique entre la Pomme de Terre (Solanurn tuberosurn L.) et
des Solanacees de Plus ou Poins Grandes A f f i t e s Phylogenetiques. These.
Universite de Paris-Sud, Centre d'Orsay, France.
Sihachakr, D., R. Haicour, M.H. Chaput, E. Barrientos, G. Ducreux, L. Rossignol.
1989. Somatic hybrid plants produced by electrohsion between SoIanum
melongena L. and Solanum torvurn Sw. Theor. Appl. Genet. 77:l-6.
Suliansyah, 1999.
Kecepatan Degenerasi oleh Virus pada Kentang Non
Transformasi dan Transformasi Protein Selubung. Disertasi Program Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 192 hal.
Tan, M.M.C. 1987. Somatic Hybridization and Cybridisation in Some Solanaceae.
Academisch Proefschrifk. Vrije Universiteit te Amsterdam.
Waara, S. and K. Glimelius. 1995. The potential of somatic hybridization in crop
breeding. Euphytica 85 :2 17-233.
Wattimena, 1993. Studi Pemuliaan Tanaman Kentang. Laporan Penelitian Riset
Uggulan Terpadu (RUT) 1. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Wattimena, 1994. Merakit Kultivar Kentang Toleran Terhadap Penyakit Degenerasi
(PVX, PVY, PLRV), Penyakit Layu Bakteri dan Penyakit Hawar Daun
melalui Ekstraksi, Transformasi dan Fusi. Laporan Hibah Tim. Direktorat
Jenderal Perguruan T i g g i , Jakarta.
Wattimena, G.A. 1999. Application of biotechnology on horticultural crops
production. In: Proceeding Seminar on Biotechnology: Application of
Biotechnology on Horticultural Production. Bogor Agricultural UniversityDFID British Council, Bogor, April 14.
Wenzel, G. 1994. Tissue culture. In: J.E. Bradshaw and G.R. Mackay (eds.). Potato
Genetic.pp.173- 197. CAB International.
Zimmermann, U and P. Scheurich. 1981. High frequency fusion of plant protoplast
by electric field. Planta. 151:26-32.
Zimmermann, U., G. Pilwat, and F. Riemann. 1974. Dielectric breakdown of cell
membranes pp. 146-153.
U. Zimmermann and J. Dainty, (eds.).
Membrane Transport in Plants. Springer Verlag, Berlin.
11. TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Kentang
Tanaman kentang adalah salah satu dari sekitar 2000 spesies dari famili
Solanaceae.
Famili ini tennasuk tembakaq tomat, terung, cabe dan pitunia.
Tanaman kentang pertama kali diintroduksikan ke Eropa rnelalui Spanyol pada tahun
1570 dan rnelalui Inggris pada tahun 1590 (Kehr et al., 1964; Hawkes, 1994).
Sedangkan di Indonesia, introduksi tanaman kentang dilakukan oleh Belanda pada
tahun 1794 yang mulai ditanam di daerah Cisarua, Cimahi kemudian menyebar ke
daerah lain seperti Lembang, Pengalengan, Wonosobo, Curug, Brastagi, Tomohon
dan lain-lain (Wattimena, 1994).
Gambar 4. Diagram bagian-bagian tanaman kentang (Solanurn fuberosurn L.).
Tanarnan kentang adalah tanaman semusim herbasius dan dikotiledon.
Batang tanaman kentang berbentuk bulat
keunguan bila mengandung antosianin.
pada Gambar 4.
atau persegi dengan warna hijau atau
Morfologi tanaman kentang dapat dilihat
Daun kentang adalah daun rnajemuk dengan anak daun primer
tersusun diantara anak daun sekunder.
Bentuk anak daun primer bulat sarnpai
lonjong. Semua anak daun primer diakhiri dengan anak daun tunggal pada ujung
tangkai daun. Bunga kentang merupakan bunga hermaprodit, dimana setiap bunga
mempunyai lima benang sari yang mengelilingi sebuah putik. Putik bunga kentang
lebih cepat rnasak dari pada tepung sarinya atau sering disebut protogeni, ha1 ini
menyebabkan tejadinya penyerbukan silang (Thompson dan Kelly, 1957; Kehr et
al., 1964). Bunga tanaman kentang tersusun dalam karangan bunga (inflorescence)
yang tumbuh pada ujung-ujung batang. Banyaknya bunga setiap karangan bunga,
panjang dan wama tangkai bunga bervariasi tergantung kultivarnya (Thompson dan
Kelly, 1957; Burton, 1966). Buah kentang berwarna hijau tua sampai keunguan,
berbentuk bulat dan berongga dua, dengan biji berwarna h e m dan berukuran kecil (I+
0,5 mm).
Pada bagian batang yang terletak di bawah permukaan tanah terdapat daund a m kecil seperti sisik. Pada ketiak daun ini terdapat tunas ketiak yang tumbuh
menjulur secara diageotropik.
Tunas ketiak ini disebut stolon.
Panjang stolon
berbeda-beda tergantung kultivarnya. Umbi kentang terbentuk sebagai pembesaran
bagian ujung stolon dan berfingsi sebagai tempat cadangan makanan (Kehr et al.,
1964; Burton, 1966).
Tanaman kentang (Solanum tuberosum L) terdiri dari dua subspesies, yaitu
Solanum tuberosum subsp. andigena dan Solanum tuberosum subsp tuberosum.
Keduanya mempunyai jurnlah kromosom 2n=4x==8.
Menurut Grun (1990)
perbedaan dari kedua subspesies tersebut adalah pada komponen sitoplasmiknya.
Kemungkinan
S.
tuberosum
subsp.
tuberosum
mendapatkan
komponen
sitoplasmiknya dari S. chacoense. Menurut Hawkes (1994), Solanum tuberosum
subsp andigena berasal dari persilangan S. stenotomum (2n=2x) x S. sparsipilum
(2n=2x) yang diikuti dengan proses penggandaan kromosom.
SilsiIah tanaman
kentang dapat dilihat pada Gambar 5.
Menurut Hawkes (1994) dari 160 spesies solanum yang berumbi, delapan
diantaranya dibudidayakan
yang terdiri dari diploid sampai pentaploid, yaitu: S.
ajanhuiri. S. goniocalyx, S. stenotomum, S. phureja, S. chaucha, S. Juzepczukii, S.
ruberosum dan S. curtilobum (Tabel 1).
~
.............................
~
......................
~
.
........
~ . ....
~ ....
~
1-
. . ............
~
~~
~
( C ) pentaploid
2n=5&
(allopentaploid)
!
tetraploid
2n=4x-48
triploid
2n=3x=36
x
diploid
x 4
2n=2x=24
n=12
hibridisasi
domestikasi
S. megisiacrolob~m
Gambar 5. Silsilah tanaman kentang yang dibudidayakan (Hawkes, 1994)
Tabel 1. Spesies yang dibudidayakan
Triploid
(2n=3x=36)
S. chaucha
S. juzepczukii
Diploid
(2n=2x=24)
S. ajanhuiri
S. goniocalyx
S. stenoromum
S. phureja
Tetraploid
(2n4x=48)
S. tuberosum L
Subsp Andigena
Subsp tuberosum
Pentaplo id
(2n=5x 4 0 )
S. curtilobum
Pemuliaan pada tanaman kentang
Tanaman kentang adalah tanaman agronomi yang dikembangbiakan secara
vegetatif. Penggunan umbi yang terus menerus akan menyebabkan degenerasi yang
disebabkan oleh virus. Oleh karena itu sebelum teknik kultur jaringan berkembang,
tanarnan kentang "disehatkan" melalui penanaman stok baru yang berasal dari biji
Cara ini disadari atau tidak merupakan
botani (Bradshaw dan Mackay, 1994).
seleksi untuk mendapatkan kultivar baru.
Penyilangan secara artifisial pert-
kali dilaporkan pada tahun 1807 oleh
Knight (Bradshaw dan Mackey, 1994; Hawkes, 1994), kemudian rnulai dikenalnya
Amerika tengah dan Amerika Selatan sebagai center of origin dan sumber
keragaman genus solanurn berumbi,
mempakan awal dari usaha rnengumpukan
spesies-spesies sumber ketahanan terhadap hama, penyakit dan cekaman lingkungan.
Saat ini telah diketahui bahwa beberapa spesies solanum mempakan sumber dari
sifat-sifat ketahanan tersebut (Tabel 2).
Tanaman kentang yang urnum dibudidayakan secara komersial adalah
tetraploid (2n=4x=48).
Pemuliaan tanarnan dapat dilakukan pada level tetraploid
rnaupun level dihaploid (Wenzel, 1994). Pemuliaan tanaman kentang pada level
tetraploid adalah pekerjaan yang mahal, lama dan sulit.
Mackay (1994), untuk mendapatkan
Menurut Bradshaw dan
kultivar baru diperlukan waktu 11 tahun
dengan j mlah klon awal sebanyak 100 000.
Pada tahun ke empat, populasi
berkurang dari 100 000 menjadi 4000, dengan demikian telah mengeliminasi 96%
variasi genetik. Setelah melaIui beberapa seleksi, pada tahun ke-1 l diperoleh dua
klon yang siap diomersialisasi.
TabeI 2. Sifat-sifat ketahanan pada beberapa spesies solanum (Hawkes, 1994)
Jenis Ketahanan
I Spesies yang tahan
Hawar dam
(Phytophthora infestans)
ssum, S. microdontum, S. phureja, S.pinnatisecturn, S. polydenium, SstoloniSerum, S. tarijense, S. vernei, S.verrucosum
Layu bakteri
(Pseudomonassolanacearum)
S. chacoense, S. sparsipilum, S.microdonrum, S. phureja, S. stenotomum.
Sofi rot dan Blackleg
(Envinia carotovora)
S. bulbocastanum, S. chacoense, S.demissum, S. hjertingii, S. Zeptophyes, S.megistacrolobum, S. microdontum, S. phureja, S. pinnatisectum.
Potato Virus X (PVX)
S. acauk S-chacoense, S. curtilobum. S.
phureja, S. sparsipilum, S. sucrense, S.
tarijense
Potato Virus Y (PVY)
S. chacoense, S. demissum, S. phureja, S.
stoloniferum
Potato Leaf Roll Virus (PLRV)
S. acaule, S. breidens. S. etuberosum,
S. raphanzyolium
Serangga (insect resistance)
Myzus persicae
Nematoda (nematode resistance)
I S. berthaultii, S. bukasovii, S bulbocasta- I
I
num, S. chornotophilum, S.infundibuleforme, S. lignicaule, S. marinasense, S.
medians,
S.
multidissectum,
stolonz~eruu
S. acaule, S. boliviense, Sbulbocastanum, S. capsicibaccatum, S. cardiophyllum, S. gourlayi, S. oplocense, S.
spursipilum, S. spegazzinii, S. sucrense,
S vernei.
I
Panjangnya proses tersebut, menyebabkan pemuliaan tanaman kentang lebih
sering dilakukan pada level dihaploid. Tanaman dihaploid diperoleh rnelalui
ekstraksi dari tanaman tetraploid melalui partenogenesis, atau androgenesis
(Wattimena, 1993). Menurut Wenzel er al. (1979), pemuliaan kentang yang efisien
adalah seperti pada Gambar 6.
efisien,
tetua tetraploid
partenogenesis atau
Agar supaya program pernuliaan menjadi sangat
diekstraksi menjadi monohaploid melalui dua kali
androgenesis.
Tanaman
monohaploid
yang
terseleksi
digandakan kromosomnya melalui teknik in vitro atau menggunakan kolkisin,
s e h i i g a diperoleh tanaman dihaploid yang homosigot.
Penyilangan-penyilangan
dilakukan pada tanarnan dihaploid tersebut, sehingga diperoleh tanaman hibrida
dihaploid. Pada tahap akhir, untuk memaksimalkan heterosigositas, dilakukan fisi
antar kultivar dihaploid terseleksi.
Menurut Ducreux et al. (1991), skema yang diajukan oleh Wenzel et al.
(1979) adalah sangat atraktif, hanya memungkinkan untuk
karakter-karakter
monogenik dan sulit penanganan tanaman monohaploid karena umurnnya sangat
lemah.
Colin et al. (1987) mengusulkan suatu skema (Gambar 6), dimana
partenogenesis hanya sampai pada tingkat dihaploid.
Pada tanaman dihaploid
tersebut dilakukan penyilangan-penyilangan clan diseleksi terhadap hasil, morfologi
dan kualitas umbi.
Selain itu dilakukan juga seleksi terhadap spesies diploid
terhadap sifat-sifat ketahanan, vigor dan adaptasi agronomi. Kedua gen pol tersebut
kemudian di gabungkan melalui h s i protoplas atau penggunaan diplogamet. Dalam
ha1 ini Colin et al. (1987) meningkatkan penampilan kultivar diploid dan dihaploid
terlebih dahulu, sebelum digandakan.
(1991)
Skema yang diajukan oleh Ducreux et al.
adalah merevisi skema Wenzel et al. (1979) yaitu menyilangkan antar
tanarnan dihaploid hasil ekstraksi atau dihaploid dengan diploid untuk menghasilkan
tanaman dihaploid unggul.
Kemudian teknik fisi protoplas dipergunakan untuk
menggabungkan tanaman dihaploid terseleksi.
APLIKASI DALAM P E M U L M (DUCREUX ET AL.,1991
SKEMA OLEH COLIN ET AL., 1987
4x Tanaman tetraploid
4x
I
Tanaman tetraploid
SKEMA OLEH WENZEL ET AL., 1979
Tanaman tetraploid dengan gen
ketahanan
4x
reduksi tingkatbloidi dengan
parthenogenesis
(seleksi terhdap tanaman dihaploid:
resisiensi danferiiiilas)
parthenogenesis
2x
IX
Tanaman dihaploid
diseleksi terhadap:
Hasil, morfologi,
adaptasi fotoperiod
kual~tasumb~
ekstraksi menda atkan monohaploid
anBrogenesls
1
Spesies diploid
liar
diseleksi terhadap
vigor and fertilitas
resistensi terhadap
penyakit dan
adaptasi agronomi
+
doubling bomo~ome
secara in vltro atau dg kolkisin
Penyilangan
dengan spesies diploid
mendapatkan variasi
(Vigor, fertilitas dan resistensi)
[q
Persilangan
(hibrida heterosigoi dihaploid)
JI
Penggunaan diplogamet atau
Fusi Protoplas
I
Tetraploid untuk
Program Pemuliaan
Fusi Rotoplas
I
PTshapl
Tanaman tetraploid
Fusi Protoplas
4x
1
tetraploid dengan maksimum
heterosigositas dengan resistensi
Sangat atraktif, sulit penanganannya dan dapat
dilakukan hanya pada sifat-sifat monogenik
Gambar 6. Kompilasi teknik dan program pemuliaan tanaman kentang
N
w
Fusi Protoplas
Usaha untuk mernfusikan sel somatik dirnulai pada awal abad ini oleh
Winkler, Kuster dan Michel (Power et al., 1970; Melchers and Labib, 1974). Michel
pada tahun 1937 mendemonstrasikan fusi protoplas dengan menggunakan NaN03.
Fusi yang terjadi sangat jarang dan produk fusi tidak dapat dikulturkan (Power et al.,
1970). Pada beberapa
dekade kemudian
banyak tanaman hibrida somatik dan
sibrida (hibrida sitoplasma) telah diproduksi.
Hal ini dapat dilakukan karena
perbaiian teknik dalam isolasi protoplas, kultur, fusi, regenerasi dan seleksi
heterokarion.
Fusi protoplas dapat terjadi secara spontan atau dapat diiiduksi dengan
beberapa cara antara lain dengan NaN03, asarn lernak, ion kalsium dan pH tinggi,
dekstran sulfat, polifenil alkohol (PVA), polietilen glikol (PEG) dan induksi fusi
dengan arus listrik.
Jika dinding sel tanarnan dihilangkan secara enzimatik, protoplas yang
dihasilkan seringkali
rnultinucleate fusion
melakukan fusi secara spontan sehingga membentuk
bodies.
Kejadian
ini
biasa
terjadi
karena
adanya
plasmodesmata yang rnenghubungkan sei-sel tanaman (Withers dan Cocking, 1972).
Terjadinya fusi spontan ini berkisar dari 8% pada Sphaerocarpus donnellii
(Schieder, 1975) sampai 30% pada N. tabacum (Power et al., 1970). Miller et al.
(1971) menyatakan bahwa 25% dari protopas yang diisolasi dari sel kedelai adalah
multi inti.
Motoyosi (1972) menyatakan bahwa 50% dari total protoplas yang
diisolasi secara enzimatik dari kalus dan endosperm adalah multi inti. Frekuensi fusi
spontan bervariasi dari 20-SO%, tetapi fiekuensi yang lebih besar dapat diinduksi
dengan meningkatkan suhu menjadi 35-40°C selama isolasi (Keller et aZ, 1973).
Power el al. (1970) melaporkan bahwa protoplas yang diisolasi dari ujung
akar tanaman Oat dan beberapa serealia dalam 0,56M sukrosa, 10% selulase
onozuka dan 5% maserozim dapat difusikan dalam 0,25M NaN03. Kameya (1979)
menyatakan bahwa isolasi protoplas dalam larutan enzim yang berisi garam kalium
yang kemudian dicuci dengan garam natrium sangat efektif untuk menginduksi fusi.
Carlson et al. (1972) melaporkan bahwa hibrida sornatik antara Nicotiana glauca+N.
langsdorffii diperoleh rnelalui penambahan NaN03,
namun menurut Keller dan
MeIcher (1983) pada konsentrasi yang menginduksi fusi, NaN03 bersifat toksik
terhadap sel tanaman, sehiigga hanya meningkatkan sedikit saja dari fusi spont'm.
Menurut
Power et al. (1970) sekitar 30 jenis
asam lemak dapat
menyebabkan pembentukan multi inti dalam sel darah merah tikus dan ayam, akan
tetapi menurut Keller et al. (1973) penggunaan asam lemak lysolecithin dalam
protoplas tanaman tidak memperbaiki eekuensi h i . Nagata et al. (1979)
melaporkan bahwa penambahan 1,2-O-dipentadesill-methylidin-gliserol-3-fosferil(N-etanolamin) dapat menginduksi i k i jika ditambahkan pada medium fusi yang
mengandung 1 mM fosfolipid, 0,05M CaCE dan 0,7 M rnanitol.
Ion kalsium mampu menginduksi fusi dari sel darah merah pada pH 10,5
(Power et al., 1970).
Segera setelah itu Keller dan Melcher (1983) rnarnpu
mendapatkan h i dengan fiekuensi tinggi (25%) antar protoplas daun jika d i i i u b a s i
pada suhu 37OC, dalarn larutan 0,05 M CaCh, 0,05M ~ a - & i n dan 0,4 M manitol
pada pH 10,5. Menurut Keller dan Melcher (1983) pada kondisi pH tinggi dengan
ion calsium, membran phosphatidylethanolamime dan lesitin dihidrolisa membentuk
bahan liso.
Bahan liso ini k e m u n g k i i besar bertanggung jawab terhadap
pembentukan homokaryon.
Agregasi dari protoplas dapat terjadi dengan penambahan dekstran atau
dekstran sulfat (Kameya, 1975).
Akan tetapi dekstran sulfat toksik terhadap
protopas, sedangkan dekstran tidak toksik.
Pada konsentrasi yang tinggi (15%)
dalam larutan garam inorganik, dekstran rnampu mengmduksi agregasi protoplas dan
fusi sampai 10% (Kameya, 1975). K i s h i i dan Widholm (1987) rnampu
meregenerasikan koloni sel dari protoplas yang dfisikan dengan dekstran.
Agregasi protoplas dan fusi juga dapat diinduksi oleh PVA (Nagata, 1978).
Larutan yang efektif untuk fusi protoplas adalah 15% PVA, 0,05 mM CaCh dan 0,3
M manitol. Setelah medium tersebut dicuci, protoplas banyak yang berfusi. PVA
tidak toksik terhadap viabilitas protoplas.
Metode fusi yang banyak digunakan saat ini adalah penambahan polietilen
glikol (PEG) pada campuran protoplas.
Metode ini pertarna kali dilaporkan oleh
Kao dan Michayluk (1975). Proses fusi diawali dengan aglutinasi protoplas tanaman
oleh PEG. Aglutinasi akan terjadi jika PEG yang berat molekul tinggi (1540-6000)
ditambahkan pada konsentrasi 25-30%. Jika larutan protoplas difisikan dengan pH
dan ion ~
a tinggi
+ ~ditambahkan PEG, maka fi-ekuensi fusi protoplas rnenjadi
tinggi. Polietilen glikol (HOCH2(CH2-0-CH2)nCH20H) adalah bahan kimia yang
larut air. PEG daiam air mempunyai muatan sedikit negatif dan mampu membentuk
ikatan hidrogen dengan membran plasma pada
protoplas.
Poletilen
glikol
memungkinkan berfungsi sebagai jernbatan antar dua protoplas dan agregasi
protoplas tejadi. PEG juga dapat mengikat ~
mungkin akan membentuk jembatan
meningkatkan agregasi.
a atau
+ kation
~
lain. Kation ~
antara
membran dan
PEG,
a ini+
sehingga
Meskipun pada saat inkubasi antar protoplas menempel
sangat ketat, namun hanya sedikit saja yang berfusi, akan tetapi segera setelah PEG
dicuci dengan medium atau larutan hipotonik, banyak sel yang berfusi (Kao dan
Michayluk, 1975). Jadi kebanyakan fusi terjadi setelah pencucian protoplas.
Elektrofusi
Menurut Zimrnerman dan Scheurrich (1981) di dalam larutan, protoplas akan
bermuatan negatif sehiigga akan saling tolak menolak, sehingga jarang terjadi
agregasi protoplas. Apabila protoplas diletakkan di daIam suatu medan listrik bolak
balik (alternating field), protoplas akan bermuatan sehingga mempunyai kutub
negatif dan kutub positif. Pada kondisi tersebut protoplas akan bergerak ke arah kuat
medan yag lebih besar. Pergerakan ini dikenal sebagai dielektroforesis.
Pergerakan protoplas tidak lurus ke arah kuat medan, tetapi membentuk
sudut. Selama proses dielektrophoresis, protoplas akan saling menernpel membentuk rantai dan akan saling melepaskan diri apabila medan listrik dihilangkan.
Fusi antar protoplas akan terjadi akibat proses yang disebut elehroporasi,
yaitu
pernbentukan celah
pada protoplas akibat adanya arus listrik DC (direr!
~
current) dengan tegangan tertentu (Z-ermann
et al., 1974; Zimmermann dan
Scheurich, 1981). Akan tetapi apabila tegangan yang diberikan terlalu tinggi maka
membran plasma akan pecah ( Zimmermann dan Scheurich, 1981; Hibi et al., 1988;
Mahrle et al., 1990).
Menurut de Vries dan Templaar (1987) protoplas kentang &an membentuk
rantai jika diberikan 100-200 Volt/cm, 1 Mhz arus AC. Kemudian pemberian pulsa
DC antara 1000-3000 Volt/cm selama 10-50 rnikrodetik akan menyebabkan celah
pada sisi protoplas yang menghadap elektroda, sehingga h s i antara protoplas yang
berkaitan terjadi. Menurut Tempelaar dan Jones (1985) pulsa yang lebih banyak,
pemberian pulsa yang lebih lama, dan l e b i panjangnya protoplas yang membentuk
rantai menyebabkan semakin banyak protoplas yang berfusi. Akan tetapi ha1 ini juga
menyebabkan semaJsii tingginya kkuensi multifusi.
Templaar dan Jone (1985)
juga menunjukkan bahwa induksi fusi b i e r dari protoplas daun Solanurn brevidens
dan protoplas sel suspensi Nicotiana tabacum dilakukan dengan cara memanipulasi
rasio dari jumlah protoplas daun dan protoplas sel suspensi.
Pada rasio jumlah
protoplas yang tepat diperoleh prosentase heterofusi biner yang lebih tinggi. Hal ini
dilakukan karena &man protoplas yang diperoleh dari sel suspensi Nicofiana
tabacurn lebih kecil dibandiigkan protoplas d a m Solanum brevidens. Oleh karena
itu diperlukan rasio yang
tepat sehingga tiap protoplas daun dikelilingi oleh
protoplas sel suspensi. Pada penelitian yang sering dilakukan, dirnana ukuran kedua protoplas yang difksikan relatif sama, rasio antara kedua protoplas adalah 1:l
(Sihachakr et al., 1989; Serraf ef al., 1991; Mollers et al., 1992).
Fusi Protoplas pada tanaman Kentang
Tujuan utama fusi protoplas pada kentang (S. tuberosum) adalah (1)
introgresi sifat-sifat ketahanan dari spesies atau genus lain dan (2) meresintesis
tingkat tetraploidi untuk memaksirnakan heterosigositas. Introgresi sifat ketahanan
ke dalam genom kentang yang dilakukan melalui h s i protoplas umurnnya karena
alasan inkompat ibilitas seksual antara dua tetua, misalnya karena nilai EBN
(endosperm balance number) dari spesies liar yang digunakan adalah 1, sehmgga
tidak bisa disilangkan dengan kentang dihaploid dengan EBN
=
2 (Millam et al.,
1995).
Telah banyak penelitian fusi protoplas yang dilakukan pada kentang yang
bertujuan mengintrogresikan sifat-sifat
ketahanan (Mattheij dan Puite, 1992;
Kaendler et al, 1996; Menke et al., 1996; Rasmussen et al., 1996; Nyman dan
Waara, 1997; Oberwalder et al., 1997). Spesies liar yang digunakan antara lain S.
circaefolium yang mempunyai sifat ketahanan terhadap Phyrophthora infestans dan
Globodera pallida (Mattheij dan Puite, 1992), S. brevidens mempunyai sifat
ketahanan terhadap PLRV (Austin et al.,1985), S. vernei ketahanan terhadap
Globodera pallida (Rassmusen et al., 1996), S. pinnatisectum ketahanan terhadap
Phytophthora investans (Menke et al., 1996), S. commersonii ketahanan terhadap
cost myman dan Waara, 1997), Lycopersicon pennellii, ketahanan terhadap salinitas
(Serraf et al., 1991).
Hibrida
somatik
yang
dihasilkan
umumnya
mempunyai
morfologi
intermediat, lebih vigor dibandingkan kedua tetuanya, berbunga dan menghasilkan
biji (Menke et al., 1996; Rasmussen et al., 1996; N y m a n dan Waara, 1997).
Fertiliias jantan (male fertility) sangat tergantung dari genotipe S. tuberosum yang
digunakan (Nyman dan Waara,
1997).
Sedangkan sifat-sifat ketahanannya
meningkat dibandingkan S. tuberosum tetuanya (Mattheij dan Puite,
1992;
Rasmussen et al., 1996; Nyrnan dan Waara, 1997; Oberwalder et al., 1997). Akan
tetapi hasil h s i
S. tuberosum+ Lycopersicon penneNii menghasilkan hibrida
somatik yang lemah (tidak vigor), menghasilkan stolon yang pendek, umbi yang
tidak beraturan. Walaupun demikian hibrida yang dihasilkan dapat berbunga dan
menghasilkan biji dan meningkat ketahanannya terhadap salinitas (Serraf, 1991).
Selain untuk mengatasi inkompatibilitas seksual, fusi protoplas juga
merupakan
metode untuk meresintesis ke tingkat tetraploidi.
Kentang, sebagai
tanaman yang dikembangbiakan secara vegetatif, resintesis tanarnan tetraploid dari
donor d i p l o i d yang terseleksi meialui fusi protoplas akan menghasilkan tanarnan
heterosigous dalam sekali langkah (Ross, 1986). Penelitian resintesis tetraploid pada
tanaman kentang relatif lebih jarang dilakukan dibandingkan h s i interspesifik
(Waara et al., 1991; Mollers et al., 1992; Rasrnussen et al., 1996). Rasrnussen e f al.
(1996) memfusikan dua klon mandul jantan kentang dihaploid (S. tuberosum)
melalui elektrofusi.
Kalus yang mampu beregenerasi adalah 6%, dirnana 45%
diantaranya adalah hibrida somatik. Hibrida somatik yang dihasilkan sangat vigor
dengan morfologi intermediate antara kedua tetua, baik dalam panjang internode,
ukuran daun dan pigmentasi.
Fusi secara simetris memungkinkan penggabungan antar dua jenis genom
secara cepat dengan hasil intermediate (Mattheij dan Puite, 1992; Kaendler et al.,
1996; Menke et al., 1996; Rasmusen et al., 1996; Nyrnan dan Waara, 1997;
Oberw
Lata r Belakang
Kentang merupakan tanaman pangan utama dunia sesudah padi, gandum dan
jagung.
Di Indonesia kentang lebih banyak dikonsumsi sebagai sayuran dari pada
makanan pokok.
Walaupun demikian tanaman kentang mempakan salah satu
komoditi sayuran yang mendapatkan prioritas untuk diembangkan seIain beberapa
tanaman seperti bawang merah, bawang putih, kacang panjang, tornat dan cabai.
Pada tahun 1998 luas areal pertanaman kentang di Indonesia adalah 55.1 10 hektar,
dengan produksi rata-rata nasional 15,39 ton per hektar (Deptan, 1999). Beberapa'
alasan pengembangan tanaman kentang adalah: ( 1 )
menanam kentang sangat
menguntungkan petani karena selain harganya cukup tinggi, umbi kentang relatif
tidak mudah rusak dan fluktuasi harga umbi di pasar sangat kecil (Wattimena 1993),
(2) dalam rangka diversifikasi pangan, penggunaan umbi kentang lebii dapat
diterima oleh masyarakat luas dibandingkan ubi kayu, ubi jalar maupun jenis umbiumbian yang lain, karena status sosial tidak merasa turun apabila mengkonsumsi
makanan dari kentang (Wattimena, 1994), (3) Nilai gizi kentang cukup tinggi,
dimana
hampir semua asam amino esensial terdapat
pada umbi
kentang,
kekurangannya hanya pada asam amino metionin dan sistein (Bajaj, 1987), dan (4)
kentang me~pztkanbahan baku penting pada industrifrenchfries. chip, pati kentang
d m lain-lain (Wattimena, 1993).
Pengembangan kentang di Indonesia dan daerah tropis pada umurnnya
dibatasi oleh sejumlah kendala antara lain ketersediaan bibit bermutu, keterbatasan
lokasi penanaman dan kendala hama dan penyakit.
Tanaman kentang seperti
tanaman-tanaman lain yang diproduksi dan diperbanyak secara vegetatif, penanaman
umbi bibit dari hasil panen sebelumnya secara t e n s menerus akan mengakumulasi
penyakit sistemik seperti virus dan bakteri. Akumulasi penyakit tersebut akan secara
nyata menurunkan produksi umbi (Suliansyah, 1999). Produksi bibit bermutu di
negara tropis amat sulit dilakukan karena tidak ada musim dan atau daerah yang
bebas penyakit maupun vekior dari penyakit, sehingga bibit bermutu hams selalu
diimpor dari negara lain dengan h g a yang tidak terjangkau oleh petani.
Tidak seperti daerah yang mempunyai empat musim, penanaman kentang di
daerah tropis hanya dapat dilakukan di dataran tinggi sehingga didapatkan suhu yang
cukup rendah.
Penanaman kentang pada suhu yang lebii tinggi atau pada dataran
yang lebii rendah mengakibatkan produksi menurun akibat dari sernakin rendahnya
asimilat yang dapat disirnpan dalam umbi dan serangan penyakit yang lebih banyak.
Tanaman kentang Xne~pZLkantanaman yang mempunyai hama dan penyakit yang
terbanyak.
Tanarnan kentang tercatat mempunyai 266 hama dan penyakit yang
terdiui dari 23 virus, 38 cendawan, 6 b a k t e i 2 rnikoplasrna, 1 viroid, 68 nematoda
dan 128 insekta (Mendoza, 1987).
Tiga penyakit utarna yang sarnpai saat ini sukar dikendaliian adalah penyakit
degenerasi virus, penyakit hawar d a m (Phylophthora infestuns) dan penyakit layu
bakteri (Ralstonia solanacearum).
Penyakit degenerasi virus terutama disebabkan
oIeh virus kentang X (PVX), virus kentang Y (PVY) dan virus kentang penggulung
daun (PLRV).
Ketiga virus kentang tersebut (PVX, PVY, dan PLRV) dapat
menurunkan hasil berturut-turut
10-50%, 40-80% dan 80%
(Beemster dan
Rizendd, 1972; Suliansyah, 1999), sedangkan penyakit layu bakteri dan hawar
daun dapat menurunkan produksi sarnpai 80% (Wattimena, 1994).
Salah satu cara untuk rnengatasi masalah &lam pengembangan tanaman
kentang adalah mendapatkan kultivar baru yang berproduksi tinggi, tahan terhadap
beberapa penyakit penting dan produksinya dapat mencapai standar mutu yang
dibutuhkan oleh konsurnen
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mendapatkan kultivar baru, yaitu rnelalui cara penyilangan dengan spesies tertentu,
mutasi buatan, penggunaan metode transforrnasi genetik dan h i protoplas.
Beberapa sifat-sifat tanarnan kentang yang penting sehubungan dengan
metode pemuliaan adalah: (1)Tanaman kentang adalah menyerbuk silang yang
kejaguran tanarnan tergantung dari tingkat heterosigositasnya,
(2) Perbanyakan
kentang dapat dilakukan dengan biji maupun dengan cara klonal melalui umbi biasa,
umbi mini, umbi mikro, stek mini dan stek mikro, (3) Spesies tanaman kentang yang
dibudidayakan dapat terdiri dari diploid (2N=2x=24), triploid
tetraploid (2N=4r48)
dan pentaploid (2N=Sx=60) (Serraf,
(2N=3x=36),
1991). Kentang
komersial umumnya adalah tetraploid sedangkan spesies diploid sering mengandung
sifat-sifat ketahanan penyakit, hama dan cekaman lingkungan (Austin et al., 1985),
(4) Haploidisasi dapat dilakukan dengan cara partenogenesis atau androgenesis
sampai pada tingkat monohaploid (Jacobsen dan Ramanna, 1994), (5) Kemampuan
pembentukan 2n garnet dari kentang monohaploid dan dihaploid, (6) Tanarnan
kentang dapat diregenerasikan dari semua jaringan/organ tanaman secara in vifro
dapat bempa anter, embrio muda, umbi, batang, daun, sel dan protoplas (Bajaj,
1987).
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dalam produksi kultivar baru pada tanaman kentang
dapat dilihat pada Gambar 1. Pemuliaan tanaman kentang pada level tetraploid
merupakan pekerjaan yang sulit, dan lama, terutama disebabkan karakternya yang
diturunkan secara tetrasomik, heterosigositasnya tinggi, adanya self incompatibility
dan mandul jantan pada beberapa kultivar (Wenzel, 1994).
partenogenesis
dapat
menghasilkan
tanaman
dihaploid,
pemuliaan dapat dilakukan pada level dihaploid tersebut.
Kultur anter atau
kemudian
program
Cara ini rnemiliii
beberapa keuntungan, yaitu: (1) efisien dalam menghilangkan gen-gen yang tidak
diiiginkan karena segregasinya lebih sederhana, (2) l e b i efektif mengkombinasikan
karakter-karakter yang diinginkan dari spesies-spesiies liar untuk meningkatan
variabilitas genetiknya (Ross, 1986).
Penggunaan tanaman dihaploid dalarn . program pemuliaan, pada akhirnya
hams dikembalikan pada level tetraploid.
Beberapa cara yang dapat dilakukan
adalah: poliploidisasi dengan perlakuan kolkisin, penyilangan 4x-2x atau 2x-2x,
regenerasi secara in virro dan fisi protoplas (Wenzel 1994). Poliploidisasi dengan
cara penggandaan kromosom akan meningkatkan homosigositas, sehiigga akan
mengurangi produksi dan vigor tanarnan, sedangkan penyilangan 4x-2x atau 2x-2x
membutuhkan
tetua
yang
mampu
memproduksi
diplogamet (2n garnet),
sehingga j u d a h genotipe yang dapat dipakai sangat terbatas (Hermsen, 1994).
+
@artenogenesisf
+
7
Spesies solanurn diploid
berumbi
Tanaman Kentang
dihaploid
+
Diseleksi terhadap
vigor, fertilitas, ketahanan
hama dan penyakif
adaptasi agronomi
Diseleksi terhadap
produksi, morfoIogi
kualitas umbi
I
Penyilangan
Penyilangan
Hibrida dihaploid
Transformasi
kitinase,
hordothionin, dlI)
1
Fusi Intraspesifik
1
Kentang tetraploid
dengan maksimal
heterosigositas
Gambar 1 .
7
Program Pemutiaan
7
Kultivar Baru +--
Kerangka pemikiran untuk mendapatkan kultivar b a r ~pada tanaman
kentang
Penggunaan tanarnan haploid dalam program pemuliaan kentang tidak
sepenuhnya dapat dilakukan penyilangan dengan spesies liar, karena beberapa
spesies liar dengan EBN 1 (Endosperm Balance Number) tidak dapat dilakukan
penyilangan dengan kentang dihaploid yang mempunyai EBN 2.
Penggunaan metode transformasi adalah cara yang ideal untuk mentransfer
gen yang diinginkan secara efisien tanpa ada halangan seksual dan kedekatan
taksonomi (Ramulu ef al., 1996). Akan tetapi penggunaan metode transformasi
hanya dapat dilakukan pada sifat-sifat genetik yang disandi oleh gen tunggal.
Beberapa sifat yang disandi oleh banyak gen yang terletak di satu atau di beberapa
kromosom tanarnan sangat sulit diidentifikasi dan diisolasi, sehingga penggunaan
metode transformasi menjadi sangat sulit untuk diterapkan (Ramulu et al., 1995;
Waara dan Glimelius, 1995; Milam et al., 1995;Ramulu et al., 1996).
Penggunaan rnetode fisi protoplas atau hibridisasi sornatik rnerupakan
alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Selain dapat
mentransfer gen-gen yang belum teridentifikasi, hibridisasi sornatik juga mempakan
suatu metode untuk memodifikasi dan memperbaiki sifat-sifat yang diturunkan
secara poligenik (Milam et a[., 1995; Waara dan Glimelius, 1995). Fusi protoplas
dapat dilakukan dengan cara menggabungkan seluruh genom dari dua jenis protoplas
dari kultivar yang berlainan (intraspecifc),
atau antar spesies dalam genus yang
sama (interspec~jk) atau f k i antar genus dalam satu famili (inter generic)
(Wattimena, 1999).
Fusi intraspesifik bertujuan untuk meresintesis genotipe tetraploid dari galur
tanarnan dihaploid yang telah terseleksi sehingga tanaman tetraploid hasil h s i
mempunyai tingkat heterosgositas yang tinggi.
Penggunaan fisi protoplas
memungkinkan produksi hibrida dengan heterosigositas yang tinggi
hanya dalam
sekali langkah sehingga sangat efisien, walaupun keberhasilannya sangat ditentukan
oleh genotipa (Ross, 1986; Mollers et al., 1992; Waara dan Glimelius, 1995).
Fusi protoplas antar spesies dalam satu genum (interspecific) bertujuan
rnendapatkan sifat-sifat tertenty rnisalnya resistensi terhadap hama dan penyakit.
Sifat-sifat ketahanan banyak terdapat
pada spesies diploid, misalnya- Solanum
phureja (resistensi PVY dan layu bakteri) (Hawkes, 1994), S. breviden (resisten
terhadap PLRV) (Austin et al., 19851, S. demissum (resisten terhadap Phytophthora
infestans) (Haberlach et al., 1985; El-Kharbotly et al., 1996), S. etuberosum (resisten
terhadap fiost), S. pennellii (resisten terhadap Alternaria), S. berthaultii (resisten
terhadap serangga)(Serraf, 1991) dan S. balbocastanum resisten terhadap nematoda
(Brown et al, 1995).
Introgresi sifat-sifat ketahanan juga dapat dilakukan dengan cara fusi
protoplas antara kentang dengan genus lain dalarn Solanaceae atau fusi antar genus
(intergeneric), misalnya untuk mendapatkan ketahanan terhadap hawar daun, layu
bakteri dan kekeringan dilakukan f k i
Solanum tuberosum dengan spesies liar
Lycopersicon pimpinellifolium (Tan, 1987).
Sifat-sifat yang ditransfer ke dalam tanaman kentang melalui fusi protoplas
baik fusi interspesifik maupun intergenerik sering kali karena alasan inkornpatibilitas
seksuaI.
Hasil dari fusi protoplas tersebut adalah tanaman dengan sifat-sifat
gabungan, termasuk sifat-sifat yang tidak diinginkan yang berasal dari spesies liar.
Menghilangkan sifat-sifat yang tidak diinginkan dalam tanaman hasil fusi biasanya
dilakukan rnelalui cara silang balik (backcross) dengan salah satu tetuanya.
Fusi interspesifik yang hasilnya diharapkan mirip dengan fusi intraspesifik
adalah h i
kentang dihaploid (S. tuberosum) dengan spesies diploid yang juga
dibudidayakan. Spesies diploid yang dibudidayakan antara lain Solanum ajanhuiri,
S. goniocalyx, S. srenoromum dan S. phureja. Spesies diploid S. stenotomum dan S.
phureja selain rnenghasilkan urnbi juga mernbawa sifat-sifat ketahanan.
Menurut
Hawkes (1994), S. stenotomum mengandung gen-gen ketahanan terhadap layu
bakteri (Pseudomonas solanacearum), layu verticillium, PLRV, PVM, PSTV, layu
verticiliurn, ring rot dan root-knot nematode, sedangkan pada S.phureja terhadap
sifat-sifat ketahanan terhadap hawar daun (Phytophthora invesrans), layu bakteri
(Pseudomonas solanacearum). softrot (Erwinia carofovora), PVX dan PVY. Fusi
antara spesies diploid tersebut dengan spesies dihaploid kentang yang telah terseleksi
diharapkan menghasillcan kultivar baru yang unggul.
Fusi Protoplas
Fusi protoplas dapat dilakukan menggunakan cara kirnia atau listrik.
Fusi
protoplas melalui cara kirnia sering kali menggunakan PEG (Polyethelene glicol).
Dalarn proses fusi, PEG selain sebagai bulking agent juga berfungsi sebagai
jernbatan antar protoplas, mirip dengan fungsi plasmodesmata.
Pada kondisi
dernikian, sedikit sekali protoplas yang berfusi Fusi antar protoplas sebagian besar
tejadi pada saat PEG dihilangkan atau dicuci dari protoplas. Keberhasilan fusi akan
sangat ditentukan oleh konsentrasi PEG yang dipakai dan lamanya inkubasi
protoplas dalam PEG.
Keuntungan fusi protoplas dengan PEG antara lain &pat
dilakukan dengan peralatan sederhana, &an
tetapi PEG seringkali toksik terhadap
p r o t o p h sehingga dapat menghambat pertumbuhan clan perkembangan protoplas
setelah hsi.
Fusi melalui cara listrik (electrofusion) dilakukan dengan menggunakan alat
khusus yang terdiri dari generator AC clan DC.
Generator AC berfungsi untuk
membuat protoplas berjajar berantai, k e m u d i fusi dilakukan dengan memberikan
pulsa DC pada tegangan tertentu. Pulsa DC ini akan membuat celah yang dapat
balik sehingga protoplas dapat berfusi (Zimmermann, et al., 1974; Zimrnermann dan
Scheurich. 1981;de Vries clan Templaar, 1987).
Untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi adanya hibrida somatik dapat
dilakukan dengan beberapa cara, antara lain secara visual (Amirato et al., 1983),
melihat kejaguran hibrida dari mikro kalus yang dihasilkan (Debnath clan Wenzel
1987), menggunakan m k a biokimia, seperti mutan defisiensi nitrat reduktase
(Glimelius dan Bonet, 1981), ketahanan asam amino analog (White dan Vasil 1979;
Tan, 1987; de Vries, 1987), auksin autotropik (Carlson ef aZ.,1972),
penghitungan
kromosom dan analisis ploidi denganflow cytornetry ( S i h a c W el al., 1989; Chaput
et al., 1990; Serraf ef al. , 1991; Menke ef al., 1996), menggunakan teknik RFLP
(Kaendler e f al., 1996; Oberwalder et al, 1997), teknik RAPD (Craig et al., 1994;
Millam et al., 1995), juga melihat morfologi tanaman di laboratorium dan di lapang
(Serraf et al., 199; Millam et al., 1995).
Masalah Penelitian
Produksi hibrida somatik pada Solanaceae telah banyak dilakukan (Tan,
1987; Sihachakr et al., 1989; Chaput er al., 1990; Serraf et al., 1991; Craig el al.,
1994; Kaendler et al., 1996; Menke e f a/., 1996; Oberwalder et al., 1997) akan tetapi
metode yang dipergunakan sangat bervariasi tergantung dari tetua yang dipakai.
Sampai saat ini belurn ada rnetode h i protoplas yang dapat berlaku umum pada
kombinasi fbsi dalam genus Solanurn. Penelitian-penelitian yang dipublikasi
umumnya hanya melaporkan satu kombinasi fusi antara kultivar dan spesies
tertentu.
Pada penelitian ini dilakukan sepuluh kombinasi fbsi intraspesifik dan
interspesifik, sehingga penapisan beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan
produksi hibrida somatik perlu dilakukan. Keberhasilan produksi hibrida somatik
sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam proses kuitur protoplas dan regenerasinya
menjadi tanaman dari tetua-tetuanya. Oleh karena itu perlu diketahui metode kultur
protoplas, baik mengenai sumber protoplas yang dipergunakan, jenis dan konsentrasi
enzim untuk isolasii komposisi medium penaburan protoplas dan medium regenerasi
mikrokdus menjadi tanaman pada masing-masing tetua yang dipakai.
Klon-klon yang digunakan pada fusi intraspesifik adalah klon dihaploid yang
telah terseleksi dari INRA, Perancis. Resintesis klon-klon tersebut menjadi tanaman
kentang tetraploid dapat dilakukan dengan perlakuan kolkisin atau persilangan 2x-2x
atau 2x-4x (Wenzel,
1994), akan tetapi penggunaan metode tersebut akan
mengurangi hetorosigositasnya clan diperlukan
klon yang dapat memproduksi
diplogmet, dilain pihak penggunaan metode fUsi protoplas dapat memaksimalkan
heterosigositasnya clan dapat dilakukan sekali langkah (Millam e f a / . , 1995).
Spesies-spesies yang digunakan dalarn penelitian ini adalah jenis spesies
solanurn yang berumbi.
Spesies-spesies tersebut selain membawa gen-gen
ketahanan, diantaranya juga merupakan spesies yang dibudidayakan dan berproduksi
tinggi (S.stenotornurn dan S.phureja). Spesies lain seperti S.vernei dan S. berthaultii
sangat sulit disilangkan dengan S.tuberosum walaupun mempunyai EBN=2 (Serraf et
al., 1991). Penggunaan fusi protoplas dapat membantu program pemuliaan tanaman
dalam introgresi gen-gen ketahanan yang dimiliii.
Efisiensi penggunaan metode h s i protoplas sangat dibatasi oleh masalah
Tetua-tetua yang dipakai pada penelit ian ini tidak
identifkasi hibrida somatik.
mempunyai marka morfologi yang dapat mengidentifikasi hibrida somatik yang
dihasilkan secara cepat, sehingga untuk mengidentifikasi hibrida somatik dari
regeneran-regeneran tersebut diperlukan identifikasi yang efisien baii melalui
analisaflow cytometv, isoenzim, RAPD, clan penghitungan kromosom Identifikasi
bertingkat tersebut diperlukan untuk rnendapatkan validitas dalam penentuan hibrida
somatik.
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan mendapatkan hibrida somatik dari
beberapa kombiiasi ksi, baik fbsi intraspesifik maupun fusi interspesifik. Untuk
rnencapai tujuan tersebut pada penelitian ini dilakukan beberapa seri percobaan
seperti terlihat pada Gambar 2.
Sedangkan faktor-faktor yang diteliti pada setiap
percobaan disajikan pada Gambar 3. Fusi intra spesifik terdiri dari BF15
(dihaploid)+Nicola (dihaploid), BFl S+SVP10 (tetraploid),
Cardinal (dihaploid)+
SVPlO (tetraploid), dan Nicola (dihaploid)+ SVPlO (tetraploid), sedangkan h i
interspesifik terdiri dari fusi
Cardinal (dihaploid)+S.vernei (diploid),
BF15
(dihaploid)+S.vernei (diploid) , BF15 (dihaploid)+S.stolon~~erum,
BF15 (dihaploid)+
S.phureja (diploid), BF 15 (dihaploid)+S.berthaulrii (diploid), BF 15 (dihaploid)+
S.s~o/onife'erum(tetaploid),dan SF1 5 (dihaploid)+S.stenotomum (diploid).
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1.
Mempelajari metode isolasi protoplas, kultur protoplas, serta regenerasinya
menjadi tanaman lengkap.
2.
Mendapatkan hibrida somatik kentang intra maupun interspesies melalui fusi
protoplas
3.
Mengkonfumasi dan verifkmi hibrida somatik dengan analisis flow
cyiome&y,
isoenzim, RAPD (Random Arnpl$ed
Polymorphism
DNA),
jumlah kromosom, ukuran seI penjaga dan jumlah kloroplas pada sel penjaga.
4.
Keragaan fenotipik hibrida somatik secara in vitro melalui penanaman tunas
mikro dan produksi umbi in vitro.
5.
Keragaan fenotipik hibrida somatik di lapang melalui penanaman stek mikro
di pot dan di tanah.
Hipotesis
1.
Metode isolasi, jumlah protoplas, pertumbuhan dan perkembangan pada saat
kultur d m regenerasi protoplas menjadi tanaman sangat tergantung dari
material sumber protoplas, enzim yang digunakan, komposisi media tumbuh,
kultivar dan spesies yang digunakan.
2.
Kultur protoplas pasca h s i dan regenerasinya menjadi tanaman sangat
ditentukan oleh kemampuan regenerasi kedua tetuanya
3.
Hibrida somatik akan mempunyai sifat clan morfologi gabungan dari kedua
tetuanya, oleh karena itu hibrida somatik secara tepat dapat diketahui melalui
kombinasi cara-cara analisa morfologi, flaw cytornehy, isozim, RAPD dan
penghitungan kromosom.
4.
Perbedaan keragaan fenotipik tanaman hibrida somatik akan dapat teramati
baik di laboratorium maupun di Iapang.
5.
Beberapa hibrida somatik ynng didapatkan adalah kultivar unggul, tahan
penyakit tertentu dan mempunyai standar mutu yang dibutuhkan oleh
konsumen.
Kegunaan Penelitian
Beberapa kegunaan penelitian ini adalah:
1.
Didapatkannya metode yang terintegrasi dalam elektrofbsi protoplas dari
sumber protoplas yang digunakan,
metode isolasi, kultur dan regenerasi
protoplas menjadi mikro kalus dan regenerasi mikrokalus menjadi tanaman,
akan sangat berguna untuk mendorong penelitian-penelitian yang berbasis
protoplas
2.
Beberapa hibrida sornatik yang dihasilkan berpotensi untuk diiembangkan
menjadi kultivar baru atau dapat dipakai sebagai material dalam program
pemuliaan.
3.
Keahlian yang didapatkan selama penelitian merupakan aset yang sangat
berharga untuk pengembangan institusi.
MENDAPATKAN SUMBER PROTOPLAS
YANG TEPAT
+
ISOLASI, KULTUR DAN REGENERAS1 PROTOPLAS
MENJADI TANAMAN PADA SEMUA KLON YANG DIPAKAI
i
MENDAPATKAN PARAME
R ELEKTROFUSI YANG TEPAT
FUSI PROTOPLAS
(2n=2x=24) berumbi
Kultivar tetraploid (2n=4r48)
('SVPIO')
Fusi Intraspesifii
I
IDENTIFIKASI HIBRIDA SOMATIK
4
KERAGAAN HIBRIDA SOMATIK SECARA IN VITRO DAN IN VZVO
HIBRIDA SOMATIK POTENSIAL
Gambar 2. Kerangka penelitian yang dilakukan
Mendapatkan Metode Perbanyakan
Sumber Protoplas yang menghasilkan
Protoplas deogan Rendamen dan
Viabilitas yang tinggi
(faktor aerasi udara, letak, intensitas dan lama penyinaran,
suhu, retardan, dan konsentrasi media dasar MS)
Percobaan 1
++
Mendapatkan metode isolasi, kultur dan
regenerasi protoplas yang dapat digunakan
uotuk semua kultivar d a n spesies sola~zumyang dipakai
(faktor jenis clan konsentrasi enzim, zat pengatur tumbuh
dalam medium penaburan protoplas dan
komposisi media untuk regenerasi tunas)
Percobaan 2
Mendapatkan parameter listrik yang dapat mengbasilkan
fusi biner d a n beterofusi yang tinggi
1. Faktor besamya tegangan, fkekuensi dan lama aplikasi arus AC
yang dapat menghasilkan rantai protoplas maksirnum
2. Faktor besarnya tegangan, jumlah pulsa, lama aplikasi pulsa yang
menghasilkan fkekuensi h s i biner yang tinggi
7
1
3
+
Percobaan 4
Fusi protoplas dan regenerasinya menjadi tanaman
(Menggunakan metode isolasi, hsi, kultur protoplas dan
medium regenerasi yang terbaik)
+
F
Meogidentifikasi hibrida somatik
melalui isoenzim, RAPD,flow cylomejry
d a n pengbituogan kromosoom
+
Karakterisasi dan keragaan hibrida somatik yang dihasilkan melalui
1. Penghitungan kloroplas dalam sel penjaga d m ukuran sel penjaga
2. Pertumbuhan tanaman secara in vitro dan pembentukan umbi in vitro
3. Penanaman hibrida somatik di pot dan di lapang
4. Pengarnatan serangan l a p bakteri dan hawar d a m
5 . Analisa kandungan pati dan gula reduksi
Hibrida somatik potensial
Gambar 3.
Percobaan-percobaan yang dilakukan untuk mendapatkan hibrida
sornatik.
Daftar Pustaka
Ammirato, P.V., D.A. Evan, W.R. Sharp, Y. Yamada. 1983. Handbook of Plant Cell
Culture. Vol 1. MacMillan Publ. Co. New York, London.
Austin, S., M.A. Baer, M.K. Ahlenfeldt, P.J. Kazmierczak, and P.J. Helgelson. 1985.
Interspecific fusion in Solanurn tuberosum. Theor. Appl. Genet. 7 1 :172-175.
Bajaj, Y.P.S. 1987. Biotechnology and 21st century potato. In: Y.P.S. Bajaj (ed.).
Biotechnology of Plant Improvement, Vol.111, Potato. pp.3-19. Springer,
Berlin Heidelberg, New York.
Beemster, A.B.R and A. Rozendaal. 1972. Potato viruses: properties and symptoms.
In.: de Bokx (ed.). Viruses of Potato and Seed-Potato Production. pp.119-155
Cent. Agric. Publ.Doc. Wageningen.
Brown C.R., H. Mojtahedi and G.S. Santo. 1995. Introgression of resistance of
Colombia and Northern root-knot nematodes fi-om Solanurn bulbocastanum
into cultivated potato. Euphytica 83:71-78.
Carlson, P.S., H.H. Smith and R D . Dearing. 1972. Parasexual interspecific plant
hybridization. Proc.Natl.Acad. Sci. USA. 69:2292-2294.
Chaput, M.H., D. Sihachakr, G. Ducreux, D. Marie and N. Barghi. 1990. Somatic
hybrid plants produce by electrofusion between dihaploid potatoes: BF15
(HI), Aminca (H6) and Cardinal (H3). Plant Cell Rep. 9:411-414.
Craig, L., I. Monison, E. Baird, R. Waugh, M. Coleman, P. Davie and W. Powel.
1994. Expression of reducing sugar accumulation in interspecific somatic
hybrid of potato. Plant Cell Rep. 13:401-405.
de Vries, S and M.J. Tempelam. 1987.
Electrofusion and analysis o f somatic
hybrids. In: Y.P.S. Bajaj (ed.). Biotechnology of Plant Improvement, Vol.111,
Potato. pp. 21 1-222. Springer, Berlin Heidelberg, New York.
de Vries, S. 1987. Somatic cell genetics of the potato (Solanurn fuberosum). Intra
and interspecific somatic hybridization. Disertation, Groningen.
Debnath, S. C. and G. Wenzel. 1987. Selection of somatic ksion products in potato
by hybrid vigor. Potato Res. 30: 371-380.
Deptan. 1999. Statistik produksi sayuran di Indonesia. Jakarta.
El-Kharbotly, A., A. Pereira, W.J. Stiekema and E. Jawbsen. 1996. Race specific
resistance against Phytophfhora infestans in potato is controlled by more
genetic factors than onIy R-genes. Euphytica 90:33 1-336.
Glirnelius, K and H.T. B 0 ~ e t t . 1981. Somatic hybridization in Nicotiana:
Restoration of photoautotrophy to an albino mutant with defective plastids.
Planta 153:497-503.
Haberlach, G. T., B. A. Cohen, N. A. Reichert, M. A. Bear, L.E. Towill, and J. P.
Helgeson. 1985. Isolation, culture and regeneration of protoplasts fiorn
potato and several related solanum species. Plant Sci. 39:67-74.
Hawkes, J.G. 1994. Origin of cultivated potatoes and species relationships. In:J.E.
Bradshaw and G.R. Mackay (eds.). Potato Genetic. pp.3-42. CAB
International.
Hermsen, J.G.Th. 1994. Introgression of genes fiorn wild species, including
molecular and cellular approach. In: J.E. Bradshaw and G.R. Mackay (eds.).
Potato Genetic. pp. 5 15-538. CAB International.
Jacobsen, E. and M.S. Ramana. 1994. Production of monohaploids of Solanurn
tuberosurn L. and their use in genetic, molecular biology and breeding. In:
J.E. Bradshaw and G.R. Mackay (eds.). Potato Genetic.pp.155-172. CAB
International.
Kaendler, C., M. Fladung, H. Uhrig. 1996. Production and identification of somatic
hybrids between Solanurn tuberosurn and S.papita using the rolC gene as a
morfological selectable marker. Theor. Appl. Genet. 92:455-462.
Mendoza, H.A. 1987. Advance in population breeding and its potential impact on the
efficiency of breeding potatoes for developing countries. &I: G.J. Jeelis and
D.E Richardson (eds.). The Production of New Potato Varieties Technology
Advances. pp.234-246. Cambridge Univ. Press, Cambridge.
Menke, U., L. Schilde-Rentschler, 3. Ruoss, C. Zanke, V. Hemleben, and H.
Nimernann. 1996. Somatic hybrids between the cultivated potato Solanurn
tuberosum L. and 1 EBN wild species Solanurn pinnutisecturn Dun.:
morfological and molecular characterization. Theor. Appl. Genet. 92:6 17626.
Millam, S., L.A. Payne and G.R. Mackay. 1995. The integration of protoplast
fusion-derived material into a potato breeding programme: a review of
progress and problems. Euphytica 85:45 1-455.
Mollers, C., S. Zhang, and G. Wenzel. 1992. The influence of silver thiosulfate on
potato protoplast culture. Plant Breeding. 108:12-18.
Oberwalder, B., B. Rous, L. Schilde-Rentschler, V. Hemleben, and H. N i ~ e m a ~ .
1997. Asymetric fusion between wild and cultivated species of potato
(Solanurn spp.): detection of asymetric hybrids and genome elimination.
Theor. Appl. Genet. 94: 1104-1 112.
Ramulu, K.S., P. Dijkhuis, E. Rutgers, J. Blaas, F.A. Krens, W.H.J. Verbeek, C.M.
Colijn-Hooymans and H.A. Verhoeven. 1996. Intergeneric transfer of a
partial genome and direct production of monosomic addition plants by
microprotoplast fusion. Theor. Appl. Genet. 92:3 16-325.
Ross, H. 1986. Potato breeding: problem and perspective. Adv. Plant Breed. 13:l132.
Serraf, I. 1991.
Evaluation des Combinations Genomiques Obtenues par
Hybridation Sornatique entre la Pomme de Terre (Solanurn tuberosurn L.) et
des Solanacees de Plus ou Poins Grandes A f f i t e s Phylogenetiques. These.
Universite de Paris-Sud, Centre d'Orsay, France.
Sihachakr, D., R. Haicour, M.H. Chaput, E. Barrientos, G. Ducreux, L. Rossignol.
1989. Somatic hybrid plants produced by electrohsion between SoIanum
melongena L. and Solanum torvurn Sw. Theor. Appl. Genet. 77:l-6.
Suliansyah, 1999.
Kecepatan Degenerasi oleh Virus pada Kentang Non
Transformasi dan Transformasi Protein Selubung. Disertasi Program Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 192 hal.
Tan, M.M.C. 1987. Somatic Hybridization and Cybridisation in Some Solanaceae.
Academisch Proefschrifk. Vrije Universiteit te Amsterdam.
Waara, S. and K. Glimelius. 1995. The potential of somatic hybridization in crop
breeding. Euphytica 85 :2 17-233.
Wattimena, 1993. Studi Pemuliaan Tanaman Kentang. Laporan Penelitian Riset
Uggulan Terpadu (RUT) 1. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Wattimena, 1994. Merakit Kultivar Kentang Toleran Terhadap Penyakit Degenerasi
(PVX, PVY, PLRV), Penyakit Layu Bakteri dan Penyakit Hawar Daun
melalui Ekstraksi, Transformasi dan Fusi. Laporan Hibah Tim. Direktorat
Jenderal Perguruan T i g g i , Jakarta.
Wattimena, G.A. 1999. Application of biotechnology on horticultural crops
production. In: Proceeding Seminar on Biotechnology: Application of
Biotechnology on Horticultural Production. Bogor Agricultural UniversityDFID British Council, Bogor, April 14.
Wenzel, G. 1994. Tissue culture. In: J.E. Bradshaw and G.R. Mackay (eds.). Potato
Genetic.pp.173- 197. CAB International.
Zimmermann, U and P. Scheurich. 1981. High frequency fusion of plant protoplast
by electric field. Planta. 151:26-32.
Zimmermann, U., G. Pilwat, and F. Riemann. 1974. Dielectric breakdown of cell
membranes pp. 146-153.
U. Zimmermann and J. Dainty, (eds.).
Membrane Transport in Plants. Springer Verlag, Berlin.
11. TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Kentang
Tanaman kentang adalah salah satu dari sekitar 2000 spesies dari famili
Solanaceae.
Famili ini tennasuk tembakaq tomat, terung, cabe dan pitunia.
Tanaman kentang pertama kali diintroduksikan ke Eropa rnelalui Spanyol pada tahun
1570 dan rnelalui Inggris pada tahun 1590 (Kehr et al., 1964; Hawkes, 1994).
Sedangkan di Indonesia, introduksi tanaman kentang dilakukan oleh Belanda pada
tahun 1794 yang mulai ditanam di daerah Cisarua, Cimahi kemudian menyebar ke
daerah lain seperti Lembang, Pengalengan, Wonosobo, Curug, Brastagi, Tomohon
dan lain-lain (Wattimena, 1994).
Gambar 4. Diagram bagian-bagian tanaman kentang (Solanurn fuberosurn L.).
Tanarnan kentang adalah tanaman semusim herbasius dan dikotiledon.
Batang tanaman kentang berbentuk bulat
keunguan bila mengandung antosianin.
pada Gambar 4.
atau persegi dengan warna hijau atau
Morfologi tanaman kentang dapat dilihat
Daun kentang adalah daun rnajemuk dengan anak daun primer
tersusun diantara anak daun sekunder.
Bentuk anak daun primer bulat sarnpai
lonjong. Semua anak daun primer diakhiri dengan anak daun tunggal pada ujung
tangkai daun. Bunga kentang merupakan bunga hermaprodit, dimana setiap bunga
mempunyai lima benang sari yang mengelilingi sebuah putik. Putik bunga kentang
lebih cepat rnasak dari pada tepung sarinya atau sering disebut protogeni, ha1 ini
menyebabkan tejadinya penyerbukan silang (Thompson dan Kelly, 1957; Kehr et
al., 1964). Bunga tanaman kentang tersusun dalam karangan bunga (inflorescence)
yang tumbuh pada ujung-ujung batang. Banyaknya bunga setiap karangan bunga,
panjang dan wama tangkai bunga bervariasi tergantung kultivarnya (Thompson dan
Kelly, 1957; Burton, 1966). Buah kentang berwarna hijau tua sampai keunguan,
berbentuk bulat dan berongga dua, dengan biji berwarna h e m dan berukuran kecil (I+
0,5 mm).
Pada bagian batang yang terletak di bawah permukaan tanah terdapat daund a m kecil seperti sisik. Pada ketiak daun ini terdapat tunas ketiak yang tumbuh
menjulur secara diageotropik.
Tunas ketiak ini disebut stolon.
Panjang stolon
berbeda-beda tergantung kultivarnya. Umbi kentang terbentuk sebagai pembesaran
bagian ujung stolon dan berfingsi sebagai tempat cadangan makanan (Kehr et al.,
1964; Burton, 1966).
Tanaman kentang (Solanum tuberosum L) terdiri dari dua subspesies, yaitu
Solanum tuberosum subsp. andigena dan Solanum tuberosum subsp tuberosum.
Keduanya mempunyai jurnlah kromosom 2n=4x==8.
Menurut Grun (1990)
perbedaan dari kedua subspesies tersebut adalah pada komponen sitoplasmiknya.
Kemungkinan
S.
tuberosum
subsp.
tuberosum
mendapatkan
komponen
sitoplasmiknya dari S. chacoense. Menurut Hawkes (1994), Solanum tuberosum
subsp andigena berasal dari persilangan S. stenotomum (2n=2x) x S. sparsipilum
(2n=2x) yang diikuti dengan proses penggandaan kromosom.
SilsiIah tanaman
kentang dapat dilihat pada Gambar 5.
Menurut Hawkes (1994) dari 160 spesies solanum yang berumbi, delapan
diantaranya dibudidayakan
yang terdiri dari diploid sampai pentaploid, yaitu: S.
ajanhuiri. S. goniocalyx, S. stenotomum, S. phureja, S. chaucha, S. Juzepczukii, S.
ruberosum dan S. curtilobum (Tabel 1).
~
.............................
~
......................
~
.
........
~ . ....
~ ....
~
1-
. . ............
~
~~
~
( C ) pentaploid
2n=5&
(allopentaploid)
!
tetraploid
2n=4x-48
triploid
2n=3x=36
x
diploid
x 4
2n=2x=24
n=12
hibridisasi
domestikasi
S. megisiacrolob~m
Gambar 5. Silsilah tanaman kentang yang dibudidayakan (Hawkes, 1994)
Tabel 1. Spesies yang dibudidayakan
Triploid
(2n=3x=36)
S. chaucha
S. juzepczukii
Diploid
(2n=2x=24)
S. ajanhuiri
S. goniocalyx
S. stenoromum
S. phureja
Tetraploid
(2n4x=48)
S. tuberosum L
Subsp Andigena
Subsp tuberosum
Pentaplo id
(2n=5x 4 0 )
S. curtilobum
Pemuliaan pada tanaman kentang
Tanaman kentang adalah tanaman agronomi yang dikembangbiakan secara
vegetatif. Penggunan umbi yang terus menerus akan menyebabkan degenerasi yang
disebabkan oleh virus. Oleh karena itu sebelum teknik kultur jaringan berkembang,
tanarnan kentang "disehatkan" melalui penanaman stok baru yang berasal dari biji
Cara ini disadari atau tidak merupakan
botani (Bradshaw dan Mackay, 1994).
seleksi untuk mendapatkan kultivar baru.
Penyilangan secara artifisial pert-
kali dilaporkan pada tahun 1807 oleh
Knight (Bradshaw dan Mackey, 1994; Hawkes, 1994), kemudian rnulai dikenalnya
Amerika tengah dan Amerika Selatan sebagai center of origin dan sumber
keragaman genus solanurn berumbi,
mempakan awal dari usaha rnengumpukan
spesies-spesies sumber ketahanan terhadap hama, penyakit dan cekaman lingkungan.
Saat ini telah diketahui bahwa beberapa spesies solanum mempakan sumber dari
sifat-sifat ketahanan tersebut (Tabel 2).
Tanaman kentang yang urnum dibudidayakan secara komersial adalah
tetraploid (2n=4x=48).
Pemuliaan tanarnan dapat dilakukan pada level tetraploid
rnaupun level dihaploid (Wenzel, 1994). Pemuliaan tanaman kentang pada level
tetraploid adalah pekerjaan yang mahal, lama dan sulit.
Mackay (1994), untuk mendapatkan
Menurut Bradshaw dan
kultivar baru diperlukan waktu 11 tahun
dengan j mlah klon awal sebanyak 100 000.
Pada tahun ke empat, populasi
berkurang dari 100 000 menjadi 4000, dengan demikian telah mengeliminasi 96%
variasi genetik. Setelah melaIui beberapa seleksi, pada tahun ke-1 l diperoleh dua
klon yang siap diomersialisasi.
TabeI 2. Sifat-sifat ketahanan pada beberapa spesies solanum (Hawkes, 1994)
Jenis Ketahanan
I Spesies yang tahan
Hawar dam
(Phytophthora infestans)
ssum, S. microdontum, S. phureja, S.pinnatisecturn, S. polydenium, SstoloniSerum, S. tarijense, S. vernei, S.verrucosum
Layu bakteri
(Pseudomonassolanacearum)
S. chacoense, S. sparsipilum, S.microdonrum, S. phureja, S. stenotomum.
Sofi rot dan Blackleg
(Envinia carotovora)
S. bulbocastanum, S. chacoense, S.demissum, S. hjertingii, S. Zeptophyes, S.megistacrolobum, S. microdontum, S. phureja, S. pinnatisectum.
Potato Virus X (PVX)
S. acauk S-chacoense, S. curtilobum. S.
phureja, S. sparsipilum, S. sucrense, S.
tarijense
Potato Virus Y (PVY)
S. chacoense, S. demissum, S. phureja, S.
stoloniferum
Potato Leaf Roll Virus (PLRV)
S. acaule, S. breidens. S. etuberosum,
S. raphanzyolium
Serangga (insect resistance)
Myzus persicae
Nematoda (nematode resistance)
I S. berthaultii, S. bukasovii, S bulbocasta- I
I
num, S. chornotophilum, S.infundibuleforme, S. lignicaule, S. marinasense, S.
medians,
S.
multidissectum,
stolonz~eruu
S. acaule, S. boliviense, Sbulbocastanum, S. capsicibaccatum, S. cardiophyllum, S. gourlayi, S. oplocense, S.
spursipilum, S. spegazzinii, S. sucrense,
S vernei.
I
Panjangnya proses tersebut, menyebabkan pemuliaan tanaman kentang lebih
sering dilakukan pada level dihaploid. Tanaman dihaploid diperoleh rnelalui
ekstraksi dari tanaman tetraploid melalui partenogenesis, atau androgenesis
(Wattimena, 1993). Menurut Wenzel er al. (1979), pemuliaan kentang yang efisien
adalah seperti pada Gambar 6.
efisien,
tetua tetraploid
partenogenesis atau
Agar supaya program pernuliaan menjadi sangat
diekstraksi menjadi monohaploid melalui dua kali
androgenesis.
Tanaman
monohaploid
yang
terseleksi
digandakan kromosomnya melalui teknik in vitro atau menggunakan kolkisin,
s e h i i g a diperoleh tanaman dihaploid yang homosigot.
Penyilangan-penyilangan
dilakukan pada tanarnan dihaploid tersebut, sehingga diperoleh tanaman hibrida
dihaploid. Pada tahap akhir, untuk memaksimalkan heterosigositas, dilakukan fisi
antar kultivar dihaploid terseleksi.
Menurut Ducreux et al. (1991), skema yang diajukan oleh Wenzel et al.
(1979) adalah sangat atraktif, hanya memungkinkan untuk
karakter-karakter
monogenik dan sulit penanganan tanaman monohaploid karena umurnnya sangat
lemah.
Colin et al. (1987) mengusulkan suatu skema (Gambar 6), dimana
partenogenesis hanya sampai pada tingkat dihaploid.
Pada tanaman dihaploid
tersebut dilakukan penyilangan-penyilangan clan diseleksi terhadap hasil, morfologi
dan kualitas umbi.
Selain itu dilakukan juga seleksi terhadap spesies diploid
terhadap sifat-sifat ketahanan, vigor dan adaptasi agronomi. Kedua gen pol tersebut
kemudian di gabungkan melalui h s i protoplas atau penggunaan diplogamet. Dalam
ha1 ini Colin et al. (1987) meningkatkan penampilan kultivar diploid dan dihaploid
terlebih dahulu, sebelum digandakan.
(1991)
Skema yang diajukan oleh Ducreux et al.
adalah merevisi skema Wenzel et al. (1979) yaitu menyilangkan antar
tanarnan dihaploid hasil ekstraksi atau dihaploid dengan diploid untuk menghasilkan
tanaman dihaploid unggul.
Kemudian teknik fisi protoplas dipergunakan untuk
menggabungkan tanaman dihaploid terseleksi.
APLIKASI DALAM P E M U L M (DUCREUX ET AL.,1991
SKEMA OLEH COLIN ET AL., 1987
4x Tanaman tetraploid
4x
I
Tanaman tetraploid
SKEMA OLEH WENZEL ET AL., 1979
Tanaman tetraploid dengan gen
ketahanan
4x
reduksi tingkatbloidi dengan
parthenogenesis
(seleksi terhdap tanaman dihaploid:
resisiensi danferiiiilas)
parthenogenesis
2x
IX
Tanaman dihaploid
diseleksi terhadap:
Hasil, morfologi,
adaptasi fotoperiod
kual~tasumb~
ekstraksi menda atkan monohaploid
anBrogenesls
1
Spesies diploid
liar
diseleksi terhadap
vigor and fertilitas
resistensi terhadap
penyakit dan
adaptasi agronomi
+
doubling bomo~ome
secara in vltro atau dg kolkisin
Penyilangan
dengan spesies diploid
mendapatkan variasi
(Vigor, fertilitas dan resistensi)
[q
Persilangan
(hibrida heterosigoi dihaploid)
JI
Penggunaan diplogamet atau
Fusi Protoplas
I
Tetraploid untuk
Program Pemuliaan
Fusi Rotoplas
I
PTshapl
Tanaman tetraploid
Fusi Protoplas
4x
1
tetraploid dengan maksimum
heterosigositas dengan resistensi
Sangat atraktif, sulit penanganannya dan dapat
dilakukan hanya pada sifat-sifat monogenik
Gambar 6. Kompilasi teknik dan program pemuliaan tanaman kentang
N
w
Fusi Protoplas
Usaha untuk mernfusikan sel somatik dirnulai pada awal abad ini oleh
Winkler, Kuster dan Michel (Power et al., 1970; Melchers and Labib, 1974). Michel
pada tahun 1937 mendemonstrasikan fusi protoplas dengan menggunakan NaN03.
Fusi yang terjadi sangat jarang dan produk fusi tidak dapat dikulturkan (Power et al.,
1970). Pada beberapa
dekade kemudian
banyak tanaman hibrida somatik dan
sibrida (hibrida sitoplasma) telah diproduksi.
Hal ini dapat dilakukan karena
perbaiian teknik dalam isolasi protoplas, kultur, fusi, regenerasi dan seleksi
heterokarion.
Fusi protoplas dapat terjadi secara spontan atau dapat diiiduksi dengan
beberapa cara antara lain dengan NaN03, asarn lernak, ion kalsium dan pH tinggi,
dekstran sulfat, polifenil alkohol (PVA), polietilen glikol (PEG) dan induksi fusi
dengan arus listrik.
Jika dinding sel tanarnan dihilangkan secara enzimatik, protoplas yang
dihasilkan seringkali
rnultinucleate fusion
melakukan fusi secara spontan sehingga membentuk
bodies.
Kejadian
ini
biasa
terjadi
karena
adanya
plasmodesmata yang rnenghubungkan sei-sel tanaman (Withers dan Cocking, 1972).
Terjadinya fusi spontan ini berkisar dari 8% pada Sphaerocarpus donnellii
(Schieder, 1975) sampai 30% pada N. tabacum (Power et al., 1970). Miller et al.
(1971) menyatakan bahwa 25% dari protopas yang diisolasi dari sel kedelai adalah
multi inti.
Motoyosi (1972) menyatakan bahwa 50% dari total protoplas yang
diisolasi secara enzimatik dari kalus dan endosperm adalah multi inti. Frekuensi fusi
spontan bervariasi dari 20-SO%, tetapi fiekuensi yang lebih besar dapat diinduksi
dengan meningkatkan suhu menjadi 35-40°C selama isolasi (Keller et aZ, 1973).
Power el al. (1970) melaporkan bahwa protoplas yang diisolasi dari ujung
akar tanaman Oat dan beberapa serealia dalam 0,56M sukrosa, 10% selulase
onozuka dan 5% maserozim dapat difusikan dalam 0,25M NaN03. Kameya (1979)
menyatakan bahwa isolasi protoplas dalam larutan enzim yang berisi garam kalium
yang kemudian dicuci dengan garam natrium sangat efektif untuk menginduksi fusi.
Carlson et al. (1972) melaporkan bahwa hibrida sornatik antara Nicotiana glauca+N.
langsdorffii diperoleh rnelalui penambahan NaN03,
namun menurut Keller dan
MeIcher (1983) pada konsentrasi yang menginduksi fusi, NaN03 bersifat toksik
terhadap sel tanaman, sehiigga hanya meningkatkan sedikit saja dari fusi spont'm.
Menurut
Power et al. (1970) sekitar 30 jenis
asam lemak dapat
menyebabkan pembentukan multi inti dalam sel darah merah tikus dan ayam, akan
tetapi menurut Keller et al. (1973) penggunaan asam lemak lysolecithin dalam
protoplas tanaman tidak memperbaiki eekuensi h i . Nagata et al. (1979)
melaporkan bahwa penambahan 1,2-O-dipentadesill-methylidin-gliserol-3-fosferil(N-etanolamin) dapat menginduksi i k i jika ditambahkan pada medium fusi yang
mengandung 1 mM fosfolipid, 0,05M CaCE dan 0,7 M rnanitol.
Ion kalsium mampu menginduksi fusi dari sel darah merah pada pH 10,5
(Power et al., 1970).
Segera setelah itu Keller dan Melcher (1983) rnarnpu
mendapatkan h i dengan fiekuensi tinggi (25%) antar protoplas daun jika d i i i u b a s i
pada suhu 37OC, dalarn larutan 0,05 M CaCh, 0,05M ~ a - & i n dan 0,4 M manitol
pada pH 10,5. Menurut Keller dan Melcher (1983) pada kondisi pH tinggi dengan
ion calsium, membran phosphatidylethanolamime dan lesitin dihidrolisa membentuk
bahan liso.
Bahan liso ini k e m u n g k i i besar bertanggung jawab terhadap
pembentukan homokaryon.
Agregasi dari protoplas dapat terjadi dengan penambahan dekstran atau
dekstran sulfat (Kameya, 1975).
Akan tetapi dekstran sulfat toksik terhadap
protopas, sedangkan dekstran tidak toksik.
Pada konsentrasi yang tinggi (15%)
dalam larutan garam inorganik, dekstran rnampu mengmduksi agregasi protoplas dan
fusi sampai 10% (Kameya, 1975). K i s h i i dan Widholm (1987) rnampu
meregenerasikan koloni sel dari protoplas yang dfisikan dengan dekstran.
Agregasi protoplas dan fusi juga dapat diinduksi oleh PVA (Nagata, 1978).
Larutan yang efektif untuk fusi protoplas adalah 15% PVA, 0,05 mM CaCh dan 0,3
M manitol. Setelah medium tersebut dicuci, protoplas banyak yang berfusi. PVA
tidak toksik terhadap viabilitas protoplas.
Metode fusi yang banyak digunakan saat ini adalah penambahan polietilen
glikol (PEG) pada campuran protoplas.
Metode ini pertarna kali dilaporkan oleh
Kao dan Michayluk (1975). Proses fusi diawali dengan aglutinasi protoplas tanaman
oleh PEG. Aglutinasi akan terjadi jika PEG yang berat molekul tinggi (1540-6000)
ditambahkan pada konsentrasi 25-30%. Jika larutan protoplas difisikan dengan pH
dan ion ~
a tinggi
+ ~ditambahkan PEG, maka fi-ekuensi fusi protoplas rnenjadi
tinggi. Polietilen glikol (HOCH2(CH2-0-CH2)nCH20H) adalah bahan kimia yang
larut air. PEG daiam air mempunyai muatan sedikit negatif dan mampu membentuk
ikatan hidrogen dengan membran plasma pada
protoplas.
Poletilen
glikol
memungkinkan berfungsi sebagai jernbatan antar dua protoplas dan agregasi
protoplas tejadi. PEG juga dapat mengikat ~
mungkin akan membentuk jembatan
meningkatkan agregasi.
a atau
+ kation
~
lain. Kation ~
antara
membran dan
PEG,
a ini+
sehingga
Meskipun pada saat inkubasi antar protoplas menempel
sangat ketat, namun hanya sedikit saja yang berfusi, akan tetapi segera setelah PEG
dicuci dengan medium atau larutan hipotonik, banyak sel yang berfusi (Kao dan
Michayluk, 1975). Jadi kebanyakan fusi terjadi setelah pencucian protoplas.
Elektrofusi
Menurut Zimrnerman dan Scheurrich (1981) di dalam larutan, protoplas akan
bermuatan negatif sehiigga akan saling tolak menolak, sehingga jarang terjadi
agregasi protoplas. Apabila protoplas diletakkan di daIam suatu medan listrik bolak
balik (alternating field), protoplas akan bermuatan sehingga mempunyai kutub
negatif dan kutub positif. Pada kondisi tersebut protoplas akan bergerak ke arah kuat
medan yag lebih besar. Pergerakan ini dikenal sebagai dielektroforesis.
Pergerakan protoplas tidak lurus ke arah kuat medan, tetapi membentuk
sudut. Selama proses dielektrophoresis, protoplas akan saling menernpel membentuk rantai dan akan saling melepaskan diri apabila medan listrik dihilangkan.
Fusi antar protoplas akan terjadi akibat proses yang disebut elehroporasi,
yaitu
pernbentukan celah
pada protoplas akibat adanya arus listrik DC (direr!
~
current) dengan tegangan tertentu (Z-ermann
et al., 1974; Zimmermann dan
Scheurich, 1981). Akan tetapi apabila tegangan yang diberikan terlalu tinggi maka
membran plasma akan pecah ( Zimmermann dan Scheurich, 1981; Hibi et al., 1988;
Mahrle et al., 1990).
Menurut de Vries dan Templaar (1987) protoplas kentang &an membentuk
rantai jika diberikan 100-200 Volt/cm, 1 Mhz arus AC. Kemudian pemberian pulsa
DC antara 1000-3000 Volt/cm selama 10-50 rnikrodetik akan menyebabkan celah
pada sisi protoplas yang menghadap elektroda, sehingga h s i antara protoplas yang
berkaitan terjadi. Menurut Tempelaar dan Jones (1985) pulsa yang lebih banyak,
pemberian pulsa yang lebih lama, dan l e b i panjangnya protoplas yang membentuk
rantai menyebabkan semakin banyak protoplas yang berfusi. Akan tetapi ha1 ini juga
menyebabkan semaJsii tingginya kkuensi multifusi.
Templaar dan Jone (1985)
juga menunjukkan bahwa induksi fusi b i e r dari protoplas daun Solanurn brevidens
dan protoplas sel suspensi Nicotiana tabacum dilakukan dengan cara memanipulasi
rasio dari jumlah protoplas daun dan protoplas sel suspensi.
Pada rasio jumlah
protoplas yang tepat diperoleh prosentase heterofusi biner yang lebih tinggi. Hal ini
dilakukan karena &man protoplas yang diperoleh dari sel suspensi Nicofiana
tabacurn lebih kecil dibandiigkan protoplas d a m Solanum brevidens. Oleh karena
itu diperlukan rasio yang
tepat sehingga tiap protoplas daun dikelilingi oleh
protoplas sel suspensi. Pada penelitian yang sering dilakukan, dirnana ukuran kedua protoplas yang difksikan relatif sama, rasio antara kedua protoplas adalah 1:l
(Sihachakr et al., 1989; Serraf ef al., 1991; Mollers et al., 1992).
Fusi Protoplas pada tanaman Kentang
Tujuan utama fusi protoplas pada kentang (S. tuberosum) adalah (1)
introgresi sifat-sifat ketahanan dari spesies atau genus lain dan (2) meresintesis
tingkat tetraploidi untuk memaksirnakan heterosigositas. Introgresi sifat ketahanan
ke dalam genom kentang yang dilakukan melalui h s i protoplas umurnnya karena
alasan inkompat ibilitas seksual antara dua tetua, misalnya karena nilai EBN
(endosperm balance number) dari spesies liar yang digunakan adalah 1, sehmgga
tidak bisa disilangkan dengan kentang dihaploid dengan EBN
=
2 (Millam et al.,
1995).
Telah banyak penelitian fusi protoplas yang dilakukan pada kentang yang
bertujuan mengintrogresikan sifat-sifat
ketahanan (Mattheij dan Puite, 1992;
Kaendler et al, 1996; Menke et al., 1996; Rasmussen et al., 1996; Nyman dan
Waara, 1997; Oberwalder et al., 1997). Spesies liar yang digunakan antara lain S.
circaefolium yang mempunyai sifat ketahanan terhadap Phyrophthora infestans dan
Globodera pallida (Mattheij dan Puite, 1992), S. brevidens mempunyai sifat
ketahanan terhadap PLRV (Austin et al.,1985), S. vernei ketahanan terhadap
Globodera pallida (Rassmusen et al., 1996), S. pinnatisectum ketahanan terhadap
Phytophthora investans (Menke et al., 1996), S. commersonii ketahanan terhadap
cost myman dan Waara, 1997), Lycopersicon pennellii, ketahanan terhadap salinitas
(Serraf et al., 1991).
Hibrida
somatik
yang
dihasilkan
umumnya
mempunyai
morfologi
intermediat, lebih vigor dibandingkan kedua tetuanya, berbunga dan menghasilkan
biji (Menke et al., 1996; Rasmussen et al., 1996; N y m a n dan Waara, 1997).
Fertiliias jantan (male fertility) sangat tergantung dari genotipe S. tuberosum yang
digunakan (Nyman dan Waara,
1997).
Sedangkan sifat-sifat ketahanannya
meningkat dibandingkan S. tuberosum tetuanya (Mattheij dan Puite,
1992;
Rasmussen et al., 1996; Nyrnan dan Waara, 1997; Oberwalder et al., 1997). Akan
tetapi hasil h s i
S. tuberosum+ Lycopersicon penneNii menghasilkan hibrida
somatik yang lemah (tidak vigor), menghasilkan stolon yang pendek, umbi yang
tidak beraturan. Walaupun demikian hibrida yang dihasilkan dapat berbunga dan
menghasilkan biji dan meningkat ketahanannya terhadap salinitas (Serraf, 1991).
Selain untuk mengatasi inkompatibilitas seksual, fusi protoplas juga
merupakan
metode untuk meresintesis ke tingkat tetraploidi.
Kentang, sebagai
tanaman yang dikembangbiakan secara vegetatif, resintesis tanarnan tetraploid dari
donor d i p l o i d yang terseleksi meialui fusi protoplas akan menghasilkan tanarnan
heterosigous dalam sekali langkah (Ross, 1986). Penelitian resintesis tetraploid pada
tanaman kentang relatif lebih jarang dilakukan dibandingkan h s i interspesifik
(Waara et al., 1991; Mollers et al., 1992; Rasrnussen et al., 1996). Rasrnussen e f al.
(1996) memfusikan dua klon mandul jantan kentang dihaploid (S. tuberosum)
melalui elektrofusi.
Kalus yang mampu beregenerasi adalah 6%, dirnana 45%
diantaranya adalah hibrida somatik. Hibrida somatik yang dihasilkan sangat vigor
dengan morfologi intermediate antara kedua tetua, baik dalam panjang internode,
ukuran daun dan pigmentasi.
Fusi secara simetris memungkinkan penggabungan antar dua jenis genom
secara cepat dengan hasil intermediate (Mattheij dan Puite, 1992; Kaendler et al.,
1996; Menke et al., 1996; Rasmusen et al., 1996; Nyrnan dan Waara, 1997;
Oberw